Anda di halaman 1dari 19

HUKUM KAIDAH KULLIYAH SUGHRO

(Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Qowaid Fiqiyyah)

Dosen Pengampu : Dr. Moch. Bukhori Muslim

Kelompok 10:

Shafnia Ainun Nuha (11220480000058)


Muhammad Salwa Fauzan (11220480000067)
Muhammad Haris Setiawan (11220480000082)
Anggi Atikasari (11220480000092)

KELAS ILMU HUKUM 3 B

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2023M/1445H

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Hukum Kaidah
Kulliyyah Sughro” ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari
penulisan makalah ini, yaitu untuk memenuhi tugas dari Dr. Moch. Bukhori Muslim, M.A
pada mata kuliah Qowaid Fiqhiyyah, selain itu makalah ini bertujuan untuk menambah
wawasan tentang Hukum Kaidah Kulliyyah Kubro Kelima, al-Adatu Muhakkamah bagi
para pembaca dan juga untuk penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Dr. Moch. Bukhori Muslim, M.A selaku dosen
bidang studi, Qowaid Fiqhiyyah yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
meningkatkan pengetahuan dan wawasan yang sesuai dengan bidang studi yang kami
tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
beberapa pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Kami menyadari, makalah yang kami kerjakan ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan
makalah ini..

Tangerang, 23 Oktober 2023

Kelompok 10

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................................................... iii
BAB I .............................................................................................................................................. 1
1.1 LATAR BELAKANG ............................................................................................................... 1
1.2 RUMUSAN MASALAH ......................................................................................................... 2
1.3 TUJUAN MAKALAH ............................................................................................................. 2
2. Memahami konsep dari macam-macan kaidah kulliyah sughro....................................... 2
3. Memberi pemahaman tentang kaidah kulliyah sughro dari permasalahan yang disajikan
dengan contoh-contoh permasalahan fiqhiyyah. ..................................................................... 2
BAB II ............................................................................................................................................. 3
2.1 KAIDAH KAIDAH KULLIYAH SUGHRO .................................................................................. 3
A. Ijtihad tidak dibatalkan oleh ijtihad (‫ )االجتهاد ال ينقض باإلجتهاد‬............................................. 3
B. Apabila berkumpul dua perkara satu jenis, dan tidak berbeda maksud dari keduanya,
maka menurut biasanya yang satu kepada yang lain. ( ‫ص ْو‬ ُ ‫ِف َم ْق‬
ْ ‫ان مِ ْن ِج ْن ٍس َواحِ ٍد لَ ْم َي ْختَل‬
ِ ‫اِذَااجْ تَ َم َع ا َ ْم َر‬
َ ْ
‫)دُ هُ َما فِى اال خ َِر غَالِب‬.................................................................................................................. 4
C. Pengikut Itu adalah Mengikuti: Pengikut Menjadi Gugur karena Gugurnya yang Diikuti
ْ ُ ُ‫ )التَّا ِب ُع تَا ِب ٌع التَّا ِب ُع َي ْسق‬............................................................................................. 5
ِ ‫سقُوطِ ال َم ْتب‬
( ‫ُوع‬ ُ ‫ط ِب‬
D. Yang Mengikuti Tidak Boleh Mendahului yang Diikuti; Sesuatu yang mengikuti tidak
dapat berdiri sendiri secara hukum. (‫ع؛ ْالتَّا ِب ُع الَ َي ْف ِردُ ِب ْال ُح ْك ِم‬ ْ َ ‫)التَّا ِب ُع الَ َيتَقَدَّ ُم‬
ِ ‫علَى ال َم ْتب ُْو‬
ْ ........................ 6
E. Dapat Dimaafkan dalam Hal-Hal yang Mengikuti, Tidak Dimaafkan pada yang Lainnya.
َ ‫ ) ُي ْغتَف َُر فِي التَّ َوا ِب ِع َما َال ُي ْغتَف َُر فِي‬............................................................................................. 7
(‫غي ِْرهَا‬
F. Keridhaan dengan Sesuatu adalah Ridha dengan Akibat yang Terjadi Daripadanya
(ُ‫ضا ِب َما َيت ََولَّدُ مِ ْنه‬ َّ ‫ضا ِبال‬
َ ‫ش ْيءِ ِر‬ َ ‫)الر‬
ِ ................................................................................................... 8
G. Suatu perkataan tidak dinisbatkan kepada orang yang diam. Namun, sikap diam pada
saat diperlukan maka itu dianggap sebagai sebuah penjelasan. ( ‫قو ٌل َولكِن‬ ْ ‫ساكِت‬ َ ‫إلى‬
َ ُ‫سب‬ َ ‫ال يُن‬
‫كوت فِى َم ْع َرض ال َحا َج ِة َب َيان‬‫س‬
ْ ُ ‫)ال‬ ..................................................................................................... 9
H. Perkara Wajib Tidak Boleh Ditinggalkan Kecuali Karena Perkara Wajib ( ُ‫ال يُ ْت َرك‬ َ ُ‫اجب‬ِ ‫الو‬
َ
‫ب‬
ٍ ‫اج‬ َّ
ِ ‫ )إِال ل َِو‬............................................................................................................................... 10
I.Apabila suatu pengahalang telah hilang, maka hukum yang menghalangi kembali seperti
semula. (ُ‫عادَ ْال َم ْمنُ ْوع‬
َ ،‫ )إِذَا زَ ا َل ْال َم ْن ِع‬............................................................................................ 11
J.Setiap syarat yang menyalahi dasar-dasar syariah adalah batal. ( ‫ش ِر ْيعَ ِة‬ ُ ُ ‫ِف أ‬
َّ ‫ص َل ْال‬ ُ ‫ُك ُّل ش َْرطٍ ُمخَال‬
‫ )بَاطِ ٌل‬..................................................................................................................................... 12
K. Perubahan fatwa dan perbedaanya disebabkan berubahnya waktu dan tempat, kondisi
masyarakat, niat dan adat. (‫ب تَغَي ُِّر األ َ ْزمِ َن ِة َو األ َ ْم ِك َن ِة و ْال ِن َّي ِة َو األ َ َوا ِع ِد‬ ْ ‫ )تَغَي ُُّر ْالفَ ْت َو ٰى و‬......... 12
َ ‫اختِالفُ َها ِب‬
ِ ‫س َب‬
BAB III .......................................................................................................................................... 14
3.1 KESIMPULAN ............................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................ 15

