Anda di halaman 1dari 21

LIMA KAIDAH POKOK QAWA’ID FIQHIYAH

SUMBER DAN CABANG NYA


Diajukan Sebagai Tugas Terstruktur Pada Mata Kuliah
Qawa’id Fiqhiyah
DOSEN PEMBIMBING : Dr. Sahmiar Pulungan M.Ag

DISUSUN OLEH :

Diniyati (0201212101)
Riziq Ahmad Pulungan (0201212111)
Siti Khairunnisa Maulani (0201212140)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
2023
KATA PENGANTAR

‫ِبْس ِم ِهللا الَّرْح مِن الَّر ِح ْيِم‬


Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
Kami ucapkan rasa syukur atas kehadirat Allah Yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini telah di susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan hasil
makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ini.

MEDAN, 19 OKTOBER 2023

PENULIS

KELOMPOK

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...........................................................................1
A. LatarBelakang..................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................1
C. Tujuan..............................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN............................................................................2
A. Kaidah Qawa’id Fiqhiyah..............................................................2
1. Pengertian Qawa’id Fiqhiyah.....................................................2
B. Beberapa Kaidah Qawa’id Fiqhiyah............................................2
1. Kaidah Pertama...........................................................................3
2. Kaidah Kedua.............................................................................5
3. Kaidah Ketiga.............................................................................9
4. Kaidah Keempat.........................................................................12
5. Kaidah Kelima............................................................................14

BAB III PENUTUP..................................................................................17


Kesimpulan.................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA................................................................................18

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu fiqih dan ushul fiqih merupakan bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam.
Dengan keduanya, ajaran Islam dapat dipelajari dan dilaksanakan oleh seluruh umat
Muslim. Oleh karena itu, pengetahuan tentang ilmu ini menjadi sangat penting. Apalagi
untuk mengetahui hukum-hukum atau peraturan yang digunakan dalam kehidupan
manusia di dunia khususnya bagi umat Islam sendiri.
Banyak objek pembahasan di dalam ilmu fiqih. Namun makalah ini sendiri, akan
membahas mengenai kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip yang perlu mendapatkan
perhatian untuk memecahkan suatu masalah.
B. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan Qawa’id Fiqhiyah ?
b. Apa saja kaidah-kaidah Qawa’id Fiqhiyah ?
C. Tujuan
a. Memberikan pengetahuan serta wawasan baru mengenai kaidah-kaidah fiqih.
b. Membantu Mahasiswa mengerti dan memahami macam-macam kaidah-kaidah fiqih
secara umum.
c. Untuk bahan diskusi pembelajaran atau perkuliahan.

iv
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kaidah Qawa’id Fiqhiyah

1. Pengertian Qawa’id Fiqhiyah

Secara etimologi, 4 kaidah fikih atau dalam bahasa Arabnya disebut dengan
alqawa’id al-fiqhiyyah berasal dari dua kata: ‫ القواعد‬jamak dari kata ‫ القاعدة‬yang berarti:
dasar, asas, pondasi, atau fundamen segala sesuatu. Selain itu, kata ‫ القاعدة‬juga sepadan
dengan kata ‫ الضابط‬yang berarti kaidah. Secara bahasa hukum bisa diartikan ‫جزئیات على‬
‫( ینطبق الكلي االمر‬perkara general dapat berkalu terhadap perkara spesifik).

Adapun makna kaidah secara istilah fikih terdapat perbedaan di kalangan


fuqaha dalam mendefinisikan kaidah tentang apakah ia mencakup masalah
keseluruhan (‫)كلیة‬ataukah masalah mayoritas (‫)أغلبیة‬. Al-Jurjani menjelaskan bahwa
kaidah dalam fikih itu rumusan yang global yang diperuntukkan terhadap seluruh
bagian-bagiannya.

Sementara itu, Syihabuddin Al-Hamawi menilai al-qawidah al-fiqhiyyah itu


murujuk pada hukum-hukum yang kebanyakan terjadi, bukan keseluruhannya.
Artinya, kaidah berlaku atas kebanyakan bagian-bagian hukum sehingga bisa dikenali
hukumnya melalui kaidah, berasal dari kata kerja (fi’il) yang ditambah ya’ nisbat dan
ta’ marbuthah, yang berfaidah penjenisan dan pembangsaan, sehingga bermakna
sesuatu yang berkaitan dengan fikih.

