ILMU NEGARA
KONTEMPORER
Diterbitkan Oleh:
LaksBang Grafika Yogyakarta dan
Kantor Advokat “ HUFRON & RUBAIE” Surabaya
i
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
Diterbitkan oleh:
LaksBang Grafika Yogyakarta dan
Kantor Advokat “ HUFRON & RUBAIE” Surabaya
ii
PRAKATA PENULIS
iii
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
Dr. H u f r o n, SH.MH.
Syofyan Hadi, SH.MH.
iv
DAFTAR ISI
Hal
Cover ........................................................................................... i
Prakata ......................................................................................... iii
Daftar Isi ...................................................................................... v
v
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
vi
Daftar Isi
vii
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
viii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indo-
nesia, Jakarta: 2008, h. 544
2
Sjachran Basah, Ilmu Negara, (Pengantar, Metode dan Sejarah Perkembangan),
Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994, h. 6
1
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
3
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,…Op.Cit., h. 1501
4
A. Hamid S. Attamimi, Teori Perundang-Undangan Indonesia: Suatu sisi Ilmu
Pengetahuan Perundang-Undangan Indonesia Yang menjelaskan dan
Menjernihkan Pemahaman, Jakarta, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
Tetap Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, pada tanggal 25 April
1992, h. 3
5
I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, Memahami Ilmu Negara dan Teori
Negara, Bandung: Refika Aditama, 2009, h. 25
2
Pendahuluan
6
F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Jakarta: Binacipta, 1992, h. 90
7
Henry Campbell Black, Black’s’s Law Dictionary, 4th, ST. Paul, Minn. West
Publishing, Co., 1891, h.1578
8
Elizabeth A. Martin, Oxford Dictionary of Law, 5th, Oxford University Press,
2003, h. 475
9
F. Isjwara, Op.Cit., h. 92
10
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1991, h. 38
11
Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 2013, h. 1
12
George Jellinek dalam Ni’matul Huda, Ilmu Negara, Jakarta: Rajawali Pers,
2012, h. 2
3
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
13
I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, Op.Cit., h. 26
14
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1995, h. 34
15
I Gde Pantja Astawa dan Suprina Na’a, Op.Cit., h. 28
4
Pendahuluan
5
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
6
Pendahuluan
16
Kranenburg, Ilmu Negara Umum (diterjemahkan oleh Tk. B. Sabaroedin),
Jakarta: Pradnya Paramita, 1983, h. 7
17
Soehino, Op.Cit., h. 6
18
Ibid., h. 7-8
7
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
19
I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, Op.Cit., h. 26
8
Pendahuluan
20
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indo-
nesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universi-
tas Indonesia dan Sinar Bakti, 1983, h. 31
9
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
21
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik, Bandung: Eresco,
1986, h. 2-3
10
Pendahuluan
22
Kranenburg, Op.Cit., h. 2
23
Muchtar Affandi, Ilmu-Ilmu Kenegaraan: Suatu Studi Perbandingan, Bandung:
Lembaga Penerbit Fakultas Sosial Politik Universitas Padjajaran, 1982, h.
51
11
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
24
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu…Op.Cit., h.40
25
Ibid., h. 41-42
12
Pendahuluan
13
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
14
BAB II
DEFINISI DAN UNSUR-UNSUR NEGARA
A. Definisi Negara
Istilah negara diterjemahkan dari istilah: Staat (Belanda &
Jerman), State (Inggris), danEtat (Prancis).Istilah Staat tersebut
merupakan serapan dari bahasa Latin “status/statum”yang dapat
dipadankan dengan “standing” atau “station” yang mempunyai
arti suatu kondisi yang tegak dan tetap.26Istilah staat tersebut
mulai berkembang sekitar abad ke-XV di Eropa Barat yang untuk
pertama kali dikemukakan oleh Niccolo Machiavelli dalam
bukunya “The Prince”.
Dalam Black’s Law Dictionary, istilah “state” diartikan
sebagai “A people permanently occupying a fixed territory bound to-
gether by common-law habits and custom into one body politic exer-
cising, through the medium of an organized government, independent
sovereignty and control over all persons and things within its bound-
aries, capable of making war and peace and of entering into interna-
tional relations with other communities of the globe”.27
Senada dengan hal tersebut, Oxford Dictionary of Law
menyatakan bahwa “state is a sovereign and independent entity ca-
pable of entering into relations with other states and enjoying inter-
national legal personality. To qualify as a state, the entity must have:
26
F. Isjwara, Op.Cit., h. 90
27
Henry Campbell Black, Op. Cit., h. 1578
15
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
28
Elizabeth A. Martin, Op.Cit., h. 475
29
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu…Op.Cit., h. 46
30
Miriam Budiardjo, Op.Cit., h. 39
16
Definisi dan Unsur-unsur Negara
31
Ibid, h. 40
32
Robert M. MacIver, The Modern State, London: Oxford University Press,
1955, h. 22
33
Ni’matul Huda, Ilmu…Op.Cit., h. 12
34
Ibid, h. 13
35
F. Isjwara, Op.Cit., h. 92
17
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
36
Ibid, h. 94-95
37
Miriam Budiarjo, Op.Cit., h. 38
38
Ibid., h. 40
18
Definisi dan Unsur-unsur Negara
B. Unsur-Unsur Negara
Suatu masyarakat politik dapat disebut sebagai negara harus
memenuhi unsur-unsur tertentu. Menurut Oppenheim-
Lauterpacht unsur-unsur masyarakat politik dapat dikatakan
negara adalah (a) harus ada rakyat; (b) harus ada wilayah; (c)
harus ada pemerintah yang berdaulat.40 Senada dengan hal
tersebut,Oxford Dictionary of Lawmenyatakan bahwa “To qualify
as a state, the entity must have: (1) a permanent population (although,
as in the case of the Vatican or Nauru, this may be very small); (2) a
defined territory over which it exercises authority (although its bor-
ders, as in the case of Israel, need not be defined or undisputed); (3) an
effective government”.41
Dalam perspektif hukum internasional, negara adalah
subjek hukum. Namun untuk dapat disebut sebagai subjek
hukum internasional, maka negara tersebut harus memenuhi
beberapa unsur. Pasal 1 Montevideo (Pan American) Convention
on Right and Duties of States of 1933 menentukan bahwa “The state
as a person of international law should possess the following qualifica-
tions: a) a permanent population; b) a defined territory; c) govern-
ment; and d) capacity to enter into relations with the other states”
(negara sebagai subjek hukum internasional harus memiliki
kualifikasi-kualifikasi sebagai berikut: a) rakyat/warga negara
yang bersifat tetap; b) wilayah yang pasti; c) pemerintah; d)
kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara lain).
39
Miriam Budiardjo, Op.Cit., h. 40-41
40
M. Solly Lubis, Ilmu Negara, Bandung: Mandar Maju, 2002, h. 2-3
41
Elizabeth A. Martin, Op.Cit., h. 475
19
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
42
F. Isjwara, Op.Cit., h. 95
43
J.G. Starke, An Introduction to International Law, London: 1958, h. 80
44
F. Isjwara, Op.Cit., h. 96
20
Definisi dan Unsur-unsur Negara
1. Rakyat/Warga Negara
Negara sebagai entitas politik tidak berdiri dengan
sendirinya, namun dibentuk oleh sekumpulan manusia yang
mepunyai kesamaan tujuan untuk memperoleh hidup yang lebih
baik. Sekumpulan manusa itulah yang disebut dengan rakyat
(people). Black’s Law Dictionary menyatakan bahwa “People is
(a) a nation in its collective and political capacity; (b) the aggregate
ormass of the individuals who constitute the state; (c) the entire body
of those citizens of a stateor nation who are invested with political
power for political purposes, that is, the qualified voters or electors.45
Senada dengan hal tersebut, KBBI menyatakan bahwa “rakyat
adalah segenap penduduk suatu Negara (sebagai imbangan
pemerintah)”.46 Berkaitan dengan hal tersebut, Oppenheim-
Lauterpacht menyatakan bahwa rakyat adalah kumpulan
manusia dari dua jenis kelamin yang hidup bersama merupakan
suatu masyarakat, meskipun mereka ini mungkin berasal dari
keturunan yang berlainan, menganut kepercayaan yang
berlainan atau memiliki warna kulit yang berlainan.47
Istilah rakyat mempunyai keberkaitanan erat dengan istilah
bangsa (nation/natie). Black’s Law Dictionary menyatakan bahwa
bangsa (nation) adalah “A people, or aggregation of men, existingin
the form of an organized jural society, usually inhabiting a distinct
portion of the earth, speaking the same language, using the same cus-
toms, possessing historic continuity, and distinguish hed from other
like groups by their racial origin and characteristics, and generally,
but not necessarily, living under the same government and sover-
eignty”.48 Dari pengertian di atas, maka bangsa merupakan
sekumpulan orang yang memiliki bahasa yang sama, adat
kebiasaan yang sama dan dibedakan dengen kelompok yang
lain dengan ras dan karakteristik yang mereka miliki, umumnya
bangsa tersebut hidup di bawah satu pemerintah dan ke-
45
Henry Campbell Black, Op.Cit., h. 1292
46
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit., h. 1159
47
M. Solly Lubis, Ilmu…Op. Cit., h. 89
48
Henry Campbell Black, Op.Cit., h. 1175
21
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
49
Ernest Renan, Apakah Bangsa Itu? (Qu’est ce qu’une nation?) dialih bahasa
oleh Mr. Sunario, Bandung: Alumni, 1994, h. xviii
22
Definisi dan Unsur-unsur Negara
50
F. Isjwara, Op. Cit., h. 128
51
Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Jakarta: Bumi Aksara, 1990, h. 25
52
F. Isjwara, Op.Cit., h. 129
53
Henry Campbell Black, Op.Cit., h. 310
23
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
54
Ni’matul Huda, Ilmu…Op.Cit., h. 23-24
24
Definisi dan Unsur-unsur Negara
25
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
26
Definisi dan Unsur-unsur Negara
2. Wilayah Tertentu
Sebuh negara berdaulat harus mempunyai wilayah tertentu
(defined territory) yang tidak digantungkan kepada besar atau
kecilnya luas wilayah. Wilayah tertentu adalah batas wilayah
di mana kekuasaan negara itu berlaku. Artinya bahwa kekuasaan
tertinggi negara (kedaulatan) hanya dapat dilaksanakan atau
diterapkan dalam wilayah tersebut. Ditinjua dari aspek yuridis,
hukum positif suatu negara hanya dapat dilaksanakan atau
dipaksakan keberlakuannya di wilayah negara bersangkutan.
