Fiqh Muamalah Kelompok 9 Revisi
Fiqh Muamalah Kelompok 9 Revisi
TERHADAP IHTIKAR
Diajukan Sebagai Tugas Terstruktur Pada Mata Kuliah Fiqh Muamalah
Dosen Pengampu : USWATUN HASANAH, M.H.I
DISUSUN OLEH :
HUKUM PIDANA ISLAM III A
KELOMPOK 9
BIMA ILMAN MIRAZHA HASIBUAN (0205211008)
SABILAH WIDYANTI (0205211025)
ZULFARHAN IBRAHIM HARAHAP (0205213048)
Rahmad, Taufik Serta Hidayahnya sehingga kami masih di beri kesempatan untuk
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Dosen Pembibing kami yang
telah memberikan arahan kepada kami sehingga kami dapat menerapkan semua
yang telah di ajarkan beliau guna untuk menyempurnakan Makalah yang kami
selesaikan ini.
Ucapan terimakasih juga tak lupa saya sampaikan kepada teman-tema yang
telah berjuang dengan keras untuk menyelsaikan makalah ini. Semoga makalah
kami ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca pada umunya.
Kami menyadari bahwa makalah yang kami selesaikan ini masih banyak
sekali kekuranganya sehingga kami masih memerlukan kritik dan saran yang
KELOMPOK 9
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................ii
DAFTAR ISI...............................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................1
C. Tujuan Masalah................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN............................................................................2
A. Pengertian Ihtikar.............................................................................2
B. Syarat Syarat Ihtikar.........................................................................3
C. Dasar Hukum Ihtikar........................................................................4
1. Al Quran.....................................................................................4
2. Hadist.........................................................................................5
3. Pendapat Beberapa Ulama Fuqaha............................................6
D. Jenis Produk Ihtikar.........................................................................7
E. Campur Tangan Pemerintah Terhadap Pemerintah.........................10
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................15
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mu’amalah adalah satu aspek dari ajaran yang telah melahirkan peradaban
Islam yang maju di masa lalu. Mu’amalah merupakan satu bagian dari syari’at
Islam, yaitu yang mengatur kehidupan manusia dalam hubungan dengan manusia,
masyarakat dan alam. Karena mu’amalah merupakan aspek dari ajaran Islam,
maka ia juga mengandung aspek teologis dan spiritual.
Dalam Islam, konsep Mu’amalah juga diatur baik secara langsung oleh
Allah dalam Alquran, atau diatur oleh Rasulullah dalam kehidupan praktis, atau
atas ijtihad para ulama atas sistem ekonomi yang sesuai dengan kondisi
perkembangan masyarakat. Secara garis besar, persoalan ekonomi terdiri atas tiga
hal, yaitu kepemilikan (property), tasharruf (pengelolaan), dan distribusi
kekayaan. Ketiga hal ini dalam Islam diatur secara ketat dan memiliki beberapa
prinsip yang dapat membedakan dengan konsep ekonomi yang lain. Perbedaan
utama yang harus dipegang dalam sistem ekonomi Islam adanya transendensi
dalam setiap menjalankan ketiga kaidah tersebut. Kegiatan ekonomi yang dilarang
agama ini, sebenarnya secara ekonomis sangat menguntungkan bagi pelakunya,
akan tetapi juga dapat merugikan pihak yang lain.
