Anda di halaman 1dari 268

Dr. Hufron, SH.,MH.

Syofyan Hadi, SH.,MH.

ILMU NEGARA
KONTEMPORER

Diterbitkan Oleh:
LaksBang Grafika Yogyakarta dan
Kantor Advokat “ HUFRON & RUBAIE” Surabaya

i
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

Perpustakaan Nasional RI: Katalog dalam Terbitan (KDT)

ILMU NEGARA KONTEMPORER


Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.
Cetakan I: November 2015
viii + 260 Halaman; 15.5 x 23 cm
ISBN : ...-...-.....-..-..
Rancang Sampul : Agung Istiadi
Penata Isi : Iqbal Novian

All right reserved


Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku
ini dengan cara apapun, tanpa izin tertulis dari penerbit

Diterbitkan oleh:
LaksBang Grafika Yogyakarta dan
Kantor Advokat “ HUFRON & RUBAIE” Surabaya

ii
PRAKATA PENULIS

Pujisyukur Alhamdulillah, Penulis haturkan keharibaan


Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, hanya karena petunjuk, bim-
bingan, pertolongan, kasih-sayang dan izin-Nya, penulisan buku
ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang direncanakan.
Buku dengan berjudul “Ilmu Negara Kontemporer”,
dihadirkan dalam rangka melengkapi atau menggenapi berbagai
buku referensi yang membahas mengenai ilmu negara atau teori
negara yang ada di kepustakaan kita.
Buku “Ilmu Negara Kontemporer” menguraikan secara
komprehensif tentang Pengertian Ilmu Negara, Definisi dan
Unsur-unsur Negara, Tujuan dan Fungsi Negara, Teori Asal
Mula Negara, Teori Kedaulatan, Teori Bentuk Negara dan
Bentuk Pemerintahan, Teori Sistem Pemerintahan, Teori Negara
Hukum, Teori Konstitusi, dan Teori Negara Demokrasi dengan
mendasarkan pada fenomena aktual dan mutakhir yang terjadi
akhir-akhir ini.
Penulisan buku ini dilengkapi dengan berbagai bagan,
skema maupun tabel dalam rangka memudahkan pemahaman
pembaca terhadap topik penting tertentu yang dibahas dalam
Buku “Ilmu Negara Kontemporer” ini.
Buku ini cocok dan tepat dipergunakan referensi oleh bagi
mahasiswa, guru, dosen, pengamat, politisi dan masyarakat
umum yang berminat pada bidang ilmu kenegaraan untuk

iii
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

mempelajari dan memahami seluk-beluk negara dan teori-teori


negara secara umum dan universal. Kemudian sebagai contoh
konkret dikemukakan korelasi dan relevansi pada konteks
negara tertentu, termasuk negara Indonesia.
Penulisan Buku “Ilmu Negara Kontemporer” ini meskipun
telah diupayakan secara maksimal dan optimal oleh penulis,
namun sebagai karya manusia tentu masih jauh dari sempurna
atau paripurna. Sehingga saran, kritik dan masukan yang
konstruktif, terbuka lebar bagi siapa saja yang berminat pada
pengembangan Ilmu Negara danTeori-teori Negara.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang memberikan bantuan dalam penerbitan buku ini, baik
moril maupun materiil. Secara khusus Penulis mengucapkan
terima kasih kepada Penerbit LaksBang Group yang berkenan
menerbitkan buku ini, sehingga dapat sampai ke tangan
Pembaca. Akhirulkalam, semoga Buku ini bermanfaat bagi
masyarakat, bangsa, dan negara, terutama bagi mahasiswa, guru,
dosen, pengamat, politisi dan semua pihak yang berminat pada
bidang ilmu kenegaraan dan ketatanegaraan, terutama ma-
hasiswa Fakultas Hukum, Ilmu Politik, dan Ilmu Pemerintahan.
Amien ya robbal alamien.

Surabaya, Nopember 2015


Penulis,

Dr. H u f r o n, SH.MH.
Syofyan Hadi, SH.MH.

iv
DAFTAR ISI

Hal
Cover ........................................................................................... i
Prakata ......................................................................................... iii
Daftar Isi ...................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN .......................................................... 1


A. Pengertian Ilmu Negara ...................................................... 1
B. Objek Kajian Ilmu Negara .................................................. 6
C. Hubungan Ilmu Negara dengan Ilmu Lainya ................. 9
1. Hubungan Ilmu Negara dengan Hukum Tata
Negara dan Hukum Administrasi ............................... 9
2. Hubungan Ilmu Negara dengan Ilmu Politik ............ 12

BAB II DEFINISI DAN UNSUR-UNSUR NEGARA ............ 15


A. Definisi Negara ..................................................................... 15
B. Unsur – Unsur Negara ........................................................ 19

BAB III TUJUAN DAN FUNGSI NEGARA .......................... 35


A. Tujuan Negara ...................................................................... 35
B. Fungsi Negara ...................................................................... 40

v
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

BAB IV TEORI ASAL MULA NEGARA ................................ 49


A. Asal Mula Negara Zaman Yunani Kuno .......................... 49
B. Asal Mula Negara Zaman Romawi Kuno ........................ 58
C. Asal Mula Negara Abad Pertengahan .............................. 63
D. Asal Mula Negara Zaman Renaisance ............................. 71
E. Asal Mula Negara Menurut Monarkomaken .................. 76
F. Asal Mula Negara Zaman Hukum Alam ......................... 77
G. Asal Mula Negara Menurut Teori Kekuatan ................... 88
H. Asal Mula Negara Menurut Teori Positivisme................ 89
I. Asal Mula Negara Menurut Teori Modern ...................... 91
J. Asal Mula Negara Menurut Teori Patriarkhal dan Teori
Matriarkhal ........................................................................... 91
K. Asal Usul Mula Negara Menurut Teori Organis ............ 92

BAB V TEORI KEDAULATAN ............................................... 95


A. Pengertian Kedaulatan ........................................................ 95
B. Jenis – Jenis Kedaulatan ...................................................... 99
C. Legitimasi Kekuasaan ......................................................... 114

BAB VI TEORI BENTUK NEGARA DAN BENTUK


PEMERINTAHAN .................................................................... 121
A. Bentuk Negara ...................................................................... 121
1. Bentuk Negara Pada Zaman Klasik ............................. 122
2. Bentuk Negera Berdasarkan Susunannya. ................. 130
B. Bentuk Pemerintahan .......................................................... 150

BAB VII TEORI SISTEM PEMERINTAHAN ......................... 157


A. Pengertian Sistem Pemerintahan ....................................... 157
B. Macam-Macam Sistem Pemerintahan............................... 159
1. Sistem Pemerintahan Parlementer (parliamentary
system). ............................................................................. 159
2. Sistem Pemerintahan Presidensial (Presidential
System)................................. ............................................. 166

vi
Daftar Isi

3. Sistem Pemerintahan Campuran (mixed system atau


hybrid system) ................................................................... 172

BAB VIII TEORI NEGARA HUKUM ..................................... 181


A. Peristilahan dan Pengertian................................................ 181
B. Perbedaan Negara Hukum ................................................. 185
C. Latar Belakang Timbulnya Konsepsi Negara Hukum ... 187
D. Perkembangan Konsep Negara Hukum .......................... 195
1. Karakteristik Rechtsstaat ................................................ 195
2. Karakteristik Rule of Law ............................................... 200
3. Karakteristik Socialist Legality ....................................... 202
4. Karakteristik Nomokrasi Islam .................................... 203
5. Karakteristik Negara Hukum Pancasila ..................... 204

BAB IX TEORI KONSTITUSI ................................................... 211


A. Pengertian Konstitusi .......................................................... 211
B. Materi Muatan Konstitusi ................................................... 220
C. Fungsi konstitusi .................................................................. 222
D. Nilai Konstitusi..................................................................... 226
E. Perubahan Konstitusi .......................................................... 227

BAB X TEORI NEGARA DEMOKRASI ................................. 231


A. Pengertian Demokrasi ......................................................... 231
B. Kriteria Pemerintahan Demokratis ................................... 234
C. Tipe Demokrasi .................................................................... 240
D. Konsep Demokrasi dan Nomokrasi Dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 ........................................................................................ 243

DAFTAR PUSTAKA ................................................................. 247


PROFIL PENULIS ...................................................................... 257

vii
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

viii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Pengertian Ilmu Negara


Ilmu Negara merupakan padanan dari istilah Staatsleer
(Belanda), Staatslehre (Jerman). Di samping itu, dikenal juga
istilah Theory of State/The General Theory of State/Political Theory
(Inggris), dan Theory d’etat (Prancis) yang dapat diartikan “teori
negara”.
Istilah (term)Ilmu Negara tersebut terdiri atas 2 (dua) kata,
yakni ilmu dan negara. Istilah Ilmu dalam dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai “pengetahuan tentang
suatu bidang yang disusun secara sistematis menurut metode-
metode tertentu yang dapat dipergunakan untuk menerangkan
gejala-gejala tertentu dalam bidang (pengetahuan) itu”. 1
Berkaitan dengan pengertian ilmu tersebut, Sjachran Basah2 juga
menyatakan bahwa Ilmu adalah sesuatu yang didapat dari
pengetahuan, dan pengetahuan ini diperoleh dengan berbagai
cara. Tidak semua pengetahuan itu merupakan ilmu, sebab
setiap pengetahuan itu baru dinamakan ilmu kalau ia memenuhi
syarat. Dari pengertian tersebut, maka ilmu merupakan
pengetahuan (knowledge) yang tersusun sitematis dengan

1
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indo-
nesia, Jakarta: 2008, h. 544
2
Sjachran Basah, Ilmu Negara, (Pengantar, Metode dan Sejarah Perkembangan),
Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994, h. 6

1
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

menggunakan kekuatan pemikiran, pengetahuan di mana selalu


dapat diperiksa dan ditelaah (dikontrol) dengan kritis oleh setiap
orang yang mengetahuinya serta diperoleh melalui metode yang
sistematis dan ajeg.
Selain itu, dikenal juga istilah “teori” yang dalam Kamus
Besar Bahasa Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai “(1).
pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, di-
dukung oleh data dan argumentasi; (2). penyelidikan ekspe-
rimental yang mampu menghasilkan fakta berdasarkan ilmu
pasti, logika, metodologi, argumentasi; (3). asas dan hukum
umum yang menjadi dasar suatu kesenian atau ilmu penge-
tahuan; (4). pendapat, cara, dan aturan untuk melakukan
sesuatu”.3 Berkaitan dengan hal tersebut, A. Hamid S. Attamimi
menyatakan bahwa teori adalah sekumpulan pemahaman-
pemahaman, titik-titik tolak dan asas-asas yang saling berkaitan,
yang memungkinkan kita memahami lebih baik terhadap
sesuatu yang kita coba untuk mendalaminya.4 Dari pengertian
tersebut, maka ilmu dan teori adalah suatu yang inheren satu
dengan lainnya. Teori bertujuan untuk menjelaskan tentang fakta
atau kejadian tertentu yang ada dalam kajian ilmu tersebut.
Bahkan I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a menyatakan
bahwa teori adalah elemen dari ilmu, sedangkan ilmu adalah
kumpulan dari beberapa teori.5
Adapun istilah negara diterjemahkan dari kata state
(Inggris), staat (Belanda & Jerman) dan Etat (Prancis), yang
kesemua istilah tersebut diserap dari bahasa Latin “status/statum”
yang dapat dipadankan dengan “standing” atau “station”yang
berarti sesuatu menunjukkan kondisi atau keadaan yang tegak

3
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional,…Op.Cit., h. 1501
4
A. Hamid S. Attamimi, Teori Perundang-Undangan Indonesia: Suatu sisi Ilmu
Pengetahuan Perundang-Undangan Indonesia Yang menjelaskan dan
Menjernihkan Pemahaman, Jakarta, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
Tetap Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, pada tanggal 25 April
1992, h. 3
5
I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, Memahami Ilmu Negara dan Teori
Negara, Bandung: Refika Aditama, 2009, h. 25

2
Pendahuluan

dan tetap.6 Dalam Black’s Law Dictionary, kata “state” diartikan


sebagai “A people permanently occupying a fixed territory bound to-
gether by common-law habits and custom into one body politic exer-
cising, through the medium of an organized government, independent
sovereignty and control over all persons and things within its bound-
aries, capable of making war and peace and of entering into interna-
tional relations with other communities of theglobe”.7 Senada dengan
hal tersebut, Oxford Dictionary of Law menyatakan bahwa “state
is a sovereign and independent entity capable of entering into rela-
tions with other states and enjoying international legal personality.
To qualify as a state, the entity must have: (1) a permanent population
(although, as in the case of the Vatican or Nauru, this may be very
small); (2) a defined territory over which it exercises authority (al-
though its borders, as in the case of Israel, need not be defined or un-
disputed); (3)an effective government”.8 Berkaitan dengan hal
tersebut, F. Isjwara menyatakan bahwa negara merupakan
organisasi teritorial suatu bangsa yang memiliki kedaulata9
Dalam pendekatan Ilmu Politik, negara merupakan alat
masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur
hubungan antar warga negara.10
Dari penjelasan di atas, maka Ilmu Negara adalah ilmu yang
mempelajari, menyelidiki atau membicarakan tentang negara.11
Berkaitan dengan hal tersebut, George Jellinek menyatakan
bahwa Ilmu Negara adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki
asas-asas pokok dan pengertian-pengertian pokok tentang
negara.12 Senada dengan hal tersebut, I Gde Pantja Astawa dan

6
F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Jakarta: Binacipta, 1992, h. 90
7
Henry Campbell Black, Black’s’s Law Dictionary, 4th, ST. Paul, Minn. West
Publishing, Co., 1891, h.1578
8
Elizabeth A. Martin, Oxford Dictionary of Law, 5th, Oxford University Press,
2003, h. 475
9
F. Isjwara, Op.Cit., h. 92
10
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1991, h. 38
11
Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty, 2013, h. 1
12
George Jellinek dalam Ni’matul Huda, Ilmu Negara, Jakarta: Rajawali Pers,
2012, h. 2

3
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

Suprin Na’a menyatakan bahwa Ilmu Negara adalah ilmu yang


mempelajari negara secara umum, mengenai asal-usul,
wujudnya, lenyapnya, perkembangannya dan jenis-jenisnya.13
Ilmu negara adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang
negara pada umumnya, di mana dalam Ilmu Negara diadakan
penyelidikan tentang hakekat negara, struktur negara, bentuk
negara, asal mula negara, ciri-ciri negara, sistem pemerintahan
serta seluruh persoalan di sekitar negara.
Ilmu Negara pertama kali dikemukakan oleh George Jellinek
dalam bukunya yang berjudul Allgemeine Staatslehre. Dalam buku
tersebut, George Jellinek menyatakan bahwa Ilmu Negara
(staatslehre) dibagi menjadi 2, yakni: 1) Ilmu Negara dalam arti
sempit (staatswissenschaften); dan 2) Ilmu Pengetahuan Hukum
(rechtswissenschaften). 14 Ilmu Negara dalam arti sempit
(staatswissenschaften) merupakan Ilmu Negara dalam arti luas
dikurangi dengan Ilmu Pengetahuan Hukum (rechtswissen-
schaften). Sedangkan Ilmu Pengetahuan Hukum (rechtswissen-
schaften) merupakan pengetahuan mengenai negara yang dalam
penyelidikannya ditekankan dari segi hukum negara itu sendiri,
seperti Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi.15
Ilmu Negara dalam arti sempit (staatswissenchaft) dibagi
menjadi 3 yakni:
1. Beschreibende Staatswissenschaft (staat kunde) yakni Ilmu
Negara yang hanya mendeskripsikan atau menggambarkan
peristiwa-peristiwa yang terjadi yang berhubungan dengan
negara.
2. Theoretische Staatswissenschaft (staatslehre) yakni Ilmu Negara
yang yang mengadakan penyelidikan lebih lanjut dari bahan-
bahan staat kunde. Dalam theoretische staatswissenschaft
Theoretische Staatswissenschaft (staatslehre) ini dilakukan
analisis-analisis yang kemudian hasilnya disusun secara

13
I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, Op.Cit., h. 26
14
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1995, h. 34
15
I Gde Pantja Astawa dan Suprina Na’a, Op.Cit., h. 28

4
Pendahuluan

teratur dan sistematis. Dari kajian ini akan diperoleh


mengenai pengertian-pengertian pokok dan prinsip-prinsip
pokok dari negara. Theoretische Staatswissenschaft (staatslehre)
dibagi menjadi 2 yakni:
a. Allgemeine Staatslehre (umum)merupakan Ilmu Negara
yang membahas tentang teori-teori negara yang berlaku
umum dan universal di seluruh negara. Allgemeine
Staatslehre dibagi menjadi 2 yakni:
1) allgemein soziale staatslehre yakni Ilmu Negara yang
melihat negara sebagai gejala sosial, yang meliputi
teori tentang hakikat negara, teori tentang terjadinya
hukum negara, teori mengenai tujuan negara, teori
mengenai asal mula negara dan teori mengenai tipe-
tipe negara.
2) allgemeine staatsrechtlehre yakni Ilmu Negara yang
melihat negara dari segi yuridis, yang meliputi teori
bentuk negara dan bentuk pemerintahan, teori me-
ngenai fungsi negara, teori mengenai kedaulatan, teori
mengenai legitimasi kekuasaan, dan teori konstitusi.
b. Besondere Staatslehre (khusus) merupakan Ilmu Negara
yang membahas tentang teori tentang negara, namun teori
tersebut hanya berlaku pada negara tertentu (positif),
sehingga teori yang berlaku di suatu negara belum tentu
berlaku di negara yang lain. Besondere Staatslehre dibagi
menjadi 2 yakni:
1) individuelle staatslehre yakni Ilmu Negara yang
mengkaji tentang negara tertentu (positif) seperti
Hukum Tata Negara Indonesia, Hukum Tata Negara
Inggris, Hukum Tata Negara Belanda.
2) spezielle staatslehre yakni Ilmu Negara yang mengkaji
negara secara umum, kemudian menyelidiki lembaga
kenegaraan khusus seperti pengkajian mengenai
lembaga perwakilan Indonesia, lembaga kekuasaan
kehakiman Indonesia dan lain sebagainya.

5
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

3. Practische Staatwissenschaft (angewandte staatswissenschaft)


adalah Ilmu Negara yang berisi tentang pengetahuan untuk
melaksanakan teori-teori yang diperoleh dari kajian
Theoretische Staatswissenschaft (staatslehre). Dengan kata lain,
Practische Staatwissenschaft (angewandte staatswissenschaft)
merupakan ilmu yang berisi tentang tata cara memprak-
tikkan teori-teori dalam Ilmu Negara. Yang termasuk dalam
Practische Staatwissenschaft (angewandte staatswissenschaft)
adalah Ilmu Politik.

Pembagian dari Allgemeine Staatslehre yang dikemukakan


oleh George Jellinek di atas dapat dilihat dalam bagan di bawah
ini:

B. Objek Kajian Ilmu Negara


Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa Ilmu Negara
merupakan ilmu yang mempelajari negara, karenanya objek

6
Pendahuluan

kajian Ilmu Negara adalah negara. Berkaitan dengan hal tersebut,


Kranenburg menyatakan bahwa objek kajian Ilmu Negara adalah
negara, di mana dalam Ilmu Negara diselidiki mengenai
tumbuh, wujud dan bentuk-bentuk negara, sehingga Ilmu
Negara menitik beratkan kajiannya pada pengertian negara
secara umum.16 Senada dengan hal tersebut, Soehino juga
menyatakan bahwa objek dari Ilmu Negara adalah negara dalam
pengertian abstrak, artinya obyeknya itu dalam keadaan lepas
dari tempat, keadaan dan waktu.Jadi tegasnya belum memiliki
ajektif tertentu, bersifat abstrak universal. Jadi, negara yang
menjadi objek kajian dari Ilmu Negara adalah negara dalam
pengertian yang umum, abstrak dan universal.17 Karena objek
kajian dari ilmu negara yang bersifat umum, abstrak dan uni-
versal tersebut, maka yang dikaji dalam ilmu negara adalah:18
1. Asal mula negara yakni berkaitan dengan terbentuknya atau
terjadinya suatu negara yang bersifat umum. Ilmu Negara
tidak mempelajari terbentuknya suatu negara yang tertentu
atau konkret, seperti terbentuknya negara Indonesia, Inggris
atau Amerika Serikat.
2. Hakekat negara yakni berkaitan dengan hakekat negara
secara umum, apakah negara merupakan alat, wadah, or-
ganisasi atau perkumpulan. Ilmu Negara tidak mempelajari
hakikat dari negara tertentu atau konkret seperti hakikat
negara Indonesia, Inggris atau Amerika Serikat.
3. Bentuk negara yakni berkaitan dengan kemungkinan-ke-
mungkinan bentuk negara. Ilmu negara tidak membicarakan
pada bentuk negara tertentu.

Dari pengertian di atas, maka sesungguhnya objek kajian


dari ilmu negara adalah negara yang bersifat abstrak dan umum,
seperti pengertian pokok (grondbegrippen) dan prinsip-prinsip
pokok (grondbeginselen) yang berlaku umum di seluruh negara,

16
Kranenburg, Ilmu Negara Umum (diterjemahkan oleh Tk. B. Sabaroedin),
Jakarta: Pradnya Paramita, 1983, h. 7
17
Soehino, Op.Cit., h. 6
18
Ibid., h. 7-8

7
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

sehingga Ilmu Negara tidak terikat dengan ruang, tempat dan


waktu. Ilmu Negara tidak mengkaji negara dalam arti positif
yang terikat dengan waktu dan tempat. Karenanya, Ilmu Negara
sering disebut sebagai Ilmu Negara Umum.19
Negara sebagai objek kajian tidak hanya diselidiki oleh Ilmu
Negara, namun juga oleh ilmu kenegaraan lainnya, seperti
Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi dan Ilmu Politik.
Namun demikian, kondisi dan sifat negara sebagai objek kajian
antara masing-masing ilmu tersebut adalah berbeda. Perbedaan
tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa Ilmu Negara


merupakan ilmu pengantar atau ilmu dasar bagi ilmu
kenegaraan lainnya. Artinya bahwa untuk memahami Hukum
Tata Negara, dan Hukum Administrasi dengan baik, maka
terlebih dahulu harus memahami Ilmu Negara. Berkaitan

19
I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, Op.Cit., h. 26

8
Pendahuluan

dengan hal tersebut, Moh.Kusnardi dan Harmaliy Ibrahim


menyatakan bahwa:20
“Ilmu Negara dalam kedudukannya sebagai ilmu pengetahuan
pengantar bagi HTN dan HAN tidak mempunyai nilai yang praktis
seperti halnya dengan HTN dan HAN sendiri. Jika orang mempelajari
Ilmu Negara, ia tidak memperoleh hasilnya untuk dipergunakan secara
langsung dalam praktik”.

C. Hubungan Ilmu Negara Dengan Ilmu Lainnya


Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa Ilmu Negara
merupakan ilmu kenegaraan yang bersifat umum dan dijadikan
dasar atau pokok bagi ilmu kenegaraan lainnya. Ilmu negara
secara teoritis menyediakan teori-teori dasar untuk membantu
pengkajian ilmu kenegaraan lainnya yang bersifat khusus. Oleh
karena itu, terdapat hubungan yang erat antara Ilmu Negara
dengan ilmu kenegaraan lain yang bersifat khusus, seperti
Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi dan Ilmu Politik.

1. Hubungan Ilmu Negara Dengan Hukum Tata Negara


dan Hukum Administrasi
Dalam pengertian luas, Hukum Tata Negara terdiri atas
Hukum Konstitusi (Hukum Tata Negara dalam arti yang sempit)
dan Hukum Administrasi. Artinya, dalam arti yang luas Hukum
Administrasi merupakan bagian dari Hukum Tata Negara.
Sedangkan dalam pengertian sempit, Hukum Tata Negara
adalah hukum konstitusi, dan Hukum Administrasi adalah
hukum yang berdiri sendiri di samping Hukum Konstitusi.
Hukum Tata Negara mengkaji negara dalam keadaan diam (staat
in rust), sedangkan Hukum Administrasi mengkaji negara dalam
keadaan bergerak (staat in bewegin). Walaupun demikian, antara
Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lainya. Hukum Tata Negara

20
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indo-
nesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universi-
tas Indonesia dan Sinar Bakti, 1983, h. 31

9
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

membutuhkan Hukum Administrasi dan sebaliknya. Perbedaan


tersebut dapat dilihat dalam bagan di bawah ini:

Berkenaan dengan pengertian Hukum Tata Negara dan


Hukum Administrasi, Van Vollenhoven menyatakan bahwa:21
a. Hukum Tata Negara adalah rangkaian peraturan-peraturan
yang mendirikan badan-badan (organ) suatu negara dengan
memberikan wewenang-wewenang kepada badan itu dan
membagi-membagi pekerjaan pemerintah kepada banyak
alat-alat negara, baik yang tinggi maupun yang rendah
kedudukannya.
b. Hukum Administrasi Negara adalah rangkaian ketentuan-
ketentuan yang mengikat alat-alat negara tinggi dan rendah
tadi, pada waktu alat-alat negara tadi mulai menjalankan
pekerjaan dalam hal menunaikan tugasnya, seperti yang
ditetapkan dalam hukum tata negara tadi.

Dari pengertian-pengertian di atas, maka Hukum Tata


Negara adalah seperangkat aturan yang mengatur mengenai
organisasi negara tertentu dan kewenangan yang dimiliki oleh
organ-organ negara yang diatur dalam konstitusi. Sedangkan
Hukum Administrasi adalah seperangkat aturan yang dapat
digunakan oleh pemerintah untuk mengatur, mengendalikan,
membimbing dan menyeimbangkan kegiatan warga negara dan
aturan tersebut juga sebagai dasar warga negara untuk ikut
berpartisipasi dalam pelaksanaan pemerintahan.

21
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik, Bandung: Eresco,
1986, h. 2-3

10
Pendahuluan

Jika dilihat dari objek kajiannya, Ilmu Negara dengan


Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi sama-sama
menjadikan negara sebagai objek kajiannya. Ilmu Negara
mengkaji negara dalam arti yang umum, abstrak dan universal,
sehingga tidak terikat pada waktu, kondisi dan tempat.
Sedangkan Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi
mengkaji negara yang konkret atau tertentu yang terikat dengan
waktu, kondisi dan tempat. Dengan memiliki kesamaan objek
pengkajian, maka Ilmu Negara dapat membantu Hukum Tata
Negara dan Hukum Administrasi positif. Di sisi yang lain, untuk
memperoleh pemahaman yang baik terhadap sistem
ketatanegaraan suatu negara, maka kita perlu untuk mengetahui
terlebih dahulu secara mendalam mengenai teori-teori kene-
garaan yang ada dalam Ilmu Negara. Senada dengan hal
tersebut, Kranenburg menyatakan bahwa bagi orang yang
mempelajari Hukum Tata Negara positif, maka pengetahuan me-
ngenai Ilmu Negara merupakan benar-benar mutlak diperlu-
kan.22
Ilmu Negara merupakan pengantar bagi Hukum Tata
Negara dan Hukum Administrasi sehingga dapat dipelajari
secara teratur. Ilmu Negara juga dapat memberikan dasar-dasar
teoritis yang bersifat bagi Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi suatu Negara(positif).Hukum Tata Negara dan
Hukum Administrasi merupakan penerapan dari teori-teori
yang ada dalam Ilmu Negara. Berkaitan dengan hal tersebut,
Muctar Affandi menyatakan bahwa:23
“sebagai suatu ilmu pengetahuan yang murni yang mempelajari dasar-
dasar pokok dan sendi-sendi pokok negara, maka Ilmu Negara dapat
memberikan dasar-dasar teoritis untuk hukum tata negara positif.
Hukum Tata Negara merupakan penerapan di dalam kenyataan-
kenyataan konkret dari bahan-bahan teoritis yang dihasilkan oleh Ilmu
Negara, Hukum Tata Negara yang sifatnya positif itu merupakan

22
Kranenburg, Op.Cit., h. 2
23
Muchtar Affandi, Ilmu-Ilmu Kenegaraan: Suatu Studi Perbandingan, Bandung:
Lembaga Penerbit Fakultas Sosial Politik Universitas Padjajaran, 1982, h.
51

11
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

konkretisasi dari dasar-dasar teoritis yang menjadi objek penelaahan


Ilmu Negara. Karenanya, ilmu Hukum Tata Negara itu mempunyai
sifat praktis, merupakan ‘applied science’, ilmu terapan, yang bahan-
bahannya diselidiki, dikumpulkan dan disediakan oleh ‘pure sicence’,
Ilmu Negara”.

2. Hubungan Ilmu Negara Dengan Ilmu Politik


Dilihat dari objek kajian, Ilmu Negara dan Ilmu Politik
memiliki objek kajian yang sama yakni negara. Namun
demikian, Ilmu Negara menitikberatkan pada teori-teori tentang
negara yang bersifat umum dan statis, sedangkan Ilmu Politik
menitikberatkan pada negara yang bersifat dinamis, yakni
faktor-faktor konkret dan sosiologis yang mempengaruhi
pelaksanaan kekuasaan negara.
Di samping itu, metode yang digunakan antara Ilmu Negara
dan Ilmu Politik berbeda, di mana Ilmu Negara menggunakan
metode yuridis, sedangkan Ilmu Politik menggunakan metode
sosiologis. Dengan pendekatan tersebut, Ilmu Negara
menyelidiki kerangka yuridis daripada negara, sedangkan Ilmu
Politik menyelidiki faktor-faktor yang ada dan mempengaruhi
kerangka yuridis tentang negara. Dengan menggunakan metode
sosiologis tersebut, maka Ilmu Politik adalah semacam sosiologi
daripada negara.24 Hal tersebut disebabkan oleh karena Ilmu
Politik merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang
tata cara bekerjanya negara dalam artian sosiologis.
Dari pendapat di atas, Herman Heller mengemukakan
berbagai pendapat mengenai perbedaan antara Ilmu Negara dan
Ilmu Politik, di antaranya adalah:25
a. Ilmu Negara merupakan ilmu pengetahuan yang bersifat
teoritis, sehingga sangat mementingkan segi normatifnya,
sedangkan Ilmu Politik merupakan ilmu pengetahuan praktis
yang ingin membahas keadaan dalam kenyataan.

24
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu…Op.Cit., h.40
25
Ibid., h. 41-42

12
Pendahuluan

b. Ilmu Negara lebih mementingkan sifat-sifat statis negara,


sedangan Ilmu Politik mementingkan sifat-sifat dinamis
negara seperti proses-proses kegiatan dan aktifitas negara.
c. Ilmu Negara memiliki konsep yang lebih tajam dan
metodologi yang terang, sedangkan Ilmu Politik memiliki
konsep lebih konkret dan metode yang mendekati realita.
d. Secara praktis, Ilmu Negara lebih mendapat perhatian dari
ahli hukum, sedangkan Ilmu Politik lebih mendapat
perhatian dari ahli sejarah dan sosiologi.

Dari penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa Ilmu


Negara dan Ilmu Politik memiliki hubungan yang sangat erat,
karena memiliki objek kajian yang sama yakni negara. Namun
demikian, Ilmu negara lebih menitiberatkan sifat dan karakter
yuridis dari negara, sedangkan Ilmu Politik lebih menitik-
beratkan sifat dan karakter dari sosiologis dan dinamis dari
negara.

13
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

14
BAB II
DEFINISI DAN UNSUR-UNSUR NEGARA

A. Definisi Negara
Istilah negara diterjemahkan dari istilah: Staat (Belanda &
Jerman), State (Inggris), danEtat (Prancis).Istilah Staat tersebut
merupakan serapan dari bahasa Latin “status/statum”yang dapat
dipadankan dengan “standing” atau “station” yang mempunyai
arti suatu kondisi yang tegak dan tetap.26Istilah staat tersebut
mulai berkembang sekitar abad ke-XV di Eropa Barat yang untuk
pertama kali dikemukakan oleh Niccolo Machiavelli dalam
bukunya “The Prince”.
Dalam Black’s Law Dictionary, istilah “state” diartikan
sebagai “A people permanently occupying a fixed territory bound to-
gether by common-law habits and custom into one body politic exer-
cising, through the medium of an organized government, independent
sovereignty and control over all persons and things within its bound-
aries, capable of making war and peace and of entering into interna-
tional relations with other communities of the globe”.27
Senada dengan hal tersebut, Oxford Dictionary of Law
menyatakan bahwa “state is a sovereign and independent entity ca-
pable of entering into relations with other states and enjoying inter-
national legal personality. To qualify as a state, the entity must have:

26
F. Isjwara, Op.Cit., h. 90
27
Henry Campbell Black, Op. Cit., h. 1578

15
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

(1) a permanent population (although, as in the case of the Vatican or


Nauru, this may be very small); (2) a defined territory over which it
exercises authority (although its borders, as in the case of Israel, need
not be defined or undisputed); (3) an effective government”.28
Selain pengertian di atas, beberapa ahli juga mengemukakan
beberapa pengertian negara, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Aristoteles dalam bukunya yang berjudul “Politica” menyata-
kan bahwa negara adalah persekutuan daripada keluarga dan
desa guna memperoleh hidup yang sebaik-baiknya. Negara
yang dimaksud adalah negara hukum yang di dalamnya
terdapat sejumlah warga yang ikut serta dalam permusya-
waratan negara (ecclesia). Negara hukum ialah negara yang
berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga
negaranya.29
2. Harold J. Laski menyatakan bahwa negara adalah suatu
masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewe-
nang yang bersifat memaksa dan secara sah, lebih agung
daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian
dari masyarakat itu. Masyarakat adalah suatu kelompok
manusia yang hidup dan bekerjasama untuk mencapai
terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama.
Masyarakat merupakan negara kalau cara hidup yang harus
ditaati, baik oleh individu maupun oleh asosiasi yang bersifat
memaksa dan mengikat (staat is a society which is integrated by
possessing a coercive authority legally supreme over any individual
or group which is part of society. A society is a group of human
beings living wants. Such a society is a state when the way of life
to which bot individuals and associations must conform is defined
by coercive authority binding upon them all).30
3. Max Weber menyatakan bahwa negara adalah suatu
masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan
kewenangan fisik secara sah dalam suatu wilayah (the state

28
Elizabeth A. Martin, Op.Cit., h. 475
29
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu…Op.Cit., h. 46
30
Miriam Budiardjo, Op.Cit., h. 39

16
Definisi dan Unsur-unsur Negara

is human society that (successfully) claims the monopoly of the


legitimate use of physical force within a given a territory).31
4. Robert M. Mac Iver menyatakan bahwa negara adalah
asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu
masyarakat dalam suatu wilayah berdasarkan sistem hukum
yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk
maksud tersebut diberikan kekuasaan memaksa (the state is
an association, which acting trough law as promulgated by a gov-
ernment endowed to this end with coercive power, maintains within
the community territorially demarcated the external condition of
order).32
5. Logemann menyatakan bahwa negara adalah organisasi
kewibawaan. Kewibawaan tersebut ada karena segala perin-
tahnya dipatuhi dan ditaati oleh rakyatnya. Kewibawaan
yang menyebabkan negara sebagai organisasi yang dapat
hidup abadi.33
6. Krenburg menyatakan bahwa negara adalah suatu organisasi
yang timbul karena kehendak dari suatu golongan/
bangsanya sendiri.34
7. F.Isjwara menyatakan bahwa negara merupakan organisasi
teritorial suatu bangsa yang memiliki kedaulatan. 35 Di
samping itu, F.Isjwara membagi negara dalam arti formil dan
materiil. Negara dalam arti formil dimaksudkan negara
ditinjau dari aspek kekuasaan, negara sebagai organisasi
kekuasaan dengan suatu pemerintahan pusat. Pemerintah
menjelmakan aspek formil dari negara.Karakteristik dari
negara formil adalah wewenang pemerintah untuk
menjalankan paksaan fisik secara legal.Negara dalam arti
formil adalah negara sebagai pemerintah (staat overhead).
Negara dalam arti materiil adalah negara sebagai masyarakat

31
Ibid, h. 40
32
Robert M. MacIver, The Modern State, London: Oxford University Press,
1955, h. 22
33
Ni’matul Huda, Ilmu…Op.Cit., h. 12
34
Ibid, h. 13
35
F. Isjwara, Op.Cit., h. 92

17
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

(staat gemenschap) atau negara sebagai persekutuan hidup.


Negara dalam arti materiil hanyalah salah satu di antara
sekian banyak bentuk perkelompokan sosial.36
8. Miriam Budiardjo menyatakan bahwa negara merupakan
integrasi dari kekuasaan politik, ia adalah organisasi pokok
dari kekuasaan politik. Negara adalah agency (alat) dari
masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur
hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan
menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat.
Manusia hidup dalam suasana kerjasama, sekaligus suasana
antagonistis dan penuh pertentangan. Negara adalah
organisasi yang dalam suatu wilayah dapat memaksakan ke-
kuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan
lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari
kehidupan bersama itu.37 Dengan kata lain, Miriam Budiardjo
menyatakan bahwa negara adalah suatu daerah territorial
yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat
dan yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan
pada peraturan perundang-undangannya melalui pe-
nguasaan (kontrol) monopolitis dari kekuasaan yang sah.38

Dari pengertian-pengertian tersebut, maka batasan


mengenai definisi negara adalah sebagai berikut:
1. Negara merupakan enti as politik (kekuasaan).
2. Negara dibentuk oleh masyarakat untuk mencapai tujuan
bersama.
3. Negara diberikan kekuasaan (kewenangan) untuk
memaksakan hukumnya kepada warga negara.