Setiap orang dapat dihukum atau dikenakan sanksi hukum suatu
negara, apabila ia melanggar hukum dari negara yang bersang-
utan. Karenanya, wilayah negara sangat berkaitan erat dengan
kedaulatan suatu negara.
Menurut Bagir Manan, 55 bahwa setiap negara harus
mempunyai wilayah yang tampak nyata dengan batas-batas
yang dapat dikenali, baik dalam arti faktual dan yuridis. Arti
55
Bagir Manan, Hukum Kewarganegaraan Menurut UU No. 12 Tahun 2006,
Yogyakarta: FH UII Press, 2009, h. 1
27
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
28
Definisi dan Unsur-unsur Negara
29
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
56
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Widiasarana
Indonesia, 1992, h. 167
57
Bestuur: pemerintah; kn: kekuasaan negara; Rg (regelgeving): pembentuk
undang-undang; dan Rh (rechtspraak: peradilan). Baca dalam Ridwan HR.,
Hukum Administrasi Negara, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010, h. 42
58
I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, Op.Cit., h. 10
59
E.Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Bandung:
Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Negeri
Padjajaran, 1969
30
Definisi dan Unsur-unsur Negara
60
Ni’matul Huda,Ilmu…Op.Cit., h. 33
31
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
61
Bagir Manan, Hukum…Op.Cit., h. 3
62
M. Solly Lubis, Ilmu…Op.Cit., h. 16
63
J.G. Starke, Op.Cit., h. 80
64
F. Isjwara, Op.Cit., h. 96
32
Definisi dan Unsur-unsur Negara
65
Ni’matul Huda, Ilmu…Op.Cit., h. 36
33
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
34
BAB III
TUJUAN DAN FUNGSI NEGARA
A. Tujuan Negara
Negara dibentuk oleh persekutuan masyarakat yang
memiliki tujuan bersama. Dengan adanya tujuan bersama
tersebut, masyarakat berkumpul dalam bentuk negara.
Masyarakat negara diikat tidak hanya berdasarkan kesamaan
fisik, agama, ras dan sebagainya, namun diikat oleh adanya
kesamaan tujuan. Tujuan masyarakat tersebut menjadi dasar
dibentuknya negara. Untuk itu, maka setiap negara memiliki
tujuan-tujuan tertentu. Tujuan negara tidak dapat dipisahkan
dari eksistensi negara. Tujuan negara merupakan suatu
keharusan bagi sebuah negara. Tidak ada satu pun negara di
dunia yang tidak memiliki tujuan.
Tujuan negara menunjukkan cita negara yang ingin
diwujudkan. Tujuan negara bersifat abstrak dan idiil mengenai
sesuatu yang ingin diwujudkan oleh negara. Oleh karena itu,
tujuan negara berfungsi sebagai pedoman dan arahan untuk
menjalankan kekuasaan negara. Pelaksanaan kekuasaan negara
harus diarahkan pada terwujudnya tujuan negara. Negara
merupakan instrumen yang diberikan kekuasaan oleh rakyat
untuk mewujudkan apa yang menjadi tujuan mereka.
Berkaitan dengan apa yang menjadi tujuan negara, di bawah
ini diuraikan beberapa pandangan ahli:
35
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
66
F. Isjwara, Op.Cit., h. 164
67
Soehino, Op.Cit., h. 24
68
F. Isjwara, Loc.Cit
69
Ibid
36
Tujuan dan Fungsi Negara
70
Harold J. Laski, The State in Theory and Practice, New York: The Viking
Press, 1947, h. 253
71
M. Solly Lubis, Ilmu…Op.Cit., h. 44
72
Ni’matul Huda, Ilmu…Op.Cit., h. 55
73
Sjachran Basah, Op.Cit., h. 149
74
Soehino, Op. Cit., h. 31
75
Ibid, h. 58
37
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
76
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu…Op.Cit., h. 74
77
Soehino, Op.Cit., h. 105
78
F. Isjwara, Op.Cit., h. 163
79
Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999, h. 314
80
Deddy Ismatullah dan Asep A. Sahid Gatara, Ilmu Negara Mutakhir:
Kekuasaan, masyarakat, Hukum dan Agama, Bandung: Pustaka Attadbir, 2006,
h. 79
38
Tujuan dan Fungsi Negara
81
F. Isjwara, Op.Cit., h. 164
39
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
3. Philipina
Tujuan negara Philipina ditentukan dalam konstitusi negara
Piliphina yang menentukan bahwa “We, the sovereign Filipino
people, imploring the aid of Almighty God, in order to build a just
and humane society and establish a Government that shall embody
our ideals and aspirations, promote the common good, conserve
and develop our patrimony, and secure to ourselves and our pos-
terity the blessings of independence and democracy under the rule
of law and a regime of truth, justice, freedom, love, equality, and
peace, do ordain and promulgate this Constitution”.
4. Mesir
Tujuan negara Mesir ditentukan dalam konstitusi negara
Mesir yang menentukan bahwa “We, the Egyptian people, in
the name of God and by His assistance, pledge indefinitely and
unconditionally to exert every effort to realize:
First: Peace for our World…
Second: Arab Unity….
Third: National Development…
Fourth: Freedom and Humanity of Egyptians..”
B. Fungsi Negara
F. Isjwara menyatakan bahwa tujuan tanpa fungsi adalah
steriil, fungsi tanpa tujuan adalah mustahil.82 Hal tersebut
menunjukkan bahwa antara tujuan dan fungsi tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lainnya. Untuk itu, maka untuk
82
Ibid, h. 162
40
Tujuan dan Fungsi Negara
83
Diplomacy is negotiation or intercourse between nations through their represen-
tatives. The rules, customs, and privileges of representatives at foreign courts.
Baca: Henry Campbell Black, Op.Cit., h. 545-546
84
Romi Librayanto, Trias Politica Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia,
Makasar: PUKAP, 2008, h. 18
85
Legislative is Making or having the power to make a law or laws Making or giving
laws; pertaining to the function of law-making or to the process of enactment of
laws. Baca: Henry Campbell Black, Op.Cit., h. 1045
41
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
86
Executive is as distinguished from the legislative and judicial departments of gov-
ernment, the executive department is that which is charged with the detail of
carrying the laws into effect and securing their due observance. The word “execu-
tive” is also used as an impersonal designation of the chief executive officer of a
state or nation. Baca: Ibid., h. 678
42
Tujuan dan Fungsi Negara
87
Judicial is 1) belonging to the office of a judge; as judicial authority; 2) relating to
or connected with the administration of justice; as a judicial officer; 3) having the
character of judgment or formal legal procedure; as a judicial act; 4) proceeding
from a court of justice; as a judicial writ, a judicial determination; 5) Involving
the exercise of judgment or discretion; as distinguished from ministerial. Baca:
Ibid., h. 983
88
Miriam Budiardjo, Op.Cit., h. 152
89
Ni’matul Huda, Ilmu…Op.Cit., h. 74
43
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
90
L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita,
1968, h. 248
91
Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), Yogyakarta: FH
UII Press, 2005, h. 120
92
Menurut Julius Stahl Rechtstaat mempunyai ciri –ciri sebagai berikut yaitu
a). Perlindungan hak asasi manusia, b). Pembagian atau pemisahan
kekuasaan, c). Pemerintahan berdasarkan undang-undang, d). Peradilan
tata usaha neggara. Lihat: Ni’matul Huda, Lembaga Negara Dalam Masa
Transisi Demokrasi, Yogyakarta: FH UII Press, 2007, h. 57, Titik Triwulan
Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesai Pascaamandemen UUD 1945,
Jakarta: Cerdas Pustaka Publisher, 2008, h. 71
93
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2009, h. 281
44
Tujuan dan Fungsi Negara
94
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan
Dalam UUD 1945, Yogyakarta: FH UII Press, 2005, h. 35
95
Ibid
45
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
96
Romi Librayanto, Op.Cit., h. 22
97
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan
Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Gramedia, 1994, h. 31
98
Agus Wahyudi, Doktrin Pemisahan Kekuasaan: Akar Filsafat dan Praktek, Jurnal
JENTERA, Edisi 8 Tahun III, Maret 2005, h. 6
46
Tujuan dan Fungsi Negara
99
Ibid
100
Ni’matul Huda, Ilmu…Op.Cit., h. 76
47
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
101
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu…Op.Cit., h. 209
48
BAB IV
TEORI ASAL MULA NEGARA
102
Sjachran Basah, Op.Cit., h. 92
49
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
103
Ibid
104
Sir Ernest Barker, The Political Theory–Plato and his Predecessor, New York:
University Paperback – Barnes & Noble, 1960, h. 20-21
50
Teori Asal Mula Negara
105
J.J. Von Schmid; Ahli-ahli Pemikir Besar tentang Negara dan Hukum,
(terjemahan Mr. R. Wiratno dan Mr. Djamaluddin Dt. Singomangkuto),
Jakarta: Pembangunan, 1954, h. 9-10
106
Ibid., h. 10-11
51
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
107
Sjachran Basah, Op. Cit., h. 10
52
Teori Asal Mula Negara
108
Ibid., h. 104
109
Ibid., h. 107
53
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
110
Soehino, Op. Cit., h. 23
54
Teori Asal Mula Negara
and pursuit, is thought to aim at some good; and for this reasson the
good has rightly been declared to be that at which all things aim”.111
Dengan perbedaan ajaran filsafatnya, maka berakibat pula
pada perbedaan ajaran-ajaran antara Plato dan Aristoteles
tentang negara dan hukum. Aristoteles tidak membedakan
antara dunia cita-cita dengan dunia gejala-gejala, tetapi
pikirannya ditujukan langsung kepada kenyataan sebenarnya
dari dunia panca-indera.
Dalam bukunya Politica, Aristoteles menyatakan bahwa
negara terjadi karena penggabungan keluarga-keluarga menjadi
suatu kelompok yang lebih besar, kelompok itu bergabung lagi
hingga menjadi desa dan desa ini bergabung lagi, demikian
seterusnya hingga timbul negara. Negara dipandang suatu
organisme yang lebih mengutamakan kepentingan negara atau
masyarakat. Dengan dasar tersebut, Aristoteles mengemukakan
paham collectivisme, yakni paham yang lebih mementingkan
tujuan bersama daripada tujuan lainnya.112Aristoteles menyata-
kan bahwa negara adalah suatu persekutuan yang mempunyai
tujuan tertentu. Tujuan dari negara adalah untuk kepentingan
warga negaranya, agar mereka dapat hidup baik dan bahagia.
