Anda di halaman 1dari 117

KOMPILASI RESUME HUKUM TATA NEGARA

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah


Hukum Tata Negara yang diampu oleh
Dr. H. Utang Rosidin, S.H., M.H.
Dr. Elan Jaelani, S.H., M.H.

Kelompok 4

Elsya Alfirani 1213050055


Intania Az-zahra 1223050075
Kania Octavia Parnika 1223050082
Kayla Namira 1223050084
Lilih Ilah Solihah 1223050087
Linda Solihat 1223050088
M Bintang Faqih Khudori 1223050090
M Yusuf andanial 1223050092

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2023
Tim Penyusun :

M Bintang Faqih Khudori

Kania Octaviani Parnika

Linda Solihat

Dosen pengampu

Dr. H. Utang Rosidin, S.H., M.H.

Dr. Elan Jaelani, S.H., M.H.

Desain cover

Elsya Alfirani

Kayla Namira

Tata letak

M Bintang Faqih Khudori


KATA PENGANTAR
Puji dan rasa syukur mendalam kami panjatkan kehadirat Allah
SWT, karena berkat limpahan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya
maka Kompilasi Resume Hukum Tata Negara ini dapat diselesaikan
dengan baik. Salam dan Shalawat semoga selalu tercurah pada
baginda Rasulullah Muhammad SAW.
Dengan rasa hormat dan penuh dedikasi, kami dengan bangga
mempersembahkan hasil kerja kami yang berjudul "Kompilasi
Resume Hukum Tata Negara". Buku ini merupakan hasil kerja keras
dan kolaborasi dari kelompok kami yang terdiri dari para akademisi.
Kami menyadari betapa pentingnya pemahaman yang
komprehensif dan mendalam tentang hukum tata negara dalam
membangun dan menjaga tatanan negara yang demokratis dan
berkeadilan. Oleh karena itu, buku ini kami susun dengan tujuan
memberikan kontribusi yang berarti bagi para pembaca, baik
mahasiswa, praktisi hukum, maupun masyarakat luas, dalam
memahami dan mengaplikasikan prinsip-prinsip hukum tata negara
secara efektif.
Buku ini mencakup berbagai aspek penting dalam hukum tata
negara, mulai dari konstitusi, sistem pemerintahan, keterlibatan
masyarakat sipil, perlindungan hak asasi manusia, hingga
mekanisme penegakan hukum. Kami merangkum dan menguraikan
isu-isu yang relevan dengan bahasa yang jelas dan mudah
dipahami, disertai dengan contoh-contoh kasus yang nyata serta
referensi yang terpercaya.
Kami berharap buku ini dapat menjadi panduan yang berharga
bagi semua pihak yang tertarik dengan hukum tata negara, baik
sebagai sarana pembelajaran, rujukan, maupun sumber inspirasi
dalam mengembangkan pemikiran dan tindakan yang berkualitas
dalam konteks hukum tata negara.

iii
Kami ingin menyampaikan penghargaan setulus-tulusnya
kepada semua anggota kelompok kami yang telah berkontribusi
secara maksimal dalam penyusunan buku ini. Tidak lupa kami
ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr.
Elan Jaelani, S.H., M.H. selaku dosen pengampu mata kuliah
Hukum Tata Negara yang telah memberikan tugas kepada kami dan
membingbing kami dalam proses pembuatan buku ini. Terima kasih
juga kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan dan
motivasi dalam perjalanan kami.
Karena keterbatasan kemampuan kami, penulis menyadari
bahwa dalam pembuatan buku ini tidak luput dari kesalahan, maka
kritik dan saran yang membangun senantiasa kami harapkan untuk
menyempurnakan buku ini. Semoga buku ini dapat berguna dan
bermanfaat bagi kita semua.

Bandung, 5 November 2023,

Kelompok 4

iv
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................ iii


DAFTAR ISI ............................................................................................ v
BAB I RUANG LINGKUP DAN KAJIAN HUKUM TATA NEGARA ................... 1
A. Pengertian Hukum Tata Negara ........................................................ 1
B. Objek Kajian Hukum Tata Negara ..................................................... 4
C. Ruang Lingkup Kajian Hukum Tata Negara ....................................... 9
BAB II SUMBER HUKUM TATA NEGARA ................................................ 13
A. Pengertian Sumber Hukum............................................................. 13
B. Sumber Hukum Tata Negara Indonesia .......................................... 15
BAB III ASAS-ASAS HUKUM TATA NEGARA............................................ 25
A. Asas Pancasila ................................................................................. 25
B. Asas Pembagian Kekuasaan ............................................................ 26
C. Asas Negara Hukum ........................................................................ 27
D. Asas Negara Kesatuan..................................................................... 27
BAB IV BENTUK NEGARA, BENTUK PEMERINTAHAN, DAN SISTEM
PEMERINTAHAN ................................................................................. 34
A. Bentuk Negara ................................................................................ 34
B. Susunan Negara .............................................................................. 35
BAB V KONSTITUSI .............................................................................. 48
A. Pengertian Konstitusi ...................................................................... 48
B. Sejarah Perkembangan Konstitusi .................................................. 49
1. Konstitualisme yunani ................................................................ 49

v
2. Konstitusi Romawi ...................................................................... 49
3. Konstitualisme Di Abad Petengahan ........................................... 50
4. Konstitualisme Di Inggris ............................................................ 50
5. Konstitusionalisme Dan Perang Dunia I ...................................... 51
C. Konstitusi Indonesia Dari Masa Ke Masa ........................................ 51
D. Nilai Konstitusi ................................................................................ 53
E. Klasifikasi konstitusi ........................................................................ 54
F. Materi muatan konstitusi ............................................................... 57
G. Urgensi Konstitusi Suatu Negara..................................................... 57
H. Prosedur Perubahan Konstitusi Suatu Negara ................................ 58
I. Konstitusi Negara Indonesia ........................................................... 59
BAB VI HIERARKI PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN ..................... 61
A. Pengantar ........................................................................................ 61
B. Landasan Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan............ 64
C. Tujuan Pembentukan peraturan perundang undangan.................. 65
D. Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan ................................ 67
BAB VII LEMBAGA-LEMBAGA NEGARA DALAM SISTEM KETATANEGARAAN
INDONESIA ......................................................................................... 74
A. Pengertian Lembaga Negara ........................................................... 75
B. Lembaga-Lembaga Negara Pasca Amandemen UUD 1945 ............ 78
C. Prinsip-prinsip Hubungan antar Lembaga Negara .......................... 84
BAB VIII LEMBAGA NEGARA INDEPENDEN INDONESIA ........................ 89
A. Macam– Macam Lembaga Negara Independen di Indonesia......... 90
B. Sejarah Historis ............................................................................... 90
C. Konsep Lembaga Negara Independen ............................................ 92
vi
D. Alasan Berdidirnya LNI .................................................................... 93
E. Karakteristik .................................................................................... 94
F. Kedudukan Lembaga Independen Negara dalam Ketatanegaraan
Indonesia ................................................................................................ 95
G. Efektivitas Lembaga Negara dalam Menjalankan Fungsi Tugas dan
Wewenang .............................................................................................. 97
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 99
PROFIL PENULIS ................................................................................ 107

vii
BAB I
RUANG LINGKUP DAN KAJIAN HUKUM TATA NEGARA
A. Pengertian Hukum Tata Negara
Kata "negara" yang dikenal saat ini, bermula pada masa
Renaisans di Eropa pada abad ke-15. Pada masa tersebut,
masyarakat mulai menggunakan kata “Lo Stato” yang berasal
dari bahasa Italia dan kemudian menjadi kata Perancis yaitu
“for”. Dalam bahasa Inggris yaitu “The State, atau "Der Staat"
dalam bahasa Jerman dan "De Staat" dalam bahasa Belanda.
(Kansil & Kansil, 2008)
Kata Lo Stato diterjemahkan dalam bahasa Indonesia
sebagai “Negara pada waktu itu diartikan sebagai suatu
sistem pelayanan atau pelayanan dan fasilitas umum yang
diselenggarakan dalam suatu wilayah (wilayah) tertentu.
(Kansil & Kansil, 2008)
Karena banyaknya sistem hukum, maka banyak pula
definisi "Lo Stato" (The State, der Staat, atau Negara) yang
diberikan oleh pihak yang berwenang, antara lain sebagai
berikut:
1. Pdt. Oppenheimer: Setiap negara bagian dalam sejarah
adalah negara bagian, atau kelas, dll.
2. Léon Duguit: Ada Pemerintahan dimanapun terdapat
perbedaan politik (antara penguasa dan yang diperintah)
3. RM Mac Iver: Negara harus berupa sistem institusi atau
serikat pekerja. Ketika kita berbicara tentang negara, kita
mengatakan bahwa organisasi pemerintahan adalah
badan pemerintahan. (Kansil & Kansil, 2008)
Selain perbedaan definisi negara, kata “negara” juga
memiliki arti yang berbeda, menurut profesor Mr L.J. van
Apeldoorn dalam bukunya yang berjudul "Inleiding tot de
studie van het Nederlandse Rechr” (Pengantar Ilmu hukum
Belanda) bahwa :

1
1. Kata negara digunakan dalam arti “penguasa”, untuk
menunjuk pada orang atau orang-orang yang menjalankan
kekuasaan tertinggi atas perkumpulan orang-orang yang
tinggal di suatu daerah.
2. Kata Negara juga kita lihat dalam arti perkumpulan orang-
orang, yaitu suatu bangsa yang mendiami suatu wilayah,
di bawah kekuasaan tertinggi, menurut hukum yang sama.
3. Negara berarti “suatu wilayah, dalam hal ini kata negara
digunakan untuk menyatakan suatu wilayah dimana
semua bangsa hidup dibawah pemerintahan tertinggi.
(Kansil & Kansil, 2008)
Hukum Tata Negara pada hakikatnya adalah hukum
yang mengatur organisasi kekuasaan suatu Negara dan juga
seluruh aspek yang berkenaan dengan organisasi Negara
tersebut. (Ragawino, 2007)
Berdasarkan penelitian penulis, terlihat bahwa
mempelajari ilmu hukum tidaklah mudah. Didirikan dalam
suatu cabang atau rumpun ilmu hukum seperti ilmu praktis-
Normologis. Menurut Ni'matul Huda yang menganalisis secara
detail George Jellinek tentang ilmu negara dan hubungannya
dengan ilmu politik Menyatakan bahwa ilmu kenegaraan
merupakan mata kuliah pengantar ilmu dasar untuk sistem
hukum. Oleh karena itu konstitusi negara tidak bisa
mempelajari ilmu sepanjang waktu sebelum memperoleh ilmu
yang pertama tentang pengertian pokok dan landasan negara
pada umumnya. Kasus ini sejalan dengan pengertian ilmu
kenegaraan, yaitu; "Timur ilmu yang mempelajari unsur pokok
dan bagian-bagian pokok negara". (Wiratmadinata, 2018)
Ilmu pengetahuan negara dapat memberikan landasan
teoritis bagi kebijakan yang mana yang benar. Hukum perdata
merupakan penerapan atau pengakuan internal fakta nyata
berdasarkan kurikulum yang dikembangkan oleh Ilmu
Pengetahuan Negara. Oleh karena itu hukum perdata
mempunyai sifat praktis sebagai ilmu terapan. atau ilmu
praktis (ilmu terapan) yang dipelajari, dikumpulkan dan
2
didukung oleh ilmu teoritis (ilmu murni) ilmu kenegaraan.
(Huda, 2012)
Ilmu Hukum Tata Negara merupakan salah satu
cabang ilmu hukum yang secara pokok membahas
persoalan hukum dalam konteks kenegaraan. Kita me-
masuki bidang hukum tata negara, Wirjono Prodjodikoro
berpendapat, jika kita membahas norma-norma hukum
yang mengatur hubungan antara subjek hukum orang atau
bukan orang dengan sekelompok orang atau badan hukum
yang berwujud negara atau bagian dari negara.
(Prodjodikoro, 1989)
Prof. Dr. Djokosoétono menyukainya menggunakan
doktrin prosedural daripada hukum tata negara. Dalam
berbagai ceramahnya yang disusun oleh salah satu
mahasiswanya, yaitu Harun Alrasid, pada tahun 195914 dan
terbit pertama kali pada tahun 1982, Djokosoetono mencoba
mengambil jalan tengah antara Carl Schmitt, penulis
Verfassungslehre, dan Hermann Heller, dalam bukunya
Staatslehre. Istilah yang tepat bagi hukum perdata sebagai
suatu ilmu (konstitusi) adalah Verfassungslehre atau asas
hukum. Verfassungslehre inilah yang nantinya menjadi dasar
kajian verfassungsrecht khususnya mengenai sistem hukum
yang benar yaitu hukum tata negara Indonesia. (Asshiddiqie,
2006)
"Hukum Tata Negara” merupakan istilah yang dapat
diartikan sebagai “konstitusi”. Merupakan terjemahan Bahasa
Inggris dari kata Constitution, Droit Constitutionnel dari
Perancis, Diritto Constitutionale dari Italia, atau
Verfassungsrecht dari Jerman. Dari segi bahasa, masalah
Constitutional Law sering diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris sebagai “Hukum Konstitusi". Namun, prosesnya
"Perundang-undangan". dengan sendirinya bila diterjemahkan
ke dalam bahasa Inggris akan menjadi kata yang sama yang
digunakan adalah hukum.15 Oleh karena itu, hukum bisa

3
mengatakan hal yang sama atau menyebutnya sebagai kata
lain untuk "Hukum Konstitusi". (Asshiddiqie, 2006)
Perkataan “Hukum Tata Negara” asal mulanya
merupakan kata “hokum”, “tata”, dan “negara”, yang pada
dasarnya Hukum tata negara membahas perihal urusan
penataan negara. Tata yang juga memiliki arti “tertib”
merupakan order yang sering juga diartikan sebagai “tata
tertib”. Tata negara juga maksudnya adalah system penataan
negara, yang mengandung ketentuan terkait dengann struktur
kenegaraan dan substansi norma kenegaraan. Dengan
maksud lain, ilmu tersebut adalah cabang ilmu hokum yang
mempelajari tentang tatanan struktur dari sebuah
negara.mekanisme hubungan antar struktur-struktur organ
atau struktur kenegaraan, serta mekanisme hubungan antara
struktur negara dengan warga negara. (Asshiddiqie, 2006)
Hanya saja, yang dibahas dalam Hukum Tata Negara
atau Hukum Konstitusi itu sendiri hanya terbatas pada hal-hal
yang berkenaan dengan aspek hukumnya saja. Oleh karena
itu, lingkup bahasannya lebih sempit daripada Teori
Konstitusi sebagaimana yang dianjurkan untuk dipakai oleh
Prof. Dr. Djokosoetono, yaitu Verfas- sungslehre atau
Theorie der Verfassung. (Asshiddiqie, 2006)

B. Objek Kajian Hukum Tata Negara


Berdasarkan definisi hukum tersebut di atas di atas, kita
melihat bahwa studi tentang hukum adalah Bukan, ini adalah
negara dalam arti negara atau komunitas dibatasi oleh waktu
dan tempat, misalnya; Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Negara memiliki hak teritorial, pemerintahannya berhenti tiga
peran: legislatif, eksekutif, yudikatif dan kekuasaan untuk
menjamin otoritas setiap warga negara. (Nuruddin & Ahmad
Muhasim, 2022)
Ada juga ahli hokum yaitu bapak Djokoseotomo (1982)
juga memasukkan masalah hukum sebagai subjek inti. Sistem

4
hukum yang berfungsi sebagai suatu kajian dapat mencakup
tiga pengertian (Nuruddin & Ahmad Muhasim, 2022):
a. Constitutie in materiele zin yang dikualifikasikan karena
isinya, misalnya berisi jaminan hak asasi, bentuk negara,
dan fungsi-funsgsi pemerintahan, dan sebagainya;
Constitutie in formele zin yang dikualifikasi karena
pembuatnya, misalnya MPR; atau
b. Konstitusi dalam arti naskah Groundwet sebagai geschreven
document, misalnya harus diterbitkan dalam lembaran
Negara, supaya dapat menjadi alat bukti dan menjamin
stabilitas satu kesatuan sistem rujukan. (Asshiddiqie, 2006)
Dengan demikian yang menjadi objek kajian ilmu hukum tata
negara adalah:
1) Negara. Dimana negara sebagai objek kajiannya, dalam
hukum tata negara membahas semua aspek hukum yang
berkaitan dengan negara;
2) Konstitusi. Baik dalam arti materiel (isinya), formil
(pembuat), administratif, ataupun tekstual (Naskah). Dalam
mempelajari hukum tata negara unsur utama yang harus
pelajari adalah konstitusi artinya dengan melihat konstitusi
maka akan diketahui hukum tata negara suatu negara.
(Nuruddin & Ahmad Muhasim, 2022)
Buku J.H.A. Logemann yang diterbitkan pada ta-
hun 1948 di Leiden yang berjudul “Over de Theorie van
Een Stellig Staatsrecht” berisi tiga bagian, yaitu (1) Hu-
kum Positif, (2) Hukum Tata Negara Positif, dan (3)
Sistem Formil Hukum Tata Negara Positif. Pada Bagian
Kedua, oleh Logemann dibahas mengenai (i) Hukum
Tata Negara, (ii) Kesistematisan Hukum Tata Negara,
(iii) Bentuk Penjelmaan Sosial Negara, (iv) Negara dalam
Hukum Positif, (v) Hukum Tata Negara dalam Arti Sem-
pit, (vi) Hukum Administrasi, dan (vii) Tipe-Tipe Negara.
Sedangkan pada Bagian Ketiga, dibahas mengenai (i)
Jabatan Sebagai Pribadi, (ii) Batas-Batas Jabatan, (iii)
Lahir dan Lenyapnya Jabatan, (iv) Cara Menempati
Jabatan, (v) Jabatan dan Pemangku Jabatan:
5
Perwakilan
(vi) Jabatan dan Pemangku Jabatan: Hubungan Dinas
dengan Negara, (vii) Jabatan Majemuk, (viii) Kelompok
Jabatan, (ix) Lingkungan Kerja, (x) Wewenang Hukum,
(xi) Pegangan Waktu, (x) Pegangan Ruang dan
Pegangan Pribadi, dan (xi) Perbandingan Kekuasaan.
(Asshiddiqie, 2006)
Sarjana Inggris, Michael J. Allen dan Brian Thom-
pson dalam bukunya “Cases and Materials on Cons-
titutional and Administrative Law” (1990-2003) 89
mengelompokkan materi bahasannya ke dalam 11 (se-
belas) bagian, yaitu (i) Constitutional Law in the United
Kingdom, (ii) The Legislative Supremacy of Parliament,
(iii) The European Union, (iv) The Rule of Law, (v)
Constitutional Conventions, (vi) Parliamentary Govern-
ment at Work, (vii) Civil Liberties, (viii) Judicial Review:
The Grounds, (ix) The Availability of Judicial Review, (x)
Ombudsman, dan (xi) Statutory Tribunals. (Asshiddiqie,
2006)
Versi textbook yang ditulis oleh Michael T. Molan
dengan judul “Constitutional Law: The Machinery of
Government” memuat pokok bahasan yang sedikit ber-
beda. Molan membagi bukunya dalam 13 (tiga belas)
bab, yaitu (i) The Nature and Sources of Constitutional
Law, (ii) The European Union, (iii) Constitutional Prin-
ciples: The Separation of Powers, the Rule of Law, and
the Independence of the Judiciary, (iv) The Sovereignty of
Parliament, (v) The Electoral System, (vi) The House of
Commons, (vii) The Executive, (viii) Judicial Review of
Executive Action, (ix) The European Convention on Hu-
man Rights, (x) The Police Power, (xi) The Right to Pri-
vacy and Family Life: Article 8 of the European Conven-
tion on Human Rights, (xii) Freedom of Expression: Ar-
ticle 10 of the European Convention on Human Rights,
and (xiii) Freedom of Assembly and Association: Article
6
11 of the European Convention on Human Rights.
(Asshiddiqie, 2006)
Versi lain lagi adalah dari John Alder, Erwin Che-
merinsky, A.W. Bradley and K.D. Ewing, O. Hood Phillips,
Paul Jackson, and Patricia Leopold, serta ba- nyak lagi
buku teks Hukum Tata Negara lainnya. John Alder, dalam
bukunya, “Constitutional and Administra- tive Law”,
membagi bukunya dalam 5 (lima) bagian, yaitu (I)
General Constitutional Theory, yang mencakup bahasan
mengenai (1) the nature of the United Kingdom
Constitution, (2) the sources of the constitution, (3)
constitu-tionalism: the rule of law and the separation of
power, (4) parliamentary supremacy, (5) the European
communities; (II) Parliament, yang mencakup (6) the
constitutional position of parliament, (7) the House of
Lords, (8) the House of Commons, (9) parliamentary
supremacy; (III) The Executive, yang meliputi (10) the
Crown, (11) the powers of the Crown, (12) Ministers and
departments, (13) the civil service and the armed forces,
(14) Ad hoc bodies, (15) local government, (16) The
police; (IV) The Judicial Branch of the State, mencakup
(17) the Judiciary, (18) Tribunals and Inquiries, (19)
Judicial Review of the Executive; dan (V) Civil Liberties,
yang meliputi (20) General principles of civil liberties,
(21) Freedom of speech and assembly, (22) entry to and
exclusion from the UK, (23) emergency powers, dan (24)
police powers of arrest and search in the investigation of
crime. (Asshiddiqie, 2006)
Sementara itu, O. Hood Phillips dan kawan-kawan
dalam bukunya “Constitutional and Administrative Law”
membagi pokok bahasannya juga dalam 4 (empat)
bagian.92 Bagian Umum antara lain membahas soal the
nature of constitutional and administrative law, parlia-
mentary supremacy, devolution and regionalism, the
constitutional conventions, dan sebagainya. Bagian II
tentang Parliament, Bagian III tentang Central Govern-
7
ment, Bagian IV tentang Justice and Police, Bagian V
tentang Rights and Duties of the Individual, Bagian VI
khusus tentang Administrative Law, dan Bagian VII
tentang The Commonwealth. Masing-masing bagian itu
membahas secara terperinci segala aspek yang terkait.
(Asshiddiqie, 2006)
Demikian pula buku “Constitutional and Adminis-
trative Law”, A.W. Bradley dan K.D. Ewing juga dibagi
dalam 4 (empat) bagian. 93 Bagian I tentang General
Principles of Constitutional Law, yang mencakup baha
san tentang (1) Definition and scope of constitutional law,
(2) sources and nature of the constitution, (3) the
structure of the united kingdom, (4) parliamentary sup-
remacy, (5) the relationship between legislature, execu-
tive, and judiciary, (6) the rule of law, (7) responsible and
accountable government, (8) the United Kingdom and the
European Union; Bagian II tentang The Institution of
Government, meliputi (9) Composition and meeting of
parliament, (10) functions of parliament, (11) privileges of
parliament, (12) the Crown and the royal prerogative, (13)
the Cabinet, government departments and the civil
service, (14) public bodies and regulatory agencies, (15)
foreign affairs and the commonwealth, (16) the armed
forces, (17) the treasury, public expenditure and the
economy, (18) the courts and the machinery of justice;
Bagian III tentang The Citizen and the State, yang meli-
puti (19) the nature and protection of human rights, (20)
citizenship, immigration, and extradition, (21) the police
and personal liberty, (22) the protection of privacy, (23)
freedom of expression, (24) freedom of association and
assembly, (25) state security and official secrets, dan (26)
emergency powers and terrorism; Bagian IV khusus
membahas Administrative Law, meliputi pembahasan
mengenai (27) the nature and development of adminis-
trative law, (28) delegated legislation, (29) administra- tive
justice, (30) judicial control of administrative action, dan

8
terakhir (31) liability of public authorities and the Crown.
(Asshiddiqie, 2006).