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Qowaid fiqhiyah atau prinsip-prinsip fiqh menjadi landasan utama dalam
mengambil keputusan hukum dalam Islam. Kaidah-kaidah sughro termasuk di antara
prinsip-prinsip ini dan memiliki peran yang signifikan dalam menetapkan hukum-
hukum dalam kehidupan sehari-hari umat Islam.

Dalam pemahaman qowaid fiqhiyah, kaidah-kaidah sughro memiliki peran


penting sebagai prinsip-prinsip yang membantu dalam menafsirkan hukum Islam
dalam kasus-kasus kecil atau situasi-situasi yang spesifik. Mereka merupakan aturan-
aturan yang berlaku secara umum namun dapat diaplikasikan pada situasi-situasi yang
bersifat terbatas atau kecil. Penting untuk dipahami bahwa kaidah-kaidah sughro ini,
meskipun bersifat spesifik, memiliki implikasi yang luas dalam pemahaman hukum
Islam. Mereka membantu dalam mengatasi situasi-situasi yang belum secara eksplisit
diatur dalam sumber-sumber utama hukum Islam seperti Al-Qur'an dan Hadis.

Selain itu, pengertian terhadap kaidah-kaidah sughro menjadi relevan dalam


konteks perkembangan zaman. Di era modern seperti saat ini, di mana banyak
perubahan dan situasi baru muncul, pemahaman yang mendalam terhadap prinsip-
prinsip kaidah sughro menjadi sangat penting untuk memberikan panduan hukum
yang sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam.

Mempelajari kaidah-kaidah sughro dalam mata kuliah qowaid fiqhiyah


memberikan landasan bagi mahasiswa untuk menguasai prinsip-prinsip dasar fiqh
yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini juga membantu dalam
membentuk pemahaman yang lebih komprehensif terhadap kerangka berpikir dalam
pengambilan keputusan hukum dalam Islam. Dengan pemahaman yang baik terhadap
kaidah-kaidah sughro, diharapkan mahasiswa dapat mengembangkan kemampuan
untuk menganalisis kasus-kasus spesifik dan menerapkan prinsip-prinsip tersebut
dalam konteks yang relevan, sesuai dengan tuntutan zaman serta dalam menghadapi
permasalahan hukum yang semakin kompleks.

1
Dalam rangka menghadapi tantangan zaman yang terus berkembang, pemahaman
terhadap kaidah-kaidah sughro dalam qowaid fiqhiyah menjadi semakin penting
sebagai landasan untuk menjawab perubahan-perubahan dalam kehidupan modern
dan memberikan solusi yang sesuai dengan ajaran Islam.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Apa saja bagian-bagian dari kaidah kulliyah sughro?
2. Bagaimanakah pengertian dari macam-macam kaidah kulliyah sughro?
3. Bagaimana pengaplikasian dari kaidah kulliyah sughro dalam permasalahan
fiqhiyyah?

1.3 TUJUAN MAKALAH


1. Mengetahui macam-macam kaidah kulliyah sughro.
2. Memahami konsep dari macam-macan kaidah kulliyah sughro.
3. Memberi pemahaman tentang kaidah kulliyah sughro dari permasalahan yang
disajikan dengan contoh-contoh permasalahan fiqhiyyah.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 KAIDAH KAIDAH KULLIYAH SUGHRO