Dengan konsep tersebut, maka Miriam Budiardjo


menyatakan bahwa negara memiliki sifat memaksa, sifat
monopoli dan sifat mencakup semua. Sifat memaksa artinya
bahwa negara sebagai otoritas tertinggi mempunyai kekuasaan

36
Ibid, h. 94-95
37
Miriam Budiarjo, Op.Cit., h. 38
38
Ibid., h. 40

18
Definisi dan Unsur-unsur Negara

untuk memaksakan hukum yang dibuat dan berkuasa untuk


memberikan sanksi terhadap warga negara yang melanggar
hukum. Sifat monopoli artinya bahwa negara berwenang untuk
menetapkan tujuan bersama dari masyarakat. Sedangkan sifat
mencakup semua artinya bahwa hukum yang dibuat oleh negara
berlaku dan mengikat semua warga negara tanpa kecuali.39

B. Unsur-Unsur Negara
Suatu masyarakat politik dapat disebut sebagai negara harus
memenuhi unsur-unsur tertentu. Menurut Oppenheim-
Lauterpacht unsur-unsur masyarakat politik dapat dikatakan
negara adalah (a) harus ada rakyat; (b) harus ada wilayah; (c)
harus ada pemerintah yang berdaulat.40 Senada dengan hal
tersebut,Oxford Dictionary of Lawmenyatakan bahwa “To qualify
as a state, the entity must have: (1) a permanent population (although,
as in the case of the Vatican or Nauru, this may be very small); (2) a
defined territory over which it exercises authority (although its bor-
ders, as in the case of Israel, need not be defined or undisputed); (3) an
effective government”.41
Dalam perspektif hukum internasional, negara adalah
subjek hukum. Namun untuk dapat disebut sebagai subjek
hukum internasional, maka negara tersebut harus memenuhi
beberapa unsur. Pasal 1 Montevideo (Pan American) Convention
on Right and Duties of States of 1933 menentukan bahwa “The state
as a person of international law should possess the following qualifica-
tions: a) a permanent population; b) a defined territory; c) govern-
ment; and d) capacity to enter into relations with the other states”
(negara sebagai subjek hukum internasional harus memiliki
kualifikasi-kualifikasi sebagai berikut: a) rakyat/warga negara
yang bersifat tetap; b) wilayah yang pasti; c) pemerintah; d)
kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara lain).

39
Miriam Budiardjo, Op.Cit., h. 40-41
40
M. Solly Lubis, Ilmu Negara, Bandung: Mandar Maju, 2002, h. 2-3
41
Elizabeth A. Martin, Op.Cit., h. 475

19
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

Keempat unsur tersebut dapat dibagi menjadi 2 (dua), yakni:


1. Unsur konstitutif, yakni unsur yang wajib ada, sehingga suatu
masyarakat politik dapat disebut sebagai negara. Unsur
konstitutif tersebut adalah a) rakyat/warga negara yang
bersifat tetap; b) wilayah yang pasti; dan c) pemerintah.
2. Unsur deklaratif, yakni unsur yang tidak wajib ada, namun
diperlukan bagi sebuah negara dalam kedudukannya sebagai
subjek hukum internasional. Unsur deklaratif adalah
kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara
lain.

Terhadap keempat unsur negara tersebut, terdapat


perbedaan pandangan antara ahli Ilmu Politik dan Hukum
Internasional. Menurut konsepsi Ilmu Politik, unsur (a) rakyat/
warga negara yang bersifat tetap; (b) wilayah yang pasti; dan
(c) pemerintah merupakan unsur yang bersifat konstitutif,
sedangkan unsur kemampuan untuk melakukan hubungan
dengan negara lain merupakan unsur yang khusus yang
dimaksudkan bagi negara dalam arti hukum internasional.42
Adapun dalam perspektif Hukum Internasional, keempat unsur
tersebut adalah unsur yang bersifat konstitutif. Bahkan unsur
yang paling konstitutif dalam perspektif Hukum Internasioanl
adalah unsur kemampuan untuk melakukan hubungan dengan
negara lain. Terkait dengan hal tersebut, Starke43 menyatakan
bahwa “so far as international law is concerned, the qualification (d)
is the most important”. Karena unsur tersebut yang membedakan
negara sebagai kesatuan politik yang berdaulat dari kesatuan-
kesatuan politik yang tidak atau hanya separuh berdaulat seperti
negara bagian sesuatu federasi, protektorat, negara-negara di
bawah perwalian dan sebagainya.44
Keempat unsur-unsur dari negara tersebut dapat diuraikan
di bawah ini:

42
F. Isjwara, Op.Cit., h. 95
43
J.G. Starke, An Introduction to International Law, London: 1958, h. 80
44
F. Isjwara, Op.Cit., h. 96

20
Definisi dan Unsur-unsur Negara

1. Rakyat/Warga Negara
Negara sebagai entitas politik tidak berdiri dengan
sendirinya, namun dibentuk oleh sekumpulan manusia yang
mepunyai kesamaan tujuan untuk memperoleh hidup yang lebih
baik. Sekumpulan manusa itulah yang disebut dengan rakyat
(people). Black’s Law Dictionary menyatakan bahwa “People is
(a) a nation in its collective and political capacity; (b) the aggregate
ormass of the individuals who constitute the state; (c) the entire body
of those citizens of a stateor nation who are invested with political
power for political purposes, that is, the qualified voters or electors.45
Senada dengan hal tersebut, KBBI menyatakan bahwa “rakyat
adalah segenap penduduk suatu Negara (sebagai imbangan
pemerintah)”.46 Berkaitan dengan hal tersebut, Oppenheim-
Lauterpacht menyatakan bahwa rakyat adalah kumpulan
manusia dari dua jenis kelamin yang hidup bersama merupakan
suatu masyarakat, meskipun mereka ini mungkin berasal dari
keturunan yang berlainan, menganut kepercayaan yang
berlainan atau memiliki warna kulit yang berlainan.47
Istilah rakyat mempunyai keberkaitanan erat dengan istilah
bangsa (nation/natie). Black’s Law Dictionary menyatakan bahwa
bangsa (nation) adalah “A people, or aggregation of men, existingin
the form of an organized jural society, usually inhabiting a distinct
portion of the earth, speaking the same language, using the same cus-
toms, possessing historic continuity, and distinguish hed from other
like groups by their racial origin and characteristics, and generally,
but not necessarily, living under the same government and sover-
eignty”.48 Dari pengertian di atas, maka bangsa merupakan
sekumpulan orang yang memiliki bahasa yang sama, adat
kebiasaan yang sama dan dibedakan dengen kelompok yang
lain dengan ras dan karakteristik yang mereka miliki, umumnya
bangsa tersebut hidup di bawah satu pemerintah dan ke-

45
Henry Campbell Black, Op.Cit., h. 1292
46
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit., h. 1159
47
M. Solly Lubis, Ilmu…Op. Cit., h. 89
48
Henry Campbell Black, Op.Cit., h. 1175

21
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

daulatan. Berkaitan dengan hal tersebut, Ernest Renan49 juga


menyatakan bahwa bangsa adalah soal perasaan, soal kehendak
(tekad) semata-mata untuk tetap hidup bersama, yang timbul
antara segolongan besar manusia yang nasibnya sama dalam
masa yang lampau, terutama dalam penderitaan-penderitaan
bersama. Bangsa tidak hanya lahir dari kesamaan turunan atau
darah (ras), atau karena persamaan bahasa, agama atau karena
keadaan geografis.
Di lihat dari pengertian tersebut, maka antara terminologi
rakyat dan bangsa merupakan sinonim. Namun, terdapat
berbagai perbedaan mendasar antara keduanya, yakni:
a. A nation is an aggregation of men speaking the same language,
having the same customs, and endowed with certainmoral quali-
ties which distinguish them from other groups of a like nature. The
people is the collection of all citizens without distinction of rank
ororder. All men living under the same government composethe
people of the state (bangsa adalah perkumpulan dari orang-
orang yang berbicara dengan bahasa yang sama, mempunyai
adat kebiasaan yang sama dan dibekali dengan karekter
moral tertentu yang membedakan dengan yang lain.
Sedangkan rakyat adalah kumpulan dari warga negara tanpa
perbedaan tingkatan dan aturan. Seluruh orang hidup di
bawah pemerintahan yang sama yang mengatur rakyat
negara tersebut).
b. The people is the politicalbody brought into existence by commu-
nity of laws, andthe people may perish with these laws. The nation
is themoral body, independent of political revolutions, because eit
is constituted by inborn qualities which render it indissoluble.The
state is the people organized into a politicalbody (rakyat adalah
lembaga politik (kekuasaan) yang dibawa ke dalam eksistensi
bernegara oleh hukum, dan rakyat dapat diberikan sanksi
dengan hukum tersebut. Sedangkan bangsa adalah lembaga
moral, revolusi politik yang bersifat independen, karena
bangsa dibangun dengan kualitas yang dibawa sejak lahir

49
Ernest Renan, Apakah Bangsa Itu? (Qu’est ce qu’une nation?) dialih bahasa
oleh Mr. Sunario, Bandung: Alumni, 1994, h. xviii

22
Definisi dan Unsur-unsur Negara

yang tidak dapat dibatalkan. Negara adalah rakyat yang


diorganisasikan ke dalam lembaga politik (kekuasaan).

Senada dengan hal tersebut, F.Isjwara menyatakan bahwa


kata “nation” lazim disamakan artinya dengan rakyat (people).
Namun demikian terdapat perbedaan mendasar antara bangsa
dan rakyat. Perbedaannya adalah bahwa bangsa senantiasa
rakyat, bangsa lahir dari dan berpangkal dari rakyat yang sama.
Tetapi suatu rakyat tidak selalu merupakan suatu bangsa. Untuk
menjadi bangsa, rakyat harus memiliki suatu esensi psychis
tertentu.50
Apabila dikaitkan kelahiran negara dan eksistensi bangsa
dalam negara, maka terdapat berbagai pandangan ahli.
Logemann menyatakan bahwa negara yang membentuk bangsa.
Artinya bahwa yang primer adalah negara, sedangkan bangsa
adalah sekunder.51 Hal tersebut senada dengan pendapat Hans
Khon yang menyatakan bahwa negara merupakan elemen
konstitutif dari bangsa.52
Untuk memberikan hak konstitusional kepada rakyat, maka
masing-masing rakyat diberikan status sebagai warga negara
(citizen)sebagai unsur pokok/hakiki dari suatu negara. Istilah
warga negara muncul pertama kali di Romawi untuk menunjuk
orang-orang yang mempunyai kebebasan di dalam negara
tersebut dan mempunyai hak untuk melaksanakan semua
keistimewaan sebagai warga negara dalam bidang politik dan
sipil kepada pemerintah. Menurut Black’s Law Dictionary,
warga negara (citizen) adalah:53
a. A member of a free city or jural society(civitas), possessing all the
rights and privilegeswhich can be enjoyed by any person underits
constitution and government, and subject tothe corresponding
duties (anggota dari negara yang merdeka, mempunyai

50
F. Isjwara, Op. Cit., h. 128
51
Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Jakarta: Bumi Aksara, 1990, h. 25
52
F. Isjwara, Op.Cit., h. 129
53
Henry Campbell Black, Op.Cit., h. 310

23
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

seluruh hak dan keistimewaan yang dapat dinikmati oleh


setiap orang di bawah konstitusi dan pemerintahannya,
melekat kewajiban terhadapnya).
b. A membersof community inspired to common goal, who, in associ-
ated relations, submit themselves to rulesof conduct for the promo-
tion of general welfareand conservation of individual as well as
collectiverights (anggota dari kelompok yang terinspirasi dari
kesamaan tujuan, yang memiliki kaitan hubungan, menun-
dukkan diri mereka terhadap tata kelola peraturan untuk
menciptakan kesejahteraan umum dan pemeliharaan, baik
terhadap hak individu maupun hak kelompok).
c. A member of a nation or body politic of the sovereign (anggota
dari sebuah negara lembaga politik (kekuasaan) yang
berdaulat).
d. State or political society who owes allegiance (negara atau
masyarakat politik yang mempunyai kesetian).
e. A member of the civil state entitled to all its privileges (anggota
dari negara yang diberikan seluruh keistimewaan).

Dari pengertian di atas, maka warga negara adalah setiap


orang yang ditetapkan menjadi warga negara suatu negara
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di
negara yang bersangkutan, sehingga orang tersebut mempunyai
hubungan hukum berupa hak dan kewajiban dengan negara.
Status kewarganegaraan memberikan hak kepada warga negara,
di mana hak tersebut tidak dimiliki oleh orang yang tidak men-
jadi warga negara. Karenanya, status warga negara merupakan
alas atau dasar adanya hak kewajiban antara warga negara
dengan negara. Hak dan kewajiban tersebut bersifat timbal balik.
Menurut Ni’matul Huda, status warga negara dalam negara
terbagi dalam 4 (empat) hal yakni:54
a. status posistif warga negara memberikan hak kepadanya
untuk menuntut tindakan positif daripada negara mengenai

54
Ni’matul Huda, Ilmu…Op.Cit., h. 23-24

24
Definisi dan Unsur-unsur Negara

perlindungan atas jiwa, raga milik, kemerdekaan, dan


sebagainya.
b. status negatif warga negara memberikan jaminan bahwa
negara tidak boleh ikut campur terhadap hak asasi warga
negara. Campur tangan tersebut dapa dilakukan secara ter-
batas untuk mencegah terjadinya tindakan sewenang-
wenang negara.
c. status aktif warga negara memberikan hak kepada setiap
warga negara untuk ikut serta/berpartisipasi dalam pelak-
sanaan pemerintahan. Status ini memberikan hak kepada
warga negara untuk memilih dan dipilih.
d. status pasif warga negara memberikan kewajiban kepada
warga negara untuk menaati segala perintah dan hukum
yang ditetapkan oleh negara.

Dalam menelaah tentang kewargenageraan, maka terdapat


berbagai hal yang perlu diketahui, karena keterkaitanannya satu
dengan yang lainnya. Hal-hal yang berhubungan dengan
kewarganegaraan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Ius soli (law of the soil) adalah status kewarganegaraan
seseorang ditentukan berdasarkan tempat kelahirannya.
Artinya bahwa apabila seorang anak lahir di suatu negara
tertentu, maka anak yang bersangkutan memperoleh status
kewarganegaraan dari negara yang bersangkutan. Prinsip ini
tidak mempertimbangkan status kewarganegaraan orang
tuanya. Prinsip ini berkembang dalam negara-negara yang
menganut/terpengaruh sistem hukum common law (anglo
saxon), misalnya Inggris dan Amerika.
Contoh:
1) A dan B adalah Warga Negara Amerika Serikat. A dan B
menikah, kemudian mereka mempunyai anak C yang
lahir di Washington DC. Maka C juga adalah Warga
Negara Amerika Serikat.
2) A dan B adalah Warga Negara Indonesia. A dan B
menikah, kemudian mereka mempunyai anak C yang

25
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

lahir di Washington DC Amerika. Maka C juga adalah


Warga Negara Amerika Serikat.
b. Ius sanguinus (law of the blood) adalah status kewarga-
negaraan seseorang ditentukan berdasarkan darah
(keturunannya). Artinya bahwa apabila orang tua (ibu/
bapak) adalah warga negara suatu negara, maka anak
yang dilahirkan adalah warga negara dari negara yang
bersangkutan. Prinsip ini tidak mempertimbangkan
tempat kelahiran anak tersebut. Prinsip ini berkembang
dalam negara-negara yang menganut/ terpengaruh
sistem hukum civil law (eropa kontinental), misalnya In-
donesia.
Contoh:
1) A dan B adalah Warga Negara Indonesia. A dan B
menikah, kemudian mereka mempunyai anak C yang
lahir di Surabaya. Maka C juga adalah Warga Negara
Indonesia.
2) A dan B adalah Warga Negara Indonesia. A dan B
menikah, kemudian mereka mempunyai anak C yang
lahir di Washington DC Amerika. Maka C juga adalah
Warga Negara Indonesia.
3) A adalah Warga Negara Indonesia menikah dengan B
seorang Warga Negara Amerika Serikat. Dari hasil
pernikahannya tersebut, lahirlah C di Amerika Serikat.
Maka C juga adalah Warga Negara Indonesia.
c. Bipatride (dwi kewarganegaraan) adalah suatu kondisi di
mana satu orang mempunyai status kewargenagaraan
lebih dari satu (kewarganegaraan ganda). Hal ini
disebabkan oleh adanya 2 (dua) sistem kewargenagaraan
yang berbeda yang dipakai oleh 2 (dua) negara.
Contoh: A dan B adalah Warga Negara Indonesia yang
telah menikah dan tinggal di Inggris. Dari perkawinan A
dan B lahirlah anak bernama C yang lahir di Inggris. Maka
C mempunyai status kewarganegaraan ganda (bipatride),
yakni Warga Negara Indonesia dengan prinsip ius sangui-
nus, dan Warga Negara Inggris dengan prinsip ius soli.

26
Definisi dan Unsur-unsur Negara

d. Apatride(non kewarganegaraan) adalah suatu kondisi di


mana satu orang tidak mempunyai status kewarga-
negaraan (stateless). Hal ini disebabkan oleh ketentuan
peraturan perundang-undangan kewarganegaraan suatu
negara.
Contoh: A dan B adalah warga negara Inggris yang tinggal
di Indonesia. Kemudian mereka mempunyai anak C yang
lahir di Indonesia. Sampai umur 20 tahun, C tidak
melaporkan diri pada perwakilan Inggris setempat dan
batas waktu untuk melaporkan itu sudah lewat 12 bulan.
Maka menurut syarat kewarganegaraan Inggris, C akan
kehilangan status kewarganegaraannya sebagai warga
negara Inggris dan Indonesia dengan prinsip ius sanguinus
juga tidak mengakui C sebagai Warga Negara Indonesia.
Untuk itu, C menjadi tanpa kewarganegaraan atau apatride
(stateless).

2. Wilayah Tertentu
Sebuh negara berdaulat harus mempunyai wilayah tertentu
(defined territory) yang tidak digantungkan kepada besar atau
kecilnya luas wilayah. Wilayah tertentu adalah batas wilayah
di mana kekuasaan negara itu berlaku. Artinya bahwa kekuasaan
tertinggi negara (kedaulatan) hanya dapat dilaksanakan atau
diterapkan dalam wilayah tersebut. Ditinjua dari aspek yuridis,
hukum positif suatu negara hanya dapat dilaksanakan atau
dipaksakan keberlakuannya di wilayah negara bersangkutan.
Setiap orang dapat dihukum atau dikenakan sanksi hukum suatu
negara, apabila ia melanggar hukum dari negara yang bersang-
utan. Karenanya, wilayah negara sangat berkaitan erat dengan
kedaulatan suatu negara.
Menurut Bagir Manan, 55 bahwa setiap negara harus
mempunyai wilayah yang tampak nyata dengan batas-batas
yang dapat dikenali, baik dalam arti faktual dan yuridis. Arti

55
Bagir Manan, Hukum Kewarganegaraan Menurut UU No. 12 Tahun 2006,
Yogyakarta: FH UII Press, 2009, h. 1

27
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

faktual artinya bahwa negara tersebut menguasai dan


menjalankan kekuasaan atas wilayah tersebut. Namun demikian,
sesuatu yang faktual belum tentu benar secara yuridis, misalkan
wilayah yang diduduki secara paksa atau disengketakan.
Sedangkan arti yuridis artinya bahwa negara tersebut secara
hukum menjalankan kekuasaanya di wilayah tersebut, tetapi
tidak secara faktual tidak menjalankan kekuasaanya di negara
tersebut. Hal tersebut disebabkan oleh karena wilayah faktual
suatu negara diduduki musuh dan pemerintahan negara yang
bersangkutan berada di luar wilayah negara atau pemerintahan
dalam pengasingan (in exile) seperti pemerintahan Palestina yang
pernah berkedudukan di Kairo (Mesir).
Secara umum wilayah negara dibagi menjadi 2, yakni
sebagai berikut:
a. Inter territorial adalah wilayah negara yang secara faktual
maupun yuridis dikuasai oleh negara yang bersangkutan.
Inter territorial suatu negara dapat berupa daratan, lautan dan
ruang angkasa. Wilayah lautan negara berdasarkan
ketentuan United Nation Convention Law on The Sea (UNCLOS)
Tahun 1982 dibagi menjadi:
1) Laut teritorial sejauh 12 mil laut yang diukur dari titik
terluar ketika air laut surut. Dalam laut teritorial, negara
berdaulat penuh, untuk melaksanakan hukumnya, ter-
masuk atas ruang udara di atasnya. Dalam laut teritorial
diakui hak lintas damai bagi kapal-kapal asing yang
melintas.
2) Zona tambahan terletak pada sisi luar garis pangkal dan
tidak melebihi 24 mil laut dari garis pangkal. Dalam Zona
tambahan, negara berwenang secara terbatas untuk
mencegah pelanggaran-pelanggaran terhadap bea cukai,
fiskal, imigrasi dan perikanan. Zona tambahan tidak
termasuk kedaulatan negara.
3) Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil laut yang
diukur dari titik terluar ketika air laut surut. Dalam ZEE,
nagara memiliki kedaulatan yang ekslusif untuk
keperluan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam

28
Definisi dan Unsur-unsur Negara

di permukaan laut, di dasar laut dan juga di bawah laut


serta mengadakan penelitian sumber daya hayati maupun
sumber daya laut lainnya.
4) Landas kontinen yakni dasar laut dan tanah di bawah
permukaan laut yang terletak di luar laut territorial
sepanjang kelanjutan alamiah di wilayah daratannya
hingga pinggiran luar tepian kontinen, atau hingga jarak
200 mil laut dari garis pangkal di mana lebar laut teritorial
diukur dalam hal pinggiran laut tepi kontinen tidak
mencapai jarak tersebut. Dalam landas kontinen, negara
berhak untuk mengeksplotasi sumber daya alam yang
ada, seperti minyak, gas bumi dan sumber daya alam
lainnya.
Adapun wilayah udara negara diatur dalam Konvensi
Paris 1919 yang telah diganti dengan Convention On In-
ternational Civil Aviation (Konvensi Chicago 1944). Pasal 1
konvensi tersebut menyatakan bahwa “The contracting
States recognize that every State has complete and exclusive
sovereignty over the airspace above its territory”. Artinya
bahwa negara mempunyai kedaulatan yang sempurna
dan eksklusif terhadap udara yang berada di atas teri-
torialnya. Karenanya, negara yang bersangkutan berhak
untuk membuat pengaturan mengenai penggunaan ruang
udara yang berada di atas wilayah teritorialnya. Selain
itu, negara yang akan memasuki wilayah udara suatu
negara, maka terlebih dahulu harus memperoleh izin dari
negara yang berdaulat atas wilayah udara tersebut.

b. Extraterritorial adalah wilayah negara yang berada di luar


wilayah faktual suatu negara atau wilayah yang berada di
wilayah negara lain. Walaupun demikian, negara yang
bersangkutan mempunyai kedaulatan untuk menerapkan
hukumnya. Yang termasuk extra territorial adalah kantor
perwakilan dan kapal berbendera (floating island). Apabila
terjadi kejahatan di dalam kedua wilayah extra territorial
tersebut, maka hukum yang berlaku adalah hukum dari
negara yang mempunyai wilayah extra territorial.

29
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

3. Pemerintah yang berdaulat


Sebagai sebuah entitas politik, negara mempunyai organi-
sasi yang memiliki kekuasaan (kewenangan) untuk merumuskan
dan melaksanakan hukum yang mengikat bagi penduduk/
warga negara yang berada di wilayah tersebut. Kekuasaan
negara dalam pelaksanaannya diwakili oleh organisasi negara.
Organisasi tersebut dikenal dengan istilah Pemerintah. Secara
fungsional, Pemerintah berfungsi untuk membuat dan me-
laksanakan keputusan politik dalam rangka mencapai tujuan
masyarakat negara.56
Dalam arti yang luas, Pemerintah adalah seluruh organ atau
badan-badan negara, yang dalam teori Trias Politika terdiri atas
legislatif, eksekutif dan yudisial. Sedangkan dalam arti sempit,
Pemerintah adalah eksekutif (bestuur) yang berfungsi untuk
menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dengan kata lain, Pemerintah (bestuur) adalah semua kekuasaan
negara dikurangi dengan kekuasaan membentuk undang-
undang dan kekuasaan mengadili (B=kn-(Rg+Rh).57
Pemerintah merupakan seseorang atau beberapa orang dan
memerintah menurut hukum negerinya.58 Senada dengan hal
tersebut, Utrecht menyatakan bahwa Pemerintah dapat diartikan
menjadi 3 pengertian, yakni:59
a. Pemerintah sebagai gabungan dari semua badan kenegaraan
yang berkuasa memerintah, yang meliputi legislatif,
eksekutif, dan yudisial.

56
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Widiasarana
Indonesia, 1992, h. 167
57
Bestuur: pemerintah; kn: kekuasaan negara; Rg (regelgeving): pembentuk
undang-undang; dan Rh (rechtspraak: peradilan). Baca dalam Ridwan HR.,
Hukum Administrasi Negara, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010, h. 42
58
I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a, Op.Cit., h. 10
59
E.Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Bandung:
Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Negeri
Padjajaran, 1969

30
Definisi dan Unsur-unsur Negara

b. Pemerintah sebagai gabungan badan-badan kenegaraan


tertinggi yang berkuasa memerintah di wilayah suatu negara,
seperti Presiden.
c. Pemerintah dalam arti kepala negara bersama-sama dengan
menterinya yang berarti sebagai organ eksekutif.

Pemerintahan negara harus berdaulat dalam melaksanakan


kekuasaan (kewenangan yang dimiliki. Pemerintahan yang ber-
daulat dapat diartikan sebagai pemerintahan yang mempunyai
kewenangan tertinggi untuk membentuk undang-undang dan
melaksanakan undang-undang tersebut dengan berbagai cara yang
tersedia, termasuk dengan cara paksaan. Pemerintahan yang
berdaulat adalah pemerintahan yang diakui oleh rakyatnya sendiri,
sehingga pemerintah dapat bertindak dan berdiri secara stabil.
Pemerintah yang berdaulat dapat diartikan menjadi 2 (dua)
yakni berdaulat ke dalam dan berdaulat ke luar. Pemerintah
yang berdaulat ke dalam artinya bahwa pemerintah berkuasa
(berwenang) untuk menerapkan hukum yang dibuatnya, dan
rakyat wajib untuk mentaatinya. Kedaulatan ke dalam ini
memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk memak-
sakan hukum kepada rakyat dan berwenang memberikan sanksi
kepada rakyat yang tidak mentaati hukum negara. Sedangkan
pemerintah yang berdaulat ke dalam artinya bahwa pemerintah
berkuasa (memiliki kewenangan) untuk melakukan hubungan
luar negeri dengan negara lain dan berwenang untuk mem-
pertahankan kemerdekaannya dari serangan pihak lain.
Pemerintahan yang berdaulat merupakan unsur pokok dari
negara. Karena, untuk mencapai tujuan negara, dibutuhkan
pemerintahan yang berdaulat yang tidak diintervensi oleh
negara lain. Berkaitan dengan hal tersebut, Lauterpacht
menyatakan bahwa pemerintah merupakan syarat utama
(terpenting) untuk adanya suatu negara. Jika pemerintah
tersebut ternyata secara hukum atau secara faktanya menjadi
negara boneka atau negara satelit dari suatu negara lainnya,
maka negara tersebut tidak dapat digolongkan sebagai negara.60

60
Ni’matul Huda,Ilmu…Op.Cit., h. 33

31
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

Bahkan menurut Bagir Manan bahwa eksistensi suatu negara


sangat bergantung pada kemampuan untuk menjalankan
pemerintahan yang secara efektif di dalam wilayah negara yang
bersangkutan.61

4. Kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan


negara lain
Dalam Ilmu Politik dan Hukum Tata Negara, unsur ini
bukan merupakan unsur yang bersifat konstitutif bagi
terbentuknya suatu negara. Unsur ini merupakan unsur yang
bersifat deklaratif yakni hanya menerangkan tentang adanya
negara. Tanpa adanya pengakuan dari negara lain, suatu negara
tetap berdiri asalkan unsur konstitutifnya telah terpenuhi.
Menurut pandangan ini, pengakuan dari negara lain hanya
bersifat pencatatan dari negara-negara lain, bahwa negara baru
telah mengambil tempat di samping negara-negara lain yang
telah ada. 62 Contoh dari pandangan ini adalah kemerdekaan
Amerika Serikat pada tahun 1776, sedangkan pengakuan dari
Inggris pada tahun 1873. Indonesia merdeka pada tahun 1945,
dan pada waktu itu tidak ada satu pun negara yang mengakui
dan Belanda mengakui pada tahun 1949.
Namun demikian, hukum internasional menyatakan bahwa
unsur ini merupakan unsur yang bersifat konstitutif. Berkaitan
dengan hal tersebut, Starke63 menyatakan bahwa “so far as inter-
national law is concerned, the qualification (d) is the most important”.
Karena unsur tersebut yang membedakan negara sebagai
kesatuan politik yang berdaulat dari kesatuan-kesatuan politik
yang tidak atau hanya separuh berdaulat seperti negara bagian
sesuatu federasi, protektorat, negara-negara di bawah perwalian
dan sebagainya.64 Senada dengan hal tersebut, R.C. Hingorani
menyatakan bahwa unsur ini bukan saja penting, namun menjadi

61
Bagir Manan, Hukum…Op.Cit., h. 3
62
M. Solly Lubis, Ilmu…Op.Cit., h. 16
63
J.G. Starke, Op.Cit., h. 80
64
F. Isjwara, Op.Cit., h. 96

32
Definisi dan Unsur-unsur Negara

suatu keharusan (a must) bagi suatu negara untuk memperoleh


keanggotaan masyarakat internasional. Dengan adanya
pengakuan dari negara lain, maka negara tersebut menjadi
negara yang independen dalam mengatur urusan baik dalam
maupun luar negeri.65
Persepektif hukum internasional di atas dapat dimengerti
karena negara merupakan subjek hukum internasional
terpenting (par excellence) dibandingkan dengan subjek hukum
internasional lainnya. Untuk itu, Pasal 1 Montevideo (Pan Ameri-
can) Convention on Right and Duties of States of 1933 telah
menentukan bahwa unsur pengakuan merupakan unsur yang
bersifat konstitutif. Negara sebagai subjek hukum internasional
mempunyai hak dan kewajiban dalam melakukan hubungan
luar negeri dengan negara lain. Oleh karena itu, untuk men-
ciptakan equal treatment (perlakuan setara) dibutuhkan pe-
ngakuan antar negara sebagai perwujudan saling menghormati
antar negara.

65
Ni’matul Huda, Ilmu…Op.Cit., h. 36

33
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

34
BAB III
TUJUAN DAN FUNGSI NEGARA

A. Tujuan Negara
Negara dibentuk oleh persekutuan masyarakat yang
memiliki tujuan bersama. Dengan adanya tujuan bersama
tersebut, masyarakat berkumpul dalam bentuk negara.
Masyarakat negara diikat tidak hanya berdasarkan kesamaan
fisik, agama, ras dan sebagainya, namun diikat oleh adanya
kesamaan tujuan. Tujuan masyarakat tersebut menjadi dasar
dibentuknya negara. Untuk itu, maka setiap negara memiliki
tujuan-tujuan tertentu. Tujuan negara tidak dapat dipisahkan
dari eksistensi negara. Tujuan negara merupakan suatu
keharusan bagi sebuah negara. Tidak ada satu pun negara di
dunia yang tidak memiliki tujuan.
Tujuan negara menunjukkan cita negara yang ingin
diwujudkan. Tujuan negara bersifat abstrak dan idiil mengenai
sesuatu yang ingin diwujudkan oleh negara. Oleh karena itu,
tujuan negara berfungsi sebagai pedoman dan arahan untuk
menjalankan kekuasaan negara. Pelaksanaan kekuasaan negara
harus diarahkan pada terwujudnya tujuan negara. Negara
merupakan instrumen yang diberikan kekuasaan oleh rakyat
untuk mewujudkan apa yang menjadi tujuan mereka.
Berkaitan dengan apa yang menjadi tujuan negara, di bawah
ini diuraikan beberapa pandangan ahli:

35
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

1. Plato menyatakan bahwa negara timbul karena adanya


kebutuhan umat manusia. Tiada manusia yang dapat
memenuhi semua kebutuhannya sendiri-sendiri (manusia
autarkis), sedangkan masing-masing manusia mempunyai
banyak kebutuhan. Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
yang banyak dan yang tidak dapat dipenuhi sendiri oleh
manusia secara individu, maka dibentuklah negara.66
Dari pendapat Plato di atas, maka tujuan negara adalah untuk
memenuhi kebutuhan manusia yang beraneka ragam.
2. Aristoteles menyatakan bahwa negara dimaksudkan untuk
kepentingan warga negaranya, supaya mereka itu dapat
hidup baik dan bahagia. Negara itu merupakan satu kesatuan
yang tujuannya untuk mencapai kebaikan yang tertinggi,
yaitu kesempurnaan diri manusia sebagai anggota negara.67
Dengan kata lain, Aristoteles menyatakan bahwa negara
dibentuk dan dipertahankan karena negara bertujuan untuk
menyelenggarakan hidup yang baik bagi semua warga
negara (every state is a community of some kind, and every com-
munity is established with a view to some good…).68
Dari pendapat Aristoteles di atas, maka tujuan negara adalah
untuk mencapai kehidupan yang baik bagi seluruh negara.
3. John Locke menyatakan bahwa tujuan negara adalah
kebaikan umat manusia (the end of government is the good
mankind).69Menurut John Locke bahwa negara dibentuk
bertujuan untuk memberikan manfaat bagi seluruh manusia,
terutama negara dibentuk untuk memberikan perlindungan
kepada hak-hak kodrati yang dimiliki oleh manusia.
4. Roger H. Soltau menyatakan bahwa tujuan negara adalah
memungkinkan rakyatnya berkembang serta menyeleng-
garakan daya ciptanya sebebas mungkin. Negara bertujuan

66
F. Isjwara, Op.Cit., h. 164
67
Soehino, Op.Cit., h. 24
68
F. Isjwara, Loc.Cit
69
Ibid

36
Tujuan dan Fungsi Negara

untuk menciptakan keadaan di mana rakyatnya dapat men-


capai terkabulnya keinginan-keinginan secara maksimal.70
5. Shang Yang menyatakan bahwa tujuan negara adalah
membentuk kekuasaan. Untuk membentuk kekuasaan yang
kuat, maka ia harus membuat rakyatnya lemah dan miskin
(a weak people means a strong state and strong state means a weak
people. Therefore a country, which has the right way, is concerned
with weaking people).71
6. Nicolo Michiavelli menyatakan bahwa tujuan negara adalah
kekuasaan. Dengan kata lain, tujuan negara adalah kebesaran
dan kehormatan negara.72
7. Dante Alighieri menyatakan bahwa tujuan negara adalah
untuk menyelenggarakan perdamaian dunia dengan jalan
mengadakan undang-undang yang sama bagi semua umat.73
8. Epicurus menyatakan bahwa tujuan negara adalah me-
nyelenggarakan ketertiban dan keamanan, karenanya setiap
orang harus menundukkan diri kepada pemerintah. Negara
juga bertujuan untuk menyelenggarakan kepentingan
perseorangan.74
9. Thomas Aquinus menyatakan bahwa tujuan negara identik
dengan tujuan manusia, yakni untuk mencapai kemuliaan
pribadi, yakni kemuliaan abadi pada waktu manusia sudah
meninggal dunia.75
10. Immanuel Kant menyatakan bahwa tujuan negara adalah
membentuk dan mempertahankan hukum. Hukum tersebut
merupakan jaminan kepada warga negara untuk tidak boleh
dipaksa oleh negara terhadap undang-undang yang belum
disetujuinya. Warga negara mempunyai kedudukan yang

70
Harold J. Laski, The State in Theory and Practice, New York: The Viking
Press, 1947, h. 253
71
M. Solly Lubis, Ilmu…Op.Cit., h. 44
72
Ni’matul Huda, Ilmu…Op.Cit., h. 55
73
Sjachran Basah, Op.Cit., h. 149
74
Soehino, Op. Cit., h. 31
75
Ibid, h. 58

37
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

sama dan tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang oleh


negara.76
11. Benedictus de Spinoza menyatakan bahwa tujuan negara
adalah untuk menyelenggarakan perdamaian, ketentraman
dan menghilangkan ketakutan. Untuk mencapai tujuan
tersebut, maka warga negara harus tunduk dan patuh
terhadap peraturan perundang-undangan negara. Dengan
demikian, kekuasaan negara harus mutlak kepada warga
negaranya.77
12. F.Isjwara menyatakan bahwa negara adalah lembaga sosial
yang diadakan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan vital (basic need). Sebagai lembaga sosial, negara
tidak diperuntukkan memenuhi kebutuhan khusus dari
segolongan orang tertentu, tetapi untuk memenuhi keper-
luan-keperluan dari seluruh rakyat. Lembaga-lembaga sosial
itu diadakan untuk memenuhi kebutuhan kolektif.78
13. Frans M. Suseno menyatakan bahwa tujuan negara adalah
penyelenggaraan kesejahteraan umum karenanya tugas
negara adalah melindungi, menyediakan fasum, dan menjadi
wasit.79
14. Dedy Ismatullah dan Asep A. Sahid Gatara menyatakan
bahwa tujuan negara dapat diartikan sebagai visi negara,
yang secara umum ditujukan untuk menciptakan kesejah-
teraan, kemakmuran dan kebahagian bagi rakyatnya (bonum
publicum, common good, common wealth).80

Berdasarkan pandangan beberapa ahli di atas, maka secara


umum tujuan negara adalah untuk menciptakan kesejahteraan,

76
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu…Op.Cit., h. 74
77
Soehino, Op.Cit., h. 105
78
F. Isjwara, Op.Cit., h. 163
79
Franz Magnis Suseno, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999, h. 314
80
Deddy Ismatullah dan Asep A. Sahid Gatara, Ilmu Negara Mutakhir:
Kekuasaan, masyarakat, Hukum dan Agama, Bandung: Pustaka Attadbir, 2006,
h. 79

38
Tujuan dan Fungsi Negara

menciptakan ketertiban dan keamanan, dan memberikan ke-


bahagian baik lahir dan bathin, maupun materil dan immateriil.
Tidak ada satupun negara yang dibentuk bertujuan untuk
mendatangkan kerugian atau kesengsaraan bagi warganya. Tapi
negara dibentuk dengan tujuan yang baik-baik. Menurut
F.Isjawara bahwa tujuan yang baik-baik itu, semua dipusatkan
pada penciptaan kesejahteraan bagi warga negara sebagai
hukum tertinggi bagi negara dan penguasa (salus populi, suprema
lex). 81Adapun tujuan negara dalam konsep Islam adalah
“baldatun tayyibatun wa rabbun ghafuur” yakni negara/negeri
yang tayyibah (baik) dan mendapatkan ampunan Allah SWT.
Karenanya, tujuan negara dalam konsep Islam tidak hanya
dalam aspek kesejahteraan fisik/materiil, namun juga aspek
kerohanian/ immateriil.
Adapun secara khusus, tujuan negara ditentukan di dalam
konstitusi negara masing-masing. Misalkan:
1. Indonesia
Tujuan negara Indonesia terdapat dalam alenia ke-IV
Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang menentukan
“Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka…”.
2. Amerika Serikat
Tujuan negara Amerika Serikat terdapat dalam pembukaan
Konstitusi Amerika Serikat yang menentukan bahwa “We
the People of the United States, in Order to form a more perfect
Union, establish Justice, insure domestic Tranquility, provide for
the common defence, promote the general Welfare, and secure the
Blessings of Liberty to ourselves and our Posterity, do ordain and
establish this Constitution for the United States of America”.