Dengan demikian, dapat ditarikan kesimpulan bahwa al-qawaid al-fiqhiyyah


adalah rumusan-rumusan hukum secara global dari bab-bab dalam fikih yang dapat
berlaku pada hukum-hukum yang spesifik. Meskipun kasus-kasus bisa berbeda,
namun setiap kasus yang berkembang dari zaman ke zaman mempunyai kesamaan
‘illat sehingga kaidah fikih dapat menjadi bagian instrumen penggalian hukum dalam
Islam.

B. Beberapa Kaidah Fiqih


Ada lima kaidah fiqih yang dianggap oleh sebagian ulama menjadi dasar dan
prinsip umum dari seluruh materi fiqih. Kelima kaidah itu adalah:

1. Kaidah Pertama

v
‫اُاْلُم ْو ُر ِبَم َقاِص ِد َها‬

“Setiap perkara itu menurut maksudnya”

Niat seseorang dalam melakukan suatu perbuatan menjadi kriteria yang


menjadikan nilai dan status hukum yang dilakukannya. Apakah nilai dari perbuatan
itu sebagai amal syari’at atau perbuatan kebiasaan dan apakah status hukumnya jika
sebagai amal syari’at wajib atau sunnah atau lainnya. Itulah sebabnya, kaidah ini bisa
diterapkan hampir pada seluruh masalah fiqhiyah. Dalam kaidah ini, ulama
menetapkan bahwa niat merupakan rukun (bagian yang tak terpisahkan) dan tanpa
adanya niat, suatu perbuatan tidak sah.

Landasan dari kaidah ini adalah beberapa ayat Al-Qur’an, misalnya:

Surah Al-Bayyinah (98) ayat 5:

Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Ny dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya
mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama
yang lurus”.

Surah Ali Imran (3) ayat 145:

Artinya: “Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah,
sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barangsiapa menghendaki pahala
dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barangsiapa
menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan
Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”.

vi
Ada juga hadits Nabi SAW., tentang hal ini misalnya:

‫إنما األعمال بالنيات وإنما لكل امرئ مانوي‬

Artinya: “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi
seseorang itu hanyalah apa yang ia niati”.

Kaidah al-umuru bimaqasidiha merupakan kaidah universal, yang berkembang


dan membentuk beberapa kaidah furu’ (cabang):

a) Kaidah dalam masalah sumpah

‫الخاص تعمما ال و العام اللفظتخصص اليمينفي النية‬

“Niat dalam sumpah dapat mengkhususkan lafaz yang umum dan tidak menjadikan
umum lafaz yang khusus.’’1

b) Kaidah dalam masalah transaksi

‫والمباني أللفاظ با ل لمعاني و بالمقاصد العقود في العبرة‬

“Yang diperhitungkan dalam transaksi adalah tujuan dan makna bukan kata-kata dan
bentuknya.’’2

Selain kaidah furu’ di atas, kaidah universal al-umuru bimaqasidiha memiliki


kaidah turunan yang disebut dengan kaidah parikular, bahkan sebagaian ulama
membentuk kaidah yang saling berbeda dalam bentuk redaksi dan titik tekannya.
Seperti yang diklasifikasi oleh Muhammad Azam berikut:3

a. Barangsiapa menjual sesuatu atau menceraikan istrinya di dalam hati tanpa


mengucapkannya, maka ia tidak dihukumi telah melakukan penceraian, meskipun ia
telah menyatakan telah meniatkan seperti itu.

1
Abi Bakr al-Suyuti, al-Asbah wa al-Naza’ir, 63.
2
Ibid., 47. Lihat juga: Abdul Aziz Muhammad Azam, Qawa‘id al-Fiqh al-Islami (Kairo: al-Risalah al-
Dauliyah, 1999), 97
3
Nashr Farid Muhammad Wasil & Abd. Aziz Muhammad Azzam, al-Mazkhal Fi al-Qawa‘id al-Fiqhiyyah wa
‘Atharuha fi al-Ahkam al-Shar‘iyyah, 7-14

vii
b. Barangsiapa membeli lahan kosong dengan niat untuk mewakafkannya, maka ia
tidak semerta-merta menjadi pewakaf kecuali ia mengucapkan ikrar wakaf,
misalnya: aku wakafkan harta ini untuk orang-orang fakir miskin atau kepada
lembaga-lembaga sosial, dan sejenisnya.

