Anda di halaman 1dari 18

IHTIKAR DAN KEPEDULIAN PEMERINTAH

TERHADAP IHTIKAR
Diajukan Sebagai Tugas Terstruktur Pada Mata Kuliah Fiqh Muamalah
Dosen Pengampu : USWATUN HASANAH, M.H.I

DISUSUN OLEH :
HUKUM PIDANA ISLAM III A

KELOMPOK 9
BIMA ILMAN MIRAZHA HASIBUAN (0205211008)
SABILAH WIDYANTI (0205211025)
ZULFARHAN IBRAHIM HARAHAP (0205213048)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
T.A.2022/2023
KATA PENGANTAR
‫ِبْس ِم اِهلل الَّرمْح ِن الَّر ِح ْيِم‬
Rasa syukur kami ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan

Rahmad, Taufik Serta Hidayahnya sehingga kami masih di beri kesempatan untuk

menyelesaikan Makalah yang berjudul “Ihtikar Dan Kepedulian Pemerintah

Terhadap Ihtikar” dengan lancar tanpa ada kesulitan sedikitpun.

Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Dosen Pembibing kami yang

telah memberikan arahan kepada kami sehingga kami dapat menerapkan semua

yang telah di ajarkan beliau guna untuk menyempurnakan Makalah yang kami

selesaikan ini.

Ucapan terimakasih juga tak lupa saya sampaikan kepada teman-tema yang

telah berjuang dengan keras untuk menyelsaikan makalah ini. Semoga makalah

kami ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi pembaca pada umunya.

Kami menyadari bahwa makalah yang kami selesaikan ini masih banyak

sekali kekuranganya sehingga kami masih memerlukan kritik dan saran yang

membangun guna untuk memperbaiki makalah selanjutnya

MEDAN, 14 SEPTEMBER 2022

KELOMPOK 9

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................ii
DAFTAR ISI...............................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN...........................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................1
C. Tujuan Masalah................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN............................................................................2
A. Pengertian Ihtikar.............................................................................2
B. Syarat Syarat Ihtikar.........................................................................3
C. Dasar Hukum Ihtikar........................................................................4
1. Al Quran.....................................................................................4
2. Hadist.........................................................................................5
3. Pendapat Beberapa Ulama Fuqaha............................................6
D. Jenis Produk Ihtikar.........................................................................7
E. Campur Tangan Pemerintah Terhadap Pemerintah.........................10

BAB III PENUTUP...................................................................................14


Kesimpulan.................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................15

iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mu’amalah adalah satu aspek dari ajaran yang telah melahirkan peradaban
Islam yang maju di masa lalu. Mu’amalah merupakan satu bagian dari syari’at
Islam, yaitu yang mengatur kehidupan manusia dalam hubungan dengan manusia,
masyarakat dan alam. Karena mu’amalah merupakan aspek dari ajaran Islam,
maka ia juga mengandung aspek teologis dan spiritual.
Dalam Islam, konsep Mu’amalah juga diatur baik secara langsung oleh
Allah dalam Alquran, atau diatur oleh Rasulullah dalam kehidupan praktis, atau
atas ijtihad para ulama atas sistem ekonomi yang sesuai dengan kondisi
perkembangan masyarakat. Secara garis besar, persoalan ekonomi terdiri atas tiga
hal, yaitu kepemilikan (property), tasharruf (pengelolaan), dan distribusi
kekayaan. Ketiga hal ini dalam Islam diatur secara ketat dan memiliki beberapa
prinsip yang dapat membedakan dengan konsep ekonomi yang lain. Perbedaan
utama yang harus dipegang dalam sistem ekonomi Islam adanya transendensi
dalam setiap menjalankan ketiga kaidah tersebut. Kegiatan ekonomi yang dilarang
agama ini, sebenarnya secara ekonomis sangat menguntungkan bagi pelakunya,
akan tetapi juga dapat merugikan pihak yang lain.

1.2.Rumusan Masalah
1. Pengertian Ihtikar?
2. Dasar Hukum Ihtikar?
3. Jenis Barang Yang Haram Ditimbun?
4. Peran Pemerintah Terhadap Ihtikar?