C. Ruang Lingkup Kajian Hukum Tata Negara


Arti dari ruang lingkup disini adalah penjelasan
mengenai batasan sebuah subjek yang terdapat di sebuah
masalah. Jika diartikan secara menyeluruh atau luas ruang
lingkup adalah batasan. Batasan yang dimaksud dalam
ruang lingkup dapat berupa faktor yang diteliti seperti materi,
tempat, waktu dan sebagainya. Sementara makna dalam
arti sempit ruang lingkup berarti adalah suatu hal atau
materi. Sedangkan pada arti yang khusus, ruang lingkup
merupakan sebuah metode untuk pembatasan ilmu yang
dikaji. (Nuruddin & Ahmad Muhasim, 2022)
Dengan begitu, ruang lingkup adalah suatu alat
supaya setiap penelitian atau apapun yang akan dibicarakan
dapat sesuai jalur dan lebih fokus agar setiap subyek yang
diteliti dapat efektif untuk meraih tujuan yang ingin dicapai.
Ini dapat berlaku di bidang apapun termasuk meraih tujuan
dalam hidup. (Nuruddin & Ahmad Muhasim, 2022)
Dalam kaitan dengan ruang lingkup kajian Hukum Tata
Negara, khususnya dalam kontek di Indonesia, para ahli
hukum mengklasifikannya secara beragam.
1) Ahmad Sukardja
Menurut Ahmad Sukardja, mengklasifikasikan ruang
lingkup hukum tata negara meliputi 4 (empat) objek
kajian, yaitu sebagai berikut: a) konstitusi sebagai
hukum dasar beserta pelbagai aspek mengenai
perkembangnya dalam sejarah kenegaraan yang
bersangkutan, proses pembentukan dan
perubahannya, kekuatan mengikatnya dalam hierarki
peraturan perundang-undangan, cakupan subtansi
maupun muatan isinya sebagai dasar yang tertulis,
b) pola-pola dasar ketatanegaraan yang dianut dan
dijadikan acuan bagi pengorganisasian institusi,
pembentukan dan penyelenggaraan organisasi

9
negara dalam menjalankan fungsifungsinya
pemerintahan dan pembangunan, c) struktur
kelembagaan negara dan mekanisme hubungan
antar organ kelembagaan negara, baik secara
vertikal maupun horizontal dan diagonal, d) prinsip-
prinsip kewarganegaraan dan hubungan antara
negara dengan warganegara berserta hak-hak dan
kewajiban asasi manusia, bentuk-bentuk dan
prosedur pengambilan putusan hukum serta
mekanisme perlawanan terhadap keputusan
hukum.20
2) Usep Ranawidjaja
Sedangkan menurut Usep Ranawidjaja, bahwa ada
empat hal pokok ruang lingkup Hukum Tata Negara
yaitu struktur umum organisasi negara, badan-badan
ketatanegaraan, pengaturan kehidupan politik rakyat,
dan sejarah perkembangan ketatanegaraan suatu
negara, yang dijabarkan, yaitu (Usep Ranawijaya,
1983):
a) Struktur umum dari organisasi negara yang terdiri
dari bentuk negara, bentuk pemerintahan, sistem
pemerintahan, corak pemerintahan (diktator atau
demokrasi), sistem pemencaran kekuasaan negara
(desentralisasi), garis-garis besar tentang organisasi
pelaksana (perundang-undangan, pemerintahan,
peradilan), wilayah negara, hubungan antara negara
dengan rakyat, cara rakyat menjalankan hak-hak
ketatanegaraan (hak politiknya), 20 Dian Aries
Mujiburohman, (2017) Pengantar Hukum Tata
Negara, hlm. 36 21 Usep Ranawijaya, (1983),
Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-Dasarnya,
Ghalia Indonesia, Jakarta: hlm. 13-14. Hukum Tata
Negara Indonesia| 26 dasar negara, ciri-ciri lahir dari
kepribadian negara Republik Indonesia (lagu
kebangsaan, bahasa nasional, lambang, bendera
dan sebagainya).
b) Badan-badan ketatanegaraan yang memunyai
10
kedudukan di dalam organisasi negara. Mengenai
hal ini, penyelidikan mencakup cara pembentukan,
susunannya, tugas dan wewenangnya, cara
bekerjanya masing-masing, hubungannya satu
dengan yang lain, dan masa jabatannya.
c) Pengaturan kehidupan politik rakyat. Substansi ini
mencakup partai politik, hubungan antara kekuatan-
kekuatan politik dengan badanbadan negara,
kekuatan politik dan pemilihan umum, arti dan
kedudukan golongan kepentingan dan golongan
penekan, pencerminan pendapat, dan cara kerja
sama antar kekuatankekuatan politik (koalisi, oposisi,
kerja sama atas dasar kerukunan).
d) Sejarah perkembangan ketatanegaraan sebagai
latar belakang dari keadaan yang berlaku.

3) Padmo Wahjono
Menurut Padmo Wahjono, identifikasikan ada 16
masalah pokok ketatanegaraan sebagai ruang
lingkup kajian Hukum Tata Negara yang terdapat di
dalam UUD 1945, yaitu:
a. pembentukan lembaga negara,
b. pembentukan UUD dan GBHN
c. kepemimpinan nasional,
d. fungsi legislatif, Hukum Tata Negara
Indonesia
e. fungsi eksekutif,
f. fungsi yudikatif,
g. fungsi kepenasehatan,
h. fungsi pengaturan keuangan negara,
i. fungsi pemeriksaan keuangan negara,
j. fungsi kepolisian,
k. fungsi hubungan luar negeri,
l. masalah hak asasi manusia,
m. kewarganegaraan,
n. otonomi daerah,
11
o. kelembagaan negara dan;
p. wawasan nusantara. Hal di atas menunjukkan
adanya perbedaan perspektif dalam
melakukan kajian terhadap masalah Hukum
Tata Negara, dan hal itu bersifat situasional
dan kondisional, yang mengekspresikan
adanya kesulitan dalam menentukan batasan
yang tegas mengenai ruang lingkup Hukum
Tata Negara. Hal itu sangat disadari oleh
Padmo Wahjono yang mengatakan bahwa
sulit untuk menentukan materi Hukum Tata
Negara sebab banyak hal yang belum
membaku sebagai “tata negara” karena
masalah ketatanegaraan Indonesia masih
dalam proses perkembangan. (I Gede Yusa,
2016)

12
BAB II
SUMBER HUKUM TATA NEGARA
A. Pengertian Sumber Hukum
Menurut Soedikno Mertokusumo, sumber hukum dapat
diartikan dalam beberapa arti, diantaranya adalah :
1) Sumber hukum diartikan sebagai asas hukum, sebagai
sesuatu yang merupakan permulaan hukum, misalnya
kehendak Tuhan, akal manusiam jiwa bangsam dan
sebagainya;
2) Sumber hukum menunjukkan hukum terdahulu yang
memberi bahan- bahan pada hukum yang sekarang berlaku,
seperti hukum Prancis, hukum Romawi, dan lain-lain.
3) Sumber hukum sebagai sumber berlakunya, yang memberi
kekuatan berlaku secara formal kepada peraturan hukum
(penguasa atau masyarakat)
4) Sumber hukum sebagai sumber dari mana kita dapat
mengenal hukum, mislanya dokumen, undang-undang, dan
sebagainya.
5) Sumber hukum sebagai sumber terhadinya hukum atau
sumber yang menimbulkan hukum (Mertokusumo 1996:hlm.
69).
Sumber hukum memilki istilah yang berbeda-beda,
tergantung sudut pandang mana sumber hukum itu dilihat. Paton
George Whitecross, dalam bukunya Textbook of Jurisprudence
mengatakan bahwa istilah sumber hukum itu mempunyai banyak
arti yang sering menimbulkan kesalahan-kesalahan kecuali
kalau diteliti dengan seksama mengenai arti tertentu yang
diberikan kepadanya dalam pokok pembicaraan (sudut pandang)
tertentu.
Utrecht sendiri mengatakan, bahwa kebanyakan para ahli
memberikan istilah sumber hukum berdasarkan sudut pandang
keilmuannya. Pertama, sumber hukum ditinjau dari sudut
pandang ahli sejarah, sumber hukum memiliki arti; (1) sumber
hukum dalam arti pengenalan hukum, (2) sumber hukum dalam
arti sumber dari mana pembentukan ikatan hukum memperoleh
bahan dan dalam arti sistem-sistem hukum dari mana tumbuh
13
hukum positif suatu negara. Sumber hukum ini berfungsi untuk
menyelidiki perkembangan hukum dari masa ke masa sehingga
akan diketahui perkembangan, pertumbuhan, dan perubahan-
perubahan antara hukum yang berlaku di suatu negara.(Tutik
2010:hlm. 35).
Kedua, sumber hukum ditinjau dari sudut para ahli filsafat.
Menurut ahli filsafat sumber hukum diartikan sebagai; (1)
Sumber hukum untuk menentukan isi hukum, apakah isi hukum
itu sudah benar, adil sebagaimana mestinya ataukah masih
terdapat kepincangan dan tidak ada rasa keadilan, (2) Sumber
untuk mengetahui kekuatan mengikat hukum, yaitu untuk
mengetahui mengapa orang taat kepada hukum.(Tutik
2010:hlm.36).
Ketiga, sumber hukum ditinjau dari sudut pandang sosiolog
dan Antropolog budaya. Menurut ahli ini yang dianggap sebagai
sumber hukum adalah keadaan masyarakat itu sendiri dengan
segala lembaga sosial yang ada didalamnya, bagaimana
kehidupan sosial budayanya suatu lembaga-lembaga sosial
didalamnya. Keempat, sumber hukum ditinjau dari sudut
pandang keagamaan (religius). Menurut sudut pandang agama,
yang merupakan sumber hukum adalah kitab-kitab suci atau
ajaran agama itu. Kelima, sumber hukum ditinjau dari sudut ahli
ekonomi, yang menjadi sumber hukum adalah apa yang tampak
di lapangan ekonomi.
Keenam, sumber hukum ditinjau dari sudut para ahli hukum.
Menurut ahli hukum sumber hukum memiliki arti; (1) Sumber
hukum formal, yaitu sumber hukum yang dikenal dalam
bentuknya. Karena bentuknya itulah sumber hukum formal
diketahu dan ditaati sehingga hukum berlaku. Misalnya undang-
undang, kebiasaan, traktat, yurisprudensi, dan pendapat ahli
hukum (doktrin). (2) Sumber hukum materil, yaitu sumber hukum
yang menentukan isi hukum. Sumber hukum materil diperlukan
ketika akan menyelidiki asal usul hukum dan menentukan isi
hukum.
Sumber hukum adalah segala apa saja yang menimbulkan
aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat
memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar
14
mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata.(C.S.T. Kansil
2011:hlm.46).
Dalam ilmu pengetahuan hukum, pengertian sumber hukum
digunakan dalam beberapa pengertian oleh para ahli dan
penulis. Pertama, sumber hukum dalam pengertian sebagai
asalnya hukum ialah berupa keputusan penguasa yang
berwenang untuk memberikan keputusan tersebut. Artinya
keputusan itu haruslah berasal dari penguasa yang berwenang
untuk itu. Kedua, sumber hukum dalam pengertian sebagai
tempat ditemukannya peraturan-peraturan hukum yang berlaku.
Bentuknya berupa undang-undang, kebiasaan, traktat,
yurisprudensi atau doktrin dan terdapatnya dalam UUD 1945,
ketetapan MPR, UU, Perpu, PP, Kepres dan lainnya. Ketiga,
sumber hukum dalam pengertian sebagai hal-hal yang dapat
atau seyogyanya memengaruhi kepada penguasa didalam
menentukan hukumnya. Misalnya keyakinan akan hukumnya,
rasa keadilan, ataupun perasaan akan hukum.(Joeniarto
1980:hlm.3).
B. Sumber Hukum Tata Negara Indonesia
Menurut pasal 1 Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang
Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-
undangan menentukan, bahwa :
a) Sumber Hukum adalah sumber yang dijadikan bahan
untuk menyusun peraturan perundang-undangan.
b) Sumber Hukum terdiri atas sumber hukum tertulis dan
sumber hukum tidak tertulis.
c) Sumber Hukum dasar nasional,
• Pancasila sebagaimana tertulis dalam pembukaan
UUD 1945.
• Batang tubuh UUD 1945 (Pasal-pasal dalam UUD
1945).
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Tap MPR Nomor
III/MPR/2000 tersebut setidaknya terdapat tiga subtansi dasar
yang diatur. Pertama, mengenai pengertian sumber hukum
adalah sumber yang menjadi bahan dalam penyusunan aturan-
aturan hukum (peraturan perundang-undangan). Kedua,
15
mengenai jenis sumber hukum dasar nasional Indonesia yang
meliputi Pancasila dan Pasal-pasal dalam UUD 1945.(Tutik
2010:hlm.39).
Menurut Utrecht, sumber hukum tata negara dapat dibagi
dalam arti formil dan arti materil. Sumber hukum dalam arti formil
adalah sumber hukum yang dikenal dari bentuknya. Karena
bentuknya itu, hukum berlaku umum, diketahui, dan ditaati. Di
sinilah suatu kaidah memperoleh kualifikasi sebagai kaidah
hukum dan bagi yang berwenang ia merupakan petunjuk hidup
yang harus diberikan perlindungan. Adapun yang dimaksud
dengan sumber hukum materil adalah sumber hukum yang
menentukan terhadap isi kaidah hukum Tata Negara, yaitu
faktor-faktor masyarakat yang mempengaruhi pembentukan
hukum, faktorfaktor yang ikut mempengaruhi materi (isi) dari
aturan-aturan hukum, atau tempat dari mana materi hukum itu
diambil.(Utang Rosidin 2022:Hlm. 18).
1) Sumber Hukum Materil
Sumber hukum materil adalah sumber hukum hukum
yang menentukan isi hukum. Sumber ini diperlukan ketika
akan menyelidiki asal-usul hukum dan menentukan isi
hukum. Misalnya, pancasila sebagai pandangan hidup
bangsa Indonesia yang kemudian menjadi falsafah negara
merupakan sumber hukum dalam arti materil yang tidak saja
menjiwai bahkan dilaksanakan oleh setiap peraturan hukum.
Karena pancasila merupakan alat penguji untuk setiap
peraturan hukum yang berlaku, apakah ia bertentangan atau
tidak dengan pancasila, sehingga peraturan hukum yang
bertentangan dengan pancasila tidak boleh berlaku.
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum
juga mengandung pengertian, bahwa semua sumber hukum
yang berlaku di Indonesia (baik formal maupun materil)
selurunhya bersumber pada Pancasila.
Menurut Tap MPRS No. XX/MPRS/1966, Pancasila
sebagai sumber dari segala sumber hukum mewujudkan
dirinya dalam Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945,
Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUD Proklamasi dan
Supersemar 11 Maret 1966. Di dalam sistem norma hukum
16
negara Indonesia Pancasila merupakan norma fundamental
hukum (Staatsfundamentalnorm) yang merupakan norma
hukum yang tertinggi, yang kemudian berturut-turut diikuti
oleh norma hukum dibawahnya.
Ada beberapa alasan mengenai Pancasila sebagai
sumber dari segala sumber hukum dalam arti materiil:
a. Pancasila merupakan isi dari sumber hukum.
b. Pancasila merupakan pandangan hidup dan falsafah
negara.
c. Pancasila merupakan jiwa dari setiap peraturan yang
dibuat, diberlakukan, segala sesuatu peraturan
perundang-undangan atau hukum apa pun yang
bertentangan dengan jiwa Pancasila harus dicabut
dan dinyatakan.(Tutik 2010:hlm.40)
2) Sumber Hukum Formal
Sumber hukum formal adalah sumber hukum yang
dikenal dalam bentuknya. Karena bentuknya itulah sumber
hukum formal diketahui dan ditaati sehingga hukum berlaku
umum. Selama belum mempunyai bentuk, suatu hukum baru
merupakan perasaan hukum dalam masyarakat atau baru
merupakan cita-cita hukum, oleh karenanya belum
mempunyai kekuatan mengikat.(Kusnardi 1981:hlm.45)
Sumber-sumber hukum formal meliputi: (1) Peraturan
Perundang-undangan (aturan hukum), (2) Kebiasaan
(Costum) dan adat, (3) Perjanjian antarnegara (traktat), (4)
Keputusan-keputusan hakim (Yurisprudensi), dan (5)
Pendapat atau pandangan ahlu hukum (doktrin).
a. Undang-undang
Istilah undang-undang disini berbeda dengan istilah
undang-undang dalam undang-undang yang disebutkan
dalam hukum tata negara Indonesia. Karena undang-
undang dalam hukum tata negara Indonesia adalah
produk legislatif presiden (pemerintah) bersama-sama
Dewan Perwakilan Rakyat. Seperti ditetapkan Pasal 5
Ayat 1 dan Pasal 20 UUD 1945 yang mengikat diadakan
dan dipelihara oleh penguasa negara.

17
Undang-undang disini dalam arti luas atau dalam
istilah Belanda disebut wet. Wet dalam hukum tata
negara Belanda, dibedakan dalam dua pengertian, yaitu
wet in formelle zin dan wet in materiele zin. Hal yang
sama dikemukakan T. J. Buys, bahwa undang-undang
mempunyai dua arti antara lain, Pertama undang-undang
dalam arti formal, ialah setiap keputusan pemerintah
yang merupakan undang-undang karena cara
pembuatannya (terjadinya). Misalnya, pengertian
undang-undang, menurut ketentuan UUD 1945 hasil
amandemen adalah bentuk peraturan yang dibuat oleh
pemerintah bersama-sama DPR.
Kedua, undang-undang dalam arti materiil ialah
setiap keputusan pemerintah yang menurut isinya
mengikat langsung setiap penduduk.
Sistem dan Tata Urutan Perundangan Republik
Indonesia telah diatur dalam Tap MPRS No.
XX/MPRS/1966, yang oleh Tap MPR No. V/MPR/1973
dinyatakan tetap berlaku. Sumber-sumber hukum formal
tersebut adalah UUD 1945, dengan tata urutan peraturan
perundang-undangan meliputi: (1) Undang-Undang
Dasar 1945 (UUD 1945), (2) Ketetapan MPRS/MPR, (3)
Undang-Undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu), (4) Peraturan Pemerintah (PP),
(5) Keputusan Presiden (Kepres), (6) Peraturan-
peraturan pelaksana lainnya seperti: Peraturan Menteri,
Instruksi Menteri, Peraturan Daerah (Perda), dan
sebagainya.(Tutik 2010:hlm.42-43).
b. Kebiasaan
Kebiasaan adalah perbuatan manusia yang tetap
dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama. Apabila
kebiasaan tertentu diterima masyarakat dan kebiasaan
itu selalu berulang-ulang dilakukan sedemikian rupa,
sehingga tindakan yang perlawanan dengannya
dianggap sebagai pelanggaran perasaan hukum, dengan
begitu timbullah suatu kebiasaan hukum, yang
selanjutnya dianggap sebagai hukum.
18
Istilah kebiasaan juga sering disebut dengan istilah
hukum adat ketatanegaraan. Hukum Adat
ketatanegaraan merupakan hukum asli bangsa Indonesia
yang tidak tertulis, namun tumbuh dan dipertahankan
dalam persekutuan masyarakat hukum adat. Hukum adat
diakui sebagai salah satu bentuk hukum yang berlaku,
mengikat bukan saja pada anggota persekutuan
masyarakat hukum adat sendiri, melainkan mengikat
pula pada peradilan atau administrasi negara yang
bertugas menerapkannya dalam situasi konkret. Hukum
adat ketatanegaraan adalah hukum asli bangsa
Indonesia di bidang adat ketatanegaraan. Dalam
perkembangannya, hukum adat ketatanegaraan semakin
berkurang peranannya, walupun dalam beberapa hal
masih tampak pada penyelenggaraan pemerintahan
desa, seperti rembug desa (musyawarah desa). Hukum
adat ketatanegaraan ini berangsur-angsur diganti oleh
hukum peraturan perundang-undangan dan konvensi
ketatanegaraan. (Utang Rosidin 2022:Hlm. 22).
c. Konvensi Ketatanegaraan
Konvensi atau hukum kebiasaan ketatanegaraan
adalah hukum yang tumbuh dalam praktik
penyelenggaraan negara untuk melengkapi,
menyempurnakan, dan menghidupkan kaidah-kaidah
hukum perundangundangan atau hukum adat
ketatanegaraan. Merujuk pada Penjelasan UUD 1945
(sebagaimana yang juga dikemukakan oleh Soepomo
tanggal 15 Juli 1945), dikemukakan bahwa UUD ialah
hukum dasar yang tertulis, sedang di sampingnya UUD
itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah
aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam
praktik penyelenggaraan negara, meskipun tidak
tertulis.38 Dikemukakan lebih lanjut bahwa jika hendak
menyelidiki hukum dasar suatu negara, tidak cukup
hanya menyelidiki pasal-pasal UUD saja, akan tetapi
harus menyelidiki juga bagaimana praktiknya dan
suasana kebatinan dari UUD itu.
19
Pendapat yang dikemukakan oleh Soepomo sebagai
aturan-aturan dasar tidak tertulis tersebut dikenal dengan
istilah Konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan. Bagir
Manan mengemukakan pengertian Konvensi
Ketatanegaraan sebagai berikut: “Konvensi atau (hukum)
kebiasaan ketatanegaraan adalah (hukum) yang tumbuh
dalam praktik penyelenggaraan negara, untuk
melengkapi, menyempurnakan, menghidupkan
(mendinamisasi) kaidah-kaidah hukum perundang-
undangan atau hukum adat ketatanegaraan.”(Bagir
Manan 1987:hlm. 15).
Konvensi ketatanegaraan dalam prakteknya dapat
diperkuat kedudukannya karena diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Sebagai contoh dapat
dikemukakan konvensi ketatanegaraan yang kemudian
diatur dalam undang-undang adalah konvensi
pelaksanaan Pidato Kenegaraan Presiden RI dan
Penyampaian Nota Keuangan Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN). Sebelum
berlakunya Undangundang Nomor 27 Tahun 2009
tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dilaksanakan
konvensi ketatanegaraan yang berlaku sejak Orde Baru,
berupa Pidato Kenegaraan Presiden RI dan
Penyampaian Nota Keuangan RAPBN setiap tanggal 16
Agustus di hadapan DPR RI.
Penyampaian Pidato Kenegaraan RI dan
Penyampaian Nota Keuangan RAPBN tersebut tidak
terdapat aturan hukum yang mengaturnya, akan tetapi
dilakukan oleh Presiden setiap tahunnya dihadapan DPR
RI. Setelah DPD RI terbentuk, maka Presiden juga
melakukan Pidato Kenegaraan (tanpa Nota Keuangan
RAPBN, karena pembentukan APBN bukan merupakan
kewenangan DPD) di hadapan DPD RI pada setiap
tanggal 23 Agustus. Pidato Kenegaraan Presiden RI
tanggal 16 Agustus 2010 dilakukan dihadapan Sidang
Bersama DPR RI dan DPD RI, berdasarkan Pasal 199

20
ayat (5) dan Pasal 268 ayat (5) Undang-undang Nomor
27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Selain itu diantara bentuk konvensi ketatanegaraan di
negara lain, adalah konvensi bahwa partai politik yang
mendapat suara yang terbanyak dalam pemilihan umum
yang berhak menjadi Perdana Menteri dan membentuk
kabinet. Hal ini dilaksanakan pada negara-negara
dengan sistem pemerintahan parlementer, antara lain
Inggris dan Jepang. Konvensi lainnya adalah bahwa
Raja/Ratu tidak menolak menyetujui (Royal Assent) RUU
yang disetujui kedua kamar dalam parlemen Inggris.
Konvensi ini sudah berlangsung ratusan tahun.
RUUterakhir yang ditolak untuk disetujui adalah RUU
yang ditolak oleh Ratu Anne pada tahun 1707.(Barendt
1998:hlm. 41).
d. Yurisprudensi Ketatanegaraan
Secara umum sebagaimana yang sudah dipelajari
sebelumnya, Yurisprudensi adalah kumpulan keputusan-
keputusan pengadilan mengenai persoalan
ketatanegaraan yang setelah disusun secara teratur
memberikan kesimpulan tentang adanya ketentuan-
ketentuan hukum tertentu yang ditemukan atau
dikembangkan oleh badan-badan pengadilan. Kumpulan
keputusan pengadilan mengenai perkara yang serupa
atau yurisprudensi mengenai suatu jenis perkara,
sehingga memperkuat arti keputusan pengadilan itu
sebagai sumber hukum.
Walaupun dalam sistem hukum nasional Indonesia
keputusan pengadilan tidak mempunyai kekuatan yang
mengikat, tetapi paling tidak keputusan pengadilan atau
yurisprudensi mempunyai kekuatan yang cukup
meyakinkan. Karena eratnya sumber kebiasaan dan
keputusan pengadilan, ada pendapat yang
mengelompokkannya menjadi satu, yakni menjadi
kebiasaan sebagai sumber hukum formal. Adanya pola
tindak yang berulang dapat menambahkan unsur-unsur
kebiasaan pada kaidah yang terbatas kekuatan
21
mengikatnya pada perkara yang diadili, yaitu keputusan
pengadilan menjadi kaidah yang jangkaunnya lebih luas.
e. Traktat
Traktat pada dasarnya adalah perjanjian antar dua
negara atau lebih. Berdasarkan negara yang melakukan
perjanjian traktat terdiri traktat bilateral dan traktat
multilateral.
Traktat sebagai bentuk perjanjian antar negara
merupakan sumber hukum formal hukum tata negara
walaupun ia termasuk dalam hukum internasional,
mempunyai kekuatan mengikat bagi negara-negara yang
mengadakan perjanjian itu. Isi perjanjian mengikat pihak-
pihak yang mengadakan perjanjian atau terkait perjanjian.
Perjanjian antarnegara juga dapat merupakan bagian
dari hukum tata negara, apabila menyangkut
ketatanegaraan dan telah mempunyai kekuatan mengikat.
Traktat yang telah mempunyai kekuatan mengikat adalah
traktat yang telah diratifikasi oleh pemerintah dari negara
yang mengadakan perjanjian.(Tutik 2010:hlm.56-57).
Traktat (perjanjian internasional) termasuk dalam
bidang Hukum Internasional, namun merupakan sumber
hukum formal dari HTN sepanjang perjanjian itu
memuat/mengatur ketentuan-ketentuan ketatanegaraan.
Perjanjian internasional diatur dalam Pasal 11 UUD 1945
sebagai berikut:
1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian
dan perjanjian dengan negara lain.
2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional
lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan
beban keuangan negara dan mengharuskan
perubahan atau pembentukan undang-undang harus
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional
diatur dengan undang-undang.

