Anda di halaman 1dari 37

Hukum Ekonomi Syariah Transaksi Pemberian

Kepercayaan dalam Suatu Usaha Hukum Ekonomi


Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas kelompok
Mata Kuliah: Hukum Ekonomi Syariah
Dosen Pengampu: Ahmad Wahyudi Zein. M.E.I

Disusun oleh Kelompok 6:


Sem. 3/ HPI 3C
Rodiatul Adawiyah Harahap (0205212041)
Nawa Bathuta (0205212053)
Jakaria (0205212051)
PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
T.A 2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan terhadap kehadirat Allah SWT. Yang telah
memberikan kita kesehatan, keselamatan dan kesempatan sehingga kami bisa
menyelesaikan tugas makalah Hukum Ekonomi Syariah Transaksi Pemberi
Kepercayaan dalam Suatu Usaha. Tidak lupa sholawat salam kepada Rasulullah
saw. Yang membawa kita dari zaman jahiliyah ke zaman yang beradab seperti
pada saat ini. Terima kasih kepada para ahli Ekonomi Syariah karena telah berjasa
dalam menyumbangkan ilmu pengetahuan untuk kemajuan kehidupan manusia,
serta berharap mendapatkan keridhaan Allah SWT.
Terima kasih kepada ibu dan ayah yang telah melahirkan dan
membesarkan kami dengan penuh kasih sehingga bisa melanjutkan Pendidikan di
jenjang Universitas dan masih bisa menyelesaikan tugas makalah. Terima kasih
kepada dosen pengampu mata kuliah Hukum Ekonomi Syariah Bapak Ahmad
Wahyudi Zein. M.E.I yang telah memberikan tugas makalah untuk pengembangan
mahasiswa dalam memahami mata kuliah Hukum Ekonomi Syariah. Kami
berusaha untuk menuliskan makalah yang baik dan benar maka dari itu, apabila
ada tulisan yang salah dan penyampaian yang kurang tepat kami minta maaf dan
kepada Allah kami mohon ampun.

Medan, 21 Oktober 2022

Pemyusun

i
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i
DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I .................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................ 1
C. Tujuan Pembahasan ............................................................................................. 2
BAB II ................................................................................................................................ 3
PEMBAHASAN ................................................................................................................ 3
A. Al-Kafalah ............................................................................................................. 3
B. Al-Hiwalah ............................................................................................................. 6
C. Al-Rahn ................................................................................................................ 13
D. Al-Wadiah............................................................................................................ 17
E. Al-Wakalah.......................................................................................................... 20
F. A1-Ju'alah ............................................................................................................ 22
G. Al-Sharf................................................................................................................ 25
H. Studi Kasus Keputusan Hakim pada Tingkat Pertama .................................. 27
BAB III............................................................................................................................. 32
PENUTUP ........................................................................................................................ 32
A. Kesimpulan .......................................................................................................... 32
B. Saran .................................................................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 34

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Mungkin masih ada orang-orang yang belum mengetahui secara detail
tenang transaksi akad kepercayaan ini, maka dari itu perlu untuk memahaminya
agar pelaksanaan mendapatkan sebuah kemaslahatan atau dapat membantu orang-
orang yang dalam kesulitan. Ada sebab transaksi dalam makalah ini familiarnya
dengan sebutan akad kepercayaan. Penyebabnya adalah akan ada barang yang
dijadikan pengorbanan atau jaminan, dan akan ada orang lain yang membayar
utang kita, bahkan akan terjadi pinjam meminjam tanpa imbalan apapun. Sungguh
dari ketiga hal tersebut yang menjadi sebab akad kepercayaan. Salah satu produk
perbankan syariah yang saat ini sedang dikembangkan adalah produk dengan akad
yang berbagai macam seperti kafalah, hiwalah, rahn,wadiah, wakalah ,jualah,dan
sharf. Perbankan sebagai lembaga penjamin terhadap nasabah akan memperoleh
pendapatan berupa pembayaran (ujrah) dari nasabah atas jasa yang diberikan bank
tersebut. Pada hakikatnya pemberian dalam bentuk syariat ini akan memberikan
kepastian dan keamanan bagi pihak ketiga untuk melaksanakan isi
perjanjian/kontrak yang telah disepakati tanpa khawatir apabila terjadi sesuatu
dengan nasabah sehingga nasabah cidera janji untuk memenuhi prestasinya.
Namun masih diperlukan kajian yang lebih mendalam tentang jenis jenis
di perbankan ini untuk lebih meningkatkan perkembangan ekonomi Islam atau
ekonomi syariah pada umumnya dan perbankan syariah pada khususnya sehingga
nantinya akan lebih menarik dan mampu bersaing dengan perkembangan
perbankan konvensional. Oleh sebab itu dalam makalah kali ini kami akan
mencoba menguraikan bagaimana kafalah, hiwalah, rahn, wadi’ah, wakalah
,ju’alah, dan sharf diterapkan dalam bidang ekonomi khususnya dalam dunia
perbankan. Semoga melalui makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita. Oleh
karena itu makalah ini akan membahas transaksi kepercayaan, kasus, dalil, dan
sebagainya seluk beluk transaksi kepercayaan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian kafalah, hiwalah, rahn, wadi’ah, wakalah, ju’alah, dan sharf?

1
2. Bagaimana dasar hukum dari kafalah, hiwalah, rahn, wadi’ah, wakalah,
ju’alah, dan sharf?
3. Apa rukun dan Syarat kafalah, hiwalah, rahn, wadi’ah, wakalah, ju’alah, dan
sharf?
4. Bagaimana ketentuan lebih lanjut tentang kafalah, hiwalah, rahn, wadi’ah,
wakalah, ju’alah, dan sharf?
5. Bagaimana Studi Kasus Transaksi Kepercayaan dalam suatu usaha?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk dapat mengetahui dan memahami pengertian kafalah, hiwalah, rahn,
wadi’ah, wakalah, ju’alah, dan sharf
2. Untuk dapat mengetahui dan memahami dasar hukum dari kafalah, hiwalah,
rahn, wadi’ah, wakalah, ju’alah, dan sharf
3. Untuk dapat mengetahui dan memahami rukun dan syarat kafalah, hiwalah,
rahn, wadi’ah, wakalah, ju’alah, dan sharf
4. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang ketentuan dari kafalah, hiwalah, rahn,
wadi’ah, wakalah, ju’alah, dan sharf
5. Untuk mengetahui dan memahami penyelesaian sengketa atau studi kasus
transaksis kepercayaan.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Al-Kafalah
1. Pengertian
Lafz kata al-kafalah merupakan Masdar (kata awal) yang fi’il madhi-nya
ialah kafalah dan fi’il mudhori’-nya yakfulu.1 Secara Bahasa kafalah berarti
penjaminan. Kafalah mempunyai padanan kata yang banyak, yaitu dhamanah,
hamalah, dan za’amah. Secara istilah, sebagaimana yang dinyatakan para ulama
fikih selain Hanafi, bahwa kafalah adalah menggabungkan dua tanggungan dalam
permintaan dan hutang. Definisi lain adalah, Jaminan yang diberikan oleh
penanggung (kâfîl) kepada pihak ketiga-pihak yang memberikan hutang/kreditor
(makfûllahu) memenuhi kewajiban pihak kedua-pihak yang berhutang/debitor
atau yang ditanggung (makfûl‘anhu, ashil).2 Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah (KHES), Kafalah adalah jaminan atau garansi yang diberikan oleh
penjamin kepada pihak ketiga/pemberi pinjaman untuk memenuhi kewajiban
pihak kedua/peminjam.

2. Dasar Hukum
Dasar hukum untuk akad kafalah ini dapat dilihat di dalam al-Qur’ân,
dalam surat Yûsuf [12]:66.
ُ ٰ ‫اّلل لَ َتأْتُن َّ ِ ِْن ب ِٖٓه ِا ََّّل ٖٓ َا ْن حُّي ََاط ِب ُ ُْكْۚ فَلَ َّما ٖٓ ىات َْو ُه َم ْوثِقَ ُه ْم قَا َل ى‬
‫اّلل عَ ىٰل َما‬ ِ ٰ ‫قَا َل لَ ْن ُا ْر ِس َ َٗل َم َع ُ ُْك َح ى ّٰت تُ ْؤت ُْو ِن َم ْوثِقًا ِ ٰم َن ى‬
‫ن َ ُق ْو ُل َو ِك ْيل‬
Nabi Ya’kub berkata: ‘Aku sekali-kali tidak akan melepaskannya (pergi)
bersama-sama kamu, sebelum kamu memberikan kepadaku janji yang teguh atas
nama Allah, bahwa kamu pasti akan membawanya kembali kepadaku….
Pada ayat 72 pun disebutkan,
‫ِل َو ِل َم ْن َج ۤا َء بِه ِ ِْح ُل ب َ ِع ْ ٍْي َّو َا َ َ۠ن بِه َز ِع ْي‬
ِ ِ ‫قَالُ ْوا ن َ ْف ِقدُ ُص َوا َع الْ َم‬
Penyeru-penyeru itu berkata: ‘Kami kehilangan piala raja, dan siapa
yang dapatmengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban
unta, dan aku menjamin terhadapnya.

1
Soemitra, Hukum Ekonomi Syariah dan Fiqh Muamalah di Lembaga Keungan dan
Bisnis Kontemporer, (KENCANA: Jakarta, 2019) h. 138.
2
Kartika, Rini Fatma. "Jaminan Dalam Pembiayaan Syariah (Kafalah Dan
Rahn)." Kordinat: Jurnal Komunikasi antar Perguruan Tinggi Agama Islam 15.2 (2016): h. 234.