1.3.Tujuan Masalah
1. Memahami Pengertian Ihtikar
2. Mengetahui Dasar Hukum Ihtikar
3. Mengetahui Jenis Barang Yang Haram Ditimbun
4. Mengetahui Peran Pemerintah Terhadap Ihtikar

iv
BAB II
PEMBAHASAN

1. IHTIKAR (PENIMBUNAN BARANG)


A. Pengertian Ihtikar
Ihtikar berasal dari bentuk kata mashdar, sedangkan bentuk kata madhinya
dapat dibaca hakira atau hakara, ihtakara, yahtakiru, ihtikar, yang mengacu pada
makna menahan atau merusak pergaulan, kata ini berarti upaya penimbunan
barang dagangan untuk menunggu melonjaknya harga.1
Sementara itu Ibn Manzhur mengartikan kata hakara dengan menyimpan
makanan untuk diamankan. Sedangkan ihtikar adalah mengumpulkan makanan
dan barang yang dapat dimakan lainnya kemudian ditahan untuk menunggu waktu
naiknya harga. Ibn Manzhur juga mengutip pendapat ibn Sayyidah yang
menyatakan bahwa ihtikar adalah mengumpulkan makanan dan barang lain yang
dapat dimakan, kemudian menahannya sampai pada waktu ada kesulitan untuk
mencari bahan tersebut.
Umar bin Khattab, salah satu sahabat Rasulullah SAW, menyatakan ihtikar ini
tidak hanya sebatas menimbun barang, akan tetapi tidak menjual barang yang ada
di pasar atau menjual dengan harga yang melebihi harga pasar setempat.
Misalnya, apabila ada orang mempunyai barang dagangan di pasar dan tidak
menjual dengan harga layak, akan tetapi ia mau menjual dengan harga yang
sangat tinggi, maka perbuatan seperti itu sudah dikatakan ihtikar. Umar juga
menyatakan bahwa ihtikar tidak hanya berlaku pada makanan pokok dan hewan
ternak, akan tetapi juga pada setiap barang yang menyebabkan manusia menjadi
susah karena kelangkaan barang tersebut, seperti pakaian, minyak tanah dan lain
sebagainya. Sedangkan batasan dianggap meresahkan adalah meresahkan bagi
orang miskin, anak yatim dan para janda.2

1
Muhammmad Ismail Yusanto, Menggagas Bisnis Islami, (Jakarta: GIP, 2016), hlmn.17
2
JurnalDidik Kusno Aji, “Konsep Monopoli Dalam Tinjauan Ekonomi Islam”, Jurnal Hukum dan
Ekonomi Syariah Vol. I No.1, 13 Desember 2013, 48

v
Ada juga beberapa artikel dan jurnal yang menjelaskan makna ihtikar secara
universal yakni diantaranya Menurut Syaikh Abdurrahman dalam Mirza dan
Qudsi menjelaskan terdapat terdepat beberapa definisi yang diberikan oleh ulama
tentang ihtikâr adalah:
(1) Muhammad bin Ali Syaukani, mendefinisikan ihtikar sebagai penimbunan
atau penahanan barang dagangan dari peredarannya
(2) Muhammad bin Muhammad Ghazali, mendefinisikan ihtikar sebagai
penyimpanan barang dagangan oleh penjual makanan, untuk menunggu
melonjaknya harga, dan penjualannya dilakukan, ketika harga naik, dan
(3) Ulama mazhab Maliki, menyatakan bahwa ihtikar adalah penyimpanan
barang oleh produsen baik makanan, pakaian, dan segala jenis barang yang
dibutuhkan masyarakat luas, karena dapat berpotensi merusak pasar.
Dari ketiga definisi tersebut, ihtikar memiliki beberapa persamaan yaitu
adanya upaya pedagang untuk menimbun barang dagangan, agar langka
dipasaran, kemudian hendak dijual pada saat harga barang tersebut melonjak naik.