22
Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 24 Tahun
2000 tentang Perjanjian Internasional menenetukan
bahwa, “Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam
bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum
internasional yang dibuat secara tertulis serta
menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum
publik.”(Indonesia n.d.) Selanjutnya dijelaskan lebih lanjut
kriteria perjanjian internasional yang harus disahkan
dengan undang-undang, yaitu :
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan
dengan undang-undang apabila berkenaan dengan:
a) Masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan
keamanan negara;
b) Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah
negara Republik Indonesia;kedaulatan atau hak
berdaulat negara;
c) Hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
d) Pembentukan kaidah hukum baru;
e) Pinjaman dan hibah luar negeri.
Pengesahan perjanjian internasional yang materinya
tidak termasuk materi yang harus disahkan dengan
undang-undang, dilakukan dengan Keputusan Presiden.
Diantara bentuk perjanjian internasional yang
memuat/mengatur ketentuan-ketentuan ketatanegaraan
adalah Perjanjian Linggarjati. Pasal yang memuat
ketentuan ketatanegaraan dalam perjanjian ini antara lain
dalam Pasal 5 ayat (1) Persetujuan Linggarjati yang
mengatur sebagai berikut: Undang-undang Dasar
daripada Negara Indonesia Serikat itu ditetapkan nanti
oleh sebuah persidangan pembentuk negara, yang akan
didirikan dari pada wakil-wakil Republik Indonesia dan
wakil-wakil sekutu lain-lain yang akan termasuk kelak
dalam Negara Indonesia Serikat itu, yang wakil-wakil itu
ditunjukkan dengan jalan demokratis, serta dengan
mengingat ketentuan ayat yang berikut dalam pasal ini.
f. Doktrin Ketatanegaraan

23
Doktrin ketatanegaraan adalah ajaran-ajaran tentang
hukum tata negara yang ditemukan dan dikembangkan di
dalam dunia ilmu pengetahuan sebagai hasil
penyelidikan dan pemikiran seksama berdasarkan logika
formal yang berlaku. Pendapat sarjana hukum terkemuka
sebagai sumber tambahan cukup penting, karena
dakalanya bahkan sering fenomena hukum kebiasaan itu
tidak tampak bagi masyarakat. Fenomena kebiasaan
yang sudah menjadi hukum, mungkin diketahui oleh
kalangan terbatas yang berkecimpung di bidang yang
bersangkutan, misalnya jual beli barang atau tanah.
Namun, sebelum ada keputusan pengadilan mengenai
peristiwa atau sengketa yang konkret, hal yang
menyebabkan suatu kebiasaan yang sudah menjadi
suatu kaidah belum terungkapkan secara pasti.(Utang
Rosidin 2022:hlm. 26).

24
BAB III
ASAS-ASAS HUKUM TATA NEGARA
Asas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu pedoman,
atau suatu dasar pokok. Sedangkan asas hukum menurut Sapjito
Rahardjo yaitu hal penting dari peraturan hukum merupakan suatu
jiwa peraturan di dalam hukum dimana asas hukum ini merupakan
landasan lahirnya suatu peraturan dan sebagai alasan lahirnya
suatu peraturan(Gabriel, n.d.).
Menurut Bellefroid, Asas Hukum merupakan norma dasar
dari hukum positif yang dianggap sebagai aturan yang lebih umum.
Pendapat Bellefroid hampir mirip dengan Van Apeldoorn yang
mengatakan bahwa asas hukum yaitu asas yang melandasi hukum
positif yang nantinya membentuk suatu bidang hukum(Titik Triwulan
Tutik, 2020).
Jadi pada dasarnya Asas hukum merupakan dasar pentujuk
yang melandasi terbentuknya suatu aturan atau hukum (hukum
positif). Adapun asas-asas hukum tata negara antara lain:

A. Asas Pancasila
Bangsa Indonesia memiliki falsafah atau prinsip dasar negara
yaitu pancasila. Jadi ketika Panacasila merupakan suatu falsafah
segala perbuatan dan keputusan baik tindakan pemrintah maupun
masyarakat harus sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung di
dalam pancasila. Undang-Undang Dasar 1945 juga merupakan
suatu landasan konstitusional negara, adapun pokok-pokok yang
terkandung di dalam Undang-Undang Dasar 1945 mengenai
pandangan hidup bangsa adalah:
1. Pokok pertama yaitu “Negara’ dimana pada Undang-Undang
Dasar 1945 berbunyi “ Negara melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan
berdasarkan atas persatuan denan mewujudkan Keadilan Sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia” pada bunyi Undang-Undang
Dasar 1945 ini dapat dikatakan bahwa Negara wajib melindungi
bangsa dan neraga Indonesia dan mewujudkan keadilan.
Sebaliknya bahwa rakyat Indonesia juga memiliki kewajiban

25
untuk mengutakan pentingan negara dengan kepentingan
lainnya.
2. Pokok pikiran kedua yaitu berbunyi “Negara hendak
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat” artinya bahwa
negara harus melaksanakan keadilan sesuai bunyi Undang-
Undang Dasar 1945 dimana setiap masyarakat memiliki hak dan
kewajiban yang sama dan telah terwujud oleh negara.
Menciptakan keadilan bukan semata-mata adalah tugas negara
saja tetapi juga tugas kita semua.
3. Pokok pikiran ketiga adalah “negara yang berkedaulatan rakyat”
pada bunyi tersebut dikatakan bahwa kedaulatan itu berada
pada tangan rakyat, artinya dari rakyat untuk rakyat. Dalam
pelaksanaannya kedaulatan rakayt diwakilkan oleh wakil rakyat
yang dipilih langsung melalui hak suara rakyat.
4. Pokok pikiran keempat yaitu “Negara berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa yang adil dan beradab”. Artinya negara
menjamin kebebasan untuk beragama bagi siapun dan saling
menghormati serta tetap memelihara kemanusian yang adil dan
beradab(Rarawino, 2007).

B. Asas Pembagian Kekuasaan


Pembagian kekuasaan merupakan pembagian kekuasaan dan
wewenang kepada beberapa lembaga-lembaga agar tidak terjadi
tumpang tidak tugas dan wewenang. Asas pembagian kekuasaan
pertama kali di kemukakan oleh John Locke yaitu: a). kekuasaan
legislatif b). kekuasaan eksekutif c). kekuasaan federatif dan setelah
itu dikembangkan oleh Montesquieu yang digunakan oleh negara
kita sering disebut dengan Trias Politica antara lain pembagiannya
yaitu 1). Eksekutif 2). Yudikatif dan 3). Legislatif. Dimana pada 3
pembagian kekuasaan ini memiliki wewenang, fungsi dan tugas
yang berbeda-beda namun dalam satu kesatuan karna saling
bekerja sama satu sama lain. Di Indonesia sendiri melakukan
pembagian kekuasaan dibarengi dengan adanya sistem Checks and
balances di dalamnya sehingga bukan saja hanya hubungan kerja
sama tetapi, juga ada pengawasan diatara lembaga- lembaga
tersebut.

26
C. Asas Negara Hukum
Negara hukum merupakan negara yang berdiri atas hukum yang
menjamin adanya keadilan kepada warga negaranya. Keadilan
merupakan suatu syarat dari kebahagiaan dan kemakmuran warga
negara(Yusa, 2016). Konsep Indonesia merupakan negara hukum
terdapat di dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 dalam pasal 1
ayat (3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara hukum”
dimana sebelumnya hanya tersirat tidak dicantumkan di dalam
Undang-Undang Dasar 1945. Sehingga ketika Indonesia merupakan
Negara Hukum segala bentuk tindakan dan keputusan yang
dilakukan pemerintah harus sesuai dengan aturan hukum tidak
boleh bertentangan karena yang memegang komando tertinggi yaitu
hukum. Ada dua konsep tentang negara hukum yaitu:
a. Recht Staats yaitu prinsip ini datang dari rakyat yang memiliki
arti bahwa setiap tindakan harus sesuai dengan Undang-
Undang yang berlaku.
b. The Rule of Law. Prinsip Common Law ini dari The Rule
of Law yaitu kesamaan di depan hukum.

D. Asas Negara Kesatuan


Asas Negara Kesatuan merupakan suatu asas yang
mengatakan bahawa kekuasaan tertinggi merupakan pemerintah
pusat. Dimana pada pasal 1 ayat 1 “ Negara Indonesia merupakan
negara kesatuan yang berbentuk republik. Jadi pada dasarnya
meskipun Indonesia memiliki kebudayaan dan perbedaan yang
beragam namun tetap menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan
bangsa dan Negara(M. Rezky Pahlawan dkk, 2020).
Dari 4 Asas diatas ada yang menarik yaitu adanya asas
pembagian kekuasassn dan Check and Balance dimana adanya
pembagian kekuasaan menjadi 3 kekuasaan yaitu eksekutif,
yudikatif dan legislatif lalu adanya check and balance di dalamnya
sehingga tidak adanya tumpangg tindih tugas dan wewenang antara
lembaga kekuasaan. Namun, pada praktiknya ada oligarki di
tengah-tengah asas ini yaitu adanya oligarki seperti jurnal yang saya
resume berjudul Oligarki Di Tengah Prinsip Check and Balance
Dalam Pembagian Kekuasaan” dan ada juga jurnal “Prinsip Check
27
and Balance dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”. Jurnal ini
berisi tentang Check and Balance yang terdapat oligarki di
dalamnya.
Pada jurnal “ Oligarki Di tengah Prinsip Check And Balance
Dalam Pembagian Kekuasaan” yang melatarbelakangi pembuatan
jurnal ini yaitu dimana ketika adanya amandemen Undang-Undang
Dasar 1945 Indonesia memiliki prinsip check and balance di dalam
kekuasaan sehingga tidak adanya tumpang tidih antar lembaga
kekuasaan dalam melaksanakan tugas dan wewenang. Namun,
pada praktiknya ditengah prinsip check and balance terdapat
oligarki yang sangat bertentanga. Penulis pada jurnal ini teratrik
membahas pratik oligarki ditengah kehidupan demokrasi di
Indonesia. Adapun metedeologi penelitiannya mengunnakan
metode kualitatif.
Lalu pada jurnal kedua dengan judul ““Prinsip Checks and
Balances Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia.” Yang melatar
belakangi penulisan jurnal ini yaitu adanya Salah satu teori
pembagian kekuasaan adalah teori Montesquieu yang membagi
kekuasaan negara menjadi kekuasaan legislatif, eksekutif, dan
yudikatif. Agar tiga bidang kekuasaan tersebut dapat saling
mengontrol dan terjadi keseimbangan kekuasaan perlu diterapkan
prinsip checks and balances. Sistem ketatanegaraan Indonesia
pasca amandemen UUD 1945 menganut prinsip tersebut di mana
DPR sebagai lembaga legislatif, Presiden sebagai lembaga
eksekutif, dan Mahkamah Agung beserta Mahkamah Konstitusi
sebagai lembaga yudikatif dapat saling mengontrol dan terjadi
keseimbangan kekuasaan antar lembaga-lembaga tersebut.
Indonesia mengalami amandemen Undang-Undang Dasar 1945
sebanyak 4 kali. Dilakukannya amademen ini bertujuan untuk
memperbaiki pasal-pasal yang ada didalamnya agar dapat
menjawab semua pertanyaan hari ini(Hukum et al., 2023). Maka dari
situlah Indonesia memiliki prinsip check and balance di dalam
kekuasaannya, dimana adanya pembagian tugas dan fungsi agar
tidak adanya tumpang tindih saat melaksanakan tugas kekuasaan.
Tetapi, di dalam pelaksanaannya tidak seperti apa yang kita
harapkan masih adanya oligarki yang muncul ditengah-tengah
kekuasaan kita(Hukum et al., 2023). Isu ini sangat menarik untuk
28
diangkat karena pada dasarnya prinsip check and balance dan
oligarki sangat bertentangan di dalam kekuasaan.
Check and balance itu sendiri merupakan suatu prinsip di dalam
ketatanegaraan dimana adanya pemisahan kekuaaan di dalamnya
agar adanya saling mengontrol dan menjaga(Sunarto, 2016). Pada
dasarnya kekuasaan itu harus dikontrol dan dijaga agar tidak
adanya penyelewengan yang dilakukan oleh pemerintah yang
memiliki kekuasaan, melalui check and balance ini dapat menjadi
solusi dalam menanggulangi penyelewengan-penyelewengan yang
terjadi(Asshiddiqie, 2010). Prinsip Check and balance ini juga
beguna terhadap keberlangsungan kekuasaan agar tidak adanya
tumpang tindih antar lembaga karena adanya check and balance
dan pemisahan kekuasaan. Indonesia sendiri memisahkan
kekuasaan negara kepada 3 kekuasaan yaitu legislaf,yudikatif dan
eksekutif(Sunarto, 2016).
Di Indonesia pernah terjadi penyelewengan-penyelewengan
kekuasaan karena tidak adanya pembatasan kekuasaan dan
pengontrolan. Pada saat sebelum amandemen Undang-Undang
Dasar kekuasaan presiden sangan tinggi dan luas sehingga tidak
adanya check and balance di dalam kekuasaan. Menurut Mahfud
MD pada saat itu presiden kedudukannya bukan hanya sebagai
eksekutif tapi juga memiliki hak sebagai legislatif dan yudikatif dari
sini sudah sangat jelas jika tidak adanya check and balance karena
tidak adanya saling mengontrol dan tidak adanya pembatasan
kekuasaan sehingga sangat mudah melakukan penyelewengan-
penyelewengan yang terjadi(Ketatanegaraan, n.d.).
Baru pada saat setelah amandemen Undang-Undang Dasar
1945 Indonesia menegaskan bahwa Indonesia di dalam kekuasaan
menganut prinsip check and balance yaitu system saling mengawasi
dan mengontrol yang ketat dan transparansi terhadap publik. Lalu
pada pemisahan kekuasaan Negara yang menjadi 3 kekuasaan
yaitu legislatif, eksekutif, yudikatif memiliki masing-masing memiliki
tugas dan wewenangnya sehingga tidak dapat dipungkiri mereka
saling berkaitan dan bekerjasama satu dengan yang lainnya. Ketika
terjadinya Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 tidak lagi
menempatkan MPR diatas Presiden keduanya memiliki kedudukan
setara. Pada dasarnya ketika ada suatu lembaga kekuasaan berada
29
pada hirarki diatas maka lembaga tersebut dapat dengan bebas
melakukan apapun tanpa dikontrol. Maka dari itu setelah terjadinya
amandemen Undang-Undang Dasar 1945 semua berada hirarki
yang sama agar dapat saling bekerjasama dan mengawasi(Sunarto,
2016).
Namun, pada praktiknya, adanya oligarki ditengah-tengah
kekuasaan tidak bias terelakkan. Oligarki itu sendiri berasar dari
bahasa Yunani yaitu “ologoi” yang artinya “beberapa” atau segelintir
dan “arche” yang artinya adalaah “memerintah”. Jadi oligarki dapat
diartikan sebagai kekuasaan yang hanya dikuasai oleh beberapa
orang saja yang memiliki kepentingan bagi mereka sendiri. Maka
dari pengertian inipun sudah dapat terlihat bahwa oligarki dengan
prinsip check and balance sangat bertentangan satu dengan yang
lainnya.
Perbedaan ini sangat signifikan ketika check and balance
berorientasi kepada kepentingan rakyat sedangkan oligarki hanya
mementingkan kepentingan segelintir orang saja. Jika berbicara
tentang oligarki maka dapat kita lihat dari ciri-cirinya yaitu yang
pertama memerintah dengan memaksa dan mengambil hak orang
lain serta harta yang dimiliki orang lain dapat diambil paksa, lalu
yang kedua yaitu dimana oligarki ini terlibat didalam struktur-struktur
kekuasaan agar lebih mudah melakukan sesuatu sesuai kehendak
segelintir orang demi kepentingan mereka, yang ketiga ciriny ayitu
mereka terpisah meskipun berada di dalam kekuasaan dan yang
terakhir oligarki memiliki dua sifat yaitu oligarki yang jinak atau liar.
Oligarki itu sendiri memiliki tipennya yang berbeda-beda yang
pertama yaitu ada tipe oligarki panglima yaitu dimana pemimpin
yang memiliki sifat dominan dalam kekuasaan tidak akan lama
memimpin karena banyaknya terjadi perpecahan yang disebabkan
persaingan dan konflik yang ada pada negera entah itu karena
adanya perebutan kekuasaan, wilayah atau yang lainnya, lalu kedua
oligarki kolektif yaitu dimana mereka saling bekerjasama satu sama
lain agar kekuasaan itu tetap bertahan contohnya adalah saat
presiden Soeharto menjabat pada saat itu golongan karya
bekerjasama supaya kekuasaan Soeharto tetap berjalan dan
bertahan, lalu yang ketiga ada Oligarki Sultanistik yaitu dimana
adanya monooli di pimpin oleh satu orang dengan paksaan, hukum
30
pada saat ini tidak dikenal sama sekali karena segala sesuatu
ditentukan oleh penguasa, yang keempata da oligarkli sipil ini
hamper sama dengan oligarki sultanistik tetapi yang membedakan
hukum telah mengatuh suatu lembaga dan hanya berorientasi pada
mempertahankan harta kekayaan dan yang terakhir ada oligarki
jinak dan liat yaitu untuk menilainyadapat meilihat bagaiman system
kenegaraan mengendalikan tingkah oligarki yang dirasa sangat
merugikan(Hukum et al., 2023).
Ada beberapa Negara yang masih menerapakan oligarki yaitu
Negara-negara yang memiliki dominasi kekuasaan oleh beberapa
orang biasanya orang ini memiliki kekuatan di ranah kekayaan yang
melimpah sehingga sangat mudah jika ingi terjun kedalam dunia
pemerintahan, lalu adanya kesenjangan ekstrim antar kelas dimana
kelas kaya dan miskin sangat terasa sekali perbedaannya sehingga
perputaran penghasilan atau uang hanya berputar pada kelas atas
saja maka inilah yang sering menyebabkan banyak konflik di
berbagai Negara, lalu adanya kesatuan yang tak terpisahkan
dimana uang dan kekuasaan merupakan satu hal yang tidak bisa
dipisahkan sehingga kekuasaan ini hanya akan terfokus pada
pencarian kekayaan yang diperuntukkan untuk beberapa golongan
saja, dan yang terakhir adanya kekuasaan yang dimiliki dapat
mempertahankan kekausaan sehingga banyak orang yang inginm
berkuasa hanya untuk mempertahanakn harta benda yang mereka
punya(Cevitra & Sitabuana, 2022).
Contoh kongkret oligarki yang terjadi di dalam kenegaraan yaitu
ketika seorang pemimpin mengambil keputusan dan kebijkaan
tanpa memikirkan pendapat rakyat dan biasanya hanya untuk
kepentingan elit politik atau penguasa tanpa memikirkan kerugian
yang akan dialami oleh rakyat karena keputusan ini. Lalu mengapa
Indonesia bisa terjebak di dalam oligarki? Yaitu pertama adanya
orang yang memiliki jabatan sebagai ketua umum partai yang
memiliki aura dominan sehingga tidak susah untuk menarik
perhatian masyarakan dan memenangkan pemilihan itu dan aura ini
akan terbawa sampai parlemen inilah salah satu alasan mengapa
Indonesia bisa terjebak oligarki.
Yang kedua yaitu dilihat dari materi ketika seseorang dapat
menyalurkan uang kepada partai politik akan sangat mudah untuk
31
seseorang ini menjadi tumpuan partai politik dan partai ini sangat
ketergantungan terhadap finansial orang tersebut dan ketika nanti
seseorang ini menjadi pemirintah akan sangat mudah untuk tetap
menyalurkan uanmg kepada partai karena telah terbiasa.
Yang ketiga adanya ketidaksempurnaan partai dimana partai
dapat menumbuhkan kebudayaan di dalam diri partai dan baisanya
kebudayaan dari partai akan terbawa ketika seseorang tersebut
menjadi seorang penguasa contohnya ketika di suatu partai ketika
mau mengambil keputusan atau kebijakn kata musyawaran dan
mufakat hanyalah sekedar kata dan formalitas pada kenyataan
keputusan dan kebijkan hanyak diputusakan oleh dirinya demi
kepentingan dirinya sendiri ini lah yang menajdi awal dari terjadiny
praktik oligarki.
Yang keempat yaitu adanya koalisi untuk mencalonkan tokoh
yang bisa dibilang elite untuk berkumpul dan membentuk koalisi
yang terbaik dengan memaksa pihak lain tunduk. Dari keempat
factor inilah yang menjadikan seseorang kuat dan rakyat lemah.
Maka dari situlah untuk mencegah terjadinya oligarki yaitu yang
pertama perbaiki kehidupan ekonomi bangsa karena ketika kondisi
ekonomi bangsa belum membaik maka masih akan terus ada orang
yang membeli dan membayar politik. Contohnya yang pertama
ketika adanya pemilihan umum karena banyaknya rakyat miskin
maka akan sangat mudah bagi partai melakukan politik uang untuk
mendapatkan suara dipemilihan umum tersebut.
Lalu yang kedua yaitu masih diranah pemilihan umum dimana
sudah bukan rahasia umum ketika mejelang pemilihan umum, partai
melakukan kampanye yang menghabiskan banyak biaya sangat
besar sehingga partai-partai harus bergantung paa finansial
seseorang. Biasanya dari situ dapat memberikan ruang kepada
seseorang tersebut untuk masuk kedalam politik dan maju untuk
mengikuti pemilihan umum.
Maka dari itu perlu dilakukan sesuatu untuk mencegah
keberlanjutan praktik oligarki dalam kelembagaan negara adalah
memperbaiki sistemasi internal partai politik terlebih dahulu karena
hampir secara keseluruhan tokoh politik yang duduk menjadi
anggota parlemen berasal dari partai politik. Diperlukan ada proses
rekrutmen dan kaderisasi yang dilaksanakan sesuai dengan
32
Anggaran Dasar Rumah Tangga partai tersebut. Perlu ditanamkan
bahwa setiap orang memiliki kedudukan dan suara yang sama
dalam setiap musyawarah, tidak boleh hanya suara-suara tokoh
tertentu saja yang didengar. Sangat sulit jika dirasakan memang
untuk diterapkan di Indonesia, namun dengan kesadaran
masyarakat dan dukungan aturan civil society diharapkan dapat
perlahan membenahi internal partai terlebih dahulu.
Kesimpulannya yaitu prinsip check and balance ini perlu
diperkuat kembali agar tiga kekuasaan ini yaiutu eksekutif,yudikatif
dan legislatif dapat menjalankan tugas dan wewenangnya dengan
baik. Melalui prinsip check and balance maka tidak akan lagi adanya
tumpah tindih anter lembaga pemerintah dalam melakukan tugas
dan wewenangnya karena telah adannya pembagian kekuasaan.
Maka dari check and balance diharapkan lembaga kekausaan dapat
selalu bekerjasama, saling mengawasi dan mengontrol agar tetap
berjalan sesuai tugas dan wewenangnnya masing-masing. Namun,
dalam praktiknya kita dipertemukan dengan kenyataan bahwa
oligarki masih ada di politik kita. Jika berbicara tentang oligarki tidak
akan pernah bisa terlepas dari finansial dan kekuatan maka dari itu
perbaikin finansial dan hilangkan politik uang karena dari situlan
oligarki dapat bermunculan.

33
BAB IV
BENTUK NEGARA, BENTUK PEMERINTAHAN, DAN SISTEM
PEMERINTAHAN
A. Bentuk Negara
1. Pengertian Bentuk negara
Secara literal istilah negara merupakan terjemahan dari kata-kata
asing, yakni state (bahasa inggris), staat (bahasa belanda dan
jerman) dan etat (bahasa prancis) kata state,staat,etat di ambil dari
bahasa latin status atau statum yang berarti tegak dan tetap atau
sesuatu yang memiliki sifat tegak dan tetap. Secara terminologi
negara adalah suatu organisasi dari kelompok atau beberapa
kelompok manusia yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup
dalam daerah tertentu dan mempunyai pemerintah yang berdaulat.
Sedangkan secara istilah “staat” merupakan terjemahan dari bahasa
asing, yaitu state (Inggris), staat (Jerman dan Belanda), dan etat
(Perancis). Di Indonesia sendiri, istilah "negara" berasal dari kata
Sansekerta Nagara atau Nagari, Kota. Sekitar abad ke-5, istilah
Nagara sudah dikenal dan digunakan di Indonesia. Hal ini dibuktikan
dengan penamaan Kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat. Selain
itu, istilah Nagara juga digunakan sebagai Nama kitab Majapahit
Negara Kertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca. Oleh karena itu,
istilah "negara" digunakan di Indonesia jauh sebelum orang Eropa.
Negara adalah sekelompok orang yang memiliki keinginan/tujuan
yang Sama untuk membangun masa depan bersama. Kelompok
masyarakat ini memiliki nasib yang Sama dan berbagi nasib yang
Sama hidup bersama di wilayah permukaan bumi dengan kekuatan
politik, militer, ekonomi, sosial dan budaya. Kami memiliki
pemerintahan yang sah untuk membentuk organisasi komunitas dan
mengatur warga dan komunitas. (S. T, Kansil, Ilmu Negara (umum
dan indonesia), Jakarta: Pradya Paramita, n.d.)