3
Dalam salah satu hadit} pun dikisahkan dari Jabir bin Abdullah ra.
berkata: Kepada Nabi SAW pernah didatangkan sesosok jenazah agar beliau
menshalatkannya. Lalu beliau bertanya, “Apakah ia punya hutang?” Para Sahabat
berkata, “Benar, dua dinar.” Beliau bersabda, “Shalatkan teman kalian!”
Kemudian Abu Qatadah berkata, “Keduanya (dua dinar itu) menjadi kewajibanku,
ya Rasulullah.” Nabi saw pun lalu menshalatkannya (HR Ahmad, Abu Dawud,
an-Nasa’I dan al-Hakim).
Imam al-Bukhari meriwayatkan hadis ini dari Salamah bin al-Akwa’ dan
disebutkan bahwa utangnya tiga dinar. Di dalam riwayat Ibn Majah dari Anu
Qatadah, ketika itu ia berkata, “Wa ana attakaffaiu bihi (Aku yang
menanggungnya),” Di dalam riwayat al-Hakim dari Jabir di atas terdapat
tambahan sesudahnya: Nabi bersabda kepada Abu Qatadah, “Keduanya menjadi
kewajibanmu dan di dalam hartamu sedangkan mayit tersebut terbebas?” Abu
Qatadah menjawab, “Benar.” Lalu Nabi saw menshalatkannya. Saat bertemu Abu
Qatadah Rasul saw bertanya, “Apa yang telah dilakukan oleh dua dinar?”
Akhirnya Abu Qatadah berkata, “Aku telah membayar keduanya, ya Rasulullah.”
Nabi saw bersabda, “Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya.” (HR al
Hakim). Dalam hadits lain diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Hutang itu harus ditunaikan, dan orang yang menanggung itu harus
membayarnya.” (HR Abu Daud dan Tirmidzi dan dishakhihkan oleh Ibni
Hibban).3

3. Rukun dan Syarat


Sebagaimana dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
➢ Pasal 291
(1) Rukun akad kafalah terdiri atas:
a. kafil/penjamin;
b. makful ‘anhu/pihak yang dijamin;
c. makful lahu/pihak yang berpiutang;
d. makful bihi/objek kafalah; dan
e. akad.

3
Kartika, Rini Fatma. "Jaminan Dalam Pembiayaan Syariah (Kafalah Dan
Rahn)." Kordinat: Jurnal Komunikasi antar Perguruan Tinggi Agama Islam 15.2 (2016): h. 235.

4
(2) Akad yang dimaksud pada ayat (1) harus dinyatakan para pihak baik
dengan lisan, tulisan, atau isyarat.
➢ Pasal 292 Para pihak yang melakukan akad kafalah harus memiliki kecakapan
hukum.
➢ Pasal 293
(1) Makful ‘anhu/peminjam harus dikenal oleh kafil/ penjamin dan sanggup
menyerahkan jaminannya kepada kafil/penjamin.
(2) Makful lahu/pihak pemberi pinjaman harus diketahui identitasnya.
➢ Pasal 294 Makful bih/objek jaminan harus:
a. merupakan tanggungan peminjam baik berupa uang, benda, atau pekerjaan;
b. dapat dilaksanakan oleh penjamin;
c. merupakan piutang mengikat/lazim yang tidak mungkin hapus kecuali
setelah dibayar atau dibebaskan;
d. jelas nilai, jumlah, dan spesifikasinya; dan
e. tidak diharamkan.
➢ Pasal 295
(1) Jaminan berlaku sesuai dengan syarat dan batas waktu yang disepakati.
(2) Jaminan berlaku sampai terjadinya penolakan dari pihak peminjam.
➢ Pasal 296 Kafil/penjamin dibolehkan lebih dari satu orang.
➢ Pasal 297 Barang yang sedang digadaikan atau berada di luar tanggung-jawab
kafil/penjamin tidak dapat dijadikan makful bihi.

4. Kafalah Muthlaqah dan Muqayyadah


Dalam kompilasi Hukum Ekonomi Syariah,
➢ Pasal 298 Kafalah dapat dilakukan dengan cara muthlaqah/tidak dengan syarat
atau muaqayyadah/dengan syarat.
➢ Pasal 299 Dalam akad kafalah yang tidak terikat persyaratan, kafalah dapat
segera dituntut jika utang itu harus segera dibayar oleh debitor.
➢ Pasal 300 Dalam akad kafalah yang terikat persyaratan, penjamin tidak dapat
dituntut untuk membayar sampai syarat itu dipenuhi.
➢ Pasal 301 Dalam hal kafalah dengan jangka waktu terbatas, tuntutan hanya
dapat diajukan kepada penjamin selama jangka waktu kafalah.

5
➢ Pasal 302 Penjamin tidak dapat menarik diri dari kafalah setelah akad
ditetapkan kecuali dipersyaratkan lainnya.

5. Pembebasan Akad dari Kafalah


Sebagaimana dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah,
➢ Pasal 311 Apabila penjamin telah menyerahkan barang jaminan kepada pihak
pemberi pinjaman di tempat yang sah menurut hukum, maka penjamin bebas
dari tanggungjawab.
➢ Pasal 312 Apabila penjamin telah menyerahkan peminjam kepada pihak
pemberi pinjaman sesuai dengan ketentuan dalam akad atau sebelum waktu
yang ditentukan, maka penjamin bebas dari tanggungjawab.
➢ Pasal 313
1) Penjamin dibebaskan dari tanggungjawab jika peminjam meninggal dunia.
2) Penjamin dibebaskan dari tanggungjawab apabila peminjam
membebaskannya.
3) Pembebasan penjamin tidak mengakibatkan pembebasan utang peminjam.
4) Pembebasan utang bagi peminjam mengakibatkan pembebasan
tanggungjawab bagi penjamin.
➢ Pasal 314 Penjamin dibebaskan dari tanggungjawab jika pihak pemberi
pinjaman meninggal jika peminjam adalah ahli waris tunggal dari pihak
pemberi pinjaman.

B. Al-Hiwalah
1. Pengertian
Menurut etimologi (bahasa), kata “Al-Hiwalah” huruf ha’ dibaca kasrah
atau kadang-kadang dibaca fathah, berasal dari kata “At-Tahawwul” yang berarti
“Al-Intiqal” (Pemindahan/Pengalihan). Orang arab biasa mengatakan “Hala ‘anil
‘ahdi” yaitu terlepas dari tanggungjawab. Abdurrahman Al-Jaziri berpendapat
bahwa yang dimaksud dengan hiwalah menurut bahasa adalah “Pemindahan dari
satu tempat ke tempat yang lain”.4

4
Nurazizah, Novanda Eka. "Implementasi Akad Hiwalah Dalam Hukum Ekonomi Islam
Di Perbankan Syariah." TAFAQQUH: Jurnal Hukum Ekonomi Syariah Dan Ahwal Syahsiyah 5.2
(2020): h. 4.

6
Secara terminologi, hiwalah adalah pemindahan beban utang dari muhil
(orang yang berutang) kepada muhal alaih atau orang yang berkewajiban
membayar utang (Antonio, 2001). Jumhur ulama Fiqh mendefinisikannya dengan
akad yang menghendaki pengalihan utang dari tanggung jawab seseorang kepada
tanggung jawab orang lain (Haroen, 2000).5
Akad ini dapat disebut dengan dua cara yaitu hawalah dan hiwalah
penyebutan dengan kata hawalah dianggap lebih fasih dan tepat secara bahasa
hawalah diambil dari kata halal yang berarti berganti atau bergeser bisa juga
diambil dari kata halal yang berarti bergantian atau bergeser bisa juga diambil dari
dari tahwil yang dapat diartikan dengan memindahkan dari suatu tempat ke
tempat yang lain ulama lain mengungkapkan arti dari hawalah adalah pergeseran
dan perpindahan.6
Ulama Malikiyah mendefinisikan hawalah dengan,
‫نقل ادلين من ذمة اىل ذمة تربأ هبا الوىل‬
Memindahkan utang dari tanggungan (pihak pertama) kepada tanggungan
(pihak lain) yang membebaskan pihak pertama dari tangungan utang tersebut.
Ulama Syafi'iyah memberikan definisi hawalah,
‫نقل احلق من ذمة احمليل اىل ذمة احملال عليه‬
Perpindahan hak (pelunasan utang) dari tanggungan muhil (yang
memindahkan utang) kepada tanggungan muhal 'alaihi (yang menerima
peralihan utang).
Sedangkan definisi hawalah menurut Ulama Hanabilah adalah,
‫احلواةل يه نقل احلق من ذمة احمليل اىل ذمة احملال عليه‬
Hawalah adalah perpindahan hak (pelunasan utang) dari tanggungan
muhil kepada muhal 'alaihi.
Beberapa definisi di atas memiliki kesamaan substansi di mana hawalah
dapat disarikan menjadi suatu akad atau kesepakatan atas perpindahan kewajiban

5
Harun. Fiqh Muamalah, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2017), h. 166.
6
Rahmat Hidayat, FIKIH MUAMALAH Teori Dan Prinsip Hukum Ekonomi Syariah,
(Medan: Tungga Esti, 2022), h. 371.

7
membayar utang dari muhil (pihak pertama) kepada muhal 'alaihi (pihak kedua)
yang berakibat hilangnya kewajiban pihak pertama dalam melunasi utang.