A. Ijtihad tidak dibatalkan oleh ijtihad (‫)االجتهاد ال ينقض باإلجتهاد‬


Kaidah tersebut memiliki pengartian “Ijtihad itu tidak bisa dirusak dengan ijtihad
lainnya”. Maksud dari kaidah tersebut ialah bahwa sebuah hasil ijtihad yang telah
dilaksanakan pada suatu tempat dan waktu tertentu tidak dapat dibatalkan oleh hasil
ijtihad pada tempat dan waktu yang lain. Kaidah ini berlaku baik bagi seorang mujtahid
maupun lebih, serta berlaku juga untuk hasil ijtihad yang bersifat kolektif dan personal.
Oleh karena itu hasil dari ijtihad pada waktu sekarang , tidak dapat membatalkan ijtihad
pada masa lampau. Apabila kaidah ini tidak diterapkan maka hasil-hasil ijtihad antara
masa sekarang dan masa lampau akan terus saling membatalkan, ijtihad yang dulu
dibatalkan oleh ijtihad yang sekarang, ijtihad yang sekarang akan dibatalkan oleh ijtihad
yang akan datang dan begitu seterusnya. Hal tersebut menyebabkan tidak adanya
ketetapan hukum yang dapat mengakibatkan kesulitan dan kekacauan yang besar. Hukum
hasil ijtihad yang terdahulu tidak batal karena adanya ijtihad yang baru, sehingga tetap
sah semua perbuatan yang berdasarkan hasil ijtihad terdahulu, tetapi untuk perbuatan
kemudian hukumnya telah berubah dengan adanya hukum hasil dari ijtihad yang baru.
Suatu keputusan yang telah ditetapkan oleh ijtihad mungkin akan diterima atau tidak
diterima oleh sebagain orang. Berlakunya ijtihadnya pun akan berbeda-beda antara satu
tempat dengan tempat lain, serta antara satu waktu dengan waktu kedepannya, hal
tersebutu disebabkan karena pemikiran atau gagasan tiap orang mujtahid pasti berbeda-
beda. Oleh karenanya setiap Ijtihad tidak bisa dipaksakan harus diterima oleh semua
orang. Maksudnya, ijtihad yang telah disepakati sebelumnya itu tidak dapat diganggu
gugat oleh ijtihad yang baru. Karena kedudukan masing-masing hasil ijtihad sama, dan
karenanya masing-masing ijtihad tidak ada yang istimewa. Dan masing-masing ijtihad
tidak bisa saling membatalkan. Kaidah ini berlaku dalam segala bidang,baik bidang
ibadah, muamalah maupun yang lainnya.

3
Contoh dari penerapan kaidah ini yaitu Seseorang ketika akan melaksanakan shalat dan
berijtihad tentang arah kiblat. Kemudian di tengah-tengah shalat, ijtihadnya berubah dan
tidak sama dengan hasil ijtihadnya yang pertama. Maka dia harus menggunakan hasil
ijtihadnya yang kedua serta tidak diwajibkan qadla’.1

Namun ada beberapa ijtihad yang dapat dibatalkan atau tidak dapat
diberlakukannya kaidah ini yaitu apabila :

1. Keputusan yang dihasilkan tidak sesuai dan menyimpang jauh dari nash.
2. Keputusan yang bertentangan dengan ijma para ulama.
3. Apabila seorang ahli fiqh berijtihad kemudian melaksanakannya.Namun,setelah
itu dia mengetahui bahwa ijtihadnya tersebut keliru atau jelas-jelas salah, maka
mujtahid tersebut harus membatalkan ijtihadnya yang pertama dan melaksanakan
hasil ijtihadnya yang kedua.2

B. Apabila berkumpul dua perkara satu jenis, dan tidak berbeda maksud dari keduanya,
ْ ‫ان مِ ْن ِج ْن ٍس َواحِ ٍد لَ ْم َي ْختَل‬
maka menurut biasanya yang satu kepada yang lain. ( ‫ِف‬ ِ ‫اِذَااجْ تَ َم َع ا َ ْم َر‬
‫ص ْو دُ هُ َما فِى اْ َال خ َِر غَالِب‬
ُ ‫) َم ْق‬
Kaidah ini menyatakan bahwa jika ada dua hal yang memiliki tujuan yang sama, maka
salah satu dari kedua hal tersebut dapat menggantikan yang lain. Dengan kata lain,
melakukan salah satu dari dua hal yang mana hal tersebut lebih besar adalah sudah
mencukupi, karena pada dasarnya yang lebih besar sudah mencakup yang kurang. Ini
berarti bahwa melakukan yang lebih besar sudah dianggap juga telah mencakup kedua
hal tersebut secara bersamaan.3

Contoh :

1. Masuk masjid kemudian sholat fardhu, sudah tercakup sholat tahiyyatul masjid.
2. Apabila orang hadats kecil dan hadats besar (junub), maka cukup bersuci dengan
mandi saja, seperti kalau orang junub dan haidh.

1
Muhammad Rusdi,Analisis Kaidah AL-IJjtihad La Yunqodh Bil Al-Ijtihad Dan Aplkasinya Dalam
Hukum Islam.V(5)2,Al-Qodho.2018,hlm.49-51.
2
Muhammad Syarif,Ijtihad Tidak Bisa Membatalkan Ijtihad Yang Lain,V(9)2,Jurnal Studi
Pemikiran,Riset dan Pengembangan Pendidikan Islam,2021,July.hlm147-152.
3
Has, A. W. (2013). Ijtihad Sebagai Alat Pemecahan Masalah Umat Islam. 8(1), 89-112.

4
3. Jika orang datang di masjidil haram kemudia thawaf nadzar. Maka sudah
termasuk didalamnya thawaf qudum.

C. Pengikut Itu adalah Mengikuti: Pengikut Menjadi Gugur karena Gugurnya


ْ ُ ُ‫)التَّا ِب ُع تَا ِب ٌع التَّا ِب ُع َي ْسق‬
ِ ‫سقُوطِ ال َم ْتب‬
yang Diikuti ( ‫ُوع‬ ُ ‫ط ِب‬
Secara sederhana makna kaidah segala sesuatu yang berstatus sebagai pengikut (tabi’)
secara hukum harus mengikuti pada sesuatu yang diikuti (matbu’). Mengenai makna yang
dikehendaki dalam kaidah ini tentang sesuatu yang mengikuti (tabi’), perlu kiranya
identifikasi sesuatu yang dianggap sebagai tabi’:

a. Menurut al-Zarq, tabi’ merupakan sifat dan bagian (juz’) dari matbu’ yang
tidak dapat dipisahkan.4
b. Menurut al-Zarkashi, tabi’ diidentifikasi sebagai sesuatu yang
bersambung yang sangat sulit untuk dipisahkan dengan matbu’.5

Dengan demikian, makna yang dikehendaki mengenai tabi’ adalah sesuatu yang
tersambung dan menjadi bagian dengan sesuatu yang diikuti dan sulit untuk dipisahkan.