c. Jika orang dititipin barang (al-wadi’) mengambil barang titipan dengan diniati
untuk mengkonsumsinya (memakainya), lalu ia mengembalikan lagi barang tersebut
ketempatnya sebelum sempat melakukan tindakan yang diniatkannya, dan barang
tersebut rusak setelah dikembalikan ketempatnya, sementara ia tidak melakukan
tindakan pelanggaran maupun kelalaian terhadap barang tersebut, maka ia tidak
dikenai kewajiban untuk menggantinya.

d. Barangsiapa berniat meng-ghasab harta milik orang lain lalu ia tidak sampai
melakukannya, namun harta tersebut kemudian rusak di tangan pemiliknya, maka ia
tidak dianggap sebagai peng-ghasab dan tidak dibenani kewajiban untuk
menggantinya, meskipun ia secara jelas menyatakan diri berniat melakukan hal
tersebut.

e. Jika seseorang menyerahkan sejumlah uang kepada orang lain, lalu di kemudian
hari ia mengaku bahwa ia mengutangkannya (dengan sistem qardh), sementara si
penerima mengklaimnya sebagai akad mudarabah, maka pendapat yang diambil
adalah pendapat pihak kedua (si penerima) disertai sumpah. Sebab prinsip dasar
dalam transaksi adalah ketiadaan tanggungan, dan qardh (akad utang-piutang)
meniscayakan tanggungan (daman).

f. Apabila seorang istri menuntut pemberian nafkah atas dirinya yang telah diputus
oleh pengadilan sebagai kewajiban suami dengan ketetapan hukum yang mengikat,
sementara si suami mengaku telah mengirimkan nafkah kepadanya dan istri telah
mengambilnya, namun keduanya sama-sama tidak memiliki bukti maka pendapat
yang diambil adalah pendapat istri disertai sumpah, sebab status asalnya adalah tidak
adanya pengiriman nafkah.

2. Kaidah Kedua
‫َاْلَيِقْيُن ال ُيَز اُل ِبا لَّش ِّك‬

“Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”.

viii
Yang dimaksud yakin adalah

‫َاْلَيِقْيُن ُهَو َم اَك اَن َثاِبًتا ِبا لَّنْظِر َو الَّد ِلْيُل‬

“Sesuatu yang tetap , baik dengan penganalisaan maupun dengan dalil”.4

Sedangkan yang dimaksud dengan syak adalah

‫اْلَّش ُّك ُهَو َم اَك اَن ُم َتَر ِّدًدا َبْيَن الُّثُب ْو ِت َو َعَد ِم ِه َم َع َتَس اِوى َط َر َفْى الَّص َو اِب َو اْلَخ َط اِء ُد ْو َن‬
‫َتْر ِج ْيِح َاَحِدِهَم ا َع َلى اَألَخ ِر‬
“Sesuatu yang tidak menentu antara ada dan tiadanya, dan dalam ketidaktentuan
itu sama antara batas kebenaran dan kesalahan, tanpa dapat dimenangkan salah
satunya.”

Contoh apabila ada bukti kuitansi seseorang berhutang, kemudian timbul


perselisihan tentang sudah membayar menurut yang berhutang dan belum membayar
menurut yang mengutangkan, maka yang dipegang perkataannya adalah dari yang
berhutang karena memiliki kuitansi tersebut. Atau seseorang ragu-ragu berapa raka’at
yang ia lakukan dalam shalatnya, maka yang yakin adalah rakaat yang paling sedikit,
karena yang paling sedikit itu yang yakin sedang yang paling banyak merupakan yang
diragu-ragukan.

Al-Yaqin bi al-shak, dikatakan juga al-yaqin la yazul bi al-shak. Al-Yaqin secara


bahasa adalah keyakinan. Secara sederhana ia bisa dimaknai dengan tuma’ninah al-
qalb, ketetapan hati atas suatu kenyataan atau realitas tertentu. Sedang Ghazali
memandang bahwa yakin adalah kemantapan hati untuk membenarkan sebuah obyek
hukum, di mana hati juga mampu memastikan bahwa kemantapan itu adalah hal yang
benar.5