2. Dasar Hukum
Hiwalah ini disyariatkan oleh agama islam dan diperbolehkan
menerapkanya dalam kehidupan sehari-hari, karena terdapat unsur maslahat bagi
diri pribadi maupun orang lain dan adanya kemudahan dalam bermuamalah.
Dalam hiwalah juga terdapat bukti sayang kepada sesama, mempermudah
muamalah mereka, memaafkan, membantu memenuhi kebutuhan mereka,
membayarkan utangnya dan menenangkan hati mereka. Dasar hukum hiwalah
terdapat dalam AL-Qur’an, Hadis, dan Ijma’.7
‫ْْس ٍة ۗ َو َا ْن ت ََص َّدقُ ْوا خ َْْي لَّ ُ ُْك ِا ْن ُك ْن ُ ُْت تَ ْعلَ ُم ْو َن‬
َ َ ‫ُْس ٍة فَنَ ِظ َرة ِا ىىل َمي‬
َ ْ ‫َوا ِْن ََك َن ُذ ْو ع‬
Dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang
waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu
lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah ayat 280).8
Uraian dari ayat tersebut maksudnya, apabila orang yang kamu utangi itu
mengalami kesulitan mengenai masalah ekonomi, sehingga tidak melunasi
hutangnya, maka tundalah tagihanya sampai kondisi keuanganya membaik dan
mampu melunasi utangnya. Apabila kalian bersedekah kepadanya dengan tidak
menagih utangnya atau membebaskan sebagian utangnya, itu lebih baik bagi
kalian jika kalian mengetahui keutamaan dari tindakan kalian itu di sisi Allah swt.
ِ‫ى ٖٓي َاُّيح َا َّ ِاَّل ْي َن ىا َمنُ ْوْٓا ِا َذا تَدَ ايَنْ ُ ُْت بِدَ ْي ٍن ِا ى ٖٓىل َا َج ٍل حم َس ًّمى فَا ْك ُت ُب ْو ُهۗ َولْ َي ْكتُ ْب بَّيْنَ ُ ُْك ََكتِب ِِبلْ َعدْ ل‬
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang
piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. (QS.
Al-Baqarah ayat 282).
Dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa dalam utang-piutang atau
transaksi yang tidak kontan sebaiknya dicatatkan atau dituliskan sehingga apabila

7
Nurazizah, Novanda Eka. "Implementasi Akad Hiwalah Dalam Hukum Ekonomi Islam
Di Perbankan Syariah." TAFAQQUH: Jurnal Hukum Ekonomi Syariah Dan Ahwal Syahsiyah 5.2
(2020): h. 5.
8
Nizaruddin, Nizaruddin. "Hiwalah Dan Aplikasinya Dalam Lembaga Keuangan
Syari'ah." Adzkiya: Jurnal Hukum Dan Ekonomi Syariah 1.2 (2013).

8
terjadi suatu perselisihan dapat lebih mudah untuk dibuktikan. Dalam kegiatan ini
juga diwajibkan untuk ada dua orang saksi yang adil dan tidak merugikan pihak
manapun, saksi ini adalah orang yang menyaksikan utang-piutang secara langsung
dari awal.Hadist Imam bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah,
bahwa Rasulullah berkata :
“Menunda-nunda oleh orang kaya adalah penganiayaan, dan apabila
salah seorang diantara kamu diikutkan (dipindahkan) kepada orang yang mampu
maka ikutilah” (H.R Bukhari Muslim).
Penjelasan dari hadis tersebut yaitu, Rasulullah memberitahukan kepada
orang yang menghutangkan, jika orang yang berhutang memindahkan kepada
orang yang mampu, hendaklah ia menerima pemindahan tersebut, dan hendaklah
ia menagih kepada orang yang dipindahi hutang. Dengan demikian haknya dapat
terpenuhi. Ulama’ sepakat membolehkan akad hawalah dengan catatan, hawalah
dilakukan atas hutang yang tidak berbentuk barang atau benda, karena hawalah
adalah proses pemindahan hutang bukan pemindahan benda.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairoh, bahwa
Rasulullah saw, bersabda:9
“Memperlambat pembayaran hukum yang dilakukan oleh orang kaya
merupakan perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang
yang mudah membayar hutang, maka hendaklah ia beralih (diterima pengalihan
tersebut)”. (HR al-Bukhari dan Muslim).
Ijma’
Para ulama’ sepakat membolehkan hawalah, karena hal ini sejalan dengan
kaidah-kaidah dasar yang berada dalam di bidang muamalah, bahwa semua
bentuk muamalah diperbolehkan dalam islam kecuali ada dalil yang tegas
melarangnya. Hiwalah dibolehkan padauta yang tidak berbentuk barang/benda,
karena hawalah adalah perpindahan hutang oleh sebab itu harus pada uang atau
krwajiban finansial.10

9
Syaikhu, Dkk. Fiqh Muamalah Memahami Konsep Dan Dialektika Kontemporer.
(Yogyakarta: K- Media, 2020), h. 149.
10
Nurazizah, Novanda Eka. "Implementasi Akad Hiwalah Dalam Hukum Ekonomi Islam
Di Perbankan Syariah." TAFAQQUH: Jurnal Hukum Ekonomi Syariah Dan Ahwal Syahsiyah 5.2
(2020): h. 7.

9
3. Rukun dan Syarat
➢ Pasal 318
(1) Rukun Hawalah/pemindahan utang terdiri atas:
a. muhil/peminjam;
b. muhal/pemberi pinjaman;
c. muhal ‘alaih/penerima hawalah;
d. muhal bihi/utang; dan
e. akad.
(2) Akad sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dinyatakan oleh para
pihak secara lisan, tulisan, atau isyarat.
➢ Pasal 319 Para pihak yang melakukan akad hawalah/pemindahan utang harus
memiliki kecakapan hukum.
➢ Pasal 320
(1) Peminjam harus memberitahukan kepada pemberi pinjaman bahwa ia akan
memindahkan utangnya kepada pihak lain.
(2) Persetujuan pemberi pinjaman mengenai rencana peminjam untuk
memindahkan utang seperti yang dimaksud pada ayat (1), adalah syarat
dibolehkannya akad hawalah/ pemindahan utang.
(3) Akad hawalah/pemindahan utang dapat dilakukan jika pihak penerima
hawalah/pemindahan utang menyetujui keinginan peminjam pada ayat (1).
➢ Pasal 321
(1) Hawalah/pemindahan utang tidak disyaratkan adanya utang dari penerima
hawalah/pemindahan utang, kepada pemindah utang.
(2) Hawalah/pemindahan utang tidak disyaratkan adanya sesuatu yang diterima
oleh pemindah utang dari pihak yang menerima hawalah/pemindahan utang
sebagai hadiah atau imbalan.

4. Jenis-jenis Hiwalah
Hiwalah terbagi dua macam berdasarkan pemindahan yaitu:11
a. apabila yang dipindahkan itu merupakan hak menurut utang, maka pemindahan
itu disebut hiwalah al-haqq (pemindahan hak).

11
Harun. Fiqh Muamalah, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2017), h. 167.

10
b. Jika yang dipindahkan itu kewajiban untuk membayar utang, maka
pemindahan itu disebut hiwalah ad-dain (pemindahan utang). Sisi lain,
hiwalah terbagi dua, yaitu pemindahan sebagai ganti dari pembayaran utang
pihak pertama kepada pihak kedua yang disebut al-hiwalah al-muqayyadah
(pemindahan bersyarat) dan pemindahan utang yang tidak ditegaskan sebagai
ganti dari pembayaran utang pihak pertama kepada pihak kedua yang disebut
al-hiwalah al-mutlaqah (pemindahan mutlak) (Haroen, 2000).
Pembagian Hiwalah berdasarkan rukun12
a. Hawalah muthlaqah yaitu hawalah di mana orang yang berhutang
memindahkan utangnya kepada muhal’alaih kepadanya. Dalam fatwa DSN
MUI No.58 tahun 2007 disebut muhil tidak berpiutang kepada muhal’alaih
b. Hawalah muqayyadah yaitu orang yang berhutang mengalihkan utangnya
kepada muhal’alaih. Dalam Fatwa DSN MUI No.58 tahun 2007 disebut muhil
orang yang berhutang sekaligus berpiutang kepada muhal’alaihi. Dalam Fatwa
DSN MUI No.58 tahun 2007 disebut muhil orang yang berhutang sekaligus
berpiutang kepada muhal’alaih
Pembagian Hiwalah berdasarkan ada atau tidaknya imbalan
a. Hawalah tanpa upah/ujrah yaitu pengalihan utang tanpa diikuti dengan
pemberian upah
b. Hawalah dengan pengenaan upah pada pengalihan utang. Dalam Fatwa DSN
MUI No.58 Tahun 2007 menyebut hawalah dengan upah berlaku pada
hawalah muthlaqah. Besarnya fee ditetapkan secara jelas, tetap, dan pasti
sesuai kesepakatan.

12
Soemitra, Hukum Ekonomi Syariah dan Fiqh Muamalah di Lembaga Keungan dan
Bisnis Kontemporer, (KENCANA: Jakarta, 2019) h. 138.

11
5. Skema Hiwalah13

13
Soemitra, Hukum Ekonomi Syariah dan Fiqh Muamalah di Lembaga Keungan dan
Bisnis Kontemporer, (KENCANA: Jakarta, 2019) h. 139.