34
2. Bentuk Pemerintahan
Sedangkan bentuk-bentuk negara/pemerintahan menurut yunani
kuno ada tiga bentuk Negara yang terpenting yaitu monarki, oligarki,
dan demokrasi. Monarki adalah sebuah sistem pemerintahan di
mana kekuasaan tertinggi dipegang oleh seorang penguasa tunggal
yang disebut sebagai raja atau ratu. Dalam monarki kepemimpinan
dan gelar ini biasanya diwariskan secara turun-temurun melalui
garis keturunan, meskipun ada juga monarki yang menggunakan
sistem pewarisan yang berbeda, seperti pemilihan atau
penunjukan.Contoh Negara yang menganut sistem monarki adalah
Negara inggris, belanda, spayol, swedia,nowergia,denmark dan
jepang.Oligarki adalah sebuah sistem pemerintahan di mana
kekuasaan tertinggi dipegang oleh seorang penguasa tunggal yang
disebut sebagai raja atau ratu.Contoh Negara yang mengenut
sistem pemerintaha oligarki adalah pemerintahan cina,pemerintahan
arab saudi,dan pemerintahan iran.Demokrasi adalah sebagai sistem
pemerintahan yang mengijinkan dan memberikan hak, kebebasan
kepada warga negaranya untuk berpendapat serta turut serta dalam
pengambilan keputusan di pemerintahan.Contoh Negara yang
menganut sistem demokrasi adalah Indonesia,india,afrika dan lain –
lain. (Negara, L. A. (2014). Wawasan Kebangsaan Dalam Kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jakarta, n.d.)
B. Susunan Negara
Pasal 1 ayat (1) UUD 1945: “Negara Indonesia ialah Negara
Kesatuan yang berbentuk Republik”. Terdapat beberapa macam
susunan organisasi negara:
A. Negara Kesatuan (unitary state);
Sedangkan Bentuk Negara pada Masa Modern Sekarang ini
menurut teori-teori modern yang berlaku pada saat ini adalah
Negara Kesatuan. Negara kesatuan adalah bentuk suatu negara
yang merdeka dan berdaulat, dengan satu pemerintahan pusat yang
berkuasa dan mengatur seluruh daerah. Namun dalam
pelaksanaannya, negara kesatuan ini terbagi kedalam 2 macam
sistem pemerintahan yaitu: Sentral dan Otonomi.(Nur & Susanto,
2019)
35
Negara kesatuan pun terbagi menjadi 2 yaitu ada Negara kesatuan
sistem sentralisasi dan desentralisasi
a) Sistem sentralisasi adalah bentuk Negara dimana pemerintah
pusat memiliki kedualatan penuh untuk menyelengarakan
urusan pemerintah dari pusat hingga daerah termasuk segala
hal yang menyangkut urusan pemerintahan daerah.
Pemerintah daerah hanya bersifat pasif dan menjalankan
perintah dari pemerintahan pusat.Singkatnya pemerintah
daerah hanya sebagai pelaksanaan belakang.Contoh dari
negara yang menerapkan sistem sentralisasi ini adalah
Jerman pada masa pemerintahan Adolf Hitler.
Kelebihan dari sistem sentralisasi dalam negara kesatuan
adalah sebagai berikut:Keseragaman hukum di seluruh
wilayah negara karena aturan dan regulasi dikeluarkan oleh
pemerintah pusat. Ini menghindari konflik hukum antara
daerah-daerah di dalam negara. Pemerintah mengurus
langsung semua urusan sampai kedaerah,tidak membtuhkan
biaya besar.
Kelemahan Negara kesatuan sistem sentralisai
adalah,bertumpuknya pekerjaan pemerintah pusat yang
dapat menghambat proses pelaksanaan
pembangunan,rakyat akan bersifat apatis dan tidak
mempunyai tanggung jawab dalam pelaksanaan
pembangunan di daerahnya, pertuaran yang dibuat
pemerintah pusat sering tidak sesuai dengan kebutuhan
daerah. (Santoso, M. A. (2009). Otonomi Daerah di Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Jurnal Ilmu Administrasi: Media
Pengembangan Ilmu dan Praktek Administrasi, 6(4), n.d.)
b) Sistem desentralisasi adalah bentuk Negara dimana
pemerintah pusat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi
dalam Negara memberikan sebagian kekuasaanya kepada
daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri di sebut hak otonom. Dalam sistem pemerintahan ini
daerah membuat peratuaran yang sesuai dengan kondisi
daerahnya, asal peraturan itu tidak bertentangan dengan
peraturan di atasnya. Pemerintah pusat tidak lagi memegang
kekuasaan seluruh urusan pokok saja, seperti urusan
36
pemerintahan umum, politik, keuangan dan hubungan luar
negeri. Contoh Negara yang menerapkan sistem ini adalah
Indonesia.
Kelebihan dari sistem desentralisasi adalah: Pemerintah
daerah dapat membuat peraturan yang sesuai dengan situasi
dan kondisi daerahnya, karena peraturan sesuai dengan
kondisi dan keadaan daerahnya maka rakyat dapat berperan
secara aktif dalam pembangunan untuk memajukan
daerahnya.
Kelemahan Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi
adalah : Tidak adanya keseragaman peraturan diseluruh
wilayah Negara,sistem ini membutuhkan biaya yang besar.
(Simandjuntak, R. (2015). Sistem Desentralisasi Dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia Perspektif Yuridis
Konstitusional. Journal de Jure, 7(1), n.d.)
c) Otonomi daerah
Otonomi daerah di Indonesia adalah hak, wewenang, dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.”(Pembangunan & Daerah, 2015)
Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD
1945 berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi dan
otonomi daerah di Indonesia, yaitu:

1. Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa


Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain di
dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"), yang
berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan
negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara
kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan
2. Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18
Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya
sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa
Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik
desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang.(Simandjuntak,

37
R. (2015). Sistem Desentralisasi Dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia Perspektif Yuridis Konstitusional. Journal
de Jure, 7(1), n.d.) ketatanegaraan
Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan
desentralisasi di Indonesia berpusat pada pembentukan daerah-
daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan
dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk
mengatur dan mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan
kewenangan tersebut. Adapun titik berat pelaksanaan otonomi
daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II) dengan beberapa
dasar pertimbangan:

1. Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai


fanatisme kedaerahan sehingga risiko gerakan separatisme
dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim;
2. Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan
pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif;
3. Dati II adalah daerah "ujung tombak" pelaksanaan
pembangunan sehingga Dati II-lah yang lebih tahu
kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.
Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah:

1. Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan


situasi dan kondisi objektif di daerah;
2. Bertanggung jawab, pemberian otonomi
diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar
pembangunan di seluruh pelosok tanah air; dan
3. Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan
dorongan untuk lebih baik dan maju(Moh. Kusnardi S.H.,
Harmaily Ibrahim, S.H., (1988), PengantarHukum Tata
Negara Indonesia, n.d.)

Pelaksaan otonomi daeah pada masa orde baru


Sejak tahun 1966, pemerintah Orde Baru berhasil membangun
suatu pemerintahan nasional yang kuat dengan menempatkan
38
stabilitas politik sebagai landasan untuk mempercepat
pembangunan ekonomi Indonesia. Politik yang pada masa
pemerintahan Orde Lama dijadikan panglima, digantikan dengan
ekonomi sebagai panglimanya, dan mobilisasi Massa atas dasar
partai secara perlahan digeser oleh birokrasi dan politik teknokratis.
Banyak prestasi dan hasil yang telah dicapai oleh pemerintahan
Orde Baru, terutama keberhasilan di bidang ekonomi yang ditopang
sepenuhnya oleh kontrol dan inisiatif program-program
pembangunan dari pusat. Dalam kerangka struktur sentralisasi
kekuasaan politik dan otoritas administrasi inilah, dibentuklah
Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah. Mengacu pada UU ini, Otonomi
Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban Daerah untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku. Selanjutnya yang dimaksud
dengan Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah
tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan
dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam
tiga prinsip:(Dengan & Otonomi, 1999)

1. Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari


Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah
menjadi urusan rumah tangganya;
2. Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau
Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya
kepada Pejabat-pejabat di daerah dan
3. Tugas Pembantuan (medebewind), tugas untuk turut serta
dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan
kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh
Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya
dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang
menugaskannya.

39
Dalam kaitannya dengan Kepala Daerah baik untuk Dati I (Provinsi)
maupun Dati II (Kabupaten/Kotamadya), dicalonkan dan dipilih oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang
dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah
dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Menteri
Dalam Negeri, untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat
diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya,
dengan hak, wewenang dan kewajiban sebagai pimpinan
pemerintah Daerah yang berkewajiban memberikan keterangan
pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
sekurang-kurangnya sekali setahun, atau jika dipandang perlu
olehnya, atau apabila diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, serta mewakili Daerahnya di dalam dan di luar Pengadilan.
Berkaitan dengan susunan, fungsi dan kedudukan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, diatur dalam Pasal 27, 28, dan 29
dengan hak seperti hak yang dimiliki oleh anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (hak anggaran; mengajukan pertanyaan bagi
masing-masing Anggota; meminta keterangan; mengadakan
perubahan; mengajukan pernyataan pendapat; prakarsa; dan
penyelidikan), dan kewajiban seperti:
a) Mempertahankan, mengamankan serta mengamalkan
PANCASILA dan UUD 1945;
b) menjunjung tinggi dan melaksanakan secara konsekuen Garis-
garis Besar Haluan Negara, Ketetapan-ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat serta mentaati segala peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
c) bersama-sama Kepala Daerah menyusun Anggaran Pendapatan
dan Belanja daerah dan peraturan-peraturan Daerah untuk
kepentingan Daerah dalam batas-batas wewenang yang diserahkan
kepada Daerah atau untuk melaksanakan peraturan
perundangundangan yang pelaksanaannya ditugaskan kepada
Daerah; dan
d) Memperhatikan aspirasi dan memajukan tingkat kehidupan rakyat
dengan berpegang pada program pembangunan Pemerintah.
40
Dari dua bagian tersebut di atas, tampak bahwa meskipun harus
diakui bahwa UU No. 5 Tahun 1974 adalah suatu komitmen politik,
namun dalam praktiknya yang terjadi adalah sentralisasi (baca:
kontrol dari pusat) yang dominan dalam perencanaan maupun
implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena paling
menonjol dari pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 ini adalah
ketergantungan Pemda yang relatif tinggi terhadap pemerintah
pusat.
Pelaksanaan otonomi daerah setelah masa reformasi
Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada
masa reformasi dimulai di tengah-tengah krisis yang melanda Asia
dan bertepatan dengan proses pergantian rezim (dari rezim
otoritarian ke rezim yang lebih demokratis). Pemerintahan Habibie
yang memerintah setelah jatuhnya rezim Suharto harus menghadapi
tantangan untuk mempertahankan integritas nasional dan
dihadapkan pada beberapa pilihan yaitu:

1. melakukan pembagian kekuasaan dengan pemerintah


daerah, yang berarti mengurangi peran pemerintah pusat
dan memberikan otonomi kepada daerah;
2. pembentukan negara federal; atau
3. Membuat pemerintah provinsi sebagai agen murni
pemerintah pusat.
Pada masa ini, pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum
desentralisasi yang baru untuk menggantikan Undang-Undang No.
5 Tahun 1974, yaitu dengan memberlakukan Undang-Undang No.
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang
No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah. Beberapa hal yang mendasar
mengenai otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sangat berbeda dengan
prinsip undang-undang sebelumnya antara lain:

1. Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pelaksanaan


otonomi daerah lebih mengedepankan otonomi daerah

41
sebagai kewajiban daripada hak, sedang dalam Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1999 menekankan arti penting
kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat melalui prakarsanya sendiri.
2. Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan
bersama-sama dengan asas dekonsentrasi seperti yang
selama ini diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun
1974 tidak dipergunakan lagi, karena kepada daerah
otonom diberikan otonomi yang luas, nyata dan bertanggung
jawab. Hal ini secara proporsional diwujudkan dengan
pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya
nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan
pusat dan daerah. Di samping itu, otonomi daerah juga
dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang juga
memperhatikan keanekaragaman daerah.
3. Beberapa hal yang sangat mendasar dalam
penyelenggaraan otonomi daerah dalam Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999, adalah pentingnya pemberdayaan
masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas mereka
secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan
Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-
undang ini otonomi daerah diletakkan secara utuh pada
daerah otonom yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu
daerah yang selama ini berkedudukan sebagai Daerah
Tingkat II, yang dalam Undang-undang ini disebut Daerah
Kabupaten dan Daerah Kota.
4. Sistem otonomi yang dianut dalam Undang-undang Nomor
22 Tahun 1999 adalah otonomi yang luas, nyata dan
bertanggung jawab, di mana semua kewenangan
pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam,
peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan bidang-
bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh,
bulat dan menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan
pemerintah.
5. Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan
untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut
prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedang yang selama ini
42
disebut Daerah Tingkat I atau yang setingkat, diganti
menjadi daerah provinsi dengan kedudukan sebagai daerah
otonom yang sekaligus wilayah administrasi, yaitu wilayah
kerja Gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi
kewenangan pusat yang didelegasikan kepadanya.
6. Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas
desentralisasi atau otonom. Dalam hubungan ini, kecamatan
tidak lagi berfungsi sebagai peringkat dekonsentrasi dan
wilayah administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah
kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan dapat
diselenggarakan di daerah provinsi, kabupaten, Kota dan
desa. Pengaturan mengenai penyelenggaraan
pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah
masing-masing dengan mengacu pada pedoman yang
ditetapkan oleh pemerintah.
7. Wilayah Provinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil
dihitung secara lurus dari garis pangkal pantai, sedang
wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan wilayah
laut sebatas 1/3 wilayah laut provinsi.
8. Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat
daerah lainnya sedang DPRD bukan unsur pemerintah
daerah. DPRD mempunyai fungsi pengawasan, anggaran
dan legislasi daerah. Kepala daerah dipilih dan bertanggung
jawab kepada DPRD. Gubernur selaku kepala wilayah
administratif bertanggung jawab kepada Presiden.
9. Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan
persetujuan DPRD sesuai pedoman yang ditetapkan
Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang
berwenang.
10.Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan
ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik,
jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangannya lain
yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah,
daerah, daerah yang tidak mampu menyelenggarakan
otonomi daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan
daerah lain. Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari
satu daerah, yang ditetapkan dengan undang-undang.
43
11.Setiap daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala
daerah, dan dipilih bersama pemilihan kepala daerah dalam
satu paket pemilihan oleh DPRD.
12.Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan,
pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun,
pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan
dan kemampuan daerah, berdasarkan Nama, standar,
prosedur yang ditetapkan pemerintah.
13.Kepada Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas,
sedang pada provinsi otonomi yang terbatas. Kewenangan
yang ada pada provinsi adalah otonomi yang bersifat lintas
Kabupaten dan Kota, yakni serangkaian kewenangan yang
tidak efektif dan efisien kalau diselenggarakan dengan pola
kerja Sama antar Kabupaten atau Kota. Misalnya
kewenangan di bidang perhubungan, pekerjaan umum,
kehutanan dan perkebunan dan kewenangan bidang
pemerintahan tertentu lainnya dalam skala provinsi
termasuk berbagai kewenangan yang belum mampu
ditangani Kabupaten dan Kota.
14.Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah Kota dapat
dilakukan dengan Cara membentuk badan pengelola
tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah Kabupaten
sendiri maupun melalui berkerja Sama antar daerah atau
dengan pihak ketiga. Selain DPRD, daerah juga memiliki
kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang terdiri dari
Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Teknis
Daerah, Lembaga Staf Teknis Daerah, seperti yang
menangani perencanaan, penelitian dan pengembangan,
pendidikan dan latihan, pengawasan dan badan usaha milik
daerah. Besaran dan pembentukan lembaga-lembaga itu
sepenuhnya diserahkan pada daerah. Lembaga pembantu
Gubernur, Pembantu Bupati/Wali Kota, Asisten Sekwilda,
Kantor Wilayah dan Kandep dihapus.
15.Kepala Daerah sepenuhnya bertanggung jawab kepada
DPRD, dan DPRD dapat meminta Kepala Daerahnya
berhenti apabila pertanggungjawaban Kepala daerah
setelah 2 (dua) kali tidak dapat diterima oleh DPRD.
44
(Morissan, (2005), Hukum Tata Negara R.I. Era Reformasi,
n.d.)
B. Negara Serikat (Federal); adalah suatu negara yang merupakan
gabungan dari beberapa negara yang menjadi negara-negara
bagian dari Negara Serikat. Bedanya dengan Negara
Kesatuan, pemerintah pusat hanya bertugas mengurusi hal-hal
yang mempunyai sifat nasional saja, seperti politik luar negeri,
fiskal, pertahanan dan keamanan.
C. Negara Konfederasi (Confederation); Konfederasi adalah bentuk
perserikatan antara negara merdeka berdasarkan perjanjian atau
undang-undang misalnya yang menyangkut berbagai kebijakan
bersama. Bentuk konfederasi tidak diakui sebagai negara berdaulat
tersendiri dalam hukum internasional, karena masing-masing
negara yang membentuk konfederasi tetap memiliki kedudukan
internasional sebagai negara berdaulat. Contoh, setelah Uni Soviet
bubar, maka negara- negara merdeka bekas Uni Soviet membentuk
konfederasi sebagai persekutuan kerja sama yang sangat longgar,
dan menyerupai organisasi kerja sama antar negara secara
regional, seperti ASEAN.
D. Negara Superstruktural-Superstate/supra state sbg transisi
menuju federasi; Bentuk terakhir ini merupakan fenomena baru,
yang merupakan keinginan negara-negara berdaulat bersatu dalam
kerja sama yang lebih ketat, dan bahkan dalam hal tertentu
menyerahkan kedaulatan negara kepada persekutuan, dalam
fungsi-fungsi legislasi, administrasi, dan fungsi peradilan, bahkan
hubungan luar negeri, imigrasi imigrasi dan moneter, tapi belum
mencapai mencapai tingkat federasi;-Contoh Uni Eropah. Konstitusi
Eropah saat ini sedang dalam proses ratifikasi negara-negara
anggota, dan kalau seluruhnya menyepakati, Uni Eropa Akan
menjadi Negara tersendiri, dengan susunan kekuasaannya
kemungkinan merupakan Federasi.
CONTOH KASUS YANG TERJADI
Indonesia merupakan Negara dengan keberagaman suku, budaya,
bahasa, dan adat istiadat, karena keberagaman inilah maka

45
diperlukan suatu sistem politik yang dapat menyatukan
keberagaman ini.Pada saat ini, sistem politik demokrasi Indonesia
menganut Demokrasi Pancasila.Demokrasi mengizinkan warga
Negaranya untuk ikut berpartisipasi baik secara langsung maupun
melalui perwakilan, dalam perumusan, pengembangan dan
pembuatan hukum. Demokrasi juga mencakup kondisi sosial,
ekonomi dan budaya yang memungkinkan praktek adanya
kebebasan politik yang bebas dan setara(Nisa Nabila, Paramita
Prananingtyas, 2020)
Namun jika di lihat pada hari ini Indonesia sudah jauh terbilang dari
Negara demokrasi karna kita bisa melihat demokrasi di indoneia
sudah terbilang tak berjalan di mana banyak suara rakyat yang tak
di dengan bahkan DPR yang seharus nya bisa menjadi jembatan
antara masyrakat dan pemerintah sekarang sudah tidak ada
fungsinya.
Demokrasi yang seharus nya dari rakyat untuk rakyat sekarang
sudah tidak lagi mengapa? Karna banyak Terjadinya politik uang
dalam setiap pemilihan umum bukan sepenuhnya kesalahan dari
calon anggota legislatif, karena masyarakat sebagai pihak penerima
uang juga mempunyai peran. Maraknya politik uang dalam setiap
periode pemilu ini juga dikarenakan oleh sebab-sebab social antara
nyaKebisaaan politik dari calon legislatif sebagai peserta pemilu,
Kebisaaan politik dari Masyarakat, kondisi ekonomi masyrakat,
Pendidik politik yang rendah, Minimnya pemahaman tentang
ketentuan pidana pemilu.
Sehingga demokrasi ini bisa di perjual belikan karna uang, rakyat
yang seharusnya memilih sesuai dengan kriteria pemimpin malah
memilih karna uang dan pemilihan yang seharus nya terlaksana
secara jujur, rahasia dan adil kini telah lenyap karna uang.
Banyak keputusan keputusan yang sangat merugikan Masyarakat
dan menghilangkan kontitusi dan kepercayaan yang di ambil oleh
para pemerintah sehingga Masyarakat sudah tak percaya lagi.

46
Banyak para pendemostran yang menyuarakan aspirasi nya namun
tidak ada tanggapan satu pun dari para petinggi apakah itu yang di
namakan demostrasi? Apalagi sekarang Akan segera di lakukan
pemilihan presiden yang mana seharusnyankita sebagai mastyrakat
bisa memilih sesuai keinginan dan tanpa ada paksaan atau campur
tangan dari uang para pencalon.

47
BAB V
KONSTITUSI
A. Pengertian Konstitusi
Konstitusi berasal dari kata contitution atau dalam bahasa
belanda cotitute yang berarti undang undang dasar. Orang Belanda
dan Jerman dalam percakapan sehari-hari biasanya menggunakan
kata grondwet yang memiliki arti serupa yaitu undang undang dasar.
Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi tertulis beserta nilai-nilai
dan norma hukum dasar tidak tertulis yang hidup sebagai konvensi
ketatanegaraan dalam praktek penyelenggaraan suatu negara
termasuk dalam pengertian kon stitusi atau dasar hukum suatu
negara. (Utang Rosidin 2016)
K. C. Wheare: Konstitusi adalah keseluruhan sistem ketatanegaraan
suatu negara yang berupa kumpulan peraturan yang membentuk
dan mengatur/memerintah dalam pemerintahan suatu negara.
James bryce menjelaskan bahwa konstitusi adalah seperangkat
prinsip tentang kekuasaan pemerintah, hak-hak yang diperintah dan
hubungan diantara mereka. Dan bisa disimpulkan bahwa konstitusi
adalah suatu kumpulan asas yang mengenai kekuasaan pemerintah,
hak-hak yang diperintah dan hubungan antara
keduanya(pemerintah dan yang diperintah ddalam onteks hak asasi
manusia).
Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa istilah konstitusi pada
mulanya berasal dari kata dalam bahasa Latin, constitutio yang
berkaitan dengan kata jus atau ius yang berarti “hukum atau
prinsip.”(Jimly Asshidqie 2006)
Selain istilah konstitusi, terdapat pula istilah Grondwet (UUD)dalam
bahasa Belanda. Grondwet atau UUD menurut Wirjono Prodjodikoro
memiliki arti suatu undang-undang yang menjadi dasar (grond) dari
segala hukum. (Wirjono Prodjodikoro 1989)

48
B. Sejarah Perkembangan Konstitusi
1. Konstitualisme yunani
Bagi Filsuf-filsuf Yunani seperti Plato dan Aristoteles, tidak
ada pertentangan antara individu dengan negara. sebaliknya negara
adalah satu-satuya cara bagi individu untuk mewujudkan tujuan-
tujuan terbainya dan manusia bukanlah seorang manusia yang baik
kecuali jika dia juga seorang warga negara yang baik. Konstitusi
ideal baik menurut plato maupun aristoteles menekankan
pentingnya pendidikan politik, sebab melalui warga negara yang
terdidik, negara dapat dilindungi dari timbulnya anarki, menurut
pemikiran Plato dan Aristoteles, anarki merupakan akibat dari
ketidak kontrolnya perkembangan demokrasi. (C.F Srtong n.d.)
Walaupun konstitusionalisme politik Yunani telah berakhir,
idealisme politik mereka masih tertinggal dan sulit untuk
memperkirakan apa jadinya pemerintahan politik masa kini tanpa
adanya inspirasi yang diperroleh dari contoh klasik ini.
2. Konstitusi Romawi
Konstitusi romawi adalah instrumen pemerintaan yang
sangat bagus, konstitusi pada zaman ini tidak ditemukan dalam
bentuk tertulis, melainkan konstitusi ini yaitu sekumpulan ingatan
atau catatan presiden dan juga kumpulan dari keputusan pengacara,
negarawan, kumpuan adat istiadat, kebiasaan dan keyakinan yang
berhubungan dengan pemerintahan. Konstitusi ini awalnya
merupaka perpaduan antara monarki, aristkratis dan demokratis
akan tetapi berakhir sebagai aristokratis yang tidak bertaggung
jawab.
Pengaruh konstitusionalisme romawi dapat dilihat dari
1. Hukum romawi (roman law) memeberi sejarah besar bagi
hukum eropa kontinental
2. Orang orang abad pertengahan terobsesi dengan
gagasan kesatuan politik dunia untuk menghadapi
kekuatan disintegrasi karena kecintaan bangsa romawi
akan ketentraman dan kesatuan.
49
3. Konstitualisme Di Abad Petengahan
Pada zaman ini konstitualisme berkembnag dengan pesat,
diantaranya yaitu feodalisme karena tersususn menjadi suatu
bentuk pemerintahan sosial dan politik yang dapat diterima secara
umum. Ciri utamanya yaitu membagi negara menjadi unit-unit kecil.
prinsip umum feodalisme adalah “setiap orang harus punya
penguasa”.
Kejahatan feodalisme terletak akan banyaknya kekuasaan yang
diberikan pada baron-baron tinggi dan proporsi kekuatan mereka
dimasa itu yang tehambat ketika negara kesatuan bangkit. Oleh
karena itu raja-raja yang kuat dari abad pertengahan adalah mereka
yang melakukan segala cara untuk memusatkan kekuasaan di
tangan mereka sendiri dan menyusun suatu kontrol pusat yang
merusak supremasi pada baron. Dengan cara ini feodalisme
berkembang secara pasi untuk menjembatani jurang pemisah
antara chaos pada awal abad pertengahan dan keteraturan di
negara modern. (C.F Srtong n.d.)
4. Konstitualisme Di Inggris
Pada abad ke-18 Inggris merupakan satu-satunya negara
konstitusional di dunia. oleh karena itu, sistem konstitusi di inggris
telah menjadi contoh bagi perkembangan konstitusional di negara
negara lain. konstitusi di Inggris adalah hasil perkembagan konvensi
yang berlangsung lambat, bukan penemuan yang disengaja yang
dihasilkan dari sebuah teori. Walaupun begitu, konstitusi Inggris
telah dijadikan titik tolak pemikiran politik yang mencirikan abad ke-
17 dan abad ke-18. Konstitusi nggris mampu mengadaptasi dirinya
dengan kondisi baru dan menambahkan unsur-unsur baru yang
dihasilkan oleh konstitusi terdokumentasi yang muncul kemudian
pada konstitusi yang sudah ada tanpa mengubahnya secara
mendasar.