Menurut Aristoteles, negara merupakan satu kesatuan yang
tujuannya untuk mencapai kebaikan tertinggi, yaitu kesempur-
naan manusia sebagai bagian atau anggota dari negara.113
Di samping itu, Aristoteles mengemukakan bentuk-bentuk
negara berdasarkan jumlah orang yang memimpin. Bentuk-
bentuk negara tersebut ada bentuk ideal dan ada juga bentuk
kemerosotan. Bentuk-bentuk negara tersebut adalah sebagai
berikut:114
a. Negara yang pemerintahannya dipegang oleh satu orang saja
dibagi menjadi 2 yakni monarki (kepentingan umum) dan
tyrani (kepentingan diri sendiri). Monarki adalah bentuk
111
Sjahcran Basah, Op.Cit., h. 113
112
Soehino, Op.Cit., h. 26
113
Ibid., h. 24
114
Ibid., h. 26-27
55
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
115
Ibid., h. 29-30
56
Teori Asal Mula Negara
116
Ibid., h. 31
117
Sjahcran Basah, Op. Cit., h. 120
57
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
pada saat itu saja, sedang untuk kemudian hari tidak mempunyai
nilai sama sekali. Karena keadaan telah berubah. Ajaran Epicurus
ini khusus ditujukan untuk memperbaiki atau mengatasi
kebobrokan masyarakat pada saat itu saja.
118
Soehino, Op.Cit., h. 32
119
Ibid.
58
Teori Asal Mula Negara
1. Polybius
Menurut Polybius, bentuk negara atau pemerintahan yang
sebenarnya adalah akibat dari bentuk negara lain yang telah
langsung mendahuluinya. Dan bentuk negara terakhir yang
kemudian akan menjadi sebab dari bentuk negara yang
berikutnya, demikian seterusnya sampai bentuk-bentuk negara
tersebut terulang kembali. Jadi, di antara berbagai bentuk negara
tersebut terdapat hubungan sebab akibat. Bentuk-bentuk negara
tersebut berubah-ubah sehingga perubahannya merupakan
suatu lingkaran atau suatu cyclus. Hal inilah yang kemudian
menjadi dasar dari penyebutan teorinya yang terkenal dengan
nama “Cyclus Theorie”.
Menurut ajaran Polybius dalam cyclus theorie tersebut,
bentuk negara dapat digolongkan menjadi tiga golongan besar,
yang kemudian masing-masing golongan dibedakan lagi
menjadi 2 (dua) jenis. Dengan demikian, ajaran-ajaran dari Plato,
Aristoteles dan Polybius tentang bentuk-bentuk negara pada
prinsipnya adalah sama yaitu bahwa mereka berpendapat ada
tiga bentuk negara yang pokok, kemudian masing-masing
59
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
60
Teori Asal Mula Negara
61
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
62
Teori Asal Mula Negara
122
Sjachran Basah, Op.Cit., h. 140
123
Soehino, Op.Cit., h. 43
63
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
1. Augustinus (354-430 M)
Augustinus adalah penganut ajaran teokratis (ketuhanan).
Dengan ajarannya tersebut, Augustinus menyatakan bahwa
kedudukan gereja yang dipimpin oleh paus, lebih tinggi dari
pada kedudukan negara yang dipimpin oleh raja. Augustinus
menyatakan bahwa adanya negara di dunia merupakan suatu
kejelekan, tetapi adanya itu merupakan suatu keharusan. Yang
terpenting adalah terciptanya suatu negara seperti yang diangan-
angankan atau dicita-citakan oleh agama, yaitu kerajaan Tuhan.
Maka dari itu, negara yang ada di dunia ini hanya merupakan
suatu oraganisasi yang mempunyai tugas untuk memusnahkan
perintang-perintang agama dan musuh gereja. Jadi, telah jelaslah
64
Teori Asal Mula Negara
124
Ibid., h. 51
125
Ibid., h. 52
126
Ibid
65
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
127
Sjachran Basah, Op.Cit., h. 144
66
Teori Asal Mula Negara
128
Soehino, Op.Cit., h. 60
67
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
129
Ibid., h. 61
130
Ibid., h. 62
131
Sjarhran Basah, Op.Cit., h. 145-146
68
Teori Asal Mula Negara
3. Marsilius (1270-1430 M)
Mengenai ajaran tentang kenegaraan, Marsilius sangat
dipengaruhi oleh ajaran Aristoteles. Menurutnya, negara adalah
suatu badan atau organisme yang mempunyai dasar-dasar
hidup dan mempunyai tujuan tertinggi, yaitu menyeleng-
garakan dan mempertahankan perdamaian.132
Ajaran Marsilius sangatlah berbeda dengan ajaran-ajaran
Augustinus dan Thomas Aquinas, oleh karena dalam ajaran
Marsilius sangat tampak peranan orang atau individu dalam
pembentukan negara atau masyarakat. Menurut Marsilius,
terbentuknya negara tidak semata-mata karena kehendak Tuhan
atau karena kodrat Tuhan, melainkan negara itu terjadi karena
perjanjian dari orang-orang yang hidup bersama untuk
menyelenggarakan perdamaian. Jadi, ajaran Marsilius tentang
terbentuknya negara telah terlihat dasar-dasar dari perjanjian
masyarakat yang merupakan lanjutan dari ajaran Epicurus yang
meletakkan benih-benihnya. Menurut Marsilius, dalam per-
janjian itu, rakyat membentuk negara dan menunjuk menunjuk
seorang yang diserahi tugas untuk memelihara perdamaian, dan
terhadap orang yang ditunjuk itu mereka menundukkan diri.
Hal inilah yang kemudian disebut dengan perjanjian
penundukan atau Factum Subjectiones.133
132
Soehino, Op.Cit., h. 64
133
Ibid., h. 65
69
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
134
Ibid
70
Teori Asal Mula Negara
135
Ibid., h. 68
71
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
136
J.J. Von Schmid, Op. Cit., h. 108
137
Soehino, Op. Cit., h. 71
138
Ibid., h. 72
72
Teori Asal Mula Negara
139
Sjachran Basah, Op. Cit. h. 160
140
Soehino, Op.Cit., h. 73
141
Sjachran Basah, Loc. Cit.
73
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
74
Teori Asal Mula Negara
143
Soehino, Op.Cit., h. 78
144
F. Isjwara, Op.Cit., h. 108
145
Soehino, Op.Cit., h. 79
75
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
1. Melanchthon
Pendapat Melanchthon tentang negara sebetulnya
menitikberatkan pada hukum alam yang dengan langsung
mengajarkan kepada manusia apa yang menjadi kehendak
Tuhan. Menurutnya, negara juga harus mengajarkan kepada
manusia supaya mengenal kehendak Tuhan. Artinya, negara
146
Ibid., h. 80
147
Ibid., h. 81
76
Teori Asal Mula Negara
2. Zwingli
Zwingli hendak melindungi semangat negaranya dari
pengaruh-pengaruh buruk yang datang dari luar, inilah tujuan
utamanya. Menurutnya, negara mempunyai hak untuk meng-
atur sendiri kehidupan masyarakatnya berdasarkan kemauan-
nya sendiri. 149 Jadi, ajaran Zwingli ini lebih mengarah ke
demokrasi, di mana kehendak negara bersumber dari kehendak
rakyat.
77
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
1. Grotius/Hugo de Groot(1583-1645 M)
Dalam menetapkan dasar-dasar modern tentang negara dan
hukum, Grotius sangat terpengaruh oleh ajaran Aristoteles yang
berpendapat bahwa manusia adalah makhluk sosial, sehingga
manusia memiliki hasrat untuk selalu hidup bersama (ber-
masyarakat).150 Namun demikian, selain hal tersebut manusia
adalah makhluk yang memiliki akal atau rasio yang tidak
dimiliki oleh makhluk lainnya sehingga kepentingan dan
keuntungan diri sendiri yang menyingkirkan kepentingan
umum tidak dapat dijadikan dasar dalam berpikir tentang
keadilan.
Grotius merupakan penganut hukum alam yang meng-
uraikan tentang hubungan hukum alam dengan hukum perang
dan hukum damai. Di mana dalam keadaan damai, hukum di
suatu negara dapat dihormati oleh negara lain dan pada saat
perang tidak ada suatu penghormatan terhadap terhadap
hukum negara lain sehingga negara-negara itu bertindak sendiri-
sendiri.
Menurut Grotius, negara terbentuk karena adanya per-
janjian yang didasarkan pada kodrat manusia sebagai makhluk
sosial serta rasio untuk mencapai ketertiban dan kemanan
umum. Faktor-faktor itulah yang kemudian mendorong manusia
membuat perjanjian berisi tugas dan kewajiban untuk mencapai
tujuan ketertiban dan kemanan umum, di mana perjanjian itu
diserahkan kepada raja untuk melaksanakan tujuan tersebut.151
150
Ibid., h. 149
151
Soehino, Op.Cit., h. 97
78
Teori Asal Mula Negara
152
J.J. Von Schmid, Op.Cit., h. 157
153
Soehino, Op.Cit., h. 99
79
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
154
Ibid., h. 100
155
Ibid.
156
F. Isjawara, Op.Cit., h. 109
80
Teori Asal Mula Negara
81
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
157
Ibid. h. 107-108
82
Teori Asal Mula Negara
5. Montesquieu (1688-1755 M)
Sama halnya dengan pemikir hukum lainnya, Montesquieu
juga menyatakan bahwa asal mula negara berawal dari kondisi
alamiah manusia yang tanpa kepastian, keteraturan dan
ketertiban serta tanpa perlindungan. Untuk itu, maka manusia
membentuk perjanjian masyarakat untuk membentuk negara
dan menunjuk pemimpin dengan tugas utama untuk
memberikan perlindungan terhadap hak-hak kodrati manusia.
Untuk itu, maka dasar pemikiran Montesquieu adalah adanya
kewajiban raja untuk menghormati hak-hak alami manusia yang
telah dipercayakan kepadanya.
Untuk menghormati hak-hak alami manusia tersebut, maka
kekuasaan raja tidak boleh absolut, namun kekuasaan tersebut
harus dibatasi. Menurut Montesquieu, bahwa cara untuk
membatasi kekuasaan raja yang absolut adalah dengan cara
memisahkan kekuasaan negara, baik secara fungsional maupun
secara institusional. Dengan dasar tersebut, maka Montesquieu
membagi kekuasaan negara menjadi 3 (tiga) yakni:
158
Ibid., h. 107-108
159
Ibid.