12
C. Al-Rahn
1. Pengertian
Gadai dalam fiqih Islam disebut rahn dimana termasuk suatu jenis
perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan hutang.14 Menurut
etimologi ar-rahn berarti Atsubuutu wa Dawamu artinya tetap dan kekal, atau al-
Habsu wa Luzumu artinya pengekangan dan keharusan dan juga bisa berarti
jaminan.15 Dalam istilah bahasa Arab “gadai” diistilahkan dengan ‘rahn’ dan
dapat juga dinamai dengan al-habsu. Adapun pengertian yang terkandung dalam
istilah tersebut menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut
pandangan syara' sebagai jaminan utang, hingga orang yang bersangkutan boleh
mengambil hutang atau ia bisa mengambil sebagian (manfaat) barangnya itu
(Sayid Sabiq, 12, 1988: 139).16
Menurut terminologi syara’, rahn berarti Penahanan terhadap suatu barang
dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagaipembayaran dari barang tersebut.
Menurut ulama Syafi’iyah rahn adalah Menjadikan suatu benda sebagai jaminan
hutang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar
hutang. Menurut ulama Hanabilah rahn berarti Harta yang dijadikan jaminan
hutang sebagai pembayar harga (nilai) hutang ketika yang berhutang berhalangan
(tak mampu) membayar hutangnya kepada pemberi pinjaman.
Rahn (gadai) merupakan kebiasaan yang telah ada sejak zaman Rasulullah
Saw. dan Rasulullah Saw sendiri pun telah mempraktikkannya. Sehingga Rahn
(gadai) menjadi tradisi institusi yang telah mendalam di masyarakat. Kebutuhan
yang mendesak dan tidak ada keterampilan lain yang dapat dilakukan maka gadai
menjadi solusi untuk memenuhi hajat seseorang. Hal ini beralasan karena dalam
akad gadai barang yang dijadikan sebagai agunan dapat diambil kembali dan
menjadi hak miliknya ketika ia memiliki modal untuk pengambilannya.17
Dapat disimpulkan bahwa ar-rahn adalah menjadikan barang berharga
sebagai jaminan utang. Dengan begitu jaminan tersebut berkaitan erat dengan

14
Syaikhu, Dkk. Fiqh Muamalah Memahami Konsep Dan Dialektika Kontemporer.
(Yogyakarta: K- Media, 2020), h. 157.
15
Abdul Rahman, Dkk. Fiqh Muamalat, (Jakarta: KENCANA, 2022), h. 265.
16
Chairuman Pasaribu, & Suhrawardi. Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: SINAR
GRAFIKA, 1994), h. 139.
17
Syaikhu, Dkk. Fiqh Muamalah Memahami Konsep Dan Dialektika Kontemporer.
(Yogyakarta: K- Media, 2020), h. 157.

13
utang piutang dan timbul dari padanya. Sebenarnya pemberian utang itu
merupakan suatu Tindakan kebajikan untuk menolong orang yang sedang dalam
keadaan terpaksa dan tidak mempunyai uang dalam keadaan kontan. Namun
untuk ketenangan hati, pemberi utang memberikan suatu jaminan, bahwa utang itu
akan dibayar oleh orang yang berutang. Untuk maksud itu pemilik uang boleh
meminta jaminan dalam bentuk barang berharga.

2. Dasar Hukum
Menyangkut perjanjian gadai ini dalam syari'at Islam dihukum kan sebagai
perbuatan jaiz atau yang dibolehkan, baik menurut ke tentuan Al-Qur'an, Sunah
maupun Ijma' Ulama.18 Berdasarkan petunjuk Allah dalam Al-qur’an dan
penjelasan dari hadis Nabi yang berbunyi sebagai berikut.19
‫َوا ِْن ُك ْن ُ ُْت عَ ىٰل َس َف ٍر َّولَ ْم ََتِدُ ْوا ََكتِ ًبا فَ ِرهىن َّم ْق ُب ْوضَ ة ۗفَ ِا ْن َا ِم َن ب َ ْعضُ ُ ُْك ب َ ْعضً ا فَلْ ُي َؤ ِ ٰد َّ ِاَّلى‬
‫اؤْ تُ ِم َن َا َمان َ َت ٗه‬
Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan
seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi,
jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai
itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah,
Tuhannya. (QS. Al-Baqarah: 283).
Sedangkan dalam Sunah Rasulullah SAW dapat diketemukan dalam
ketentuan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah r.a, berkata:
"Rasulullah SAW pernah membeli makanan dari orang Yahudi dan beliau
menggadaikan kepadanya baju besi beliau". (Sayid Sabiq, 12, 1988: 140).
Berkaitan dengan pembolehan perjanjian gadai ini, jumhur ulama juga
berpendapat boleh dan mereka (jumhur ulama tersebut) tidak pernah
berselisih/bertentangan pendapat.20
Hadis Rasulullah saw.21

18
Chairuman Pasaribu, & Suhrawardi. Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: SINAR
GRAFIKA, 1994), h. 141.
19
Abdul Rahman, Dkk. Fiqh Muamalat, (Jakarta: KENCANA, 2022), h. 266
20
Chairuman Pasaribu, & Suhrawardi. Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: SINAR
GRAFIKA, 1994), h. 141.
21
Syaikhu, Dkk. Fiqh Muamalah Memahami Konsep Dan Dialektika Kontemporer.
(Yogyakarta: K- Media, 2020), h. 161.

14
Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan
menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah
susunya dengan menanggung biayanya. Bagi yang menggunakan kendaraan dan
memerah susu wajib menyediakan biaya perawatan dan pemeliharaan. (HR.
Turmidzi)

َُ ِ‫ي إ‬ ِ ‫ى طَعاما ِمنُ ي ه‬ ِ َُّ ‫َّب صلَّ ُى‬


ُ‫َجلُ َوَرَهنَه‬
َ‫لأ‬ ُ ‫ود‬ َ ً َ ُ ‫اّلل َعلَي ُه َو َسلَّ َُم اش َََت‬ َُّ ‫أ‬
َ َُّ ِ‫َن الن‬
ُ ‫ِدر ًعا ِمنُ َح ِد‬
‫يد‬
Dari Aisyah r.a. menjelaskan bahwa Rasulullah saw pernah membeli
makanan dari seorang yahudi, dan dia menggadaikan baju besinya. (HR.
Bukhari)
Hadis ini menunjukkan bahwa murtahin atau pihak lain yang mendapat
amanah untuk menjaga atau memelihara barang gadaian harus bertanggung jawab
atas barang tersebut, terkhususnya kalau dia memanfaatkan barang gadai tersebut.
Barang gadai harus dapat dikembalikan kepada orang yang berutang dengan
kondisi yang baik sehingga setiap pihak bertanggung jawab atas tindakannya
Ijma’
Secara umum, ulama sepakat atas kebolehan akad gadai. Perselisihan
hanya sebatas beberapa cabangnya serta cara aplikasi akad gadai. Rahn termasuk
dari akad musamma.22

3. Rukun dan Syarat


a. Syarat yang terkait dengan orang yang berakad adalah cakap bertindak hukum.
Kecakapan bertindak hukum menurut ulama adalah orang yang telah baligh
dan berakal (mumayyiz). Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, kedua belah
pihak yang berakad tidak disyaratkan baligh, tetapi cukup berakal saja. Oleh
sebab itu, menurut mereka, anak kecil yang mumayyiz boleh melakukan akad
rahn, dengan syarat akad yang dilakukan itu mendapatkan persetujuan dari
walinya.

22
Rahmat Hidayat, FIKIH MUAMALAH Teori Dan Prinsip Hukum Ekonomi Syariah,
(Medan: Tungga Esti, 2022), h. 190.

15
b. Syarat kedua adalah shigat (lafal). Ulama Hanafiyah mengatakan dalam akad
rahn tidak dikaitkan dnegan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang
akan datang, karena rahnsama dengan akad jual beli. Apabila akad itu
dibarengi dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan datang,
maka syaratnya batal, sedangkan akadnya sah. Ulama Mâlikiyyah, Syafi’iyyah,
dan Hanabilah mengatakan, apabila syarat itu adalah syarat yang mendukung
kelancaran akad itu, maka syarat itu diperbolehkan. Tetapi apabila syarat itu
bertentangan dengan tabiat akad ar-rahn, maka syaratnya batal. Kedua syarat
di atas termasuk syarat yang tidak sesuai dengan akad rahn, karenaya syarat itu
dinyatakan batal. Syarat yang dibolehkan itu, misalnya, untuk sahnya ar-rahn
itu, pihak pemberi utang minta agar akad itu disaksikan oleh dua orang saksi.
Sedangkan syarat yang batal, mislanya, disyaratkan bahwa agunan itu tidak
boleh dijual ketika ar-rahn itu jatuh tempo dan orang yang berutang tidak
mampu membayarnya.
c. Syarat al-marhum bihi (utang), adalah:
(1) merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada orang tempat ia berutang;
(2) utang itu boleh dilunasi dengan agunan itu; dan (utang itu jelas dan
tertentu).
d. Syarat al-marhun (barang yang dijadikan jaminan), adalah:
(1) barang jaminan itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan utang;
(2) barang jaminan itu bernilai dan dapat dimanfaatkan;
(3) barang jaminan itu jelas dan tertentu;
(4) barang itu milik sah orang yang berutang;
(5) barang jaminan tidak terkait dengan hak orang lain;
(6) barang jaminan itu merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran dalam
beberapa tempat, dan barang jaminan boleh diserahkan baik materi maupun
manfaatnya. Para ulama fiqh menyatakan bahwa arrahn itu baru dianggap
sempurna apabila barang yang digadaikan itu secara hukum sudah berada di
tangan pemberi utang, dan uang yang dibutuhkan telah diterima peminjam
uang. Apabila barang jaminan itu berupa barang tidak bergerak, seperti rumah

16
dan tanah, cukup surat jaminan tanah atau surat-surat rumah itu yang dipegang
oleh pemberi utang.23

4. Pembatalan Akad Rahn


➢ Pasal 337 Akad gadai dapat dibatalkan bila harta gadai belum dikuasai oleh
penerima gadai.
➢ Pasal 338 Penerima gadai dengan kehendak sendiri dapat membatalkan akad
gadainya.
➢ Pasal 339 Pemberi gadai tidak dapat membatalkan akad gadainya tanpa
persetujuan dari penerima gadai.
➢ Pasal 340
(1) Pemberi gadai dan penerima gadai dapat membatalkan akad gadainya
melalui kesepakatan.
(2) Penerima gadai boleh menahan harta gadai setelah pembatalan akad gadai
sampai utang yang dijamin oleh harta gadai itu dibayar lunas.
➢ Pasal 341 Pemberi gadai boleh mengadakan akad gadai secara sah dalam
kaitan dengan sejumlah uang dari dua penerima gadai, dan harta gadai itu
menjamin kedua utang itu.