1.2.Rumusan Masalah
1. Pengertian Ihtikar?
2. Dasar Hukum Ihtikar?
3. Jenis Barang Yang Haram Ditimbun?
4. Peran Pemerintah Terhadap Ihtikar?
1.3.Tujuan Masalah
1. Memahami Pengertian Ihtikar
2. Mengetahui Dasar Hukum Ihtikar
3. Mengetahui Jenis Barang Yang Haram Ditimbun
4. Mengetahui Peran Pemerintah Terhadap Ihtikar
iv
BAB II
PEMBAHASAN
1
Muhammmad Ismail Yusanto, Menggagas Bisnis Islami, (Jakarta: GIP, 2016), hlmn.17
2
JurnalDidik Kusno Aji, “Konsep Monopoli Dalam Tinjauan Ekonomi Islam”, Jurnal Hukum dan
Ekonomi Syariah Vol. I No.1, 13 Desember 2013, 48
v
Ada juga beberapa artikel dan jurnal yang menjelaskan makna ihtikar secara
universal yakni diantaranya Menurut Syaikh Abdurrahman dalam Mirza dan
Qudsi menjelaskan terdapat terdepat beberapa definisi yang diberikan oleh ulama
tentang ihtikâr adalah:
(1) Muhammad bin Ali Syaukani, mendefinisikan ihtikar sebagai penimbunan
atau penahanan barang dagangan dari peredarannya
(2) Muhammad bin Muhammad Ghazali, mendefinisikan ihtikar sebagai
penyimpanan barang dagangan oleh penjual makanan, untuk menunggu
melonjaknya harga, dan penjualannya dilakukan, ketika harga naik, dan
(3) Ulama mazhab Maliki, menyatakan bahwa ihtikar adalah penyimpanan
barang oleh produsen baik makanan, pakaian, dan segala jenis barang yang
dibutuhkan masyarakat luas, karena dapat berpotensi merusak pasar.
Dari ketiga definisi tersebut, ihtikar memiliki beberapa persamaan yaitu
adanya upaya pedagang untuk menimbun barang dagangan, agar langka
dipasaran, kemudian hendak dijual pada saat harga barang tersebut melonjak naik.
vi
pedagang bertentangan dengan syara’ maka barang tersebut menjadi haram seperti
halnya penimbunan barang yang banyak dilakukan oleh para pedagang di pasar
yang dapat merugikan orang banyak.
Dasar hukum yang digunakan para ulama fiqh yang tidak membolehkan
adanya ihtikaar adalah kandungan nilai-nilai universal Al-Quran yang menyatakan
bahwa setiap perbuatan aniaya termasuk didalamnya ihtikar diharamkan oleh
agama Islam.
1. Al-Qur’an
ۚ َّمٓاَأَفٓاَء ٱلَّلُهَع َلٰى َر ُسوِلِهۦِم ْن َأْه ٱِلْلُقَر ٰى َفِلَّلِه َو ِللَّر ُسوِلَو ِلِذىٱْلُقْر َب ٰى َو ٱْلَي َٰت َم ٰى َو ٱْلَم َٰس ِكيِنَو ٱْبِنٱلَّس ِبيِلَك ْى اَل َي ُك وَنُد وَلًۢة َب ْي َن ٱَأْلْغ ِنَي ٓاِء ِمنُك ْم
َو َم ٓاَء اَت ٰى ُك ُمٱلَّر ُسوُلَفُخ ُذ وُه َو َم اَن َه ٰى ُك ْم َع ْن ُهَفٱنَت ُهو۟ا ۚ َو ٱَّتُقو۟ا ٱَهَّللۖ ِإَّن ٱلَّلَه َش ِديُد ٱْلِع َقاِب
Artinya : “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-
Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk
Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara
orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu,
maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya".(Q.S
Al-Hasyr:7)4
ِۚإَّن ٱَّلِذ يَنَكَفُرو۟ا َو َي ُصُّد وَن َع نَس ِبيٱِللَّلِه َو ٱْلَم ْس ِجِدٱْلَح َر اِم ٱَّلِذىَج َع ْلَٰن ُهِللَّن اِس َس َو ٓاًءٱْلَٰع ِك ُفِفيِه َو ٱْلَب اِد
َأ
َو َم نُي ِر ْد ِفيِهِبِإْلَح اٍۭد ِبُظْلٍم ُّن ِذ ْق ُهِم ْن َع َذ اٍب ِليٍم
Artinya : "Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi manusia dari
jalan Allah dan Masjidil haram yang telah Kami jadikan untuk semua manusia,
baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir dan siapa yang bermaksud di
4
Nikmatul Masruroh, Larangan Ihtikar Di Indonesia (Studi tentang Efektifitas UU Anti Monopoli
di Indonesia), IAIN Jember, tahun 2015
vii
dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan
kepadanya sebahagian siksa yang pedih".(Q.S Al-Hajj: 25)
Ayat ini menjelaskan bahwa ihtikar adalah haram. Karena ihtikar adalah
perbuatan zalim dan aniaya. Dan berbuat zalim adalah dilarang. Perbuatan zalim
jika dilakukan akan menyebabkan seseorang mendapat siksa yang pedih. Orang
yang mendapat siksa yang pedih adalah karena melakukan hal yang dilarang.