83
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
160
Miriam Budiardjo, Op.Cit., h. 152
161
Ni’matul Huda, Ilmu…Op.Cit., h. 74
84
Teori Asal Mula Negara
162
Soehino, Op.Cit., h. 119
163
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar…Op.Cit., h. 125
85
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
164
Ibid., h. 124
165
Soehino, Op.Cit., h. 161
166
Ibid., h. 121
86
Teori Asal Mula Negara
167
Ibid., h. 123
87
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
2. Karl Marx
Karl Marx menyatakan bahwa negara adalah penjelmaan
dari pertentangan-pertentangan kekuatan ekonomi. Negara
dipergunakan sebagai alat dari mereka yang kuat yaitu orang
yang memiliki alat-alat produksi untuk menindas golongan yang
ekonominya lemah. Menurut Marx, negara akan lenyap dengan
sendirinya apabila di dalam masyarakat sudah tidak terdapat
perbedaan-perbedaan kelas dan pertentangan-pertentangan
ekonomi.170
3. Harold J. Laski
H.J. Laski berpendapat bahwa negara adalah suatu alat
pemaksa (dwang organizatie) untuk melaksanakan dan
168
Ibid. h. 127
169
Ibid., h. 133
170
Ibid
88
Teori Asal Mula Negara
4. Leon Duguit
Leon Duguit menyatakan bahwa orang-orang yang kuat
memaksakan kemauannya kepada orang lain yang dianggap
lemah karena mereka memiliki keunggulan berupa fisik,
ekonomi, kecerdasan, agama, politik dan sebagainya.172
171
Ibid., h. 134
172
Ibid
173
J.J. Von Schmid, Op.Cit., h. 24
89
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
174
Soehino, Op.Cit., h. 140
90
Teori Asal Mula Negara
175
Ibid. h. 141
176
Ibid., h. 142
177
Ibid., h. 143
91
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
178
F. Isjwara, Op.Cit., h. 154
179
Ibid., h. 155
180
Ibid
92
Teori Asal Mula Negara
1. Organisme Moral
Teori Organisme Moral bersifat metafisis-idealistis. Menurut
teori ini, negara bukan merupakan buatan manusia, melainkan
suatu pribadi moral yang merupakan akibat dari kodrat manusia
sebagai makhluk moral. Selanjutnya, Georg Wilhelm Hegel
beranggapan bahwa negara sebagai penjelmaan ekstern dari
semangat moral (moral spirit) individu sehingga negara
dipandang sebagai organisme dengan kepribadian yang mulia.
Karenanya, negara harus dipuja dan didewakan.
2. Organisme Phsykis
Teori Organisme Phsykis bersifat bio-psikologis. Menurut
teori ini, negara digambarkan seperti makhluk hidup yang
memiliki atribut-atribut kepribadian rohaniah sebagai manusia
(human mental personality). Pertumbuhan dan perkembangan
negara disamakan dengan perkembangan intelektual dari
individu.
3. Organisme Biologis
Menurut teori organisme biologis, negara timbul sebagai
salah satu manifestasi dari pertumbuhan ilmu-ilmu biologi.
Negara diselidiki dengan menggunakan metode dan peng-
golongan dari ilmu biologi. Karenanya, teori ini beranggapan
181
Ibid., h. 156
93
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
4. Organisme Sosiologis
Ajaran organisme sosiologis sangat erat hubungannya
dengan ajaran organis dari masyarakat dan persekutuan-
persekutuan lainnya. Masyarakat dipandang sebagai suatu
keseluruhan yang bersifat organis. Negara sebagai salah satu
bentuk pengelompokan sosial yang juga bersifat organis.
94
BAB V
TEORI KEDAULATAN
A. Pengertian Kedaulatan
Kedaulatan merupakan padanan kata dari sovereignty
(Inggris), souverainete (Prancis), dan suvranus (Itali). Kata tersebut
diturunkan dari bahasa Latin supranus yang berarti “yang
tertinggi” (supreme). Kata supranus sering disamakan dengan
istilah summa potestas atau plenitudo potestatis yang berarti
wewenang tertinggi dari suatu kekuasaan politik. 182 Istilah
supranus tersebut selalu diartikan sebagai otoritas pemerintahan
dan hukum.183
Menurut Black’s Law Dictionary, “sovereign is s person, body,
or state in which independent and supreme authority is vested; achief
ruler with supreme power; a king or otherruler with limited
power”.184Black’s Law Dictionary edisi ke-7 juga menyatakan
bahwa “soevereignity is 1) supreme dominion, authority, or rule; 2)
the supreme political authority of an independent state; 3) the state
itself.185 Sedangkan Oxford Dictionary of Law menyatakan bahwa
182
F. Isjwara, Op.Cit., h. 107
183
Francis W. Koker, Sovereignty, Encyclopaedia of Social Science, vol. 14, h.
265
184
Henry Campbell Black, Op.Cit., h.1568
185
Bryan A Garner, Black’s Law Dictionary, 7th, ST. Paul, Minn. West Publish-
ing, Co., 1891, 1999, h. 1402
95
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
186
Elizabeth A. Martin, Op.Cit., h. 469
187
F. Isjwara, Op.Cit., h. 108
188
Soehino, Op.Cit., h. 88
96
Teori Kedaulatan
189
F. Isjwara, Loc. Cit
190
Soehino, Op.Cit., h. 79
191
F. Isjawara, Op.Cit., h. 109
97
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
98
Teori Kedaulatan
B. Jenis-Jenis Kedaulatan
Kedaulatan merupakan konsep yang abstrak yang dapat
dibedakan ke dalam berbagai jenis, yakni:
1. Kedaulatan Tuhan
Teori kedaulatan Tuhan menyatakan bahwa yang meme-
gang kekuasaan tertinggi adalah Tuhan. Kekuasaan negara
bersumber dari Tuhan, karenanya, penguasa yang menjalankan
kekuasaan negara merupakan wakil dari Tuhan. Negara tidak
melaksanakan kedaulatan yang asli, namun diberikan oleh
Tuhan. Tuhan merupakan causa prima atas negara, artinya bahwa
negara muncul karena kehendak Tuhan, sehingga kekuasaan
negara diberikan berdasarkan kehendak Tuhan.
Mochtar Efendi menyatakan bahwa bahwa ajaran ke-
daulatan Tuhan muncul oleh adanya kepercayaan orang
beragama, bahwa Tuhan-lah yang menjadi maha pencipta alam
semesta dengan segenap isinya, sehingga Tuhan-lah yang
mempunyai kekuasaan tertinggi di seluruh alam semesta.195
Senada dengan hal tersebut, Ni’matul Huda menyatakan bahwa
Tuhan menciptakan seluruh alam semesta ini, segala makhluk-
makhluk yang hidup di dunia ini. Oleh karena itu, Tuhan
berkuasa dalam negara.196
194
Ibid., h. 111
195
Muchtar Affandi, Op.Cit., h. 215
196
Ni’matul Huda, Ilmu…Op.Cit., h. 173
99
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
100
Teori Kedaulatan
2. Kedaulatan Raja
Teori kedaulatan raja menyatakan bahwa yang memegang
kekuasaan tertinggi adalah raja. Marsilius menyatakan bahwa
raja merupakan wakil Tuhan di dunia. 197 Raja memiliki
kedaulatan untuk melakukan apapun, karena perbuatannya
sudah menjadi kehendak Tuhan. Raja tidak wajib bertanggung
jawab kepada siapapun, kecuali kepada Tuhan.
Raja merupakan orang yang suci, bijaksana, sehingga tidak
sama dengan rakyat. Kedudukan raja sangatlah kuat, karena raja
merupakan orang yang menerima mandat dari Tuhan untuk
menjaga perdamaian di dunia. Hendra Nurtjahjo menyatakan
bahwa raja memperoleh hak untuk memimpin karena diberikan
hak untuk memerintah secara mutlak oleh Tuhan. Karenanya,
kekuasaan politik yang dimiliki para raja tidak dapat dicabut
oleh rakyat jelata.198
Menurut Jean Bodin, raja merupakan merupakan bayangan
Tuhan “Le Prince est I’image de Dieu”.Karenanya, raja tidak
bertanggung jawab kepada siapapun, kecuali pada Tuhan.
Karenanya, raja merupaka “legibus solutes summa in Civics ac
Sabditos Legibusque Solute Poteste (kekuasaan supra dari negara
atas warga negara dan rakyatnya, yang tidak dibatasi oleh
hukum). 199 Senada dengan hal tersebut, Thomas Hobbes
menyatakan bahwa raja berada di atas undang-undang (prin-
ceps legibus solutus est). Tomas Hobbes menyatakan bahwa raja
yang memiliki kekuasaan untuk membentuk undang-undang,
karenanya raja berada di atas undang-undang.200 Raja tidak boleh
197
Soehino, Op.Cit., h. 154
198
Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, Jakarta: Bumi Aksara, 2006, h. 32
199
F. Isjwara, Op.Cit., h. 108
200
Ibid., h. 109
101
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
3. Kedaulatan Negara
Teori kedaulatan negara menyatakan bahwa yang me-
megang kekuasaan tertingggi adalah negara. Negara merupakan
pemegang kekuasaan tertinggi terhadap rakyatnya, sehingga
201
Arief Budiman, Teori Negara, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996, h.
26
102
Teori Kedaulatan
202
Loc.Cit
203
Ibid, h. 110
204
Mochtar Affandi, Op.Cit., h. 215-216
205
Ibid., h. 217
206
Ibid
103
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
207
Muh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu..Op.Cit., h. 122
208
Padmo Wahyono, Negara Republik Indonesia, Jakarta: Academica, 1980, h.
62
209
Abu Daud Busroh, Ilmu…Op.Cit., h. 71
210
M. Solly Lubis, Hukum Tata Negara, Bandung: Mandar Maju, 1972, h. 43
211
Muchtar Affandi, Op.Cit., h. 217
104
Teori Kedaulatan
4. Kedaulatan Hukum
Teori kedaulatan hukum menyatakan bahwa yang
memegang kekuasaan tertinggi adalah hukum itu sendiri.
Artinya bahwa satu-satunya sumber kedaulatan adalah hukum.
Hukum merupakan sesuatu yang supreme dalam negara. Rakyat
dan penguasa, bahkan negara harus tunduk kepada hukum.
Karenanya, semua tindakan negara, penguasa dan rakyat harus
sesuai dengan hukum. Hukum memiliki kekuasaan untuk
mewajibkan setiap orang untuk mentaati hukum. Sebagai
sesuatu yang supreme, maka hukum tidak boleh dilanggar oleh
negara, penguasa dan rakyat. Negara, penguasa dan rakyat
dilarang bertindak dan berbuat yang tidak sesuai dengan
hukum. Oleh karena itu, hukum bersifat memaksa, dan apabila
dilanggar maka hukum mengancam dengan sanksi. Hukum
menjadi pedoman dan koridor bagi negara, penguasan dan
rakyat untuk melakukan segala tindakan hukum mereka.