D. Al-Wadiah
1. Pengertian
Menurut bahasa dan istilah. Secara bahasa wadi’ah ‫الوديعة‬ berarti titipan

atau amanah.24 Wadiah menurut bahasa sebagaimana disebutkan dalam al-Mujam


al-Wasit adalah berasal dari َ ‫ ف ةعادوو ةعد عدوي‬kata ‫ه ُ و َ ُف عدوأ‬. tentram
‫عدو‬
berarti yang, ‫عيدو ل َ ًَن ٰشال ا ي ْ ء‬ berarti menyerahkan sesuatu kepada fulan

sebagai wadiah. Dalam al-Fiqh al-Manhaji dikatakan bahwa wadiah menurut


bahasa juga berarti sesuatu yang ditinggalkan pada orang lain untuk dijaga.
Wadiah merupakan derivasi dari kata al-wad’u yang berarti meninggalkan. Kedua
makna tersebut memiliki korelasi, yaitu tenangnya harta yang ditinggalkan pada

23
Kartika, Rini Fatma. "Jaminan Dalam Pembiayaan Syariah (Kafalah Dan
Rahn)." Kordinat: Jurnal Komunikasi antar Perguruan Tinggi Agama Islam 15.2 (2016): 229-252.
24
Jamaluddin, Hukum Ekonomi Syariah, (Tasikmalay: Latifah, 2015), h. 147.

17
orang lain karena ada yang bersedia menjaganya. Dalam kamus al-Munawwir
(Munawwir, 2002, p. 1548) dikatakan ‫)عدو يشال‬ meninggalkan), ‫عدو بوثال عدو‬,
(bank di uang mendepositokan (‫عدو‬ ‫فرمصال ىف هالم‬, (harta menitipkan (‫هدنع الام‬
(menyimpan baju), ‫)ةعيدو‬ titipan), ‫)ةعيدو ةيالم‬ deposito). Al-Mausu’ah al-

Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (Kementrian Wakaf dan Urusan Agama Kuwait, 1986,


p. 5) mendefinisikan wadiah sebagai berikut: “Wadiah adalah harta yang
disimpan pada orang lain untuk dijaga olehnya tanpa ada kompensasi.

2. Dasar Hukum
a. Alqur’an
Alqur’an Ulama’ fiqh sependapat bahwa al-wadi’ah adalah salah satu akad
dalam rangka tolong menolong antara sesama manusia. landasannya firman Allah
SWT. Surat An-Nisa’ Ayat (58). “Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum
dianatara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah
sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha
Mendengar dan Maha Melihat”.
Dalam Surah Al-Baqarah: 283 “Dan jika kamu dalam perjalanan sedang
kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan
yang dipegang. Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain,
hendaklah yang itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia
bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu kesaksian, karena barang
siapa menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor (berdosa), Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Menurut para musafir, ayat ini berkaitan dengan penitipan kunci ka’bah kepada
utsman bin tholhah (seorang sahabat Nabi) sebagai amanat dri Allah SWT. tetapi
hal ini berlaku juga dalam setiap amanat.
b. Hadist
Dalam hadist Rasulallah SAW. disebutkan, “Serahkanlah amanat kepada
orang yang yang mempercayai anda dan janganlah anda mengkhianati anda.”
(H.R. Abu Dawud,Tirmidzi, Dan Hakim). Sabda Nabi Saw: “Serahkanlah amanat

18
kepada orang yang mempercayai anda dan janganlah anda mengkhianati orang
yang mengkhianati anda” Dari Abu Hurairah, diriwayatkan bahwa Rasulullah
SAW bersabda: “Tunaikanlah amanat (titipan) kepada yang berhak menerimanya
dan janganlah membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu.”
(H.R. Abu Daud dan Tirmidzi).
Kemudian, dari Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW telah
bersabda: “Tiada kesempurnaan iman bagi setiap orang yang tidak beramanah,
tiada shalat bagi yang tiada bersuci.” (H.R THABRANI). Dan diriwayatkan dari
Rasulullah SAW bahwa beliau mempunyai (tanggung jawab) titipan. Ketika
beliau akan berangkat hijrah, beliau menyerahkannya kepada Ummu `Aiman dan
ia (Ummu `Aiman) menyuruh Ali bin Abi Thalib untuk menyerahkannya kepada
yang berhak.” Ulama sepakat diperbolehkannya wadi’ah. Ia termasuk ibadah
Sunah. Dalam kitab Mubdi disebutkan: “ijma’ dalam setiap masa
memperbolehkan Wadi’ah. Dalam kitab Ishfah disebutkan: ulama sepakat bahwa
wadi’ah termasuk ibadah Sunah dan menjaga barang titipan itu mendapatkan
pahala.25

3. Rukun dan Syarat


➢ Pasal 370
(1) Rukun wadi’ah terdiri atas:
a. muwaddi’/penitip;
b. mustauda’/penerima titipan
c. wadi’ah bih/harta titipan; dan
d. akad.
(2) Akad dapat dinyatakan dengan lisan, tulisan, atau isyarat.
➢ Pasal 371 Para pihak yang melakukan akad wadi’ah harus memiliki kecakapan
hukum
➢ Pasal 372 Harta wadi’ah harus dapat dikuasai dan diserah terimakan.
➢ Pasal 373 Muwaddi’ dan mustaudi’ dapat membatalkan akad wadi’ah sesuai
kesepakatan.

25
Lutfi, Mohammad. "Penerapan Akad Wadiah di Perbankan Syariah." Madani
Syari'ah 3.2 (2020): h. 137.

19
E. Al-Wakalah
1. Pengertian
Secara Bahasa kata al-wakalah atau al-wikalah berarti at-Tafwidh
(penyerahan, pendelegasian dan pemberian mandate) seperti perkataan yang
artinya “Aku serahkan urusanku kepada Allah”. Secara terminologi syara’
sebagaimana yang dikemukakan oleh fukaha. Imam Taqy al-Din Bakr Ibn
Muhammad al-Husaini yang mengatakan “Menyerahkan suatu pekerjaan yang
dapat digantikan kepada orang lain agar dikelola dan dijaga pada masa hidupnya”.
Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie mengatakan bahwa “Akad penyerahan kekuasaan
di mana pada akad itu seseorang menunjuk orang lain sebagai gantinya untuk
bertindak”. Dari dua definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa wakalah
adalah sebuah transaksi di mana seseorang menunjuk orang lain untuk
menggantikan dalam mengerjakan pekerjaanya/perkaranya Ketika masih hidup. 26

2. Dasar Hukum
Islam memperbolehkan adanya perwakilan (wakalah) dengan melihat
kepada Dalil Alqur’an, Hadis, Ijma’, dan qiyas yang menunjukkan adanya
perwakilan di dalam Islam. Dalil Alqur’an anatara lain QS at-Taubah ayat 60, al-
Kahfi ayat 19, Yusuf ayat 55, QS an-Nisa ayat 35-58. Adapun dalil Sunnah antara
lain Hadis Nabi pernah mewakilkan kepada ‘Urwah al-Bariqi untuk membeli
domba dan pernah mewakilkan kapada Abu Rafi’ untuk menerima pernikahan
Maimunah. Ulama secara Ijma’ telah menyepakati keabsahan akad wakalah.
Adapun dalil qiyas karena adanya kebutuhan manusia menuntut adanya wakalah
karena setiap orang bisa menyelesaikan urusannya sendiri secara langsung
sehingga ia membutuhkan wakil untuk menggantikannya.27

3. Rukun dan Syarat


Sebagaimana dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah,
➢ Pasal 457
(1) Rukun wakalah terdiri atas:
a. wakil;

26
Abdul Rahman, Dkk. Fiqh Muamalat, (Jakarta: KENCANA, 2022), h. 187.
27
Soemitra, Hukum Ekonomi Syariah dan Fiqh Muamalah di Lembaga Keungan dan
Bisnis Kontemporer, (KENCANA: Jakarta, 2019) h. 147-148.