B. Syarat Syarat Ihtikar

1. Mengupayakan adanya kelangkaan barang dengan cara menimbun

2. menjual dengan harga yang tinggi daripada sebelumnya

3. mengambil keuntungan yang lebih tinggi daripada sebelumnya3

C. Dasar Hukum Ihtikar


Menurut prinsip hukum Islam, barang apa saja yang dihalalkan oleh Allah
SWT untuk memilikinya, maka halal pula untuk dijadikan sebagai obyek
perdagangan. Demikian pula segala bentuk yang diharamkan untuk memilikinya
maka haram pula untuk memperdagangkannya. Namun terdapat ketentuan hukum
Islam yang menyatakan bahwa pada dasar nya barang tersebut halal menurut
ketentuan hukum Islam, akan tetapi karena sikap dan perbuatan para pelaku atau
3
Nikmatul Masruroh, Larangan Ihtikar Di Indonesia (Studi tentang Efektifitas UU Anti Monopoli
di Indonesia), IAIN Jember, tahun 2015

vi
pedagang bertentangan dengan syara’ maka barang tersebut menjadi haram seperti
halnya penimbunan barang yang banyak dilakukan oleh para pedagang di pasar
yang dapat merugikan orang banyak.

Dasar hukum yang digunakan para ulama fiqh yang tidak membolehkan
adanya ihtikaar adalah kandungan nilai-nilai universal Al-Quran yang menyatakan
bahwa setiap perbuatan aniaya termasuk didalamnya ihtikar diharamkan oleh
agama Islam.

1. Al-Qur’an

a. Q.S Al-Hasyr Ayat 7

ۚ ‫َّمٓاَأَفٓاَء ٱلَّلُهَع َلٰى َر ُسوِلِهۦِم ْن َأْه ٱِلْلُقَر ٰى َفِلَّلِه َو ِللَّر ُسوِلَو ِلِذىٱْلُقْر َب ٰى َو ٱْلَي َٰت َم ٰى َو ٱْلَم َٰس ِكيِنَو ٱْبِنٱلَّس ِبيِلَك ْى اَل َي ُك وَنُد وَلًۢة َب ْي َن ٱَأْلْغ ِنَي ٓاِء ِمنُك ْم‬
‫َو َم ٓاَء اَت ٰى ُك ُمٱلَّر ُسوُلَفُخ ُذ وُه َو َم اَن َه ٰى ُك ْم َع ْن ُهَفٱنَت ُهو۟ا ۚ َو ٱَّتُقو۟ا ٱَهَّللۖ ِإَّن ٱلَّلَه َش ِديُد ٱْلِع َقاِب‬
Artinya : “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-
Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk
Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara
orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu,
maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya".(Q.S
Al-Hasyr:7)4

b. Q.S Al-Hajj Ayat 25

ۚ‫ِإَّن ٱَّلِذ يَنَكَفُرو۟ا َو َي ُصُّد وَن َع نَس ِبيٱِللَّلِه َو ٱْلَم ْس ِجِدٱْلَح َر اِم ٱَّلِذىَج َع ْلَٰن ُهِللَّن اِس َس َو ٓاًءٱْلَٰع ِك ُفِفيِه َو ٱْلَب اِد‬
‫َأ‬
‫َو َم نُي ِر ْد ِفيِهِبِإْلَح اٍۭد ِبُظْلٍم ُّن ِذ ْق ُهِم ْن َع َذ اٍب ِليٍم‬
Artinya : "Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi manusia dari
jalan Allah dan Masjidil haram yang telah Kami jadikan untuk semua manusia,
baik yang bermukim di situ maupun di padang pasir dan siapa yang bermaksud di

4
Nikmatul Masruroh, Larangan Ihtikar Di Indonesia (Studi tentang Efektifitas UU Anti Monopoli
di Indonesia), IAIN Jember, tahun 2015

vii
dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan
kepadanya sebahagian siksa yang pedih".(Q.S Al-Hajj: 25)

Ayat ini menjelaskan bahwa ihtikar adalah haram. Karena ihtikar adalah
perbuatan zalim dan aniaya. Dan berbuat zalim adalah dilarang. Perbuatan zalim
jika dilakukan akan menyebabkan seseorang mendapat siksa yang pedih. Orang
yang mendapat siksa yang pedih adalah karena melakukan hal yang dilarang.
Maka dari itu ihtikar adalah haram. Ulama mengatakan pada dasarnya bahwa ayat
di atas di sebagian maknanya berfungsi untuk mengharamkan ihtikar.