Hukum berfungsi sebagai rule of the game dalam penye-
lenggaraan kekuasaan negara.
Teori kedaulatan hukum lahir sebagai bantahan terhadap
teori kedaulatan negara yang diutarakan oleh Jean Bodin, John
Austin dan George Jellinek yang menyatakan bahwa yang
berdaulat adalah negara, sehingga hukum merupakan kemauan
105
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
212
Soehino, Op.Cit., h. 156
213
Abu Daud Busroh, Ilmu…Op.Cit., h. 72
214
Ibid
215
Muchtar Affandi, Op.Cit., h. 220
106
Teori Kedaulatan
216
Muh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu…Op.Cit., h. 124
217
Ibid
107
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
5. Kedaulatan Rakyat
Teori kedaulatan rakyat lahir sebagai bantahan atas teori
kedaulatan raja, yang memberikan kekuasaan yang sangat besar
dan absolut kepada raja, sehingga sering merugikan hak asasi
warga negara. Untuk itu, muncul ide pembatasan kekuasaan
raja yang dipelopori oleh kaum monarchomachen dengan
menyatakan bahwa rakyatlah yang berdaulat penuh dan bukan
raja, karena raja berkuasa atas persetujuan rakyat. 218 Ide
pembatasan kekuasaan raja tersebut kemudian dilanjutkan oleh
penganut ajaran hukum alam, seperti John Locke, JJ Rousseau,
Montesquieu dan Imanual Kant, yang secara umum menyatakan
bahwa kekuasaan raja perlu dibatasi dengan cara membagi atau
memisahkan kekuasaan negara menjadi legislative, executive dan
judicial atau sering dikenal dengan teori trias politica.
Teori kedaulatan rakyat menyatakan bahwa yang
memegang kekuasaan tertinggi adalah rakyat itu sendiri. Rakyat
berdaulat penuh dalam negara, sehingga raja memegang ke-
kuasaan atas persetujuan rakyat. Karenanya, kekuasaan negara
bersumber dari kehendak rakyat. Orang memegang kekuasaan
dalam negara, karena rakyat memberikan persetujuannya
kepada orang tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut, F. Isjwara
menyatakan bahwa kedaulatan rakyat dimaksudkan kekuasaan
rakyat sebagai tandingan atau imbangan terhadap kekuasaan
penguasa tunggal atau yang berkuasa. Dalam hal ini ditarik garis
pemisah yang tajam antara rakyat yang diperintah pada satu
pihak dan penguasa-penguasa masyarakat sebagai pemerintah
pada pihak lain. Yang benar-benar berdaulat dalam hubungan
ini ialah rakyat yang diperintah itu.219
218
F. Isjwara, Op.Cit., h. 116
219
Ibid
108
Teori Kedaulatan
220
Arif Budiman, Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi, Jakarta:
Gramedia Pustaka, 1996, h. 29
221
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar…Op.Cit., h. 125
109
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
222
Ibid., h. 124
110
Teori Kedaulatan
223
Soehino, Op.Cit., h. 161
224
Anwar C., Teori dan Hukum Konstitusi, Malang: In-Trasn, 2008, h. 38
225
Ahmad Azhar Basyir, Negara dan Pemerintahan Dalam Islam, Yogyakarta:
UII Press, 2000, h. 42
226
Anwar C., Op.Cit., h. 36
111
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
227
I Gde Pantja Astawa, Hak Angket dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Menurut UUD 1945, Bandung: Disertasi, PPS Unpad, 2000, h. 67
228
Andrew Heywood, Politics, 2th, New York: Palgrave, 2002, h. 67
229
F. Isjwara, Op.Cit., h. 116
230
Ibid, h. 117
231
C.F. Strong, Modern Political Constitution An Introduction to the Comparative
Studi of their Histrory and Existing Form, London: Sidwick & Jackson Ltd.,
1975, h. 80
112
Teori Kedaulatan
2. kedaulatan ekstern
Kedaulatan eksternintern adalah kedaulatan dalam
hubungan antar negara. Kedaulatan ekstern memperlihat
aspek negatif yakni keadaan tidak tergantung pada negara-
negara lain, karenanya kedaulatan lebih lazim disebut sebagai
kemerdekaan “independence” yaitu keadaan yang menunjuk-
kan kebebasan negara dari kekuasaan negara-negara lainnya,
keadaan tidak bergantung kepada negara lain.233 CF Strong
menyatakan bahwa “external sovereignty is the absolute inde-
pendence of one state as a whole with reference to all other state”.234
Senada dengan hal tersebut, Black’s Law Dictionary menyata-
kan bahwa “external sovereignty is the power of dealing on a
nation’s behalf with the other national government”.235 Dari uraian
di atas, maka kedaulatan ekstern adalah kekuasaan yang
dimiliki oleh negara untuk melakukan hubungan luar negeri
dengan negara berdaulat lainnya. Dalam aspek hukum
internasional, kedaulatan ekstern ini merupakan unsur negara
yang bersifat konstitutif. Untuk itu, maka negara dapat
dikatakan berdaulat, apabila ada pengakuan dari negara lain
akan kedaulatannya. Bahkan kedaulatan ekstern ini
232
Bryan A Garner, Op.Cit., h. 1402
233
F. Isjwara, Op.Cit., h. 117
234
CF. Strong, Op.Cit., h. 80
235
Bryan A. Garner, Op.Cit., h. 1402
113
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
C. Legitimasi Kekuasaan
Black’s Law Dictionary menyatakan bahwa legitimasi
adalah “that which is lawful, legal,recognized by law, or according to
law; as legitimatechildren, legitimate authority, lawful power,legitimate
sport or amusement”.238Dari pengertian tersebut, maka legitimasi
adalah sesuatu yang sesuai atau tidak bertentang dengan hukum.
Untuk memperoleh legitimasi, maka sesuatu hal atau perbuatan
harus sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan oleh
hukum. Hukum merupakan satu-satunya instrumen yang dapat
dijadikan sebagai alat uji untuk menentukan apakah sesuatu hal
atau perbuatan mempunyai legitimasi atau tidak. Untuk itu,
secara a contrario dapat dikatakan bahwa sesuatu yang tidak
sesuai dengan hukum atau bertentangan dengan hukum adalah
sesuatu yang tidak mempunyai legitimasi.
236
F. Isjawara, Op.Cit., h. 123
237
Ibid, h. 123-124
238
Henry Campbell Black, Op.Ci., h. 1046
114
Teori Kedaulatan
239
Ibid, h. 1333-1334
115
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
116
Teori Kedaulatan
117
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
118
Teori Kedaulatan
119
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
120
BAB VI
TEORI BENTUK NEGARA
DAN BENTUK PEMERINTAHAN
A. Bentuk Negara
Bentuk negara merupakan kajian dalam ilmu negara yang
melukiskan dasar-dasar negara, susunan dan tertib suatu negara
berhubungan dengan organ tertinggi dalam negara itu dan
kedudukan masing-masing organ itu dalam kekuasaan negara.240
Sedangkan Ni’matul Huda menyatakan bahwa bentuk negara
merupakan batas antara peninjauan secara sosiologis dan
peninjauan secara yuridis. Peninjauan secara sosiologis yaitu
apabila negara dilihat secara keseluruhan tanpa melihat isinya
dan bagiannya. Disebut peninjuan secara yuridis yaitu apabila
negara hanya dilihat dari isinya atau strukturnya.241 Adapun
Bagir Manan menyatakan bahwa bentuk negara menyangkut
kerangka bagian luar organisasi negara, yang dibedakan antara
bentuk negara kesatuan dan bentuk negara federal. 242Dari
penjelasan di atas, maka bentuk negara berkaitan dengan siapa
pemegang kedaulatan dalam negara, apakah pemerintah pusat/
pemerintah federal atau pemerintah daerah/negara bagian. Di
samping itu, bentuk negara juga berkaitan dengan hubungan
antara pemerintah pusat atau pemerintah federal dengan
240
F. Isjwara, Op.Cit., h. 184
241
Ni’matul Huda, Ilmu…Op.Cit., h. 227
242
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Yogyakarta: Pusat Studi Hukum UII
dengan Gama Media, 1999, h. 1
121
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
243
Soehino, Op.Cit., h. 17
122
Teori Bentuk Negara dan Bentuk Pemerintahan
b. Timokrasi
Timokrasi adalah bentuk negara di mana pemerintahannya
dilaksanakan dan ditujukan untuk kepentingan penguasa
sendiri. Kekayaan dan pendapatan negara untuk kepentingan
mereka sendiri. Karena itu, kemudian kekuasaan negara itu
jatuh dan dipegang oleh hartawan (partikelir).
c. Oligarki
Oligarki adalah bentuk negara di mana pemerintahannya
dipegang oleh orang-orang kaya yang mempunyai hasrat
untuk memperkaya diri sendiri. Keadaan tersebut me-
nimbulkan kemelaratan dan kesengsaraan bagi rakyat.
Rakyat-rakyat miskin tersebut kemudian mengadakan
tekanan kepada penguasa dan bersatu untuk melawan para
penguasa.
d. Demokrasi
Demokrasi adalah bentuk negara di mana pemerintahannya
dipegang oleh rakyat dan kepentingan umumlah yang
diutamakan dengan prinsip utama kemerdekaan dan
kebebasan. Namun demikian, kemerdekaan dan kebebasan
tersebut disalahgunakan oleh warga negara, sehingga
muncul kebebasan dan kemerdekaan tanpa batas. Kemer-
dekaan dan kebebasan yang tanpa batas tersebut akhirnya
menimbulkan anarkis, karena setiap orang bebas bertindak
sesuai dengan kehendak dan keinginannya. Tidak ada
satupun aturan yang membatasi kebebasan dan kemerdekaan
tersebut. Kondisi inilah yang disebut dengan chaos, di mana
setiap orang tidak mau diperintah atau diatur.
e. Tyrani
Tyrani adalah bentuk negara di mana pemerintahannya
dipegang oleh satu orang yang dianggap mampu untuk
mengatasi anarki sehingga tidak segan-segan menyingkirkan
musuh-musuhnya sehingga pemerintahannya sangat jauh
dari keadilan. Bentuk negara ini dipimpin oleh seorang raja
yang mempunyai kekuasaan yang sangat absolut dan raja
123
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
244
Ibid., h. 26
124
Teori Bentuk Negara dan Bentuk Pemerintahan
125
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
126
Teori Bentuk Negara dan Bentuk Pemerintahan
246
Ibid., h. 38
247
I Gde Panjta Astawa dan Suprin Na’a, Op.Cit., h. 96
127
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
128
Teori Bentuk Negara dan Bentuk Pemerintahan
129
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
248
Bagir Manan, Lembaga…Op.Cit.,h. 1
249
Sri Soemantri Martosoewignjo, Sistem-Sistem Pemerintahan Negara-Negara
ASEAN, Bandung: Tarsito, 1976, h. 224
250
Soehino, Op.Cit., h. 181
251
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika, 2010, h. 211
252
Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme,
Jakarta: Graha Ilmu dan Universitas Pancasila Press, 2009, h. 44
130
Teori Bentuk Negara dan Bentuk Pemerintahan
253
Bagir Manan, Lembaga…Op.Cit., h. 1
254
Soehino, Op.Cit., h. 224
255
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Cet. 7, Jakarta: Grasindo, 2010, h.