Secara etimologis, al-yaqin adalah sesuatu yang menetap (alistiqrar),


kepercayaan yang pasti (al-jazim), teguh (al-thabit), dan sesuai dengan kenyataanya
(al-muthabiq li al-waqi’). Bisa juga dimaknai sebagai ilmu, sesuatu yang dapat
menjauhkan keraguan, dan sesuatu yang nyata, jadi yaqin merupakan kebalikan dari
syakk, dan syakk lawannya yaqin. Adapula yang mengartikan alyaqin dengan ilmu
tentang sesuatu yang membawa kepada kepastian dan kemantapan hati tentang
hakikat sesuatu itu, dalam arti tidak ada keraguan lagi.
4
H.A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fiqh, (Jakarta, Kencana, 2006), 47.
5
Muhammad al-Ruki, Qawa’id al-Fiqh al-Islamiy, (Damaskus, Dar al-Qalam, 1997), 194

ix
Sedangkan al-syakk adalah suatu pertentangan antara kepastian dengan
ketidakpastian tentang kebenaran dan kesalahan dengan kekuatan yang sama, dalam
arti tidak dapat ditarjihkan (tidak dipilih yang paling benar dari) salah satunya. Atau
al-syakk adalah sesuatu yang tidak menentu antara ada dan tiadanya,

Secara terminologis, yang dimaksud dengan al-yaqin adalah sesuatu yang


menjadi tetap, baik bedasarkan penganalisaan maupun dalil. Menurut Al-Suyuthi
mengatakan al-Yaqin adalah sesuatu yang tetap dan pasti, dapat dibuktikan melalui
penelitian dan menyertakan bukti-bukti yang mendukungnya.6

Kaidah ini dalam penerapannya menggunakan dasar hukum hadist Nabi SAW.

‫يبك ير ل ما اءلى يبك ير ما دع‬

“Tinggalkanlah apa yang meragukanmu, berpindahlah kepada yang tidak


meragukanmu.” (HR. al-Nasai, al Turmudzi dari Hasan bin Ali).

Pesan esensial dari hadith ini adalah bahwa segala hukum segala sesuatu harus
dilihat dari kondisi asal yang meyakinkan. Jika kondisi semula adalah batal, maka
factor ekternal yang muncul kemudian tidak akan dapat mempengaruhi status hukum
batal itu, sehingga hukumnya tetap batal. Demikian pula apabila kondisi asalnya
adalah sah, dengan catatan tidak ada bukti yang meyakinkan mmapu merubahnya

Dari kaidah ini kemudian muncul kaidah-kaidah yang lebih sempit ruang lingkupnya.
Misalnya :

Pertama ‫مثله باليقين ال يز اليقين‬

“Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti lain yang meyakinkan pula”

Misalnya, kita yakin sudah berwudlu, tetapi kemudian kita yakin pula telah
buang air kecil, maka wudlu kita menjadi batal.

Kedua, ‫بيقين تفع ير ل بيقين ثبت ما ان‬

“Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan
keyakinan lagi”

6
Ibid.

x
Misalnya, Tawaf ditetapkan dengan dasar dalil yang meyakinkan yaitu harus
tujuh putaran. Kemudian dalam keadaan tawaf, seseorang ragu apakah yang
dilakukannya putaran keenam atau kelima. Maka yang meyakinkan adalah jumlah
yang kelima, karena putaran yang kelima itulah yang meyakinkan.

Ketiga, ‫الذمة اءة بر األصل‬

“Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab”

Kaidah ini menandaskan bahwa, patokan dasar manusia dalam hubungan


masyarakat (relasi sosial) maupun individualnya adalah keterlepasannya dari
tanggungjawab hak orang lain ketika hak itu belum pasti. Secara bahasa, dzimmah
memiliki beberapa arti perjanjian, jaminan, perlindungan dan sumpah. Namun dalam
kaidah ini, dzimmah diartikan sebagai tanggungjawab manusia terhadap suatu barang,
atau tanggung jawab berupa hak individu dengan hak individu lainnya.

Keempat, ‫يغيره ما يكن مالم كان ما على كان ما بقاء االءصل‬

“Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal lain yang
mengubahnya”

Bahwa suatu perkara yang telah berada pada suatu keadaan atau kondisi
tertentu di masa sebelumnya, akan tetap seperti kondisi semula selama tidak ada dalil
yang menunjukkan terhadap hukum lain. Yang semula atau pertama dijadikan karena
dasar segala sesuatu adalah tidak berubah atau tetap seperti sedia kala (baqa).
Misalnya, manusia bebas lagi dari tanggungjawab karena datangnya kematian.
Kewajiban-kewajiban suami istri hilang karena ada perceraian.

