Kaidah Qawaid Fiqhiyah
Kaidah Qawaid Fiqhiyah
DISUSUN OLEH :
Diniyati (0201212101)
Riziq Ahmad Pulungan (0201212111)
Siti Khairunnisa Maulani (0201212140)
PENULIS
KELOMPOK
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................1
A. LatarBelakang..................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................1
C. Tujuan..............................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN............................................................................2
A. Kaidah Qawa’id Fiqhiyah..............................................................2
1. Pengertian Qawa’id Fiqhiyah.....................................................2
B. Beberapa Kaidah Qawa’id Fiqhiyah............................................2
1. Kaidah Pertama...........................................................................3
2. Kaidah Kedua.............................................................................5
3. Kaidah Ketiga.............................................................................9
4. Kaidah Keempat.........................................................................12
5. Kaidah Kelima............................................................................14
DAFTAR PUSTAKA................................................................................18
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu fiqih dan ushul fiqih merupakan bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam.
Dengan keduanya, ajaran Islam dapat dipelajari dan dilaksanakan oleh seluruh umat
Muslim. Oleh karena itu, pengetahuan tentang ilmu ini menjadi sangat penting. Apalagi
untuk mengetahui hukum-hukum atau peraturan yang digunakan dalam kehidupan
manusia di dunia khususnya bagi umat Islam sendiri.
Banyak objek pembahasan di dalam ilmu fiqih. Namun makalah ini sendiri, akan
membahas mengenai kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip yang perlu mendapatkan
perhatian untuk memecahkan suatu masalah.
B. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan Qawa’id Fiqhiyah ?
b. Apa saja kaidah-kaidah Qawa’id Fiqhiyah ?
C. Tujuan
a. Memberikan pengetahuan serta wawasan baru mengenai kaidah-kaidah fiqih.
b. Membantu Mahasiswa mengerti dan memahami macam-macam kaidah-kaidah fiqih
secara umum.
c. Untuk bahan diskusi pembelajaran atau perkuliahan.
iv
BAB II
PEMBAHASAN
Secara etimologi, 4 kaidah fikih atau dalam bahasa Arabnya disebut dengan
alqawa’id al-fiqhiyyah berasal dari dua kata: القواعدjamak dari kata القاعدةyang berarti:
dasar, asas, pondasi, atau fundamen segala sesuatu. Selain itu, kata القاعدةjuga sepadan
dengan kata الضابطyang berarti kaidah. Secara bahasa hukum bisa diartikan جزئیات على
( ینطبق الكلي االمرperkara general dapat berkalu terhadap perkara spesifik).
1. Kaidah Pertama
v
اُاْلُم ْو ُر ِبَم َقاِص ِد َها
Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Ny dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya
mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama
yang lurus”.
Artinya: “Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah,
sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barangsiapa menghendaki pahala
dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barangsiapa
menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan
Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”.
vi
Ada juga hadits Nabi SAW., tentang hal ini misalnya:
Artinya: “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi
seseorang itu hanyalah apa yang ia niati”.
“Niat dalam sumpah dapat mengkhususkan lafaz yang umum dan tidak menjadikan
umum lafaz yang khusus.’’1
“Yang diperhitungkan dalam transaksi adalah tujuan dan makna bukan kata-kata dan
bentuknya.’’2
1
Abi Bakr al-Suyuti, al-Asbah wa al-Naza’ir, 63.
2
Ibid., 47. Lihat juga: Abdul Aziz Muhammad Azam, Qawa‘id al-Fiqh al-Islami (Kairo: al-Risalah al-
Dauliyah, 1999), 97
3
Nashr Farid Muhammad Wasil & Abd. Aziz Muhammad Azzam, al-Mazkhal Fi al-Qawa‘id al-Fiqhiyyah wa
‘Atharuha fi al-Ahkam al-Shar‘iyyah, 7-14
vii
b. Barangsiapa membeli lahan kosong dengan niat untuk mewakafkannya, maka ia
tidak semerta-merta menjadi pewakaf kecuali ia mengucapkan ikrar wakaf,
misalnya: aku wakafkan harta ini untuk orang-orang fakir miskin atau kepada
lembaga-lembaga sosial, dan sejenisnya.
c. Jika orang dititipin barang (al-wadi’) mengambil barang titipan dengan diniati
untuk mengkonsumsinya (memakainya), lalu ia mengembalikan lagi barang tersebut
ketempatnya sebelum sempat melakukan tindakan yang diniatkannya, dan barang
tersebut rusak setelah dikembalikan ketempatnya, sementara ia tidak melakukan
tindakan pelanggaran maupun kelalaian terhadap barang tersebut, maka ia tidak
dikenai kewajiban untuk menggantinya.