At-tabi’ dapat diidentifikasi sebagai sesuatu terpisah dengan matbu’, tetapi keterpisahan
tersebut tidak menghilangkan kriteria tersambung (ittishal) yang telah menjadi
identitasnya.6 Misalnya, hewan piaraan dan harta yang dimiliki seseorang secara lahiriah
terpisah dengan pemiliknya. Terpisah secara lahiriyah itu tidak menghilangkan
ketersambungan akibat dari hak kepemilikannya, sehingga hukum hewan piaraan dan
harta tersebut hukumnya mengikuti pemiliknya.

Dari identifikasi dan penjelasan di atas, maka tabi’ merupakan sesuatu yang menjadi
bagian atau akibat yang ditimbulkan sehingga sangat wajar jika tabi’ tidak dapat berdiri
sendiri, atau memiliki ketetapan hukum tersendiri yang tidak terikat dan tidak terkait
dengan hukum sesuatu yang diikuti.

ْ ُ ُ‫التَّابِ ُع يَ ْسق‬, yang


ِ ‫سقُوطِ ال َمتْب‬
Kaidah ini memiliki beberapa turunan, salah satunya adalah: ‫ُوع‬ ُ ِ‫ط ب‬
berarti: ‘Apabila hukum yang diikuti gugur. Maka gugur pula hukum yang mengikuti.’

4
Ahmad bin Muhammad al-Zarqa, Sharh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, h. 144
5
Badr al-Din al-Zarkashi, al-Manthur fi al Qawa’id, (Kuwait: Wizarah al-Awqaf wa Shu’un al-
Islamiyyah), jilid I, h. 238.
6
Badr al-Din al-Zarkashi, al-Manthur, jilid I, h. 239.

5
Contoh dari kaidah tersebut ialah :

1. Orang gila tidak berkewajiban sholat fardhu. Karena itu tidak disunatkan shalat
sunnat riwatib. Kewajiban shalat fardhu telah gugur, dengan sendirinya shalat
sunat menjadi gugur pula.
2. Terlambat wuquf di padang arofah, maka orang harus tahallul dengan
mengerjakan thawaf, sa’i dan mencukur, buka tahallul dengan melempar jumrah
dan bermalam (mabit) di mina. Sebab melempar jumrah dan mabit adalah
pekerjaan yang mengikuti wuquf.
3. Karena adanya sebab-sebab tertentu sakit atau luka misalnya, orang boleh tidak
membasuh muka saat berwudhu, oleh sebab itu ia tidak disunatkan lagi membasuh
bagian muka lainnya yang tidak luka semata-mata untuk mencapai kesempurnaan
wudhu (ghurrah) karena membasuk muka telah gugur, gugur pula membasuh
bagian-bagian yang berdekatan dengan muka itu.

D. Yang Mengikuti Tidak Boleh Mendahului yang Diikuti; Sesuatu yang


mengikuti tidak dapat berdiri sendiri secara hukum. ( ُ‫ْالتَّا ِب ُع الَ َيتَقَدَّ ُم َعلَى ْال َم ْتب ُْوعِ؛ ْالتَّا ِب ُع الَ َي ْف ِرد‬
‫) ِب ْال ُح ْك ِم‬
ْ َ ‫ ْالتَّا ِب ُع‬adalah bahwa hal yang mengikuti tidak boleh
Makna kaidah ‫ع‬ ِ ‫ع َلى ال َمتْب ُْو‬
َ ‫ال يَت َ َقدَّ ُم‬
mendahului hal yang diikuti. Prinsip ini menegaskan bahwa hal yang menjadi acuan atau
panutan harus selalu diletakkan dan diprioritaskan di depan, sedangkan yang mengikuti
harus berada setelahnya. Kaidah ini masih terkait dengan prinsip sebelumnya, yaitu "At-
taa-bi-‘u taa-bi". Prinsip ini banyak diterapkan dalam permasalahan fiqhiyah, yakni:

1. Makmum shalat tidak boleh mendahului gerakan maupun bacaan imam.


2. Seorang laki-laki belum boleh “menyentuh” perempuan yang belum sah menjadi
istrinya.
3. Anggota pasukan tidak boleh bergerak sebelum ada perintah dari komandan.
4. Hukum jual beli dengan syarat gadai diperbolehkan dengan syarat dalam
pengucapan akad (transaksi) harus mendahulukan lafadz jual beli dan
mengakhirkan lafadz gadai, karena pensyaratan berupa gadai merupakan tabi’
dari bai’

Sedangkan makna dari ‫ ْالتَّا ِب ُع الَ َي ْف ِردُ ِب ْال ُح ْك ِم‬adalah bahwa sesuatu yang merupakan pengikut
atau mengikuti tidak dapat memiliki hukumnya sendiri secara terpisah. Prinsip ini telah

6
dikemukakan oleh Ibnu Nujaym, al-Suyuti, dan al-Subki. Artinya, sesuatu yang
mengikuti tidak bisa memiliki status hukum sendiri kecuali jika menjadi tujuan tertentu.
Ada penambahan redaksi dari Zarqa-al Namun, yang mengindikasikan bahwa sesuatu
yang mengikuti tidak memiliki hukumnya sendiri selama tidak dianggap sebagai tujuan.
Meskipun ada variasi dalam bagian redaksi, maknanya tetap sama: hal yang dianggap
sebagai pengikut tidak dapat memiliki status hukumnya sendiri yang terpisah dan tidak
terkait dengan hukum yang diikutinya.