81
F. Isjwara, Op.Cit., h. 164

39
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

3. Philipina
Tujuan negara Philipina ditentukan dalam konstitusi negara
Piliphina yang menentukan bahwa “We, the sovereign Filipino
people, imploring the aid of Almighty God, in order to build a just
and humane society and establish a Government that shall embody
our ideals and aspirations, promote the common good, conserve
and develop our patrimony, and secure to ourselves and our pos-
terity the blessings of independence and democracy under the rule
of law and a regime of truth, justice, freedom, love, equality, and
peace, do ordain and promulgate this Constitution”.
4. Mesir
Tujuan negara Mesir ditentukan dalam konstitusi negara
Mesir yang menentukan bahwa “We, the Egyptian people, in
the name of God and by His assistance, pledge indefinitely and
unconditionally to exert every effort to realize:
First: Peace for our World…
Second: Arab Unity….
Third: National Development…
Fourth: Freedom and Humanity of Egyptians..”

Dari keempat negara di atas, dapat dilihat bahwa tujuan


negara mereka satu dengan yang lainnya adalah tidak sama.
Hal ini disebabkan oleh karena tujuan negara dari masing-
masing negara di atas sangat dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan, sosial, ideologi, agama dan sistem ekonomi yang
dianut oleh negara yang bersangkutan. Namun secara umum,
keempat negara di atas mempunyai tujuan yang sama yakni
untuk menciptakan kesejahteraan bagi warga negara.

B. Fungsi Negara
F. Isjwara menyatakan bahwa tujuan tanpa fungsi adalah
steriil, fungsi tanpa tujuan adalah mustahil.82 Hal tersebut
menunjukkan bahwa antara tujuan dan fungsi tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lainnya. Untuk itu, maka untuk

82
Ibid, h. 162

40
Tujuan dan Fungsi Negara

melaksanakan tujuan negara yang bersifat abstrak dan idiil,


maka dibutuhkan fungsi negara yang akan melaksanakan dan
mewujudkan tujuan negara tersebut. Untuk itu, maka fungsi
negara adalah tugas daripada organisasi negara untuk mana
negara itu diadakan.
Secara umum fungsi negara dapat dibedakan menjadi 5 yakni:
1. Diplomacie83yakni fungsi negara yang bertugas untuk me-
lakukan hubungan luar negeri dengan negara lain. Dengan
kata lain, fungsi ini berkaitan dengan fungsi hubungan luar
negeri.
2. Defencie yakni fungsi negara yang bertugas untuk melakukan
pertahanan terhadap serangan pihak-pihak yang menggangu
kedaulatan negara.
3. Financie yakni fungsi negara yang bertugas untuk mengelola
segala sumber keuangan negara dan mengatur pula tentang
pengeluaran negara, seperti pajak.
4. Justicie yakni fungsi negara yang bertugas untuk menegakkan
hukum, menyelesaikan sengketa, mengadili pelanggaran
hukum dan memberikan keadilan.
5. Policie yakni fungsi negara yang bertugas untuk memberikan
keamanan dan ketertiban bagi warga negara.

Berkaitan dengan fungsi negara, John Lockemenyatakan


bahwa fungsi negara ada 3 yakni:84
1. Legislative 85 yakni fungsi negara yang bertugas untuk
membentuk undang-undang(rule making function).

83
Diplomacy is negotiation or intercourse between nations through their represen-
tatives. The rules, customs, and privileges of representatives at foreign courts.
Baca: Henry Campbell Black, Op.Cit., h. 545-546
84
Romi Librayanto, Trias Politica Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia,
Makasar: PUKAP, 2008, h. 18
85
Legislative is Making or having the power to make a law or laws Making or giving
laws; pertaining to the function of law-making or to the process of enactment of
laws. Baca: Henry Campbell Black, Op.Cit., h. 1045

41
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

2. Executive 86yakni fungsi negara yang bertugas untuk


menjalankan undang-undang, sehingga undang-undang
tersebut menjadi efektif dalam penyelenggaraan peme-
rintahan (rule application function).
3. Federative yakni fungsi negara yang bertugas untuk
melakukan hubungan luar negeri dan menyatakan perang
(rule diplomatic function).

Pendapat John Locke di atas merupakan protes terhadap


pendapat Thomas Hobbes yang menyatakan bahwa raja adalah
legibus Solutus, summa in Civics ac Sabditos Legibusque Solute Poteste
(kekuasaan supra dari negara atas warga negara dan rakyatnya,
yang tidak dibatasi oleh hukum). Dengan prinsip tersebut,
kekuasaan negara tersentral pada raja, sehingga raja sangat
absolut. Untuk menghindari kekuasaan raja yang sangat absolut
tersebut, maka kekuasaan negara harus dipisah menjadi 3
kekuasaan yakni legistaif (legislative power), eksekutif (executive
power) dan federatif (federative power). Hal tersebut sesuai dengan
tujuan dari perjanjian masyarakat ketika negara dibentuk yakni
bertujuan untuk melindungi hak-hak warga negara berupa hak
hidup, hak kebebasan dan hak milik. Namun demikian,
kelemahan dari teori John Locke ini adalah bahwa kekuasaan
yudisial digabung dengan kekuasaan eksekutif, sehingga
kekuasaan yudisial bukan merupakan kekuasaan yang
independen.
Pendapat John Locke di atas, kemudian disempurnakan atau
dikembangkan oleh Montesquieu yang menyatakan bahwa
fungsi negara dibagi menjadi 3 yakni:
1. Legislative yakni fungsi negara yang mempunyai tugas untuk
membentuk undang-undang(rule making function).

86
Executive is as distinguished from the legislative and judicial departments of gov-
ernment, the executive department is that which is charged with the detail of
carrying the laws into effect and securing their due observance. The word “execu-
tive” is also used as an impersonal designation of the chief executive officer of a
state or nation. Baca: Ibid., h. 678

42
Tujuan dan Fungsi Negara

2. Executive yakni fungsi negara yang bertugas untuk men-


jalankan undang-undang, sehingga undang-undang tersebut
menjadi efektif dalam penyelenggaraan pemerintahan (rule
application function). Secara negatif, eksekutif juga dapat
diartikan sebagai seluruh fungsi negara selain fungsi legislatif
dan fungsi yudisial.
3. Judicial87yakni fungsi negara yang bertugas untuk mengadili
pelanggaran terhadap undang-undang (rule adjudication func-
tion).

Pendapat Montesquieu di atas, oleh Emanuel Kant disebut


sebagai “trias politica” yang berarti 3 poros atau cabang
kekuasaan (“tri” artinya 3, “as” artinya poros/cabang, dan
“politica” artinya kekuasaan). Menurut Montesquieu, ketiga
fungsi negara tersebut harus terpisah satu dengan yang lainnya,
baik secara fungsional maupun institusional. Pemisahaan ke-
kuasaan bertujuan supaya fungsi-fungsi negara tidak diserahkan
kepada orang yang sama untuk menghindari penyalahgunaan
kekuasaan oleh pihak yang berkuasa.88 Pemisahan kekuasaan
juga bertujuan untuk menjamin hak kebebasan yang dimiliki
oleh warga negara, karenanya Montesquieu menyatakan bahwa
“when the legislative power and executive power are united in the same
person…there can be no liberty; neither is there any liberty if the power
of the judge is separate from legislative and executive power”.89
Lebih lanjut, Montesquieu menyatakan bahwa kekuasaan
perundang-undangan harus terletak pada badan perwakilan
rakyat, kekuasaan pelaksanaan undang-undang pada raja,
kekuasaan pengadilan pada para hakim yang sama sekali bebas

87
Judicial is 1) belonging to the office of a judge; as judicial authority; 2) relating to
or connected with the administration of justice; as a judicial officer; 3) having the
character of judgment or formal legal procedure; as a judicial act; 4) proceeding
from a court of justice; as a judicial writ, a judicial determination; 5) Involving
the exercise of judgment or discretion; as distinguished from ministerial. Baca:
Ibid., h. 983
88
Miriam Budiardjo, Op.Cit., h. 152
89
Ni’matul Huda, Ilmu…Op.Cit., h. 74

43
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

dari kekuasaan pelaksanaan.90 Montesquieu menekankan bahwa


fungsi negara tidak boleh terpusat pada satu orang atau lembaga,
namun fungsi tersebut harus dipencarkan atau dipisah satu
dengan lainnya, baik secara institusional maupun fungsional.
Berkaitan dengan hal tersebut, Bagir Manan menyatakan bahwa
pemisahan kekuasaan pada dasarnya berintikan pada adanya
independensi masing-masing alat kelengkapan negara baik
eksekutif, legislatif, maupun yudisial.91
Pemisahan kekuasaan yang ada dalam teori trias politica
tersebut merupakan perwujudan dari negara hukum (rechtsstaat).
Di mana salah satu prinsip negara hukum (rechtsstaat)
sebagaimana dikemukakan oleh Julius Stahl adalah adanya
pemisahan kekuasaan (separation of power).92 Dalam negara
hukum, kekuasaan negara perlu dibatasi dengan cara
memisahkan fungsi-fungsi negara, sehingga tidak terpusat pada
satu kekuasaan. Pembatasan kekuasaan negara tersebut
ditentukan oleh hukum yang kemudian muncul menjadi ide
konstitusionalisme modern (modern constitutionalism) yaitu
negara dibatasi oleh konstitusi.93 Dalam sistem negara hukum,
kekuasaan mutlak untuk dibatasi, untuk menghindari kekuasaan
yang bersifat absolut. Di samping itu, pembatasan kekuasaan
juga sangat diperlukan untuk menghindari adanya kekuasaan
yang terpusat atau terkonsentrasi pada satu kekuasaan saja.
Karena itu, hakikat dari pembatasan kekuasaan adalah adanya

90
L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita,
1968, h. 248
91
Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), Yogyakarta: FH
UII Press, 2005, h. 120
92
Menurut Julius Stahl Rechtstaat mempunyai ciri –ciri sebagai berikut yaitu
a). Perlindungan hak asasi manusia, b). Pembagian atau pemisahan
kekuasaan, c). Pemerintahan berdasarkan undang-undang, d). Peradilan
tata usaha neggara. Lihat: Ni’matul Huda, Lembaga Negara Dalam Masa
Transisi Demokrasi, Yogyakarta: FH UII Press, 2007, h. 57, Titik Triwulan
Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesai Pascaamandemen UUD 1945,
Jakarta: Cerdas Pustaka Publisher, 2008, h. 71
93
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2009, h. 281

44
Tujuan dan Fungsi Negara

jaminan konstitusional bahwa penyelenggaraan kekuasaan


negara tidak dilakukan secara absolut dan sentralistik, tetapi
dibatasi dan dikontrol oleh konstitusi.
Berkaitan dengan hal tersebut, Jimly Asshiddiqie menyata-
kan bahwa pada dasarnya pemisahan kekuasaan (separation of
power) merupakan perwujudan dari adanya kedaulatan rakyat.94
Melalui pemisahan kekuasaan maka kedaulatan rakyat
diwujudkan melalui adanya kelembagaan yang tidak terpusat
dan lebih menjamin adanya mekanisme saling kontrol. Lebih
lanjut Jimly Asshiddiqie menyatakan:
Dari segi kelambagaan, prinsip kedaulatan rakyat itu biasanya
diorganisasikan melalui dua pilihan cara yaitu melalui sistem
pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan
(distribution or division of power). Pemisahan kekuasaan bersifat hori-
zontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan ke dalam fungsi-fungsi
yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan
saling mengimbangi (checks and balances). Sedangkan pembagian
kekuasaan bersifat vertikal dalam arti perwuju dan kekuasaan itu
dibagikan secara secara vertikal ke bawah kepada lembaga tinggi
negara di bawah pemegang kedaulatan rakyat.95

Pemisahan kekuasaan yang kehendaki oleh Montesquieu


dalam trias politica adalah pemisahan kekuasaan yang secara
limitatif memisahkan kekuasaan negara, baik mengenai fungsi
(tugas) maupun mengenai alat perlengkapan (organ) yang
melaksanakannya. Pemisahaan kekuasaan seperti itu sangat sulit
dilaksanakan dalam aspek ketatanegaraan modern. Karenanya,
walaupun secara institusional kekuasaan negara harus terpisah,
namun hubungan fungsional tetap harus ada antara kekuasaan
negara, sehingga checks and balances dan power limits power dapat
dilaksanakan dengan mudah.
Sehubungan dengan hal tersebut, Hood Phillip menyatakan
bahwa “pemisahan kekuasaan dengan tidak mengakui overlap-
ping dan koordinasi satu sama lain dapat membawa pemerin-

94
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan
Dalam UUD 1945, Yogyakarta: FH UII Press, 2005, h. 35
95
Ibid

45
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

tahan kepada kekuatan (standstill), dan itu sama artinya dengan


membiarkan satu cabang kekuasaan menjalankan kekuasaan
secara eksklusif yang pada gilirannya akan melahirkan pe-
nyalahgunaan kekuasaan.96 Pemisahan kekuasaan tanpa disertai
dengan koordinasi akan menyebabkan pemerintahan tanpa
kontrol dan menyebabkan pengkotakan kekuasaan dan
berpotensi menimbulkan keangkuhan kekuasaan dari masing-
masing pemegang kekuasaan negara. Maka perlu dicari konsep
keseimbangan dalam pemisahan kekuasaan.97 Antara satu
pemegang kekuasaan mengimbangi pemegang kekuasaan
lainnya. Hal ini bertujuan untuk mencegah supaya tidak terjadi
power heavy di satu kekuasaan dan kekuasaan lainnya hanya
sebagai pelengkap saja. Apakah itu eksekutif, legislatif, atau
yudisial kekuasaanya harus saling mengimbangi, tidak boleh
ada satu kekuasaan yang lebih dominan dari kekuasaan lainnya.
Antara ketiga kekuasaan tersebut setara sehingga checks and bal-
ances dapat berjalan.
Dalam prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power),
kesedarajatan dan perimbangan kekuasaan adalah suatu yang
bersifat primer atau pokok, karena yang ditekankan adalah
hubungan fungsional antar pemegang kekuasaan negara.
Sehingga dalam konsep pemisahan kekuasaan, hubungan
fungsional didasarkan pada prinsip checks and balances. Prinsip
saling mengawasi dan saling mengimbangi bertujuan untuk
menghindari absolutisme kekuasaan atau mencegah korupsi
kekuasaan yang timbul karena kemungkinan kekuasaan tanpa
pengawasan.98 Lebih lanjut Agus Wahyudi menyatakan:
Esensi dari adanya trias politica adalah adanya pemisahan kekuasaan.
Pemisahan kekuasaan menentukan dan menjaga kebebasan politik dari
masing-masing kekuasaan baik eksekutif, legislatif, maupun yudisial.
Pada masing-masing kekuasaan tersebut terdapat fungsi pemerintahan

96
Romi Librayanto, Op.Cit., h. 22
97
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan
Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Gramedia, 1994, h. 31
98
Agus Wahyudi, Doktrin Pemisahan Kekuasaan: Akar Filsafat dan Praktek, Jurnal
JENTERA, Edisi 8 Tahun III, Maret 2005, h. 6

46
Tujuan dan Fungsi Negara

yang dapat diidentifikasi secara sejajar. Masing-masing kekuasaan


harus dibatasi pada pelaksanaan fungsinya sendiri dan tidak
diperbolehkan melanggar fungsi dari cabang-cabang yang lain. Selain
itu orang yang mengisi ketiga kekuasaan itu harus tetap dipastikan
terpisah dan berdiri sendiri, tidak ada individu yang diperbolehkan
pada saat bersamaan menjadi anggota dari lebih satu cabang. Dengan
cara ini, masing-masing cabang mengawasi cabang yang lain.99

Dari penjelasan di atas, maka pemisahaan kekuasaan yang


diajarkan dalam Trias Politica tidak dapat dimaknai sebagai
pemisahaan kekuasaan negara yang terpisah sama sekali.
Namun, triaspolitica harus dimaknai sebagai pemisahaan
kekuasaan negara di mana fungsi negara tidak terpusat pada
satu kekuasaan negara saja, namun dilaksanakan oleh berbagai
lembaga negara dengan tetap memperhatikan keseimbangan
antar lembaga negara. Oleh karena itu, trias politica harus
dimaknai sebagai perwujudan checks and balences dan power lim-
its power.
Selain itu, Van Vallenhoven juga menyatakan bahwa fungsi
negara dibagi menjadi 4 fungsi negara. Teori Van Vollenhoven
tersebut dikenal dengan istilah teori caturpraja. 100 Keempat
fungsi negara tersebut adalah sebagai berikut:
1. Regeling yakni fungsi negara yang bertugas untuk
membentuk undang-undang (wet).
2. Bestuur yakni fungsi negara yang bertugas untuk
melaksanakan undang-undang. Bestuur juga dapat diartikan
sebagai segala fungsi negara selali fungsi regeling dan fungsi
rechtspraak {B=kn-(rg+rh)}.
3. Rechtspraak yakni fungsi negara yang bertugas untuk
mengadili pelanggaran terhadap undang-undang.
4. Politie yakni fungsi negara yang bertugas untuk menjaga
ketertiban dan keamanan warga negara.

Adapun Goodnow menyatakan bahwa fungsi negara dibagi


menjadi 2 (dua) yakni policy making dan policy executing. Fungsi

99
Ibid
100
Ni’matul Huda, Ilmu…Op.Cit., h. 76

47
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

negara menurut Goodnow ini dikenal dengan teori dwipraja


(dichotomy).101Policy making adalah fungsi negara yang bertugas
untuk membuat kebijakan-kebijakan yang digunakan dalam
penyelenggaraan pemerintahan negara. Adapun policy execut-
ing adalah fungsi negara yang bertugas untuk melaksanakan
kebijakan-kebijakan yang telah dibuat.
Agar fungsi-fungsi negara tersebut berjalan, maka
dibentuklah organ/lembaga negara yang melaksanakan fungsi-
fungsi tersebut. Fungsi negara tersebut dapat dilaksanakan oleh
satu atau lebih organ/lembaga negara. Hal tersebut sangat
bergantung kepada konstitusi dari suatu negara, sehingga
praktik pelaksanaan fungsi negara oleh organ/lembaga negara
di berbagai negara berbeda. Misalkan: Indonesia, di mana fungsi
eksekutif dilaksanakan oleh Presiden, fungsi legislatif
dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden serta
Dewan Perwakilan Daerah, dan fungsi yudisial dilaksanakan
oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Adapun di
Amerika Serikat, fungsi eksekutif dilaksanakan oleh Presiden,
fungsi legislatif dilaksanakan oleh House of Representative dan
Senate dan fungsi yudisial dilaksanakan oleh Supreme Court.

101
Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu…Op.Cit., h. 209

48
BAB IV
TEORI ASAL MULA NEGARA

A. Asal Mula Negara Zaman Yunani Kuno


Sekitar abad ke-XVIII sebelum masehi, telah muncul
beberapa negara seperti Babylonia, Mesir dan Assyria. Pada
zaman itu, raja-raja memerintah dengan sewenang-wenang dan
absolut. Pada waktu itu, manusia tidak mempunyai kebebasan
untuk mengeluarkan pikiran dan pendapatnya secara bebas.
Oleh karena itu, pemikiran tentang negara dan hukum tidaklah
bersamaan dengan munculnya negara. Dengan kata lain,
pemikiran tentang negara dan hukum tidaklah setua umur dari
mulai adanya negara. Pemikiran tentang negara dan hukum
dimulai pada zaman Yunani kuno dengan negara polis yang
sangat demokratis, di mana rakyat diberikan kebebasan untuk
mengeluarkan pendapat.
Penyelidikan tentang negara timbul dan berkembang setelah
di Yunani kuno mengalami pemerintahan yang Demokratis.
Pada waktu itu negara-negara di dalam kebudayaan Yunani
kuno, masih bersifat polis-polis atau Greak State yaitu mula-mula
merupakan suatu tempat di puncak bukit. Lama kelamaan or-
ang banyak yang tinggal di tempat itu dengan jalan mendirikan
tempat tinggal bersama berupa rumah dan kemudian di
sekeliling tempat tersebut dikelilingi oleh benteng tembok untuk
menjaga serangan musuh dari luar.102

102
Sjachran Basah, Op.Cit., h. 92

49
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

Pemerintah dalam polis merupakan hal yang tinggi, karena


di atas polis tidak ada lagi suatu organisasi kekuasaan lain yang
menguasai dan memerintah di dalam polis itu. Organisasi yang
mengatur hubungan antar orang di dalam polis tersebut tidak
hanya mempersoalkan hubungan organisasi saja, melainkan juga
mempersoalkan mengenai kehidupan pribadi dari orang-orang
yang berada di sekitarnya. Oleh karena itu, terdapat campur
tangan organisasi yang mengatur polis, oleh karena polis identik
dengan masyarakat negara atau negara, maka polis merupakan
negara kota (standstaat atau citystate).103 Berkaitan dengan hal
tersebut, Sir Ernest Barker menyatakan bahwa “...the Greak City
is one unit of life “In the first place, even if is a city, it is redolent of the
country. If it is the home of urbanity and of that “civility” from which
we have drawn our world civilization, it is also the home of “summa
rusticitas” selanjutnya dikatakan “it was not only politically self gov-
erned; it had also (what made its self government possible) a large free-
dom of social discussion”.104
Dari sekilas uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa
pada zaman Yunani kuno terdapat city state atau polis sebagai
tonggak awal berdirinya negara. Untuk dapat mengetahui secara
mendalam tentang proses terbentuknya negara pada zaman
Yunani kuno, maka selanjutnya akan diuraikan mengenai asal
mula terbentuknya negara menurut para pemikir tentang negara
pada zaman Yunani kuno berikut ini.

1. Socrates (399 S.M)


Menurut Socrates, negara bukanlah semata-mata merupa-
kan keharusan yang bersifat obyektif, yang asal mulanya
berpangkal pada pekerti manusia. Artinya bahwa negara berasal
dari kebutuhan alami manusia untuk hidup bersama. Tugas
negara adalah menciptakan hukum yang harus dilakukan oleh
penguasa yang dipilih oleh rakyat secara langsung. Hukum yang
dibuat oleh penguasa menjadi pedoman bagi penguasa dan

103
Ibid
104
Sir Ernest Barker, The Political Theory–Plato and his Predecessor, New York:
University Paperback – Barnes & Noble, 1960, h. 20-21

50
Teori Asal Mula Negara

rakyat dalam bertindak, sehingga wajib ditaati. Hal tersebut


dikenal dengan ajaran mentaati undang-undang. Ajaran
mentaati undang-undang tersebut merupakan simpul pikiran
demokratis dari Socrates. Ia selalu menolak dan menentang keras
apa yang dianggapnya bertentangan dengan ajaran mentaati
undang-undang tersebut.105
Bentuk negara Yunani kuno masih merupakan polis atau
city of state.Hal itu mula-mula hanya merupakan benteng di
sebuah bukit, yang semakin lama semakin diperkuat. Kemudian
orang-orang lain yang juga ingin hidup dengan aman ikut
menggabungkan diri, bertempat tinggal di sekeliling benteng
tersebut dengan tujuan untuk meminta perlindungan dan
keamanan, dengan demikian benteng itu semakin meluas,
kelompok inilah yang kemudian dinamakan polis. Jadi, polis
identik dengan masyarakat dan masyarakat identik dengan
negara yang masih berbentuk polis itu.
Dengan penjelasan di atas, maka dapat diketahui mengapa
pada zaman Yunanikuno dapat dilaksanakan suatu sistem
pemerintahan negara yang bersifat demokratis,yaitu106
a. Negara Yunani pada waktu itu masih kecil, masih merupakan
apa yang disebut polis atau City State (negara kota).
b. Persoalan di dalam negara pada waktu itu tidaklah kompleks
seperti saat ini oleh karena jumlah warga negaranya masih
sedikit.
c. Setiap warga negara (selain bayi, sakit ingatan dan budak
belian) adalah negara minde, dan selalu berpikir tentang
penguasa negara, cara memerintah dan sebagainya.

Sistem pemerintahan demokrasi yang digunakan pada


zaman Yunani kuno adalah demokrasi kuno atau demokrasi
langsung (direct-democracy), artinya bahwa setiap warga negara

105
J.J. Von Schmid; Ahli-ahli Pemikir Besar tentang Negara dan Hukum,
(terjemahan Mr. R. Wiratno dan Mr. Djamaluddin Dt. Singomangkuto),
Jakarta: Pembangunan, 1954, h. 9-10
106
Ibid., h. 10-11

51
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

dapat ikut secara langsung memerintah atau ikut secara


langsung menentukan kebijakan pemerintahan negara. Dengan
keadaan demikianlah bangsa Yunani di dalam sejarah pemikiran
tentang negara dan hukum menghasilkan ahli-ahli pemikir
besar.

2. Plato (429-347 S.M)


Plato merupakan murid dari Socrates. Plato telah membuat
3 (tiga) buku yang sering disinggung-singgung dalam ilmu
pengetahuan baik untuk ilmu negara maupun ilmu politik, yaitu
Politeia (the Republic) atau mengenai negara, Politicos (the State-
ment) atau mengenai ahli negara, dan Nomoi (the Law) atau
mengenai undang-undang.
Menurut Plato, negara timbul karena adanya kebutuhan dan
keinginan manusia yang beraneka ragam yang menyebabkan
mereka harus bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Tiap-tiap orang harus bekerjasama untuk memenuhi kebutuhan
mereka bersama. Kesatuan inilah yang disebut sebagai ma-
syarakat atau negara. Dengan dasar tersebut, maka Plato
menyatakan bahwa negara itu muncul karena kebutuhan
manusia yang tidak mungkin mereka dapat penuhi tanpa bekerja
sama. Berkaitan dengan hal tersebut, Plato menyatakan
bahwa:107
“The state areas out of the wants of men; then, as we many wants, and many
persons are needed to suply them, one takes a helper of one purpose and an-
other for another; and when these partners and helperare gethered together in
one habitation the body of inhabitarions is termed a state”.

Dengan dasar tersebut, maka negara itu harus dapat


memelihara dan menenuhi kebutuhan bersama. Negara
merupakan satu kesatuan, karena merupakan suatu keluarga
yang besar. Dengan demikian, luas suatu negara harus diukur,
supaya memungkinkan negara tersebut dapat mengurus
kesatuan itu. Negara tidak boleh mempunyai daerah yang
luasnya tidak tertentu.

107
Sjachran Basah, Op. Cit., h. 10

52
Teori Asal Mula Negara

Negara yang ada di dunia ini sifatnya tidak sempurna


karena merupakan bayangan belaka dari negara yang sempurna
(de ideale staat) yang ada dalam dunia cita. Dunia cita itu termasuk
lapangan filsafat. Sesuai dengan ajaran filsafatnya yakni ajaran
idealisme, maka Plato menyatakan bahwa tujuan negara adalah
untuk mencapai, mempelajari, dan mengetahui cita yang
sebenarnya. Masyarakat baru berbahagia apabila pengetahuan-
nya tidak terbatas pada bayangan saja, melainkan juga mengenal
yang sebenar-benarnya.108
Dengan dasar idealism tersebut, Plato menyatakan bahwa
tujuan negara yang sebenarnya adalah untuk mengetahui atau
mencapai atau mengenal idea yang sesungguhnya. Dan yang
bisa mengetahui idea tersebut adalah para filsuf, sehingga
pimpinan negara sebaiknya dipimpin oleh filsuf. Oleh karena
itu, Plato menyatakan bahwa bentuk negara terbaik adalah
aristokrasi yakni negara yang dipimpin oleh para cerdik pandai
atau para filsuf yang menjalankan pemerintahannya dengan
dasar keadilan, sehingga tujuannya adalah untuk kepentingan
umum.
Dalam bagian kedelapan dari Politeia, Plato mengemukakan
5 (lima) bentuk negara yang sesuai dengan sifat-sifat tertentu
dari jiwa manusia, yakni sebagai berikut:109

a. Aristokrasi (Aristocratie atau Aristocracy)


Negara di mana pemerintahannya dipegang oleh para cerdik
pandai atau para filsuf dan dalam menjalankan pemerin-
tahannya berpedoman pada keadilan dan ditujukan untuk
kepentingan umum.
b. Timokrasi (Timocratie atau Timocracy)
Negara di mana pemerintahannya dilaksanakan dan
ditujukan untuk kepentingan mereka sendiri. Kekayaan dan
pendapatan negara untuk kepentingan mereka sendiri karena
itu kemudian kekuasaan dipegang oleh hartawan (partikelir).

108
Ibid., h. 104
109
Ibid., h. 107

53
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

c. Oligarki (Oligarchie atau Oligarchy)


Negara di mana pemerintahannya dipegang oleh orang-or-
ang kaya tadi yang mempunyai hasrat untuk memperkaya
diri sendiri. Sehingga menimbulkan kemelaratan bagi rakyat.
Rakyat-rakyat miskin ini mengadakan tekanan kepada
penguasa dan bersatu untuk melawan para penguasa.
d. Demokrasi (Democratie atau Democracy)
Negara di mana pemerintahannya dipegang oleh rakyat dan
kepentingan umumlah yang diutamakan dengan prinsip
utama kemerdekaan dan kebebasan.
e. Tyrani (Tyranie atau Tyrany)
Negara di mana pemerintahannya dipegang oleh satu orang
yang dianggap mampu untuk mengatasi anarki sehingga
tidak segan-segan menyingkirkan musuh-musuhnya yang
pemerintahannya sangat jauh dari keadilan.

3. Aristoteles (384-322 S.M)


Aristoteles adalah murid dari Plato. Kalau Plato adalah
pencipta filsafat idealisme, maka Aristoteles adalah pencipta
ajaran realisme. Aristoteles melanjutkan cara berpikir dari
idealisme ke realisme. Namun demikian, Aristoteles kemudian
ingin menyelidiki sifat-sifat umum dari segala yang ada di dunia
ini, maka timbullah ajaran ilmu pengetahuan baru yaitu Prima
Philosophia, suatu ajaran filsafat pertama yang mencari hakikat
yang dalam dari apa yang ada (keadaan). Oleh karena itu,
filsafatnya merupakan suatu ajaran tentang kenyataan atau
ontologi, yakni suatu cara berpikir yang realistis.110
Di dalam penyelidikannya, Aristoteles membedakan hal
yang bersifat idiil yang merupakan pengertian abstrak seperti
kesusilaan, keadilan hukum, dan sebagainya. Seperti yang
dikatakan di dalam bukunya yang berjudul Nicomachean Ethics
bahwa “…Every art and every inguiry, and similarly every action

110
Soehino, Op. Cit., h. 23

54
Teori Asal Mula Negara

and pursuit, is thought to aim at some good; and for this reasson the
good has rightly been declared to be that at which all things aim”.111
Dengan perbedaan ajaran filsafatnya, maka berakibat pula
pada perbedaan ajaran-ajaran antara Plato dan Aristoteles
tentang negara dan hukum. Aristoteles tidak membedakan
antara dunia cita-cita dengan dunia gejala-gejala, tetapi
pikirannya ditujukan langsung kepada kenyataan sebenarnya
dari dunia panca-indera.
Dalam bukunya Politica, Aristoteles menyatakan bahwa
negara terjadi karena penggabungan keluarga-keluarga menjadi
suatu kelompok yang lebih besar, kelompok itu bergabung lagi
hingga menjadi desa dan desa ini bergabung lagi, demikian
seterusnya hingga timbul negara. Negara dipandang suatu
organisme yang lebih mengutamakan kepentingan negara atau
masyarakat. Dengan dasar tersebut, Aristoteles mengemukakan
paham collectivisme, yakni paham yang lebih mementingkan
tujuan bersama daripada tujuan lainnya.112Aristoteles menyata-
kan bahwa negara adalah suatu persekutuan yang mempunyai
tujuan tertentu. Tujuan dari negara adalah untuk kepentingan
warga negaranya, agar mereka dapat hidup baik dan bahagia.
Menurut Aristoteles, negara merupakan satu kesatuan yang
tujuannya untuk mencapai kebaikan tertinggi, yaitu kesempur-
naan manusia sebagai bagian atau anggota dari negara.113
Di samping itu, Aristoteles mengemukakan bentuk-bentuk
negara berdasarkan jumlah orang yang memimpin. Bentuk-
bentuk negara tersebut ada bentuk ideal dan ada juga bentuk
kemerosotan. Bentuk-bentuk negara tersebut adalah sebagai
berikut:114
a. Negara yang pemerintahannya dipegang oleh satu orang saja
dibagi menjadi 2 yakni monarki (kepentingan umum) dan
tyrani (kepentingan diri sendiri). Monarki adalah bentuk

111
Sjahcran Basah, Op.Cit., h. 113
112
Soehino, Op.Cit., h. 26
113
Ibid., h. 24
114
Ibid., h. 26-27

55
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

negara yang ideal, sedangkan tyrani adalah bentuk


kemerosotannya.
b. Negara yang pemerintahaannya dipegang oleh beberapa
orang dibagi menjadi 2 yakni aristokrasi (kepentingan umum)
dan oligarki (kepentingan mereka). Aristokrasi adalah bentuk
negara yang ideal, sedangkan oligarki adalah bentuk
kemerosotannya.
c. Negara yang pemerintahannya dipegang oleh rakyat dibagi
menjadi 2 yakni republik konstitusional (kepentingan umum)
dan pemerintahan yang jelek (demokrasi) karena hanya
mementingkan kepentingan si pemegang kekuasaan saja.
Republik konstitusional adalah bentuk negara yang idealnya,
sedangkan demokrasi adalah bentuk kemerosotannya.

4. Epicurus (342 – 271 S.M)


Epicurus adalah pencipta ajaran individualisme, yang
menganggap bahwa elemen atau bagian yang terpenting
bukanlah negara atau masyarakat seperti dalam universalisme-
nya Aristoteles, tetapi elemen atau bagian terpenting adalah
individu itu sendiri sebagai anggota masyarakat. Bahkan
aÆdanya negara adalah untuk memenuhi kepentingan individu
itu sendiri. Oleh karena masyarakat terdiri dari individu-
individu sebagai atom, maka individu inilah yang terpenting.
Sehingga ajaran Epicurus tentang sifat susunan masyarakat atau
negara disebut ajaran atomisme, hal ini merupakan lawan dari
ajaran organisme-nya Aristoteles.115
Dalam ajaran Epicurus terkandung benih-benih pertama
ajaran perjanjian masyarakat (social contract) yang kemudian
akan muncul dan dikembangkan oleh sarjana-sarjana hukum
alam pada abad ke-XVII hingga abad ke-XVIII. Hal ini terbukti
bahwa dalam ajaran Epicurus, orang dianggap sebagai atom atau
sebagai elemen pokok yang terkecil yang mempunyai kepri-
badian sendiri, maka dalam negara kepentingan individu itulah
yang harus diutamakan sebagai dasar dari kepentingan negara.

115
Ibid., h. 29-30

56
Teori Asal Mula Negara

Karena apabila individu tersebut bahagia, demikian pula negara.


Tetapi, dalam masyarakat sering timbul kekacauan dan keke-
rasan yang dapat mengancam ketenteraman dan kebahagiaan
individu, maka untuk mencegah hal tersebut negara harus
mengeluarkan peraturan hukum (undang-undang). Namun
demikian, undang-undang tersebut belum dapat berlaku apabila
belum mendapatkan persetujuan dari individu-individu. Jadi,
untuk berlakunya suatu undang-undang ditentukan oleh suara
individu-individu tersebut.
Menurut Epicurus, negara merupakan hasil perbuatan
manusia yang diciptakan untuk menyelenggarakan kepentingan
anggota-anggotanya. Masyarakat tidak merupakan realita dan
tidak mempunyai dasar-dasar kehidupan yang mandiri. Jadi,
menurut Epicurus yang hidup dan yang merupakan keutuhan
adalah individunya, sedangkan negara atau masyarakat adalah
buatan dari individu-individu tersebut. Negara atau masyarakat
sama halnya dengan benda mati dan merupakan suatu
mekanisme.
Tujuan negara adalah menyelenggarakan ketertiban dan
keamanan. Untuk menyelenggarakan hal itu, orang harus
menundukkan diri kepada pemerintah yang bagaimanapun
bentuk dan sifatnya. Maka menurut Epicurus, tujuan negara
selain menyelenggarakan ketertiban dan keamanan yang
terpenting adalah menyelenggarakan kepentingan perseorangan
atau keenakan pribadi. Namun demikian, menurut Epicurus
yang dimaksud dengan keenakan pribadi tersebut bukan
keenakan yang bersifat materialistis, melainkan keenakan yang
bersifat kejiwaan dan kerohanian.116 Oleh karena keenakan ini
sifatnya lebih langgeng atau abadi sedangkan keenakan yang
materialistis hanya bersifat sementara, sebagaimana di-
kemukakannya “the serene way of lives as the highest good. Place of
mind and the absence of pain are the essential conditions under which
man can best live usefuly dan bertuosly”.117 Ajaran Epicurus tentang
negara dan hukum hanya berkembang dan mempunyai manfaat

116
Ibid., h. 31
117
Sjahcran Basah, Op. Cit., h. 120

57
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

pada saat itu saja, sedang untuk kemudian hari tidak mempunyai
nilai sama sekali. Karena keadaan telah berubah. Ajaran Epicurus
ini khusus ditujukan untuk memperbaiki atau mengatasi
kebobrokan masyarakat pada saat itu saja.