Maka dari itu ihtikar adalah haram. Ulama mengatakan pada dasarnya bahwa ayat
di atas di sebagian maknanya berfungsi untuk mengharamkan ihtikar.
2. Hadits
َع ْن َس ِعْيُدْب ُن اْلُمَسَّي ِبُيَح َّد ُث َأَّن َم ْع َم ًر اَقَلَر ُسواُل لَّّلُهَص َّلىالَّلُهَع َلْي ِه َو َس َّلَمَم ِناْح َت ْك َر َفُهَو َخ ِط ٌئ
Menimbun yang diharamkan menurut para ulama fiqh bila memenuhi tiga
kriteria sebagai berikut :
5
Rachmat Syafe’I, fiqh Muamalah (Bandug CV Pustaka Setia, 2001), hlm.151
viii
a. Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya dan kebutuhan keluarga untuk
masa satu tahun penuh. seseorang boleh menyimpan barang untuk keperluan
kurang dari satu tahun sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah SAW.
b. Menimbun untuk dijual, kemudian pada waktu harganya melambung tinggi dan
kebutuhan rakyat sudah mendesak baru dijual sehingga terpaksa rakyat
membelinya dengan harga mahal.
c. Yang ditimbun ialah kebutuhan pokok rakyat seperti pangan, sandang dan lain
lain. Apabila bahan-bahan lainnya ada di tangan banyak pedagang, tetapi tidak
termasuk bahan pokok kebutuhan rakyat dan tidak merugikan rakyat maka itu
tidak termasuk menimbun.
3. Menurut Ulama Syafi’i ihtikar hukumnya haram, berdasarkan hadist Nabi dan
ayat al-Qur’an yang melarangnya melakukan ihtikar.
ix
5. Boleh ihtikar secara mutlak, mereka menjadikan Hadits-Hadits Nabi Muhammad
SAW yang memerintahkan orang yang membeli bahan makanan untuk
membawanya ke tempat tinggalnya terlebih dahulu sebelum menjualnya kembali
sebagai dalil dibolehkahnya ihtikar.6
Dalam masalah ini para fuqaha berbeda pendapat mengenai dua hal, yaitu
jenis barang yang diharamkan menimbun dan waktu yang diharamkan orang
menimbun. Para ulama berbeda pendapat mengenai objek yang ditimbun yaitu :
6
Rachmat Syafe’I, fiqh Muamalah (Bandug CV Pustaka Setia, 2001), hlm.157
7
Ahmad Wardi Muslich, fiqh Muamalah (Jakarta: Amzah, 2010, hlm. 273
x
pakaian dan hewan, tetapi meliputi seluruh produk yang dibutuhkan oleh
masyarakat. menurutnya, yang menjadi, ilat (motivasi hukum) dalam larangan
melakukan ihtikar tersebut adalah kemudaratan yang menimpa orang banyak.
Oleh karena itu kemudaratan yang menimpa orang banyak tidak hanya terbatas
pada makanan, pakaian dan hewan, tetapi mencakup seluruh produk yang
dibutuhkan orang banyak.8
8
Suhrawardi K. Lubis dan Farid Wajdi, Ihtikar Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 22.
9
Ahmad Wardi Muslich, fiqh Muamalah (Jakarta: Amzah, 2010, hlm. 273.
10
Ibid., hlm. 274
xi
seperti roti dan nasi atau beras tanpa minyak dan lauk pauk. Sehingga keju,
minyak zaitun, madu, biji-bijian dan sejenisnya dianggap diluar katagori makanan
pokok. Apa yang mereka sebutkan sebagai makanan pokok itu menurut ilmu
pengetahuan modern tidak cukup untuk menjadi makanan sehat bagi manusia
sebab untuk menjadi makanan sehat haruslah memenuhi sejumlah unsur pokok
seperti protein, zat lemak, dan vitamin. Jika tidak begitu maka manusia akan
menjadi sasaran penyakit karena kondisi makanan yang buruk.11
11
Ahmad Wardi Muslich, fiqh Muamalah (Jakarta: Amzah, 2010, hlm. 275
12
Ibid., hlm. 277
xii
orang ataupun dari negara lain. Negara juga wajib memberikan jaminan sosial
agar seluruh masyarakat dapat hidup secara layak. Oleh karena itu, adalah wajar
apabila negara Indonesia dalam dalam UU dasar 1945 menyatakan :
2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Jenis kepemilikan umum adalah benda yang dimiliki bersama dan mereka
semua saling membutuhkan atas benda tersebut. Benda ini ada tiga macam yaitu,
merupakan fasilitias umum, bahan tambang yang tidak terbatas dan sumber daya
alam yang sifat pembetukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu.