50
5. Konstitusionalisme Dan Perang Dunia I
Pada masa ini, konstitusi tidak hanya di Eropa, Amerika
Serikat dan Dominion (daerah kekuasaan) inggris yang
berpemerintahan sendiri, pada masa inipula konstitusionalisme telah
menyebar ke belahan lain dunia hingga ke tempat-tempat yang jauh,
seperti Amerika Selatan, Jepang, dan Bahkan Cina.
Konstitusionalisme pada masa ini dibentuk menurut bentuk lain dari
model Inggris yang diadopsi oleh Amerika Serikat, dengan kata lain
konstitusionalisme membentuk institusi representatif dan
menjadikan bangsa sebagai basis negara.(C.F Srtong n.d.)
C. Konstitusi Indonesia Dari Masa Ke Masa
Sejak proklamasi 17 Agustus 1945, hingga sekarang di Indonesia
telah berlaku tiga macam undang-undang dasar dalam beberapa
periode yaitu ;
1) Periode 18 Agustus 1945–27 Desember 1949.
panitia persiapan kemerdekaan indonesia (PPKI) disahkan
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Undang-Undang dasar
Republik Indonesia.
2) Periode 27 Desember 1949–17 Agustus 1950.
Meskipun UUD 1945 secara formal berlaku sebagai
konstitusi resmi namun nilainya hanya bersifat nominal, yaitu
baru diatas kertas saja. keadaan demikian terus berlangsung
sampai tahun 1949 ketika dibentuknya Republik Indonesia
Serikat.(Jimly Asshidqie 2006)
Setelah perang dunia kedua berakhir, dengan
jemenangan pihak sekutu, dan kekalahan jepang maka
pemerintah belanda kembali menjajah indonesia dan dengan
terjadinya hal itu belanda melaksanakan agresi militer I dan
II. Dalam keadaan mendesak dan pengaruh (PBB) pada
tanggal 23 agustus-2 november 1945 diadakan konferensi
meja bundar di den haag belanda.
Konferensi meja bundar di den haag tersebut berhasil
menyepakati tiga hal sebagai berikut ;
1. Mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat
51
2. Penyerahan kedaulatan kepada RIS yang berisi tiga
hal yaitu
• piagam penyerahan kedaulatan dari kerajaan
belanda kepada pemerintah RIS;
• Status UNI;
• persetujuan perpindahan.
3. Mendirikan uni antara Republik Indonesia Serikat
dengan Kerajaan Belanda.
Bentuk Negara Federal seperti yang dikehendaki dalam
konstitusi RIS mengadung banyak nuansa politis karena
berkenaan dengan kepentingan Penjajahan Belanda. Bentuk
negara federal RIS ini tidak bertahan lama, sampai akhirnya
dicapai kata sepakat antara pemerintah Republik Indonesia
Serikat dan Pemerintah Republik Indonesia. kesepakatan itu
dituangkan dalam satu naskah persetujuan bersama pada
tanggal 19 Mei 1950, yang pada intinya menyepakati
dibentuknya kembali NKRI sebagai kelanjutan dari negara
kesatuan yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945
3) Periode 17 Agustus 1950–5 Juli 1959.
Naskah Undang-Undang Dasar ini baru diberlakukan
secara resmi pada mulai tanggal 17 agustus 1950 yaitu
dengan ditetapkannya undang-undang nomor 7 tahun 1950.
Undang-Undang Dasar Sementara 1950 ini bersifat
mengganti , sehingga isinya tidak hanya mencerminkan
perubahan konstitusi Republik Indonesia Serikat tahun 1949,
tetapi menggantikan naskah konstitusi RIS itu dengan
naskah baru sama sekali dengan nama Undang-undang
dasar sementara tahun 1950.
Seperti halnya konstitusi RIS 1949, Undang-Undang
Dasar Sementara 1950 ini juga bersifat sementara, hal ini
terlihat jelas dalam rumusan pasal 134 yang mengharuskan
konstituante bersama dengan pemerintah menyusun
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang
akan menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950
itu. Sayangnya majlis konstituante ini tidak atau belum
sampai berhasil menyelesaikan tugasnya untuk menyusun
52
undang-undang dasar yang baru, sampai akhirnya presiden
Soekarno berkesimpulan bahwa konstituante telah gagal.
4) Periode 5 Juli 1959–Sekarang.
Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit presiden tanggal 5
juli 1959 yang memberlakukan kembali Undang-Undang
Dasar 1945 sebagai Undang-Undang Dasar negara Republik
Indonesia, dikemudian hari muncul banyak kontroversi
mengenai dekrit presiden itu hal ini menyangkut status
hukum berlakunya dekrit presiden. Namun terlepas dari
kontroversi itu yang jelas sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959
sampai sekarang ini UUD 1945 terus berlaku dan
diberlakukan sebagai hukum dasar.(Jimly Asshidqie 2006)
D. Nilai Konstitusi
Karl Laewenstein memberikan tiga tingkatan nilai pada konstitusi
yaitu:
a. Nilai yang bersifat Normatif.
Maksudnya ialah kalau peraturan hukum itu masih dipatuhi oleh
masyarakat, kalau tidak ia merupakan peraturan yang mati, tidak
pernah terwujud. Jadi normatif jika konstitusi itu resmi diterima oleh
suatu bangsa dan bagi mereka bukan saja berlaku dalam arti hukum
tetapi juga merupakan kenyataan dalam arti sepenuhnya.
b. Nilai yang bersifat Nominal.
Maksudnya ialah kalau kontitusi itu kenyataan tidak dilaksanakan
dan hanya disebutkan namanya saja. Dengan kata lain konstitusi
tersebut menurut hukum berlaku tetapi tidak dilaksanakan
sebagaimana mestinya yaitu tidak memiliki kenyataan yang
sempurna.
c. Nilai yang bersifat Semantik.
Nilai konstitusi yang besifat semantik ialah suatu konstitusi yang
dilaksanakan dan diperlukan dengan penuh, tetapi hanyalah

53
sekedar memberi bentuk dari tempat yang telah ada untuk
melaksanakan kekuasaan politik.

E. Klasifikasi konstitusi
Wheare membagi beberapa Konstitusi Berdasarkan pola tertentu,
yaitu:
1) Berdasarkan Bentuk Konstitusi Itu Sendiri
I. Konstitusi Tertulis (Written Constitution)
Konstitusi tertulis berarti konstitusi disajikan
dalam naskah resmi atau ditauangkan dalam satu
dokumen ataupun beberapa dokumen formal.
II. Konstitusi Tidak Tertulis (Unwritten Constitution)
Konstitusi tidak tertulis adalah konstitusi yang
tidak dituangkan dalam naskah resmi, seperti
Konstitusi yang berlaku di Inggris, Israel, dan New
Zaeland.
2) Berdasarkan Sifatnya Konstitusi
I. Konstitusi Lentur (Flexible)
konstitusi mudah diubah, mengikuti perkembangan
zaman, maka konstitusi bersifat fleksibel.
konstitusi yang fleksibel memiliki karakteristik khusus;
a. elastis
b. diundangkan dan diubah dengan cara yang
sama seperti undang-undang.
II. Konstitusi Kaku (Rigid)
konstitusisulit diubah, maka konstitusi bersifat kaku.
kontur konstitusi yang kaku; Memiliki status dan gelar
yang lebih tinggi dari peraturan perundang-undangan
lainnya, hanya dapat diubah dengan cara khusus
atau khusus atau dengan persyaratan yang paling
ketat.
3) Berdasarkan Nilai Kedudukan Hukum Konstitusi

54
I. Konstitusi Derajat Tinggi Dari Legislatif (Supremen
Constitution)
Hakikat konstitusi tingkat tinggi adalah
konstitusi yang memiliki status tertinggi dari suatu
negara, karena diketahui bahwa setiap negara selalu
memiliki tingkat hukum tertentu, baik dalam bentuk
maupun substansi.(A. Mustanir n.d.)Konstitusi yang
dimiliki. kategori sangat mumpuni, dilihat dari
ketentuan hukum jenis di atas dan juga syarat-syarat
pergerakannyadala artian lebih keras dari yang
lain.(Jamal, Mustanir, and Latif 2020).
II. Konstitusi Derajat Rendah Dari Legislatif (Unsupreme
Constitution)
Konstitusi yang tidak berpangkat tinggi adalah
konstitusi yang tidak berstatus dan setingkat dengan
konstitusi yang berpendidikan tinggi. Persyaratan
perubahan UUD ini sama dengan perubahan
peraturan perundang-undangan lainnya, seperti
undang-undang.
4) Berdasarkan Bentuk Negara
I. Konstitusi Serikat (Federal Constitution)
II. Konstitusi Kesatuan (Unitary Constitution)
Klasifikasi serikat pekerja dan entitas konstitusional ini
terkait erat dengan bentuk negara. Artinya jika bentuk
dekatnya adalah kesatuan, maka terciptalah sistem
pemisahan ekuasaan antara pemerintah AS dan
pemerintah negara bagian. Pembagian kekuasaan diatur
dalam konstitusi atau konstitusi. Pemerataan kekuasaan
yang demikian tidak ditemukan karena semua kekuasaan
terpusat pada pemerintah pusat, meskipun dikenal juga
dengan sistem desentralisasi. Ini juga diatur dalam
konstitusi yang bersatu.
5) Berdasarkan Sistem Pemerintahan Negaranya
I. Konstitusi Sistem Pemerintahan Presidensial
(Presidential Executive Constitution)

55
Konstitusi sistem presidential terdapat ciri-
ciri pokok sebagi berikut;
1. Selain kekuasaan nominal (sebagai
kepala negara), presiden juga merupakan
kepala pemerintahan, ia memiliki
kekuasaan yang besar.
2. Presiden tidak dipilih langsung oleh
legislatif, tetapi langsung oleh rakyat atau
pemilih,seperti di Amerika Serikat.
3. Presiden tidak termasuk mereka yang
menjalankan kekuasaan legislatif.
4. Presiden tidak dapat membubarkan
pemegang kekuasaan legislatif dan
memerintahkan pemilihan umum
II. Konstitusi Sistem Pemerintahan Parlementer
(Parlimentary Executive Constitution)
Sedangkan pada Konstitusi Sistem Pemerintahan
Parlementer memiliki karakteristik sebagai berikut;
1. Kabinet yang dipimpin oleh Perdana
Menteri dibentuk atas dasar atau
berdasarkan kekuasaan yang mengatur
Parlemen.
2. Anggota dewan dapat sepenuhnya atau
sebagian anggota parlemen, dan juga
sepenuhnya non-parlemen.
3. Perdana Menteri bertanggung jawab
kepada Parlemen.
4. Kepala negara dapat, atas nasihat atau
pertimbangan perdana menteri,
membubarkan parlemen dan
memerintahkan diadakannya pemilihan
Berdasarkan klasifikasi ketatanegaraan di atas, maka UUD 19 5
termasuk dalam klasifikasi konstitusi RIJID, konstitusi tertulis dalam
arti diatur dalam naskah, konstitusi lanjutan, konstitusi kesatuan dan
yang terakhir termasuk konstitusi yang mengikutinya. . sistem

56
pemerintahan campuran.1Karena dalam UUD 1945 Selain mengatur
karakteristik sistem pemerintahan presidensial, juga mengatur
beberapa fitur dari sistem pemerintahan parlementer. Dimana
keunikan negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan Hukum
Dasar 1945.
F. Materi muatan konstitusi
Sebagaimana di kemukakan Mr. J. G. Steenbeek bahwa pada
umummnya uud berisi 3 hal poko diantaranya yaitu
1. Pengaturan tentang perlindungan HAM
2. Pengaturan tentang susunan ketatanegaraan suatu negara
3. Pembatasan da pembagian tugas-tugas ketatanegaraan
Ketiga hal pokok diatas merupakan materi muata n yang harus
ada dalam undang undang. Akan tetapi setiap undang-undang
memiliki perbedaan tentang sesuatu yang harus diatur dalam
undang-undang dasar. Materi muatan undang-undang dasar
dalam sebuah negara terkait dengan faktor filosofis, sosial
budaya dan perkembangan politik dunia internasional.
Sementara jimly asshiddqie mengemukakan konsensus yang
menjamin tegaknya konstitualisme dizaman modern dipadahami
pada 3 elemen kesepakatan: (jimly asshidqie n.d.)
1. Kesepakatan tentag tujuan atau cita-cita bersama
2. Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan
pemerintahan atau penyelenggaraan negara.
3. Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-
prosedur ketatanegaraan.
G. Urgensi Konstitusi Suatu Negara
Urgensi konstitusi atau UUD dalam suatu negara, sesuai dengan
akar historisnya di dunia barat adalah untuk menentukan batas
wewenang penguasa, menjamin hak rakyat dan mengatur jalannya
pemerintahan, melalui konnstitusi atau undag-undang dasar negara

1
A. Mustanir, Akhmad, and Rohady n.d.)
57
dapat diketahui baik bentuk kedaulatan atau sistem pemerintahan.
Negara dan konstitusi adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan
dan oleh sebab itu tidak ada suatu negara pun didunia ini yang tidak
memiliki konstitusi.(Sri Soemantri n.d.)
Di indonesia telah diketahui bahwa maksud dari konstitusi
yaitu undang-undang dasar 1945 sebagai huukum formal dam
merupakan sumber huukum tertinggi di indonesia dan memiliki
konsep bahwa kedaulatan ditangan rakyat dalam penyelenggaran
kehidupan di negara indonesia. Akan tetapi dalamkenyataannya
sepanjang sejarah berlakunya UUD 1945 sering menimbulkan
pemerintahan yang tidak demokratis.
Konstitusi yang mengatur yang membagi kekuasaan itu
haruslah konstitusi yang akan dijadikan sumber hukum yang benar
dan adil, mengandung nilai kemanusiaan yang membawa
kesejahteraan bagi umum. Sistem konstitusi yang mencerminkan
sistem hukum dan sistem pemerintahan suatu negara berbeda satu
sama lain sesuai dengan proses perkembangan dan latar belakang
masing-masing bangsa negara tersebut. Oleh karena itu, berbagai
negara memiliki konsep pelaksanaan hukum yang berbeda, sesuai
dengan sistem konstitusi yang dianutnya.(Utang Rosidin 2016)
H. Prosedur Perubahan Konstitusi Suatu Negara
perubahan Konstitusi dapat dilakukan apabila dalam konstitusi itu
telah ditetapkan tentang syarat dan prosedur perubahan konstitusi.
Perubahan konstitusi yang ditetapkan dalam konstitusi disebut
dengan perubahan secara formal (formal amandement). perubahan
konstitusi dapat dilakukan melalui cara tidak formal, yaitu oleh
kekuatan-kekuatan yang bersifat primer (some primary force),
penafsiran oleh pengadilan (judical interpretation), dan oleh
kebiasaan dalam bidang ketatanegaraan (usages and conventions).
(Buku 1 Naskah Akademik Kajian Komprehensif Komisi Konstitusi
Tentang Undang-Undang Dasar 1945 2004)
Sebagaimana dikemukakan oleh k.w wheare, konstitusi dapat
diubah melalui empat kemungkinan. (K. C Wheare n.d.)

58
1. Beberapa kekuatan yang bersifat primer
2. Perubahan yang diatur dalam konstitusi
3. Penafsiran secara hukum
4. Kebiasaan-kebiasaan yang terdapat dalam bidang
ketatanegaraan
Dalam pasal 37 telah mengatur tentang perubahan uud maka
perubahannya harus dilakukan secara formal amendement dapat
dilakukan melalui empat kemungkinan. (Sri Soemantri n.d.)
a. Konstitusi atau undand undand dasar dapat diubah oleh
badan yang diberi wewenang untuk itu, baik melalui prosedur
khusus, maupun prosedur biasa.
b. Konstitusi dapat diubah melalui badah khusus, yaitu sebuah
badan yang kewenangannya hanya mengubah konstitusi.
c. Undang-undang dasar dapat diubah oleh sejumlah negara
bagian dengan prosedur khusus
d. Undang-undang dasar dapat diubah melalui suatu
referendum.
I. Konstitusi Negara Indonesia
Konstitusi yang berlaku di negara indonesia yaitu undang undang
dasar yang telah mengalami perubahan sebanyak empat kali.
Perubahan ini dilakukan dengan secara hati-hati. Pada awalnya
gagasan untuk melaksanakan perubahan/amandemen UUD 1945
tidak diterima oleh kekuatan politik yang ada, walaupun perdebatan
tentang perubahan UUD 1945 sudah mulai hangat pada tahun 1970
an. Pada saat reformasi, agenda yang utama adalah melaksanakan
perubahan UUD 1945, yaitu telah terselenggara pada Sidang Umum
MPR tahun 1999 dan berhasil menetapkan perubahan UUD 1945
yang pertama, kemudian disusul perubahan kedua, ketiga hingga
keempat. Dahulu setiap gagasan amandemen UUD 1945 selalu
dianggap salah dan dianggap bertendensi subversi atas negara dan
pemerintah, tetapi dengan adanya perubahan pertama ditahun 1999,
mitos tentang kesaktian dan kesakralan konstitusi itu menjadi runtuh.
(Mahfud MD 2003)

59
Nuansa demokrasi lebih terjamin pada masa UUD 1945 setelah
mengalami perubahan. Keberadaan lembaga negara sejajar, yaitu
lembaga ekskutif (pemerintah), lembaga legislatif (MPR, yang terdiri
dari DPR dan DPD), lembaga Yudikatif (MA, MK dan KY), dan
lembaga auditif (BPK). Kedudukan lembaga negara tersebut
mempunyai peranan yang lebih jelas dibandingkan masa
sebelumnya. Masa jabatan presiden dibatasi hanya dua periode
saja, yang dipilih secara langsung oleh rakyat.
Pelaksanaan otonomi daerah terurai lebih rinci lagi dalam
UUD 1945 setelah perubahan, sehingga pembangunan disegala
bidang dapat dilaksanakan secara merata di daerah-daerah.
Pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara demokratis,
kemudian diatur lebih lanjut dalam UU mengenai pemilihan kepala
daerah secara langsung, sehingga rakyat dapat menentukan secara
demokrtis akan pilihan pemimpin yang sesuai dengan kehendak
rakyat.
Jaminan terhadap hak asasi manusia dijamin lebih baik dan
diurai lebih rinci lagi dan UUD 1945, sehingga kehidupan demokrasi
lebih terjamin. Keberadaan partai politik tidak dibelenggu seperti
masa sebelumnya, ada kebebasan untuk mendirikan partai politik
dengan berasaskan sesuai dengan kehendaknya asalkan tidak
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, serta
dilaksanakannya pemilihan umum yang jujur dan adil.

60
BAB VI
HIERARKI PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN
A. Pengantar
Hans Kelsen dikenal dengan teorinya tentang Hierarki Norma
Hukum (Stufenbau Theory-Stufenbau des Recht). Menurutnya,
norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam
suatu hierarki (tata susunan), dalam arti, suatu norma yang lebih
rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih
tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar
pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai
pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan
bersifat hipotetis dan fiktif yaitu Norma Dasar (Grundnorm).(Indrati
2007)
Berdasarkan teori di atas, maka hierarki dapat diartikan sebagai
penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-Undangan yang
didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-Undangan yang
lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan
Perundang-Undangan yang lebih tinggi. Selanjutnya, Hans
Nawiasky, menyempurnakan Stufenbau Theory yang dikembangkan
oleh Hans Kelsen. Menurut Nawiasky, bahwa selain norma itu
berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu
negara itu juga berkelompok-kelompok, dan pengelompokkan
norma hukum dalam suatu negara tersusun dalam Tata Susunan
Norma Hukum Negara (die Stufenordnung der Rechtsnormen)
dalam empat tingkatan, yaitu:
1). Staats Fundamentalnorm/Grundnorm (norma fundamental
negara).
2). Staatsgrund Gezets (aturan dasar negara/pokok negara).
3). Formell Gezets (undang-undang).
4). Verordnung & Autonome Satzung (peraturan pelaksana dan
aturan otonomi).(Indrati 1998)

61
Bagi Indonesia, terhitung sejak lahirnya Negara Republik
Indonesia dengan Proklamasi kemerdekaannya, serta
ditetapkannya UUD 1945 sebagai konstitusi, maka terbentuklah pula
sistem norma hukum Negara Republik Indonesia. Apabila
dibandingkan dengan teori jenjang norma hukum (Stufenbau
Theorie) dari Hans Kelsen dan teori jenjang norma hukum (die
Theorie vom Stufentordnung der Rechtsnormen) dari Hans
Nawiasky, maka dapat dilihat adanya cerminan dari kedua sistem
norma tersebut dalam sistem norma hukum Negara Republik
Indonesia. Dalam sistem norma hukum Negara Republik Indonesia
maka norma-norma hukum yang berlaku berada dalam sistem yang
berlapis-lapis dan berjenjang-jenjangsekaligus berkelompok-
kelompok, dimana suatu norma itu selalu berlaku, bersumber dan
berdasar pada norma yang lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi
berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi,
demikian seterusnya sampai pada norma dasar negara
(Staatsfundamentalnorm) Republik Indonesia yaitu
Pancasila.(Indrati 1998)
Penerapan hierarki Peraturan Perundang-Undangan tidak
lepas dari pengaruh politik yang kemudian membentuk sistem
ketatanegaraan di Indonesia. Seperti disampaikan oleh Satjipto
Rahardjo, bahwa hukum bukanlah suatu lembaga yang sama sekali
otonom, melainkan berada pada kedudukan yang kait-mengkait
dengan sektor-sektor kehidupan lain dalam masyarakat. Salah satu
segi dari keadaan yang demikian itu adalah, bahwa hukum harus
senantiasa melakukan tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh
masyarakatnya. Dengan demikian, hukum mempunyai dinamika.
Politik merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya
dinamika yang demikian itu, karena ia diarahkan kepada iure
constituendi, hukum yang seharusnya berlaku.(satjipto rahardjo
2006)
John Austin, salah seorang pelopor positivisme hukum,
menyebutkan bahwa hukum adalah tidak lain dari produk politik atau
kekuasaan. Pada sisi lain, pandangan berbeda datang dari
kalangan aliran sejarah dalam ilmu hukum, yang melihat hukum
tidak dari dogmatika hukum dan undang-undang semata, akan
62
tetapi dari kenyataankenyataan sosial yang ada dalam masyarakat
dan berpandangan bahwa hukum itu tergantung pada penerimaan
umum dalam masyarakat dan setiap kelompok menciptakan hukum
yang hidup.(hamdan zoelva 2017)
Sejalan dengan pendapat John Austin di atas, Mahfud MD
mengatakan bahwa pernyataan “hukum sebagai produk politik”
adalah benar jika didasarkan pada das Sein dengan
mengkonsepkan hukum sebagai undang-undang. Dalam faktanya
jika hukum dikonsepkan sebagai undang-undang yang dibuat oleh
lembaga legislative maka tak seorangpun dapat membantah bahwa
hukum adalah produk politik sebab ia merupakan kristalisasi,
formalisasi atau legalisasi dari kehendak-kehendak politik yang
saling bersaingan baik melalui kompromi politik maupun melalui
dominasi oleh kekuatan politik yang terbesar. Dalam konsep dan
konteks inilah terletak kebenaran pernyataan bahwa “hukum
merupakan produk politik”(Mahfud MD 2012)
Bahan hukum primeir yang dimaksud terdiri dari:
1) Pancasila;
2) UUD 1945;
3) Ketetapan MPR;
4) Peraturan Perundang-Undangan;
5) Yurisprudensi;
6) Traktat.
Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang berhubungan
dengan bahan hukum primeir dan dapat membantu menganalisa
dan memahami bahan hukum primeir,
antara lain:
1) Rancangan peraturan-Peraturan Perundang-Undangan;
2) Hasil karya ilmiah para sarjana;