Prinsip ini telah banyak diterapkan dalam banyak ketentuan fiqh, contohnya dalam hal
masyarakat dan pemimpinnya. Dalam konteks ini, masyarakat tidak dapat menetapkan
hukum tanpa persetujuan pemimpin. Imam al-Rafi'i juga menyatakan bahwa perusakan
perjanjian yang dilakukan oleh masyarakat, baik kafir maupun Muslim, tanpa persetujuan
pemimpinnya tidak diakui sebagai sah dan tidak memiliki status hukum karena dianggap
sebagai "pengikut" yang tidak dapat berdiri sendiri. Namun, ada pengecualian
(mustathnayat) dari prinsip ini, seperti dalam hak waris anak dalam kandungan yang
seharusnya masih mengikuti ibunya. Tetapi, jika ada keyakinan bahwa anak tersebut akan
lahir, maka anak itu dapat ditetapkan sebagai penerima bagian dari harta waris jika pada
saat kematian ayahnya anak tersebut sudah dianggap dapat lahir.

E. Dapat Dimaafkan dalam Hal-Hal yang Mengikuti, Tidak Dimaafkan pada yang
َ ‫)يُ ْغتَف َُر فِي الت َّ َوابِ ِع َما َال يُ ْغتَف َُر فِي‬
Lainnya. (‫غي ِْرهَا‬
Kaidah diatas memiliki arti bahwa dapat dimaafkan dalam hal-hal yang mengikuti, tidak
dimaafkan pada yang lainnya. Kaidah ini sejalan dengan kaidah “ ‫يغتفر في الثواني ما ال يغتفر‬
‫ ”في األوائل‬Artinya: “Dapat dimaafkan bagi yang meniru, tidak dimaafkan bagi yang
memulai”. Kaidah ini merupakan cabang dari kaidah dasar qowaid fiqiyah yaitu ( ‫المشقة‬
‫ )تجلب التيسير‬Al Masyaqah Tajlib al-Taisir yang artinya kesulitan mendatangkan
kemudahan.

Contoh penerapan kaidah ini:

1. Serambi masjid adalah bagian yang tak terpisahkan dari masjid, namun dalam hal
I’tikaf tidak termasuk sebagai masjid, sehingga tidak sah i‟tikaf di sana.

7
2. Penjual boleh menjual kembali karung bekas tempat beras, karena karung
mengikuti kepada beras yang dijual. Demikian juga boleh mewakafkan kebun
yang sudah
3. rusak tanamannya karena tanaman mengikuti tanah yang diwakafkan
4. Jual beli tanaman muda tidak boleh melainkan harus ditebas atau ditebang
seketika. Dan jika menjula sebidang tanah maka tanaman apapun yang ada
didalamnya biar masih muda sekalipun boleh, karena tanaman-tanaman tersebut
ikut terjual.
5. Mewakafkan sebidang kebun yang tanamannya sudah rusak, maka wakaf itu sah,
karena yang rusak adalah tanaman yang mengikuti kebun.

F. Keridhaan dengan Sesuatu adalah Ridha dengan Akibat yang Terjadi


Daripadanya (ُ‫ضا بِ َما يَت ََولَّدُ مِ ْنه‬ َّ ‫ضا بِال‬
َ ‫ش ْيءِ ِر‬ َ ‫)الر‬
ِ
Landasan dari kaidah ini ialah

1) Dalil Al-Qur’an Surah al-Nisa ayat 29 yang artinya “ Dengan suka sama-suka di
antara kamu”
2) Hadis Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dari Abi Said al-
Khudry:

َ ُ ‫إِنَّ َما ْالبَيْع‬


‫عن ْ ت ََر اض‬

Artinya “Sesungguhnya jual beli harus dilakukan dengan suka sama suka”

Sebenarnya kaidah ini merupakan lanjutan dari kaidah Qaidah fiqhiyyah muamalah ini
adalah sebagai kelanjutan dari qaidah: ‫رض ى المتعاقِدين ِ َونَتِي َج ته‬
َ ‫األصل في العقد‬

‫( هي َما اِلتِزَ َماه بالت َّ َعاقَد‬Pada dasarnya pada akad adalah keridhaan kedua belah pihak yang
mengadakan akad hasilnya apa yang saling diiltizamkan oleh perakadan itu).
Maksudnya ialah bahwa seseorang yang telah ridho terhadap sesuatu, maka segala
akibat yang nantinya akan terjadi harus dia terima. Dengan kata lain seseorang tersebut
harus mau menerima resiko yang akan terjadi dari apa yang telah ia ridhoi atau setujui.

Penerapan Kaidah :

8
1. Apabila seseorantg telah ridho untuk membeli barang yang cacat,kemudian apabila
kecacatan tersebut bertambah berat maka ia harus menerimanya.
2. Apabila seseorang yang menggadaikan barangnya sebagai jaminan utangnya telah
mengizinkannya dengan keridhaannya kepada penggadai untuk memanfaatkannya,
kemudian ternyata barang yang digadai itu terdapat kerusakan, maka sipenggadai
tidak harus menanggung kerugiannya, karena kerusakan tersebut timbul dari suatu
perbuatan yang telah diizinkan oleh orang yang menggadaikan.