d. Barangsiapa berniat meng-ghasab harta milik orang lain lalu ia tidak sampai
melakukannya, namun harta tersebut kemudian rusak di tangan pemiliknya, maka ia
tidak dianggap sebagai peng-ghasab dan tidak dibenani kewajiban untuk
menggantinya, meskipun ia secara jelas menyatakan diri berniat melakukan hal
tersebut.
e. Jika seseorang menyerahkan sejumlah uang kepada orang lain, lalu di kemudian
hari ia mengaku bahwa ia mengutangkannya (dengan sistem qardh), sementara si
penerima mengklaimnya sebagai akad mudarabah, maka pendapat yang diambil
adalah pendapat pihak kedua (si penerima) disertai sumpah. Sebab prinsip dasar
dalam transaksi adalah ketiadaan tanggungan, dan qardh (akad utang-piutang)
meniscayakan tanggungan (daman).
f. Apabila seorang istri menuntut pemberian nafkah atas dirinya yang telah diputus
oleh pengadilan sebagai kewajiban suami dengan ketetapan hukum yang mengikat,
sementara si suami mengaku telah mengirimkan nafkah kepadanya dan istri telah
mengambilnya, namun keduanya sama-sama tidak memiliki bukti maka pendapat
yang diambil adalah pendapat istri disertai sumpah, sebab status asalnya adalah tidak
adanya pengiriman nafkah.
2. Kaidah Kedua
َاْلَيِقْيُن ال ُيَز اُل ِبا لَّش ِّك
viii
Yang dimaksud yakin adalah
اْلَّش ُّك ُهَو َم اَك اَن ُم َتَر ِّدًدا َبْيَن الُّثُب ْو ِت َو َعَد ِم ِه َم َع َتَس اِوى َط َر َفْى الَّص َو اِب َو اْلَخ َط اِء ُد ْو َن
َتْر ِج ْيِح َاَحِدِهَم ا َع َلى اَألَخ ِر
“Sesuatu yang tidak menentu antara ada dan tiadanya, dan dalam ketidaktentuan
itu sama antara batas kebenaran dan kesalahan, tanpa dapat dimenangkan salah
satunya.”
ix
Sedangkan al-syakk adalah suatu pertentangan antara kepastian dengan
ketidakpastian tentang kebenaran dan kesalahan dengan kekuatan yang sama, dalam
arti tidak dapat ditarjihkan (tidak dipilih yang paling benar dari) salah satunya. Atau
al-syakk adalah sesuatu yang tidak menentu antara ada dan tiadanya,
Kaidah ini dalam penerapannya menggunakan dasar hukum hadist Nabi SAW.
Pesan esensial dari hadith ini adalah bahwa segala hukum segala sesuatu harus
dilihat dari kondisi asal yang meyakinkan. Jika kondisi semula adalah batal, maka
factor ekternal yang muncul kemudian tidak akan dapat mempengaruhi status hukum
batal itu, sehingga hukumnya tetap batal. Demikian pula apabila kondisi asalnya
adalah sah, dengan catatan tidak ada bukti yang meyakinkan mmapu merubahnya
Dari kaidah ini kemudian muncul kaidah-kaidah yang lebih sempit ruang lingkupnya.
Misalnya :
“Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti lain yang meyakinkan pula”
Misalnya, kita yakin sudah berwudlu, tetapi kemudian kita yakin pula telah
buang air kecil, maka wudlu kita menjadi batal.
“Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan
keyakinan lagi”
6
Ibid.
x
Misalnya, Tawaf ditetapkan dengan dasar dalil yang meyakinkan yaitu harus
tujuh putaran. Kemudian dalam keadaan tawaf, seseorang ragu apakah yang
dilakukannya putaran keenam atau kelima. Maka yang meyakinkan adalah jumlah
yang kelima, karena putaran yang kelima itulah yang meyakinkan.
“Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal lain yang
mengubahnya”
Bahwa suatu perkara yang telah berada pada suatu keadaan atau kondisi
tertentu di masa sebelumnya, akan tetap seperti kondisi semula selama tidak ada dalil
yang menunjukkan terhadap hukum lain. Yang semula atau pertama dijadikan karena
dasar segala sesuatu adalah tidak berubah atau tetap seperti sedia kala (baqa).
Misalnya, manusia bebas lagi dari tanggungjawab karena datangnya kematian.
Kewajiban-kewajiban suami istri hilang karena ada perceraian.
