MAKALAH
Disusun Oleh :
Kelompok
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah Mawaris (Warisan) ini dapat
diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan
kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita
selaku umatnya.
Makalah ini kami buat untuk melengkapi tugas mata pelajaran Pendidikan
Bahasa Arab (PBA). Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah Mawaris (Warisan) ini. Dan kami juga
menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan referensi internet yang telah
membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan makalah ini.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah
dapat dibuat dengan sebaik-baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan
dalam penulisan makalah Mawaris (Warisan) ini sehingga kami mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan makalah ini.
Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan dan
kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa yaitu Allah
SWT, dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga makalah Mawaris
(Warisan) ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.
ii
DAFTAR ISI
iii
1. Ahli
Waris .................................................................................................
6
2. Syarat-syarat Mendapatkan
Warisan .............................................................................................
6
3. Sebab-sebab Menerima Harta
Warisan .............................................................................................
7
4. Sebab-sebab Tidak Mendapatkan Harta
Warisan .............................................................................................
7
D. Ketentuan Pembagian Harta
Warisan ...................................................................................................
8
1. Ahli Waris Zawil
Furud.................................................................................................
9
2. Ahli Waris
Asabah...............................................................................................
11
E. Manfaat Hukum Waris
Islam ........................................................................................................
16
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .............................................................................................
17
B. Saran .......................................................................................................
18
DAFTAR PUSTAKA
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Apabila terjadi sengketa waris di antara ahli waris karena tidak ada
kesepakatan, maka langkah yang harus dilakukan adalah membicarakan pilihan
hukum (choice of law). Hukum positif di Indonesia masih membuka ruang bagi
para pihak yang bersangkutan memilih dasar hukum yang akan dipakai dalam
penyelesaian pembagian harta warisan. Hal ini nantinya memberikan
konsekuensi terhadap pengadilan mana yang berwenang untuk mengadili
sengketa tersebut. Pilihan hukum di sini maksudnya sengketa tersebut dapat
diajukan ke Pengadilan Negeri bila penyelesaiannya tunduk pada Hukum Adat
atau KUH Perdata (civil law) atau dapat diajukan ke Pengadilan Agama bila
penyelesaiannya tunduk pada Hukum Islam. Hal ini disebabkan Indonesia
masih menganut sistem pluralisme hukum.
Bagi pewaris yang beragama Islam, dasar hukum utama yang menjadi
pegangan adalah UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam Penjelasan Umum UU tersebut
dinyatakan: “Para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk
memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan, dinyatakan
dihapus”. Secara eksplisit, Hukum Islamlah yang harusnya menjadi pilihan
hukum bagi mereka yang beragama Islam. Namun, ketentuan ini tidak mengikat
karena UU Peradilan Agama ini tidak secara tegas mengatur persoalan
penyelesaian pembagian harta waris bagi pewaris yang beragama Islam
(personalitas keislaman pewaris) atau non-Islam.
Di dalam praktik, pilihan hukum ini dapat menimbulkan berbagai
masalah, karena ahli waris dapat saling gugat di berbagai pengadilan.
Permintaan fatwa kepada Mahkamah Agung dan atau mengajukan upaya
hukum kasasi untuk menentukan pengadilan mana yang berwenang memutus
adalah konsekuensi yang harus dibayar oleh para pihak ahli waris bila tidak
bersepakat dalam menentukan mau tunduk terhadap hukum yang mana dalam
penyelesaian sengketa waris.
1
2
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan
dibahas di dalam makalah tentang Mawaris (Warisan) ini adalah sebagai
berikut:
1. Apa pengertian mawaris atau kewarisan?
2. Apa saja dasar-dasar hukum waris?
3. Bagaimana ketentuan mawaris dalam Islam?
4. Bagaimana ketentuan pembagian harta warisan?
5. Apa manfaat hukum waris Islam?
C. Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan makalah tentang Mawaris (Warisan) ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian mawaris atau kewarisan.
2. Untuk mengetahui dasar-dasar hukum waris.
3. Untuk mengetahui ketentuan mawaris dalam Islam.
4. Untuk mengetahui ketentuan pembagian harta warisan.
5. Untuk mengetahui manfaat hukum waris Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
3
4
hukum waris Islam untuk mengubah hukum waris jahiliah yang sangat
dipengaruhi oleh unsur-unsur kesukuan yang menurut Islam tidak adil. Dalam
hukum waris Islam, setiap pribadi, apakah dia laki-laki atau perempuan, berhak
memiliki harta benda dari harta peninggalan.