5. Zeno ( 300 S.M)


Ajaran filsafat Zeno sangat berlawanan dengan ajaran
Epicurus. Sebab ajaran Epicurus berpokok pangkal pada
manusia sebagai atom dan pandangan hidupnya yang
individualistis, sedangkan ajaran Zeno bersifat universalistis
sebagaimana ajaran filsafat dari Aristoteles. Namun, terdapat
perbedaan di antara ajaran keduanya meskipun memiliki sifat
ajaran yang serupa, yakni universalisme dari Aristoteles hanya
meliputi bangsa yunani saja, sedangkan Universalisme dari Zeno
meliputi seluruh manusia dan bersifat kejiwaan.118 Oleh karena
itu, hilanglah perbedaan antara orang Yunani dengan orang
biadab, orang merdeka dengan budak, dan kemudian timbul
moral yang memungkinkan terbentuknya dunia di mana setiap
orang mempunyai kedudukan yang sama sebagai warga dunia.
Karena itu, menurut Zeno orang-orang yang hidup di dalam
masyarakat digambarkan sebagai satu-kesatuan yang bersifat
abstrak, maka inilah yang memungkinkan terciptanya persatuan
umat manusia dan hukum yang berlaku adalah hukum alam.
Hukum alam tersebut sifatnya abadi dan tidak berubah-ubah,
di antara hukum alam terdapat akal yang memungkinkan dapat
mengetahui segala hal. Dengan demikian, hal itu memberi
kemungkinan kepada manusia untuk membentuk negara
dunia.119

B. Asal Mula Negara Zaman Romawi Kuno


Pada zaman Romawi Kuno, ilmu pengetahuan, terutama
ilmu kenegaraan tidak dapat berkembang sedemikian rupa,
sehingga sedikit sekali pengetahuan yang didapatkan pada

118
Soehino, Op.Cit., h. 32
119
Ibid.

58
Teori Asal Mula Negara

zaman ini. Pada umumnya, teori-teori kenegaraan pada zaman


Romawi tidak menunjukkan hasil pemikiran yang asli, karena
dalam banyak hal mereka hanya melanjutkan ajaran-ajaran dari
para sarjana klasik (sarjana-sarjana Yunani), bahkan sebetulnya
Romawi merupakan ahli waris dari Yunani. Namun demikian,
ajaran-ajaran pemikir Romawi cukup bernilai tinggi untuk
dipelajari, karena teori mereka ditanamkan pada praktek-
praktek ketatanegaraan bangsa Romawi yang memiliki pe-
ngaruh besar terhadap negara-negara di dunia sebagaimana kita
lihat pengaruh-pengaruh tersebut hingga saat ini seperti sistem
hukum dan lain sebagainya.
Mengenai asal mula terbentuknya negara menurut para
sarjana atau para pemikir Romawi kuno terdapat beberapa
perbedaan dengan pendapat para sarjana klasik Yunani
meskipun pada umumnya memiliki banyak kesamaan karena
merupakan ahli waris dari para pemikir Yunani kuno, hal itu
sebagaimana diuraikan di bawah ini.

1. Polybius
Menurut Polybius, bentuk negara atau pemerintahan yang
sebenarnya adalah akibat dari bentuk negara lain yang telah
langsung mendahuluinya. Dan bentuk negara terakhir yang
kemudian akan menjadi sebab dari bentuk negara yang
berikutnya, demikian seterusnya sampai bentuk-bentuk negara
tersebut terulang kembali. Jadi, di antara berbagai bentuk negara
tersebut terdapat hubungan sebab akibat. Bentuk-bentuk negara
tersebut berubah-ubah sehingga perubahannya merupakan
suatu lingkaran atau suatu cyclus. Hal inilah yang kemudian
menjadi dasar dari penyebutan teorinya yang terkenal dengan
nama “Cyclus Theorie”.
Menurut ajaran Polybius dalam cyclus theorie tersebut,
bentuk negara dapat digolongkan menjadi tiga golongan besar,
yang kemudian masing-masing golongan dibedakan lagi
menjadi 2 (dua) jenis. Dengan demikian, ajaran-ajaran dari Plato,
Aristoteles dan Polybius tentang bentuk-bentuk negara pada
prinsipnya adalah sama yaitu bahwa mereka berpendapat ada
tiga bentuk negara yang pokok, kemudian masing-masing

59
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

bentuk tersebut dibedakan lagi menjadi 2 (dua) jenis, lalu ada


enam bentuk negara yang meskipun tiga bentuk yang lain hanya
merupakan ekses dari tiga bentuk yang pokok tadi. Hal inilah
yang kemudian terkenal sebagai ajaran tentang bentuk-bentuk
negara pada zaman kuno yang bersifat klasik-tradisional.
Menurut Polybius, dalam kerajaan Romawi dapat dicapai
bentuk pemerintahan yang paling baik karena dipersatukan di
dalamnya unsur-unsur terbaik dari bermacam-macam bentuk
pemerintahan menurut ajaran Aristoteles. Hanya saja, hubungan
kausal atau hubungan sebab-akibat antara bentuk pemerintahan
atau bentuk negara yang satu dengan yang lain dalam ajaran
Aristoteles belum dikatakan dengan tegas seperti halnya dalam
ajaran Polybius sebagaimana uraian berikut.
Menurut Polybius, di mana-mana bentuk monarki adalah
bentuk negara tertua yang didirikan atas kekuasaan dari rakyat
yang merupakan kesatuan berhubung dengan kecenderungan
berdasakan alam. Cita-cita akan keadilan dan kesusilaan akan
menyebabkan orang pada mulanya sangat menghargai bentuk
monarki tersebut. Dalam monarki ini kekuasaan negara
dipegang oleh satu orang tunggal yang berkuasa dan berbakat
serta mempunyai sifat-sifat yang lebih unggul dari pada warga
negara yang lain sehingga mendapatkan kepercayaan untuk
memerintah. Penguasa atau raja mula-mula melaksanakan
kekuasaannya untuk kepentingan umum, kepentingan rakyat
sangat diperhatikan. Jadi, sifat pemerintahannya adalah baik.
Tetapi, lama kelamaan keturunan dari raja itu tidak lagi men-
jalankan pemerintahan untuk kepentingan umum, melainkan
hanya untuk kepentingan diri sendiri sehingga ia memerintah
dengan sewenang-wenang, rakyat sangat tertindas dan
kepentingannya tidak diperhatikan sama sekali. Maka, jadilah
negara tersebut hanya diperintah oleh satu orang tunggal yang
sifat pemerintahannya sangat jelek. Hal ini yang menyebabkan
bentuk negara berubah dari monarki menjadi tyrani.
Selanjutnya, oleh karena pemerintahan dari seorang Tyran
bersifat sewenang-wenang, maka muncullah beberapa orang
yang berani dan mempunyai sifat-sifat baik (kaum bangsawan)
yang kemudian bersatu serta mengadakan pemberontakan.

60
Teori Asal Mula Negara

Setelah kekuasaannya beralih ke tangan mereka (kaum


bangsawan), mereka menjalankan pemerintahan dengan sangat
memperhatikan kepentingan umum. Sehingga ketika negara
tersebut pemerintahannya dipegang oleh beberapa orang dan
yang dalam menjalankan pemerintahannya sangat memperhati-
kan rakyat dan kepentingan umum, maka bentuk negara yang
semula berbentuk tyrani berubah menjadi aristokrasi.
Pemerintahan aristokrasi awalnya adalah baik, tetapi lama-
kelamaan karena keturunan mereka juga yang memegang
pemerintahan itu tidak lagi menjalankan pemerintahan untuk
melaksanakan keadilan dan kepentingan umum, melainkan
hanya kepentingan diri sendiri yang kemudian menjadikan
pemerintahan dalam negara dijalankan dengan sangat buruk
sehingga mempengaruhi bentuk negara tersebut dari bentuk
aristokrasi menjadi oligarki.
Negara yang berbentuk oligarki tersebut tidaklah men-
dapatkan dukungan dari rakyat, oleh karena bentuk negara yang
seperti ini tidak terdapat keadilan sehingga rakyat kemudian
memberontak dan mengambil alih kekuasaan negara dengan
maksud untuk memperbaiki nasib mereka. Negara di mana
pemerintahannya dijalankan oleh rakyat dan bertujuan untuk
melaksanakan kepentingan rakyat inilah yang kemudian
membuat bentuk negara berubah lagi dari oligarki menjadi
demokrasi.
Semula, pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat ini
memang baik karena sangat memperhatikan kepentingan umum
dan sangat menghargai persamaan serta kebebasan. Namun
demikian, semakin lama kebebasan tersebut tidak lagi dihargai,
karena menganggap bahwa kebebasan itu merupakan suatu hal
yang biasa, bahkan mereka ingin bebas sama sekali dari
peraturan-peraturan yang ada. Akibatnya, timbul kekacauan,
kebobrokan, korupsi merajalela di mana-mana sehingga
peraturan hukum yang ada tidak lagi mempunyai kekuatan
mengikat, bahkan mereka bebas berbuat sesuka hati, masing-
masing orang ingin mengatur dan memerintah. Hal inilah yang
kemudian menurunkan derajad Demokrasi, sehingga keadaan

61
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

yang demikian itu mempengaruhi bentuk negara dari demokrasi


menjadi okhlokrasi.
Dari keadaan yang penuh kekacauan sebagaimana
diuraikan di atas, di mana kehidupan rakyat berada di luar batas-
batas ketertiban dan kesusilaan, timbullah keinginan untuk
memperbaiki nasibnya. Bersamaan dengan itu, kemudian
muncullah seseorang yang kuat dan berani yang dengan jalan
kekerasan akhirnya dapat memgang kekuasaan. Maka,
kekuasaan pemerintahn negara beralih ke tangan satu orang
(tunggal) lagi dan yang dalam menjalankan pemerintahan
negara sangat memperhatikan kepentingan umum karena
memang ingin memperbaiki nasib rakyat yang sudah bobrok
dan kacau tersebut. Dengan demikian, timbul negara monarki
seperti bentuk awal yang artinya negara mengalami peredaran
perubahan bentuk kembali yang mulai lagi dari asal mulanya
terus menerus sebagaimana diuraikan di atas.

2. Cicero (106-43 S.M)


Menurut Cicero, negara adalah suatu keharusan dan harus
didasarkan pada ratio manusia (menurut hukum alam kodrat).
Ajaran Cicero ini sebetulnya meniru dan disesuaikan dengan
ajaran kaum Stoa (Zeno). Pengertian ratio disini menurut Cicero
adalah ratio murni, yaitu yang didasarkan pada hukum alam
kodrat. Jadi, tidak seperti Epicurus yang menganggap negara
adalah hasil dari perbuatan manusia dan fungsinya hanya
sebagai alat dari manusia untuk memenuhi kebutuhannya.120
Mengenai bentuk pemerintahan, Cicero berpendapat bahwa
bentuk yang baik adalah bentuk yang merupakan campuran dari
tiga bentuk pemerintahan yang baik-baik pula, yang dimaksud
dengan campuran dari tiga bentuk adalah campuran dari tiga
bentuk pemerintahan yaitu, monarki, aristokrasi dan republik.
Walaupun, tiap-tiap orang itu dapat mengambil bagian dalam
pemerintahan, namun demokrasi merupakan lawan dari bentuk
gabungan tersebut.121
120
Ibid., h. 41
121
Ibid., h. 42

62
Teori Asal Mula Negara

3. Seneca (meninggal 65 M) dan Marcus Aurelius (121-180


M)
Pada waktu hidupnya Romawi telah mengalami ke-
bobrokannya, kekuasaan negara hanya tinggal pada kekuatan
bala tentaranya. Raja-raja yang memegang pemerintahan telah
rusak akhlaknya. Sedangkan, orang hanya mempunyai kemung-
kinan menarik diri ke alam kebathinannya sendiri, demikian juga
yang dijalankan oleh Seneca dan Marcus Aurelius. Mulai saat
itu, orang mulai melepaskan diri dari adat kebiasaan luhur yang
turun-temurun pada bangsa Romawi untuk mengabdi pada
negara. Untuk itu, mereka mengajarkan agar orang-orang
melepaskan negara dunia dan meganjurkan pikiran ke arah
ketuhanan yang indah dan serba gaib. Karena itu dikatakannnya
“Haec Caelestia Semper Spectato!; Illa Humana Contemnito”
(Lihatlah langit yang serba indah dan suci itu serta ludahilah
keduniawian yang hina-dina itu!).122

C. Asal Mula Negara Abad Pertengahan


Setelah jatuhnya Imperium Romawi, sejarah pemikiran
tentang negara dan hukum memasuki zaman baru, yaitu jaman
abad pertengahan. Dengan runtuhnya peradaban bangsa
Romawi maka tidak dapat dihindarkan lagi keruntuhan ke-
tatanegaraannya, sebaliknya kekuasaan dari agam Kristen
semakin berkembang terus dan kemudian menggantikannya.
Karena tidak sedikit kaisar-kaisar yang memberi hati kepada
penganut-penganut agama Kristen, maka kemudian timbul
susunan organisasi gereja yang ada hubungannnya dengan
kekuasaan keduniawian yang semula ditolak oleh kaum gereja,
tetapi dalam perkembangan selanjutnya hal ini merupakan hal
yang tidak dapat diabaikan.123
Dengan dasar tersebut, maka pada abad pertengahan
berkembang pendapat bahwa yang mempunyai kekuasaan
tertinggi adalah Tuhan. Tuhan yang menciptakan dan memiliki

122
Sjachran Basah, Op.Cit., h. 140
123
Soehino, Op.Cit., h. 43

63
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

alam semesta, karenanya kekuasaan pada hakikatnya hanya


milik Tuhan. Tuhan adalah summa causa atau segala sebab dari
apa yang terjadi di dunia ini. Untuk itu, maka negara ada karena
kehendak Tuhan. Hanya saja,yang menjadi permasalahan adalah
mengenai pelaksanaan kekuasaan Tuhan tersebut di dunia.
Dengan kata lain, siapakah yang mewakili Tuhan, apakah raja
atau paus. Mengenai hal tersebut, ada yang menyatakan bahwa
raja yang menjadi wakil Tuhan di dunia, sehingga yang mem-
punyai kekuasaan tertinggi di dunia adalah raja. Tetapi ada pula
yang menyatakanbahwa paus yang menjadi wakil Tuhan,
sehingga yang mempunyai kekuasaan tertinggi di dunia adalah
paus. Mereka yang menjadi penganut paham bahwa raja sebagai
wakil Tuhan, disebut kaum Legist, sedangkan mereka yang
menganut paham bahwapaus sebagai wakil Tuhan, disebut
kaum Canonist.
Kaum Legist menyatakan, bahwa tidak hanya gereja saja
yang mempunyai tugas dan tujuan ethis yaitu memelihara
keadilan dan ketertiban hukum, tetapi negara juga memiliki
tugas dan tujuan tersebut.Bahkan adanya negara lebih dahulu
dari pada gereja. Karenanya, kekuasaan tertinggi di dunia ini
harus ada di tangan raja sebagai pimpinan tertinggi negara.
Sedangkan kaum Canonist menyatakan, bahwa kekuasaan yang
asli di dunia ada pada paus. Raja sebetulnya tidak memiliki
kekuasaan yang asli.

1. Augustinus (354-430 M)
Augustinus adalah penganut ajaran teokratis (ketuhanan).
Dengan ajarannya tersebut, Augustinus menyatakan bahwa
kedudukan gereja yang dipimpin oleh paus, lebih tinggi dari
pada kedudukan negara yang dipimpin oleh raja. Augustinus
menyatakan bahwa adanya negara di dunia merupakan suatu
kejelekan, tetapi adanya itu merupakan suatu keharusan. Yang
terpenting adalah terciptanya suatu negara seperti yang diangan-
angankan atau dicita-citakan oleh agama, yaitu kerajaan Tuhan.
Maka dari itu, negara yang ada di dunia ini hanya merupakan
suatu oraganisasi yang mempunyai tugas untuk memusnahkan
perintang-perintang agama dan musuh gereja. Jadi, telah jelaslah

64
Teori Asal Mula Negara

bahwa negara mempunyai kedudukan atau kekuasaan yang


lebih rendah dan ada di bawah gereja. Negara sifatnya hanyalah
sebagai alat dari gereja untuk membasmi musuh-musuhnya.124
Menurut Augustinus dalam bukunya yang berjudul De
Civitate Dei, ada 2 (Dua) macam jenis negara yaitu:125
a. Civitas Dei atau negara Tuhan, yaitu negara yang dicita-
citakan oleh agama;
b. Civitas Terrena atau Civitas Diaboli atau negara iblis atau
negara Duniawi, yaitu suatu organisasi yang mempunyai
tugas untuk memusnahkan perintang-perintang agama dan
musuh-musuh gereja.

Negara yang paling baik adalah negara Tuhan, akan tetapi


negara ini tidak akan pernah tercapai di dunia ini, tetapi
semangatnya dimiliki oleh sebagian dari orang-orang di dunia
ini dan mereka harus selalu berusaha untuk mencapainya. Or-
ang hanya dapat mencapai negara Tuhan dengan perantaraan
gereja sebagai wakil dari negara Tuhan di dunia. Tetapi, orang-
orang yang berada di luar gereja pun dapat juga mengusahakan
tercapainya negara Tuhan tersebut dengan cara mentaati
perintah Tuhan. Untuk mentaati perintah Tuhan tersebut, maka
negara dunia harus tunduk kepada negara Tuhan yang dipimpin
oleh paus.
Dengan dasar tersebut, Augustinus mengkritisi pendapat
Cicero yang menyatakan bahwa negara merupakan penjelmaan
dari keadilan. Menurut Augustinus, bahwa keadilan hanya
dapat dicapai dalam negara yang menjalankan perintah agama,
yaitu Civitas Dei.126 Sedangkan, kerajaan-kerajaan duniawi
kebanyakan adalah Civitas Terrena atau Civitas Diaboli yang
sebenar-benarnya. Augustinus mencontohkan Romawi yang
tidak pernah menjalankan pemerintahannya atas dasar keadilan
sehingga Romawi jatuh dalam kebobrokan yang menjadi bukti
bahwa mereka sangat bernafsu pada kemegahan duniawi.

124
Ibid., h. 51
125
Ibid., h. 52
126
Ibid

65
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

2. Thomas Aquinas (1225-1274 M)


Pada awalnya teori Thomas Aquinas tidak diindahkan.
Ternyata kemudian dipakai sebagai dasar filsafat golongan
katholik Roma, sebab berhasil membuat suatu dasar bagi hukum
yang berlaku bagi golongan Katholik Roma. Hukum alam yang
diuraikannya terkenal dengan nama hukum alam thomistis
(thomistisch natuurrecht). Bukunya yang terkenal berjudul
“Summa Theologica” dan “De Regimene Proncipum”. Ia dipe-
ngaruhi paham Aristoteles dan menjadi pengikut Aristoteles.
Meskipun demikian, pandangannya tidak terlepas dari agama
oleh karena ia hidup dalam kebesaran agama. Thomas Aquinas
sependapat dengan Aristoteles bahwa manusia menurut
kodratnya merupakan makhluk sosial (zoon politicon) yang
mempunyai kebutuhan yang beranekaragam dan karena itu ia
selalu hidup bersama-sama dengan orang lain dalam masyarakat
(paham collectivisme).127
Filsafat Thomas Aquinas bersifat finalistis yang berisi bahwa
apa yang menjadi tujuannya itu dikemukakan terlebih dahulu,
baru kemudian diusahakan supaya tujuan itu dapat tercapai.
Artinya bahwa tujuan harus ditentukan terlebih dahulu. Tujuan
tersebut merupakan ide dan cita yang bersifat abstrak yang
berfungsi sebagai pedoman bertindak untuk mencapai
kedamaian dan kehidupan yang lebih baik.
Manusia adalah makhluk sosial sehingga harus bekerja sama
utuk mencapai tujuan yang sesungguhnya (kemuliaan abadi)
setelah meninggal. Oleh karena itu, manusia dengan dorongan
tabiatnya membentuk negara dengan pemerintahan yang
merupakan jiwa bagi negara. Tujuan manusia adalah identik
dengan tujuan negara, yaitu tujuan untuk mencapai kemuliaan
abadi sesudah manusia itu mati. Untuk itu, tugas negara adalah
menyelenggarakan keamanan dan perdamaian sebagaimana
tuntutan dari gereja yang tujuannya untuk meciptakan suasana
tenteram. Hal inilah yang menjadi titik pertemuan (kerjasama)
antara negara dengan gereja.

127
Sjachran Basah, Op.Cit., h. 144

66
Teori Asal Mula Negara

Berkaitan dengan kedudukan gereja dan negara, Thomas


Aquinus menyatakan bahwa negara dan gereja memiliki
kedudukan yang sama dengn tugas yang berbeda. Raja mem-
punyai tugas keduniawian sedangkan gereja mempunyai tugas
keagamaan. Untuk itu, maka sesungguhnya, harus ada kerja
sama antara negara dan gereja untuk mencaai tujuan manusia
yakni kemuliaan abadi.
Mengenai bentuk-bentuk pemerintahan negara, Thomas
Aquinus dipengaruhi oleh pendapat Aristoteles. Hal ini terbukti
dari pendapat Thomas Thomas Aquinas yang mmenyatakan
bahwa bentuk pemerintahan negara yang paling baik adalah
Monarki. Berikut bentuk-bentuk pemerintahan negara menurut
Thomas Aquinas:128
a. Pemerintahan oleh satu orang yang berbentuk: (1) monarki
sebagai bentuk yang baik;dan (2) tyrani sebagai bentuk yang
jelek.
b. Pemerintahan oleh beberapa orang yang berbentuk: (1)
aristokrasi sebagai bentuk yang baik; dan (2) oligarki sebagai
bentuk yang jelek.
c. Pemerintahan oleh seluruh rakyat yang berbentuk: (1) Politea
(republik konstitusional) sebagai bentuk yang baik; dan (2)
Demokrasi sebagai bentuk yang jelek.

Menurut Thomas Aquinas, sebagaimana dijelaskan di atas


bahwa bentuk pemerintahan negara yang baik adalah monarki
yakni pemerintahan negara yang dilaksanakan oleh satu orang
dengan tujuan untuk kepentingan umum berdasarkan keadilan.
Namun demikian, hal itu dapat berubah menjadi pemerintahan
yang paling buruk apabila sifat pemerintahannya tidak lagi adil
dan tidak lagi ditujukan untuk kepentingan umum. Karena hal
itu bisa menjadi tyrani yang keburukannya melebihi
pemerintahan oligarki dan demokrasi.
Untuk mencegah pemerintahan yang sewenang-wenang atau
tyrani tersebut, maka Thomas Aquinas menyatakan bahwa dalam

128
Soehino, Op.Cit., h. 60

67
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

negara perlu diadakan/dibuat undang-undang dasar atau


konstitusi yang mengatur dan membatasi tindakan-tindakan
pemerintah sehingga dapat terpelihara dengan baik suatu sistem
atau susunan ketatanegaraan. Dengan demikian, pemerintah tidak
mendapatkan kesempatan untuk menjadikan pemerintahannya
menjadi tyrani.129 Secara eksplisit, Thomas Aquinus menyatakan
bahwa penyelenggaraan pemerintahan negara perlu dibatasi oleh
konstitusi, sehingga raja tidak bertindak sewenang-wenang. Hal
tersebut merupakan cikal bakal lahirnya ajaran hukum alam yang
menghendaki adanya batasan terhadap kewenangan raja. Di sisi
yang lain, pembatasan kekuasaan raja oleh konstitusi tersebut
sebagai wujud dari adanya penghormatan terhadap hak-hak
kodrati yang dimiliki oleh satiap manusia.
Menurut Thomas Aquinas, undang-undang atau hukum
merupakan kesimpulan dari ratio manusia dan berbentuk
kemauan. Maka, sesuai dengan pendapat Cicero, undang-
undang merupakan pokok pangkal dari pikirannya dan
merupakan ratio untuk kepentingan umum. Sebenarnya, Tho-
mas Aquinas memberikan ajarannya tentang keadilan dan
hukum dengan mempersatukan ajaran-ajaran dari Aristoteles,
Stoa (Zeno), dan Augustinus tentang dasar kekuasaan yang
bersifat teokratis. Hanya saja, menurutnya sumber tertinggi dari
hukum terletak pada kepribadian Tuhan.130
Thomas Aquinas membagi hukum ke dalam empat
golongan, yaitu:131
a. Lex Aeterna (hukum abadi) yaitu hukum yang bersifat
keseluruhan karena berakar dari jiwa Tuhan;
b. Lex Naturalis (hukum alam) yaitu manusia sebagai makhluk
yang berpikir merupakan bagian dari padanya, hal ini
merupakan hukum alam;
c. Lex Positiva (hukum positif) yaitu pelaksanaan dari hukum
alam oleh manusia yang disesuaikan dengan syarat-syarat

129
Ibid., h. 61
130
Ibid., h. 62
131
Sjarhran Basah, Op.Cit., h. 145-146

68
Teori Asal Mula Negara

khusus yang diperlukan untuk mengatur soal-soal kedu-


niawian di dalam negara;
d. Lex Divina (hukum tuhan) yaitu hukum yang dapat ditangkap
oleh ratio manusia atau merupakan penjelmaan dari lex
aeterna di dalam ratio manusia yang tujuannya untuk mengisi
kekurangan-kekurangan dari pikiran manusia dan memim-
pin manusia dengan wahyu-wahyu ke arah kesucian guna
hidup di alam baka yang kemudian wahyu-wahyu tersebut
terhimpun ke dalam ktab-kitab suci keagamaan.

3. Marsilius (1270-1430 M)
Mengenai ajaran tentang kenegaraan, Marsilius sangat
dipengaruhi oleh ajaran Aristoteles. Menurutnya, negara adalah
suatu badan atau organisme yang mempunyai dasar-dasar
hidup dan mempunyai tujuan tertinggi, yaitu menyeleng-
garakan dan mempertahankan perdamaian.132
Ajaran Marsilius sangatlah berbeda dengan ajaran-ajaran
Augustinus dan Thomas Aquinas, oleh karena dalam ajaran
Marsilius sangat tampak peranan orang atau individu dalam
pembentukan negara atau masyarakat. Menurut Marsilius,
terbentuknya negara tidak semata-mata karena kehendak Tuhan
atau karena kodrat Tuhan, melainkan negara itu terjadi karena
perjanjian dari orang-orang yang hidup bersama untuk
menyelenggarakan perdamaian. Jadi, ajaran Marsilius tentang
terbentuknya negara telah terlihat dasar-dasar dari perjanjian
masyarakat yang merupakan lanjutan dari ajaran Epicurus yang
meletakkan benih-benihnya. Menurut Marsilius, dalam per-
janjian itu, rakyat membentuk negara dan menunjuk menunjuk
seorang yang diserahi tugas untuk memelihara perdamaian, dan
terhadap orang yang ditunjuk itu mereka menundukkan diri.
Hal inilah yang kemudian disebut dengan perjanjian
penundukan atau Factum Subjectiones.133

132
Soehino, Op.Cit., h. 64
133
Ibid., h. 65

69
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

Menurut Marsilius, perjanjian penundukan atau Factum


Subjectiones tersebut dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu:134
a. Concessio yaitupenundukan yang sifatnya terbatas sehingga
raja hanya menjalankan kekuasaan eksekutif sedangkan
pembentukan peraturan perundang-undangan diserahkan
pada rakyat sendiri.
b. Translatio penundukan yang sifatnya mutlak sehingga raja
disamping menjalankan kekuasaan eksekutif, juga men-
jalankan kewenangan pembentukan peraturan perundang-
undangan.

Dalam penundukan concessio, rakyat hanya menyerahkan


sebagian haknya kepada raja, sehingga hak-hak alami seperti
hak untuk hidup, kebebasan dan memiliki sesuatu tetap berada
pada rakyat. Raja diberikan sebagian hak tersebut supaya raja
dapat memberikan perlindungan hukum kepada rakyat. Karena-
nya, dalam concessio ini, kekuasaan raja dibatasi oleh konstitusi
dan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh rakyat,
sehingga raja tidak menjadi absolut. Sistem ini dianut oleh John
Locke, Montesquieu, JJ. Rousseau. Bahkan JJ. Rousseau menyata-
kan bahwa raja/pemimpin merupakan wakil/mandat dari
rakyat, artinya bahwa rakyat tidak menyerahkan hak-haknya
kepada raja/pemimpin, namun hanya mewakilkan hak-haknya
kepada raja untuk dilindungi.
Dalam translatio, rakyat menyerahkan seluruh haknya
kepada raja/pemimpin ketika melakukan perjanjian masyarakat.
Dalam perjanjian tersebut, raja berada di luar perjanjian. Dengan
demikian, raja memiliki kewenangan yang sangat absolut. Tidak
ada batasan terhadap kekuasaan raja, karena raja adalah pem-
bentuk undang-undang tertinggi. Sebagai pembentuk undang-
undang tertinggi, maka raja berkedudukan di atas undang-
undang. Karenanya, raja tidak boleh dipersalahkan karena
undang-undang yang dibuatnya. Sistem ini dianut oleh
Marsilius, Thomas Hobbes, Jean Bodin, John Austin dan Jellinek.

134
Ibid

70
Teori Asal Mula Negara

Bahkan Thomas Hobbes menyatakan bahwa “princeps legibus


solutus est” (raja adalah pembentuk undang-undang tertinggi).

D. Asal Mula Negara Zaman Renaisance


Pandangan hidup dan ajaran-ajaran tentang negara dan
hukum pada zaman pertengahan sangat berbeda dengan
pandangan hidup dan ajaran-ajaran tentang negara dan hukum
pada zaman renaissance. Pandangan hidup pada zaman
pertengahan adalah bersifat universalistis, yaitu menganggap
dirinya sebagai bagian dari dunia Kristen yang umum, segala
kehidupan dipersiapkan untuk menghadapi kehidupan yang
langgeng, yaitu kehidupan dunia dan akhirat. Ajaran-ajaran
tentang negara dan hukum tidak mempunyai kepribadian
sendiri, karena ditentukan oleh pandangan yang teologis.135
Namun demikian, mulai abad ke-XII terjadilah perubahan-
perubahan, karena fisafat nominalistis telah memutar balikkan
hubungan antara hal yang umum dan hal yang yang khusus.
Mulai saat itu pula perhatian terhadap penghidupan di dunia
ini mulai semakin besar. segala hal yang berhubungan dengan
kehidupan manusia mulai berkembang. Akal manusia mulai
menjiwai kehidupan, maka apabila dahulu sikap menerima itu
dianggap sebagai kebajikan yang tertinggi, namun pada zaman
renaissance hasil individu atau perseoranganlah yang orang lain
tidak dapat melakukannya akan mendapatkan perhargaan
tertinggi. Kemudian orang-orang berlomba-lomba untuk
mendapatkan kedudukan dan sebagainya dengan berbagai cara
bahkan cara yang licik sekalipun.
Para sarjana kenegaraan pada zaman renaissance selalu
berusaha untuk memikirkan atau mengadakan konsepsi-
konsepsi tentang sistem pemerintahan yang sentral dan mutlak
pada negara atau staats absoutisme. Tujuan dari itu adalah untuk
menghentikan perang perebutan kekuasaan yang selalu
menimbulkan kekacauan.

135
Ibid., h. 68

71
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

1. Niccolo Machiavelli (1469-1527 M)


Dahulu Aristoteles mengadakan pemisahan dan pembedaan
anatara ajaran kesusilaan dengan ajaran tentang negara dan
hukum, namun ia masih cenderung untuk mendasarkan ajaran-
ajaran negara dan hukum itu pada asas-asas kesusilaan. Adapun
Niccolo Marchiavelli menunjukkan dengan terang dan tegas
pemisahan antara asas-asas kesusilaan dengan asas-asas kene-
garaan. Artinya bahwa orang dalam lapangan ilmu kenegaraan
tidak perlu menghiraukan atau memperhatikan asas-asas
kesusilaan, karena kepentingan negara akan dirugikanapabila
tidak berbuat demikian. 136Ajaran atau pandangan Niccolo
Marchiavelli tersebut sangat dipengaruhi oleh apa yang
diketahuinya dan dijalankannya dalam praktek sebagai seorang
ahli negara. Niccolo Marchiavelli menganggap perlu sekali
untuk menyelenggarakan kepentingan-kepentingan negara
dengan cara yang gagah dan berani.137
Dengan demikian, terlihata adanya perbedaan yang sangat
besar antara semangat ajaran pada zaman pertengahan dengan
ajaran Niccolo Marchiavelli yang mencerminkan semangat re-
naissance. Sebab, semua ajaran tentang negara dan hukum yang
telah dikemukakan pada zaman pertengahan lenyap sama sekali
tanpa menyisakan bekas sedikitpun pada zaman renaissance.
Ajaran Niccolo Marchiavelli yang menggantikan ajaran-ajaran
dari zaman pertengahan yang bersifat teologis adalah suatu
ajaran yang bersifat komisnaturalistis, yakni suatu ajaran
realisme modern yang berdasarkan atas ajaran-ajaran kuno.138
Tujuan negara menurut Niccolo Marchiavelli sangat berbeda
dengan ajaran-ajaran yang terdahulu. Menurut Niccolo
Marchiavelli, tujuan negara adalah untuk mengusahakan
terselenggaranya ketertiban, keamanan dan ketenteraman, dan
ini hanya dapat dicapai oleh pemerintah seorang raja yang
mempunyai kekuasaan absolut. Jadi, usahanya itu menuju dan
mendapatkan serta menghimpun kekuasaan yang sebesar-

136
J.J. Von Schmid, Op. Cit., h. 108
137
Soehino, Op. Cit., h. 71
138
Ibid., h. 72

72
Teori Asal Mula Negara

besarnya pada tangan raja. Namun demikian, semua itu bukan-


lah merupakan tujuan negara yang terakhir, melainkan hanya
merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi
yaitu kemakmuran bersama.
Sesuai dengan sifat realistisnya, Niccolo Marchiavelli
mengatakan bahwa negara adalah untuk kepentingan negara
itu sendiri, dan seharusnya negara mengejar tujuan dan
kepentingannya sendiri dengan cara yang dianggapnya paling
tepat, meskipun dengan cara yang sangat licik sekalipun
sehingga hal ini menjadikan “het doel heilight de middelen”139 atau
tujuan menghalalkan segala cara, karena menurutnya tujuan
negara semata-mata adalah kekuasaan. Dengan demikian,
kepentingan negara dijadikan ukuran tertinggi bagi pelaksanaan
pemerintahan dan segala perbuatan manusia. Untuk itu, ia tidak
saja menganggap perlu melepaskan sama sekali pikiran-pikiran
yang teologis, tetapi juga kesusilaan dan moral. Oleh karena
praktik dari kesusilaan dan moral memiliki sifat yang jauh sekali
dengan praktik kenegaraan yang sebenarnya. Terhadap ajaran
Niccolo Marchiavelli yang demikian banyak orang yang me-
nyebutnya dengan nama ajaran kepentingan negara atau staats-
raison. Selanjutnya, sesuai dengan sifat naturalistisnya, Niccolo
Marchiavelli berpendapat bahwa hukum dan kekuasaan adalah
sama. Sebab, siapa yang mempunyai kekuasaan ia mempunyai
hukum, dan siapa yang tidak mempunyai kekuasaan tidak akan
pernah mempunyai hukum.140
Jadi, raja atau penguasa negara harus memiliki sifat yang
cerdik pandai dan licin ibarat seekor kancil dan memiliki sifat-
sifat yang kejam seperti seekor singa. R. Kranenburg menyatakan
bahwa “A prince being thus obliged to know well how to act as a beast
must imitate the fox and the lion, for the lion can not protect himself
from traps and the fox can not defend himself from wolves. One must
therefore be a fox to recognise traps, and a lion to frighten wolves”.141

139
Sjachran Basah, Op. Cit. h. 160
140
Soehino, Op.Cit., h. 73
141
Sjachran Basah, Loc. Cit.

73
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

Mengenai bentuk pemerintahan negara, Niccolo


Marchiavelli berpendapat bahwa bentuk pemerintahan yang
paling baik adalah Monarki. Hal ini sesuai dengan ajarannya
yang disebut Staats-raison sebagaimana diuraikan di atas yang
pada pokoknya adalah kekuasaan raja yang absolut dalam
negara memperbolehkan untuk melakukan apapun supaya
tujuan negara tercapai. Oleh karenanya, bentuk negara yang
paling sesuai dengan ajaran tersebut adalah Monarki.

2. Jean Bodin (1530-1596 M)


Sama halnya dengan Niccolo Marchiaveli, Jean Bodin juga
menyatakan bahwa tujuan negara adalah kekuasaan. Menurut-
nya, negara adalah keseluruhan dari keluarga-keluarga dengan
segala miliknya yang dipimpin oleh akal dari seorang penguasa
yang berdaulat. Jadi, sama halnya dengan Aristoteles, Jean Bodin
juga berpendapat bahwa keluarga adalah asal atau dasar dari
negara, baik menurut logika maupun menurut sejarah.
Kekuasaan negara mengharuskan membatasi kebebasan
bertindak menurut alam. Dalam keluarga itu ada pater familias
sebagai kepala keluarga, ia melakukan pembatasan-pembatasan
dalam keluarga. Dasar masyarakat adalah naluri, sedang dasar
negara adalah kekuasaan. Pada mulanya, hanya ada satu
keluarga, kemudian keluarga-keluarga lainnya bergabung dan
merupakan satu kesatuan. Dengan demikian mereka secara
bersama-sama dapat mempertahankan diri dengan baik, dan
dalam keadaan itu pula kebebasan alam lenyap.142
Meskipun terdapat kesamaan antara pendapat Jean Bodin
dengan Arsitoteles tentang asal negara, tidak demikian halnya
dengan pendapat mengenai pemimpin atau penguasa pertama.
Di mana Aristoteles menyatakan bahwa penguasa pertama
adalah ia yang dipilih oleh rakyat, sedangkan menurut Jean
Bodin, penguasa yang pertama adalah pemimpin militer yang
memperlihatkan kekuasaannya.
Sesuai dengan pendapatnya tentang tujuan negara, Jean
Bodin mengatakan bahwa negera merupakan perwujudan dari
142
J.J. Von Schmid, Op.Cit., h. 126

74
Teori Asal Mula Negara

kekuasaan. Untuk mendukung pendapatnya tersebut, lalu ia


merumuskan pengertian kedalutan yaitu kekuasaan tertinggi
terhadap para warga negara dan rakyatnya tanpa ada suatu
pembatasan apapun dari undang-undang. Raja adalah yang
menetapkan undang-undang, yaitu hukum positif bukan hukum
Tuhan ataupun hukum alam. Dengan demikian, raja sebagai
orang yang menetapkan undang-undang tidak terikat oleh
undang-undang tersebut.143
Lebih lanjut, Jean Bodin menyatakan bahwa raja merupakan
personifikasi dari kedaulatan. Raja merupaka “legibus solutes
summa in Civics ac Sabditos Legibusque Solute Poteste (kekuasaan
supra dari negara atas warga negara dan rakyatnya, yang tidak
dibatasi oleh hukum). Raja merupakan bayangan Tuhan “Le
Prince est I’image de Dieu”.Karenanya, raja tidak bertanggung
jawab kepada siapapun, kecuali pada Tuhan. Dengan prinsip
tersebut, kekuasaan negara tersentral pada raja, sehingga raja
sangat absolut. Namun demikian, kedaulatan yang diutarakan
Jean Bodin tersebut tidak mutlak semutlak-mutlaknya, karena
raja harus menghormati ius naturale et gentium (hukum kodrat
dan hukum antar bangsa) dan hukum konstitusionil dari
kerajaan, yakni leges imperii, misalkan hukum Salis tentang
penggantian raja.144
Sebagaimana yang diuraikan di atas, menurut Jean Bodin
kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi untuk membuat hukum
dalam suatu negara yang sifatnya:145
a. Tunggal artinya bahwa negara lah yang memiliki.
b. Asli artinya bahwa kekuasaan tersebut tidak berasal dari
kekuasaan lain.
c. Abadi artinya bahwa sebagai pemilik kekuasaan maka negara
itu abadi.