Barang-barang milik umum ini mutlak diperlukan manusia dalam kehidupan
sehari-hari, seperti air, api, minyak dan gas bumi, padang rumput atau hutan. 14
Sedangkan milik negara adalah harta yang menjadi milik seluruh kaum
muslimin, sedangkan yang mengelola adalah menjadi kewajiban aparat
pemerintah. Harta ini misalnya harta rampasan perang, jizyah (pajak) dan di
dalam termasuk juga air, udara, api yang menjadi umum, akan tetapi negara
berhak mengatur regulasinya. Oleh karena itu adalah menjadi wewenang negara
13
Mardani, Hukum Sistem Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), hlm 231-232
14
Muhammmad Ismail Yusanto, Ihtikar Dalam Konsep Syariah, (Jakarta: GIP, 2016), 17.
xiii
untuk membuat peraturan yang ketat bagi penimbun untuk kepentingan bersama.
Hal ini juga berkaitan dengan kaidah :
Dengan adanya hisbah ini, maka akan menjadikan pasar beroperasi dengan
dengan bebas dan dapat harga, gaji, dan keuntungan yang ditentukan oleh
kekuatan suply dan demand, tetapi pada saat yang sama juga menjamin bahwa
semua pranata ekonomi telah melaksanakan seluruh kewajibannya dan telah
mematuhi aturan sariat. Seluruh tindakan dan pencegahan dapat dilakukan untuk
xiv
menjamin tidak adanya kecurangan, penipuan dan berbagai praktek lainnya yang
dapat merusak sistem pasar.15
xv
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.” Dan pasal 47 dan 48 UU Tahun
1999 disebutkan, apabila terjadi pelanggaran terhadap undang- undang tersebut
maka pemerintah dapat mengenakan sanksi bagi pelakunya, baik sanksi
administrasi (penggagalan perjanjian atau denda serendah rendahnya)
Rp.1.000.000000,00 dan setinggi-tingginya Rp.25.000.000.000,00
Rp.1.000.000.000,00 dan sanksi berupa kurungan minimal 3 bulan sampai 6
bulan16
BAB III
PENUTUP
16
Johnny Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha : Filosofi, Teori, dan Implikasi Penerapannya di
Indonesia, (Malang: Bayumedia, 2009), 44.
xvi
KESIMPULAN
Ihtikar merupakan sesuatu yang harus dicegah dalam sistem pasar. Oleh
karena itu, pemerintah harus menjaga sistem pasar yang di dalamnya termasuk
melarang ihtikar bagi pelaku pasar. Dengan begitu, sistem pasar akan berjalan
dengan baik dan sistem ekonomi dapat bergerak dengan laju yang normal dan
penuh keadilan. Untuk menumbuhkan sistem ini, maka para pelaku pasar dan
pengawas pasar harus mendasarkan diri pada agama atau adanya kepercayaan dan
menjalankan semua aturan agama. Dengan begitu, semua sistem yang berkaitan
dengan pasar akan berjalan dan mencapai kebaikan puncak, serta maqashih
syariah dan mashlahah ibad akan tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
xvii
Mardani, Hukum Bisnis Syari’ah, h. 113.
Ibid. dan Asmuni Muhammad Thahir.” al- milkiyat waduruha fi Tanmiyat al-
iqtisad al-islami”, dalam Millah Jurnal Studi Agama Vol.II, No. 2, Januari 2002.
Yogyakarta: Program Magister Studi Islam UII, hlm.85-106.
Sulistiawati, & Ahmad, F. (2017). Konsep Kepemilikan Dalam Islam (Studi Atas
Pemikiran Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani). Jurnal Syari’ah, V(2), 23-52.
Tim Redaksi. Ensiklopedi Hukum Islam ( Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
1997), IV:1178
xviii