Kelima, ‫العدم األصل‬

“Hukum asal adalah ketiadaan”

Sub kaidah ini menandaskan bahwa pada dasarnya setiap orang mukallaf
dinilai belum melakukan sebuah pekerjaan, sebelum pekerjaan tersebut sudah benar-

xi
benar terwujud secara nyata dan diyakini keberadaannya. Selain itu, dalam kaidah ini
juga tercakup kaidah lain yang memiliki ‘nafas’ senada dengan kaidah di atas, yaitu,
“Seseorang yang telah yakin melakukan suatu pekerjaan tapi masih ragu, apakah yang
dia kerjakan adalah bilangan yang lebih banyak atau sedikit, maka hendaknya ia
memilih bilangan yang sedikit, karena bilangan minimal ini sudah pasti dikerjakan” 7

3. Kaidah Ketiga
‫اْلَم َش َّقُة َتْج ِلُب الَّتْيِس ُر‬

“Kesukaran itu dapat menarik kemudahan”.

Dalam kaidah ini, memberikan keringanan pelaksanaan aturan-aturan syari’ah


dalam keadaan khusus. Keringanan tersebut dalam Islam dikenal dengan istilah
rukhsah. Rukhsah merupakan jalan agar syari’at Islam dapat dilakukan kapan saja dan
dimana saja. Yaitu dengan memberi kelonggaran atau keringanan dalam menjumpai
suatu kesukaran dan kesempitan8. Hal itu antara lain dikarenakan kemampuan seorang
mukallaf itu terbatas.

Contohnya, orang yang sedang bepergian jauh dibolehkan mengqashar atau


menjamak shalat, dan boleh berbuka puasa apabila sedang mengalami kesulitan
misalnya sakit atau bepergian jauh.9

Landasan Kaidah ini antara lain Surah Al-Baqarah ayat 185:

ۚ ‫َو اْلُفْر َقاِن اْلُهَد ٰى ِم َن َو َبِّيَناٍت ِللَّناِس ُهًدى اْلُقْر آُن ِفيِه ُأْنِز َل اَّلِذ ي َر َم َض اَن َش ْهُر‬

ۗ ‫َخ َر ُأَأَّياٍم ِم ْن َفِع َّد ٌة َس َفٍر َع َلٰى َأْو ِر يًضا َك اَن َو َم ْن ۖ َفْلَيُص ْم ُه الَّش ْهَر ِم ْنُك ُم َش ِهَد َفَم ْن‬

‫َهَداُك ْم َم ا َع َلٰى َهَّللا َو ِلُتَك ِّبُروا اْلِع َّدَة َو ِلُتْك ِم ُلوا اْلُعْس َر ِبُك ُم ِر يُد َو اَل اْلُيْس َر ِبُك ُم ُهَّللا ُيِر يُد‬

‫َتْشُك ُروَن َو َلَع َّلُك ْم‬

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan

7
Muhammad al-Ruki, Qawa’id 189.
8
Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011)
9
Ibid.

xii
yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan
barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan
hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan
Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”.

Surah Al-Hajj ayat 78:

Artinya: “dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan.”

Dan hadits Nabi Muhammad SAW.:

)‫الِّدْيُن ُيْسٌر َاَح ُّب الِّدْيِن ِاَلى ِهللا اْلَحِنْيَفُة الَّس ْمَح ُة (رواه البخارى‬

“Agama itu memudahkan, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar
dan mudah”. (HR Bukhari).

Berikut beberapa cabang kaidah Ketiga

1. “apabila suatu perkara itu sempit maka hukumnya menjadi luas, sebaliknya jika
suatu perkara itu luas maka hukumnya menjadi sempit.”

Contohnya, boleh berbuka puasa pada bulan Ramadhan ketika sakit atau
bepergian jauh. Sakit dan bepergian jauh merupakan suatu kesempitan, maka
hukumnya menjadi luas yaitu kebolehan berbuka. Akan tetapi, bila orang sakit itu
sembuh kembali, maka hukumnya wajib melakukan puasa itu kembali

2. “Apabila yang asli sukar dikerjakan maka berpindah kepada penggantinya”

Contohnya, tayamum sebagai pengganti wudhu. Orang yang meminjam suatu


benda, kemudian benda itu hilang (misalnya, buku), maka penggantinya buku yang
sama baik judul, penerbit, maupun cetakannya, atau diganti dengan harga buku
tersebut dengan harga dipasaran.

xiii
3. “Apa yang tidak mungkin menjaganya (menghindarkannya), maka hal itu
dimaafkan”

Contohnya, pada waktu sedang berpuasa, kita berkumur-kumur, maka tidak


mungkin terhindar dari rasa air dimulut atau masih ada sisa-sisa. Dan darah yang
masih tersisa pada pakaian yang sulit dihilangkan dengan cucian.