143
Soehino, Op.Cit., h. 78
144
F. Isjwara, Op.Cit., h. 108
145
Soehino, Op.Cit., h. 79

75
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

d. Tidak dapat dibagi-bagi artinya bahwa kekuasaan tersebut


tidak dapat diserahkan baik sebagian atau seluruhnya kepada
orang lain.

Jean Bodin tidak membedakan antara negara dan


pemerintah. Karena pembedaan tersebut memungkinkan
timbulnya bermacam-macam bentuk pemerintahan, dan dengan
demikian kedaulatan itu akan dilakukan dengan berbagai cara.
Sejak Aristoteles telah dibedakan secara tradisionil bentuk-
bentuk monarki, aristokrasi dan demokrasi. Jean Bodin sama
sekali tidak mau tahu terhadap bentuk-bentuk campuran.
Bentuk yang terbaik menurutnya adalah monarki yang sifatnya
turun temurun, di mana hanya orang laik-laki saja yang boleh
menduduki kekuasaan dan memerintah. Itulah satu-satunya
bentuk negara baginya.146

E. Asal Mula Negara Menurut Monarkomaken


Istilah monarkomaken dalam pengertian yang umum
berarti anti raja atau menentang raja. Namun, hal itu rasanya
kurang tepat oleh karena ajaran-ajaran para pemikir yang masuk
dalam golongan monarkomaken sama sekali tidak anti atau
melawan raja, bahkan sistem yang Absolutisme sekalipun.
Sebetulnya, inti atau pokok ajaran para pemikir dari golongan
monarkomaken itu bukan terhadap sistem pemerintannya
melainkan terhadap eksesnya. 147 Hal yang demikian itu
dikemukakan oleh para sarjana atau para pemikir dari golongan
monarkomaken sebagai berikut.

1. Melanchthon
Pendapat Melanchthon tentang negara sebetulnya
menitikberatkan pada hukum alam yang dengan langsung
mengajarkan kepada manusia apa yang menjadi kehendak
Tuhan. Menurutnya, negara juga harus mengajarkan kepada
manusia supaya mengenal kehendak Tuhan. Artinya, negara

146
Ibid., h. 80
147
Ibid., h. 81

76
Teori Asal Mula Negara

harus mempunyai sifat ketuhanan dan negara harus me-


ngajarkan agama yang sebenarnya. Melanchthon juga menolak
setiap adanya setiap hukum gereja yang memaksa oleh karena
negara berada di atas gereja. Jadi, hanya negaralah yang mem-
punyai hukum yang bersifat memaksa. Mengenai bentuk negara,
Melanchthon memilih Monarki dan menolak kerajaan dunia.148

2. Zwingli
Zwingli hendak melindungi semangat negaranya dari
pengaruh-pengaruh buruk yang datang dari luar, inilah tujuan
utamanya. Menurutnya, negara mempunyai hak untuk meng-
atur sendiri kehidupan masyarakatnya berdasarkan kemauan-
nya sendiri. 149 Jadi, ajaran Zwingli ini lebih mengarah ke
demokrasi, di mana kehendak negara bersumber dari kehendak
rakyat.

F. Asal Mula Negara Zaman Hukum Alam


Hukum alam adalah hukum yang bersumber dari kodrat
manusia, karenanya bersifat universal. Hukum alam mengkaji
asal asul negara dari kondisi kodrati manusia sebagai makhluk
Tuhan yang tidak dapat dapat hidup sendiri. Manusia sebagai
makhluk sosial yang diciptakan Tuhan dengan berbagai hak dan
kebutuhan hidup, yang dalam pemenuhannya membutuhkan
kerja sama dengan manusia lainnya. Karenanya, dalam me-
mecahkan persoalan asal usul terbentuknya negara, hukum alam
bertitik tolak pada keadaan manusia sebelum negara terbentuk
(state of nature/ manusia in abstracto).Dalam keadaan alami,
manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (homo homini
lopus), manusia saling mencurigai satu dengan yang lain,
sehingga sering terjadi pertikaian dan perang (bellum omnium
contra omnes). Hal ini terjadi karena keadaan bebas tanpa adanya
aturan.Kemudian untuk mencegah itu, manusia-manusia tadi
berkumpul, saling bertemu dan mengadakan perjanjian sehingga
terbentuklah suatu kesatuan manusia yang disebut masyarakat/
148
J.J. Von Schmid, Op.Cit., h.121
149
Ibid.

77
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

negara. Supaya masyarakat tersebut damai, maka ditunjuklah


satu di antara mereka sebagai pemimpin.

1. Grotius/Hugo de Groot(1583-1645 M)
Dalam menetapkan dasar-dasar modern tentang negara dan
hukum, Grotius sangat terpengaruh oleh ajaran Aristoteles yang
berpendapat bahwa manusia adalah makhluk sosial, sehingga
manusia memiliki hasrat untuk selalu hidup bersama (ber-
masyarakat).150 Namun demikian, selain hal tersebut manusia
adalah makhluk yang memiliki akal atau rasio yang tidak
dimiliki oleh makhluk lainnya sehingga kepentingan dan
keuntungan diri sendiri yang menyingkirkan kepentingan
umum tidak dapat dijadikan dasar dalam berpikir tentang
keadilan.
Grotius merupakan penganut hukum alam yang meng-
uraikan tentang hubungan hukum alam dengan hukum perang
dan hukum damai. Di mana dalam keadaan damai, hukum di
suatu negara dapat dihormati oleh negara lain dan pada saat
perang tidak ada suatu penghormatan terhadap terhadap
hukum negara lain sehingga negara-negara itu bertindak sendiri-
sendiri.
Menurut Grotius, negara terbentuk karena adanya per-
janjian yang didasarkan pada kodrat manusia sebagai makhluk
sosial serta rasio untuk mencapai ketertiban dan kemanan
umum. Faktor-faktor itulah yang kemudian mendorong manusia
membuat perjanjian berisi tugas dan kewajiban untuk mencapai
tujuan ketertiban dan kemanan umum, di mana perjanjian itu
diserahkan kepada raja untuk melaksanakan tujuan tersebut.151

2. Thomas Hobbes (1588-1679 M)


Thomas Hobbes berpendapat bahwa asal mula terbentuk-
nya negara berpokok pangkal atau bertitik tolak pada keadaan
sebelum adanya negara, di mana manusia dalam keadaan
alamiah di alam bebas tanpa suatu ikatan apapun. Dalam

150
Ibid., h. 149
151
Soehino, Op.Cit., h. 97

78
Teori Asal Mula Negara

keadaan demikianlah mereka disebut manusia ini abstracto (man


in abstracto). Dalam keadaan in abstracto tersebut, manusia selalu
saling bermusuhan, saling menganggap lawan dan saling merasa
khawatir apabila manusia yang lain akan mendahului dan lebih
banyak mendapatkan pujian dari pada dirinya sendiri sehingga
terjadi perlawanan atau peperangan satu dengan yang lain di
mana setiap orang saling memperlihatkan keinginan yang
egoistis. Kondisi tersebut dikenal dengan adegium “Homo homini
lopus Bellum Omnium Contra Omnes” (manusia adalah serigala
bagi manusia lainnya, manusia saling mencurigai satu dengan
yang lain, sehingga sering terjadi pertikaian dan perang). Jadi,
pada saat itu tidak ada istilah adil dan tidak adil, melainkan
yang berlaku hanyalah nafsu-nafsu manusia saja.152
Keadaan Homo homini lopus Bellum Omnium Contra Omnes
tersebut, karena disebabkan oleh sifat-sifat dasar alamiah yang
dimiliki manusia dalam keadaan in abstracto, yaitu: 1) Competitio,
competition, yaitu persaingan; 2) Defentio, defend yaitu
mempertahankan atau membela diri; dan 3) Gloria, yaitu sifat
ingin dihormati, disegani dan dipuji.Namun demikian, ketiga
sifat sifat alamiah manusia diatas, sejak lahir diimbangi oleh 3
(tiga) sifat lagi yang menjadi penghambat terlaksananya tiga sifat
tersebut yakni: 1) Takut mati; 2) Ingin memiliki sesuatu; dan 3)
Ingin mempunyai kesempatan untuk bekerja.153
Setelah muncul 3 (tiga) sifat yang mengimbangi sifat
sebelumnya itu, kemudian muncul keinginan atau kehendak
manusia untuk hidup damai dan menghentikan permusuhan.
Untuk menyelenggarakan perdamaian tersebut, menurut Tho-
mas Hobbes manusia mengadakan perjanjian yang disebut
perjanjian masyarakat (kontrak sosial). Perjanjian masyarakat
tersebu bertujuan untuk suatu masyarakat yang selanjutnya
menjadi negara, dengan tujuan agar setiap orang di dalam negara
dapat bekerja untuk memiliki sesuatu dan tidak selalu terancam
jiwanya.

152
J.J. Von Schmid, Op.Cit., h. 157
153
Soehino, Op.Cit., h. 99

79
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

Dalam perjanjian masyarakat tersebut, mereka menunjuk


seorang penguasa atau raja yang diserahi tugas dan wewenang
untuk menyelenggarakan perdamaian. Dalam hal ini, raja
mempunyai kekuasaan yang absolut karena raja tidak menerima
kekuasaan dari masyarakat yang telah didirikan dengan
perjanjian, melainkan langsung menerima kekuasaan dari or-
ang-orang yang mengadakan perjanjian tersebut. Dengan
demikian, kedudukan raja dalam perjanjian masyarakat tersebut
berada di luar perjanjian.154
Menurut Thomas Hobbes, perjanjian ini merupakan
perjanjian masyarakat yang bersifat langsung. Yaitu, orang-or-
ang yang menyelenggarakan perjanjian langsung menyerahkan
atau melepaskan hak dan kemerdekaannya kepada raja. Hal
inilah yang dimaksud kekuasaan raja adalah absolut oleh karena
raja tidak hanya melaksanakan tugas menyelenggarakan
perdamaian melainkan juga diserahi hak dan kemerdekaan or-
ang-orang yang melakukan perjanjian sehingga raja dapat
bertindak atau melakukan sesuatu yang lebih luas dari isi
perjanjian.155 Menurut Thomas Hobbes, ketika raja bertindak
secara melawan hukum atau perjanjian masyarakat itu sendiri,
raja tidak dapat dipersalahkan Bahkan raja berhak membunuh
siapapun dengan maksud untuk menyelenggarakan perdamaian
sebagai tujuan utama dari perjanjian masyarakat.
Berdasarkan pendapat di atas, maka Thomas Hobbes sangat
menjunjung tinggi raja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi
negara. Thomas Hobbes menyatakan bahwa raja berada di atas
undang-undang (princips legibus solutus est). Tomas Hobbes
menyatakan bahwa raja yang memiliki kekuasaan untuk
membentuk undang-undang, karenanya raja berada di atas
undang-undang.156 Raja tidak boleh dipersalahkan atau dihukum
karena undang-undang yang dibuatnya (king can do not wrong).
Dengan prinsip tersebut, raja memiliki kekuasaan yang absolut
terhadap rakyatnya.

154
Ibid., h. 100
155
Ibid.
156
F. Isjawara, Op.Cit., h. 109

80
Teori Asal Mula Negara

3. Benedictus de Spinoza (1632-1677)


Benedictus de Spinoza juga menyatakan bahwa negara
terbentuk melalui perjanjian masyarakat. Masyarakat
membentuk negara karena dengan tujuan untuk memperoleh
perdamaian dan ketentraman. Oleh karena itu, tugas negara
adalah menyelenggarakan perdamaian, ketentraman dan
menghilangkan ketakutan.
Benedictus de Spinoza menyatakan bahwa rakyat me-
nyerahkan haknya kepada negara seluruhnya dalam perjanjian
masyarakat. Kekuasaan negara terhadap warga negaranya
bersifat mutlak. Oleh karena itu, hukum merupakan kehendak
negara, sehingga negara berada di atas hukum. Tidak
seorangpun dapat membuat hukum, kecuali negara.
Pendapat Benedictus de Spinoza tersebut memiliki
perbedaan dengan pendapatnya Thomas Hobbes. Thomas
Hobbes menyatakan bahwa yang menerima penyerahan hak
dari rakyat adalah raja, sehingga raja yang berdaulat. Sedangan
Benedictus de Spinoza menyatakan bahwa yang menerima
penyerahan hak dari rakyat adalah negara, sehingga yang
berdaulat adalah negara. Namun, pada hakikatnya kedua pen-
dapat tersebut adalah sama, karena raja merupakan personifikasi
dari negara. Apabila Benedictus de Spinoza menyatakan bahwa
yang berdaulat adalah negara, maka yang melaksanakan
kedaulatan tersebut adalah raja.

4. John Locke (1632-1704 M)


John Locke sebagaimana pemikir hukum alam yang lainnya,
juga mendasarkan teorinya pada keadaan manusia di alam
bebas, di mana keadaan alamiah atau keadaan alam bebas itu
mendahului terjadinya negara. Selanjutnya menurut John Locke,
dalam keadaan alamiah menusia memiliki hak-hak alamiah yang
dimiliki manusia secara pribadi yaitu seperti hak hidup, hak atas
kebebasan dan kemerdekaan dan hak memiliki sesuatu. Jadi,
menurut kodratnya, manusia sejak lahir telah mempunyai hak-
hak alamiah yang menurut John Locke disebut hak dasar atau
hak asasi. Namun demikian, dalam keadaan alamiah di alam

81
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

bebas manusia tidak dapat mendapatkan dan menjalankan hak


asasinya dengan baik, oleh karena manusia selalu diliputi
keinginan untuk membela kepentingan diri sendiri sehingga
tidak ada kepastian dan ketertiban hukum. Hal ini memang
menjadi sifat dan watak manusia dan tidak ada seorang pun
dapat melepaskan diri dari hal-hal tersebut.157
Untuk menjamin terlaksana dan terpenuhinya hak asasi
manusia dengan baik, maka manusia menyelenggarakan
perjanjian masyarakat untuk membentuk masyarakat yang
selanjutnya menjadi negara. Dalam perjanjian ini manusia
menyerahkan sebagian hak-hak alamiahnya kepada masyarakat,
yang kemudian menunjuk seorang penguasa dan kepada
penguasa ini diberikan wewenang untuk menjaga dan menjamin
terpenuhinya hak asasi manusia sehingga dalam menjalankan
kekuasaan dan wewenangnya, penguasa tidak boleh melanggar
hak-hak asasi tersebut. Negara yang sudah diberikan kekuasaan
oleh rakyat tidak boleh mengambil atau mengurangi hak-hak
alami manusia tersebut. Apabila negara melakukan pelanggaran
terhadap hak-hak alami manusia tersebut, maka negara tersebut
sudah melanggar tujuan dan fungsi negara.
Menurut John Locke, tugas negara adalah menetapkan dan
melaksanakan hukum alam dalam pengertian luas, yakni negara
tidak hanya menetapkan dan melaksanakan hukum alam saja,
tetapi di dalam membuat peraturan atau undang-undang negara
juga harus berpedoman pada hukum alam. Ciri dari hukum alam
tersebut adalah bahwa berlakunya hukum harus bersifat umum
dan sesuai dengan rasio manusia. Dengan demikian, peraturan
atau undang-undang yang tidak bersifat umum bukan
merupakan peraturan atau undang-undang dari hukum alam
sehingga tidak akan ditaati oleh umum. Jadi, tugas negara tidak
hanya menegakkan hukum (eksekutif), melainkan juga
membentuk peraturan (legislatif) serta mengatur hubungan
dengan negara-negara lain (federatif). Pemikiran John Locke
inilah yang menjadi awal berkembangnya teori pembagian

157
Ibid. h. 107-108

82
Teori Asal Mula Negara

kekuasaan atau lebih dikenal dengan teori trias politica yang


kemudian disempurnakan oleh Montesquieu.158
Sehubungan dengan teori pembagian kekuasaan di atas,
John Locke membedakan bentuk negara sebagai berikut:159
a. Apabila kekuasaan pembentuk perundang-undangan
diserahkan pada satu orang saja, maka negara ini disebut
Monarki.
b. Apabila kekuasaan pembentuk perundang-undangan
diserahkan pada beberapa orang, maka negara ini disebut
dengan Aristokrasi.
c. Apabila kekuasaan pembentuk perundang-undangan
dilaksanakan oleh seluruh rakyat dan pemerintahnya hanya
sebagai pelaksana saja, maka negara ini disebut Demokrasi.

5. Montesquieu (1688-1755 M)
Sama halnya dengan pemikir hukum lainnya, Montesquieu
juga menyatakan bahwa asal mula negara berawal dari kondisi
alamiah manusia yang tanpa kepastian, keteraturan dan
ketertiban serta tanpa perlindungan. Untuk itu, maka manusia
membentuk perjanjian masyarakat untuk membentuk negara
dan menunjuk pemimpin dengan tugas utama untuk
memberikan perlindungan terhadap hak-hak kodrati manusia.
Untuk itu, maka dasar pemikiran Montesquieu adalah adanya
kewajiban raja untuk menghormati hak-hak alami manusia yang
telah dipercayakan kepadanya.
Untuk menghormati hak-hak alami manusia tersebut, maka
kekuasaan raja tidak boleh absolut, namun kekuasaan tersebut
harus dibatasi. Menurut Montesquieu, bahwa cara untuk
membatasi kekuasaan raja yang absolut adalah dengan cara
memisahkan kekuasaan negara, baik secara fungsional maupun
secara institusional. Dengan dasar tersebut, maka Montesquieu
membagi kekuasaan negara menjadi 3 (tiga) yakni:

158
Ibid., h. 107-108
159
Ibid.

83
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

a. Legislative yakni kekuasaan negara yang mempunyai tugas


untuk membentuk undang-undang (rule making function).
b. Executive yakni kekuasaan negara yang bertugas untuk
menjalankan undang-undang, sehingga undang-undang
tersebut menjadi efektif dalam penyelenggaraan pemerin-
tahan (rule application function).
c. Judicial yakni fungsi negara yang bertugas untuk mengadili
pelanggaran terhadap undang-undang (rule adjudication func-
tion).

Pendapat Montesquieu di atas oleh Emanuel Kant disebut


sebagai “trias politica”. Menurut Montesquieu, ketiga fungsi
negara tersebut harus terpisah satu dengan yang lainnya, baik
secara fungsional maupun institusional. Pemisahaan kekuasaan
bertujuan supaya fungsi-fungsi negara tidak diserahkan kepada
orang yang sama untuk menghindari penyalahgunaan ke-
kuasaan oleh pihak yang berkuasa.160 Pemisahaan kekuasaan
juga bertujuan untuk menjamin hak kebebasan yang dimiliki
oleh warga negara, karenanya Montesquieu menyatakan bahwa
“when the legislative power and executive power are united in the same
person…there can be no liberty; neither is there any liberty if the power
of the judge is separate from legislative and executive power”.161

6. JJ. Rousseau (1712-1778 M)


Dalam beberapa hal, Rousseau berbeda dengan ajaran-
ajaran sarjana hukum alam lainnya. Hal ini berarti bahwa masih
terdapat persamaan dengan sarjana-sarjana hukum alam yang
lain khususnya mengenai kondisi manusia dalam keadaan bebas,
di mana terdapat kekacauan sehingga manusia memerlukan
jaminan atas keselamatan jiwanya. Untuk mencapai itu, maka
manusia menyelenggarakan perjanjian masyarakat. Dengan
adanya perjanjian masyarakat, maka telah tercipta sebuah
negara. Setelah terbentuknya negara, naluri manusia telah
diganti dengan keadilan dan tindakan yang mengandung

160
Miriam Budiardjo, Op.Cit., h. 152
161
Ni’matul Huda, Ilmu…Op.Cit., h. 74

84
Teori Asal Mula Negara

kesusilaan serta setiap keinginan-keinginan individu yang


sebebas-bebasnya saat ini dibatasi oleh kemauan umum yang
dimiliki oleh masyarakat sebagai kekuasaan tertinggi.162
JJ. Rousseau menyatakan bahwa pada saat perjanjian
masyarakat terjadi, masyarakat tidak menyerahkan kekuasaan-
nya kepada pihak penguasa, karena individu-individu itu
menyerahkan haknya kepada rakyat sendiri sebagai satu
kesatuan. Penguasa menjalankan kekuasaannya tidak karena
haknya sendiri, melainkan sebagai mandataris dari rakyat. Jadi
sewaktu-waktu rakyat dapat merubah atau menarik kembali
mandat itu.163 Oleh karena itu, sumber kekuasaan raja adalah
rakyat. Kehendak rakyat adalah kehendak raja. Raja merupakan
wakil dari rakyat dalam melaksanakan kedaulatannya. Untuk
itu, maka teori kedaulatan rakyat merupakan teori yang
memberikan kekuasaan tertinggi kepada rakyat, dengan kata
lain bahwa kekuasaan tersebut berasal dari rakyat, dilaksanakan
oleh rakyat sendiri dan kekuasaan tersebut ditujukan untuk
kesejahteraan rakyat.
Menurut Rousseau, masyarakat hanya dapat menyerahkan
kekuasaannya kepada penguasa, sedangkan kedaulatannya
tidak dapat diserahkan kepada siapapun juga. Jadi, kedaulatan
tetap melekat pada masyarakat. Dengan demikian, sifat
kekuasaan penguasa hanya melaksanakan kehendak umum
dalam arti bahwa penguasa hanya sebagai wakil dari
masyarakat. Karenanya, apabila penguasa melakukan tindakan-
tindakan yang bertentangan atau menyimpang dari kemauan
umum atau kemauan masyarakat, maka masyarakat dapat
mengganti penguasa tersebut dengan penguasa yang lain.
Hakekat dari ajaran JJ. Rousseau tentang teori kedaulatan
rakyat adalah adanya kehendak rakyat sebagai dasar pelak-
sanaan kekuasaan negara. Jika kekuasaan negara dilaksanakn
oleh raja, maka kekuasaan raja harus sesuai dengan kehendak

162
Soehino, Op.Cit., h. 119
163
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar…Op.Cit., h. 125

85
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

rakyat. Kehendak rakyat tersebut oleh JJ. Rousseau dibagi


menjadi 2 (dua) yakni:164

a. Volonte de tous (kehendak rakyat seluruhnya)


Volonte de tous adalah kehendak rakyat seluruhnya yang
dipergunakan oleh semua rakyat ketika negara akan dibentuk
dalam perjanjian masyarakat. Volonte de tous tersebut menjadi
sandaran terbentuknya negara yang bersifat abadi, karena
sudah disetujui oleh semua rakyat. Volonte de tous merupakan
kebulatan kehendak dan tidak dapat ditarik kembali. Volonte
de tous ini hanya dapat dipergunakan satu kali, dan apabila
negara sudah terbentuk, maka volonte de tous tidak boleh
dipergunakan lagi, karena akan menyulitkan pelaksanaan
pemerintahan.

b. Volonte de generale (kehendak sebagian rakyat)


Volonte de genarale adalah kehendak sebagian rakyat yang
dipergunakan setelah negara terbentuk. Volonte de generale
merupakan kehendak dari sebagian banyak rakyat dalam
pengambilan keputusan negara. Artinya bahwa volonte de
generale menggunakan suara mayoritas dalam pengambilan
keputusan bernegara. Volonte de generale tersebut dapat
digunakan berkali-kali dalam pengambilan kebijakan negara.
Volonte de generale merupakan landasan lahirnya demokrasi
di negara-negara barat yang mementingkan suara terbanyak.

Dari penjelasan di atas, maka JJ. Rousseau menyatakan


bahwa teori kedaulatan rakyat adalah cara atau sistem yang
bagaimanakah pemecahan sesuatu soal itu menurut cara atau
sistem tertentu yang memenuhi kehendak umum.165Konsekuensi
dari ajaran Rousseau ialah: 1) Adanya hak rakyat atau
masyarakat untuk mengganti atau menggeser penguasa; dan 2)
Adanya pemahaman bahwa yang berkuasa adalah masyarakat
atau rakyat (paham kedaulatan rakyat).166

164
Ibid., h. 124
165
Soehino, Op.Cit., h. 161
166
Ibid., h. 121

86
Teori Asal Mula Negara

Mengenai bentuk negara, Rousseau membagi bentuk-


bentuk negara berdasarkan sipakah pemegang kekuasaan atau
kekuasaan negara tersebut terdiri dari berapa orang. Berikut
bentuk-bentuk negara menurut Rousseau:167
a. Apabila kekuasaan negara atau kekuasaan pemerintahan ada
pada seorang raja sebagai wakil rakyat, maka bentuknya
adalah monarki.
b. Apabila kekuasaan negara atau kekuasaan pemerintahan ada
di tangan dua orang atau lebih dan mereka bersifat baik,
makan bentuknya adalah aristokrasi.
c. Apabila kekuasaan negara atau kekuasaan pemerintahan ada
pada rakyat yang sifatnya baik, maka bentuk ini adalah
demokrasi.

7. Immanuel Kant (1724-1804 M)


Menurut Immanuel Kant, negara adalah suatu keharusan
adanya karena negara harus menjamin terlaksananya
kepentingan umum di dalam keadaan hukum. Artinya, negara
harus menjamin setiap kebebasan warga negara dalam ling-
kungan hukum. Untuk itu, bebas bukan berarti dapat berbuat
sewenang-wenang atau sesuka hatinya, tetapi harus berdasarkan
undang-undang. Jadi, harus menurut kemauan rakyat sebagai
penjelmaan dari kemauan umum yang kemudian membentuk
undang-undang.
Sebagaimana Rousseau, Immanuel kant juga berpendapat
bahwa kedaulatan ada pada rakyat dan kemauan umum menjel-
ma menjadi perundang-undangan negara. Namun demikian,
terdapat perbedaan yang sangat prinsipil di antara ajaran
keduanya yaitu, menurut Immanuel kant bahwa apa yang
disebut perjanjian masyarakat itu tidak pernah ada dan tidak
pernah merupakan kenyataan atau peristiwa dalam sejarah.
Menurutnya, konstruksi terjadinya negara berdasarkan per-
janjian masyarakat itu tidak benar karena tidak pernah terjadi.
Apabila orang-orang mengatakan demikian, maka hal itu hanya

167
Ibid., h. 123

87
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

merupakan suatu konstruksi yuridis yang dapat menolong or-


ang dalam menerangkan bagaimana awal mula terjadinya
negara atau bagaimana negara terbentuk.168

G. Asal Mula Negara Menurut Teori Kekuatan


Teori ini menyatakan bahwa asal mula terbentuknya
kekuasaan (negara) adalah karena adanya keunggulan kekuatan
dari pada orang yang satu dengan orang lainnya. Di dalam teori
ini yang berlaku adalah teori hukum rimba yang menentukan
siapa yang kuat dialah sebagai penguasa. Berkaitan dengan teori
kekuatan tersebut, ada beberapa ahli yang mengemukakan
pendapat, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Oppenheimer
Menurut Oppenheimer, negara adalah suatu alat dari
golongan yang kuat melaksanakan suatu tertib masyarakat
kepada golongan yang lemah dengan maksud untuk menyusun
dan membela kekuasaan golongan yang kuat, di mana tujuan
terakhir dari hal itu adalah penghisapan ekonomis oleh golongan
kuat terhadap goongan yang lemah.169

2. Karl Marx
Karl Marx menyatakan bahwa negara adalah penjelmaan
dari pertentangan-pertentangan kekuatan ekonomi. Negara
dipergunakan sebagai alat dari mereka yang kuat yaitu orang
yang memiliki alat-alat produksi untuk menindas golongan yang
ekonominya lemah. Menurut Marx, negara akan lenyap dengan
sendirinya apabila di dalam masyarakat sudah tidak terdapat
perbedaan-perbedaan kelas dan pertentangan-pertentangan
ekonomi.170

3. Harold J. Laski
H.J. Laski berpendapat bahwa negara adalah suatu alat
pemaksa (dwang organizatie) untuk melaksanakan dan

168
Ibid. h. 127
169
Ibid., h. 133
170
Ibid

88
Teori Asal Mula Negara

melangsungkan suatu jenis sistem produksi yang stabil dan


pelaksanaan sistem produksi ini semata-mata akan meng-
untungkan golongan yang kuat, yang berkuasa.Selanjutnya, H.J.
Laski mengatakan bahwa sifat-sifat negara pada umumnya
tergantung sistem ekonomi yang berlaku di dalam lingkungan
masyarakat yang dikuasai oleh negara tersebut. Tiap-tiap sistem
kemasyarakatan pada hakikatnya merupakan suatu perjuangan
merebut puncak kekuasaan ekonomi. Dengan demikian, cara
pembagian kekuasaan ekonomi pada suatu tempat dan waktu
tertentu akan menentukan bentuk dan corak peraturan hukum
yang berlaku di suatu tempat dan waktu tertentu itu juga. Hal
inilah yang kemudian menjadikan negara sebagai alat untuk
mewujudkan keinginan orang-orang yang menguasai susunan
ekonomi. Jadi, secara tidak langsung tata hukum merupakan
suatu topeng yang dibaliknya terdapat suatu kepentingan yang
bersifat ekonomi sehingga kepentingan-kepentingan tersebut
dapat dengan mudah diperoleh dari kekuasaan politik.
Karenanya, negara tidaklah memberikan keadilan dan
kemanfaatan umum, melainkan hanya kepentingan golongan-
golongan yang berkuasa dalam masyarakat.171

4. Leon Duguit
Leon Duguit menyatakan bahwa orang-orang yang kuat
memaksakan kemauannya kepada orang lain yang dianggap
lemah karena mereka memiliki keunggulan berupa fisik,
ekonomi, kecerdasan, agama, politik dan sebagainya.172

H. Asal Mula Negara Menurut Teori Positivisme


Menurut Hans Kelsen, ilmu negara harus menarik diri atau
melepaskan pemikirannya secara prinsipiil dari tiap-tiap
percobaan untuk menerangkan negara serta bentuk-bentuknya
secara kausal yang bersifat abstrak dan mengalihkan pem-
bicaraan atau pemikirannya secara yuridis murni.173 Maka dari

171
Ibid., h. 134
172
Ibid
173
J.J. Von Schmid, Op.Cit., h. 24

89
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

itu, negara hanya dapat dipelajari dan dipahami di dalam sistem


hukumnya sendiri. Sedangkan masalah tentang timbulnya
negara merupakan masalah yang sifatnya meta yuridis sehingga
hal ini tidak termasuk ke dalam objek ilmu negara, melainkan
objek pembicaraan filsafat hukum. Jadi, Menurut Kelsen ilmu
hukum tidak perlu mempersoalkan asal mula negara karena
kelahiran negara hanya suatu kenyataan belaka yang tidak dapat
diterangkan dan ditangkap dalam sebutan yuridis.
Selanjutnya Hans Kelsen berpendapat bahwa negara adalah
suatu tertib hukum yang timbul karena diciptakannya
peraturan-peraturan hukum yang menentukan bagaimana or-
ang di dalam masyarakat atau negara itu harus bertanggung
jawab terhadap perbuatan-perbuatannya. Tertib hukum terdiri
dari suatu rangkaian peraturan-peraturan hukum yang beraneka
ragam jenis, bentuk serta banyak sekali jumlahnya. Namun,
semuanya itu bersumber pada satu sumber yang disebut norma
dasar sehingga peraturan hukum yang beragam dan banyak
tersebut tetap merupakan satu kesatuan.174Karena peraturan-
peraturan hukum tersebut sumbernya sama, maka masing-
masing peraturan hukum itu satu sama lain mempunyai
hubungan yang erat. Suatu peraturan yang lebih tinggi menjadi
dasar atau rujukan dari peraturan yang lebih rendah, demikian
seterusnya sehingga ada urutan-urutan dalam tingkatannya.
Karenanya, peraturan-peraturan hukum yang beragam dan
banyak jumlah serta jenisnya tersebut didasarkan padasatu
norma dasar, maka hal ini yang dikatakan adanya suatu tertib
hukum yang berarti pula adanya negara. Dengan demikian,
Hans Kelsen menyatakan bahwa tidak perlu susah payah
mempersoalkan tentang kedudukan negara dan hukum lebih
tinggi yang mana atau manakah yang berdaulat oleh karena
keduanya adalah sama.
Selanjutnya, Hans Kelsen menyatakan bahwa apabila kita
memandang negara sebagai satu kesatuan tata tertib atau satu
kesatuan peraturan, maka tidak mungkin lagi negara
ditempatkan berhadapan dengan hukum, karena baik negara

174
Soehino, Op.Cit., h. 140

90
Teori Asal Mula Negara

maupun hukum termasuk dalam satu kategori Normative


Ordnung. Sehingga, apabila orang telah mengakui bahwa sifat
dan hakikat norma adalah memaksa, maka baik negara maupun
hukum merupakan suatu tertib hukum yang memaksa. Jadi,
negara identik dengan hukum.175

I. Asal Mula Negara Menurut Teori Modern


Menurut mr. R. Kranenburg, negara adalah suatu organisasi
yang kekuasaannya diciptakan oleh sekelompok manusia yang
disebut bangsa. Yang terpenting dan yang terlebih dahulu harus
ada adalah kelompok manusianya sedangkan adanya negara
menyusul setelah adanya kelompok manusia tersebut. Jadi, yang
primer adalah kelompok manusia dalam wujud bangsa, sedang-
kan negara adalah sekunder. 176 Sedangkan Logemann
menyatakan bahwa negara adalah suatu organisasi kekuasaan
yang meliputi atau menyatukan kelompok manusia yang
kemudian disebut bangsa. Kebalikan dari sistem Krenburg, di
mana organisasilah yang menciptakan bangsa maka bangsa
tergantung pada organisasi. Jadi, yang primer adalah organisasi
kekuasaannya (negara) dan kelompok manusia adalah
sekunder.177

J. Asal Mula Negara Menurut Teori Patriarkhal dan


Teori Matriarkhal
Inti dari teori patriarkhal dapat disimpulkan sebagai berikut:
keluarga sebagai kelompok patriarkhal adalah kesatuan sosial
yang paling utama dalam masyarakat primitif, di mana yang
paling berkuasa dalam keluarga tersebut adalah ayah. Kemu-
dian, keluarga berkembang biak dan terjadilah beberapa
keluarga yang kesemuanya dipimpin oleh kepala keluarga induk
(ayah). Lama kelamaan keluarga-keluarga tersebut menjadi satu
kesatuan ethnis yang besar dan terjadilah suku patriarkhal (gens)

175
Ibid. h. 141
176
Ibid., h. 142
177
Ibid., h. 143

91
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

yang pertama.178 Suku pertama ini masih dikuasai oleh kepala


keluarga induk. Kepala-kepala suku merupakan yang utama
dari yang lain (primus inter pares), sampai saat dibentuk semacam
pemerintahan yang disentralisasi. Semakin lama persekutuan
tersebut meluas, karena lancarnya hubungan dengan suku-suku
tetangga. Akibat lancarnya hubungan antar suku tersebut, maka
timbul masalah-masalah baru yang menuntut kepala-kepala
keluarga untuk memperluas fungsinya. Dengan demikian, suku-
suku yang saling berhubungan satu sama lain tersebut menjadi
persekutuan-persekutuan ethnis yang bercorak ragam sehingga
terbentuklah benih-benih negara. Jadi, Negara adalah per-
kumpulan atau persekutuan beberapa suku.
Selanjutnya, kebalikan dari teori Patriarkhal, yaitu teori
Matriarkhal. Di dalam teori ini, matriarkhi merupakan stelsel
persekutuan, di mana terdapat hak-hak keibuan (motherright)
yang mungkin didampingi oleh pimpinan kaum ayah
(fatherrule). Menurut teori matriarkhal, persekutuan primitif
yang pertama tidak mengenal pria sebagai kepala keluarga, tidak
ada semacam pater familias atau seorang patriach yang menguasai
persekutuan itu. Justru sebaliknya, garis keturunan diambil dari
kaum ibu dan kekeluargaan didasarkan atas ibu serta
keturunannya.179 Jadi, bukan ditentukan oleh gens, melainkan
clan.

K. Asal Usul Mula Negara Menurut Teori Organis


Konsepsi organis tentang hakikat dan asal mula negara
merupakan konsepsi biologis yang menggambarkan negara
dengan menggunakan istilah-istilah ilmu alam. Menurut teori
ini, negara disamakan dengan makhluk hidup seperti manusia
dan binatang. Di mana, individu yang menjadi komponen-
komponen dari negara dianggap sebagai sel-sel yang terdapat
pada makhluk hidup tersebut.180 Mengenai hal ini, Nicolas
berpendapat bahwa kehidupan korporal dari negara dapat

178
F. Isjwara, Op.Cit., h. 154
179
Ibid., h. 155
180
Ibid

92
Teori Asal Mula Negara

disamakan dengan anatomi makhluk hidup, yaitu pemerintah


dapat disamakan dengan tulang belulang manusia, undang-
undang sebagai urat syaraf dan penguasa (raja atau kaisar)
dianggap sebagai daging dari makhluk hidup itu sendiri. Lebih
lanjut ia mengatakan bahwa fisiologi negara juga sama dengan
fisiologi makhluk hidup, oleh karena negara juga mempunyai
proses kelahiran, pertumbuhan, perkembangan dan kematian
sebagaimana yang dialami makhluk hidup.
Menurut isinya, teori organis dikelompokkan menjadi 4
(Empat) teori:181

1. Organisme Moral
Teori Organisme Moral bersifat metafisis-idealistis. Menurut
teori ini, negara bukan merupakan buatan manusia, melainkan
suatu pribadi moral yang merupakan akibat dari kodrat manusia
sebagai makhluk moral. Selanjutnya, Georg Wilhelm Hegel
beranggapan bahwa negara sebagai penjelmaan ekstern dari
semangat moral (moral spirit) individu sehingga negara
dipandang sebagai organisme dengan kepribadian yang mulia.
Karenanya, negara harus dipuja dan didewakan.