Sub kaidah ini menandaskan bahwa pada dasarnya setiap orang mukallaf
dinilai belum melakukan sebuah pekerjaan, sebelum pekerjaan tersebut sudah benar-
xi
benar terwujud secara nyata dan diyakini keberadaannya. Selain itu, dalam kaidah ini
juga tercakup kaidah lain yang memiliki ‘nafas’ senada dengan kaidah di atas, yaitu,
“Seseorang yang telah yakin melakukan suatu pekerjaan tapi masih ragu, apakah yang
dia kerjakan adalah bilangan yang lebih banyak atau sedikit, maka hendaknya ia
memilih bilangan yang sedikit, karena bilangan minimal ini sudah pasti dikerjakan” 7
3. Kaidah Ketiga
اْلَم َش َّقُة َتْج ِلُب الَّتْيِس ُر
ۚ َو اْلُفْر َقاِن اْلُهَد ٰى ِم َن َو َبِّيَناٍت ِللَّناِس ُهًدى اْلُقْر آُن ِفيِه ُأْنِز َل اَّلِذ ي َر َم َض اَن َش ْهُر
ۗ َخ َر ُأَأَّياٍم ِم ْن َفِع َّد ٌة َس َفٍر َع َلٰى َأْو ِر يًضا َك اَن َو َم ْن ۖ َفْلَيُص ْم ُه الَّش ْهَر ِم ْنُك ُم َش ِهَد َفَم ْن
َهَداُك ْم َم ا َع َلٰى َهَّللا َو ِلُتَك ِّبُروا اْلِع َّدَة َو ِلُتْك ِم ُلوا اْلُعْس َر ِبُك ُم ِر يُد َو اَل اْلُيْس َر ِبُك ُم ُهَّللا ُيِر يُد
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
7
Muhammad al-Ruki, Qawa’id 189.
8
Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011)
9
Ibid.
xii
yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan
barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan
hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan
Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”.
Artinya: “dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan.”
)الِّدْيُن ُيْسٌر َاَح ُّب الِّدْيِن ِاَلى ِهللا اْلَحِنْيَفُة الَّس ْمَح ُة (رواه البخارى
“Agama itu memudahkan, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar
dan mudah”. (HR Bukhari).
1. “apabila suatu perkara itu sempit maka hukumnya menjadi luas, sebaliknya jika
suatu perkara itu luas maka hukumnya menjadi sempit.”
Contohnya, boleh berbuka puasa pada bulan Ramadhan ketika sakit atau
bepergian jauh. Sakit dan bepergian jauh merupakan suatu kesempitan, maka
hukumnya menjadi luas yaitu kebolehan berbuka. Akan tetapi, bila orang sakit itu
sembuh kembali, maka hukumnya wajib melakukan puasa itu kembali
xiii
3. “Apa yang tidak mungkin menjaganya (menghindarkannya), maka hal itu
dimaafkan”
5. “Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya, maka kata
tersebut berpindah artinya kepada arti kiasannya”
Contohnya, seseorang berkata: “Saya wakafkan tanah saya ini kepada anak
Kyai Ahmad”. Padahal semua tahu bahwa anak kyai tersebut sudah lama meninggal,
yang ada hanyalah cucunya, yaitu kata kiasannya, bukan kata sesungguhnya. Sebab
tidak mungkin mewakafkan kepada orang yang sudah meninggal dunia.
Contohnya, seseorang menuntut warisan dan mengaku bahwa dia adalah anak
dari orang yang meninggal, kemudian setelah diteliti, dia lebih tua dari pada orang
telah meninggal yang diakuinya sebagai ayahnya. Maka perkataan orang tersebut
ditinggalkan dalam arti tidak diakui perkataannya.
7. “Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan pada
permulaannya”
xiv
Contohnya, seseorang yang baru masuk Islam minum minuman keras karena
kebiasaannya sebelum masuk Islam dan tidak tahu bahwa minuman semacam itu
dilarang (haram). Maka orang tersebut dimaafkan untuk permulaannya karena
ketidaktahuannya. Selanjutnya, setelah dia tahu bahwa perbuatan tersebut adalah
haram, maka ia harus menghentikan perbuatan haram tersebut.