63
3) Hasil-hasil penelitian.
Bahan hukum tertier yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi
tentang bahan primer dan sekunder, misalnya:
1) Bibliografi;
2) Indek kumulatif.(Nawawi 1995)
B. Landasan Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan
Setiap kali penyusunan peraturan perundang undangan harus
memiliki pokok-pokok pikiran yang memuat unsur
filosofis ,yuridis,dan sosiologis sebagai latar belakang pembuatanya.
Aspek filosofisnya mengandung makna bahwa peraturan daerah
yang dibat haruslah berlandaskan pada kebenaran dan cita rasa
keadilan serta ditunjukan untuk kesejahteraan
masyarakat,kelestarian ekosistem,dan supremasi hukum.Adapun
aspek sosiologis berarti sesuai dengan kebutuhan social
masyarakat setempat. Sedangkan aspek yuridis ,dimaksudkan
bahwa peraturan daerah yang dibuat menjunjung tinggi supremasi
dan kepastian hukum serta tidak bertentangan dengan peraturan
perundang undangan.(Ridwan 2012)
Selain itu untuk menetapkan suatu peraturan perundamg
undangan yang berkualitas baik di tingkat nasional maupun
daerah, maka peraturan perundang undangan tersebut sekurang
kurang nya harus memenuhi tiga landasan,yakni landasan
filosofis,landasan sosiologis dan landasan yuridis.
Landasan filosofis yaitu bahwa setiap perundang undangan
harus merujuk pada falsafah hidup bangsanya, apapun falsafah
hidup bangsa tersebut, maka peraturan yang di tetapkannya harus
mengandung falsafah hidupnya, sehingga peraturan yang di
tetapkan tersebut akan berdasarkan pada moral.
Landasan Sosiologis, yaitu bahwa setiap ketentuan-ketentuan
yang dimuat dalam peraturan tersebut sesuai dengan keyakinan
umum atau kesadaran hukum masyarakat. Peraturan yang di
tetapkan tersebut harus sesuai dengan hukum yang hidup (living
law) dalam masyarakat.
64
Landasan yuridis adalah landasan hukum yang menjadi dasar
kewenangan pembuatan peraturan perundang undangan. Artinya
bahwa tidak setiap pejabat atau badan mempunyai wewenang untuk
menetapkan suatu peraturan, sehingga terdapat aturan hukum yang
mengatur bahwa pejabat atau badan tersebut berwenang
menetapkan peraturan.(Ranggawidjaja 1998)
M,Solly lubis menambahkan,selain ketiga landasan yang di
sebutkan di atas,landasan pembuatan peraturan perundang
undangan juga dipengaruhi oleh landasan politis ,yaitu garis
kebijakan politik yang menjadi dasar selanjutnya bagi kebijakan
kebijakan dan pengarahan ketatalaksanaan pemerintahan
negara.(M 1989)
C. Tujuan Pembentukan peraturan perundang undangan
Peraturan pembentukan perundang undangan harus
mempunyai tujuan yang jelas yang hendak di capai .setiap
peraturan perundang undangan selain harus di buat oleh lembaga /
pejabat pembentuk peraturan perundaang undangan harus
memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan
perundanganya. Di samping itu, juga harus memperhitungkan
efektivitas peraturan perundang undangan harus memperhatikan
materi muatan yang tepat dengan jenisperaturan perundang
undanganya. Disamping itu, juga harus memperhitungkan efektivitas
peraturan perundang undangan tersebut di dalam masyarakat ,baik
secara filosofis, uridis maupun sosiologis.
Peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-
benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan
masyarakat,berbangsa dan bernegara. Setipa peraturan perundang
undangan harus memenuhi persyaratan teknis penusunan
peraturan perundang undangan ,sistematika dan pilihan kata atau
terminologi ,serta Bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti
sehingga tidak menimbulkan lagi berbagai macam interpretasi
dalam pelaksanaanya . Dalam proses pembentukanya,mulai dari
perencanaan ,persiapan,penyusunan dan pembahasan bersifat
transparan dan terbuka .Dengan demikian untuk seluruh lapisan
masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas luasnya untuk
65
memberikan masukan dalam proses pembentukan peraturan
perundang undangan. (Matulhuda 2012)
Secara etimologi, istilah perundang-undangan merupakan
terjemahan dari Tegislation", "wetgeving", "gesetzgebung",
mengandung dua arti. Pertama, perundang-undangan sebagai
sebuah proses pembentukan atau proses membentuk peraturan-
peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun daerah. Kedua,
perundang-undangan sebagai segala peraturan negara, yang
merupakan hasil proses pembentukan peraturan-peraturan, baik di
tingkat pusat maupun di tingkat daerah.(Syamsudin 2011)
Menurut Hamid Attamimi, peraturan perundang-undangan
adalah peraturan yang berkaitan dengan undang-undang baik
peraturan itu berupa undang-undang sendiri, maupun peraturan
yang lebih rendah berdasarkan atribusian atau delegasian undang-
undang. Sementara itu menurut Bagir Manan, menemukan
pengertian perundang-undangan dapat dilakukan dengan
menemukan ciri-ciri umum yang melekat pada peraturan perundang-
undangan. Lebih lanjut Bagir Manan menjelaskan bahwa ciri-ciri
yang melekat pada perundang-undangan adalah:
1) Berupa keputusan tertulis dari pejabat atau lingkungan
jabatan yang berwenang
2) Berisi aturan tingkah laku yang bersifat mengikat umum baik
mengenai hak, kewajiban, fungsi status atau suatu tatanan;
3) Kaidah peraturan perundang-undangan adalah abstrak
umum atau umum abstrak. (Fachrudih 2004)
Pemahaman terhadap teori perundang-undangan pada
dasarnya meliputi empat substansi utama, yaitu: pengertian
perundang-undangan, fungsi perundang-undangan, materi
perundang-undangan, dan politik perundang- undangan. Bagir
Manan yang mengutip pendapat PJ.P Tak tentang wet in materiele
zin, melukiskan pengertian perundang-undangan dalam arti material
yang esensinya antara lain sebagai berikut

66
Peraturan perundang-undangan berbentuk keputusan tertulis.
Karena merupakan keputusan tertulis, maka peraturan perundang-
undangan sebagai kaidah hukum lazim disebut hukum tertulis
(geschrevenrecht, written Law), peraturan perundang-undangan
dibentuk oleh pejabat atau lingkungan jabatan (badan, organ) yang
mempunyai wewenang membuat peraturan yang berlaku atau
mengikat umum (algemeen), dan peraturan perundang-undangan
bersifat mengikat umum, tidak dimaksudkan harus selalu mengikat
semua orang. Mengikat umum hanya menunjukkan bahwa
peraturan perundang-undangan tidak berlaku terhadap peristiwa
konkret atau individu tertentu.(Bagirmanan 1994)
Selain itu, konsep perundang-undangan juga dikemukakan oleh
A. Hamid S. Attamimi, yang mengikuti pendapat I.C. Van der Vlies
tentang wet yang formal (het formele wetsbegrib) dan wet yang
material (het materiele wetsbegrib). Pendapat ini didasarkan pada
apa tugas pokok dari pembentuk wet (de wetgever) Berdasarkan
pemikiran tersebut, maka yang disebut dengan wet yang formal
adalah wet yang dibentuk berdasarkan ketentuan atribusi dari
konstitusi. Sementara itu, wet yang materiil adalah suatu peraturan
yang mengandung isi atau materi tertentu yang pembentukannya
tunduk pada prosedur yang tertentu pula. (Attamimi 1990)
D. Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan
Setelah Indonesia merdeka, yaitu pada masa berlakunya UUD
1945 dari tahun 1945 hingga tahun 1949, tidak terdapat ketentuan
hukum positif yang mengatur tentang hierarki atau tata urutan
Peraturan Perundang-Undangan. Peraturan yang digunakan dalam
praktek penyelengaraan pemerintahan tidak disusun berdasarkan
hierarki, tetapi semata-mata hanya berdasarkan fakta dari jenis
produk hukum yang berlaku pada saat itu. Dalam praktek
penyelenggaraan pemerintahan terdapat produk hukum yang
diberlakukan, yakni:
1). Penetapan Presiden;
2). Peraturan Presiden;

67
3). Penetapan Pemerintah
4). Maklumat Pemerintah;
5). Maklumat Presiden;
6). Pengumuman Pemerintah.(1 Maria Farida Idrati 1969)
Berlakunya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) pada
tahun 1949 hingga tahun 1950, pengaturan mengenai hierarki
hierPeraturan PerundangUndangan, baru diatur secara implisit
didalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 (UU No. 1/1950)
tentang Peraturan Tentang Jenis dan Bentuk Peraturan yang
Dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. 12 Pasal 1 UU No. 1/1950
disebutkan: “Jenis peraturan-peraturan Pemerintah Pusat ialah:
a. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang
b. Peraturan Pemerintah;
c. Peraturan Menteri”.
Mengenai hierarki Peraturan Perundang-Undangan, Pasal 2 UU
No. 1/1950 yang menyebutkan: “Tingkat kekuatan Peraturan-
peraturan Pemerintah Pusat ialah menurut urutannya pada Pasal 1”.
Sehingga, pada masa Konstitusi RIS, jenis dan bentuk Peraturan
Perundang-Undangan yang berlaku sesuai hierarkinya adalah:
1). Konstitusi RIS;
2). Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
3). Peraturan Pemerintah;
4). Peraturan Menteri.
Pada masa berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara
(UUDS) tahun 1950, tidak ada Peraturan Perundang-Undangan
yang diterbitkan secara khusus mengatur tentang hierarki Peraturan

68
Perundang-Undangan. Jenis Peraturan PerundangUndangan yang
ada pada masa itu adalah:
1). UUDS 1950;
2). Undang-undang yang dibentuk oleh Pemerintah bersama
dengan DPR;
3). Undang-Undang Darurat;
4). Peraturan Pemerintah.
Selain itu, dalam praktek penyelenggaraan Pemerintahan
Negara masih terdapat beberapa produk hukum yang berlaku yakni:
1). Peraturan Menteri;
2). Keputusan Menteri; dan
3). Peraturan Tingkat Daerah.

Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (4) ini jelas bahwa


peraturan yang ditetapkan oleh lembaga atau pejabat yang
dijelaskan tersebut merupakan jenis Peraturan Perundang-
Undangan, yang belum jelas adalah dimana letaknya dalam hierarki
Peraturan Perundang-Undangan.
Permasalahan lain dalam hierarki Peraturan Perundang-
Undangan yang diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004, adalah tidak
dimasukkannya Ketetapan MPR didalam tata urutan perundang-
undangan. Karena berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2003
tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002,
yakni dalam Pasal 2 dan Pasal 4, masih terdapat 14 Ketetapan
MPR yang dinyatakan masih berlaku. Oleh karenanya, tidak
dicantumkan Ketetapan MPR dalam hierarki Peraturan Perundang-
Undangan adalah suatu hal yang tidak tepat karena masih ada
ketetapan MPR yang menjadi sumber hukum di Indonesia. Dilihat
dari sifat norma hukum didalamnya, seharusnya Ketetapan MPR
diletakkan dibawah Undang-Undang Dasar karena sifatnya
termasuk kedalam kelompok Aturan Dasar Negara/Aturan Pokok
69
Negara (Staatsgrundgesetz) dan lebih tinggi dari undang-
undang.(Indrati 2007a).
Jenis Peraturan Perundang-Undangan lain yang belum disebut
dalam Pasal 7 ayat (1), diatur dalam Pasal 8 ayat (1), yaitu: “Jenis
Peraturan Perundang- Undangan selain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank
Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat
yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas
perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang Setingkat.
Peraturan Perundang-Undangan tersebut diakui keberadaannya
dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan
oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi atau
dibentuk berdasarkan kewenangan. Akan tetapi, seperti terjadi pada
UU No. 10/2004, Peraturan Perundang-Udangan diluar ketentuan
Pasal 7 ayat (1) UU No. 11/2012 meski diakui keberadaannya dan
kekuata hukumnya, tetapi belum jelas letak masing-masing
Peraturan Perundang-Undangan tersebut secara hierarki.(Indrati
1998)
Ketetapan MPR yang masih berlaku hingga saat ini20
diantaranya adalah:
1. TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai
Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di
Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis
Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan
atau Mengembangkan Faham atau Ajaran
Komunis/Marxisme Leninisme.
2. TAP MPRS Nomor XXIX/MPRS/1966 tentang Pengangkatan
Pahlawan Ampera.
3. TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih dan Bebas Korupsi Kolusi, dan Nepotisme.
70
4. TAP Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi
Daerah; Pengaturan Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya
Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
5. TAP MPR Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam
Rangka Demokrasi Ekonomi.
6. TAP MPR Nomor V/MPR/1999 tentang Penentuan Pendapat di
Timor Timur.
7. TAP MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-undangan.
8. TAP MPR Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan
dan Kesatuan Nasional.
9. TAP MPR Nomor VI/MPRI2000 tentang Pemisahan Tentara
Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
10. TAP MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional
Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia.
11. TAP MPR Nomor VI/MPR/200I tentang Etika Kehidupan
Berbangsa.
12. TAP MPR Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa
Depan.
13. TAP MPR Nomor VIII/MPR/200I tentang Rekomendasi Arah
Kebijakan
Pemberantasan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
14. TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam.

UU No. 10 Tahun 2004 ini kemudian digantikan dengan UU No.


12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan. Pada UU No. 12 Tahun 211, Ketetapan MPR sudah
dimasukkan kembali kedalam Hierarki Peraturan Perundang-
Undangan, yang posisinya berada di bawah UUD 1945. Menurut UU
No. 12 Tahun 2011, yakni pada Pasal 7 ayat (1), disebutkan hierarki
Peraturan
Perundang-Undangan adalah:
1). Undang-Undang Dasar tahun 1945;
71
2). Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3). Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;
4). Peraturan Pemerintah;
5). Peraturan Presiden;
6). Peraturan Daerah Provinsi; dan
7). Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Peraturan Perundang-Undangan tersebut diakui keberadaannya
dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan
oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi atau
dibentuk berdasarkan kewenangan. Akan tetapi, seperti terjadi pada
UU No. 10/2004, Peraturan Perundang-Udangan diluar ketentuan
Pasal 7 ayat (1) UU No. 11/2012 meski diakui keberadaannya dan
kekuatan hukumnya, tetapi belum jelas letak masing-masing
Peraturan Perundang-Undangan tersebut secara hierarki.(Indrati
2007b)
Mengenai materi muatan peraturan perundang undangan , UU
12/2012 mengaturnya dalam beberapa ketentuan yaitu Pasal 10
menyebutkan materi muatan yang harus diatur dengan UU berisi:
a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan undang
undang
c . pengesahan perjanjian internasional tertentu;
d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau;
e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Pasal 12 yang
menyebutkan
Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk
menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya Pasal 13
72
yang menyebutkan materi muatan Peraturan Presiden berisi materi
yang diperintahkan oleh UU, materi untuk melaksanakan Peraturan
Pemerintah, ataumateri untuk melaksanakan penyelenggaraan
kekuasaan pemerintahan. Pasal 14 yangmenyebutkan Materi
muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka
penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta
menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut
peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi. Terhadap pe
Terhadap pengaturan materi muatan dalam UU 12/2011 Terdapat
permasalahan sebagai berikut pertama, meskipun hanya memuat
lima butir materi muatan UU namun pengaturan dalam Pasal 10
ayat (1) ini menjadi sangat luas dan tidak terbatas dengan adanya
butir di huruf e yaitu pemenuhan kebutuhan hukum dalam
masyarakat. Ketentuan pemenuhan kebutuhan hukum dalam
masyarakat ini terlalu luas mengingat bisa selalu dipakai tanpa
ukuran yang jelas. Kriteria pemenuhan kebutuhan hukum dalam
masyarakat ini juga kerap menjadi pilihan bagi pembentuk UU untuk
mengakomodir kepentingannya dalam pembentukan UU,karena
kriteria ini seakan mudah untuk dibuktikan, tanpa harus merujuk
kepada peraturan perundang-undangan manapun.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa: penerapan hierarki Peraturan Perundang-Undangan telah
diterapkan didalam sistem hukum yang mengikuti sistem
ketatanegaraan di Indonesia, yakni sejak masa pemerintahan Hindia
Belanda, Indonesia merdeka, hingga masa reformasi, melalui
diterbitkannya beragam Peraturan Perundang-Undangan yang
menerapkan sistem hierarki. UUD 1945 (amandemen) secara
eksplisit menyebutkan adanya hierarki Peraturan Perundang-
Undangan melalui adanya lembaga yang menguji hierarki Peraturan
Perundang-Undangan yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah
Agung serta adanya Undang-Undang yang mengatur mengenai
hierarki Peraturan Perundang-Undangan, seperti UU No. 10 Tahun
2004 yang kemudian diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

73
BAB VII
LEMBAGA-LEMBAGA NEGARA DALAM SISTEM
KETATANEGARAAN INDONESIA
Arti penting dari suatu konstitusi (undang-undang dasar) adalah
untuk mempertahankan keberadaan suatu negara. Konstitusi
menggambarkan keseluruhan sistem ketata-negaraan suatu
negara, yaitu berupa kumpulan peraturan untuk membentuk,
mengatur, alau memerintah negara. Keberadaan UUD 1945
telah mengalami beberapa peru-bahan. Perubahan konstitusi
tersebut menginginkan adanya perubahan sistem dan kondisi
negara yang otoritarian menuju ke arah sistem yang demokratis
dengan relasi lembaga negara yang seimbang.
Lembaga negara merupakan subsistem dari keseluruhan sistem
penyelenggaraan kekuasaan negara. Sistem penye-lenggaraan
kekuasaan negara menyangkut mekanisme dan tata kerja
antarorgan negara sebagai salu kesatuan yang utuh dalam
menjalankan kekuasaan negara. Sistem penelenggaraan
kekuasaan negara menggambarkan secara utuh mekanisme
kerja lembaga-lembaga negara yang diberi kekuasaan untuk
mencapai tujuan negara.
Hans Kelsen menyebutkan bahwa keberadaan lembaga negara
atau organ negara menjalankan salah satu dari dua fungsi,
yakni fungsi menciptakan hukum (law-creating function) atau
fungsi yang menerapkan hukum (law-applying function). Dalam
teori Trias Politica Baron de Montesquieu (1689-1785)
mengidealkan tiga fungsi kelembagaan negara masing-masing
dalam tiga organ negara, yaitu Legislatif, Eksekutif, Yudikatit.
Setelah perubahan UUD paham yang dianut oleh Indonesia
bukan lagi pemisahan kekuasaan melainkan pembagian
kekuasaan (distribution of power dengan memperhatikan sistem
check and balances.
UUD 1945 sebelum adanya perubahan mengenal enam
lembaga tinggi tertinggi negara, vaitu MPR sebagai lembaga
tertinggi negara; DPR, Presiden, MA, BPK, dan DPA sebagai
lembaga tinggi negara. Namun terjadinva reformasi sejak tahun
74
1998 terjadi perubahan (amandemen) Konstitusi Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebanyak
empat kali. Konsekuensinya perubahan tersebut berimplikasi
terhadap perubahan ketatanegaraan sekaligus susunan
kelembagaan negara Indonesia.
Menggunakan analisis dari Kelsen menurut Jimly Asshiddiqie
menyimpulkan bahwa pascaperubahan UUD 1945 terdapat 34
lembaga negara. Dari 34 lembaga negara tersebut, ada 28
lembaga yang kewenangannya ditentukan baik secara umum
maupun secara rinci dalam UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Ke-28 lembaga negara inilah yang dapat disebut
sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan
konstitusional atau yang kewenangannya diberikan secara
eksplisit oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ke-34 lembaga negara tersebut dapat dibedakan menjadi dua
segi, segi hierarki dan segi fungsinya. Kriteria segi hierarkinya
dapat di tentukan dengan 2 kriteria yaitu: (1) kriteria bentuk
sumber normatif yang menentukan kewenangannya, (2) kualitas
fungsinya yang bersifat utama atau penunjang dalam system
kekuasaan negara. Kriteria dari segi fungsinya ada yang bersifat
utama (primer) dan penunjang (auxiliary). Dalam segi
hierarkinya ke-34 lembaga negara tersebut dibagi dalam tiga
lapis. Organ lapis pertama biasa dikenal dengan lembaga tinggi
negara, organ lapis kedua dikenal dengan lembaga negara saja,
dan organ lapis ketiga dikenal dengan lembaga daerah. Antara
lembaga-lembaga tersebut ada yang dikategorikan sebagai
lembaga primer dan lembaga penunjang.
A. Pengertian Lembaga Negara
Menurut Andi Hamzah lembaga negara diartikan sebagai badan
alau organisasi kenegaraan. Pengertian Lembaga Negara secara
terminologi istilah lembaga negara tidak seragam. Dalam bahasa
Inggris lembaga negara disebut political institution, dalam Bahasa
Belanda disebut staatsorgaan. Sedangkan dalam bahasa Indonesia
ada beberapa istilah yaitu lembaga negara, badan negara, atau
organ negara".(Huda, 2020) Selain itu dalam bahasa Indonesia
75
berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) kata "lembaga"
diartikan sebagai: (1) asal mula atau bakal (yang akan menjadi
sesuatu): (2) bentuk asli (rupa, wujud): (3) acuan, ikatan; (4) badan
atau organisasi yang bertujuan melakukan penyelidikan keilmuan
atau melakukan suatu usaha. Menurut Andi Hamzah lembaga
negara diartikan sebagai badan alau organisasi
kenegaraan.(Hamzah, 1986)
Kemudian menurut Bagir Manan, Dalam pengertian
ketatanegaraan Lembaga negara atau alat-alat perlengkapan
negara hanya terbatas pada organ negara yang menjadi unsur
organisasi negara yang bertindak untuk dan atas nama negara,
yang menentukan atau membentuk kehendak-kemauan negara
(staatswil) serta yang ditugaskan oleh hukum dasar untuk
melaksanakannya, sehingga disebut sebagai penyelenggara negara.
Sedangkan dari hubungan antar lembaga tersebut melahirkan
hubungan ketatanegaraan (staatsrechtelijk), tetapi dilain pihak dapat
pula lebih bersifat administrative (administratief rechtelijk).
Menurut Bagir Manan, organ negara - elemen organisasi
negara yang bertindak untuk dan atas nama negara, menentukan
atau membentuk kehendak negara (staatswil) dan ditugaskan oleh
undang-undang dasar untuk melaksanakannya - adalah satu-
satunya lembaga negara atau alat perlengkapan negara dalam
pengertian konstitusional. Lembaga-lembaga ini dikenal sebagai
penyelenggara negara. Hubungan ketatanegaraan, atau
staatsrechtelijk, tercipta dari hubungan antara lembaga-lembaga
tersebut; namun, hubungan administrasi, atau administrativatief
rechtelijk, juga dapat muncul. Bagir melanjutkan, "Tugas dan
wewenang yang terdapat dalam aturan substantif lembaga yang
bersangkutan menentukan apakah suatu lembaga bertindak untuk
dan atas nama negara atau tidak."
Demikian pula, meskipun organ tersebut benar-benar
menjalankan fungsi negara, hubungan kelembagaan lebih bersifat
derivatif jika tanggung jawab dan kewenangan organ tersebut
merupakan pelimpahan dari pemegang kekuasaan asli (original
power). Dalam perspektif yang berbeda, lembaga tersebut tidak
76
dapat diklasifikasikan sebagai lembaga negara karena hanya
menjalankan sebagian wewenang dan tanggung jawab dari alat
perlengkapan negara yang asli.(Yusmiati, 2018)
Untuk mengetahui apakah suatu lembaga bertindak untuk
dan atas nama negara atau sebaliknya, lanjut Bagir,
ditentukan oleh tugas dan wewenang yang terdapat dalam aturan
substantive lembaga dimaksud. Demikian pula, meskipun secara
faktual melaksanakan fungsi kenegaraan, tetapi secara
prinsip apabila tugas dan wewenang organ tersebut merupakan
pelimpahan dari pemegang kewenangan asli (original power), maka
hubungan kelembagaan lebih bersifat derivatif. Dengan
pendekatan lain, lembaga tersebut sekedar menjalankan tugas
dan wewenang tertentu dari alat perlengkapan negara
yang asli, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai lembaga
negara.(Yusmiati, 2018) Lembaga negara adalah entitas-entitas
atau institusi-institusi yang merupakan komponen penting dalam
struktur pemerintahan suatu negara.
Organisasi-organisasi ini memainkan peran khusus dalam
melaksanakan kebijakan nasional, menegakkan persyaratan hukum,
dan melaksanakan berbagai aspek tata kelola negara. Lembaga
negara dapat Untuk memahami pengertian lembaga atau organ
negara secara lebih dalam, kita dapat mendekatinya dari
pandangan Hans Kelsen mengenai the concept of the State-Organ
dalam bukunya General Theory of Law and State-Hans Kelsen
menguraikan bahwa "Whoever fulfills a function determined by the
legal order is an organ". Siapa saja yang menjalankan suatu fungsi
yang ditentukan oleh suatu tata-hukum (legal order) adalah suatu
organ.
Lembaga negara yang diatur dan dibentuk oleh UUD
merupakan organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan
Undang-undang merupakan organ UU, sementara yang hanya
dibentuk karena keputusan presiden tentunya lebih rendah lagi
tingkatan dan derajat perlakuan hukum terhadap pejabat yang
duduk di dalamnya. Demikian pula jika lembaga dimaksud dibentuk

77
dan diberi kekuasaan berdasarkan Peraturan Daerah, tentu lebih
rendah lagi tingkatannya.(Rosidin, 2016)
Tidak dapat disangkal bahwa lembaga-lembaga negara
mengalami perubahan sebagai akibat dari amandemen signifikan
yang dilakukan terhadap UUD 1945. Hal ini merupakan hasil dari
modifikasi undang-undang yang mengatur lembaga-lembaga negara
serta pergeseran paradigma hukum dan konstitusional. Di antara
konsep-konsep fundamental yang menentukan bagaimana
lembaga-lembaga negara berhubungan satu sama lain adalah
Supremasi Konstitusi, Sistem Presidensial, Pemisahan Kekuasaan,
dan Checks and Balances (Rosidin, 2016).
B. Lembaga-Lembaga Negara Pasca Amandemen UUD 1945
Negara yang telah mengubah konstitusinya disebut sebagai
negara yang memiliki lembaga-lembaga negara pasca amandemen.
Susunan, misi, dan operasi lembaga-lembaga negara dapat
berubah sebagai akibat dari amandemen konstitusi. Sebagai
gambaran, Indonesia telah mengalami beberapa kali amandemen
konstitusi yang berdampak pada lembaga-lembaga negara dalam
kerangka tata kelola pemerintahannya.
Lembaga-lembaga Negara Menurut Undang-Undang Dasar
1945 setelah diamandemen adalah “ MPR, Presiden, DPR, DPD,
BPK, MA, dan MK. Lembaga-lembaga Negara ini dapat disebut juga
Lembaga tinggi negara, dengan demikian tidak ada lagi lembaga
tertinggi negara seperti yang tercantum di dalam Undang-Undang
Dasar 1945 sebelum diamandemen.(Rannie, 2017) Lembaga-
lembaga Negara dalam melaksanakan tugas dan wewenang
mempunyai hubungan antara satu dengan lainnya. Berikut
penjelasannya mengenai satu persatu Lembaga negara:
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Dalam politik Indonesia, MPR memegang posisi tertinggi dan
lebih tinggi dari Presiden, DPR, dan DPD. MPR memiliki
wewenang konstitusional atas sejumlah bidang pemerintahan
yang signifikan. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) adalah dua kamar yang membentuk
78
MPR. Sementara anggota DPD mewakili provinsi-provinsi di
Indonesia, anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum. Setiap
lima tahun, MPR memilih Presiden baru setelah pemilihan umum.
Setelah mendapat persetujuan MPR, Presiden dan Wakil
Presiden terpilih dari pemilihan umum dapat mulai menjabat.
Tanggung jawab MPR adalah lembaga tertinggi dalam sistem
politik Indonesia, yang berada di atas lembaga-lembaga lain
seperti Presiden, DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), dan DPD
(Dewan Perwakilan Daerah). MPR memiliki wewenang
konstitusional dalam beberapa aspek penting pemerintahan.
MPR terdiri dari dua kamar, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).(dewi, 2021)
Anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum, sementara
anggota DPD mewakili provinsi-provinsi di Indonesia. Pemilihan
Presiden oleh MPR terjadi setiap lima tahun sekali setelah
pemilihan umum. Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih
dalam pemilihan umum dapat mengambil jabatan setelah
disetujui oleh MPR dan wewenang MPR meliputi:
a. Mengubah dan menetapkan UUD 1945
b. Memilih Presiden dan Wakil Presiden baru
c. Memberhentikan Wakil Presiden dan/atau Presiden dari
jabatannya