2. Hadits

‫َع ْن َس ِعْيُدْب ُن اْلُمَسَّي ِبُيَح َّد ُث َأَّن َم ْع َم ًر اَقَلَر ُسواُل لَّّلُهَص َّلىالَّلُهَع َلْي ِه َو َس َّلَمَم ِناْح َت ْك َر َفُهَو َخ ِط ٌئ‬

Dari Sa'id bin Musayyab ia meriwayatkan : Bahwa Ma'mar, ia berkata,


"Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa menimbun barang, maka ia berdosa',"
(HR Muslim).5

3. Pendapat Beberapa Ulama Fuqaha

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum ihtikar. Diantara perbedaan


hukum ihtikar tersebut adalah sebagai berikut:

1. Menurut Ulama Maliki ihtikar hukumnya haram secara mutlak (tidak


dikhususkan bahan makanan saja), hal ini didasari oleh sabda Nabi SAW:
Artinya: “Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa”. (HR. Muslim).

Menimbun yang diharamkan menurut para ulama fiqh bila memenuhi tiga
kriteria sebagai berikut :

5
Rachmat Syafe’I, fiqh Muamalah (Bandug CV Pustaka Setia, 2001), hlm.151

viii
a. Barang yang ditimbun melebihi kebutuhannya dan kebutuhan keluarga untuk
masa satu tahun penuh. seseorang boleh menyimpan barang untuk keperluan
kurang dari satu tahun sebagaimana pernah dilakukan Rasulullah SAW.
b. Menimbun untuk dijual, kemudian pada waktu harganya melambung tinggi dan
kebutuhan rakyat sudah mendesak baru dijual sehingga terpaksa rakyat
membelinya dengan harga mahal.
c. Yang ditimbun ialah kebutuhan pokok rakyat seperti pangan, sandang dan lain
lain. Apabila bahan-bahan lainnya ada di tangan banyak pedagang, tetapi tidak
termasuk bahan pokok kebutuhan rakyat dan tidak merugikan rakyat maka itu
tidak termasuk menimbun.

2. Mazhab Hanafi secara umum berpendapat, ihtikar hukumnya makruh


tahrim. Makruh tahrim adalah istilah hukum haram dari kalangan usul fiqh
Mazhab Hanafi yang didasarkan pada dalil zhanni (bersifat relatif). Dalam
persoalan ihtikar, menurut Mazhab ini, larangan secara tegas hanya muncul dari
hadits hadits yang bersifat ahad (hadits yang diriwayatkan satu, dua, atau tiga
orang dan tidak sampai ke tingkat mutawatir). Adapun derajat hujah hadits ahad
adalah zhanni. Sementara kaidah umum yang qath’i (pasti) adalah setiap orang
bebas membeli dan menjual barang dagangannya tanpa campur tangan orang lain.
Menjual barang atau tidak adalah masalah pribadi seseorang. Ulama Mazhab
Hanafi tidak secara tegas menyatakan haram dalam menetapkan hukum ihtikar
karena dalam masalah ini terdapat dua dalil yang bertentangan, yaitu berdasarkan
hak milik yang dimiliki pedagang, mereka bebas melakukan jual beli sesuai
kehendak mereka dan adanya larangan berbuat mudharat kepada orang lain dalam
bentuk apa pun.

3. Menurut Ulama Syafi’i ihtikar hukumnya haram, berdasarkan hadist Nabi dan
ayat al-Qur’an yang melarangnya melakukan ihtikar.