Mawaris merupakan serangkaian kejadian mengenai pengalihan
pemilikan harta benda dari seorang yang meninggal dunia kepada seseorang
yang masih hidup. Dengan demikian, untuk terwujudnya kewarisan harus ada
tiga unsur, yaitu:
1. Orang mati, yang disebut pewaris atau yang mewariskan.
2. Harta milik orang yang mati atau orang yang mati meninggalkan harta
waris.
3. Satu atau beberapa orang hidup sebagai keluarga dari orang yang mati, yang
disebut sebagai ahli waris.
kafir tidak mewarisi orang muslim dan orang muslim tidak mewarisi
orang kafir.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
b. Pembunuhan. Jika pembunuhan dilakukan dengan sengaja, maka
pembunuh tersebut tidak bisa mewarisi yang dibunuhnya, berdasarkan
hadis Nabi saw.: “Pembunuh tidak berhak mendapatkan apapun dari
harta peninggalan orang yang dibunuhnya.” (H.R. Ibnu Abdil Bar)
c. Perbudakan, yaitu seorang budak tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi,
baik budak secara utuh ataupun sebagiannya, misalnya jika seorang
majikan menggauli budaknya hingga melahirkan anak, maka ibu dari
anak majikan tersebut tidak dapat diwarisi ataupun mewarisi. Demikian
juga mukatab (budak yang dalam proses pemerdekaan dirinya dengan
cara membayar sejumlah uang kepada pemiliknya), karena mereka
semua tercakup dalam perbudakan. Namun demikian, sebagian ulama
mengecualikan budak yang hanya sebagiannya dapat mewarisi dan
diwarisi sesuai dengan tingkat kemerdekaan yang dimilikinya,
berdasarkan sebuah hadis Rasulullah saw., yang artinya: “Ia (seorang
budak yang merdeka sebagiannya) berhak mewarisi dan diwarisi sesuai
dengan kemerdekaan yang dimilikinya.”
d. Perzinaan, yaitu seorang anak yang terlahir dari hasil perzinaan tidak
dapat diwarisi dan mewarisi bapaknya. Ia hanya dapat mewarisi dan
diwarisi ibunya, berdasarkan hadis Rasulullah saw.: “Anak itu
dinisbahkan kepada si empunya tempat tidur, dan penzina terhalang
(dari hubungan nasab.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
e. Li’an, yaitu Anak suami istri yang melakukan li’an tidak dapat mewarisi
dan diwarisi bapak yang tidak mengakuinya sebagai anaknya. Hal ini
dikiaskan dengan anak dari hasil perzinaan.
َ ُوصي ُك ُم ٱل َّلهُ ِّف ٓى أ َ ْو َٰلَ ِّد ُك ْم ۖ ِّللذَّك َِّر ِّمثْ ُل َح ِّظ ٱ ْْلُنثَيَي ِّْن ۚ فَِِّن ُك َّن ِّن
سا ٓ ًء فَ ْو ََ ٱثْنَتَي ِّْن فَلَ ُُ َّن ثُلُثَا َما ِّ ي
ُُس ِّم َّما ت َ َر َك ِّإن َكانَ لَۥه ُ سد ُّ ف ۚ َو ِّْلَبَ َو ْي ِّه ِّلكُ ِّل َٰ َو ِّحد ِّم ْن ُُ َما ٱل ْ َت َٰ َو ِّحدَة ً فَلَ َُا ٱ ِّلن
ُ ص ْ ت ََر َك ۖ َو ِّإن كَان
ُس ۚ ِّم ۢن بَ ْع ِّد
ُ سد ُّ ث ۚ فَِِّن َكانَ لَ ٓهۥُ إِّ ْخ َوة ٌ فَ ِِّل ُ ِّم ِّه ٱل
ُ َُولَدٌ ۚ فَِِّن لَّ ْم يَ ُكن لَّهۥُ َولَدٌ َو َو ِّرث َ ٓهۥُ أَبَ َواهُ فَ ِِّل ُ ِّم ِّه ٱلثُّل
َضةً ِّمن َ ب لَ ُك ْم نَ ْفعًا ۚ فَ ِّري ُ ُوصى بِّ َُا ٓ أ َ ْو دَيْن ۗ َءابَا ٓ ُؤ ُك ْم َوأ َ ْبنَا ٓ ُؤ ُك ْم ََل تَدْ ُرونَ أَيُّ ُُ ْم أ َ ْق َر ِّ صيَّة ي ِّ َو
َ َٱللَّ ِّه ۗ إِّ َّن ٱللَّهَ َكان
ع ِّلي ًما َح ِّكي ًما
Artinya:
“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka
bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan
itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-
bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika
yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya
mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara,
maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian- pembagian tersebut di atas)
sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.”