4. “ Keringanan itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan”

Kaidah ini digunakan untuk menjaga agar keringanankeringanan di dalam


hukum tidak disalahgunakan untuk melakukan maksiat. Misalnya orang yang
bepergian untuk berjudi kehabisan uang atau kelaparan kemudian ia makan daging
babi. Maka dia tidak dipandang sebagai orang yang menggunakan rukhsah, tetapi
tetap berdosa dengan makan daging babi tersebut.

5. “Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya, maka kata
tersebut berpindah artinya kepada arti kiasannya”

Contohnya, seseorang berkata: “Saya wakafkan tanah saya ini kepada anak
Kyai Ahmad”. Padahal semua tahu bahwa anak kyai tersebut sudah lama meninggal,
yang ada hanyalah cucunya, yaitu kata kiasannya, bukan kata sesungguhnya. Sebab
tidak mungkin mewakafkan kepada orang yang sudah meninggal dunia.

` 6. “Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan, maka perkataan tersebut


ditinggalkan”

Contohnya, seseorang menuntut warisan dan mengaku bahwa dia adalah anak
dari orang yang meninggal, kemudian setelah diteliti, dia lebih tua dari pada orang
telah meninggal yang diakuinya sebagai ayahnya. Maka perkataan orang tersebut
ditinggalkan dalam arti tidak diakui perkataannya.

7. “Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan pada
permulaannya”

Contohnya, orang yang menyewa rumah yang diharuskan membayar uang


muka oleh pemilik rumah. Apabila sudah habis pada waktu penyewaan dan dia ingin
memperbarui dalam arti melanjutkan sewaannya, maka ia tidak perlu membayar uang
muka lagi.

8. “Dimaafkan pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya”

xiv
Contohnya, seseorang yang baru masuk Islam minum minuman keras karena
kebiasaannya sebelum masuk Islam dan tidak tahu bahwa minuman semacam itu
dilarang (haram). Maka orang tersebut dimaafkan untuk permulaannya karena
ketidaktahuannya. Selanjutnya, setelah dia tahu bahwa perbuatan tersebut adalah
haram, maka ia harus menghentikan perbuatan haram tersebut.

9. “Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang
lainnya”

Contohnya, penjual boleh menjual kembali karung bekas tempat beras, karena
karung mengikuti kepada beras yang dijual. Demikian juga boleh mewakafkan kebun
yang sudah rusak tanamannya karena tanaman mengikuti tanah yang diwakafkan10

4. Kaidah Keempat
‫الَّض َر اُر ُيَز اُل‬

“Kemudharatan itu harus dihilangkan”

Kaidah ini mengharuskan menghilangkan kemudharatan serta pengaruh dari


kemudharatan tersebut11. Dengan kata lain, kaidah ini menunjukkan bahwa berbuat
kerusakan itu atau yang dapat mendatangkan kerugian itu tidak dibolehkan oleh
agama Islam. Contohnya seperti memakan makanan yang haram dalam keterpaksaan
karena tak ada makanan lain dan apabila tidak memakannya bisa mati.

Kaidah ini berdasarkan pada beberapa ayat Al-Qur’an antara lain:

Surah Al A’raf ayat 56:

Artinya: “dan jangan kamu sekalian membuat kerusakan di bumi.”

10
H.A. Djazuli, Kaidah-kaidah …, 51, lihat juga contoh-contoh yang lain dalam Muhammad al-Ruki, Qawa’id
al-Fiqh al-Islamiy, 194
11
Prof. H.A. Djazuli, Ilmu Fiqih

xv
Surah Al Qoshosh ayat 77:

‫َو اْبَتِغ ِفيَم ا آَتاَك ُهَّللا الَّد اَر اآْل ِخ َر َةۖ َو اَل َتْنَس َنِص يَبَك ِم َن الُّد ْنَياۖ َو َأْح ِس ْن َك َم ا‬

‫َأْح َس َن ُهَّللا ِإَلْيَك ۖ َو اَل َتْبِغ اْلَفَس اَد ِفي اَأْلْر ِضۖ ِإَّن َهَّللا اَل ُيِح ُّب اْلُم ْفِس ِد يَن‬

Artinya: “sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang membuat


kerusakan.”