G. Suatu perkataan tidak dinisbatkan kepada orang yang diam. Namun, sikap
diam pada saat diperlukan maka itu dianggap sebagai sebuah penjelasan. ( ُ‫سب‬
َ ‫ال يُن‬
‫كوت فِى َم ْع َرض ال َحا َج ِة َب َيان‬‫س‬
ْ ُ ‫ال‬ ‫ِن‬
‫ك‬ ‫ل‬ ‫و‬ ٌ
‫ل‬
َ ْ ‫قو‬ ‫ِت‬
‫ك‬ ‫ا‬ ‫س‬ ‫)إلى‬
َ َ
Kaidah di atas akan dirinci menjadi dua bagian:7

a) Suatu perkataan/pendapat tidak dinisbatkan kepada orang yang diam.

Imam Syafi`i rahimahullah berkata bahwasanya seseorang yang diam itu tidak boleh
dikatakan memiliki pendapat tertentu mengenai suatu hal sebelum dia
mengungkapkannya. Atau dengan kata lain, tidak boleh menisbatkan suatu
perkataan/pendapat kepada seseorang padahal seseorang itu tidak mengucapkannya.

Penerapan dari kaidah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Jika seseorang melihat ada yang merusak barang miliknya namun dia hanya
diam, maka diamnya orang tersebut tidak berarti izin atas pengrusakannya.
2. Jika seseorang melihat ada orang lain yang menjual barang miliknya dan hanya
berdiam saja. Maka, diamnya orang tersebut tidak dianggap sebagai keridhoan
atas penjualan barangnya.

b) Diamnya seseorang saat diperlukan (untuk berpendapat) maka itu adalah suatu
penjelasan.

Para ulama menambahkan kaidah ini sebagai pengecualian terhadap pandangan yang
sebelumnya diungkapkan oleh Imam Syafi'i. Esensi dari kaidah ini adalah ketika

7
Dr. Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz fi Syarh al-Qawaid al-Fiqhiyah fi asy-Syariah al-Islamiyah, Beirut:
Ar-Risalah, 1422H/2001M

9
seseorang tetap diam dalam situasi yang mengharuskan mereka untuk berpendapat,
keheningan tersebut dianggap sebagai persetujuan atau penjelasan. Salah satu contoh
penerapan kaidah ini adalah sebagai berikut:

1. Diamnya seorang wanita gadis ketika walinya meminta persetujuan atas


pernikahan, maka ini dianggap sebagai keridhaan.
2. Diamnya orang yang memiliki hak syuf'ah ketika ia mengetahui barang/tanah
dijual kepada orang lain, maka ini berarti ia ridha terhadap hal tersebut dan
hilanglah hak syuf'ah yang dimilikinya

H. Perkara Wajib Tidak Boleh Ditinggalkan Kecuali Karena Perkara Wajib


(‫ب‬ ِ ‫اجبُ الَ يُتْ َركُ ِإالَّ ل َِو‬
ٍ ‫اج‬ ِ ‫)الو‬
َ
Perkara wajib merupakan sesuatu yang dituntut untuk dilakukan secara tegas, serta
dilarang apabila tidak dikerjakan. Meninggalkan suatu perkara wajib adalah perbatan
dosa dan layak untuk mendapat sanksi berupa dosa. Namun perkara wajib ini dapat
ditinggalkan dengan satu syarat yaitu disebabkan oleh perkara wajib lannya. Kaidah fiqih
menyatakan: ‫( الواجب ال يترك إال بواجب‬perkara wajib tidak boleh ditinggalkan, kecuali karena
ada perkara wajib lainnya). Dari kaidah tersebut, dapat dipahami bahwa satu perkara
wajib tidak boleh ditinggalkan karena perkara sunnah, apalagi sekadar mubah. Ia hanya
boleh ditinggalkan karena perkara wajib yang lain. Dengan adanya kaidah ini seorang
Muslim akan terjaga dari hal-hal yang tidak sesuai dengan syariat, tidak akan terombang
ambing apabila dihadapkan suatu masalah,kaidah ini juga akan menjaga seorang Muslim
dari kesalahan yang berakibat fatal.8

Contoh Penerapan Kaidah :

1. Makan bangkai dalam keadaan darurat dihukumi wajib. Karena sesuatu yang
haram jika dibolehkan berarti menunjukkan wajibnya.

2. Jika imam atau munfarid (yang shalat sendirian) sudah berdiri di raka’at ketiga
dan lupa melakukan tahiyat awal, maka ia tidak boleh kembali ke tahiyat awal.

8
Ash Shiddeqi, Hasbi. 1993. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang Bahri, Nadzar. 1993.
Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

10
Karena kita ketahui bersama bahwa tahiyat awal dalam madzhab Syafi’i termasuk
perkara sunnah (ab’adh). Sedangkan berdiri di raka’at ketiga sudah masuk dalam
rukun (wajib). Kaedahnya, perkara wajib tidaklah bisa ditinggalkan cuma lantaran
mengejar suatu yang sunnah. Perkara wajib hanya bisa ditinggalkan karena
bertemu dengan yang wajib.

3. Jika imam sudah berdiri ke raka’at ketiga padahal lupa melakukan tahiyat awal,
lalu ia kembali ke tahiyat awal, maka wajib bagi makmum untuk mengikuti imam.
Karena mengikuti imam itu wajib. Sesuai kaedah, perkara wajib tidaklah
ditinggalkan kecuali karena perkara wajib.