Ahli waris dalam pembagian harta warisan terbagi dua macam yaitu ahli
waris zawil furud (yang bagiannya telah ditentukan) dan ahli waris ashabah
(yang bagiannya berupa sisa setelah diambil oleh zawil furud).
1. Ahli Waris Zawil Furud
Ahli waris yang memperoleh kadar pembagian harta warisan telah
diatur oleh Allah Swt. dalam surat an-Nisa dengan pembagian terdiri dari
enam kelompok, penjelasan sebagaimana di bawah ini.
a. Mendapat Bagian Setengah
1) Suami, jika istri yang meninggal tidak ada anak laki-laki, cucu
perempuan atau laki-laki dari anak laki-laki.
10
A. Kesimpulan
Meyakini bahwa hukum waris merupakan ketetapan Allah Swt. yang
paling lengkap dijelaskan oleh al-Qur'an dan hadis Rasulullah Saw. 2. Hukum
untuk mempelajari ilmu waris adalah fardzu kifayah, karena itu setiap muslim
harus ada yang mempelajarinya. Meninggalkan keturunan dalam keadaan
berkecukupan lebih baik dari pada meninggalkannya dalam keadaan miskin,
karena Islam memerintahkannya. Seseorang sebelum meninggal sebaiknya
berwasiat, yaitu pesan seseorang ketika masih hidup agar hartanya disampaikan
kepada orang tertentu atau tujuan lain, yang harus dilaksanakan setelah orang
yang berwasiat itu meninggal.
Ayat-ayat al-Qur'an dalam menjelaskan pembagian harta kepada ahli
waris menempatkan urutan kewarisan secara sistematis didasarkan atas jauh
dekatnya seseorang kepada si mayit yang meninggalkan harta warisan. Oleh
karena itu, dalam menentukan ahli waris harus sesuai ketetapan hukum waris
yaitu dimulai dari anak-anak yang dikategorikan sebagai keturunan langsung,
kemudian kedua orang tua mayit (leluhur) dan terakhir kepada saudara-saudara
yang dikelompokkan sisi dan ditambah dengan suami atau istri dari yang
meninggal. Berhukum dengan hukum waris Islam merupakan suatu kewajiban,
karena setiap pribadi, apakah dia laki-laki atau perempuan dari ahli waris,
berhak memiliki harta benda hasil peninggalan sesuai ketentuan syariat Islam
secara adil.
Ajaran Islam tidak hanya mengatur masalah ibadah, tetapi juga
mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, yang di dalamnya termasuk
juga masalah kewarisan. Keberadaan warisan menjadi bukti bahwa orang tua
harus bertanggung jawab terhadap keluarga, anak, dan keturunannya. Dasar
hukum waris yang paling utama adalah surat an-Nisa ayat 7-12 dan 176, surat
an-Nahl ayat 75, surat al-Ahzab ayat 4, serta beberapa hadis Nabi saw. Posisi
hukum kewarisan Islam di Indonesia merujuk kepada ketentuan dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991.
17
18
B. Saran
Hal-hal yang perlu diselesaikan sebelum harta waris dibagi adalah biaya
mengurus jenazah, zakat bila mencapai nisab, membayar hutang bila ada, dan
melaksanakan amanah dan nazar bila ada.
DAFTAR PUSTAKA
Halimah, Iim dkk. 2013. Mandiri Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti.
Jakarta: Erlangga.
Haris, Abd., dkk, 2012. Pendalaman Materi Ajar PAI. Jakarta: FITK UIN Jakarta.
Tim IMTAQ MGMP PAI. 2010. Modul Bahan Ajar Pendidikan Agama Islam
SMA/SMK Kelas X, XI, dan XII. Jakarta: PT. Kirana Cakra Buana.