20
b. muwakkil;
c. akad.
(2) Akad pemberian kuasa terjadi apabila ada ijab dan kabul.
(3) Penerimaan diri sebagai penerima kuasa bisa dilakukan dengan lisan,
tertulis, isyarat, dan atau perbuatan.
(4) Akad pemberian kuasa batal jika pihak penerima kuasa menolak untuk
menjadi penerima kuasa.
➢ Pasal 458 Izin dan persetujuan sama dengan pemberian kuasa untuk bertindak
sebagai penerima kuasa.
➢ Pasal 459 Persetujuan yang terjadi kemudian, hukumnya sama dengan hukum
pemberian kuasa yang terdahulu untuk bertindak sebagai penerima kuasa.
➢ Pasal 460
(1) Suruhan tidak sama dengan pemberian kuasa.
(2) Suatu perintah dapat bersifat pemberian kuasa, dan atau bersifat suruhan.
Pasal 461 Transaksi pemberian kuasa dapat dilakukan dengan mutlak dan atau
terbatas.
Bagian Kedua Syarat Wakalah
➢ Pasal 462
(1) Orang yang menjadi penerima kuasa harus cakap bertindak hukum.
(2) Orang yang belum cakap melakukan perbuatan hukum tidak berhak
mengangkat penerima kuasa.
(3) Seorang anak yang telah cakap melakukan perbuatan hukum yang berada
dalam pengampuan, tidak boleh mengangkat penerima kuasa untuk melakukan
perbuatan yang merugikannya.
(4) Seorang anak yang telah cakap melakukan perbuatan hukum yang berada
dalam pengampuan, boleh mengangkat penerima kuasa untuk melakukan
perbuatan yang menguntungkannya.
(5) Seorang anak yang telah cakap melakukan perbuatan hukum yang berada
dalam pengampuan, boleh mengangkat penerima kuasa untuk melakukan
perbuatan yang mungkin untung dan mungkin rugi dengan seizin walinya.
➢ Pasal 463

21
(1) Seorang penerima kuasa harus sehat akal pikirannya dan mempunyai
pemahaman yang sempurna serta cakap melakukan perbuatan hukum, meski
tidak perlu harus sudah
(1) dewasa.
(2) Seorang anak yang sudah mempunyai pemahaman yang sempurna serta
cakap melakukan perbuatan hukum sah menjadi seorang penerima kuasa.
(3) Seorang anak penerima kuasa seperti disebut pada ayat (2) di atas, tidak
memiliki hak dan kewajiban dalam transaksi yang dilakukannya.
(4) Hak dan kewajiban dalam transaksi seperti disebut pada ayat (3) di ats
dimiliki oleh pemberi kuasa.
➢ Pasal 464 Seseorang dan atau badan usaha berhak menunjuk pihak lain sebagai
penerima kuasanya untuk melaksanakan suatu tindakan yang dapat
dilakukannya sendiri, memenuhi suatu kewajiban, dan atau untuk mendapatkan
suatu hak dalam kaitannya dengan suatu transaksi yang menjadi hak dan
tanggungjawabnya.

F. A1-Ju'alah
1. Pengertian
Ji’alah atau ja’alah menurut bahasa berarti “upah” atau “pemberian” bisa
juga disebut sebagai sayembara.Menurut istilah adalah perjanjian menyerahkan
(hadiah) uang atau barang kepada orang yang berhasil melaksanakan tugas
(sayembara). Misalnya seseorang kehilangan kuda, ia berkata “barang siapa yang
mendapatkan kudaku dan dia kembalikan kepadaku, aku bayar sekalian”. Menurut
Sulaiman Rasyid jialah ialah meminta agar mengembalikan barang yang hilang
dengan bayaran yang ditentukan, misal seseorang yang kehilangan seekor kuda
berkata “siapa yang mendapatkan kudaku dan mengembalikan kepadaku, maka
aku bayar sekian”.28
Istilah jualah dalam kehidupan sehari-hari diartikan oleh fukaha yaitu
memberi upah kepada orang lain yang dapat menemukan barangnya yang hilang
atau mengobati orang yang sakit atau menggali sumur sampai memancarkan air
atau seseorang menang dalam sebuah kompetisi. Jadi, jialah bukan hanya terbatas

28
Fithriana Syarqawie, FIKIH MUAMALAH, (Banjarmasin: IAIAN ANTASARI
PRESS, 2015) h. 107.

22
pada barang yang hilang namun dapat setiap pekerjaan yang dapat
menguntungkan seseorang. Dalam buku Ensiklopedi Hukum Islam ji'alah berarti
upah atau hadiah yang diberikan kepada seseorang karena orang tersebut
mengerjakan atau melaksanakan suatu pekerjaan atau perbuatan tertentu.
Meskipun ji'alah berbentuk upah atau hadiah sebagaimana ditegaskanoleh Ibnu
Qudamah, ulama Mazhab Hanbali, ia dapat dibedakan dengan Ijarah dari lima
segi.29

2. Dasar Hukum
Ji’alah termasuk salah satu jenis akad ynag hukumnya jaiz (dibolehkan)
oleh sebagian ulama, tetapi Sebagian lain ada pula yang tidak membolehkan akad
jenis ini. Perbedaan pandangan ini dapat diterima karena akad ji’alah tidak sama
dengan pelaksanaan akad ijarah yang murni merupakan upah tanpa unsur untung-
untungan. Jumhur ulama berpendirian bahwa transaksi ji’alah itu dibolehkan
berargumentasi bahwa secara historis Rasulullah memperbolehkan menerima
upah atas pengorbanan kepada seseorang dengan mempergunakan ayat-ayat
Alqur’an. Namun yang perlu dicatat di sini bahwa kebolehan itu bukannya mutlak
sebagaimana dalam lapangan ijarah. Alasan lain yang mereka pakai ialah firman
Allah swt. dalam QS. Yusuf ayat 72 yang artinya Penyeru-penyeru itu berkata:
“kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan
memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin
terhadapnya”.30

3. Rukun dan Syarat


Rukun Ji’alah
1) Lafal (akad). Lafal itu mengandung arti izin kepada yang akan bekerja dan
tidak ditentukan waktunya. Jika mengerjakan ji’alah tanpa seizin orang yang
menyuruh (punya barang) maka baginya tidak berhak memperoleh imbalan
jika barang itu ditemukan.
Ada 2 orang yang berakad dalam jialah yaitu:

Afriani, Afriani, and Ahmad Saepudin. "Implementasi Akad Ju’alah Dalam Lembaga
29

Keuangan Syariah." EKSISBANK (Ekonomi Syariah dan Bisnis Perbankan) 2.2 (2018): h. 60.
30
Soemitra, Hukum Ekonomi Syariah dan Fiqh Muamalah di Lembaga Keungan dan
Bisnis Kontemporer, (KENCANA: Jakarta, 2019) h. 160.

23
a. Ja'il yaitu orang yang mengadakan sayembara. Disyaratkan bagi ja'il itu
orang yang mukallaf dalam arti baligh, berakal, dan cerdas
b. 'Amil adalah orang yang melakukan sayembara. Tidak disyaratkan 'amil itu
orang-orang tertentu (bebas).
2) Orang yang menjanjikan memberikan upah. Dapat berupa orang yang
kehilangan barang atau orang lain.
3) Pekerjaan (sesuatu yang disyaratkan oleh orang yang memiliki harta dalam
sayembara tersebut).
4) Upah harus jelas, telah ditentukan dan diketahui oleh seseorang sebelum
melaksanakan pekerjaan (menemukan barang).
Syarat Jialah
1) Pihak-pihak yang berji'alah wajib memiliki kecakapan bermu'amalah (ahliyyah
al-tasharruf), yaitu berakal, baligh, dan rasyid (tidak sedang dalam perwalian).
Jadi ji'alah tidak sah dilakukan oleh orang gila atau anak kecil.
2) Upah (ja’il) yang dijanjikan harus disebutkan secara jelas jumlahnya. Jika
upahnya tidak jelas, maka akad ji’alah batal adanya, karena ketidak pastian
kompensasi. Seperti, barang siapa yang menemukan mobil saya yang hilang,
maka ia berhak mendapatkan baju. Selain itu, upah yang diperjanjikan itu
bukanlah barang haram, seperti minuman keras.
3) Aktivitas yang akan diberi kompensasi wajib aktivitas yang mubah, bukan
yang haram dan diperbolehkan secara Syar’i. Tidak diperbolehkan menyewa
tenaga paranormal untuk mengeluarkan jin, praktek sihir, atau praktek haram
lainnya. Kaidahnya adalah, setiap asset yang boleh dijadikan sebagai obyek
transaksi dalam akad ji’alah
4) Kompensasi (materi) yang diberikan harus jelas diketahui jenis dan jumlahnya
(ma'lum), di samping tentunya harus halal. Kalau orang yang kehilangan itu
berseru kepada masyarakat umum,” Siapa yang mendapatkan barangku akan
ku beri uang sekian,”. Kemudian dua orang bekerja mencari barang itu, sampai
keduanya mendapatkan barang itu bersama-sama, maka upah yang dijanjikan
tadi berserikat antara keduanya.31

31
Afriani, Afriani, and Ahmad Saepudin. "Implementasi Akad Ju’alah Dalam Lembaga
Keuangan Syariah." EKSISBANK (Ekonomi Syariah dan Bisnis Perbankan) 2.2 (2018): h. 60-61.

24
G. Al-Sharf
1. Pengertian
Al-Sharf secara bahasa berarti al-Ziyadah (tambahan) dan al’adl
(seimbang). Ash-Sharf kadang-kadang dipahami berasal dari kata Sharafa yang
berarti membayar dengan penambahan. Dalam kamus istilah fiqh disebutkan
bahwa Ba’i Sharf adalah menjual mata uang dengan mata uang (emas dengan
emas). Menurut istilah fiqh, Al-Sharf adalah jual beli antara barang sejenis atau
antara barang tidak sejenis secara tunai. Seperti memperjualbelikan emas dengan
emas atau emas dengan perak baik berupa perhiasan maupun mata uang. Praktek
jual beli antar valuta asing (valas), atau penukaran antara mata uang sejenis.
Menurut Heri Sudarsono, Sharf adalah perjanjian jual beli suatu valuta
dengan valuta lainnya. Transaksi jual beli mata uang asing (valuta asing) dapat
dilakukan baik dengan sesama mata uang yang sejenis, misalnya rupiah dengan
rupiah maupun yang tidak sejenis, misalnya rupiah dengan dolar atau sebaliknya.
Menurut Tim Pengembangan Institut Bankir Indonesia, Sharf adalah jasa yang
diberikan oleh bank kepada nasabahnya untuk melakukan transaksi valuta asing
menurut prinsip-prinsip Sharf yang dibenarkan secara syari’ah. Adapun menurut
ulama fiqh Sharf adalah sebagai memperjualbelikan uang dengan uang yang
sejenis maupun tidak sejenis.32

2. Dasar Hukum
Dalam Al-quran tidak ada penjelasan mengenai jual beli sharf itu sendiri,
melainkan hanya menjelaskan dasar hukum jual beli pada umumnya yang terdapat
dalam surat Al-Baqarah ayat 275, yaitu: “Orang-orang yang Makan (mengambil)
riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan
syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu,
adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
32
Fithriana Syarqawie, FIKIH MUAMALAH, (Banjarmasin: IAIAN ANTASARI
PRESS, 2015) h. 55-56.