4. Ulama Mazhab Hambali juga mengatakan ihtikar diharamkan syariat karena


membawa mudharat yang besar terhadap masyarakat dan negara, karena Nabi
SAW telah melarang melakukan ihtikar terhadap kebutuhan manusia.

ix
5. Boleh ihtikar secara mutlak, mereka menjadikan Hadits-Hadits Nabi Muhammad
SAW yang memerintahkan orang yang membeli bahan makanan untuk
membawanya ke tempat tinggalnya terlebih dahulu sebelum menjualnya kembali
sebagai dalil dibolehkahnya ihtikar.6

D. Jenis/Produk Barang Yang Haram Ditimbun.

Dalam masalah ini para fuqaha berbeda pendapat mengenai dua hal, yaitu
jenis barang yang diharamkan menimbun dan waktu yang diharamkan orang
menimbun. Para ulama berbeda pendapat mengenai objek yang ditimbun yaitu :

1.Kelompok yang pertama mendefinisikan ihtikar sebagai penimbunan yang


hanya terbatas pada bahan makanan pokok (primer) saja.

2.Kelompok yang kedua mendefinisikan ihtikar yaitu menimbun segala barang-


barang keperluan manusia baik primer maupun sekunder.

Kelompok ulama yang mendefinisikan ihtikar terbatas pada makanan


pokok antaranya Imam Al-Gazali (ahli fikih Mazhab Asy-Syafi’i), sebagian
Mazhab Hambali dimana beliau berpendapat bahwa yang dimaksud al-Ihtikar
hanyalah terbatas pada bahan makanan pokok saja sedangkan selain bahan
makanan pokok (sekunder) seperti, obat-obatan, jamu-jamuan, dan sebagainya
tidak termasuk objek yang dilarangan dalam penimbunan barang walaupun sama-
sama barang yang bisa dimakan karena yang dilarang dalam nash hanyalah dalam
bentuk makanan saja. Menurut beliau masalah ihtikar adalah menyangkut
kebebasan pemilik barang untuk menjual barangnya. Maka larangan itu harus
terbatas pada apa yang ditunjuk oleh nash.7

Sedangkan kelompok ulama yang mendefinisikan ihtikar secara luas dan


umum diantaranya adalah Imam Abu Yusuf (ahli fikih Mazhab Hanafi), Mazhab
Maliki berpendapat bahwa larangan ihtikar tidak hanya terbatas pada makanan,

6
Rachmat Syafe’I, fiqh Muamalah (Bandug CV Pustaka Setia, 2001), hlm.157
7
Ahmad Wardi Muslich, fiqh Muamalah (Jakarta: Amzah, 2010, hlm. 273

x
pakaian dan hewan, tetapi meliputi seluruh produk yang dibutuhkan oleh
masyarakat. menurutnya, yang menjadi, ilat (motivasi hukum) dalam larangan
melakukan ihtikar tersebut adalah kemudaratan yang menimpa orang banyak.
Oleh karena itu kemudaratan yang menimpa orang banyak tidak hanya terbatas
pada makanan, pakaian dan hewan, tetapi mencakup seluruh produk yang
dibutuhkan orang banyak.8

Al-Syawkani tidak merinci produk apa saja yang disimpan sehingga


seseorang dapat dikatakan sebagai pelaku ihtikar, jika menyimpan barang itu
untuk dijual ketika harga melonjak. Bahkan Syawkani tidak membedakan apakah
penimbunan itu terjadi ketika pasar berada dalam keadaan normal ataupun dalam
keadaan pasar tidak stabil. Hal ini perlu dibedakan karena menurut jumhur ulama
jika sikap para pedagang dalam menyimpan barang bukan untuk merusak harga
pasar tentu tidak ada larangan9.

Menurut Fathi al-Duraini, al-Syawkani termasuk kedalam kelompok


ulama yang mengharamkan ihtikar pada seluruh benda atau barang yang
diperlukan oleh masyarakat banyak. Sebagaian ulama Hanabilah dan al-Ghazali
menghususkan keharaman ihtikar pada jenis makanan pokok saja. Al-Ghazali
mengatakan adapun yang bukan makanan pokok dan bukan pengganti makanan
pokok seperti obat-obatan dan jamu tidak ada larangan meskipun dia itu barang
yang dimakan. Adapun penyertaan makanan pokok seperti daging, buah-buahan
dan yang dapat menggantikan makanan pokok dalam suatu kondisi walaupun
tidak secara terus-menerus, maka ini termasuk hal yang menjadi perhatian.
Sehingga sebagian ulama ada yang menetapkan haram menimbun minyak samin,
madu, minyak kacang dan barang-barang lainnya yang menjadi kebutuhan
manusia.10