I.Apabila suatu pengahalang telah hilang, maka hukum yang menghalangi


kembali seperti semula. (ُ‫عادَ ْال َم ْمنُ ْوع‬
َ ،‫)إِذَا زَ ا َل ْال َم ْن ِع‬
Artinya, apabila suatu perkara atau pekerjaan yang disyari‘atkan tidak dapat dilaksanakan
karena ada suatu halangan tertentu, baik sebagian maupun seluruhnya, maka ketika
penghalang itu telah hilang, hukum perkara atau pekerjaan tersebut kembali disyari‘atkan
dan diperbolehkan.9 Banyak sekali contoh dalam ilmu fiqh, seperti:
a. Perempuan yang sedang menstruasi dilarang salat, akan tetapi setelah
menstruasi nya berhenti, maka hukum wajib salat kembali berlaku
padanya,
b. Apabila orang yang sudah dewasa gila, maka kondisi gilanya tersebut
menghalangi dia untuk bertindak hukum dalam berbagai bidang. Akan
tetapi, setelah dia sembuh dari gilanya, maka dia kembali wajib melakukan
kewajiban sebagai subjek hukum yang penuh.

9
Izzuddīn bin ‘Abd al-Salām, Qawā‘id al-Ahkām fī Maşālih al-Anām, (Beirut: Dar al-Fikr, tt) Juz 2,
h.54.

11
ُ ‫ُك ُّل ش َْرطٍ ُمخَال‬
J.Setiap syarat yang menyalahi dasar-dasar syariah adalah batal. ( ‫ِف‬
ُ ُ ‫)أ‬
َّ ‫ص َل ْال‬
‫ش ِر ْي َع ِة َباطِ ٌل‬
Kaidah ini menegaskan bahwa setiap syarat atau ketentuan dalam suatu perjanjian atau
kontrak yang bertentangan dengan dasar-dasar syariat Islam dianggap tidak sah atau batal.
Hal ini berarti bahwa dalam hukum Islam, suatu syarat atau ketentuan dalam sebuah
perjanjian tidak memiliki kekuatan hukum jika melanggar prinsip-prinsip dasar syariat.10

Kaidah ini digunakan dalam menilai keabsahan perjanjian atau kontrak dalam
konteks hukum Islam. Contohnya, jika sebuah perjanjian keuangan mencantumkan syarat
bunga dalam pinjaman yang bertentangan dengan prinsip riba yang dilarang dalam Islam,
maka syarat tersebut dianggap batal berdasarkan kaidah ini. Begitu juga dengan syarat-
syarat lainnya yang melanggar nilai-nilai atau prinsip-prinsip pokok dalam Islam.

K. Perubahan fatwa dan perbedaanya disebabkan berubahnya waktu dan tempat,


kondisi masyarakat, niat dan adat. ( ‫ب تَغَي ُِّر األ َ ْزمِ نَ ِة َو األ َ ْم ِكنَ ِة و ْال ِن َّي ِة َو‬ َ ‫تَغَي ُُّر ْالفَتْ َو ٰى و ا ْختِالفُ َها ِب‬
ِ ‫س َب‬
‫)األ َ َوا ِع ِد‬
Perubahan fatwa ini dapat didasarkan pada perubahan illat dan hikmah, perbedaan adat,
tempat dan waktu, perubahan konsidi masyarakat dan niat sebagai upaya mewujudkan
tujuan syara’. Suatu produk fatwa tidak dapat lepas dari pengaruh kesejarahan yang
meliputinya. Mufti atau hakim pada saat dan tempat tertentu menghadapi persoalannya
sendiri, yang mungkin berbeda dari apa yang terjadi pada masa Nabi dan setelahnya.
Terlebih pada masa sekarang yang banyak terjadi lompatan perubahan.

Upaya menjawab kesenjangan tersebut tidak dapat dilakukan secara terpisah dan
parsial. Mujtahid lebih khusus mufti harus mampu memahami realitas persoalan dan
memahami hukum itu sendiri. Langkah mendialogkan keduanya, sebagaimana Ibn
Qayyim, akan mampu menempatkan fiqh menyatu dengan konteksnya. Untuk
mempertegas hal tersebut dapat dikemukakan kembali beberapa contoh:11

1. Pengeluaran zakat fitrah dengan makanan pokok masyarakat setempat, tidak harus
gandum atau kurma sebagaimana hadis yang artinya “Rasulullah saw mewajibkan
zakat fitrah dengan satu sha’ dari kurma atau gandum.” Jalan istimbath yang

10
Ma’zumi, “Maqashid Al-Syariah Dalam Perilaku Ekonomi”, Journal of Islamic Economics, Finance
and Banking, Vol. 3 No. 1, 2019, h.95.
11
Ash-Shan’ani, Subul as-Salam, (Beirut : Dar al-Fikr) Juz 2, h.137.

12
digunakan bahwa illat diwajibkannya zakat dengan gandum atau kurma, terkait
dengan adat Madinah. Oleh karena itu, ketetapan hukumnya dipengaruhi oleh
perbedaan tempat dan zaman.
2. Sahnya thawaf bagi perempuan yang haid. Kesimpulan tersebut diqiyaskan
dengan orang yang shalat dalam keadaan telanjang pada waktu darurat.
3. Boleh menjual umbi-umbiyan (bai’ maghibat) sebelum dicabut berdasarkan pada
pertimbangan hajat dan kemaslahatan baik bagi pembeli maupun penjual.
Kesimpulan ini bertentangan dengan dzahir hadist “Nabi melarang jual beli
dengan lemparan dan jual beli yang mengandung penipuan.”
4. Bolehnya pemerintah menetapkan harga dasar (tas’ir) untuk menjaga
kemaslahatan pembeli dan penjual yang oleh hadist dilarang karena mengandung
kedzaliman.