216
256
Edie Toet Hendratno, Loc.Cit
131
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
257
CF. Strong, Op.Cit., h. 84
258
Ibid
259
Soehino, Op.Cit., h. 224
260
M. Solly Lubis, Pergeseran Garis Politik dan Perundang-undangan Mengenai
Pemerintah Daerah, Bandung: Alumni, 1983, h. 8
132
Teori Bentuk Negara dan Bentuk Pemerintahan
261
Edie Toet Hendratno, Op.Cit., h. 46
262
Ibid., h. 45
263
Ibid.
264
F. Isjwara, Op.Cit., h. 188
265
Abu Daud Busroh, Ilmu…Op.Cit., h. 64-65
133
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
kesatuan itu juga hanya ada satu pemerintahan, yaitu pemerintah pusat
yang mempunyai kekuasaan atau kewenangan tertinggi dalam segala
lapangan pemerintahan. Pemerintahan pusat inilah yang pada tingkat
terakhir dan tertinggi dapat memutuskan segala sesuatu dalam negara
tersebut.
134
Teori Bentuk Negara dan Bentuk Pemerintahan
269
Bonar Simorangkir, et.al., Otonomi Atau Federalisme Dampaknya Terhadap
Perekonomian, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan dan Harian Suara
Pembaruan, 2000, h. 14
270
F. Isjwara, Op.Cit., h. 179
271
Sri Soemantri Martosuwignyo, Pengantar Perbandingan Hukum Tata Negara,
Jakarta: Rajawali, 1981, h. 52
135
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
272
RG Kartasapoetra, Sistematika Hukum Tata Negara, Jakarta: Bina Aksara,
1987, h. 87-98
273
E Koeswara, Otonomi Daerah, Untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat,
Jakarta: Yayasan PARIBA, 2001, h. 17
274
Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Cet.3Jakarta:
Sinar Grafika, 2009, h. 13
275
Bagir Manan, Politik Hukum Otonomi Sepanjang Peraturan Perundang-
Undangan Pemerintahan Daerah” dalam Martin H. Hutabarat, dkk.,
(Penyunting), Hukum dan Politik Indonesia Tinjauan Analitis Dekrit Presiden
dan Otonomi Daerah, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996, h. 140
136
Teori Bentuk Negara dan Bentuk Pemerintahan
137
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
276
Soehino, Op.Cit., h. 226
277
Josep Rudolf., Federation dalam International Encyclopedia of Governemnet
and Politics, Vol. I, Singapura: Topan, 1996, h. 467
138
Teori Bentuk Negara dan Bentuk Pemerintahan
278
R. Kranenburg, Op.Cit., h. 180
279
Soehino, Op.Cit., h. 227
139
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
280
CF. Strong, Op.Cit., h. 104
281
Ibid, h. 105
140
Teori Bentuk Negara dan Bentuk Pemerintahan
282
Edi Toet Hendratno, Op.Cit., h. 58
141
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
283
Miriam Budiardjo, Op.Cit., h. 141
284
Syahda Guruh LS, Menimbang Otonomi vs Federal, Bandung: Remaja Rosda
Karya, 2000, h. 83
285
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, diterjemahkan oleh
Raisul Muttaqien, Bandung: Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa, 2006,
h. 448-452
142
Teori Bentuk Negara dan Bentuk Pemerintahan
143
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
286
Syaukani, dkk., Otonomi Dalam Negara Kesatuan, Yokyakarta: Pustaka
Pelajar kerja sama dengan PUSKAP, 2002, h. 4-5
144
Teori Bentuk Negara dan Bentuk Pemerintahan
287
Miriam Budiardjo, Op.Cit., h. 110
145
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
288
Ibid
146
Teori Bentuk Negara dan Bentuk Pemerintahan
147
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
289
Ibid, h. 139
148
Teori Bentuk Negara dan Bentuk Pemerintahan
290
Ibid., h. 142
291
Ibid
149
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
B. Bentuk Pemerintahan
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa bentuk
pemerintahan berbeda dengan bentuk negara.Jika bentuk negara
Berkaitan dengan bagian luar dari negara atau susunan negara,
maka bentuk pemerintahan Berkaitan bagian dalam negara.
Berkaitan dengan hal tersebut, Bagir Manan menyatakan bahwa
bentuk pemerintahan berkaitan dengan bagian dalam, yaitu
pemerintahan negara yang dibedakan antara pemerintahan
republik dan pemerintahan kerajaan.292Jimly Asshiddiqie juga
membagi bentuk pemerintahan kedalam bentuk pemerintahan
republik dan bentuk pemerintahan kerajaan (monarki). 293
Adapun Montesqieu membagi bentuk pemerintahan kedalam
292
Bagir Manan, Lembaga…Op.Cit., h. 1
293
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi…Op.Cit., 211
150
Teori Bentuk Negara dan Bentuk Pemerintahan
294
Edi Toet Hendratno, Op.Cit., h. 88
295
Henry Campbell Black, Op.Cit., h. 1467
296
Bagir Manan, Lembaga…Op.Cit. h. 2-3
297
Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan
UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2009, h. 42
298
Henry Campbell Black, Op.Cit., h. 1156
151
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
299
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar…Op.Cit., h. 166
300
Soehino, Op.Cit., h. 174
301
Azhary, Ilmu Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1974, h. 53
152
Teori Bentuk Negara dan Bentuk Pemerintahan
ditentukan oleh satu orang, tiada badan atau orang yang dapat
ikut campur dalam pembentukan kehendak negara. Artinya
bahwa undang-undang negara itu hanya ditentukan atau dibuat
oleh satu orang saja. Sedangkan dalam republik, pembentukan
kemauan negara dibentuk dalam suatu dewan. Dewan itu adalah
suatu pengertian hukum dan bersifat abstrak. Dewan tersebut
diisi oleh orang-orang sebagai satu kesatuan. Kehendak negara
yang terbentuk atau tersusun secara demikian ini disebut
kehendak atau kemauan yuridis.302 Dengan kata lain, kemauan
negara dalam republik berasal dari kemauan banyak orang,
sehingga kemauan itu tidak terlihat sebagai kemauan satu or-
ang, melainkan banyak orang.303
Dari penjelasan di atas, maka perbedaan antara bentuk
pemerintahan republik dan monarki dapat dijelaskan dalam
tabel di bawah ini:
302
Soehino, Op.Cit., h. 175
303
Azhari, Op.Cit., h. 49-50
304
Soehino, Op.Cit., h. 181
153
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
154
Teori Bentuk Negara dan Bentuk Pemerintahan
c. Monarki konstitusional
Dalam bentuk pemerintahan monarki ini, kekuasaan
dipegang oleh satu orang dengan kekuasaan yang di-
dasarkan pada konstitusi. Kekuasaan pemimpin dibatasi
oleh konstitusi. Sehingga tindakan-tindakan penguasa
dilarang bertentangan dengan konstitusi.
155
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
156
BAB VII
TEORI SISTEM PEMERINTAHAN
305
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar…Op.Cit., h. 166
157
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
306
Harun Alrasyid, Kajian Sistem Pemerintahan dan Ruang Lingkupnya, dalam
Basement, Majalah Mahasiswa Universitas Pasundan, Vol. 3., No., III, Juni,
Bandung, h.1
307
Usep Ranawijaya, Hukum Tata Negara Indonesia: Dasar-dasarnya, Jakarta:
GhaliaIndonesia, 1983, h. 73
308
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,
Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2008, h. 311
309
I Made Pasek Diantha, Tipe-Tipe Pokok Sistem Pemerintahan Dalam Demokrasi
Moderen, Bandung: Abardin, 1990, h. 20
158
Teori Sistem Pemerintahan
310
Bivitri Susanti, dkk., Semua Harus Terwakili: Studi mengenai Reposisi MPR,
DPR dan Lembaga Kepresidenan Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum dan
Kebijakan, 2000, h. 7
311
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok …Op.Cit., h. 311
312
I Made Pasek Diantha, Op.Cit. h. 25
313
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Kekuasaan Legilasi Menguatnya Model Legislasi
Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2010, h. 26
314
C.F. Strong, Op.Cit., h. 8
315
Hendarmin Ranadireksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Bandung: Fokus
Media, 2007, h. 10
159
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
316
C.F. Strong,Loc.Cit.,
317
Saldi Isra,Op.Cit., h. 26
318
Ibid, h. 27
319
Hendarmin Ranadireksa, Op.Cit., h. 106
320
R.M. Ananda B. Kusuma, Sistem Pemerintahan Indonesia, Dalam Jurnal
Konstitusi, Vol. 1 No.1., Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI, h. 156
160
Teori Sistem Pemerintahan
321
Saldi Isra, Op.Cit., h. 28-29
322
Ibid. h. 29
323
Miriam Budiardjo, Op.Cit. h. 210
161
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
324
Saldi Isra, Op.Cit.,h. 29
325
Loc.Cit
326
T.A. Legowo, Paradigma Check and Balances dalam hubungan Eksekutif-
Legislatif, dalam Laporan Hasil Konferensi Melanjutkan Dialog Menuju
Reformasi Konstitusi di Indonesia, Jakarta: International IDEA, 2002, h. 89
162
Teori Sistem Pemerintahan
327
Inu Kencana Syafiie dan Andi Azikin, Perbandingan Pemerintahan, Bandung:
Refika Aditama, 2007, h. 35
328
C.F. Strong, Op.Cit., h. 212
163
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
329
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok... Op.Cit., h. 315
330
Denny Indrayana, Negara Antara Ada dan Tiada, Reformasi Hukum
Ketatanegaraan, Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2008, h. 197-198
164
Teori Sistem Pemerintahan
331
Saldi Isra, Op.Cit., h. 30
165
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
332
C.F. Strong, Op.Cit., h. 233
333
Jimly Asshddiqie, Pokok-Pokok....Op.Cit. h. 316
334
Saldi Isra, Op.Cit., h. 31
335
Hendarmin Ranadireksa, Op.Cit. h. 127
336
I Made Pasek Diantha, Op.Cit., h. 33
166
Teori Sistem Pemerintahan
337
Moh. Kusnardi dan Harmaliy Ibrahim, Pengantar…Op.Cit., h. 177
338
C.F. Strong, Op.Cit., h. 233
339
Denny Indrayana, Mendesain Presidensial Yang Efektif, Bukan “Presiden Sial
“ atawa Presiden Sialan”, Makalah, 11-13 Mei 2007, Bukittinggi, h. 3
340
Saldi Isra, Op.Cit., h. 32
341
Ibid. h. 32
167
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
342
Denny Indrayana, Lo.Cit.