2. Organisme Phsykis
Teori Organisme Phsykis bersifat bio-psikologis. Menurut
teori ini, negara digambarkan seperti makhluk hidup yang
memiliki atribut-atribut kepribadian rohaniah sebagai manusia
(human mental personality). Pertumbuhan dan perkembangan
negara disamakan dengan perkembangan intelektual dari
individu.

3. Organisme Biologis
Menurut teori organisme biologis, negara timbul sebagai
salah satu manifestasi dari pertumbuhan ilmu-ilmu biologi.
Negara diselidiki dengan menggunakan metode dan peng-
golongan dari ilmu biologi. Karenanya, teori ini beranggapan

181
Ibid., h. 156

93
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

bahwa negara dengan makhluk hidup memilik kesamaan dalam


hal anatomi, fisiologi dan pathologinya. Dengan demikian, asal
mula, organisasi dan aktifitas negara diselidiki seperti kelahiran,
struktur dan fungsi organisme biologis.

4. Organisme Sosiologis
Ajaran organisme sosiologis sangat erat hubungannya
dengan ajaran organis dari masyarakat dan persekutuan-
persekutuan lainnya. Masyarakat dipandang sebagai suatu
keseluruhan yang bersifat organis. Negara sebagai salah satu
bentuk pengelompokan sosial yang juga bersifat organis.

94
BAB V
TEORI KEDAULATAN

A. Pengertian Kedaulatan
Kedaulatan merupakan padanan kata dari sovereignty
(Inggris), souverainete (Prancis), dan suvranus (Itali). Kata tersebut
diturunkan dari bahasa Latin supranus yang berarti “yang
tertinggi” (supreme). Kata supranus sering disamakan dengan
istilah summa potestas atau plenitudo potestatis yang berarti
wewenang tertinggi dari suatu kekuasaan politik. 182 Istilah
supranus tersebut selalu diartikan sebagai otoritas pemerintahan
dan hukum.183
Menurut Black’s Law Dictionary, “sovereign is s person, body,
or state in which independent and supreme authority is vested; achief
ruler with supreme power; a king or otherruler with limited
power”.184Black’s Law Dictionary edisi ke-7 juga menyatakan
bahwa “soevereignity is 1) supreme dominion, authority, or rule; 2)
the supreme political authority of an independent state; 3) the state
itself.185 Sedangkan Oxford Dictionary of Law menyatakan bahwa

182
F. Isjwara, Op.Cit., h. 107
183
Francis W. Koker, Sovereignty, Encyclopaedia of Social Science, vol. 14, h.
265
184
Henry Campbell Black, Op.Cit., h.1568
185
Bryan A Garner, Black’s Law Dictionary, 7th, ST. Paul, Minn. West Publish-
ing, Co., 1891, 1999, h. 1402

95
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

“sovereignty is supreme authority in a state. In any state sovereignty


is vested in the institution, person, or body having the ultimate au-
thority to impose law on everyone else in the state and the power to
alter any pre-existing law…In international law, it is an essential as-
pect of sovereignty that all states should have supreme control over
their internal affairs, subject to the recognized limitations imposed by
international law”.186
Kedaulatan sebagai atribut negara pertama kali
dikemukakan oleh Jean Bodin. Jean Bodin menyatakan bahwa
kedaulatan merupakan ciri negara, yang membedakan negara
dengan persekutuan-persekutuan lainnya. Hakikat negara
terseletak pada kedaulatannya. Kedaulatan merupakan esensilia
dari negara, karenanya tanpa kedaulatan, maka tidak ada negara.
Dari aspek internal, Jean Bodin memandang kedaulatan sebagai
kekuasaan tertinggi dalam suatu kesatuan politik. Jean Bodin
menyatakan bahwa kedaulatan adalah kekuasaan mutlak dan
abadi dari negara.187 Dengan kata lain, kedaulatan adalah
kekuasaan tertinggi terhadap para warga negara dan rakyatnya,
tanpa ada suatu pembatasan apapun dari undang-undang.188
Lebih lanjut, Jean Bodin menyatakan bahwa raja merupakan
personifikasi dari kedaulatan. Raja merupaka “legibus solutes
summa in Civics ac Sabditos Legibusque Solute Poteste (kekuasaan
supra dari negara atas warga negara dan rakyatnya, yang tidak
dibatasi oleh hukum). Raja merupakan bayangan Tuhan “Le
Prince est I’image de Dieu”.Karenanya, raja tidak bertanggung
jawab kepada siapapun, kecuali pada Tuhan. Dengan prinsip
tersebut, kekuasaan negara tersentral pada raja, sehingga raja
sangat absolut. Namun demikian, kedaulatan yang diutarakan
Jean Bodin tersebut tidak mutlak semutlak-mutlaknya, karena
raja harus menghormati ius naturale et gentium (hukum kodrat
dan hukum antar bangsa) dan hukum konstitusionil dari

186
Elizabeth A. Martin, Op.Cit., h. 469
187
F. Isjwara, Op.Cit., h. 108
188
Soehino, Op.Cit., h. 88

96
Teori Kedaulatan

kerajaan, yakni leges imperii, misalkan hukum Salis tentang


penggantian raja.189
Sebagai kekuasaan tertinggi untuk membuat hukum di
dalam suatu negara, maka Jean Bodin menyatakan bahwa
kedaulatan mempunyai sifat:190
1. Tunggal artinya bahwa hanya negaralah yang memiliki. Di
dalam negara itu tidak ada kekuasaan lainnya lagi yang
berhak menentukan atau membuat undang-undang atau
hukum.
2. Asli artinya bahwa kekuasaan itu tidak berasal dari
kekuasaan lain, tidak diturunkan atau diberikan oleh kuasaan
lain.
3. Abadi artinya bahwa yang mempunyai kekuasaan tertinggi
atau kedaulatan itu adalah negara. Negara adalah abadi.
4. Tidak dapat dibagi-bagi artinya bahwa kedaulatan itu tidak
dapat diserahkan kepada orang lain atau badan lain, baik
sebagian atau seluruhnya.

Pendapat Jean Bodin kemudian dilanjutkan oleh Thomas


Hobbes. Thomas Hobbes menyatakan bahwa raja berada di atas
undang-undang (princeps legibus solutus est). Tomas Hobbes
menyatakan bahwa raja yang memiliki kekuasaan untuk
membentuk undang-undang, karenanya raja berada di atas
undang-undang.191 Raja tidak boleh dipersalahkan atau dihukum
karena undang-undang yang dibuatnya (king can do not wrong).
Dengan prinsip tersebut, raja memiliki kekuasaan yang absolut
terhadap rakyatnya. Thomas Hobbes menyatakan bahwa ketika
masyarakat mengadakan perjanjian untuk membentuk negara,
masyarakat menyerahkan seluruh haknya kepada seseorang
(raja). Ketika perjanjian tersebut diadakan, raja berada di luar
perjanjian, sehingga raja tidak terikat dengan perjanjian tersebut.
Oleh karena itu, raja berdaulat penuh terhadap rakyatnya.

189
F. Isjwara, Loc. Cit
190
Soehino, Op.Cit., h. 79
191
F. Isjawara, Op.Cit., h. 109

97
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

Pendapat Jean Bodin dan Thomas Hobbes di atas, kemudian


dilanjutkan oleh John Austin. John Austin menyatakan bahwa
yang berdaulat adalah pembentuk hukum tertinggi (legibus
soluta/supreme legislator) dan hukum positif adalah hukum yang
dibuat oleh orang yang berdaulat itu. Untuk itu, maka pemegang
kedaulatan berada di atas hukum.192 Bagi John Austin yang ber-
daulat adalah siapa yang memegang kekuasaan untuk
membentuk hukum tertinggi di suatu negara.
Berkaitan dengan kedaulatan tersebut, F.Isjwara me-
ngemukakan ciri-ciri kedaulatan tradisionil. Ciri-ciri tersebut
adalah sebagai berikut:193
1. Kelanggengan (permanence/ ewigkeit) artinya bahwa
kedaulatan tersebut bersifat abadi yang dimiliki oleh negara
selama negara itu ada. Kedaulatan itu melekat pada negarra
dan lenyap dengan musnahnya negara.
2. Sifatnya tidak dapat dipisah-pisahkan (indivisible) artinya
bahwa kedaulatan merupakan suatu yang bulat dan tunggal.
Kedaulatan tidak dapat dibagi-bagi. Memisahkan kedaulatan
hanya mengakibatkan timbulnya kedaulatan baru yang bulat
dan tunggal.
3. Sifatnya sebagai kekuasaan tertinggi (supreme) artinya bahwa
kedaulatan merupakan kekuasaan tertinggi dalam suatu
negara. Kedaulatan tidak mengizinkan adanya saingan.
Setiap jenis kekuasaan lainnya yang tidak tunduk pada
kedaulatan itu adalah sesungguhnya yang berdaulat.
4. Tidak terbatas dan lengkap (complete) artinya bahwa
kedaulatan tidak mengenal batas, karena membatasi
kedaulatan berarti adanya kedaulatan yang lebih tinggi. Dan
akhirnya kedaulatan itu lengkap, sempurna, karena tiada
manusia dan organisasi yang diperkecualikan dari kekuasaan
yang berdaulat.

Teori kedaulatan yang dikemukakan oleh Jean Bodin, Tho-


mas Hobbes dan John Austin di atas juga dikenal dengan teori
192
Ibid, h. 110
193
Ibid., h. 110-111

98
Teori Kedaulatan

monistis, yakni konsep kedaulatan negara yang mutlak. Menurut


teori monistis, bahwa kekuasaan negara merupakan kekuasaan
tertinggi dan tidak terbatas, yang dapat memaksakan perintah-
perintahnya dengan tidak mengindahkan perintah-perintah
lainnya. Negara yang memiliki kekuasaan tertinggi itu meng-
hendaki pentaatan mutlak dari semua warga negara. Kekuasaan
negara yang mutlak itu terjelma dalam bidang perundang-
undangan, di mana negara merupakan pembentuk undang-
undang yang tertinggi (legal omnicompetence).194

B. Jenis-Jenis Kedaulatan
Kedaulatan merupakan konsep yang abstrak yang dapat
dibedakan ke dalam berbagai jenis, yakni:

1. Kedaulatan Tuhan
Teori kedaulatan Tuhan menyatakan bahwa yang meme-
gang kekuasaan tertinggi adalah Tuhan. Kekuasaan negara
bersumber dari Tuhan, karenanya, penguasa yang menjalankan
kekuasaan negara merupakan wakil dari Tuhan. Negara tidak
melaksanakan kedaulatan yang asli, namun diberikan oleh
Tuhan. Tuhan merupakan causa prima atas negara, artinya bahwa
negara muncul karena kehendak Tuhan, sehingga kekuasaan
negara diberikan berdasarkan kehendak Tuhan.
Mochtar Efendi menyatakan bahwa bahwa ajaran ke-
daulatan Tuhan muncul oleh adanya kepercayaan orang
beragama, bahwa Tuhan-lah yang menjadi maha pencipta alam
semesta dengan segenap isinya, sehingga Tuhan-lah yang
mempunyai kekuasaan tertinggi di seluruh alam semesta.195
Senada dengan hal tersebut, Ni’matul Huda menyatakan bahwa
Tuhan menciptakan seluruh alam semesta ini, segala makhluk-
makhluk yang hidup di dunia ini. Oleh karena itu, Tuhan
berkuasa dalam negara.196

194
Ibid., h. 111
195
Muchtar Affandi, Op.Cit., h. 215
196
Ni’matul Huda, Ilmu…Op.Cit., h. 173

99
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

Teori kedaulatan Tuhan muncul pada abad pertengahan


yakni sekitar abad ke-V sampai abad ke-XV. Teori ini muncul
akibat kuatnya pengaruh agama yang berkembang pada waktu
itu, terutama agama Kristen yang diorganisasikan oleh Paus
sebagai pemimpin gereja. Pada waktu itu, negara dibagi menjadi
2, yakni negara Tuhan (civitas dei) dan negara dunia (civitas
terrena/diaboli). Negara Tuhan (civitas dei)merupakan negara yang
diangan-angankan oleh agama yaitu kerajaan Tuhan. Sedangkan
negara dunia/iblis (civitas terrena/diaboli) merupakan suatu
organisasi yang mempunyai tugas untuk memusnahkan
perintang-perintang agama dan musuh-musuh gereja. Negara
Tuhan dipimpin oleh paus, sedangkan negara dunia dipimpin
oleh raja.
Menurut Augustinus, gereja yang pimpin oleh paus
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari negara dunia
yang dipimpin oleh raja. Paus merupakan wakil Tuhan di dunia.
Karenanya, negara dunia merupakan alatgereja untuk
memusnahkan musuh-musuh gereja. Negara dunia merupakan
wakil dari negara Tuhan. Untuk itu, negara dunia wajib untuk
mentaati segala perintah yang diberikan oleh negara Tuhan.
Berbeda halnya dengan Augustinus, Thomas Aquinus
menyatakan bahwa kedudukan paus dan raja adalah setara,
hanya saja tugasnya yang berlainan. Raja dalam lapangan
keduniawian, sedangkan paus dalam lapangan keagamaan.
Lebih lanjut, Thomas Aquinus menyatakan bahwa paus dan raja
memiliki hubungan yang saling berkaitan untuk mencapai
tujuan manusia sesungguhnya yakni kemuliaan abadi setelah
meninggal. Oleh karena itu, negara bertugas untuk membuka
atau memberi kesempatan bagi manusia agar tuntutan gereja
dapat dilaksanakan yang berarti bahwa negara itu harus
menyelenggarakan keamanan dan perdamaian agar masing-
masing dapat melaksanakan tugasnya sehingga dapat mencapai
kemuliaan abadi.
Sedangkan Marsilius menyatakan bahwa terbentuknya
negara tidak semata-mata karena kehendak Tuhan, melainkan
negara terjadi karena perjanjian daripada orang-orang yang
hidup bersama untuk menyelenggarakan perdamaian sebagai

100
Teori Kedaulatan

tujuan hidup manusia. Lebih lanjut, Marsilius menyatakan


bahwa raja lebih tinggi kedudukannya dari paus, karena raja
adalah wakil Tuhan di dunia. Raja bukan wakil dari paus, namun
langsung wakil dari Tuhan yang bertugas untuk menciptakan
dan mempertahankan perdamaian.

2. Kedaulatan Raja
Teori kedaulatan raja menyatakan bahwa yang memegang
kekuasaan tertinggi adalah raja. Marsilius menyatakan bahwa
raja merupakan wakil Tuhan di dunia. 197 Raja memiliki
kedaulatan untuk melakukan apapun, karena perbuatannya
sudah menjadi kehendak Tuhan. Raja tidak wajib bertanggung
jawab kepada siapapun, kecuali kepada Tuhan.
Raja merupakan orang yang suci, bijaksana, sehingga tidak
sama dengan rakyat. Kedudukan raja sangatlah kuat, karena raja
merupakan orang yang menerima mandat dari Tuhan untuk
menjaga perdamaian di dunia. Hendra Nurtjahjo menyatakan
bahwa raja memperoleh hak untuk memimpin karena diberikan
hak untuk memerintah secara mutlak oleh Tuhan. Karenanya,
kekuasaan politik yang dimiliki para raja tidak dapat dicabut
oleh rakyat jelata.198
Menurut Jean Bodin, raja merupakan merupakan bayangan
Tuhan “Le Prince est I’image de Dieu”.Karenanya, raja tidak
bertanggung jawab kepada siapapun, kecuali pada Tuhan.
Karenanya, raja merupaka “legibus solutes summa in Civics ac
Sabditos Legibusque Solute Poteste (kekuasaan supra dari negara
atas warga negara dan rakyatnya, yang tidak dibatasi oleh
hukum). 199 Senada dengan hal tersebut, Thomas Hobbes
menyatakan bahwa raja berada di atas undang-undang (prin-
ceps legibus solutus est). Tomas Hobbes menyatakan bahwa raja
yang memiliki kekuasaan untuk membentuk undang-undang,
karenanya raja berada di atas undang-undang.200 Raja tidak boleh

197
Soehino, Op.Cit., h. 154
198
Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, Jakarta: Bumi Aksara, 2006, h. 32
199
F. Isjwara, Op.Cit., h. 108
200
Ibid., h. 109

101
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

dipersalahkan atau dihukum karena undang-undang yang


dibuatnya (king can do not wrong).
Kedaulatan raja menyebabkan raja memegang kekuasaan
yang sangat absolut dan tidak terkontrol. Raja memegang
kekuasaan yang sangat sentral, sehingga muncul raja-raja yang
sangat kejam. Bahkan Louis IV menyatakan bahwa “negara
adalah saya” (l’etat cest moi). Kekuasaan raja yang absolut
menyebabkan terjadinya tindakan penguasa yang sewenang-
wenang. Bahkan raja sering melakukan perbuatan-perbuatan
yang melanggar hukum. Kondisi tersebut menyebabkan tidak
adanya perlindungan hukum terhadap hak-hak rakyat. Rakyat
tidak memperoleh perlindungan hukum dari tindakan raja,
sehingga raja semakin dibenci oleh rakyatnya.
Kekuasaan raja yang absolut tersebut menimbulkan banyak
kritikan. Martin Luther bahkan menyatakan bahwa kaum
Kristen boleh membela diri terhadap pemerintah yang
sewenang-wenang. Jika kaisar melanggar undang-undang,
rakyat tidak usah mematuhinya lagi.201Setelah itu, muncul juga
kaum monarchomachen yang ingin membatasi kekuasaan raja.
Perkembangan selanjutnya, lahirlah teori pemisahaan kekuasaan
John Locke dan Montesquieu yang membagi kekuasaan negara
menjadi legislative, executive dan judisial. Dengan adanya
pemisahaan kekuasaan, maka kekuasaan negara tidak terpusat
pada raja semata, namun dilaksanakan oleh berbagai lembaga
negara yang lain. Raja hanya sebatas sebagai pelaksana undang-
undang, sedangkan fungsi legislatif dilaksanakan olen badan
pembentuk undang-undangan dan fungsi yudisial dilaksanakan
oleh lembaga peradilan yang independen.

3. Kedaulatan Negara
Teori kedaulatan negara menyatakan bahwa yang me-
megang kekuasaan tertingggi adalah negara. Negara merupakan
pemegang kekuasaan tertinggi terhadap rakyatnya, sehingga

201
Arief Budiman, Teori Negara, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996, h.
26

102
Teori Kedaulatan

negara dapat memaksakan apapun kepada warga negaranya.


Berkaitan dengan hal tersebut, Jean Bodin menyatakan bahwa
negara memegang kedaulatan yang bersifat mutlak dan
abadi. 202 Senada dengan hal tersebut, John Austin juga
menyatakan bahwa yang berdaulat adalah “legibus solute” yakni
pembentuk hukum yang tertinggi (supreme legislator) dan hukum
positif adalah hukum yang dibuat oleh yang berdaulat
itu.203Senada dengan pendapat di atas, Muchtar Affandi juga
menyatakan bahwa negara adalah badan hukum (rechtpersoon
yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama seperti subjek
hukum perorangan (naturlijke person). Negara sebagai subjek
hukum inilah yang memiliki kekuasaan tertingi dalam
kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat.204
Dalam teori monistis dinyatakan bahwa negara memiliki
kedaulatan yang mutlak. Mutlak artinya bahwa kekuasaan
negara merupakan kekuasaan tertinggi dan tidak terbatas, yang
dapat memaksakan perintah-perintahnya dengan tidak
mengindahkan perintah-perintah lainnya. Negara yang memiliki
kekuasaan tertinggi itu menghendaki pentaatan mutlak dari
semua warga negara. Kekuasaan negara yang mutlak itu terjelma
dalam bidang perundang-undangan, di mana negara merupakan
pembentuk undang-undang yang tertinggi (legal omnicompe-
tence). Bahkan Paul Laband menyatakan bahwa negara
merupakan sumber segala kekuasaan.205 Senada dengan hal
tersebut, Rudolf van Jhering juga menyatakan bahwa negara
merupakan satu-satunya sumber hukum.206
Teori kedaulatan negara ini merupakan kelanjutan dari teori
kedaulatan raja yang sudah usang dan sangat absolut.
Karenanya, teori kedaulatan negara merupakan alih wujud dari
teori kedaulatan raja. Sehingga, antara teori kedaulatan raja dan
teori kedaulatan negara memiliki prinsip dan hakikat yang sama.

202
Loc.Cit
203
Ibid, h. 110
204
Mochtar Affandi, Op.Cit., h. 215-216
205
Ibid., h. 217
206
Ibid

103
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

Untuk itu, Muh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih menyebut teori


kedaulatan negara sebagai teori kedaulatan raja-raja modern
(moderneverstenso uvereiniteit), yang sangat ditentang oleh Krabbe
dengan mengemukakan teori kedaulatan hukum.207 Berkaitan
dengan hal tersebut, Padmo Wahyono juga menyatakan bahwa
teori kedaulatan negara hanyalah konstitusi baru daripada
kedaulatan raja dalam suasana kedaulatan rakyat yang pernah
diintroduksikan di Jerman. Konstitusinya adalah bukan rakyat
yang dapat menjalankan kekuasaan tertinggi melainkan negara,
dank arena negara adalah sesuatu yang asbtrak, maka
diserahkan pelaksanaannya kepada raja.208
Berkaitan dengan kedaulatan negara, George Jellinek
menyatakan bahwa kedaulatan itu tidak ada pada Tuhan atau
raja, sehingga hukum tidak diciptakan oleh Tuhan atau raja,
tetapi yang memegang kedaulatan dan menciptakan hukum
adalah negara. Hukum merupakan penjelmaan dari kemauan
negara. Hukum itu ada, karena adanya negara, dan tidak ada
satu hukum pun yang berlaku jika tidak dikehendaki oleh
negara. Negara adalah satu-satunya sumber hukum.209Lebih
lanjut, George Jellinek menyatakan bahwa negara adalah
organisasi yang dilengkapi sesuatu kekuatan asli, kekuatan yang
bukan didapat dari sesuatu kekuatan yang lebih tinggi
derajatnya, hukum diciptakan oleh negara sendiri dan setiap
gerak-gerik manusia dalam negara itu harus menurut kehendak
negara. Sedangkan negara tidak perlu takluk di bawah hukum,
karena negara sendiri yang membuat hukum.210 Berkaitan
dengan hal tersebut, Hans Kelsen juga menyatakan bahwa
hukum objektif merupakan kehendak negara. 211
Dari pendapat di atas, maka secara eksplisit Jean Bodin dan
John Austin dengan teori “legibus soluta” dan George Jellinek

207
Muh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu..Op.Cit., h. 122
208
Padmo Wahyono, Negara Republik Indonesia, Jakarta: Academica, 1980, h.
62
209
Abu Daud Busroh, Ilmu…Op.Cit., h. 71
210
M. Solly Lubis, Hukum Tata Negara, Bandung: Mandar Maju, 1972, h. 43
211
Muchtar Affandi, Op.Cit., h. 217

104
Teori Kedaulatan

hanya mengakui hukum yang dibentuk oleh negara. Artinya


bahwa hukum yang berlaku adalah hukum yang merupakan
penjelmaan dari kehendak negara. Sehingga, tidak dikatakan
hukum apabila tidak dibentuk atas dasar kemauan negara.
Dengan dasar tersebut, maka hukum adat yang bersumber dari
kebiasaan yang sudah tumbuh dalam kehidupan masyarakat
tidak dapat dikategorikan sebagai hukum. Bahkan, dengan teori
“legibus soluta” nya, Jean Bodin menentang eksistensi dari hukum
adat tersebut. Namun demikian, George Jellinek masih
mengakui hukum adat tersebut menjadi hukum, dengan syarat
hukum adat tersebut ditetapkan sebagai hukum oleh negara.
Untuk itu, maka hukum adat dapat menjadi hukum, apabila ada
pernyataan kehendak negara bahwa hukum adat tersebut adalah
hukum.

4. Kedaulatan Hukum
Teori kedaulatan hukum menyatakan bahwa yang
memegang kekuasaan tertinggi adalah hukum itu sendiri.
Artinya bahwa satu-satunya sumber kedaulatan adalah hukum.
Hukum merupakan sesuatu yang supreme dalam negara. Rakyat
dan penguasa, bahkan negara harus tunduk kepada hukum.
Karenanya, semua tindakan negara, penguasa dan rakyat harus
sesuai dengan hukum. Hukum memiliki kekuasaan untuk
mewajibkan setiap orang untuk mentaati hukum. Sebagai
sesuatu yang supreme, maka hukum tidak boleh dilanggar oleh
negara, penguasa dan rakyat. Negara, penguasa dan rakyat
dilarang bertindak dan berbuat yang tidak sesuai dengan
hukum. Oleh karena itu, hukum bersifat memaksa, dan apabila
dilanggar maka hukum mengancam dengan sanksi. Hukum
menjadi pedoman dan koridor bagi negara, penguasan dan
rakyat untuk melakukan segala tindakan hukum mereka.
Hukum berfungsi sebagai rule of the game dalam penye-
lenggaraan kekuasaan negara.
Teori kedaulatan hukum lahir sebagai bantahan terhadap
teori kedaulatan negara yang diutarakan oleh Jean Bodin, John
Austin dan George Jellinek yang menyatakan bahwa yang
berdaulat adalah negara, sehingga hukum merupakan kemauan

105
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

negara, sehingga negara berada di atas hukum. Berkaitan dengan


hal tersebut, Hugo Krabbe menyatakan bahwa yang memiliki
kekuasaan tertinggi dalam negara adalah hukum.212Bahkan
melalui teori selbsbindungs, Hugo Krabbe menyatakan bahwa
negara itu secara sukarela mengikatkan dirinya kepada
hukum.213
Hukum yang berdaulat menurut Hugo Krabbe adalah
hukum yang bersumber dari kesadaran hukum dan keadilan.
Pendapat Hugo Krabbe tersebut dipengaruhi oleh mazhab
sejarah Von Savigny yang menyatakan bahwa “hukum timbul
bersamaan kesadaran hukum masyarakat. Hukum tidak tumbuh
dari kehendak negara atau kemauan negara, maka berlakunya
hukum terlepas dari kemauan negara”.214 Lebih lanjut, Hugo
Krabbe menyatakan bahwa “hukum itu sama sekali tidak
bergantung kepada kehendak manusia. Bahkan hukum
merupakan sesuatu hal yang terlepas dari keinginan setiap or-
ang, sebab hukum telah terdapat dalam kesadaran hukum setiap
orang. Kesadaran hukum itu tidaklah datang, apalagi
dipaksakan dari luar, melainkan dirasakan dalam dirinya
sendiri”.215
Dari pendapat di atas, maka hukum yang berdaulat adalah
hukum yang bersumber dari kesadaran hukum dan nilai-nilai
keadilan yang sudah tumbuh dan berkembang dalam kehidupan
masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Cicero yang
menyatakan bahwa di mana ada masyarakat, maka pasti ada
hukumnya (ubi societas ibi ius). Oleh karena itu, hukum bukanlah
sesuatu hal yang diciptakan oleh negara. Negara hanya bertugas
untuk memformulasikan kesadaran hukum masyarakat tersebut
ke dalam peraturan-peraturan hukum negara yang kemudian
diberlakukan kepada warga negaranya.
Pendapat Hugo Krabbe tersebut memperoleh bantahan dari
Struyken yang menyatakan bahwa karena kesadaran hukum itu

212
Soehino, Op.Cit., h. 156
213
Abu Daud Busroh, Ilmu…Op.Cit., h. 72
214
Ibid
215
Muchtar Affandi, Op.Cit., h. 220

106
Teori Kedaulatan

berubah-berubah, maka kemungkinan tata tertib masyarakat


tidak terjamin karena pencerminan dari kesadaran hukum yang
berbeda-beda.216 Bahkan Apeldorn mengecam pendapatnya
Hugo Krabbe tersebut dengan menyatakan bahwa kesadaran
hukum itu tidak asli. Kesadaran hukum untuk sebagian me-
rupakan pembawaan atau bakat yang merupakan pembawaan
atau bakat yang diperolehnya waktu manusia dilahirkan, dan
sebagian lagi didapatkan dari kebiasaan.217
Dari pertentangan pendapatdi atas, maka sesungguhnya
terdapat kekurangan dan kelebihan satu dengan yang lainnya.
Di satu sisi, pendapat Hugo Krabbe tentang kesadaran hukum
perlu dipertimbangkan, dengan alasan bahwa hukum yang
dibentuk oleh negara seharusnya sesuai dengan rasa hukum dan
nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat, sehingga
hukum yang dibentuk tersebut dapat dilaksanakan tanpa adanya
paksaan dari negara. Namun di sisi yang lain, hal tersebut akan
menimbulkan kesulitan, terutama dalam masyarakat yang
heterogen dengan kesadaran hukum yang berbeda-beda,
sehingga akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan tata
tertib masyarakat tidak terjamin. Oleh karena itu, dalam
pembentukan hukum negara perlu dicari kesadaran hukum
masyarakat yang bersifat universal, dan tidak spesifik. Dengan
demikian, maka kesadaran hukum masyarakat dapat diadopsi
dalam pembentukan hukum, tetapi dengan memperhatikan
kepastian hukum.
Dalam perkembangan ketatanegaraan, teori kedaulatan
hukum melahirkan teori negara hukum. Dalam teori negara
hukum ditentukan bahwa negara atau pemerintah menyeleng-
garakan dan menjalankan tugas kenegaraan terikat pada hukum
yang berlaku. Penguasa dalam negara hukum harus tunduk dan
patuh terhadap hukum, sehingga tindakan penguasa harus
didasarkan pada hukum (rechtmatigheid van het bestuur).Bahkan
dalam teori negara hukum dinyatakan bahwa tindakan

216
Muh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu…Op.Cit., h. 124
217
Ibid

107
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

penguasa negara dibatasi oleh hukum. Pembatasan kekuasaan


negara tersebut bertujuan untuk mencegah terjadinya ab-
solutisme kekuasaan dan tindakan sewenang-wenang penguasa.
Sehingga, yang berdaulat dalam negara hukum adalah hukum
(supremacy of law).

5. Kedaulatan Rakyat
Teori kedaulatan rakyat lahir sebagai bantahan atas teori
kedaulatan raja, yang memberikan kekuasaan yang sangat besar
dan absolut kepada raja, sehingga sering merugikan hak asasi
warga negara. Untuk itu, muncul ide pembatasan kekuasaan
raja yang dipelopori oleh kaum monarchomachen dengan
menyatakan bahwa rakyatlah yang berdaulat penuh dan bukan
raja, karena raja berkuasa atas persetujuan rakyat. 218 Ide
pembatasan kekuasaan raja tersebut kemudian dilanjutkan oleh
penganut ajaran hukum alam, seperti John Locke, JJ Rousseau,
Montesquieu dan Imanual Kant, yang secara umum menyatakan
bahwa kekuasaan raja perlu dibatasi dengan cara membagi atau
memisahkan kekuasaan negara menjadi legislative, executive dan
judicial atau sering dikenal dengan teori trias politica.
Teori kedaulatan rakyat menyatakan bahwa yang
memegang kekuasaan tertinggi adalah rakyat itu sendiri. Rakyat
berdaulat penuh dalam negara, sehingga raja memegang ke-
kuasaan atas persetujuan rakyat. Karenanya, kekuasaan negara
bersumber dari kehendak rakyat. Orang memegang kekuasaan
dalam negara, karena rakyat memberikan persetujuannya
kepada orang tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut, F. Isjwara
menyatakan bahwa kedaulatan rakyat dimaksudkan kekuasaan
rakyat sebagai tandingan atau imbangan terhadap kekuasaan
penguasa tunggal atau yang berkuasa. Dalam hal ini ditarik garis
pemisah yang tajam antara rakyat yang diperintah pada satu
pihak dan penguasa-penguasa masyarakat sebagai pemerintah
pada pihak lain. Yang benar-benar berdaulat dalam hubungan
ini ialah rakyat yang diperintah itu.219

218
F. Isjwara, Op.Cit., h. 116
219
Ibid

108
Teori Kedaulatan

Teori kedaulatan rakyat berpangkal dari teori hukum alam


yang menyatakan bahwa negara dibentuk melalui perjanjian
masyarakat. Perjanjian masyarakat tersebut dibentuk karena
pada saat sebelum terbentuknya negara (state in nature), manusia
adalah serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus),
sehingga kehidupan berubah menjadi perang antar sesama
(bellum omnium contra omnes). Oleh karena itu, manusia ber-
sepakat untuk membentuk perjanjian masyarakat yang berisi
tentang pembentukan negara dan penunjukan seorang raja. Jadi
dari konstruksi perjanjian masyarakat tersebut, sumber
kekuasaan negara adalah rakyat itu sendiri.
Menurut John Locke 220 bahwa pada saat perjanjian
masyarakat terjadi, rakyat menyerahkan haknya kepada negara,
sehingga negara mempunyai kekuasaan yang sangat besar.
Namun demikian, kekuasaan negara tersebut ada batasnya yakni
hak kodrat atau hak alami manusia yakni hak hidup, kemer-
dekaan dan milik pribadi. Hak alami manusia tersebut dimiliki
semenjak manusia lahir sebagai hak yang melekat sampai
manusia tersebut meninggal dunia. Oleh karena itu, negara
dibentuk dengan tujuan untuk melindungi hak-hak alami
manusia tersebut. Negara yang sudah diberikan kekuasaan oleh
rakyat tidak boleh mengambil atau mengurangi hak-hak alami
manusia tersebut. Apabila negara melakukan pelanggaran
terhadap hak-hak alami manusia tersebut, maka negara tersebut
sudah melanggar tujuan dan fungsi negara.
Adapun JJ Rousseau menyatakan bahwa pada saat
perjanjian masyarakat terjadi, masyarakat tidak menyerahkan
kekuasaannya kepada pihak penguasa, karena individu-indivi-
du itu menyerahkan haknya kepada rakyat sendirisebagai satu
kesatuan. Penguasa menjalankan kekuasaannya tidak karena
haknya sendiri, melainkan sebagai mandataris dari rakyat. Jadi
sewaktu-waktu rakyat dapat merubah atau menarik kembali
mandat itu.221 Oleh karena itu, sumber kekuasaan raja adalah

220
Arif Budiman, Teori Negara: Negara, Kekuasaan dan Ideologi, Jakarta:
Gramedia Pustaka, 1996, h. 29
221
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar…Op.Cit., h. 125

109
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

rakyat. Kehendak rakyat adalah kehendak raja. Raja merupakan


wakil dari rakyat dalam melaksanakan kedaulatannya. Untuk
itu, maka teori kedaulatan rakyat merupakan teori yang
memberikan kekuasaan tertinggi kepada rakyat, dengan kata
lain bahwa kekuasaan tersebut berasal dari rakyat, dilaksanakan
oleh rakyat sendiri dan kekuasaan tersebut ditujukan untuk
kesejahteraan rakyat.
Hakekat dari ajaran JJ Rousseau tentang teori kedaulatan
rakyat adalah adanya kehendak rakyat sebagai dasar pelak-
sanaan kekuasaan negara. Jika kekuasaan negara dilaksanakn
oleh raja, maka kekuasaan raja harus sesuai dengan kehendak
rakyat. Kehendak rakyat tersebut oleh JJ Rousseau dibagi
menjadi 2 (dua) yakni:222

1. Volonte de tous (kehendak rakyat seluruhnya)


Volonte de tous adalah kehendak rakyat seluruhnya yang
dipergunakan oleh semua rakyat ketika negara akan dibentuk
dalam perjanjian masyarakat. Volonte de tous tersebut menjadi
sandaran terbentuknya negara yang bersifat abadi, karena
sudah disetujui oleh semua rakyat. Volonte de tous merupakan
kebulatan kehendak dan tidak dapat ditarik kembali. Volonte
de tous ini hanya dapat dipergunakan satu kali, dan apabila
negara sudah terbentuk, maka volonte de tous tidak boleh
dipergunakan lagi, karena akan menyulitkan pelaksanaan
pemerintahan.

2. Volonte de generale (kehendak sebagian rakyat)


Volonte de genarale adalah kehendak sebagian rakyat yang
dipergunakan setelah negara terbentuk. Volonte de generale
merupakan kehendak dari sebagian banyak rakyat dalam
pengambilan keputusan negara. Artinya bahwa volonte de
generale menggunakan suara mayoritas dalam pengambilan
keputusan bernegara. Volonte de generale tersebut dapat
digunakan berkali-kali dalam pengambilan kebijakan negara.

222
Ibid., h. 124

110
Teori Kedaulatan

Volonte de generale merupakan landasan lahirnya demokrasi


di negara-negara barat yang mementingkan suara terbanyak.