2. Presiden
MPR secara resmi melantik Presiden, yang merupakan kepala
negara dan pemerintahan yang dipilih berdasarkan suara
terbanyak dalam pemilihan umum. Presiden Republik Indonesia
memegang kekuasaan pemerintahan sesuai dengan Pasal 4
ayat 1 Undang-Undang Dasar. Wakil Presiden membantu
Presiden dalam menjalankan tugasnya.(Yusmiati, 2018)
Tugas dan wewenang presiden adalah:
a. Memegang kekuasaan pemerintahan.
b. Mengajukan rancangan undang-undang.
c. Menetapkan peraturan Pemerintah.
d. Memegang kekuasaan tertinggi atas semua kekuatan.
79
e. Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan
perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara
lain.
f. Menyatakan negara dalam keadaan bahaya.
g. Mengangkat duta dan konsul.
h. Memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan
pertimbangan Mahkamah Agung.
i. Memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
j. Memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan.
k. Membentuk Dewan Pertimbangan.
l. Mengangkat menteri-menteri negara.
m. Mengangkat Komisi Yudisial
3. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Anggota DPR, sebuah lembaga negara, dipilih oleh masyarakat
umum dalam pemilihan umum yang terbuka, transparan, dan
langsung. Pada saat yang sama, anggota DPR juga merupakan
anggota MPR. Setidaknya sekali dalam setahun, DPR bersidang
(Pasal 19, ayat 3) (Hamid, 2022). Hal ini menunjukkan bahwa,
jika dianggap perlu, DPR dapat bersidang lebih dari satu kali
dalam setahun. Berikut adalah beberapa wewenang DPR:
a. Memiliki kewenangan untuk membentuk undang-undang
adalah salah satu tanggung jawab DPR.
b. Memiliki tugas pengawasan, anggaran, dan legislasi.
c. Mengusulkan pemberhentian presiden dan/atau wakil
presiden dari jabatannya.
d. Menerima usulan Presiden untuk menyatakan perang
atau damai dengan negara lain.
4. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
DPD adalah lembaga negara yang terdiri dari Perwakilan
Daerah yang dipilih secara langsung oleh para pemilih dalam
Pemilihan Umum. Anggota MPR juga merupakan anggota DPD.
Selain dari apa yang dapat diamati dari pencalonan anggotanya,
DPD dan DPR berbeda karena DPR dicalonkan oleh Partai
Politik, sedangkan DPD dicalonkan secara independen dan
80
sama-sama dipilih oleh pemilih melalui Pemilihan Umum.
Perbedaan tersebut juga terlihat pada tanggung jawab dan
kekuasaan DPD. (Yusmiati, 2018).
Tanggung jawab dan kekuasaan DPD adalah:
a. Mengajukan rancangan Undang-Undang dan melakukan
diskusi mengenai ketentuan-ketentuannya mengenai
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, penolakan
penggabungan dan pemekaran daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan ekonomi, serta perimbangan
keuangan antara daerah dan pusat.
b. Mengawasi pelaksanaan undang-undang tentang
otonomi daerah, pembentukan, pertumbuhan, dan
pemekaran daerah, hubungan pusat dan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan keuangan,
pelaksanaan APBN, serta bidang pendidikan dan agama.
c. Menyampaikan hasil pengawasan kepada DPR agar
DPR dapat memutuskan langkah selanjutnya.
5. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Menurut Pasal 23E ayat 1 dan 2, BPK adalah lembaga negara
yang bertugas memeriksa tanggung jawab dan pengelolaan
keuangan negara. Hasil pemeriksaannya dilaporkan kepada
DPD, DPRD, dan DPR sesuai dengan yurisdiksinya. Meskipun
lembaga ini tidak berada di atas pemerintah, lembaga ini tidak
kebal terhadap pengaruh atau otoritas Pemerintah. (Yusmiati,
2018).
Oleh karena itu, tanggung jawab dan wewenang BPK adalah
sebagai berikut:
a. Memeriksa keuangan negara secara bebas dan tidak
memihak.
b. Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
menerima hasil pemeriksaan.
6. Mahkamah Agung (MA)
Mahkamah Agung memiliki kekuasaan kehakiman yang
independen, tidak dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah.
Menurut Pasal 24 ayat 1, cabang kekuasaan kehakiman
81
memiliki kewenangan independen untuk memberikan keadilan
dan melestarikan supremasi hukum. Mahkamah Agung
berwenang untuk mengadili perkara pada tingkat kasasi dan
menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang. Jika Mahkamah Agung menguji peraturan di bawah
undang-undang, itu berarti, dimulai dengan Peraturan
Pemerintah (PP), setiap ketidakkonsistenan dalam penyusunan
atau isi undang-undang harus dicabut; jika tidak, undang-undang
tersebut tidak dapat diberlakukan. Oleh karena itu, untuk dapat
dipertimbangkan sebagai hakim agung, seseorang harus
memiliki integritas yang kuat, berpandangan positif, tidak
diragukan lagi keadilannya, profesional, dan memiliki
pengalaman di bidang hukum. Dengan demikian, tanggung
jawab dan wewenang Mahkamah Agung adalah sebagai berikut:
a. Mengadili pada tingkat kasasi
b. Menganalisis peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan Undang-Undang
7. Mahkamah Konstitusi
Sebagai lembaga negara, Mahkamah Konstitusi dipercaya untuk
memutuskan sengketa politik yang berkaitan dengan konstitusi
serta mengevaluasi konstitusionalitas undang-undang, peraturan,
dan tindakan pemerintah. Memastikan bahwa undang-undang
dan tindakan pemerintah sesuai dengan konstitusi negara
adalah tanggung jawab utama Mahkamah Konstitusi. Mahkamah
Konstitusi adalah lembaga vital yang menjunjung tinggi
supremasi konstitusi dan hak-hak dasar warga negara dalam
sistem pemerintahan yang demokratis dan negara hukum.
Tanggung jawab dan wewenang Mahkamah Konstitusi meliputi:
a. Menganalisis undang-undang berdasarkan Konstitusi.
b. Menyelesaikan perselisihan mengenai yurisdiksi
lembaga-lembaga negara
c. Membuat keputusan untuk membubarkan partai politik
d. Menyelesaikan perselisihan tentang hasil pemilihan
umum

82
Setelah terjadinya amandemen UUD 1945, dapat disimpulkan
bahwa terdapat lebih dari 34 buah organ, jabatan, atau lembaga.
Organ, jabatan, atau lembaga-lembaga dimaksud adalah:
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) diatur dalam Bab I;
2. Presiden Republik Indonesia dan
3. Wakil Presiden yang diatur dalam Bab III;
4. Dewan Pertimbangan Presiden diatur dalam Pasal 16 UUD 1945;
5. Kementerian Negara diatur dalam Bab V;
6. Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri
Pertahanan secara bersama sama sebagai triumpirat yang diatur
dalam Pasal 8 ayat (3) UUD 1945;
7. Menteri Dalam Negeri sebagai tirumpirat yang diatur dalam Pasal
& ayat (3) UUD 1945;
8. Menteri Pertahanan sebagai triumpirat dalam Pasal 8 ayat (3)
UUD 1943;
9. Duta yang diatur dalam Pasal 13 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945;
10. Konsul yang diatur dalam Pasal 13 ayat (1) UUD 1945;
11. Pemerintahan Daerah Provinsi diatur dalam Bab VI yang
mencakup:
12. Gubernur/Kepala Pemerintah daerah provinsi;
13. Dewan Perwakilan Rakyat Daeran Provinsi (DPRD provinsi);
14. Pemerintahan Daerah Kabupaten yang mencakup:
15. Bupati/Kepala Pemerintah daeran kabupaten, dan
16. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten (DPRD
Kabupaten):
17. Pemerintahan Daerah Kota;

83
18. Walikota/Kepala Pemerintan Daerah Kota; dan
19. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota (DPRD Kota);
20. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia vang diatur dalam
Bab VII UUD 1945;
21. Dewan Perwakilan Daerah diatur dalam Bab VIIA;
22. Komisi penyelenggara pemillihan umum yang oleh undang-
undang dinamakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam Bab VIIB
dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang;
23. Satu bank sentral yang ditentukan dalam Bab VIll dan akan
diatur lebih lanjut denpan undang undang,
24. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diatur dalam Bab VIIIA;
25. Mahkamah Agung (Bab XIV);
C. Prinsip-prinsip Hubungan antar Lembaga Negara
Perubahan UUD 1945 yang bersifat mendasar tentu mengakibatkan
peda perubahan kelembagaan negara. Hal ini tidak saja karena
adanya perubahan terhadap butir-butir ketentuan vang mengatur
tentang kelembagaan negara, tetapi juga karena perubahan
paradigma hukum dan ketatanegaraan. Beberapa prinsip-prinsip
mendasar yang menentukan hubungan antar lembaga negara
diantaranya adalah Supremasi Konstitusi, Sistem Presidentil, serta
Pemisahan Kekuasaan dan Check and Balances.
A. Supremasi Konstitusi
Prinsip supremasi konstitusi dalam hubungan antar lembaga
negara adalah konsep hukum yang mengakui bahwa
konstitusi suatu negara adalah hukum tertinggi yang
mengatur segala aspek kehidupan dalam negara tersebut.
Prinsip ini menunjukkan bahwa setiap tindakan atau
kebijakan pemerintah, termasuk tindakan lembaga-lembaga
negara, harus sesuai dengan dan tidak boleh bertentangan
dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konstitusi.
B. Sistem Presidentil
84
Prinsip sistem presidensial adalah sebuah bentuk sistem
pemerintahan di mana eksekutif (presiden) dipisahkan
secara tegas dari cabang legislatif (parlemen) dan memiliki
otoritas yang independen. Dalam sistem presidensial,
presiden adalah kepala negara dan pemerintahan yang
dipilih secara terpisah dan independen dari lembaga legislatif,
yang juga dipilih secara terpisah oleh rakyat.
C. Pemisahan Kekuasaan
Prinsip pemisahan kekuasaan adalah konsep fundamental
dalam sistem pemerintahan yang mengatur bahwa
kekuasaan pemerintah harus dibagi dan dipisahkan di antara
beberapa cabang pemerintahan yang berbeda untuk
mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan menjaga
keseimbangan dalam sistem politik. Prinsip ini pertama kali
dikemukakan oleh filsuf Prancis, Baron de Montesquieu,
dalam karyanya "The Spirit of the Laws" pada abad ke-18.
D. Prinsip "checks and balances" (pengecekan dan
keseimbangan) adalah sebuah konsep yang digunakan
dalam sistem pemerintahan untuk menjaga keseimbangan
kekuasaan antara cabang-cabang pemerintahan yang
berbeda (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) dan mencegah
salah satu cabang pemerintahan mendominasi atau
menyalahgunakan kekuasaannya. Prinsip ini adalah salah
satu aspek kunci dalam sistem pemerintahan demokratis dan
konstitusional.

Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan besar UUD 1945


membawa perubahan pada lembaga-lembaga negara. Hal ini
disebabkan oleh pergeseran paradigma hukum dan ketatanegaraan
serta perubahan undang-undang yang mengatur lembaga-lembaga
negara. Supremasi Konstitusi, Sistem Presidensial, Pemisahan
Kekuasaan, dan Checks and Balances adalah beberapa gagasan
mendasar yang menentukan bagaimana lembaga-lembaga negara
berhubungan satu sama lain, sebagai berikut:

1) Hubungan Presiden dengan Majelis Permusyawaratan


Rakyat (MPR)
85
Sebagai kepala lembaga tinggi negara, Presiden memiliki
hubungan yang erat dengan MPR. Hal ini terlihat dari
tanggung jawab dan wewenang MPR terhadap Presiden,
antara lain melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden (Pasal
3 ayat 2) dan menunjuk Wakil Presiden sebagai pengganti
Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan,
atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa
jabatannya. Dalam melaksanakan tugas dan wewenang,
lembaga-lembaga Negara mempunyai hubungan antara satu
dengan lainnya. Berikut akan dibahas hubungan antar
lembaga Negara.(Yusmiati, 2020)

2) Hubungan Antara Majelis Permusyarawatan Rakyat (MPR)


dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan
Rakyat memiliki hubungan yang erat. Dewan Perwakilan
Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah merupakan bagian
dari keanggotaan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dengan
kata lain, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat memberikan kontribusi kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Dewan Perwakilan Rakyat dalam
hal ini akan menggunakan komisi-komisinya serta hak-
haknya: hak angket, hak interpelasi, hak anggaran, dan hak
Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk mempertimbangkan
pengawasan politik dan strategi majelis.(Mulyani, 2016)
Melalui wewenang Dewan Perwakilan Rakyat, Majelis
Permusyarawatan Rakyat mengemudikan pembuat
undangundang serta wewenang Dewan Perwakilan Rakyat,
Majelis Permusyarawatan Rakyat juga dapat menilai
wewenang-wewenang lainnya. Majelis Permusyawaratan
Rakyat mengarahkan pembuatan undang-undang melalui
kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat, dan memiliki
kemampuan untuk mengevaluasi kewenangan lain melalui
kewenangan yang disebutkan di atas.

86
3) Hubungan Antara Majelis Permusyarawatan Rakyat (MPR)
dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Mengingat bahwa anggota Dewan Perwakilan Daerah juga
merupakan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat,
terdapat hubungan keanggotaan yang erat antara kedua
organisasi tersebut. Oleh karena itu, anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat juga merupakan anggota Dewan
Perwakilan Daerah. Majelis Permusyawaratan Rakyat dapat
mengarahkan pembuatan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pemekaran daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan
perimbangan keuangan pusat dan daerah agar tidak
menyimpang dari Undang-Undang Dasar melalui
kewenangan Dewan Perwakilan Daerah.(Mulyani, 2016)

4) Hubungan Antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan


Presiden
Kolaborasi dalam merencanakan tanggung jawab legislatif
menunjukkan hubungan antara Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat. Mengenai hubungan lainnya, tindakan
Presiden diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat, terlepas
dari apakah Presiden menyimpang dari Konstitusi.

5) Hubungan Antara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan


Dewan Dewan Prewakilan Rakyat (DPR)
Membantu Dewan Perwakilan Rakyat untuk memastikan
bahwa Pemerintah telah menaati ketentuan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara yang telah disetujui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat merupakan tanggung jawab
Badan Pemeriksa Keuangan. Hasil pemeriksaan keuangan
negara disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah sesuai dengan daerah pemilihannya, sesuai dengan
Pasal 23E ayat 2.(Mulyani, 2016) Sebagai badan
independen, Badan Pemeriksa Keuangan memeriksa
administrasi dan akuntabilitas keuangan negara. Badan
Pemeriksa Keuangan dapat dikategorikan sebagai salah
87
satu jenis instrumen yang digunakan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat untuk membantu pengawasan keuangan. Dewan
Perwakilan Rakyat memilih anggota Badan Pemeriksa
Keuangan dengan mempertimbangkan Dewan Perwakilan
Daerah. Dengan perwakilan yang ditempatkan di setiap
provinsi, Badan Pemeriksa Keuangan memiliki kantor pusat
di ibukota negara.

6) Hubungan Antara Dewan Prewakilan Rakyat (DPR) dan


Mahkamah Konstitusi (MK)
Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat, termasuk
merekomendasikan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat,
menunjukkan hubungan antara Dewan dan Mahkamah
Konstitusi. Dalam situasi ini, Dewan Perwakilan Rakyat
dapat meminta diadakannya sidang istimewa dan/atau
menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi
memenuhi syarat untuk menjabat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden karena telah melanggar hukum dengan
mengkhianati negara, terlibat dalam korupsi, penyuapan,
atau perbuatan tercela lainnya.Hubungan antara Dewan
Prewakilan Rakyat dan Mahkamah Konstitusi dapat dilihat
dari wewenang Dewan Prewakilan Rakyat, yaitu diantaranya
mengajukan usul pemberhentian Presiden dan /atau wakil
Presiden kemada Majelis Permusyarawatan Rakyat.(Mulyani,
2016).

88
BAB VIII
LEMBAGA NEGARA INDEPENDEN INDONESIA
Lembaga negara merupakan salah satu tonggak dan penopang
untuk bangunan yang biasa disebut dengan negara yang sangat
dibutuhkan agar tercapainya kemaslahatan dan tujuan dibentuknya
negara tersebut, keberadaan mengenai kelembagaan negara,
dalam kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI,1997), kata “lembaga”
antara lain diartikan:
1. Badan (organisasi) yang tujuannya melakukan suatu
penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha; dan
2. Pola prilaku manusia yang mapan yang terdiri atas interaksi
sosial yang berstruktur disatu kerangka nilai yang
relevan.(Akbar, 2022)
H. A. S Natabaya menyimpulkan, bahwa istilah “badan negara”,
“organ negara”, atau “lembaga negara”, mempunyai makna yang
esensinya kurang lebih sama. Dapat saja ketiganya digunakan
untuk menyebutkan sesuatu organisasi yang tugas dan fungsinya
menyelenggarakan pemerintahan negara, sehingga tinggal pilih
apakah menggunakan istilah “badan negara”, “organ negara” , atau
“ lembaga negara”, yang penting ada konsistensi penggunaanya.
Konsepsi lembaga negara dalam bahasa Belanda biasa disebut
dengan staatsorgaan.Dan dalam bahasa Inggris, lembaga negara
digunakan istilah political institution(Isharyanto, 2020). Dalam
bahasa Indonesia, hal ini identik dengan lembaga negara, badan
negara, atau organ negara. 78Sebelum perubahan,79 istilah
“lembaga” tidak ada.Yang ada adalah istilah “badan”.Misalnya dalam
Pasal 23 ayat (5) untuk Badan Pemeriksa Keuangan80. Namun
demikian, baik UUD 1945 sebelum perubahan maupun UUD 1945
sesudah perubahan, keduanya tidak merumuskan pengertian
“badan” dan “lembaga negara”.
Lembaga negara independen lembaga negara pembantu dapat
berupa bagian dari fungsi-fungsi kekuasaan negara yang ada
(legislatif, eksekutif, dan yudikatif) atau dibentuk di luar bagian
fungsi kekuasaan negara tersebut. Lembaga negara independen

89
yang memiliki fungsi mengadili (quasi peradilan) telah diberikan
legalitas oleh konstitusi melalui Pasal 24 Ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memberikan
ruang bagi dapat hadirnya badan atau lembaga baru yang berfungsi
quasi peradilan sepanjang diatur oleh undangundang. Indonesia
mulai banyak lahir lembaga negara independen berfungsi quasi
peradilan semenjak dilakukannya amandemen terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
akhirnya memunculkan beberapa lembaga negara yang memiliki
kewenangan dibidang eksekutif dan yudikatif (quasi peradilan).
Diantaranya.
A. Macam– Macam Lembaga Negara Independen di Indonesia
Lembaga Negara Independen
1. Komisi Pemberantasan Korupsi /KPK, (POLRI, DPR)
2. komisi Yudisial /KY ,(Hakim MA dan MK)
3. Komisi Nasional HAM TNI, (Pemerintah (Presiden/DPR),
Kejaksaan Agung)
4. Badan Pemeriksa Keuangan /BPK (DPR, Presiden (
5. Bank Indonesia /BI,( Pemerintah (Presiden/DPR)
6. Otoritas Jasa Keuangan /OJK,( Asosiasi Profesi)
7. Komisi Penyiaran Indonesia /KPI,(Lembaga Penyiaran
8. Komisi Pemilihan Umum /KPU,( DPR )
9. Komisi Polisi Nasional Presiden, (POLRI)
10. Komisi Kejaksaan,( Jaksa Agung )
11. Komisi Pengawas Persaingan Usaha /KPPU,( Pelaku Usaha)
12. Ombudsma,Pemerintah).(Ramadani, 2020)

B. Sejarah Historis
Lembaga negara independen muncul pertama kali di Amerika
Serikat (AS) dan berkembang di era modern. Kemunculannya dapat
dilacak ketika Supreme Court AS memutus perkara Humphrey’s
Executor V. United states di tahun 1935. Pada perkara tersebut,
Supreme Court melarang Presiden untuk mengontrol lembaga

90
negara independen karena dua hal yakni pertama, pemberhentian
komisioner hanya dapat dilakukan karena sebab yang telah
ditentukan oleh Congress. Kedua, Congress telah secara ekspisit
membentuk lembaga negara independen(Rizaldi, 2021).
Perkembangan lembaga negara di Indonesia tidak dapat
dilepaskan dari era orde baru. Pasca runtuhnya rezim
otoritarianisme zaman pemerintah presiden Soeharto, pada paruh
pertama tahun 1998, yang dilegitimasikan melalui amandemen UUD
1945. Kemunculan lembaga negara pasca amandemen UUD 1945
menuai pro dan kontra, kemunculan lembaga lembaga negara
tersebut mendatangkan banyak pertanyaan yang cukup negatif.
Karenmunculnya lembaga negara pada saat itu dianggap hanya
sebagai cabang kekuasaan tertentu dan merupakan perwujudan
dari kelatahan demokrasi yang berkuasa (Arliman, 2020).
Reformasi konstitusi UUD 1945 tahun 1999 sampai 2002
merupakan perubahan besar ketatanegaraan di Indonesia, yang
mengiringi menuju masa transisi ke demokrasi. Hal tersebut memicu
lahirnya banyak lembaga independen negara atau pun komisi-komisi
negara. Jauh sebelum itu, Amerika serikat saat krisis ekonomi
melanda dunia pada tahun 1914. Sehingga Amerika sangat
mengharapkan adanya lembaga khusus yang memenage dunia
bisnis. Hal tersebut bertujuan untuk mengontrol rivalitas dunia bisnis,
sehingga munculah lembaga Federal Trade Comission. Pada
periode selanjutnya, munculah lembaga1lembaga baru atau disebut
komisi negara independenseperti The Consumer Product Safety
Commission, Federal Communication Commission, Interstate
Commerce Commisision. Negara Inggris dalam perjalanannya juga
melahirkan lembaga-lembaga negara baru yang bahkan dimulai
sejak era Revolusi Industri. Kemunculan lembaga-lembaga tersebut
merupakan jawaban atas meningkatnya permasalahan masyarakat
inggris. Beberapa lembaga tersebut diantaranya adalah Contryside
Commission, The Health and Safety Commission The Office or Fair
Tradding dan lembaga-lembaga lainnya (Alamsyah & Huda, 2013)
Eksistensi LNI bermula dari kehendak negara untuk membuat
lembaganegara baru yang pengisian anggotanya diambil dari unsur
91
non-negara, diberi otoritas negara, dan dibiayai oleh negara tanpa
harus menjadi pegawai negara. (Alamsyah & Huda,
2013)Pembentukan lembaga-lembaga independen ini dapat
dikatakan hanya cenderung bersifat reaksioner, sehingga menjadi
tidak jelas kedudukandanmarwahnya dalam sistem ketatanegaraan.
Bahkan tidak dipungkiri bahwa LNI di Indonesia terkadang dibentuk
untuk alasan pencitraan rezimsaja, dan dalam proses yang terburu-
buru.(Tauda Gunawan, n.d.)
C. Konsep Lembaga Negara Independen
Lembaga negara merupakan sebuah perwujudan
kelengkapan negara yang bertujuan untuk menjalankan
kekuasaan dan mewujudkan cita-cita negara. Pembentukan
lembaga negara ini, dilakukan oleh negara, dari negara untuk
negara serta bertujuan untuk pembangunan negara itu sendiri.
Berdirinya lembaga negara ini merupakan perkembangan
organisasi negara yang dituntut untuk memenuhi kebutuhan
negara. Sementara itu, lembaga independen negara dapat
diartikan sebagai sebuah lembaga yang terbentuk dari
pemerintah yang menyerahkan kewenangannyauntuk
menetapkan atau membentuk badan sendiri (the agencies
produced by the growing trend of government power to appointed
or self appointed bodies). Jadi, lembaga independen negara ini
dapat diartikan sebagai keputusan negara dalam pembentukan
lembaga baru yang keanggotaannya di ambil dari unsur-unsur
non negara, dan diberikan kekuasaan serta di fasilitasi oleh
negara tanpa harus menjadi pegawai negara (Alamsyah & Huda,
2013).
Pembentukan lembaga negara independen ini dibentuk
sebagai fungsi pembantuan, bukan sebagai fungsi utama.
Pembentukan lembaga tersebut dikarenakan adanya tujuan
tertentu yang ingin dicapai dalam sebuah negara yang dinilai
tidak dapat dicapai jika hanya melalui lembaga utama saja (main
state organs) sehingga dibentuklah lembaga negara pembantu
(state auxiliary organ). Salah satu sifat state auxiliary organ yaitu
independen atau biasa disebut dengan lembaga negara
independen. Idealnya lembaga negara independen ini terpisah
92
dari kekuasaan eksekutif, legislatif atau pun yudikatif. Karena
pada dasarnya independen tersebut diartikan sebagai
kebebasan, kemandirian, kemerdekaan dan otonom, serta tidak
dalam dominasi personal atau pun institusional(Crystallography,
2016).
D. Alasan Berdidirnya LNI
Menurut Ahmad Basarah hal tersebut disebabkan karena
beberapa hal diantaranya (Basarah, 2014):
1. Kemajuan pesat perekonomian juga sosial yang mengakibatkan
badan ekssekutif mengatur hampir keseluruhan kehidupan
manusia.
2. Untuk mencapai tujuan negara kesejahteraan (welfare state),
maka dibutuhkan fungsi yang cepat, tepat serta komprehensif
dari semua lembaga negara yang ada.
3. Dinamika masyarakat yang kompleks hingga menyebabkan
beragam fungsi organisasi juga struktur serta integritas
kenegaraan yang berkembang pesat.
4. Terjadinya transisi demokrasi mengakibatkan negara
mengalami perubahan drastis dalam sosial dan perekonomian,
sehingga membuat upaya eksperimen kelembagaan
(institutional experimentation).
Sementara itu, Zainal Arifin Mochtar berpendapat bahwa alasan
didirikanya lembaga independen negara yaitu :
1. Komisi non-liberal merupakan Reformasi dari kelembagaan negara
independen ada sebagai bentuk kritik atas sikap koruptif penguasa,
kemudian melakukan pemisahan diri pada publik dengan
dibentuknya kelembagaan independen.
2. Transformasi demokrasi yang lebih partisipatif sehingga lembaga
negara independen dapat melakukan pengawasan terhadap
lembaga merupakan dari kebutuhan percepatan demokrasi.
3. Bagian dari visualisasi kekuasaan yakni negara membentuk
kekuasaan kelembagaan terbaru dengan memberikan penjaminan
yang bersifat tetap yang berjalan sesuai penguasa dalam
93
menciptakan perbaikan. Walaupun pemulihan Padahal tersebut
disisipkan agenda-agenda tertentu dengan tujuan- tujuan tertentu
pula.
4. Adanya kekecewaan kepada kelembagaan terdahulu yang tidak
dapat memberikan hasil seperti diharapkan.
E. Karakteristik
1. Independensi dalam menjalankan tugas dan fungsinya
2. Idependen bermakna terlepas dari cengkraman, pengawasan
atau pun cabang kekuasaan eksekutif
3. Prosedur terhadap pengangkatan juga pemberhentian
diatur lebih spesifik, tidak atas kehendak presiden
4. Pimpinan lembaga independen bukan berusul dari anggota
partai politik manapun.
5. Jabatan kepemimpinan pada lembaga negara independen
juga bersifat definitif yang ketika masa jabatannya berakhir
dalam waktu bersamaan dan untuk periode berikutnya di ambil
kembali maksimal 1 periode.
6. lembaga independen negara ini berujuan untuk
menyeimbangkan perwakilan dengan sifat non
partisan.(Irma & Rosyid, 2022)
menurut Thatcher indikator sebuah lembaga dikatakan
independen berdasarkan konsep Independent Regulatory
Agencies (IRAs) adalah sebagai berikut :
1. Politicisation party of appoinments, yaitu dalam penentuan
pimpinan IRAs sering terdapat politisasi.
2. Departure (resignation and dismissal), yaitu
pemecatan keanggotaan IRAs yang belum berakhir
waktu jabatannya.
3. The IRAs of tenures members, lamanya waktu
jabatannya, akan mempengaruhi power keindependensinya