Dan hadits Nabi Muhammad SAW.:

‫َالَض َر َر َو َالِض َر اَر‬

“Tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta membuat kerusakan pada
orang lain.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).12

Berikut beberapa cabang kaidah Ketiga

1. bahaya harus ditolak semampu mungkin,

kaidah ini berlaku dalam hal darar nya belum atau akan terjadi. Upaya
preventif lebih utama dari upaya kuratif. Substansi kaidah ini mengindikasikan segala
bentuk bahaya harus segera di tangkal segera demi tercapainya maslahah baik yang
bersifat umum maupun yang khusus. Contoh shariat jihad, uqubah dll.

2. kondisi darurat akan membolehkan sesuatu yang asalnya tidak boleh

Substansi kaidah ini mengindikasikan bahwa kondisi bahaya/darurat dapat


menjadikan hal-hal yang semula dilarang menjadi boleh. Kaidah ini mencakup
persoalan yang sangat banyak, sebagai contoh: membuka aurat di depan dokter dalam
proses pengobatan. Makan dan minum yang haram demi kelangsungan hidup,
merobohkan bangunan unuk memadamkan api agar api tidak menjalar ke rumah-
rumah yng lain. Dll. Kaidah ini mempunyai pengecualian yaitu: kufur, membunuh
dan berzina.

12
H.A. Djazuli, Kaidah-kaidah …, 53

xvi
3. sesuatu yang diperbolehkan karena kondisi darurat harus di sesuaikan dengan kadar
daruratnya

Subtansi kaidah ini mengindikasikan bahwa sesuatu yang dibolehkan melalui


illah darurat harus secukupnya jangan lantas berlebihan atau dinikmati. Contoh:
bolehnya makan bangkai atau apa saja yang diharamkan dengan alasan untuk
pengobatan, maka tidak boleh kemudian dikonsumsi sampai kenyang. Pada tataran
aflkasinya kaidah ini memiliki pengecualian seperti bay araya, sumpah lian, dll. Jadi
misalnya Ketika suami tidak mengalami kesulitan untuk mendatangkan 4 orang saksi,
maka sesuai ijma ia tetap diperbolehkan melakukan lian.13

5. Kaidah Kelima
‫َاْلَع اَد ُة ُم ْح َك َم ٌة‬

“Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”.

Suatu kebiasaan bisa dijadikan patokan hukum. Kebiasaan dalam istilah hukum
sering disebut sebagai ‘urf atau ‘adah. Walaupun sebagian ulama juga ada yang
membedakan keduanya. Namun, menurut jumhur ulama, suatu ‘adah bisa diterima
jika memenuhi syarat-syarat berikut:

a. Tidak bertentangan dengan ketentuan nash, baik al-Qur’an maupun as-Sunah.


b. Tidak mendatangkan kemadharatan serta sejalan dengan jiwa dan akal yang
sejahtera.
c. Tidak mungkin berkenaan dengan perbuatan maksiat.
d. Perbuatan, perkataan yang dilakukan selalu terulang-ulang, boleh dikata sudah
mendarah daging pada perilaku masyarakat.
Contoh dari kaidah ini antara lain:
a. Menjual buah di pohon adalah tidak boleh menurut qiyas karena tidak jelas
jumlahnya, tapi karena sudah menjadi kebiasaan (‘adah) maka ulama
membolehkan.
b. Orang-orang mengajarkan Al-Qur’an dibolehkan menerima gaji, hal itu antara
lain agar Al-Qur’an tetap eksis di kalangan umat Islam.