Dari penjelasan di atas, maka JJ Rousseau menyatakan


bahwa teori kedaulatan rakyat adalah cara atau sistem yang
bagaimanakah pemecahan sesuatu soal itu menurut cara atau
sistem tertentu yang memenuhi kehendak umum.223Oleh karena
itu, konsekuensi dari ajaran JJ Rousseau ialah 1) adanya hak dari
rakyat untuk mengganti atau menggeser penguasa jika penguasa
tersebut tidak melaksanakan kehendak rakyat atau rakyat dapat
melaksanakan revolusi terhadap penguasa; dan 2) yang berkuasa
adalah rakyat sebagai suatu kesatuan yang sifatnya abstrak.224
Dengan dasar tersebut, maka teori kedaulatan rakyat berintikan
pada prinsip bahwa suara rakyat adalah suara tuhan (vox populi
vox Dei). Artinya bahwa apapun yang menjadi kehendak rakyat,
maka negara harus mengikuti dan mentaatinya. Prinsip vox
populi vox Dei tersebut dibantah oleh Ahmad Azhar Basyir225
dengan menyatakan bahwa teori kedaulatan yang berintikan
pada vox populi vox Dei adalah sesuatu yang berlebihan, sebab
amat dimungkinkan rakyat mempunyai keinginan yang tidak
sejalan dengan kemauan Tuhan. Jadi tidak selalu bahwa suara
rakyat mencerminkan kehendak Tuhan.
Senada dengan hal tersebut, Imanual Kant juga menyatakan
bahwa tujuan negara adalah untuk menegakkan dan menjamin
kebebasan para warga negaranya, dalam pengertian bahwa
kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan dalam batasan
perundang-undangan, sedangkan yang berhak membuat
undang-undang adalah rakyat itu sendiri. Jadi undang-undang
adalah penjelmaan kemauan rakyat, dengan demikian rakyatlah
yang memegang kekuasaan tertinggi atau kedaulatan dalam
negera. 226 Pendapat Imanual Kant tersebut memberikan

223
Soehino, Op.Cit., h. 161
224
Anwar C., Teori dan Hukum Konstitusi, Malang: In-Trasn, 2008, h. 38
225
Ahmad Azhar Basyir, Negara dan Pemerintahan Dalam Islam, Yogyakarta:
UII Press, 2000, h. 42
226
Anwar C., Op.Cit., h. 36

111
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

penekanan bahwa kebebasan yang ada dalam negara dibatasi


oleh undang-undang. Undang-undang tersebut merupakan
perwujudkan kehendak rakyat. Hak-hak rakyat boleh dibatasi
atau dikurangi hanya dengan undang-undang. Dengan kata lain,
negara boleh mengurangi hak-hak warga negara hanya dengan
undang-undang yang telah memperoleh persetujuan rakyat
secara langsung atau melalui wakilnya.
Dalam perkembangan ketatanegaraan, teori kedaulatan
rakyat tersebut melahirkan negara-negara demokrasi yang
secara singkat dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat.227
Artinya bahwa rakyat terlibat secara langsung atau melalui
wakilnya dalam pengambilan kebijakan negara. Karenanya,
demokrasi secara singkat dapat diartikan sebagai “government
of the people, by the people and for the people”.228 Dalam negara mod-
ern, pemerintahan yang berkedaulatan rakyat tersebut diwujud-
kan dalam instrumen-instrumen demokrasi, seperti adanya
pemilihan umum untuk memilih anggota parlemen, pemilihan
umum untuk memilih presiden, referendum dan keikutsertaan
rakyat dalam pembentukan undang-undang.
Selain jenis kedaulatan sebagaimana dijelaskan di atas,
terdapat jenis kedaulatan yang lain, di antaranya adalah:229
1. kedaualatan intern
Kedaulatan intern adalah kekuasaan negara dalam batas-
batas lingkungan wilayahnya. Kedaulatan intern mem-
perlihatkan aspek positif dari kedaulatan negara.230 CF Strong
menyatakan bahwa “internal sovereignty is the supremacy of a
person or body of person in the state over the individuals or asso-
ciation of individuals within the area of its jurisdiction”.231 Senada

227
I Gde Pantja Astawa, Hak Angket dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Menurut UUD 1945, Bandung: Disertasi, PPS Unpad, 2000, h. 67
228
Andrew Heywood, Politics, 2th, New York: Palgrave, 2002, h. 67
229
F. Isjwara, Op.Cit., h. 116
230
Ibid, h. 117
231
C.F. Strong, Modern Political Constitution An Introduction to the Comparative
Studi of their Histrory and Existing Form, London: Sidwick & Jackson Ltd.,
1975, h. 80

112
Teori Kedaulatan

dengan hal tersebut, Black’s Law Dictionary menyatakan


bahwa “internal sovereignty is the power that rulers exercise over
their own subjects”.232 Dengan kata lain, kedaulatan intern
adalah kekuasaan negara untuk membentuk undang-undang
dan memaksakan warga negara untuk mentaati undang-
undang tersebut. Melalui kedaulatan intern ini, negara
merupakan legibus soluta yang mempunyai kewenangan
tertinggi untuk membentuk hukum postif. Karenanya, negara
merupakan satu-satunya lembaga yang dapat membentuk
hukum positif yang berlaku dan mengikat seluruh warga
negara.

2. kedaulatan ekstern
Kedaulatan eksternintern adalah kedaulatan dalam
hubungan antar negara. Kedaulatan ekstern memperlihat
aspek negatif yakni keadaan tidak tergantung pada negara-
negara lain, karenanya kedaulatan lebih lazim disebut sebagai
kemerdekaan “independence” yaitu keadaan yang menunjuk-
kan kebebasan negara dari kekuasaan negara-negara lainnya,
keadaan tidak bergantung kepada negara lain.233 CF Strong
menyatakan bahwa “external sovereignty is the absolute inde-
pendence of one state as a whole with reference to all other state”.234
Senada dengan hal tersebut, Black’s Law Dictionary menyata-
kan bahwa “external sovereignty is the power of dealing on a
nation’s behalf with the other national government”.235 Dari uraian
di atas, maka kedaulatan ekstern adalah kekuasaan yang
dimiliki oleh negara untuk melakukan hubungan luar negeri
dengan negara berdaulat lainnya. Dalam aspek hukum
internasional, kedaulatan ekstern ini merupakan unsur negara
yang bersifat konstitutif. Untuk itu, maka negara dapat
dikatakan berdaulat, apabila ada pengakuan dari negara lain
akan kedaulatannya. Bahkan kedaulatan ekstern ini

232
Bryan A Garner, Op.Cit., h. 1402
233
F. Isjwara, Op.Cit., h. 117
234
CF. Strong, Op.Cit., h. 80
235
Bryan A. Garner, Op.Cit., h. 1402

113
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

merupakan unsur terpenting bagi negara dalam kedudukan-


nya sebagai subjek hukum internasional. Artinya bahwa
negara dapat melakukan hubungan internasional dengan
negara lain, apabila negara tersebut memiliki kedaulatan
ekstern.
3. kedaulatan de facto
Kedaulatan de facto adalah kedaulatan yang didasarkan
pada adanya pelaksanaan yang nyata dari kekuasaan, yang
tidak perlu didasarkan pada hukum, melainkan dapat juga
melulu atas kekuatan yang senyatanya ditaati. Penguasa yang
secara nyata ditaati oleh suatu masyarakat dianggap de facto
berdaulat.236
4. kedaulatan de jure
Kedaulatan de jure adalah kedaulatan yang diakui oleh
hukum. Tidak perlu yang berdaulat secara de jure senyatanya
menjalankan kekuasaan, tidak perlu ia ditaati senyatanya.237

C. Legitimasi Kekuasaan
Black’s Law Dictionary menyatakan bahwa legitimasi
adalah “that which is lawful, legal,recognized by law, or according to
law; as legitimatechildren, legitimate authority, lawful power,legitimate
sport or amusement”.238Dari pengertian tersebut, maka legitimasi
adalah sesuatu yang sesuai atau tidak bertentang dengan hukum.
Untuk memperoleh legitimasi, maka sesuatu hal atau perbuatan
harus sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan oleh
hukum. Hukum merupakan satu-satunya instrumen yang dapat
dijadikan sebagai alat uji untuk menentukan apakah sesuatu hal
atau perbuatan mempunyai legitimasi atau tidak. Untuk itu,
secara a contrario dapat dikatakan bahwa sesuatu yang tidak
sesuai dengan hukum atau bertentangan dengan hukum adalah
sesuatu yang tidak mempunyai legitimasi.

236
F. Isjawara, Op.Cit., h. 123
237
Ibid, h. 123-124
238
Henry Campbell Black, Op.Ci., h. 1046

114
Teori Kedaulatan

Istilah legitimasi merupakan sinonim dari “absah”. Absah


adalah suatu kondisi di mana sesuatu hal atau perbuatan sesuai
dengan persyaratan yang telah ditentukan oleh hukum.
Karenanya, untuk menguji keabsahan sesuatu hal atau
perbuatan, maka alat ujinya adalah hukum. Apabila orang
mengatakan bahwa perbuatan A adalah tindakan yang absah,
maka itu berarti bahwa perbuatan A sudah sesuai dengan
ketentuan dan persyaratan hukum. Sebaliknya, apabila orang
mengatakan bahwa perbuatan A adalah perbuatan yang tidak
absah, maka itu berarti bahwa perbuatan tidak sesuai dengan
ketentuan dan persyaratan hukum.
Sedangkan kekuasaan (power) menurut Black’s Law Dictio-
nary adalah “1) the right, ability, of faculty of doing something; 2)
Authority to do any act which the grantor might himself lawfully per-
form; 3) The right to take action in respect to a particular subject-
matter or class of matters, involvstitutions to the several departments
or branches of the government, or reserved to the people. Powers in
this sense are generally classified as legislative, executive, and judi-
cial”.239 Dari pengertian tersebut, maka kekuasaan adalah hak,
kemampuan, kewenangan untuk melakukan suatu tindakan.
Kekuasaan dalam hukum tata negara dibagi menjadi kekuasaan
yakni legislatif, eksekutif dan yudisial. Adapun Max Webber
menyatakan bahwa kekuasaan adalah kemampuan untuk,
dalam hubungan sosial untuk melaksanakan kemauan sendiri
sekalipun mengalami perlawanan dan apapun dasar kemam-
puan itu. Senada dengan hal tersebut, Talcot Parson menyatakan
bahwa kekuasaan adalah kemampuan untuk menjamin ter-
laksananya kewajiban-kewajiban yang mengikat, oleh kesatuan-
kesatuan dalam suatu sistem organisasi kolektif.
Secara luas, kekuasaan dapat diartikan sebagai kemampuan
seseorang untuk mempengaruhi atau memaksa orang lain untuk
mentaati apa yang diperintahkannya. Dalam artian ini,
kekuasaan dapat berarti kekuasaan politik, ekonomi, hukum
atau kekuasaan lainya. Namun, kekuasaan yang dibenarkan oleh
hukum adalah kekuasaan yang diberikan atau diformal oleh

239
Ibid, h. 1333-1334

115
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

hukum. Kekuasaan yang diformalkan tersebut disebut dengan


kewenangan/wewenang (bevoegd). Kewenangan adalah ke-
kuasaan hukum yang diformal yang memberikan kemampuan
kepada seseorang untuk melakukan tindakan dalam hukum
publik. Kewenangan tersebut melekat pada jabatan publik, di
mana jabatan publik tersebut tunduk kepada hukum publik.
Kekuasaan akan mempunyai legitimasi, apabila:
1. kekuasaan tersebut diperoleh melalui sumber kekuasaan
Menurut teori teokrasi, sumber kekuasaan adalah Tuhan
sebagai pencipta alam semesta. Tuhan merupakan summa
causa dari seluruh kekuasaan. Tidak ada satupun orang di
dunia mempunyai kekuasaan, kecuali Tuhan. Untuk itu,
maka kekuasaan pemimpin akan mempunyai legitimasi
apabila kekuasaan tersebut diberikan oleh Tuhan. Sedangkan
menurut teori hukum alam, kekuasaan bersumber dari
rakyat. Rakyat membuat perjanjian masyarakat untuk
membentuk negara dan menunjuk seorang pemimpin. Untuk
itu, maka pemimpin adalah wakil dari rakyat. Kekuasaan
pemimpin akan mempunyai legitimasi apabila kekuasaan
tersebut diperoleh berdasarkan kehendak rakyat.
2. kekuasaan dipegang oleh pemegang kekuasaan.
Kekuasaan akan mempunyai legitimasi apabila dipegang
oleh pemegang kekuasaan itu sendiri. Pemegang kekuasaan
tersebut dalam teori dibagi menjadi 5 (lima) kedaulatan yakni
kedaulatan Tuhan, kedaulatan raja, kedaulatan negara,
kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat. Untuk kelima jenis
kedaulatan tersebut dapat diuraikan di bawah ini:
a. Menurut kedaulatan Tuhan bahwa kekuasaan akan
mempunyai legitimasi apabila kekuasaan tersebut di-
pegang oleh Tuhan atau wakilnya di dunia. Menurut
Augustinus, Paus adalah wakil Tuhan, karenanya
kekuasaan tersebut akan mempunyai legitimasi apabila
kekuasaan tersebut dipegang oleh Paus. Berbeda dengan
Augustinus, Marsillius menyatakan bahwa wakil Tuhan
di dunia adalah raja. Untuk itu, maka kekuasaan akan

116
Teori Kedaulatan

mempunyai legitimasi apabila kekuasaan tersebut


dipegang oleh raja.
b. Menurut kedaulatan raja bahwa kekuasaan akan
mempunyai legitimasi apabila dipegang oleh raja.
Marsilius menyatakan bahwa raja adalah wakil Tuhan di
dunia. Untuk itu, maka kekuasaan akan mempunyai
legitimasi apabila kekuasaan tersebut dipegang oleh raja.
Senada dengan hal tersebut, Thomas Hobbes menyatakan
bahwa raja adalah pembentuk undang-undang tertinggi
(princeps legibus solutes est), sehingga raja tidak boleh di-
persalahkan. Raja adalah pemegang kedaulatan tertinggi,
sehingga kekuasaan akan memiliki legitimasi apabila
kekuasaan tersebut dipegang oleh raja.
c. Menurut kedaulatan negara bahwa kekuasaan akan
mempunyai legitimasi apabila dipegang oleh negara. Jean
Bodin menyatakan bahwa negara adalah pemegang
kedaulatan tertinggi (solutes est) yang bersifat abadi. John
Austin juga menyatakan bahwa pemegang kedaulatan
adalah pembentuk hukum positif. Hukum positif tersebut
dibentuk oleh negara sebagai pemegang kedaulatan
(legibus soluta). Untuk itu negara merupakan satu-satunya
organ yang dapat memaksakan kehendaknya kepada
siapapun, termasuk undang-undang. Bahkan George
Jellinek menyatakan bahwa undang-undang merupakan
kehendak negara. Suatu aturan dapat mengikat apabila
dibuat oleh negara. Oleh karena itu, suatu kekuasaan akan
mempunyai legitimasi apabila kekuasaan tersebut
dipegang oleh negara.
d. Menurut kedaulatan hukum bahwa yang memegang
kedaulatan adalah hukum itu sendiri. Hukum merupakan
lebih supreme dari manusia, pemimpin dan negara.
Pemimpin dan penguasa harus tunduk kepada hukum.
Pemimpin dan penguasa harus melaksanakan hukum dan
tidak boleh melanggarnya. Hugo Krabbe menyatakan
bahwa hukum itu tidak lahir dari kehendak negara,
namun hukum lahir dari kesadaran dan keadilan

117
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

masyarakat. Sehingga kekuasaan akan mempunyai


legitimasi apabila kekuasaan tersebut diperoleh dan
didasarkan pada hukum.
e. Menurut kedaulatan rakyat, maka yang memegang
kedaulatan adalah rakyat. Rakyat merupakan sumber dari
seluruh kekuasaan negara. Bahkan menurut JJ Rousseau
menyatakan bahwa pemimpin adalah mandat dari rakyat.
Seorang pemimpin harus melaksanakan kekuasaannya
sesuai dengan kehendak rakyat. Suara rakyat adalah suara
tuhan (vox populi vox Dei). Dengan dasar tersebut, maka
apabila pemimpin tidak menjalankan kehendak rakyat,
maka rakyat dapat menurunkan pemimpin tersebut. Oleh
karena itu, maka suatu kekuasaan akan mempunyai
legitimasi apabila kekuasaan tersebut dipilih oleh rakyat
secara langsung dan kekuasaan tersebut dilaksanakan
sesuai dengan kehendak rakyat.

Dalam perspektif negara hukum, kekuasaan harus


mempunyai legitimasi hukum. Legitimasi hukum terhadap
kekuasaan dapat diperoleh apabila memenuhi 2 (dua) syarat,
yakni:
1. Pengisian kekuasaan tersebut dilaksanakan sesuai dengan
tata cara, ketentuan dan syarat yang telah ditentukan oleh
konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku
di negara tersebut. Hal in berlaku, baik dalam negara dengan
bentuk pemerintah monarki dan republik. Dalam negara
republik, pengisian kekuasaan melalui prosedur dengan cara
melibatkan rakyat secara langsung atau biasa disebut dengan
demokrasi. Namun demikian, proses demokrasi tersebut juga
harus dilaksanakan sesuai dengan konstitusi (demokrasi
konstitusional). Demikian juga haalnya dengan negara
monarki, pengisian kekuasaan juga harus sesuai dengan tata
cara dan prosedur yang diatur dalam konstitusi.
2. Pelaksanaan kekuasaan harus sesuai dengan hukum
(rechtmatigheid van het bestuur). Dalam negara hukum,
penguasa dilarang bertindak yang tidak sesuai dengan
hukum (onrechtmatigheid). Kekuasaan dapat dikatakan

118
Teori Kedaulatan

mempunyai legitimasi hukum atau tidak, sangat ditentukan


oleh kesesuaian pelaksanaan kekuasaan tersebut dengan
hukum. Apabila kekuasaan tersebut dilaksanakan sesuai
dengan hukum, maka kekuasaan tersebut mempunyai
legitimasi hukum, dan sebaliknya apabila kekuasaan tersebut
dilaksanakan dengan cara yang bertentangan dengan hukum,
maka kekuasaan tersebut tidak mempunyai legitimasi.
Dengan adanya legitimasi hukum terhadap segala tindakan
penguasa, maka akan memberikan jaminan perlindungan
kepada penguasa yang bersangkutan dan rakyat sebagai
adresat dari segala keputusan atau kebijakan penguasa. Ja-
minan perlindungan kepada penguasa tersebut diwujudkan
dengan adanya penganggapan atau praduga keabsahan
terhadap tindakan penguasa, sampai ada pembatalan dari
pihak yang berwenang. Sedangkan jaminan perlindungan
kepada rakyat diwujudkan dengan adanya hak dari setiap
rakyat untuk memperoleh manfaat dari segala tindakan
pemerintah dan apabila rakyat dirugikan dengan tindakan
penguasa, maka rakyat diberikan hak untuk mengajukan
gugatan.

Di samping legitimasi hukum, kekuasaan juga mem-


butuhkan yang namanya legitimasi politiki. Suatu kekuasaan
dapat dikatakan memperoleh legitimasi politik, apabila kekuatan
politikdalam negeri mengakui dan menghormati kekuasaan
tersebut. Adapun dalam perspektif hukum internasional,
kekuasaan akan memperoleh legitimasi apabila negara-negara
lain mengakui kekuasaan negara tersebut. Tapi yang perlu
diketahui, bahwa legitimasi politik adalah akibat dari adanya
legitimasi hukum. Artinya, apabila suatu kekuasaan telah
memiliki legitimasi hukum yang kuat, maka kekuasaan tersebut
secara otomatis akan memperoleh legitimasi politik. Hal tersebut
sesuai dengan ajaran supremacy of law, sehingga yang utama dan
pertama adalah legitimasi hukum.

119
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

120
BAB VI
TEORI BENTUK NEGARA
DAN BENTUK PEMERINTAHAN

A. Bentuk Negara
Bentuk negara merupakan kajian dalam ilmu negara yang
melukiskan dasar-dasar negara, susunan dan tertib suatu negara
berhubungan dengan organ tertinggi dalam negara itu dan
kedudukan masing-masing organ itu dalam kekuasaan negara.240
Sedangkan Ni’matul Huda menyatakan bahwa bentuk negara
merupakan batas antara peninjauan secara sosiologis dan
peninjauan secara yuridis. Peninjauan secara sosiologis yaitu
apabila negara dilihat secara keseluruhan tanpa melihat isinya
dan bagiannya. Disebut peninjuan secara yuridis yaitu apabila
negara hanya dilihat dari isinya atau strukturnya.241 Adapun
Bagir Manan menyatakan bahwa bentuk negara menyangkut
kerangka bagian luar organisasi negara, yang dibedakan antara
bentuk negara kesatuan dan bentuk negara federal. 242Dari
penjelasan di atas, maka bentuk negara berkaitan dengan siapa
pemegang kedaulatan dalam negara, apakah pemerintah pusat/
pemerintah federal atau pemerintah daerah/negara bagian. Di
samping itu, bentuk negara juga berkaitan dengan hubungan
antara pemerintah pusat atau pemerintah federal dengan

240
F. Isjwara, Op.Cit., h. 184
241
Ni’matul Huda, Ilmu…Op.Cit., h. 227
242
Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Yogyakarta: Pusat Studi Hukum UII
dengan Gama Media, 1999, h. 1

121
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

pemerintah daerah atau negara bagian. Dengan dasar tersebut,


maka bentuk negara dapat disebut sebagai bentuk susunan
negara, apakah bersusun tunggal atau bersusun jamak.
Dari penjelasan di atas, maka bentuk negara harus dibeda-
kan dengan bentuk pemerintahan dan sistem pemerintahan.
Bentuk pemerintahan berkaitan dengan bagian dalam
pemerintahan, yakni berkaitan dengan tata cara pengisian kepala
negara dan tata cara pembentukan kehendak negara, sehingga
bentuk pemerintahan dibedakan menjadi dibedakan menjadi
2(dua) yakni monarki dan republik. Sedangkan sistem pemerin-
tahan Berkaitan dengan hubungan antara kekuasaan eksekutif
dan perlemen, sehingga sistem pemerintahan dibedakan menjadi
3(tiga) yakni sistem pemerintahan presidensial, sistem
pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan campuran.
Dilihat dari perkembangannya, bentuk negara dapat dikaji
menjadi 2, yakni bentuk negara pada zaman klasik, seperti
bentuk negara menurut Plato, Aristoteles dan Polybius dan
bentuk negara berdasarkan susunannya yakni bentuk negara
kesatuan, federal dan konfederasi.

1. Bentuk Negara Pada Zaman Klasik


Pada zaman klasik, orang yang pertama kali
mengemukakan teori tentang bentuk negara adalah Plato (429-
347 SM). Menurut Plato ada 5 (lima) bentuk negara, yakni:243
a. Aristokrasi
Aristokrasi adalah bentuk negara di mana pemerintahannya
dipegang oleh para cerdik pandai (filsuf) dan yang dalam
menjalankan pemerintahannya berpedoman pada keadilan.
Dalam negara aristokrasi, penguasa menjalankan kekuasaan-
nya untuk tujuan kepentingan bersama. Hal tersebut
dimaksudkan supaya keadilan tersebut dapat merata.
Keadilan tersebut tidak hanya diperoleh oleh sekelompok
golongan tertentu, namun keadilan tersebut harus diperoleh
oleh semua orang dengan jumlah yang sama.

243
Soehino, Op.Cit., h. 17

122
Teori Bentuk Negara dan Bentuk Pemerintahan

b. Timokrasi
Timokrasi adalah bentuk negara di mana pemerintahannya
dilaksanakan dan ditujukan untuk kepentingan penguasa
sendiri. Kekayaan dan pendapatan negara untuk kepentingan
mereka sendiri. Karena itu, kemudian kekuasaan negara itu
jatuh dan dipegang oleh hartawan (partikelir).

c. Oligarki
Oligarki adalah bentuk negara di mana pemerintahannya
dipegang oleh orang-orang kaya yang mempunyai hasrat
untuk memperkaya diri sendiri. Keadaan tersebut me-
nimbulkan kemelaratan dan kesengsaraan bagi rakyat.
Rakyat-rakyat miskin tersebut kemudian mengadakan
tekanan kepada penguasa dan bersatu untuk melawan para
penguasa.

d. Demokrasi
Demokrasi adalah bentuk negara di mana pemerintahannya
dipegang oleh rakyat dan kepentingan umumlah yang
diutamakan dengan prinsip utama kemerdekaan dan
kebebasan. Namun demikian, kemerdekaan dan kebebasan
tersebut disalahgunakan oleh warga negara, sehingga
muncul kebebasan dan kemerdekaan tanpa batas. Kemer-
dekaan dan kebebasan yang tanpa batas tersebut akhirnya
menimbulkan anarkis, karena setiap orang bebas bertindak
sesuai dengan kehendak dan keinginannya. Tidak ada
satupun aturan yang membatasi kebebasan dan kemerdekaan
tersebut. Kondisi inilah yang disebut dengan chaos, di mana
setiap orang tidak mau diperintah atau diatur.

e. Tyrani
Tyrani adalah bentuk negara di mana pemerintahannya
dipegang oleh satu orang yang dianggap mampu untuk
mengatasi anarki sehingga tidak segan-segan menyingkirkan
musuh-musuhnya sehingga pemerintahannya sangat jauh
dari keadilan. Bentuk negara ini dipimpin oleh seorang raja
yang mempunyai kekuasaan yang sangat absolut dan raja

123
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

sering melakukan tindakan yang sewenang-wenang kepada


rakyat. Bentuk negara ini muncul sebagai akibat dari adanya
kebebasan dan kemerdekaan tanpa batas dalam bentuk
negara demokrasi. Karenanya, untuk mengatasi chaos
tersebut dibutuhkan seorang pemimpin yang tegas untuk
mengatasi hal tersebut.

Dari kelima bentuk negara di atas, Plato menyatakan bahwa


bentuk negara yang paling ideal adalah negara aristokrasi yang
dipimpin oleh para cerdik pandai (filsuf). Hal tersebut didasar-
kan pada pandangan bahwa yang mengerti ide (keadilan) seba-
gai tujuan negara adalah para filsuf itu sendiri. Para filsuf tidak
mempunyai kepentingan pribadi dalam menyelenggaraan
pemerintahan negara. Kepentingan mereka adalah untuk
menyelenggarakan dan menciptakan keadilan bagi seluruh
rakyat.
Dari uraian di atas, maka bentuk negara menurut Plato
dapat digambarkan sebagai berikut:

Berkaitan dengan bentuk negara pada zaman klasik,


Aristoteles juga mengemukakan bentuk negara berdasarkan 2
(kriteria) yakni:244
a. jumlah orang yang memegang pemerintahan, apakah
dipegang oleh satu orang saja ataukah oleh beberapa orang,
golongan kecil ataukah oleh seluruh rakyat.

244
Ibid., h. 26

124
Teori Bentuk Negara dan Bentuk Pemerintahan

b. Sifat dan tujuan pemerintahannya, apakah pemerintahannya


ditujukan untuk kepentingan umum ataukah pemerintah-
annya hanya ditujukan untuk kepentingan para penguasa.

Dengan kriteria tersebut, Aristoteles mengemukan 3 (tiga)


bentuk negara, yakni:245
a. Negara yang pemerintahannya dipegang oleh satu orang saja,
jadi kekuasaan itu hanya terpusat pada satu tangan saja.
Bentuk negara ini dibagi menjadi 2 (dua) yakni:
1) Monarki yakni bentuk negara yang dipimpin oleh satu
orang yang pemerintahannya ditujukan untuk kepenting-
an umum. Monarki dipimpin oleh satu orang raja, yang
tidak bertindak sewenang-wenang, sehingga tujuan
negara dapat tercapai.
2) Tyrani yakni bentuk negara yang dipimpin oleh satu or-
ang saja yang pemerintahannya ditujukan untuk ke-
pentingan diri sendiri.Tyrani dipimpin oleh seorang raja
yang mempunyai kekuasaan yang sangat absolut dan
sewenang-wenang, sehingga raja tidak menjalankan
kekuasaannya demi kepentingan umum. Bahkan dengan
sifat yang absolut tersebut, raja berkedudukan di atas
hukum, karenanya raja tidak boleh dipersalahkan (king
can do not wrong). Dalam negara tyrani, kebebasan warga
negara dibatasi, bahkan ditiadakan dengan tujuan untuk
menjaga stabilitas negara.
b. Negara yang pemerintahaannya dipegang oleh beberapa
orang, jadi kekuasaannya tidak terpusat pada satu orang.
Namun kekuasaan negara dijalankan oleh organ atau badan
yang dipimpin oleh beberapa orang/dewan.Bentuk negara
ini dibagi menjadi 2 (dua) yakni:
1) Aristokrasi yakni negara yang dipimpin oleh beberapa
orang/dewan yang pemerintahannya ditujukan untuk
kepentingan umum. Negara ini dipimpin oleh para filsuf
yang mempunyai pengetahuan tinggi, sehingga mereka
tidak mempunyai kepentingan untuk diri mereka, namun
245
Ibid

125
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

mereka bertindak untuk menciptakan kesejahteraan bagi


rakyat.
2) Oligarki yakni negara yang dipimpin oleh beberapa or-
ang/dewan yang pemerintahannya ditujukan untuk
kepentingan mereka sendiri. Dalam bentuk negara ini,
pemimpin menjalankan pemerintahan bukan untuk
kepentingan umum. Negara ini dipimpin oleh orang-or-
ang kaya yang mempunyai hasrat untuk memperkaya diri
sendiri. Keadaan tersebut menimbulkan kemelaratan dan
kesengsaraan bagi rakyat.

c. Negara yang pemerintahannya dipegang oleh rakyat, jadi


pemerintahannya dipegang secara langsung oleh rakyat. Raja
atau penguasa memperoleh kekuasaan atas dasar kehendak
negara. Negara ini lahir karena pengaruh adari adanya
kedaulatan rakyat. Bentuk negara ini dibagi menjadi 2 yakni:
1) Politea (Republik Konstitusional) yakni negara yang
dipimpin oleh rakyat secara langsung yang pemerintahan-
nya ditujukan untuk kepentingan umum. Pemerintahan
negara didasarkan pada kehendak rakyat secara umum.
Negara ini didasarkan pada kebebasan dan kemerdekaan
rakyat. Namun demikian, kebebasan dan kemerdekaan
tersebut dibatasi oleh konstitusi, sehingga tidak
dilaksanakan secara bebas.
2) Demokrasi yakni negara yang dipimpin oleh rakyat secara
langsung. Namun, pemerintahan dalam negara demo-
krasi ditujukan hanya untuk kepentingan si pemegang
kekuasaan saja.

Bentuk negara yang diungkapkan oleh Aristoteles tersebut


terdiri atas bentuk ideal dan bentuk kemerosotan. Bentuk ideal
dari negera adalah monarki, aristokrasi dan politea (republik
konstitusional), sedangkan bentuk kemerosotan dari negara
adalah tyrani, oligarki dan demokrasi. Monarki adalah bentuk
ideal negara yang dipimpin oleh satu orang, sedangkan bentuk
kemerosotannya adalah tyrani. Aristokrasi adalah bentuk ideal
dari negara yang dipimpin oleh beberapa orang/dewan,

126
Teori Bentuk Negara dan Bentuk Pemerintahan

sedangkan bentuk kemerosotannya adalah oligarki. Politea


(republik konstitusional) adalah bentuk ideal dari negara yang
dipimpin oleh rakyat, sedangkan bentuk kemerosotannya adalah
demokrasi. Dari semua bentuk negara tersebut, Aristoteles
menyatakan bahwa bentuk negara yang paling ideal adalah
monarki.
Dari penjelasan di atas, bentuk negara menurut Aristoteles
dapat digambarkan sebagai berikut:

Berkaitan dengan bentuk negara pada zaman klasik,


Polybius juga mengungkapkan teori siklus (cyclus theory) atau
biasa juga disebut dengan siklus Polybius (Polybius cyclus).246
Teori ini menyatakan bahwa bentuk negara yang ada sekarang
merupakan akibat dari bentuk negara yang ada sebelum-
nya.Dengan demikian, maka dalam teori ini terdapat hubungan
sebab akibat (kausalitas). Selain itu, teori ini menyatakan bahwa
bentuk negara merupakan siklus (putaran) dari bentuk negara
yang satu ke bentuk negara yang lain. Bentuk negara menurut
Polybius ada 6 (enam), yakni monarki, tyrani, aristokrasi,
oligarki, demokrasi dan ohlokrasi.
Menurut Polybius, bentuk negara tertua adalah Monarki
yang yang dipimpin oleh seorang raja yang sangat bijaksana
dalam menyelenggarakan pemerintahannya, sehingga ia
memerintah untuk kepentingan umum berdasarkan keadilan.
Raja adalah primus inter pares (yang utama di antara yang ada),
bukan unus inter pares (masing-masing sama dan sederajat).247

246
Ibid., h. 38
247
I Gde Panjta Astawa dan Suprin Na’a, Op.Cit., h. 96

127
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

Raja merupakan orang yang memiliki keunggulan dan


kelebihan, sehingga ia selalu dipercaya oleh rakyat untuk me-
mimpin. Namun, lama kelamaan keturunannnya memerintah
dengan sewenang-wenang dan menjalankan kekuasaannya
dengan absolut. Raja memerintah bukan untuk kepentingan
umum, namun memerintah untuk kepentingan sendiri. Dengan
kondisi tersebut, maka bentuk negara monarki berubah menjadi
menjadi bentuk negara tyrani.
Bentuk negara tyrani ini membawa kesengsaraan bagi
rakyat, di mana hak-hak warga negara dibatasi dan dikurangi
berdasarkan kehendak raja. Raja merupakan pemegang ke-
daulatan tertinggi, sehingga raja berada di atas undang-undang
dan tidak dapat dipersalahkan (king can do not wrong). Kondisi
tersebut menyebabkan rakyat melakukan perlawanan kepada
raja. Dari perlawanan rakyat tersebut, rakyat berhasil me-
nurunkan raja dan menunjuk beberapa orang dari golongan
bangsawan atau ningrat. Sehingga, bentuk negara berubah dari
tyrani menjadiaristokrasi.
Aristokrasi mula-mula bertujuan baik, yakni pemerintahan-
nya ditujukan untuk kepentingan umum. Mereka memerintah
untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyat. Namun demikian,
aristokrasi lama kelamaan mengalami kemunduran dan
kemerosotan, sehingga menjadi tidak baik. Mereka menjalankan
pemerintahan secara sewenang-wenang dan mementingkan diri
mereka sendiri. Sehingga bentuk negara berubah dari aristokrasi
menjadi oligarki.
Oligarki adalah negara yang dipimpin oleh beberapa or-
ang/dewan yang pemerintahannya ditujukan untuk kepenting-
an mereka sendiri. Mereka menjalankan pemerintahan bukan
untuk kepentingan umum. Negara ini dipimpin oleh orang-or-
ang kaya yang mempunyai hasrat untuk memperkaya diri
sendiri. Keadaan tersebut menimbulkan kemelaratan dan
kesengsaraan bagi rakyat. Dalam negara oligarki tidak ada
keadilan. Kondisi tersebut menyebabkan rakyat melakukan
perlawanan dan merebut kekuasaan negara untuk kepentingan
umum. Sehingga bentuk negara berubah dari oligarki menjadi
demokrasi.

128
Teori Bentuk Negara dan Bentuk Pemerintahan

Demokrasi adalah negara yang dipimpin oleh rakyat secara


langsung, karenanya disebut sebagai pemerintahan rakyat.
Dalam negara demokrasi, rakyat dijamin hak dan kebebasannya.
Sehingga, kekuasaan dijalankan berdasarkan kehendak rakyat.
Pemerintahan dalam negara demokrasi pada awalnya sangat
baik, karena ditujukan untuk kepentingan umum dan kesejah-
teraan rakyat. Namun demikian, lama kelamaan hak dan
kebebasan rakyat dilaksanakan dengan cara yang sebebas-
bebasnya. Tidak ada penghormatan dan penghargaan terhadap
hak orang lain, sehingga terjadi kekacauan (chaos). Untuk itu,
bentuk negara berubah dari demokrasi menjadi okhlokrasi.
Dalam negara okhlokrasi terjadi kekacauan yang disebabkan
oleh tidak adanya aturan atau pemimpin yang membatasi hak
dan kebebasan rakyat. Oleh karena itu, negara ohklokrasi
berubah kembali menjadi negara monarki yang dipimpin oleh
seorang raja yang bertugas untuk mengembalikan ketertiban
dalam negara.
Dari penjelasan di atas, maka bentuk negara menurut
Polybius adalah suatu siklus yang terus menerus akan berganti.
Oleh karena itu, bentuk negara menurut Polybius dapat
digambar sebagai berikut:

129
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

2. Bentuk Negera Berdasarkan Susunannya


Penggunaan bentuk negara berdasarkan susunannya
digunakan untuk membedakan bentuk negara zaman kekinian
dengan bentuk negara pada zaman klasik. Pada zaman klasik
sebagaimana telah diuraikan di atas, bentuk negara masih
dicampuradukkan dengan bentuk pemerintahan. berkaitan
dengan hal tersebut, Bagir Manan menyatakan bahwa bentuk
negara menyangkut kerangka bagian luar organisasi negara.248
berkaitan dengan hal tersebut, Sri Soemantri Martosoewignyo
juga menyatakan bahwa bentuk negara (staatvorm) Berkaitan
dengan gambaran tentang susunan dan struktur umum suatu
organisasi negara secara keseluruhan.249Karenanya, dewasa ini
bentuk negara dibedakan berdasarkan susunannya, yang
Berkaitan dengan siapa pemegang kedaulatan dalam negara
tersebut, apakah pemerintah pusat/pemerintah federal atau
pemerintah daerah/negara bagian dan mengenai hubungan
antara pusat/federal dan daerah/negara bagian, berikut sistem
pemencaran kekuasaan pemerintahan antar pusat/federal dan
daerah/negara bagian.
Leon Duguit menyatakan bahwa menurut bentuknya(forme
de staat), negara dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yakni negara
kesatuan, negara serikat, dan perserikatan negara-negara.250
Senada dengan hal tersebut, Jimly Asshiddiqie juga membagi
bentuk negara kedalam 3 jenis, yaitu bentuk negara kesatuan
(unitary state, eenheidsstaat), bentuk negara serikat (federal, bonds-
staat) dan bentuk konfederasi (confederation, staten-bond). 251
Adapun Sri Soemantri Martosoewignyo menyatakan bahwa
bentuk negara meliputi negara serikat dan negara kesatuan.252

248
Bagir Manan, Lembaga…Op.Cit.,h. 1
249
Sri Soemantri Martosoewignjo, Sistem-Sistem Pemerintahan Negara-Negara
ASEAN, Bandung: Tarsito, 1976, h. 224
250
Soehino, Op.Cit., h. 181
251
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika, 2010, h. 211
252
Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme,
Jakarta: Graha Ilmu dan Universitas Pancasila Press, 2009, h. 44

130
Teori Bentuk Negara dan Bentuk Pemerintahan

Bagir Manan juga menyatakan bahwa bentuk negara meliputi


negara kesatuan dan federasi.253
Adapun dilihat dari susunannya, Soehino menyatakan ada
2 (dua) jenis bentuk susunan negara, yakni sebagai berikut:254
a. Negara yang bersusun tunggal, yang disebut dengan Negara
Kesatuan
b. Negara yang bersusun jamak, yang disebut Negara Federasi.