343
Hendarmin Danadireksa, Op.Cit. h. 131
344
Douglas V. Verney, dalam Saldi Isra, Op.Cit., h. 38
345
Hendarmin Danadireksa, Op.Cit., h. 38
168
Teori Sistem Pemerintahan
346
Inu Kencana Syafiie dan Andi Azikin, Op.Cit., h. 29
347
C.F. Strong, Op.Cit., h. 239
169
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
170
Teori Sistem Pemerintahan
348
Denny Indrayana, Negara …Op.Cit., h. 198
171
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
349
Douglas V. Verney, dalam Saldi Isra, Op.Cit. h. 40
172
Teori Sistem Pemerintahan
350
Saldi Isra, Op.Cit.,h. 43
173
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
351
Ibid
352
Maunice Duverger, ‘A New Political System Model: A Semi-Presidential Gov-
ernment’, dalam Saldi Isra, Op.Cit., h. 43
353
Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah:
Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Jakarta: UI Press, 2006, h.
89
354
Ibid.
174
Teori Sistem Pemerintahan
355`
Ibid., h. 44
356
Ibid,
175
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
357
Maunice Duverger, ‘A New Political System Model: A Semi-Presidential Gov-
ernment’, dalam Saldi Isra, Op.Cit., h.45
358
Ibid
176
Teori Sistem Pemerintahan
177
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
361
Rafael Mart’nez Martinez, dalam Saldi Isra, Ibid
178
Teori Sistem Pemerintahan
362
Dalam sistem semi-presidensial Prancis, misalnya, menurut Eva Liu: France
has a dual executive system in which the President of the Republic and the Prime
Minister are both responsible for the executive functions of the government, dalam
Saldi Isra, Ibid., h. 48
179
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
180
BAB VIII
TEORI NEGARA HUKUM
363
Mahkamah Konstitusi, Laporan Penelitian Mekanisme Impeachment dan
Hukum Acara Mahhakamah Konstitusi, Jakarta: Sekjen MK RI, 2005, h. 12
364
Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Yogyakarta: Liberty,
1993, h. 28
181
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
365
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya:
Bina Ilmu, 1987, h. 72
366
Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bandung:
Mandar Maju, 2011, h. 4
182
Teori Negara Hukum
367
Ibid
368
Mukti Fajar, Tipe Negara Hukum,cet.2, Malang: Bayumedia Publishing,
Malang, 2005, h. 6
369
D’ Mutiar’as dalam Mukti Fajar, Ibid
370
Joeniarto, Negara Hukum, Yogyakarta: YBP Universitas Gajah Mada, 1981,
h. 7
371
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Jakarta:
Dian Rakyat, 1977, h. 10
372
M. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Siguntang,
1971, h. 74
183
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
373
Brianz Z. Tamanaha, On the Rule of Law, History, Politic, Theory, ed. 4, Cam-
bridge university Press, 2006, h. 6
374
Joeniarto, Op.Cit., h. 8
375
Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,
2011, h. 16
376
Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan dan Asas-Asas
Umum Pemerintahan yang Baik, Jakarta: Erlangga, 2010, h. 49
377
Irianto A. Baso Ence, Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah
Konstitusi; Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Bandung:
Alumni, 2008, h. vii
184
Teori Negara Hukum
378
A. Mukti Fajar dan Isrok, Negara Hukum, Produksi “Si Unyil”, Malang,
1988, hlm 22-23.
379
Ibid,h.23
185
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
380
Ibid, h.24
186
Teori Negara Hukum
187
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
381
Ibid, h.24
382
Ibid, h.4
383
Ibid, h.6
188
Teori Negara Hukum
189
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
190
Teori Negara Hukum
191
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
192
Teori Negara Hukum
193
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
384
Ismail Suny, Prof. Dr., Kepastian Hukum Menuju Stabilisasi Politik dan
Ekonomi, Hukum dan Masyarakat, No. I/1967, hal.24
194
Teori Negara Hukum
1. Karakteristik Rechtsstaat
Konsep Rechtsstaat diperkenalkan dari hasil pemikiran
Immanuel Kant dan Frederich Julius Stahl, kemudian
dikembangkan di negara-negara Eropa Kontinental. Konsep
Rechtsstaat dari Immanuel Kant, melahirkan pemikiran tentang
385
Soediman Kartohadiprodjo, Prof. SH., Melaksanakan Pancasila dan UUD
1945 secara Murni dan konsekwen, Mahasiswa Indonesia Edisi Jabar No.
76 ke 2 Sep. 1967, hal. IV.
386
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, Suatu Studi Tentang Prinsip-
prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara
Madinah dan Masa Kini, Jakarta: Prenada Media, 2004, h. 83-102
195
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
387
Padmo Wahyono, Konsep Yuridis Negara Hukum Indonesia, Jakarta: UI Press,
l998, h. 2
388
Frederick Julius Stahl dalam Miriam Budihardjo, Op.Cit. h. 57-58
389
D.H.M. Meuwissen dalam Philipus M. Hadjon, Perlindungan…Op.Cit., h.
76
196
Teori Negara Hukum
390
Ibid., h. 71.
197
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
391
B. Arief Sidharta, Kajian Kefilsafatan Tentang Negara Hukum, dalam Jentera,
Jakarta: Jurnal Hukum Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Edisi 3
Tahun II, November 2004, h. 124-125
198
Teori Negara Hukum
392
Adapun pengertian asas legalitas adalah tiada perbuatan dapat dipidana
kecuali atas dasar kekuatan ketentuan pidana menurut Undang-Undang
yang sudah ada terlebih dahulu. Pengertian demikian, sesuai dengan bunyi
ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP: “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana
kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundan-undangan yang telah
ada, sebelum perbuatan dilakukan”. Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas &
Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011,
h.19-20. Makna yang terkandung dari asas legalitas dapat diperinci sebagai
berikut: Pertama, seseorang tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan
ketentuan pidana menurut undang-undang. Kedua, tidak ada penerapan
undang undang pidana berdasarkan analogi. Ketiga, seseorang tidak dapat
dipidana hanya berdasarkan kebiasaan. Keempat, tidak boleh ada
perumusan delik yang kurang jelas (penerapan dari asas lex certa). Kelima,
tidak ada kekuatan surut dari ketentuan pidana. Hal ini dikenal dengan
prinsip non retroaktif dari ketentuan pidana. Keenam, tidak ada pidana
lain, kecuali yang ditentukan Undang Undang. Ketujuh, yang terakhir,
penuntutan pidana hanya boleh dilakukan menurut cara yang ditentukan
oleh undang-undang.
393
Philipus M. Hadjon, Perlindungan…Op.Cit., h. 75
394
A.Hamid S.Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisis mengenai
Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I –
199
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
200
Teori Negara Hukum
396
Bahder Johar Nasution, Op. Cit., h. 9
397
Alex Carroll, Constitutional and Administrative Law, Harlow: Pearson Edu-
cation Limited, 2007, h. 46
201
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
398
Periksa Putusan MK No. 1-2/PUU-XII/2014 Perkara Pengujian Undang
Undang No 4 Tahun 2014 Tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2013
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang No. 24 Tahun 2003
Tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, h. 6
399
Muhammad Tahir Azhary, Op.Cit., h. 91-92
202
Teori Negara Hukum
400
Philipus M. Hadjon, Perlindungan…Op.Cit., h. 73
203
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
401
Muhammad Tahir Azhary, Op.Cit., h. 85-86
402
Ibid., h. 264
204
Teori Negara Hukum
403
Sri Soemantri, Perlindungan Hukum Melalui Perlindungan Hak Asasi, Makalah
Seminar, Surabaya: Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945, 1992, h.
3
205
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
404
Muhammad Tahir Azhary, Op.Cit., h. 94-99
206
Teori Negara Hukum
405
Moh Mahfud MD, Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem ketetanegaraan Indo-
nesia, Makalah ini disampaikan pada acara dialog dengan Asosiasi Dosen
pengajar HTN/HAN se-Jawa Timur yang diselenggarakan oleh Fakultas
Hukum Universitas Dr. Soetomo Surabaya, 18 Oktober 2008, h. 13-14
406
Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Yogyakarta: GAMA Me-
dia, 999, h. 138
407
Ibid., hlm. 141
408
Philipus M. Hadjon, Perlindungan…Op.Cit., h. 143
409
Ibid.
207
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
208
Teori Negara Hukum
413
Bagir Manan, Politik Perundang-Undangan Dalam Rangka Mengantisipasi
Liberalisme Perekonomian, Bandar Lampung: FH-UNILA, 1996, h. 16
414
Philipus M. Hadjon, Perlindungan…Op. Cit., h. 71-74
209
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
415
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok... Op.Cit., h. 310
210
BAB IX
TEORI KONSTITUSI
A. Pengertian Konstitusi
Konstitusi merupakan padanan kata dari “contitutio”(Latin
dan Italia), “constitution” (Inggris), “constitutie” (Belanda),
“verfasuung” (Jerman) dan dalam dalam Arab “mas utiyah”.416
Konstitusi secara etimologis berasal dari bahasa Perancis
“constituer”, yang berarti membentuk. Dalam Black’s Law Dic-
tionary ditentukan bahwa “constituere is to appoint, constitute,
establish, ordain, or undertake”.417Pemakaian istilah konstitusi yang
dimaksudkan adalah pembentukan suatu negara atau menyusun
dan menyatakan suatu negara.418
Dalam bahasa Latin, kata konstitusi merupakan bentukan
dari kata, yaitu cume dan statuere. Cume adalah sebuah preposisi
yang berarti “bersama dengan….”, sedangkan statuere berasal
dari kata “sta” pembentuk kata kerja stare yang berarti berdiri.