13
Imad ‘Ali Jum’ah, al-Qowa’id al-Fiqhiyah al-Muyasharah (Urdun: Dar an-Nafais, 2006), 51

xvii
Dasar nash kaidah ini adalah:
Firman Allah SWT. pada surah Al A’raf ayat 199:

“dan serulah orang-orang yang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah


dari orang yang bodoh.” (QS. Al A’raf: 199)

Sabda Nabi SAW:

“apa yang dipandang baik oleh muslim maka baik pula di sisi Allah.” (HR.
Ahmad)14

Berikut ini cabang kaidah kelima

1. Kaidah Sesuatu yang dianggap baik menurut `urf, sama kekuatannya dengan
sesuatu yang dipersyaratkan oleh syara`. Qaidah ini memberi pengertian bahwa
ketentuan ketentuan `urf mempunyai kekuatan mengikat seperti ketentuan
ketentuan syara` dalam hal yang benar benar tidak bertentangan dengan ketentuan
ketentuan nass al-Qur`an dan sunnah Rasul

2. Tradisi yang disepakati antar pedagang bagaikan sebuah syarat

3. Perbuatan manusia yang telah tetap dikerjakannya wajib beramal dengannya15

Inilah macam kaidah fiqhiyah yang banyak digunakan sebagai pembuka


jalan untuk memahami kaidah-kaidah lainnya. Oleh karena kaidah fiqih ini
berkaitan dengan sikap dan tingkah laku manusia, maka sering digunakan secara
luas, diperlukan dalam kehidupan dan untuk memecahkan masalah-masalah yang
bersifat pribadi, masalah-masalah dalam keluarga, atau juga masalah-masalah yang
terjadi dalam masyarakat pada umumnya.

Jadi, apabila kita sederhanakan, proses pembentukan kaidah fiqih dapat


digambarkan dengan skema sebagai berikut:

14
Syeh Ahmad bin Syeh Muhammad Az-Zarqa’, Syarh Qawa’id Fiqhiyah, (Damaskus: Dar al-Qolam, 1996),
237
15
Imad Ali Jum’ah, al-Qawaid al-Fiqhiyah al-Muyassarah, 69.

xviii
Al-Qur'an & Ushul Fiqh
Kaidah
Hadits
Fiqih Fiqih

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kaidah-kaidah fiqih yang ada hingga saat ini merupakan warisan ulama
terdahulu. Termasuk lima kaidah fiqih yang telah dikemukakan di atas. Ia berupa hasil
perenungan dan penelitian yang telah teruji. Oleh karena itu dapat dijadikan solusi
alternatif karena dapat dijadikan landasan dalam memecahkan persoalan-persoalan
hukum yang timbul dalam masyarakat secara benar, adil, dan arif. Hal ini perlu karena

xix
perubahan waktu, tempat dan adat kebiasaan masyarakat dapat mengakibatkan
pengecualian atas kaidah-kaidah fiqih tertentu.

Bahkan, tidak mustahil akibat beban dan tuntutan masyarakat, akan timbul
kaidah-kaidah yang lebih baru. Barangkali, ini menjadi tugas para peminat kajian
hukum Islam untuk ikut andil dalam perkembangan hukum Islam dan pencapaian
kebenaran, kebaikan, dan keindahan perilaku individu, dan masyarakat berdasarkan
syari’at Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Suyatno. Dasar-dasar Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih. 2011. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media

Syafe’I , Prof. Dr. Rachmat, M.A. Ilmu Ushul Fiqih. 2010. Bandung: Pustaka Setia

Dr. M. Noor. Harisudin, M. Fil. I, Pengantar Ilmu Fiqih. 2013. Surabaya: Pena Salsabila

Ahmad al-Nadwi, al-Qawa’id al-Fiqhiyah, cet. V, Beirut, Dar al-Qalam, 1420

xx
Azam, Abdul Aziz Muhammad, Qawa‘id al-Fiqh al-Islami. Kairo: al-Risalah al-Dauliyah,

1999

Azam, Abdul Aziz Muhammad, Qawa‘id al-Fiqh al-Islami. Kairo: alRisalah al-Dauliyah,

1999

Azhari,Fathurrahman. 2015. Qawa’id Fiqhyyah Muamalah. Banjarmasin : Lembaga

Pemberdayaan Kualitas Ummat Banjarmasin

Dahlan, Rahman. 2011. UsulFiqh. Jakarta : Amzah.

H.A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fiqh, Jakarta, Kencana, 2006

Hayy Abdul Al’,Abdul. 2014. PengantarUshulFiqh. terj Muhammad Misbah. Jakarta

Timur :Pustaka Al Kautsar

Qadhi Abd al-Wahab al-Baghdadi al-Maliki, al-Isyraf ‘ala Masail alKhilaf, dalam

Muhammad al-Ruki, Qawaid al-Fiqh al-Islami, cet.I, Beirut, Dar al-Qalam, tt

xxi

Anda mungkin juga menyukai