Beberapa contoh tersebut cukup menunjukkan pengaruh konteks dalam


merumuskan hukum atau fatwa. Langkah Ibn Qayyim yang menempatkan kondisi sosial,
adat dan kebiasaan sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam proses penetapan hukum
merupakan langkah strategis untuk mendapatkan keputusan yang kontekstual.
Pemahaman sebuah teks tidak terpisahkan dari konteks yang mengitari begitu juga
penerapannya pada konteks yang lain.

Pengertian dari kaidah ini bahwa apabila ada dua perkara dan maksud dari keduanya
sama, maka salah satu dari dua perkata tersebut masuk kepada yang lain, artinya cukup
dengan mengerjakan salah satu saja dari dua perkara tersebut yang lebih besar, karena
pada hakikatnya yang besar itu telah mencakup yang lebih kecil, sehingga karenanya
sudah dianggap telah mencakup dua perkara itu sekaligus.

13
BAB III
KESIMPULAN

3.1 KESIMPULAN
Kaidah Kulliyah Sughra adalah suatu prinsip dalam ilmu ushul fiqh yang mengatur
hukum-hukum yang bersifat umum dan spesifik. Dalam ilmu ushul fiqh, prinsip ini
menyatakan bahwa jika terdapat dua aturan yang umum dan spesifik yang saling
bertentangan, aturan yang spesifik akan memiliki keutamaan atas aturan yang bersifat
umum dan general. Prinsip ini diterapkan dalam mengelompokan hukum-hukum Islam
dan menyelesaikan konflik antara aturan-aturan yang bersifat umum dan spesifik. Kaidah
yang dirangkum dalam makalah kami adalah Al-ijtihâd lâ yunqadhu bil ijtihâd, Idzâ
ijtama’a amrâni min jinsin wâhidin wa lam yakhtalif maqsûduhumâ dakhala ahaduhumâ
fil akhiri ghâliban, At-tâbi’u tâbi’un; At-tâbi’u yasquthu bisuqûthi al-matbû’, At-tâbi’u
lâ yataqaddamu ‘alâ al-matbû’; at-Tâbi’u lâ yafridu bi al-hukm, Yughtafaru fi at-tawâbi’
mâ lâ yughtafaru fî ghairihâ, Ar-Ridhâ bi asy-sya’i ridhâ bimâ yutawalladu minhu, Lâ
yunsabu ilâ sâkitin qaulun wa lakin sukut fi ma’ridhil hâjati ilâ bayânin, bayânu, Al-
wajib lâ yutraku illâ li wâjib, Idzâ zâla al-mâni’ ‘âda al-mamnû’, Kullu syarthin
mukhalifu ushûl asy-syarîah bâthil, Taghayyuru al-fatwâ wa khtilâfuhû bihasabi
taghayyuri al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwâl, wa an-niyyât, wa al-‘awâid. Dan
selanjutnya masih banyak kaidah-kaidah lainnya.

3.2 SARAN
Sebagai pemakalah, kami menyarankan pembaca untuk membaca dan mengkaji kasus
dari kaidah kulliyah sughra secara intens dan lebih banyak agar dapat mengasah
pemahaman dan dapat mengaplikasikan kaidah tersebut secara profesional. Dan
menambah keridhoan dari Allah dengan mempelajari ilmu-ilmu agama.

14
DAFTAR PUSTAKA

Has, A. W. (2013). Ijtihad Sebagai Alat Pemecahan Masalah Umat Islam. IAIN
Tulungagung, 8(1), 89-112.
Izzuddīn bin ‘Abd al-Salām, Qawā‘id al-Ahkām fī Maşālih al-Anām, (Beirut: Dar al-Fikr,
tt) Juz 2.
Ma’zumi, “Maqashid Al-Syariah Dalam Perilaku Ekonomi”, Journal of Islamic
Economics, Finance and Banking, Vol. 3 No. 1, 2019.
Ash-Shan’ani, Subul as-Salam, (Beirut : Dar al-Fikr) Juz 2.
Dr. Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz fi Syarh al-Qawaid al-Fiqhiyah fi asy-Syariah al-
Islamiyah, Beirut: Ar-Risalah, 1422H/2001M
Muhammad Rusdi, Analisis Kaidah AL-IJjtihad La Yunqodh Bil Al-Ijtihad Dan
Aplkasinya Dalam Hukum Islam.V(5)2,Al-Qodho.2018.
Muhammad Syarif, Ijtihad Tidak Bisa Membatalkan Ijtihad Yang Lain,V(9)2, Jurnal
Studi Pemikiran, Riset dan Pengembangan Pendidikan Islam, 2021, July..
Ash Shiddeqi, Hasbi. 1993. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang Bahri,
Nadzar. 1993. Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Badr al-Din al-Zarkashi, al-Manthur fi al Qawa'id, Kuwait: Turath For Solutions, 2013.
Zarqa, Ahmad bin Muhammad al-, Syarh al-Qawa'id Fiqhiyyah,. Dimasyqi: Darul Ilmi,
1938

15

Anda mungkin juga menyukai