Dari penjelasan Al-Ghazali, Yusuf Qardhawi menilai bahwa sebagian


fuqaha menganggap makanan pokok itu hanya terbatas pada makanan ringan

8
Suhrawardi K. Lubis dan Farid Wajdi, Ihtikar Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), 22.
9
Ahmad Wardi Muslich, fiqh Muamalah (Jakarta: Amzah, 2010, hlm. 273.
10
Ibid., hlm. 274

xi
seperti roti dan nasi atau beras tanpa minyak dan lauk pauk. Sehingga keju,
minyak zaitun, madu, biji-bijian dan sejenisnya dianggap diluar katagori makanan
pokok. Apa yang mereka sebutkan sebagai makanan pokok itu menurut ilmu
pengetahuan modern tidak cukup untuk menjadi makanan sehat bagi manusia
sebab untuk menjadi makanan sehat haruslah memenuhi sejumlah unsur pokok
seperti protein, zat lemak, dan vitamin. Jika tidak begitu maka manusia akan
menjadi sasaran penyakit karena kondisi makanan yang buruk.11

Pada zaman sekarang ini obat-obatan telah menjadi kebutuhan pokok


manusia demikian pula halnya pakaian dan lainnya. Hal ini disebabkan kebutuhan
manusia terus berkembang sesuai dengan perkembangan kondisi kehidupan
mereka. Dengan demikian Yusuf Qardhawi berpendapat haram menimbun setiap
macam kebutuhan manusia seperti makanan, obat-obatan, pakaian, alat-alat
sekolah, alat-alat rumah tangga dan lainnya. Sebagai dalilnya ialah keumuman
Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim :

Dari Sa'id bin Musayyab ia meriwayatkan : Bahwa Ma'mar, ia berkata,


"Rasulullah SAW. Berkata : “Barang siapa menimbun barang, maka ia berdosa',"
(HR.Muslim).

Pendapat Yusuf Qardhawi ini mempunyai kesamaan dengan pendapat


Imam Abu Yusuf (ahli fiqh Madzhab Hanafi) dan Mazhab Maliki yang
mengharamkan adanya penimbunan barang terhadap semua bahan kebutuhan
manusia12.

E. Campur Tangan Pemerintah Terhadap Ihtikar


Islam memperkenankan negara untuk mengatur masalah perekonomian agar
kebutuhan masyarakat baik secara individu maupun sosial dapat terpenuhi secara
proporsional. Islam memandang bahwa negara wajib melindungi kepentingan
masyarakat dari ketidakadilan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok

11
Ahmad Wardi Muslich, fiqh Muamalah (Jakarta: Amzah, 2010, hlm. 275
12
Ibid., hlm. 277

xii
orang ataupun dari negara lain. Negara juga wajib memberikan jaminan sosial
agar seluruh masyarakat dapat hidup secara layak. Oleh karena itu, adalah wajar
apabila negara Indonesia dalam dalam UU dasar 1945 menyatakan :

1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Selain dari itu, dalam Islam dikenal jenis-jenis kepemilikan yaitu


kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan Negara. Kepemilikan
pribadi adalah kepemilikan yang dipunyai seseorang baik itu berupa zat atau
utility tertentu, yang memungkinkan bagi seseorang untuk mendapatkan nya dan
memanfaatkan nya. Kepemilikan individu ini seperti kepemilikan atas rumah, roti,
daging dan lain sebagainya. Sedangkan cara memperolehnya dengan cara yang
baik seperti bertani, berniaga dan lain sebagainya.13

Jenis kepemilikan umum adalah benda yang dimiliki bersama dan mereka
semua saling membutuhkan atas benda tersebut. Benda ini ada tiga macam yaitu,
merupakan fasilitias umum, bahan tambang yang tidak terbatas dan sumber daya
alam yang sifat pembetukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu.
Barang-barang milik umum ini mutlak diperlukan manusia dalam kehidupan
sehari-hari, seperti air, api, minyak dan gas bumi, padang rumput atau hutan. 14