25
kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
Menurut hadits Fuquha mengatakan bahwa kebolehan praktek al-Sharf
didasarkan pada sejumlah hadis Nabi antara lain pendapat Jumhur yang
diriwayatkan oleh Imam Malik dari Nafi’, dari Abu Sa’id al-Khudri ra, bahwa
Rasulullah SAW bersabda: Artinya: “Dari Abu Said al Khudzriy ra, bahwasanya
Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali
dengan seimbang dan janganlah kamu memberikan sebagainya atas yang lain.
Janganlah kamu menjual perak dengan perak kecuali dengan seimbang, dan
janganlah kamu memberikan sebagainya atas yang lain. Janganlah kamu menjual
dari padanya sesuatu yang tidak ada dengan sesuatu yang tunai (ada)”. (H.
Muttafaq Alaihi).
Hadits diatas menunjukkan bahwa menjual emas dengan emas atau perak
dengan perak itu tidak boleh kecuali sama dengan sama, tidak ada salah satunya
melebih yang lain. Dalam hadits Rasulullah SAW, yaitu: Artinya: “Dari Ubadah
bin Shamith ia berkata bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda: “Emas
dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan biji gandum, jagung centel
dengan jagung centel, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama dengan
sama, tunai dengan tunai, jika berbeda dari macam-macam ini semua maka
jual’lah sekehendakmu apabila dengan tunai.” (HR. Muslim)33

3. Rukun dan Syarat


Dalam pertukaran mata uang asing terdapat beberapa ketentuan, yaitu:
a. Serah terima secara langsung sebelum iftirak (berpisah), maksudnya yaitu
transaksi tukar-menukar dilakukan sebelum kedua belah pihak berpisah. Nilai
tukar ynag diperjual belikan harus dapat dikuasai langsung baik oleh pembeli
maupun penjual sebelum keduanya berpisah. Apabila persyaratan ini tidak
dipenuhi, maka jelas hukumya tidak sah. Namun terdapat beberapa interpretasi
yang berbeda di kalangan ulama mengenai istilah iftarik yaitu,
I. Jumhur ulama seperti ulama Hanafi, Syafi’i dan Hambali sepakat
bahwa yang dimaksud iftarik adalah apabila kedua belah pihak belum

33
Al-Sharf, A. Pengertian. "BAB VI AL–SHARF." FIKIH MUAMALAH: 55.

26
beranjak dari tempa, maka tidak dikatakan iftarik meski dalam waktu
yang lama. Standar iftarik adalah pisah bahan.
II. Sedangkan ulama Maliki berpendapat bahwa iftarik badan bukan
merupakan ukuran sah atau tidaknya suatu transaksi. Yang jadi ukuran
yaitu searah terima harus dilakukan ketika pengucapan ijab dan Kabul
berlangsung. Hal ini menunjukkan bahwa serah terima harus dilakukan
seketika bersamaan dengan ijab Kabul.
b. Al-tamatsul (sama rata atau seimbang nilainya), pertukaran uang yang nilainya
tidak sama rata maka hukumnya haram, syarat ini berlaku pada pertukaran
uang yang satu atau sama jenis. Adapun pertukaran uang yang jenisnya
berbeda, maka dibolehkan. Misalnya, yaitu menukar mata uang dolar Amerika
dengan dolar Amerika, maka nilainya harus sama.
c. Pembayaran dengan tunai (kontan), tidak sah hukumya apabila di dalam
transaksi pertukaran uang terdapat penundaan pembayaran, baik penundaan
tersebut berasal dari satu pihak atau disepakati oleh kedua belah pihak. Syarat
ini terlepas dari apakah pertukaran itu antara mata uang yang sejenia maupun
mata uang yang berbeda.
d. Tidak mengandung akan khiyar syarat (hak opsi), Apabila terdapat khiyar
syarat pada akad al-sharf baik syarat tersebut dari sebelah pihak maupun dari
kedua belah pihak, maka menurut jumhur ulama hukumnya tidak sah. Sebab
salah satu syarat sah transaksi adalah serah terima, sementara khiyar syarat
menjadi kendala untuk kepemilikan sempurna. Hal ini tentunya dapat
mengurangi makna kesempurnaan serah terima. Menurut ulama Hambali, al-
sharf dianggap tetap sah, sedang khiyar syaratnya menjadi sia-sia.34

H. Studi Kasus Keputusan Hakim pada Tingkat Pertama


1. Akibat Hukum Pengalihan Objek Jaminan Fidusia Tanpa Perjanjian Tertulis
2. No. Putusan: Nomor 104/Pid.B/2019/PN Kds
3. Penggugat: PT. Andalan Finance Indonesia Cabang Kudus, ES dan ESI
4. Tergugat: AH

34
Soemitra, Hukum Ekonomi Syariah dan Fiqh Muamalah di Lembaga Keungan dan
Bisnis Kontemporer, (KENCANA: Jakarta, 2019) h. 168.

27
5. Kasus:
Dalam Islam menjelaskan ketentuan akad yang berdasarkan pada rukun
dan syarat. Hal ini berpengaruh pada keberlangsungan over kredit mobil yang
dilakukan terdakwa.Akad yang digunakan menggunakan akad secara tertulis oleh
pihak yang berakad (muhil dan muhal’alaih) menjadi ketentuan dalam transaksi
over kredit mobil oleh terdakwa kepada ES ini tidak memenuhi ketentuan rukun
dan syarat sahnya akad. Hal tersebut dibuktikan dengan ketidakhadiran pihak PT
Andalan Finance Indonesia Cabang Kudus sebagai muhtal, sehingga tidak ada
pernyataan kehendak (shighat) dari PT Andalan Finance Indonesia Cabang Kudus
terhadap transaksi over kredit mobil. Transaksi over kredit dalam pengertian
hawalah adalah pengalihan hutang dari muhil kepada muhal’alaih. Pada kasus
hawalah yang terdapat dalam putusan Nomor 104/Pid.B/2019/PN Kds tidak sesuai
dengan aturan syariat Islam.Karena dalam Islam sendiri, hawalah harus memenuhi
rukun-rukun dan syarat-syarat yang telah ditentukan yaitu dengan adanya muhi
(orang yang berhutang kepada muhtal), muhtal atau muhal (orang yang berpiutang
kepada muhil), muhal’alaih (orang yang menerima hawalah), muhal bih (hutang
muhil kepada muhtal), sighat (ijab-qobul). Pada prakteknya hawalah dalam over
kredit mobil yang dilakukan terdakwa tidak memenuhi rukun yang ada.
Keberadaan pihak-pihak yang berakad dalam satu majelis merupakan salah satu
rukun yang harus dipenuhi. Akan tetapi, ketika akad hawalah berlangsung hanya
kehadiran pihak muhil, muhal’alaih, dan saksi. Dengan tidak mengkonfirmasi atau
memberitahu kepada pihak PT Andalan Finance Indonesia Cabang Kudus selaku
muhtal terkait over kredit. Telah menjadi kesepakatan muhil dan muhal’alaih
yang menganggap bahwa kehadiran pihak PT Andalan Finance Indonesia Cabang
Kudus akan menjadi faktor penghambat transaksi hawalah dalam over kredit
mobil, karena akan banyak pertimbangan– pertimbangan dari PT Andalan Finance
Indonesia Cabang Kudus untuk menyetujui pengalihan hutang atau hawalah
dalam over kredit mobil tersebut.
Dengan begitu, transaksi over kredit mobil yang dilakukan Terdakwa AH
telah melanggar aturan syarat dan rukun hawalah yang telah ditetapkan dalam
hukum Islam dan bertentangan dengan keabsahan akad. Dimana pernyataan ijab
qobul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukan kehendak mereka

28
dalam mengadakan akad untuk menyepakati pengalihan hutang dan memfokuskan
transaksi over kredit hanya dalam akad hawalah. Dengan begitu jelas transaksi
over kredit mobil oleh Terdakwa keluar dari ketetapan yang sudah ada dalam
hukum Islam mengenai hawalah. Akad hawalah dalam transaksi over kredit mobil
mengandung sifat bathil yaitu akad yang tidak memenuhi rukun, syarat, dan
sifatnya, maka akad tersebut menjadi akad fasid atau akad yang tidak sah dalam
waktu yang sama dalam pendapat mayoritas ulama.43 Dengan kata lain,
Terdakwa sudah melakukan wanprestasi dimana Terdakwa sudah melakukan
ingkar janji dan melakukan penipuan terhadap PT Andalan Finance Indonesia
Cabang Kudus dengan tidak memberitahu saat Terdakwa mengalihkan objek
jaminan fidusia kepada pihak lain