9. “Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang
lainnya”
Contohnya, penjual boleh menjual kembali karung bekas tempat beras, karena
karung mengikuti kepada beras yang dijual. Demikian juga boleh mewakafkan kebun
yang sudah rusak tanamannya karena tanaman mengikuti tanah yang diwakafkan10
4. Kaidah Keempat
الَّض َر اُر ُيَز اُل
10
H.A. Djazuli, Kaidah-kaidah …, 51, lihat juga contoh-contoh yang lain dalam Muhammad al-Ruki, Qawa’id
al-Fiqh al-Islamiy, 194
11
Prof. H.A. Djazuli, Ilmu Fiqih
xv
Surah Al Qoshosh ayat 77:
َو اْبَتِغ ِفيَم ا آَتاَك ُهَّللا الَّد اَر اآْل ِخ َر َةۖ َو اَل َتْنَس َنِص يَبَك ِم َن الُّد ْنَياۖ َو َأْح ِس ْن َك َم ا
َأْح َس َن ُهَّللا ِإَلْيَك ۖ َو اَل َتْبِغ اْلَفَس اَد ِفي اَأْلْر ِضۖ ِإَّن َهَّللا اَل ُيِح ُّب اْلُم ْفِس ِد يَن
“Tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta membuat kerusakan pada
orang lain.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).12
kaidah ini berlaku dalam hal darar nya belum atau akan terjadi. Upaya
preventif lebih utama dari upaya kuratif. Substansi kaidah ini mengindikasikan segala
bentuk bahaya harus segera di tangkal segera demi tercapainya maslahah baik yang
bersifat umum maupun yang khusus. Contoh shariat jihad, uqubah dll.
12
H.A. Djazuli, Kaidah-kaidah …, 53
xvi
3. sesuatu yang diperbolehkan karena kondisi darurat harus di sesuaikan dengan kadar
daruratnya
5. Kaidah Kelima
َاْلَع اَد ُة ُم ْح َك َم ٌة
Suatu kebiasaan bisa dijadikan patokan hukum. Kebiasaan dalam istilah hukum
sering disebut sebagai ‘urf atau ‘adah. Walaupun sebagian ulama juga ada yang
membedakan keduanya. Namun, menurut jumhur ulama, suatu ‘adah bisa diterima
jika memenuhi syarat-syarat berikut:
13
Imad ‘Ali Jum’ah, al-Qowa’id al-Fiqhiyah al-Muyasharah (Urdun: Dar an-Nafais, 2006), 51
xvii
Dasar nash kaidah ini adalah:
Firman Allah SWT. pada surah Al A’raf ayat 199:
“apa yang dipandang baik oleh muslim maka baik pula di sisi Allah.” (HR.
Ahmad)14
1. Kaidah Sesuatu yang dianggap baik menurut `urf, sama kekuatannya dengan
sesuatu yang dipersyaratkan oleh syara`. Qaidah ini memberi pengertian bahwa
ketentuan ketentuan `urf mempunyai kekuatan mengikat seperti ketentuan
ketentuan syara` dalam hal yang benar benar tidak bertentangan dengan ketentuan
ketentuan nass al-Qur`an dan sunnah Rasul
14
Syeh Ahmad bin Syeh Muhammad Az-Zarqa’, Syarh Qawa’id Fiqhiyah, (Damaskus: Dar al-Qolam, 1996),
237
15
Imad Ali Jum’ah, al-Qawaid al-Fiqhiyah al-Muyassarah, 69.
xviii
Al-Qur'an & Ushul Fiqh
Kaidah
Hadits
Fiqih Fiqih
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kaidah-kaidah fiqih yang ada hingga saat ini merupakan warisan ulama
terdahulu. Termasuk lima kaidah fiqih yang telah dikemukakan di atas. Ia berupa hasil
perenungan dan penelitian yang telah teruji. Oleh karena itu dapat dijadikan solusi
alternatif karena dapat dijadikan landasan dalam memecahkan persoalan-persoalan
hukum yang timbul dalam masyarakat secara benar, adil, dan arif. Hal ini perlu karena
xix
perubahan waktu, tempat dan adat kebiasaan masyarakat dapat mengakibatkan
pengecualian atas kaidah-kaidah fiqih tertentu.
Bahkan, tidak mustahil akibat beban dan tuntutan masyarakat, akan timbul
kaidah-kaidah yang lebih baru. Barangkali, ini menjadi tugas para peminat kajian
hukum Islam untuk ikut andil dalam perkembangan hukum Islam dan pencapaian
kebenaran, kebaikan, dan keindahan perilaku individu, dan masyarakat berdasarkan
syari’at Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Suyatno. Dasar-dasar Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih. 2011. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Syafe’I , Prof. Dr. Rachmat, M.A. Ilmu Ushul Fiqih. 2010. Bandung: Pustaka Setia
Dr. M. Noor. Harisudin, M. Fil. I, Pengantar Ilmu Fiqih. 2013. Surabaya: Pena Salsabila
xx
Azam, Abdul Aziz Muhammad, Qawa‘id al-Fiqh al-Islami. Kairo: al-Risalah al-Dauliyah,
1999
Azam, Abdul Aziz Muhammad, Qawa‘id al-Fiqh al-Islami. Kairo: alRisalah al-Dauliyah,
1999
Qadhi Abd al-Wahab al-Baghdadi al-Maliki, al-Isyraf ‘ala Masail alKhilaf, dalam
xxi