Sedangkan milik negara adalah harta yang menjadi milik seluruh kaum
muslimin, sedangkan yang mengelola adalah menjadi kewajiban aparat
pemerintah. Harta ini misalnya harta rampasan perang, jizyah (pajak) dan di
dalam termasuk juga air, udara, api yang menjadi umum, akan tetapi negara
berhak mengatur regulasinya. Oleh karena itu adalah menjadi wewenang negara

13
Mardani, Hukum Sistem Ekonomi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), hlm 231-232
14
Muhammmad Ismail Yusanto, Ihtikar Dalam Konsep Syariah, (Jakarta: GIP, 2016), 17.

xiii
untuk membuat peraturan yang ketat bagi penimbun untuk kepentingan bersama.
Hal ini juga berkaitan dengan kaidah :

“Tindakan pemerintah terhadap rakyat harus selalu berorientasi pada


kemashlahatan orang banyak”

Oleh karena itu, pemerintah harus mengadakan pengawasan terhadap


pasar. Pengawasan pasar ini berguna untuk menjamin berjalannya mekanisme
pasar secara sempurna. Dalam agama pengawas pasar didasarkan pada firman
Allah surah Ali Imran ayat 110.

Pengawasan pasar yang dilakukan oleh Rasulullah SAW antara lain


melakukan inspeksi secara langsung ke pasar untuk melihat harga dan mekanisme
pasar. Apabila ada harga yang tidak sesuai dengan mekanisme pasar, maka
Rasulullah menegur pelakunya dan memberi nasihat tentang perilaku pasar yang
baik. Secara garis besar hisbah mempunyai fungsi :

1) Mengorganisir pasar agar dapat memfungsikan sebagai solusi permasalah


ekonomi umat melalui mekanisme pasar yang sehat.
2) Menjamin instrumen harga barang dan jasa yang ditentukan sesuai dengan
hukum penawaran dan permintaan.
3) Melakukan pengawasan produk-produk yang masuk ke pasar.
4) Memberikan informasi di pasar mengenai harga dan sistem pasar.
5) Menjamin tidak adanya praktik monopoli oleh pelaku pasar.
6) Mengawasi praktik-praktik pencaloan di dalam pasar.
7) Mengupayakan moral Islami terutama yang berkaitan dengan mekanisme pasar.

Dengan adanya hisbah ini, maka akan menjadikan pasar beroperasi dengan
dengan bebas dan dapat harga, gaji, dan keuntungan yang ditentukan oleh
kekuatan suply dan demand, tetapi pada saat yang sama juga menjamin bahwa
semua pranata ekonomi telah melaksanakan seluruh kewajibannya dan telah
mematuhi aturan sariat. Seluruh tindakan dan pencegahan dapat dilakukan untuk

xiv
menjamin tidak adanya kecurangan, penipuan dan berbagai praktek lainnya yang
dapat merusak sistem pasar.15

Tindakan yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah akan menjual


barang dagangan hasil timbunan sesuai dengan harga pasar pada saat itu dan
apabila ada keuntungan dari hasil penjualan, maka hasil penjualan tersebut
disedekahkan kepada fakir miskin. Sedangkan pelaku ihtikar hanya berhak
mendapatkan modal pokoknya saja. Hal ini dilakukan sebagai pembelajaran
terhadap pelaku ihtikar. Selanjutnya pemerintah akan memberikan teguran kepada
pelaku ihtikar agar tidak mengulangi perbuatannya lagi. Apabila mereka tidak
memperhatikan teguran tersebut, pemerintah berhak memberi hukuman.

Oleh karena itu, negara sebagai pengatur regulasi perdagangan harus


memberikan pengawasan dan pengaturan melalui Undang-Undang atau peraturan
pemerintah lainnya untuk menertibkan sistem pasar sehingga dapat berjalan
dengan baik.