6. Putusan Hakim:
Putusan Pengadilan Negeri Kudus No.104/Pid.B/2019/PN Kds mengadili
perkara pidana pada tingkat pertama dengan menjatuhkan putusan atas nama AH
sebagai terdakwa. Terdakwa ditahan dalam Rumah Tahanan Negara di Kudus
oleh Penuntut Umum pada tanggal 16 Juli 2019 sampai tanggal 4 Agustus 2019,
oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kudus tanggal 25 Juli 2019 sampai
tanggal 23 Agustus 2019 dan perpanjangan oleh Ketua Pengadilan Negeri Kudus
sejak tanggal 24 Agustus 2019 sampai tanggal 22 Oktober 2019.
Dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan
Fidusia dijelaskan bahwa Pemberi Fidusia yang mengalihkan, menggadaikan atau
menyewakan benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang dilakukan tanpa
persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.50.000.000,- (lima
puluh juta rupiah)

7. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Perkara Pengalihan Objek


Jaminan Fidusia Dalam Putusan Nomor 104/Pid.B/2019/PN Kds.
Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Kudus Nomor 104/Pid.B/2019/PN
Kds perkara pidana tentang pengalihan objek jaminan fidusia.Terdakwa AH
dinyatakan bersalah dengan adanya bukti-bukti yang ada dan keterangan saksi
yang memberatkan Terdakwa untuk ditahan. Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia disebutkan “Fidusia

29
adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan
ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam
penguasaan pemilik benda”. Sedangkan Pasal 1 ayat (2) dijelaskan “Jaminan
Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang
tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat
dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan
Pemberi Fidusia, sebagai agungan bagi pelunasan utang tertentu, yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap
kreditur lainnya”.
Putusan tersebut tersirat bahwa Terdakwa dalam mengalihkan kredit tidak
sesuai dengan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang
Jaminan Fidusia yaitu “Pemberi Fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan,
atau menyewakan kepada pihak lain benda yang menjadi objek jaminan fidusia
yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis
terlebih dahulu dari Penerima Fidusia”. Terdakwa mengalihkan objek jaminan
fidusia tanpa persetujuan tertulis dari PT Andalan Finance Indonesia Cabang
Kudus.
Dalam kasus tersubut, Hakim Dewantoro menyampaikan bahwa dalam
mengambil putusan Majelis Hakim menggunakan asas lex specialis derogate legi
generali yaitu aturan hukum yang khusus mengesampingkan aturan hukum yang
umum. Dalam kasus tersebut hakim menggunakan Pasal 36 Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Untuk membuktikan Terdakwa
bersalah harus memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam putusan perkara
Nomor 104/Pid.B/2019/PN Kds, unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut:
a. Pemberi fidusia
b. Mengalihkan, menggadaikan atau memyewakan benda yang menjadi
obyek jaminan fidusia yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu
dari penerima fidusia.
Berdasarkan Pasal 1 angka 5 UndangUndang Nomor 42 Tahun 1999
Tentang Jaminan Fidusia dijelaskan yang dimaksud Pemberi Fidusia adalah orang
perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya

30
dijamin dengan Jaminan Fidusia. 20 Berdasarkan surat dakwaan dan dihubungkan
pula dengan keterangan saksi-saksi dan barang bukti dipersidangan, Terdakwa
sebagai orang perseorangan dapat dikategorikan sebagai pemberi fidusia yang
mengikatkan diri dalam perjanjian fidusia, berdasarkan hal tersebut Majelis
Hakim berkeyakinan bahwa yang dimaksud “pemberi fidusia” dalam perkara ini
adalah Terdakwa AH dengan demikian unsure “pemberi fidusia” telah terpenuhi.

31
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
al-kafalah adalah suatu tindak penggabungan tanggungan orang yang
menanggung dengan tanggungan penanggung utama terkait tuntutan yang
berhubungan dengan jiwa, hutang, barang, atau pekerjaan. Secara terminologi,
hiwalah adalah pemindahan beban utang dari muhil (orang yang berutang) kepada
muhal alaih atau orang yang berkewajiban membayar utang (Antonio, 2001).
Jumhur ulama Fiqh mendefinisikannya dengan akad yang menghendaki
pengalihan utang dari tanggung jawab seseorang kepada tanggung jawab orang
lain (Haroen, 2000). Gadai dalam fiqih Islam disebut rahn dimana termasuk suatu
jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan hutang. Menurut
terminologi syara’, rahn berarti Penahanan terhadap suatu barang dengan hak
sehingga dapat dijadikan sebagaipembayaran dari barang tersebut. Menurut ulama
Syafi’iyah rahn adalah Menjadikan suatu benda sebagai jaminan hutang yang
dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar hutang. Menurut
ulama Hanabilah rahn berarti Harta yang dijadikan jaminan hutang sebagai
pembayar harga (nilai) hutang ketika yang berhutang berhalangan (tak mampu)
membayar hutangnya kepada pemberi pinjaman.
Menurut bahasa dan istilah. Secara bahasa wadi’ah ‫ الودیعة‬berarti titipan
atau amanah. Sedangkan menurut istilah fuqaha. Menurut ulama mazhab Hanafi,
wadi’ah adalah “Mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, baik
dengan ungkapan yang jelas maupun melalui isyarat”. Mazhab Syafi’i, Maliki dan
Hanbali (Jumhur Ulama) mendefinisikannya “Mewakilkan orang lain untuk
memelihara harta tertentu dengan cara tertentu”. Wakalah adalah suatu tindakan
menyerahkan atau mewakilkan kuasa dirinya (al-muwakkil) kepada orang lain (al-
wakil) untuk melaksanakan sesuatu atau melakukan tindakan-tindakan yang
merupakan haknya dari jenis pekerjaan yang bisa digantikan (an-naqbalu
anniyabah) dan dapat dilakukan oleh pemberi kuasa, dengan ketentuan pekerjaan
tersebut dilaksanakan pada saat pemberi kuasa masih hidup. Al-ju'alah adalah
pemberian atau upah kepada seseorang karena sesuatu yang dikerjakannya.
Ju‟alah menurut Ibn Rusyd adalah pemberian upah (hadiah) atas sesuatu manfaat

32
yang diduga akan terwujud, seperti mempersyaratkan kesembuhan dari seorang
dokter, atau kemahiran dari seorang guru, satau pencari/menemukan hamba yang
lari. Menurut istilah fiqh, Al-Sharf adalah perjanjian jual beli suatu valuta dengan
valuta lainnya. Transaksi jual beli mata uang asing (valuta asing) dapat dilakukan
baik dengan sesama mata uang yang sejenis, misalnya rupiah dengan rupiah
maupun yang tidak sejenis, Jadi dapat disimpulkan bahwa sharf ialah suatu
kesepakatan dalam transaksi jual beli diantara dua valuta baik yang sejenis
maupun dengan mata uang negara lain.

B. Saran
Semoga dengan hadirnya makalah ini mampu menjadi sarana untuk
menambah pengetahuan seputar al-kafalah, al-hiwalah, alrahn, al-wadiah, al-
wakalah, al-jualah, al-sharf. Walaupun kelak didapati kekurangan di dalam
penulisan makalah ini, itu merupakan pembelajaran bagi kami agar dapat
menghadirkan tulisan yang lebih baik lagi kedepannya. Apabila ada kritik dan
sarannya mohon agar disampaikan sebelum atau sesudah presentasi.

33
DAFTAR PUSTAKA
Rahman, Abdul, dkk. 2022. Fiqh Muamalat, (Jakarta: KENCANA)

Afriani, A., & Saepudin, A. 2018. Implementasi Akad Ju’alah Dalam Lembaga
Keuangan Syariah. EKSISBANK (Ekonomi Syariah dan Bisnis
Perbankan), 2(2), 59-63.

Al-Sharf, A. P. BAB VI AL–SHARF. FIKIH MUAMALAH, 55.

Harun. 2017. Fiqh Muamalah, (Surakarta: Muhammadiyah University Press).

Hidayat, R. 2022. FIKIH MUAMALAH Teori dan Prinsip Hukum Ekonomi


Syariah, (Medan: Tungga Esti)

Kartika, R. F. 2016. Jaminan Dalam Pembiayaan Syariah (Kafalah Dan


Rahn). Kordinat: Jurnal Komunikasi antar Perguruan Tinggi Agama
Islam, 15(2), 229-252.

Lutfi, M. 2020. Penerapan Akad Wadiah di Perbankan Syariah. Madani


Syari'ah, 3(2), 132-146.

Nizaruddin, N. 2013. Hiwalah dan Aplikasinya dalam Lembaga Keuangan


Syari'ah. Adzkiya: Jurnal Hukum dan Ekonomi Syariah, 1(2).

Nurazizah, N. E. 2020. Implementasi Akad Hiwalah dalam Hukum Ekonomi


Islam di Perbankan Syariah. TAFAQQUH: Jurnal Hukum Ekonomi
Syariah Dan Ahwal Syahsiyah, 5(2), 59-74.

Pasaribu, Chairuman, & Suhrawardi. 1994. Hukum Perjanjian dalam Islam,


(Jakarta: SINAR GRAFIKA)

Soemitra, A. 2019. Hukum Ekonomi Syariah dan Fiqh Muamalah di Lembaga


Keungan dan Bisnis Kontemporer, (KENCANA: Jakarta)

Syaikhu, dkk. 2020. Fiqh Muamalah Memahami Konsep dan Dialektika


Kontemporer. (Yogyakarta: K- Media)

Syarqawie, Fithriana. 2015. FIKIH MUAMALAH, (Banjarmasin: IAIAN


ANTASARI PRESS)

34

Anda mungkin juga menyukai