Atas dasar itu, kata statuere mempunyai arti membuat sesuatu
agar berdiri atau menetapkan. Dengan demikian, bentuk tunggal
“constitution” berarti menetapkan sesuatu secara bersama-sama
416
Astim Riyanto, Teori Konstitusi, Bandung: Yapemdo, 2000, h. 17
417
Henry Campbell Black, Op.Cit., h. 384
418
Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum Tata Negara Di Indonesia, Jakarta:
Dian Rakyat, 1989, h. 10
211
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
(Hukum dasar dari sebuah bangsa atau negara, baik tertulis maupun
tidak tertulis, membentuk karakter dan konsepsi pemerintahan negara,
mengatur tentang prinsip-prinsip dasar yang berfungsi sebagai
pedoman pelaksanaan urusan internal negara, pengorganisasian dan
pengaturan pemerintahan, pembagian dan pembatasan fungsi-fungsi
dari bagian-bagian pemerintahan dan menjelaskan keluasan dan cara
penggunaan kewenangan. Sebuah piagam pemerintahan yang
menentukan seluruh kewenangannya yang bersumber dari yang
diperintah (rakyat).
419
Dahlan Thaib, et.al.,Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2005, h. 7- 8
420
Henry Campbell Black, Loc.Cit.
421
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi...Op.Cit., h. 19
212
Teori Konstitusi
422
Ibid. h. 20
423
Astim Riyanto, Op.Cit., h. 494
213
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
424
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Dasar tentang Kontitusi Dan Mahkamah Konstitusi,
dalam “Butir-butir pemikiran dalam Hukum memperingati 70 tahun Prof. Dr.
B. Arief Siddharta, SH.”, Bandung: Refika Aditama, 2008, h. 197
214
Teori Konstitusi
425
Ibid. h. 198
426
Ibid.
215
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
427
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi...Op.Cit., h. 21
428
Dahlan Thaib, et.al., Op.cit. h. 9-20
216
Teori Konstitusi
429
Ibid. h. 197
430
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi...Op.Cit., h. 29
431
Ibid. h. 23-24
217
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
432
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indone-
sia, terjemahan Sylvia Tiwon, Grafiti Press, 1995, h. 116
433
Ibid. h. 2
434
Tim Kajian Amandemen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya,
Amandemen UUD 1945 Antara Teks dan Konteks dalam Negara yang Sedang
Berubah, Jakarta: Sinar Grafika, 2000, h. 2
218
Teori Konstitusi
435
Jimly Asshiddiqie, Pokok... Op.Cit., h. 310
219
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
220
Teori Konstitusi
437
Astim Riyanto, Op.Cit., h. 94
438
Sri Soemantri Martosoewignjo, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi,
Bandung: Alumni, 2006, h. 59-60
439
Astim Riyanto, Op.Cit., h. 501
440
Ibid.,
221
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
C. Fungsi Konstitusi
Dalam negara modern, konstitusi memiliki fungsi yang
sangat penting dalam penyelenggaraan negara, terutama dalam
pembatasan kekuasaan dan perlindungan hukum terhadap hak
asasi warga negara. Berkaitan dengan fungsi konsitusi, William
G. Andrews menyatakan bahwa:
“The constitution imposes restraints on government as a function of consti-
tutionalism; but it also legitimizes the power of the government. It is the docu-
mentary instrument for the transfer of authority from the residual holders -
the people under democracy, the king urder monarchy - to the organs of State
power”.442
441
Ibid., 501
442
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi... Op.Cit., h. 29
222
Teori Konstitusi
“It may serve instead of the king in that ceremonial function of exemplifying
the unity and majesty of the nation. Or it Mayexist along side the monarch,
embodying capacity that Constitutions are trundled about the country in shiny
almunium railroad trains under armed guard and exhibited to all comers”.443
443
Ibid., h. 30
223
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
224
Teori Konstitusi
225
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
D. Nilai Konstitusi
Berkenaan dengan penilaian terhadap pelaksanaan suatu
konstitusi, Karl Loewenstein mengemukakan tiga tingkatan nilai
konstitusi, yaitu nilai normatif, nilai nominal dan nilai
semantik.445 Yang dimaksud dengan nilai normatif apabila semua
ketentuan konstitusi dilaksanakan secara murni dan konsekuen,
ditaati dan dijunjung tinggi sepenuhnya dalam penyelenggaraan
negara, serta tidak ada sedikitpun penyelewengan dalam
pelaksanaan konstitusi tersebut. Sedangkan yang dimaksud
dengan nilai nominal adalah secara hukum konstitusi berlaku,
444
Ibid., h. 33-34
445
R.G. Kartasapoetra, Sistematika Hukum Tata Negara, Jakarta: Bina Aksara,
1987, h. 21-22.
226
Teori Konstitusi
E. Perubahan Konstitusi
Konstiusi bukanlah suatu dokumen yang sakral yang tidak
dapat dilakukan perubahan. Konstitusi merupakan kesepakatan
politik suatu negara yang sewaktu-waktu dapat dilakukan
perubahan, sesuai dengan kebutuhan negara dan rakyat dalam
bidang politik, sosial, ekonomi dan budaya. Perubahan kons-
titusi perlu dilakukan supaya konstitusi sesuai dengan
perkembangan zaman dan tidak usang. Oleh kerana itu, K.C.
Wheare menyatakan bahwa ada 4 (empat) cara perubahan
konstitusi yang signifikan, meliputi :
1. Formal amandement, perubahan konstitusi dilakukan sesuai
dengan ketentuan norma-norma yang ditetapkan dalam
konstitusi itu sendiri;
2. Some Primary Sources, perubahan konstitusi karena desakan
dari partai-partai politik yang menguasai parlemen;
3. Judicial Constitution, perubahan konstitusi melalui penafsiran
hakim. Dalam praktek dapat dilakukan melalui judicial re-
view oleh Supreme Court atau Constitutional review oleh Con-
stitutional Court;
4. Usage and convention, perubahan konstitusi terjadi melalui
proses yang terjadi dalam masyarakat melalui kebiasaan dan
konvensi karena kesepakatan masyarakat.447
227
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
448
Ibid., h. 62-63.
228
Teori Konstitusi
229
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
230
BAB X
TEORI NEGARA DEMOKRASI
A. Pengertian Demokrasi
Secara etimologi, demokrasiberasal dari bahasa Latin yang
tersusun dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratia
berarti pemerintahan. Jika dua kata itu digabungkan, menjadi
demokratia mengandung arti pemerintahan rakyat.449Black’s Law
Dictionary menyatakan bahwa “Democracy is that form of govern-
ment inwhich the sovereign power resides in and is exercisedby the
whole body of free citizens, as distinguishedfrom a monarchy, aristoc-
racy, or oligarchy.According to the theory of a pure democracy,every
citizen should participate directlyin the business of governing, and the
legislative assembly should comprise the whole people. Sovereign powers
are exercised by all the people orlarge number of them, or specifically,
in modern use, of arepresentative government where there is equality
of rightswithout hereditary or arbitrary differences in rank orprivilege;
and is distinguished from aristocracy”450(Demokrasi adalah bentuk
pemerintahan di mana kedaulatannya terletak dan dilaksanakan
oleh seluruh rakyat, sebagai lawan dari monarki, aristokrasi dan
oligarki.Menurut teori demokrasi, setiap warga negara harus
berpartisipasi secara langsung dalam urusan pemerintahan, dan
legislatif harus terdiri atas seluruh rakyat. Kedaulatan dilaksana-
kan oleh seluruh rakyat atau sebagian besar dari rakyat, atau
449
I Gde Pantja Astawa, Op.Cit., h. 67
450
Henry Campbell Black, Op.Cit., h. 518-519
231
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
451
Andrew Heywood, Politics, 2 ed, New York: Palgrave, 2002, h. 67
452
Mukhti Fajar, Op.Cit., h. 40
453
Amir machmud, “Demokrasi, Undang-Undang, dan Peran Rakyat”, PRISMA,
LP3ES, (No.8 1984)
454
Dilys M. Hill, Democratic Theory and Local Government , George Allen &
Unwin Ltd, 1974
455
I Gde Pantja Astawa, Op. Cit., h. 81
232
Teori Negara Demokrasi
456
Suyatno, Menjelajahi Demokrasi, Yogyakarta: Liebe Book, 2004, h. 34
457
Ibid
458
Moh.Kusnardi, Harmaily Ibrahim, Pengantar…Op.Cit., h. 130
459
Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Amandemen UUD 1945, Jakarta: Prenada Media Group, 2010, h. 67
460
Jimly Assiddiqie, Konstitusi…Op.Cit., h. 117
233
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
461
I Gde Panca Astawa, Op.Cit., h. 84
462
Suyatno, Loc.Cit
463
Affan Gaffar, Demokrasi Politik, Makalah Seminar Perkembangan
Demokrasi di Indonesia Sejak 1945, Widtagraha, LIPI, 24-25 Mei 1993.
464
Robert A. Dahl, Dilemms of Pluralist Democracy: Autonomy VS. Control, New
York: Yale University Press, 1983,h. 10
234
Teori Negara Demokrasi
465
Arend Lijphart, Patterns ofDemocracy, New Haven: Yale University Press,
1999, h. 48-49
466
Amien Rais dalam Agus Wijayanto Nugroho, Kewenangan Mahkamah
Konstitusi Dalam Sengketa Pemilu Legislatif (Sebuah Pembelajaran Dalam
Mewujudkan dan Menjaga Kedaulatan Rakyat), Jurnal Konstitusi, PKK-FH,
Lambung Mangkurat, (Vol. II No. 1 Juni 2009), h. 65
467
Hans Kelsen, General Theory Law and State, New York: Russel & Russel,
1961, h. 284-299
235
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
236
Teori Negara Demokrasi
468
Ibid. h. 284-299
469
Ibid
470
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar…Op. Cit., h. 126
237
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
238
Teori Negara Demokrasi
239
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
C. Tipe Demokrasi
Dalam perkembangannya, demokrasi memiliki tipe yang
dapat dibedakan menjadi demokrasi langsung (direct
democration), demokrasi tidak langsung (indirect democration) dan
demokrasi konstitusional (constitutional democration).
475
Soehino, Op.Cit., h. 240
240
Teori Negara Demokrasi
476
Kacung Marijan, Sistem Politk Indonesia: Konsolidasi Pasca Reformasi. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2010, h. 112-113
477
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi… Op.Cit, h. 59
241
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
478
Miriam Budiardjo, Op.Cit., h. 52
242
Teori Negara Demokrasi
243
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
479
Moh Mahfud MD, Mahkamah Konstitusi… Op.Cit., h. 13-14
244
Teori Negara Demokrasi
245
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
246
DAFTAR PUSTAKA
247
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
248
Daftar Pustaka
249
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
250
Daftar Pustaka
251
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
252
Daftar Pustaka
253
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
254
Daftar Pustaka
255
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
256
PROFIL PENULIS
257
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
258
Profil Penulis
259
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
260