Di antara sistem yang dapat diterapkan adalah peraturan persaingan usaha


yang sehat. Dalam hal ini negara dapat mengeluarkan peraturan permainan
persaingan usaha yang sehat, dengan melarang hal-hal berikut ini :

1. Larangan melakukan persengkongkolan bisnis yang merugikan pesaing lainnya.


2. Monopoli atau memperoleh hak khusus atas dasar KKN dengan birokrat.
3. Proses tender yang tidak transparan, atau menggunakan perusahaan alibaba.
4. Differensiasi harga pada kelompok bisnis tertentu yang merugikan pihak
pesaing
5. Proses produksi, kualitas produk, dan kampanye iklan yang merugikan pihak
konsumen.

Memberikan informasi tentang produk dan pelayanan yang menyesatkan


kepentingan komsumen. Dalam Pasal 17 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1999
dinyatakan: “Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
15
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 157

xv
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.” Dan pasal 47 dan 48 UU Tahun
1999 disebutkan, apabila terjadi pelanggaran terhadap undang- undang tersebut
maka pemerintah dapat mengenakan sanksi bagi pelakunya, baik sanksi
administrasi (penggagalan perjanjian atau denda serendah rendahnya)
Rp.1.000.000000,00 dan setinggi-tingginya Rp.25.000.000.000,00
Rp.1.000.000.000,00 dan sanksi berupa kurungan minimal 3 bulan sampai 6
bulan16

BAB III
PENUTUP
16
Johnny Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha : Filosofi, Teori, dan Implikasi Penerapannya di
Indonesia, (Malang: Bayumedia, 2009), 44.

xvi
KESIMPULAN
Ihtikar merupakan sesuatu yang harus dicegah dalam sistem pasar. Oleh
karena itu, pemerintah harus menjaga sistem pasar yang di dalamnya termasuk
melarang ihtikar bagi pelaku pasar. Dengan begitu, sistem pasar akan berjalan
dengan baik dan sistem ekonomi dapat bergerak dengan laju yang normal dan
penuh keadilan. Untuk menumbuhkan sistem ini, maka para pelaku pasar dan
pengawas pasar harus mendasarkan diri pada agama atau adanya kepercayaan dan
menjalankan semua aturan agama. Dengan begitu, semua sistem yang berkaitan
dengan pasar akan berjalan dan mencapai kebaikan puncak, serta maqashih
syariah dan mashlahah ibad akan tercapai.

DAFTAR PUSTAKA

Mardani, Hukum Bisnis Syari’ah (Cet. I; Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), h.


113.

xvii
Mardani, Hukum Bisnis Syari’ah, h. 113.

Ibid. dan Asmuni Muhammad Thahir.” al- milkiyat waduruha fi Tanmiyat al-
iqtisad al-islami”, dalam Millah Jurnal Studi Agama Vol.II, No. 2, Januari 2002.
Yogyakarta: Program Magister Studi Islam UII, hlm.85-106.

Tatty, A. R. (2005). Kepemilikan Pribadi Prespektif Islam, Kapitalis, Dan


Sosialis. Jurnal Sosial DanPembangunan, XXI(1), 1-13

Sulistiawati, & Ahmad, F. (2017). Konsep Kepemilikan Dalam Islam (Studi Atas
Pemikiran Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani). Jurnal Syari’ah, V(2), 23-52.

Tim Redaksi. Ensiklopedi Hukum Islam ( Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
1997), IV:1178

Muhammad, N (2016). Sumberdana Dalam Pendididkan Islam (Kepemilikan


Harta Dalam Perspektif Islam). Jurnal Al- Murabbi, I(2), 379-398.

Pratanto, R. W. (2020). Konsep Kepemilikan Dalam Islam. Jurnal irtifaq, VI(1),


73-91.

Ali, A. (2020). Konsep kepemilikan dalam islam , jurnal ushuluddin,


XVIII(2),124-140.

Wardi Muslich, Ahmad. fiqh Muamalah. Jakarta: Amzah, 2010


Hasan, M. Ali. Berbagai Macam Transak-si dalam Islam. Jakarta: RajaGrafindo
Persada. 2014
Haroen, Nasrun. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama. 2007
Nawatmi, Sri, 2010. Etika Bisnis Perspektif Ekonomi Islam, Jurnal Fokus
Ekonomi FE, April.
Lubis, Suhrawardi K. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika. 2012.

xviii

Anda mungkin juga menyukai