94
kepada pejabat yang terbaru.
4. This staffing also resources of financial IRAs,
merupakan keindependensian terhadap menajemen sumber
daya dan keuangan.
5. The use of power to overturns the decisions of IRAs by
elected politicians yang diartikan menjadi pemakaian otoritas
dalam menjalankan juga kebijakan yang di tetapkan IRAs.

F. Kedudukan Lembaga Independen Negara dalam


Ketatanegaraan Indonesia
Sebagai sebuah organisasi, negara memiliki alat kelengkpan
yang memiliki kiprah yang diinginkan oleh negara (staatswiill).
Yang demikian Alat pelengkap negara ini kenal sebagai organ
negara, lembaga negara atau pun badan negara. Di Indonesia,
lembaga negara dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu
lembaga yang ditentukan oleh UUD 1945, peraturan
perundangundangan dan lembaga negara yang ditentukan oelh
keputusan presiden. Menurut Bagir Manan, lembaga negara
dibagi menjadi tiga jenis yaitu (Wahyono, n.d.):
1. Alat kelengkapan negara yaitu lembaga yang
menjalankan fungsi negara secara langsung dan
bertindak atas nama negara seperti Presiden, Wakil
Presiden DPR dan Kekuasaan Kehakiman.
2. Lembaga Administratif yaitu lembaga yang memiliki fungsi
administratif dan tidak bersifat ketatanegaraan (hanya
menjalankan fungsi administratif bukan bertindak untuk dan atas
nama negara).
3. State auxiliary organ/agency/bodies yaitu lembaga negara
yang berfungsi sebagai penunjang dari lembaga yang
dibentuk negara dan termasuk alat kelengkapan negara.

Dalam perundangan negara indonesia, setidaknya

95
mempunyai 34 kelembagaan negara yang disebutkan di
dalamnya. Sebanyak 34 lembaga tersebut dinamakan
constitutional state organ yang kewenanganya diamanatkan
langsung oleh UUD 1945. Sementara itu, pengaturan lembaga
independen negara didirikan berdasarkan peraturan sesuai
dengan di bawah UUD 1945. Lembaga tersebut
pembentukannya diantaraya berdasarkan Ketetapan MPR,
Undang-Undang, Perppu, Perpres, Kepres, Peraturan
Pemerintah. Menurut Lukman hakim, bantuk pelembagaan
komisi negara pada tatanan ketatanegaraan di Indonesia
memberikan pondasi penguatan lanjutan terhadap hadirnya
lembaga- lembaga negara yang terbaru yang bertujuan untuk
menjadikan tatanan pemerintahan yang efektif dan efisien
(Hakim, 2009).
Diantara 104 lembaga negara independen tersebut
terdapat 14 komisi negara independen yang bukan merupakan
perpanjangan organ kekuasaan tertentu yaitu Komisi Yudisial,
Komisi Pemilihan Umum, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Komisi Ombudsman
Nasional, Komisi Penyiaran Indonesia, Komisi pemberantasan
Korupsi, Komisi perlindungan Anak, Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi, Dewan Pers, Dewan Pendidikan, Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban, Komisi Informasi Publik dan
Badan Pengawas Pemilu. Adanya lembaga negara tersebut di
atas, bertujuan untuk melaksanakan tujuan negara. Karena, demi
mewujudkan tujuan negara tersebut, negara memerlukan alat-
alat perlengkapan negara yaitu lembaga negara untuk
menjalankan fungsi- fungsi negara. Sementara itu menurut
Hendra nurtjahyo tujuan adanya lembaga independen negara
yaitu disebabkan dengan semakin banyaknya tugas negara yang
kompleks hingga membutuhkan tambahan bantuan lembaga
independen yang cukup operasionalnya serta diharapkan adanya
kekuatan empower kepada tugas kelembagaan negara yang telah
ada lewat pembentukan lembaga secara khusus.

96
G. Efektivitas Lembaga Negara dalam Menjalankan Fungsi
Tugas dan Wewenang
Merebaknya lembaga-lembaga independen negara ironisnya
tidak sama sekali mengurangi permasalahan yang dialami oleh
negara. Tugas dan kewenangan mereka cenderung tumpang tindih
sehingga pola hubungan antar lembaga negara belum
berhubungan dengan baik, sehingga konflik antar lembaga pun
tidak dapat dihindarkan. Selain itu, dengan banyaknya lembaga-
lembaga independen negara tersebut juga menjadikan beban
keuangan negara. Selain itu, munculnya lembaga negara yang
begitu banyak juga mengindikasikan bahwa latahnya pemerintah
dalam mengelola transmisi demokrasi.
Sehingga setiap ada peraturan perundang-undangan baru yang
mengatur khalayak umum maka selalu diiringi pula oleh adanya
lembaga baru.Pembentukan lembaga-lembaga independen negara
ini memiliki sifat revolusioner sehingga marwah serta
kedudukannya seringkali berkesan tidak jelas dalam sistem
kenegaraan indonesia. Tak hanya itu lembaga independen juga
sering mendapatkan interferensi, intensitas juga perlawanan atas
kebijakanya. Menurut Deny Indrayana setidaknya ada ada enam
lembaga yang keberadaannya perlu untuk dipertahankan karena
sesuai dengan parameter negara hukum diantaranya adalah:
1. Komisi Yudisial
2. Ombudsman
3. Komisi pemberantasan Korupsi
4. Komnas HAM
5. Komisi Pers Indonesia
6. Komisi Pemilihan Umum

Meskipun demikian, lebaga-lembaga di atas, juga tak luput dari


kontroversi di mana independensi nya sebagai lembaga negara
97
independen juga masih diragukan. Sebagai contoh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) semisal, ialah lembaga yang dalam
hal ini menjalankan tugas serta kewenangannya yang bersifat tidak
mengikat (independen) yang juga terbebas dari cengkeraman
penguasa manapun. Akan tetapi jika melihat dalam UUD nomor 30
tahun 2002 terkait dengan komisi pemerantasan korupsi, tidak
adanya penjelasan tentan maksud dari independensi.
Pada kenyataannya, KPK mengartikannya dalam bentuk
tindakan yang nyata penuntasan berbagai macam kasus korupsi,
saat ini timbul banyak polemik dari berbagai kalangan. Seperti, KPK
dinilai arogan serta menyalahgunakan kekuasaannya, bahkan
keberadaannya dinilai menjadi terhambatnya laju investasi
(Ramadani, 2020). Selain itu adanya revisi UU KPK dalam UU No.
19 Tahun 2019 yang menyatakan bahwa pegawai KPK statusnya
meruakan ASN, hal tersebut tentu menjadikan kontroversi
dikarenakan akan berakibat pada berkurangnya independensi KPK.

98
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Asshiddiqie, J. (2010). Konstitusi dan Konstitusionalisme
Indonesia. Sinar Grafika

Attamimi. 1990. “Peranan Keputusan Presiden Republik


Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara,”
198.

Bagir Manan. 1987. Konvensi Ketatanegaraan. Bandung:


CV Armico.

Bagirmanan. 1994. “Fungsi Dan Materi Peraturan


Perundang Undangan,”

Barendt, Eric. 1998. An Introduction to Constitutional Law.


Oxford: Oxford University Press.

Basarah, A. (2014). Kajian Teoritis Terhadap Auxiliary


State’s. Masalah-Masalah Hukum, Vol. 43(1), 1–8.

Buku 1 Naskah Akademik Kajian Komprehensif Komisi


Konstitusi Tentang Undang-Undang Dasar 1945. 2004.
jakarta.

Cevitra, M., & Sitabuana, T. H. (2022). Check and Balance


System Dalam Hukum Keuangan Negara. Serina IV, 551–
556.

Crystallography, X. D. (2016). 済無 No Title No Title No Title.


1–23.

C.S.T. Kansil. 2011. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata


Hukum Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
99
C.F Srtong. Konstitusi Konstitusi Politik Modern.

Dengan, S., & Otonomi, P. (1999). Pengelolaan ruang


wilayah pesisir dan lautan seiring dengan pelaksanaan
otonomi daerah *. 139–171.

Fachrudih, Irfan. 2004. “Pengawasan Peradilan


Administrasi,”

hamdan zoelva. 2017. “Hukum Dan Politik Dalam Sistem


Hukum Indonesia.”

Hamzah, A. (1986). Kamus Hukum. 349.


Huda, N. (2012). Ilmu Negara. Rajawali Press.
Hukum, J., Justitia, M., & Vol, N. (2023). OLIGARKI DI
TENGAH PRINSIP CHECK AND BALANCE DALAM
SISTEM PEMBAGIAN KEKUASAAN NEGARA Studi ,
Fakultas Hukum , Universitas Negeri Semarang Studi ,
Fakultas Hukum , Universitas Negeri Semarang Studi ,
Fakultas Hukum , Universitas Negeri Semarang A . Latar B.
13, 36–45.
I Gede Yusa, dkk. (2016). Hukum Tata Negara Pasca
Perubahan UUD NRI 1945. Setara Press.
Indrati, maria farida. 1998. “Ilmu Perundang Undangan
Dasar Dan Pembentukanya” 1 (ilmu perundang undangan
dasar dan pembentukanya): 39.
Jimly Asshidqie. 2006. Konstitusi Dan Konstitualisme Di
Indonesia. Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi.

100
Joeniarto. 1980. Selayang Pandang Tentang Sumber-
Sumber Hukum Tata Negara Indonesia. Yogyakarta: Liberty.
Joeniarto. 1980. Selayang Pandang Tentang Sumber-
Sumber Hukum Tata Negara Indonesia. Yogyakarta: Liberty.
Kansil, C. S. ., & Kansil, C. S. T. (2008). Hukum Tata
Negara Republik Indonesia. Rineka Cipta.
K. C Wheare. Modern Contitution. Oxford University.
Ketatanegaraan. (n.d.). Rineka Cipta.
Kusnardi. 1981. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia.
Jakarta: Sinar Bakti.
Mahfud MD. 2003. Demokrasi Dan Konstitusi Di Indonesia.
Jakarta.
Maria Farida Idrati. 1969. “Ilmu Perundang Undangan
Dasar Dan Pembentukanya
Matulhuda, Ni’. 2012. “Hukum Pemerintahan Daerah,”
Mertokusumo, Soedikno. 1996. Mengenal Hukum; Suatu
Pengantar. Yogyakarta: Liberty.
Moh. Kusnardi S.H., Harmaily Ibrahim, S.H., (1988),
PengantarHukum Tata Negara Indonesia, J. : P. S. H. T. N.
(n.d.). No Title.
M. Rezky Pahlawan dkk. (2020). Hukum Tata Negara.
Universitas Pamulang Press, Cet 1.
Morissan, (2005), Hukum Tata Negara R.I. Era Reformasi, J.
R. P. (n.d.). No Title.
M, solly lubis. 1989. “Landasan Dan Teknik Perundang
Undangan,”

101
Nawawi, Hadari. 1995. “METODE PENELITIAN BIDANG
SOSIAL,”
Negara, L. A. (2014). Wawasan Kebangsaan Dalam
Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jakarta, L.
(n.d.). No Title.
Nisa Nabila, Paramita Prananingtyas, M. A. (2020).
PENGARUH MONEY POLITIC DALAM PEMILIHAN
ANGGOTA LEGISLATIF TERHADAP
KEBERLANGSUNGAN DEMOKRASI DI INDONESIA.
PENGARUH MONEY POLITIC DALAM PEMILIHAN
ANGGOTA LEGISLATIF TERHADAP
KEBERLANGSUNGAN DEMOKRASI DI INDONESIA, 13,
138–153.
Nuruddin, & Ahmad Muhasim. (2022). Hukum Tata Negara.
CV. Alfa Press.
Nur, S., & Susanto, H. (2019). Desentralisasi Asimetris
dalam Konteks Negara Kesatuan. 2(4), 631–649.
Prodjodikoro, W. (1989). Asas-Asas Hukum Tata Negara di
Indonesia, cet. keenam. Dian Rakyat.
Ranggawidjaja, Rosjidi. 1998. “Pengantar Ilmu Perundang
Undangan Indonesia,” 43–45.
Rarawino, B. (2007). Hukum Tata Negara. fakultas ilmu
sosial dan politik universitas padjajaran.
Ridwan, Juniarsi. 2012. “Hukum Admnistrasi Negara Dan
Kebijakan Layanan Publik,”
Santoso, M. A. (2009). Otonomi Daerah di Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Jurnal Ilmu Administrasi:
Media Pengembangan Ilmu dan Praktek Administrasi, 6(4),
05. (n.d.). No Title.
102
satjipto rahardjo. 2006. “Hukum Dan Politiik Dalam Sistem
Hukum Indonrsia,”
Syamsudin, Aziz. 2011. “Proses Dan Teknik Penyusunan
Undang Undang,”
Sri Soemantri. Prosedur Dan Sistem Perubahan Konstitusi.
Simandjuntak, R. (2015). Sistem Desentralisasi Dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia Perspektif Yuridis
Konstitusional. Journal de Jure, 7(1), 57-67. (n.d.). No Title.
S. T, Kansil, Ilmu Negara (umum dan indonesia), Jakarta:
Pradya Paramita, 2004. (n.d.). No Title.
Titik Triwulan Tutik. (2020). Konstruksi Hukum Tata Negara
Indonesia. cetakan 1, Kencana Prenada Media Group.
Tutik, Titik Triwulan. 2010. Konstruksi Hukum Tata Negara
Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Wirjono Prodjodikoro. 1989. Azaz-Azaz Hukum Tata Negara
Indonesia. 6th ed. jakarta: pt. dIAN rAKYAT.
Utang Rosidin. 2022. Hukum Tata Negara. Bandung:
Widina Bhakti Persada Bandung.
Yusa, I. G. (2016). Hukum Tata Negara, Pasca Perubahan
UUD NKRI. Setara Press.
———. Telaah Akademis Mengenai Bentuk Prosedur Dan
Mekanisme Mengenai Perubahan UUD 1945.
———. 2007a. “Ilmu Perundag Undangan” 1 (Jenis, Fungsi
dan Materi Muatan): 44.

103
B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia. n.d. Undang-Undang Perjanjian Internasional,


UU Nomor 24 Tahun 2000, LN Nomor 185 Tahun 2000,
TLN Nomor 4012, Ps. 1 Angka 1.

Indonesia. n.d. Undang-Undang Perjanjian Internasional,


UU Nomor 24 Tahun 2000, LN Nomor 185 Tahun 2000,
TLN Nomor 4012, Ps. 1 Angka 1.
Pembangunan, D. A. N., & Daerah, E. (2015). Undang-
undang otonomi daerah dan pembangunan ekonomi
daerah. 32.

C. Sumber Artikel Jurnal dan Internet


Akbar, F., Hakim, L., & Cengkeng, A. (2022).
PERTANGGUNGJAWABAN ADMINISTRATIF LEMBAGA
NEGARA INDEPENDEN DALAM SISTEM
PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DI INDONESIA.
Legal Spirit; Vol 5, No 2 (2021): Legal Spirit ; 2621-9115 ;
1978-2608 ; 10.31328/Ls.V5i2. http://publishing-
widyagama.ac.id/ejournal-
v2/index.php/jhls/article/view/3625
Alamsyah, B., & Huda, U. N. (2013). Politik Hukum
Pelembagaan Komisi-Komisi Negara Dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia. Jurnal Hukum Dan Peradilan,
2(1), 85. https://doi.org/10.25216/jhp.2.1.2013.85-108
Asshiddiqie, J. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara
Jilid 1. Buku Ilmu Hukum Tata Negara, 1, 200.
www.jimly.com/pemikiran/getbuku/4
Dewi, geney srikusuma. (2021). MENATA SISTEM
PERWAKILAN DUA KAMAR (BICAMERAL SYSTEM)
104
YANG EFEKTIF DI INDONESIA. Jurnal Yustitia; Vol 15 No
1 (2021): YUSTITIA; 84-95 ; 1907-8188.
http://www.ojs.unr.ac.id/index.php/yustitia/article/view/706
Gabriel. (n.d.). Pengertian Asas Hukum dan Berbagai
Macam Asasnya. Gramedia Blog.
https://www.gramedia.com/literasi/pengertian-asas-hukum/
Ibrahim, H. (2022). PERKUATAN FUNGSI LEMBAGA.
PERKUATAN FUNGSI LEMBAGA DPR 27(Nomor 4) 236-
251. https://zenodo.org/record/6030978
Irma, M., & Rosyid, R. M. (2022). Lembaga Independen
Negara dalam Ketatanegaraan Indonesia. Definisi: Jurnal
Agama Dan Sosial Humaniora, 1(2), 75–84.
https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/definisi/article/view/18
040
Isharyanto. (2020). Hukum Kelembagaan Negara (Studi
Hukum dan Konstirusi Mengenai Perkembangan
Ketatanegaraan Republik Indonesia). Buku Kelembagaan
Negara, 318.
Mulyani, T. (2016). KAJIAN NORMATIF MENGENAI
HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA NEGARA DALAM SISTEM
KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG DASAR TAHUN
1945: SEBELUM DAN SESUDAH AMANDEMEN. Humani
(Hukum Dan Masyarakat Madani); Vol 6, No 1 (2016):
Januari; 75-95 ; 2580-8516 ; 1411-3066 ;
10.26623/Humani.V6i1.
https://journals.usm.ac.id/index.php/humani/article/view/855
Ramadani, R. (2020). Lembaga Negara Independen Di
Indonesia Dalam Perspektif Konsep Independent
Regulatory Agencies. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 27(1).
https://doi.org/10.20885/iustum.vol27.iss1.art9
105
Rannie, Mm. (2017). Kedudukan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia Pasca
Amandemen UUD 1945. Simbur Cahaya; VOLUME 24
NOMOR 2, MEI 2017; 4844-4856 ; 26849941 ; 1410-0614.
http://journal.fh.unsri.ac.id/index.php/simburcahaya/article/vi
ew/59
Rizaldi, M. (2021). Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai
Lembaga Negara Independen ? Jurnal Penelitian
Universitas Kuningan, 12, 24.
Sunarto, S. (2016). Prinsip Checks and Balances Dalam
Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Masalah-Masalah
Hukum, 45(2), 157.
https://doi.org/10.14710/mmh.45.2.2016.157-163
Wiratmadinata, W. (2018). Memahami Kembali Rumpun
Ilmu Hukum Tata Negara. Jurnal Hukum Samudra Keadilan,
13(1), 44–66. https://doi.org/10.33059/jhsk.v13i1.731
Yusmiati. (2020). Hubungan Antar Lembaga Negara
Menurut Undang Undang Dasar 1945. Jurnal Ilmu
Pengetahuan Sosial, 7(1), 1–13. http://jurnal.um-
tapsel.ac.id/index.php/nusantara/index
Yusmiati, Y. (2018). Kelembagaan Negara Republik
Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945.
NUSANTARA : Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, 4(1), 62.
https://doi.org/10.31604/jips.v4i1.2018.62-56

106
PROFIL PENULIS
Elsya Alfirani lahir di Cirebon, 28 Januari
2003,Riwayat Pendidikan SDN 2 Karang Asem,
MTSN 06 Cirebon, SMAN 1 Lemah Abang. Saat
ini sedang menempuh pendidikan di Universitas
Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung,
Program Studi Ilmu Hukum. Email:
elsyaalfirani2801@gmail.com

Intania Az-zahra lahir di Balikpapan , 06 Maret


2002, Riwayat Pendidikan SMKN 4 Balikpapan;
Saat ini sedang menempuh pendidikan di
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati
Bandung, Program studi Ilmu Hukum. Email :
intaniazhr66@gmail.com

Kania Octavia Parnika lahir di Bandung, 27


Oktober 2003, Riwayat pendidikan; MA Persis 38
Padalarang; Saat ini sedang menempuh
pendidikan di Universitas Islam Negeri Sunan
Gunung Djati Bandung, Program Studi Ilmu
Hukum. Email : kaniaoctavia52@gmail.com

107
Kayla Namira Rachman lahir di Bandung, 11
September 2003. Riwayat pendidikan di SMA
Negeri 7 Bandung, saat ini sedang menempuh
pendidikan di Universitas Islam Negeri Sunan
Gunung Djati Bandung, Program Studi Ilmu
Hukum. Email : 11kaylanamira@gmail.com

Linda Solihat lahir di Bandung, 04 Juni


2004,Riwayat Pendidikan di SMP PGRI 408
CILEUNYI,MA CILENDEK Tasikmalaya, Saat
ini sedang menempuh pendidikan di Universitas
Islam Negri Sunan Gunung Djati Bandung,
Program Studi Ilmu Hukum .Email:
lindasolehah01@gmail.com

Lilih Ilah Solihah lahir di Bandung, 17 maret


2004,Riwayat Pendidikan di MTS Yamisa
Soreang,SMA saptadharma; Saat ini sedang
menempuh pendidikan di Universitas Islam
Negri Sunan Gunung Djati Bandung,Program
studi Ilmu Hukum . lilihslhh933@gmail.com

108
M Bintang Faqih Khudori lahir di Pandeglang ,
25 Maret 2004,Riwayat Pendidikan di SMP 1
PANDEGLANG ,MAN 1 PANDEGLANG; Saat
ini sedang menempuh pendidikan di Universitas
Islam Negri Sunan Gunung DJati
Bandung,Program Studi Ilmu Hukum .Email:
bintangfaqih514@gmail.com

M Yusuf Andanial lahir di Sukabumi, 24 Maret


2004,Riwayat Pendidikan di MTs AL Atiqiah ,
SMA AL Atiqiyah, Saat ini sedang menempuh
pendidikan di Universitas Islam Negri Sunan
Gunung Djati Bandung,Program studi Ilmu
Hukum .Email: yusufandanial24@gmail.com

109

Anda mungkin juga menyukai