Senada dengan hal tersebut, Hendra Nustjahjo menyatakan


susunan negara ada yang berbentuk serikat dan ada juga yang
berbentuk kesatuan. Ramlan Surbakti juga menyatakan bahwa
bentuk susunan negara dibagi menjadi 2 (dua), yaitu kesatuan
(unitaris) dan federasi (negara serikat).255 Senada dengan
pendapat di atas, Edie Toet Hendratno juga menyatakan bahwa
berdasarkan susunannya, negara dibagi menjadi 2 (dua) jenis
yaitu bentuk susunan negara kesatuan dan bentuk susunan
negara federasi.256

a. Bentuk Negara Kesatuan (Unitary State, Eenheidsstaat)


Negara kesatuan adalah negara yang bersusun tunggal
(eenheidsstaat). Bersusun tunggal artinya bahwa hanya ada satu
negara dengan satu pemerintah pusat yang memiliki seluruh
tugas dan kewenangan tertinggi negara. Negara tidak dibentuk
oleh daerah, namun daerah yang dibentuk oleh negara, karena-
nya daerah harus tunduk dan bertanggungjawab kepada pusat.
Artinya bahwa yang berdaulat dalam negara kesatuan adalah
pemerintah pusat. Kedaulatan yang dipegang oleh pemerintah
pusat tersebut tidak terbagi dan tidak dapat diserahkan kepada
siapapun.

253
Bagir Manan, Lembaga…Op.Cit., h. 1
254
Soehino, Op.Cit., h. 224
255
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Cet. 7, Jakarta: Grasindo, 2010, h.
216
256
Edie Toet Hendratno, Loc.Cit

131
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

Berkaitan dengan hal tersebut, CF. Strong257 menyatakan


bahwa “the essence of a unitary state is that the sovereignty is
undevided, or in the word, that the power of central government are
unrestricted, for the constitution of unitary state does not admit of any
other law-making body than the central one” (hakikat negara
kesatuan adalah negara yang kedaulatannya tidak terbagi, atau
dengan kata lain, negara yang kekuasaan pemerintah pusatnya
tidak terbatas karena konstitusi negara kesatuan tidak mengakui
adanya badan pembuat undang-undang selain badan pembuat
undang-undang pusat). Dengan pendapat tersebut, CF. Strong
mengemukakan ciri utama negara kesatuan, yakni:258
1) The supremacy of the central parliament (adanya supremasi dari
parlemen); dan
2) The absence of subsidiary sovereign bodies (tidak adanya badan-
badan lain yang berdaulat)

Senada dengan hal tersebut, Soehino juga menyatakan


bahwa:259
“Negara kesatuan itu adalah negara yang tidak tersusun dari beberapa
negara, melainkan hanya terdiri atas satu negara, sehingga tidak ada
negara di dalam negara. Dengan demikian dalam negara kesatuan
hanya ada satu pemerintah, yaitu pemerintah pusat yang mempunyai
kekuasaan serta wewenang tertinggi dalam bidang pemerintahan
negara, menetapkan kebijaksanaan pemerintahan dan melaksanakan
pemerintahan negara baik di pusat maupun di daerah-daerah.”

Berkaitan dengan negara kesatuan, M. Solly Lubis juga


menyatakan bahwa:260
“Prinsip pada negara kesatuan ialah bahwa yang memegang tampuk
kekuasaan tertinggi atas segenap urusan negara ialah pemerintah pusat
tanpa adanya suatu delegasi atau pelimpahan kekuasaan pada
pemerintah daerah (local government). Dalam negara kesatuan terdapat

257
CF. Strong, Op.Cit., h. 84
258
Ibid
259
Soehino, Op.Cit., h. 224
260
M. Solly Lubis, Pergeseran Garis Politik dan Perundang-undangan Mengenai
Pemerintah Daerah, Bandung: Alumni, 1983, h. 8

132
Teori Bentuk Negara dan Bentuk Pemerintahan

asas bahwa segenap urusan-urusan negara tidak dibagi antara


pemerintah pusat (central government) dan pemerintah lokal (lical gov-
ernment) sehingga urusan-urusan negara dalam negara kesatuan tetap
merupakan suatu kebulatan (eenheid) dan pemegang tertinggi di negara
itu ialah pemerintah pusat”.

Edie Toet Hendratno menyatakan bahwa kekuasaan ter-


tinggi dalam negara kesatuan dipegang sepenuhnya oleh
Pemerintah Pusat.261Untuk itu, maka dalam negara kesatuan
hanya ada satu negara dalam negara atau tidak ada negara di
dalam negara dan pemerintah pusat merupakan pemegang
kekuasaan pemerintahan negara tertinggi.262Lebih lanjut, Edie
Toet Hendratno menyatakan bahwa:263
“Negara kesatuan adalah negara yang mempunyai kemerdekaan dan
kedaulatan atas seluruh wilayah atau daerah yang dipegang
sepenuhnya oleh satu Pemerintah Pusat. Kedaulatan sepenuhnya dari
pemerintah pusat disebabkan karena di dalam negara kesatuan itu
tidak terdapat negara-negara yang berdaulat. Meskipun di dalam
negara-negara kesatuan wilayah-wilayah negara dibagi dalam bagian-
bagian negara tersebut tidak mempunyai kekuasaan asli seperti halnya
dengan negara-negara bagian dalam bentuk negara federasi.”

F. Isjwara menyatakan bahwa negara kesatuan adalah


bentuk kenegaraan yang paling kokoh, jika dibandingkan de-
ngan federal dan konfederasi. Dalam negara kesatuan terdapat,
baik persatuan (union) maupun kesatuan (unity). 264Dalam
perspektif kesatuaan, negara tidak dibentuk oleh daerah, namun
sebaliknya bahwa daerah dibentuk oleh negara.Berkaitan
dengan hal tersebut, Abu Daud Busroh menyatakan bahwa:265
“…negara kesatuan adalah negara yang tidak tersusun dari pada
beberapa negara, seperti halnya dalam negara federasi, melainkan
negara yang bersifat tunggal, artinya hanya ada satu negara, tidak ada
negara di dalam negara. Jadi dengan demikian, di dalam negara

261
Edie Toet Hendratno, Op.Cit., h. 46
262
Ibid., h. 45
263
Ibid.
264
F. Isjwara, Op.Cit., h. 188
265
Abu Daud Busroh, Ilmu…Op.Cit., h. 64-65

133
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

kesatuan itu juga hanya ada satu pemerintahan, yaitu pemerintah pusat
yang mempunyai kekuasaan atau kewenangan tertinggi dalam segala
lapangan pemerintahan. Pemerintahan pusat inilah yang pada tingkat
terakhir dan tertinggi dapat memutuskan segala sesuatu dalam negara
tersebut.

Dengan dasar tersebut, Al Chaidar, dkk. Menyatakan bahwa


model negara kesatuan asumsi dasarnya berbeda secara dia-
metrik dengan negara federal. Formasi negara kesatuan di-
deklarasikan saat kemerdekaan oleh para pendiri negara dengan
mengklaim seluruh wilayahnya sebagai bagian dari suatu
negara. Tidak ada kesepakatan para penguasa daerah apalagi
negara-negara, karena diasumsikan bahwa semua wilayah yang
termasuk di dalamnya bukanlah bagian-bagian wilayah yang
bersifat independen. Dengan dasar itu, maka negara membentuk
daerah-daerah atau wilayah-wilayah yang kemudian diberi
kekuasaan atau kewenangan oleh pemerintah pusat untuk
mengurus berbagai kepentingan masyarakatnya, ini diasum-
sikan bahwa negaralah yang menjadi sumber kekuasaannya.266
Dewasa ini, negara kesatuan dibagi menjadi 2 (dua) yakni:
1) negara kesatuan dengan sistem sentralisasi; dan 2) negara
kesatuan dengan sistem desentraliasi. Dalam negara kesatuan
dengan sistem sentralisasi, segala sesuatu dalam negara
langsung diatur dan diurus oleh Pemerintah Pusat dan daerah-
daerah hanya tinggal melaksanakan segala apa yang telah di-
instruksikan oleh pusat itu.267 Sedangkan dalam negara kesatuan
dengan sistem desentralisasi, maka kepada daerah-daerah
diberikan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri yang kemudian melahirkan atau dibentuknya
daerah-daerah otonom, yaitu suatu kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, ber-
wenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri.268
266
Al Chaidar, Federasi Atau Disintegrasi,Telaah Awal Wacana Unitaris Versus
Federalis Dalam Perspektif Islam, Nasionalisme dan Sosial Demokrasi, Jakarta:
Madani Press, 2000, h. 201-202
267
Edie Toet Hendratno, Op.Cit., h. 46-47
268
Soehino, Op.Cit., h. 225

134
Teori Bentuk Negara dan Bentuk Pemerintahan

Dari kedua sistem negara kesatuan tersebut, maka negara


kesatuan pada hakikatnya adalah negara sentralistik yang se-
luruh kedaulatannya dipegang oleh pemerintah pusat. Dengan
kedaulatan tersebut, pemerintah pusat memegang suluruh
urusan pemerintahan dan pemerintah pusat juga bertanggung
jawab atas pelaksanaan seluruh urusan pemerintahan. Apeldorn
menyatakan bahwa suatu negara disebut negara kesatuan
apabila kekuasaan hanya dipegang oleh pemerintah pusat, se-
mentara provinsi-provinsi menerima kekuasaan dari pemerintah
pusat. Provinsi-provinsi itu tidak mempunyai hak mandiri.269
Senada dengan hal tersebut, V. Kalijarvi menyatakan:270
“negara-negara di mana seluruh kekuasaan dipusatkan pada satu atau
beberapa organ pusat, tanpa pembagian kekuasaan antara pemerintah
pusat dengan pemerintah bagian-bagian negara itu. Pemerintah bagian-
bagian negara itu hanyalah bagian pemerintah pusat yang bertindak
sebagai wakil-wakil pemerintah pusat untuk menyelenggarakan
administrasi setempat.

Dari uraian penjelasan di atas, maka sentralisasi kekuasaan


pada pemerintah pusat merupakan hakikat dari negara
kesatuan. 271Sentralisasi kekuasaan dalam negara kesatuan
ditujukan untuk menjaga kesatuan dan integritas negara. Untuk
itu, maka pemerintah pusat mendominasi kekuasaan pemerin-
tahan, dengan mengenyampingkan peran dan hak pemerintah
daerah untuk ikut terlibat langsung secara mandiri di dalam
pemerintahan.
Kekuasaan yang sentralistik tersebut menyebabkan
hubungan antara pemerintah pusat dan daerah tidak harmonis.
Karenanya, negara kesatuan yang sentralistik tersebut tidak
dapat dipertahankan, sehingga di berbagai negara kesatuan telah
dilaksanakan sistem desentralisasi. Desentralisasi adalah pe-

269
Bonar Simorangkir, et.al., Otonomi Atau Federalisme Dampaknya Terhadap
Perekonomian, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan dan Harian Suara
Pembaruan, 2000, h. 14
270
F. Isjwara, Op.Cit., h. 179
271
Sri Soemantri Martosuwignyo, Pengantar Perbandingan Hukum Tata Negara,
Jakarta: Rajawali, 1981, h. 52

135
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

nyerahan urusan dari pemerintah pusat ke daerah otonom untuk


menjadi urusan rumah tangga daerah otonom itu. Berkaitan
dengan desentralisasi, R.G. Kartasapoetra272 menyatakan bahwa
desentralisasi diartikan sebagai penyerahan urusan dari pe-
merintah pusat kepada daerah menjadi urusan rumah tangga-
nya. Penyerahan ini bertujuan untuk mencegah pemusatan
kekuasaan, keuangan serta sebagai pendemokratisasian
pemerintahan, untuk mengikut sertakan rakyat bertanggung
jawab terhadap penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Senada dengan hal tersebut, E. Koswara273 juga menyatakan
desentralisasi adalah sebagai proses penyerahan urusan-urusan
pemerintahan yang semula termasuk wewenang pemerintah
pusat kepada badan atau lembaga Pemerintahan Daerah agar
menjadi urusan rumah tangganya sehingga urusan tersebut
beralih kepada dan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.
Jayadi N.K. menyatakan bahwa desentralisasi mengandung
empat pengertian: pertama, desentralisasi merupakan pem-
bentukan daerah otonom; kedua, daerah otonom yang dibentuk
diserahi wewenang tertentu oleh pemerintah pusat; ketiga,
desentralisasi uga merupakan pemencaran kekuasaan oleh
pemerintah pusat; keempat, kekuasaan yang dipencarkan
diberikan kepada kelompok-kelompok masyarakat dalam
wilayah tertentu.”274 Lebih lanjut, Van der Pot275 menyatakan
bahwa desentralisasi akan di dapat apabila kewenangan me-
ngatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintahan tidak
semata-mata dilakukan oleh pemerintah pusat (central govern-
ment), melainkan oleh satuan-satuan pemerintahan tingkat lebih

272
RG Kartasapoetra, Sistematika Hukum Tata Negara, Jakarta: Bina Aksara,
1987, h. 87-98
273
E Koeswara, Otonomi Daerah, Untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat,
Jakarta: Yayasan PARIBA, 2001, h. 17
274
Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Cet.3Jakarta:
Sinar Grafika, 2009, h. 13
275
Bagir Manan, Politik Hukum Otonomi Sepanjang Peraturan Perundang-
Undangan Pemerintahan Daerah” dalam Martin H. Hutabarat, dkk.,
(Penyunting), Hukum dan Politik Indonesia Tinjauan Analitis Dekrit Presiden
dan Otonomi Daerah, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996, h. 140

136
Teori Bentuk Negara dan Bentuk Pemerintahan

rendah yang mandiri (zelfstandig) bersifat otonom (teritorial


maupun fungsional).
Adanya desentralisasi dalam negara kesatuan menyebabkan
daerah-daerah menjadi otonom. Dengan demikian, maka daerah
diberikan kewenangan untuk mengatur (regelendaad) dan
mengurus (bestuurdaad) terhadap urusan pemerintahan yang
dilimpahkan oleh pemerintah pusat. Otonomi memberikan
kebebasan dan kemandirian (vrijheid en zelfstandigheid) kepada
pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian
urusan pemerintahan. Urusan pemerintahan yang diatur dan
diurus secara bebas itu menjadi urusan rumah tangga
pemerintah daerah.
Desentralisasi bukan penyerahan kedaulatan kepada
pemerintah daerah, namun hanya sebatas pada adanya
penyerahan kewenangan. Hakikatnya, daerah tidak memiliki
kewenangan, kecuali kewenangan yang diserahkan dan
dilimpahkan oleh pemerintah pusat. Hal ini Berkaitan dengan
prinsip negara kesatuan bahwa yang berdaulat hanya peme-
rintah pusat. Karenanya, tanggungawab pelaksanaan urusan
pemerintahan dalam negara kesatuan, tetap berada di tangan
pemerintah pusat, walaupun dengan sistem desetralisasi.
Dari uraian-uraian pendapat di atas, maka ciri-ciri negara
kesatuan adalah sebagai berikut:
1) Bersusun tunggal, artinya hanya ada satu negara dan
pemerintahan yang berdaulat yakni pemerintah pusat.
2) Kedaulatan dalam negara kesatuan, baik ke dalam maupun
ke luar bersifat bulat (eenheids), sehingga tidak dapat dibagi
atau diserahkan kepada pemerintah daerah.
3) Daerah-daerah dibentuk oleh pemerintah pusat.
4) Pembentuk undang-undang tertinggi adalah parlemen
5) Konstitusi hanya 1 (satu) yang berlaku bagi seluruh wilayah
negara.
6) Undang-undang yang dibuat oleh pemerintah pusat
mengikat seluruh wilayah negara, tanpa perlu persetujuan
daerah.

137
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

7) Lembaga peradilan negara dibentuk oleh pemerintah pusat,


dan daerah tidak boleh memiliki lembaga peradilan sendiri.
8) Semua urusan pemerintahan menjadi kewenangan dan
tanggung jawab pemerintah pusat, dan daerah dapat
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan apabila
didesentralisasikan oleh pemerintah pusat.
9) Pemerintah Daerah bertanggung jawab kepada pemerintah
pusat.

b. Bentuk Negara Federal (Federal State, Bundesstaat)


Negara federal (serikat) adalah negara yang bersusun jamak.
Bersusun jamak artinya bahwa negara federal dibentuk oleh
negara-negara yang sudah merdeka, mempunyai kedaulatan,
undang-undang dasar dan pemerintahan sendiri. Soehino
menyatakan bahwa negara federal pada awalnya berasal dari
negara yang berdiri sendiri dan memiliki kedaulatan sendiri.
Akan tetapi karena adanya kepentingan tertentu seperti
ekonomi, politik dan sebagainya mereka membentuk suatu
ikatan kerjasama yang efektif. Ikatan kerjasama tersebut yang
kemudian disebut negara federasi yang kemudian memiliki
Undang-Undang Dasar dan Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Gabungan atau Pemerintah Federasi.276
Senada dengan hal tersebut, Josep Rudplf, Jr. menyatakan
bahwa model negara federal berangkat dari asumsi dasar bahwa
negara federal dibentuk oleh sejumlah negara atau wilayah yang
independen, yang sejak awal memiliki kedaulatan atau semacam
kedaulatan pada dirinya masing-masing negara atau wilayah-
wilayah itu kemudian bersepakat membentuk sebuah federal.
Negara dan wilayah pendiri federal itu kemudian berganti sta-
tus menjadi negara bagian atau wilayah administrasi dengan
nama tertentu dalam lingkungan federal.277Senada dengan hal
tersebut, Kranenburg menyatakan bahwa dalam negara srikat,

276
Soehino, Op.Cit., h. 226
277
Josep Rudolf., Federation dalam International Encyclopedia of Governemnet
and Politics, Vol. I, Singapura: Topan, 1996, h. 467

138
Teori Bentuk Negara dan Bentuk Pemerintahan

negara-negara bagian mempunyai kekuasaan untuk membentuk


konstitusi sendiri (pouvoir constituant), negara-negara bagian
dapat mengatur sendiri bentuk organisasi negaranya dalam
batas-batas yang ditentukan konstitusi federalnya.278
Dalam negara federal, negara-negara bagian yang sudah
merdeka dan berdaulat menyerahkan sejumlah tugas dan
kewenangan kepada negara federal, dan sisanya diurus sendiri
oleh negara bagian. Karenanya, negara bagian bukan bawahan
dan tidak bertanggungjawab kepada negara federal. Dengan
demikian, maka kedaulatan dalam negara federal bersumber
dari negara bagian. Negara bagian menyerahkan sebagian
kedaulatannya kepada negara federal. Untuk itu, maka dalam
negara federal terdapat 2 (dua) negaraberdaulat, yakni negara
federaldan negara bagian. Sistem ini biasa disebut sebagai sistem
negara dalam negara. Di samping itu, terdapat juga 2 (dua)
pemerintah yang berdaulat, yakni pemerintah federal dan
pemerintah negara bagian.
Dengan demikian, maka di dalam negara federasi selalu
terdapat dua susunan sistem atau selalu tersusun jamak, yaitu
di tingkat federal dan di tingkat negara bagian, yaitu:279
1) 2 (dua) macam negara, yaitu Negara Federasi atau Negara
Gabungan dan Negara-negara Bagian.
2) 2(dua) macam pemerintah, yaitu Pemerintah Negara Federasi
dan Pemerintah Negara-negara Bagian.
3) 2(dua) macam undang-undang dasar, yaitu undang-undang
dasar Negara Federasi dan undang-undang dasar masing-
masing Negara Bagian.
4) Negara di dalam negara, yaitu Negara-negara Bagian itu
beradanya di dalam Negara Federasi.
5) 2(dua) macam urusan pemerintahan, yaitu urusan pemerin-
tahan pokok-pokok dan yang berkaitan dengan kepentingan
bersama negara-negara-bagian.

278
R. Kranenburg, Op.Cit., h. 180
279
Soehino, Op.Cit., h. 227

139
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

Menurut CF. Strong diperlukan 2 (dua) syarat untuk


membentuk negara federal, yakni:280
1) Adanya perasaan sebangsa di antara kesatuan-kesatuan
politik yang hendak membentuk federasi itu (a sense of na-
tionality among the units federating)
2) Adanya keinginan pada kesatuan-kesatuan politik yang
hendak mengadakan federasi untuk mengadakan ikatan
terbatas, oleh karena apabila kesatuan-kesatuan politik itu
menghendaki persatuan sepenuhnya, maka bukan fe-
derasilah yang dibentuk, melainkan negara kesatuan (the fed-
eration, though desiring union, do not desire unity, for if they de-
sired unity they would form not a federal but a unitary state)

Dari pendapat CF. Strong di atas, maka sesungguhnya


pembentukan negara federal didasarkan pada keinginan negara-
negara bagian untuk membentuk suatu kesatuan politik secara
terbatas. Terbatas artinya bahwa negara-negara bagian hanya
menyerahkan sebagian kewenangannya kepada negara federal,
sehingga negara-negara bagian tetap mempunyai kedaulatan.
Untuk itu, pembentukan negara federal diadasari pada prinsip
partnership yang dibangun dan diatur dalam sebuah perjanjian,
yaitu suatu hubungan internal di antara pihak-pihak yang
bersepakat didasarkan pada hubungan timbal balik yang saling
menguntungkan serta pengakuan eksistensi soverenitas (ke-
daulatan) dan integritas pihak-pihak yang terlibat. Dalam derajat
tertentu, pihak-pihak yang bersepakat harus menyerahkan
sebagian dari kedaulatannya kepada struktur baru (federal)
untuk mengatur dan mengurus kewenangan bersama (concur-
rent or shared powers).
Menurut CF. Strong bahwa ada 3 (tiga) hal yang mem-
bedakan negara federal satu sama lainnya:281
1) Cara pembagian kekuasaan antara pemerintah federal
dengan pemerintah negara bagian (as the manner in which the
pwers are distruibuted between the federal and state authorities).

280
CF. Strong, Op.Cit., h. 104
281
Ibid, h. 105

140
Teori Bentuk Negara dan Bentuk Pemerintahan

2) Bentuk otoritas untuk melindungi supremasi konstitusi di


atas otoritas federal dan otoritas negara bagian jika muncul
konflik di antara keduanya (as to nature of the authority for
preserving the supremacy of the constitution over the federal and
state authorities if they should come into conflict with one another).
3) Menurut cara perubahan konstitusi jika dikehendaki adanya
perubahan semacam itu (as the means of changing the constitu-
tion if such change should be desired).

Lebih lanjut, C.F.Strong menyatakan bahwa bahwa sifat


utama atau dasar negara federal adalah adanya pembagian
kekuasaan antara pemerintah federal dengan unit-unit federasi.
Pembagian kekuasaan dalam negara federal (the federal author-
ity) dapat dilakkan dengan dua cara, tergantung di mana
diletakkan sisa atau residu atau kekuasaan simpanan (reserve of
powers). Pertama, konstitusi memperinci satu persatu kekuasaan
pemerintah federal, sedangkan sisa kekuasaan (reserve of power)
yang terinci diserahkan kepada negara-negara bagian. Contoh
negara-negara federal yang menerapkan sistem ini antara lain
Amerika Serikat dan Australia. Kedua, konstitusi memperinci
satu persatu kekuasaan pemerintah negara-negara bagian,
sedangkan sisa kekuasaan (reserve of power) yang tidak terinci
diserahkan kepada pemerintah federal. Kanada merupakan
contoh negara federal yang menerapkan sistem ini.282
Adapun KC. Wheare menyatakan bahwa prinsip negara
federal adalah bahwa kekuasaan dibagi sedemikian rupa
sehingga pemerintah federal dan pemerintah negara bagian
dalam bidang-bidang tertentu bebas satu sama lain dalam
kewenangannya masing-masing. Misalnya dalam soal hubungan
luar negeri dan soal mencetak uang, pemerintah federal sama
sekali bebas dari campur tangan negara bagian (negara bagian
harus tunduk pada kebijakan pemerintah federal). Sedangkan
masalah-masalah kebudayaan, kesehatan dan sebagainya,

282
Edi Toet Hendratno, Op.Cit., h. 58

141
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

pemerintah negara bagian misalnya bebas dari campur tangan


pemerintah federal.283
Berkaitan negara federal tersebut, David Salomon
memberikan ciri-ciri sebagai berikut:284
1) Pemerintah pusat mempunyai kekuasaan penuh atas nama
negara bagian dalam hubungan dengan negara-negara lain.
2) Pemerintahan dibagi di antara pemerintahan pusat dan
sejumlah pemerintahan negara bagian. Kecuali ditentukan
oleh konstitusi, masing-masing mempunyai kedaulatan
sendiri.
3) Kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintahan
negara bagian diatur sedemikian rupa, sehingga masing-
masing pemerintahan berpengaruh langsung terhadap warga
negara. Pemerintahan negara bagian tidak hanya sebagai
pelaksana kebijaksanaan pemerintah pusat.
4) Biasanya terdapat badan peradilan yang berfungsi sebagai
penengah. Peradilan ini menjamin bahwa baik pemerintah
pusat maupun pemerintah negara bagian tidak melangkah
di luar kekuasaannya sebagaimana ditentukan oleh kons-
titusi.

Sedangkan Hans Kelsen memberikan ciri-ciri negara fed-


eral sebagai berikut:285
1) Tatanan hukum negara federal terdiri atas norma-norma
pusat yang berlaku bagi seluruh teritorialnya dan norma-
norma daerah yang hanya berlaku bagi bagian-bagian dari
teritorial ini.
2) Norma-norma umum pusat “hukum-hukum federal” dibuat
oleh organ-organ legislatif pusat “badan legislatif pusat”,

283
Miriam Budiardjo, Op.Cit., h. 141
284
Syahda Guruh LS, Menimbang Otonomi vs Federal, Bandung: Remaja Rosda
Karya, 2000, h. 83
285
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, diterjemahkan oleh
Raisul Muttaqien, Bandung: Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa, 2006,
h. 448-452

142
Teori Bentuk Negara dan Bentuk Pemerintahan

sedangkan norma-norma umum daerah dibuat oleh organ-


organ legislatif daerah “badan legislatif daerah”.
3) Negara federal ditandai oleh faktabahwa negera-negara
bagian memiliki suatu derajat otonom konstitusional, yaitu
bahwa organ legislatif dari masing-masing negara bagian
berkompeten dalam masalah-masalah konstitusi dari
masyarakat ini, sehinga perubahan-perubahan dalam
konstitusi dari negara-negara bagian dapat dilakukan melalui
undang-undang dari negara bagian sendiri.
4) Biasanya sebuah negara federal lahir melalui suatu perjanjian
internasioan yang ditandatangani oleh negara-negara mer-
deka. Fakta bahwa masing-masing negara bagian mem-
punyai jumlah wakil yang sama dalam senat membuktikan
bahwa negara anggota pada mulanya adalah negara-negara
merdeka dan masih tetap harus diperlakukan menurut
prinsip hukum internasional yang dikenal sebagai persamaan
negara-negara.
5) Dalam negara federal, bukan hanya kompetensi legislatiF
yang dibagi di antara negara federal dan negara bagian,
melainkan juga kompetensi judisial dan administratif. Di
samping pengadilan federal, ada pengadilan negara bagian
dan disamping organ administrasi federatif, ada organ negara
bagian.

Syaukani, dkk., juga menyatakan bahwa di dalam sistem


yang federalistik, unit-unit politik memiliki otonomi secara utuh,
baik yang menyangkut wewenang eksekutif, ataupun legislatif,
bahkan juga menyangkuat kekuasaan yudisial. Di dalam sistem
ini diakui pula mekanisme berbagi kekuasaan antara pemerintah
pusat dengan pemerintah negara bagian, dan antara pemerintah
negara bagian dengan pemerintah daerahnya. Struktur peme-
rintahan dalam negara federal tidaklah bertingkat sebagaimana
diamati dalam sejumlah negara kesatuan, karena hakikat
otonomi dalam negara bagian dengan pemerintah daerah pada
dasarnya sama. Yang membedakannya secara mencolok dengan
sistem pemerintahan yang unitaristik adalah yang menyangkut
dengan kedaulatan. Di dalam federalism, kedaulatan diperoleh

143
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

dari unit-unit politik yang tepisah-terpisah dan kemudian


sepakat membentuk sebuah pemerintahan bersama. Sementara
itu, dalam pemerintahan yang unitaristik, kedaulatan langsung
bersumber dari seluruh penduduk dalam negara tersebut.286
Dari uraian-uraian pendapat di atas, maka ciri-ciri negara
federal adalah sebgai berikut:
1) Bersusun jamak, artinya dalam negara terdapat 2 (dua)
negara yang berdaulat, yakni negara federal dan negara
bagian.
2) Kedaulatan dalam negara federal dipegang oleh negara fed-
eral dan negara bagian, sehingga kedaulatan tidak bersifat
bulat namun dibagi antara negara federal dan negara bagian.
Kedaulatan ke luar biasanya dipegang oleh pemerintah fed-
eral, sedangkan kedaulatan ke dalam biasanya dipegang oleh
pemerintah negara bagian.
3) Negara federal dibentuk oleh negara-negara bagian yang
sudah berdaulat, merdeka dan mempunyai pemerintahan
sendiri.
4) Ada 2 (dua) pembentuk undang-undang, yakni parlemen
federal untuk undang-undang federal dan perlemen negara
bagian untuk undang-undang negara bagian.
5) Ada 2 (dua) konstitusi, yakni konstitusi federal dan konstitusi
negara bagian.
6) Undang-undang yang dibuat oleh pemerintah federal
mengikat seluruh negara bagian, tanpa perlu persetujuan
negara bagian, sedangkan undang-undang yang dibuat oleh
negara bagian hanya mengikat negara bagian yang
bersangkutan.
7) Ada 2 (dua) lembaga peradilan yakni lembaga peradilan fed-
eral yang dibentuk oleh pemerintah federal dan lembaga
peradilan negara bagian yang dibentuk oleh pemerintah
negara bagian.

286
Syaukani, dkk., Otonomi Dalam Negara Kesatuan, Yokyakarta: Pustaka
Pelajar kerja sama dengan PUSKAP, 2002, h. 4-5

144
Teori Bentuk Negara dan Bentuk Pemerintahan

8) Urusan pemerintahan dibagi antara negara federal dan


negara bagian.
9) Pemerintah negara bagian tidak bertanggung jawab kepada
pemerintah federal.

Penjelasan-penjelasan di atas menunjukkan bahwa karakter


utama negara federal berbeda dengan negara kesatuan. R.
Kranenburg sebagaimana dikutip oleh Miriam Budiardjo
menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara bentuk negara
federal dan bentuk negara kesatuan, yakni:287
1) Negara bagian dalam dalam suatu federasi memiliki “pouvoir
constituant” yakni wewenang membentuk UUD sendiri serta
wewenang mengatur bentuk organisasi sendiri, sedangkan
dalam negara kesatuan organisasi pemerintahan daerah se-
cara garis besar telah ditetapkan oleh pembentukan undang-
undang pusat.
2) Dalam negara federal, wewenang membentuk undang-
undang pusat mengatur untuk hal-hal tertentu telah
terperinci satu persatu dalam konstitusi federal, sedangkan
dalam negara kesatuan, wewenang pembentukan undang-
undang pusat ditetapkan dalam suatu rumusan umum dan
wewenang pembentukan peraturan perundang-undangan di
tingkat lokal tergantung pada badan pembentuk undang-
undang-undang pusat.

Berkaitan dengan perbedaan antara negara federal dan


negara kesatuan, F. Isjwara juga menyatakan bahwa dalam
negara federal wewenang legislatif terbagi dalam dua bagian,
yakni antara badan legislatif pusat (federal) dan badan legislatif
dari negara-negara bagian, sedangkan dalam negara kesatuan
wewenang legislatif berada dalam tangan badan legislatif pusat,
sedangkan kekuasaan badan legislatif rendahan (lokal) di-
dasarkan atas penentuan dari badan legislatif pusat itu dalam
bentuk undang-undang organik. Lebih lanjut, Hans Kelsen
menyatakan bahwa dalam negera federal tidak hanya wewenang

287
Miriam Budiardjo, Op.Cit., h. 110

145
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

legislatif saja yang dibagi antara negara federal dan negara


bagian, akan tetapi juga wewenang yudisial dan administratif/
eksekutif (in the federal state is not only the legislative competence
that is devided between the federation and the component state, but
also the judicial and administrative competence.288
Perbedaan antara negara federal dan negara kesatuan dapat
dijelaskan dalam tabel di bawah ini:

288
Ibid

146
Teori Bentuk Negara dan Bentuk Pemerintahan

c. Bentuk Negara Konfederasi (Confederation State,


Statenbond)
Pada hakikatnya, bentuk negara konfederasi bukan
merupakan negara sebagaimana dimaksudkan dalam ilmu
politik, hukum tata negara dan hukum internasional. Hal
tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa negara konfederasi
dibentuk oleh negara-negara yang sudah berdaulat, tanpa
disertai dengan adanya penyerahan kedaulatan kepada negara
konfederasi, baik kedaulatan ke dalam maupu ke luar.
Kedaulatan tetap pada negara-negara yang membentuk negara
konfederasi tersebut. Negara anggota-anggota konfederasi tidak
kehilangan kedaulatannya akibat mereka menjadi anggota
konfederasi. Oleh karena itu, negara konfederasi tidak
mempunyai kedaulatan, sehingga tidak dapat dikategorikan
sebagai negara. Ketidakadaan kedaulatan pada negara
konfederasi tersebut menyebabkan negara konfederasi tidak

147
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

dapat mewakili kepentingan anggota-anggotanya dalam


hubungan internasional.
Berkaitan dengan hal tersebut, L. Oppenheim menyatakan
bahwa:289
“a confederacy consist of a number of full sovereign state linked together for
the maintenance of their external and internal independence by a recognized
international treaty into a union with organs of it’s own, which are vested
with a certain power over the members states, but not over the citizens of
these states”

(suatu konfederasi terdiri dari beberapa negara yang berdaulat penuh


untuk mempertahankan kemerdekaan ekstern dan intern, bersatu atas
perjanjian internasional yang diakui dengan menyelenggarakan
beberap alat perlengkapan tersendiri yang mempunyai kekuasaan
tertentu terhadap negara anggota konfederasi, tetap tidak terhadap
warga negara dari negara-negara itu).

Dari pendapat L. Oppenheim di atas, maka negara konfede-


rasi dibentuk oleh negara-negara yang berdaulat dengan tujuan
untuk mempertankan kedaulatannya. Negara konfederasi
dibentuk atas tujuan dan kepentingan yang sama dari semua
anggota, apakah kepentingan yang bersifat regional seperti As-
sociation of South East Asian Nation (ASEAN) yakni konfederasi
dari negara-negara asia tenggara seperti Indonesia, Malaysia,
Singapura, Thailand, Philipina, dan lainnya, maupun global
seperti United Nation yakni konfederasi dari seluruh negara yang
ada di bumi. Di samping itu, negara konfederasi dapat dibentuk
berdasarkan kepentingan ekonomi, politik, pertahanan dan
lainnya seperti Asian Pasific Exportir Countries (APEC) yakni
konfederasi negara-negara eksportir Asia Pasifik. Sehingga,
negara konfederasi dibentuk dengan tujuan untuk memper-
tahankan kepentingan luar negeri dari masing-masing anggota
dengan cara membuat perjanjian. Dengan dasar tersebut, maka
eksistensi negara konfederasi sangat tergantung dari
kesukarelaan negara-negara anggota konfederasi.

289
Ibid, h. 139

148
Teori Bentuk Negara dan Bentuk Pemerintahan

Dengan uraian penjelasan di atas, maka negara konfederasi


berbeda dengan negara federal. George Jellinek menyatakan
bahwa perbedaan antara negara konfederasi dan negara federasi
terletak pada kedaulatannya. Dalam konfederasi terletak pada
masing-masing negara anggota peserta konfederasi itu,
sedangkan pada federasi kedaulatan terletak pada federasi itu
sendiri dan bukan pada negara-negara. 290 Sedangkan R.
Kranenburg menyatakan bahwa perbedaan antara konfederasi
dengan federasi harus didasarkan atas hal apakah warga negara
dari negara-negara itu langsung terikat atau tidak oleh
peraturan-peraturan organ pusat. Kalau jawabannya “ya”, maka
bentuk itu adalah federasi, sedangkan kalau peraturan organ
pusat itu tidak dapat mengikat langsung penduduk wilayah ang-
gotanya, maka gabungan kenegaraan itu adalah konfederasi.291
Perbedaan antara negara konfederasi dan negara federasi
dapat dijelaskan dalam tabel di bawah ini:

290
Ibid., h. 142
291
Ibid

149
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

B. Bentuk Pemerintahan
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa bentuk
pemerintahan berbeda dengan bentuk negara.Jika bentuk negara
Berkaitan dengan bagian luar dari negara atau susunan negara,
maka bentuk pemerintahan Berkaitan bagian dalam negara.
Berkaitan dengan hal tersebut, Bagir Manan menyatakan bahwa
bentuk pemerintahan berkaitan dengan bagian dalam, yaitu
pemerintahan negara yang dibedakan antara pemerintahan
republik dan pemerintahan kerajaan.292Jimly Asshiddiqie juga
membagi bentuk pemerintahan kedalam bentuk pemerintahan
republik dan bentuk pemerintahan kerajaan (monarki). 293
Adapun Montesqieu membagi bentuk pemerintahan kedalam

292
Bagir Manan, Lembaga…Op.Cit., h. 1
293
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi…Op.Cit., 211

150
Teori Bentuk Negara dan Bentuk Pemerintahan

tiga bentuk pokok, yaitu: 1) republik, 2) monarki, dan 3)


despotisme.294
Pemerintahan yang berbentuk republik adalah pemerintah-
an yang mana kekuasaan tertingginya dipegang oleh rakyat, di
mana pemerintahan berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat. Dengan kata lain, republik merupakan penjelmaan
kekuasaan dari rakyat. Menurut Black’s Law Dictionary,
republik berarti pemerintahan rakyat (a government of the people)
dan pemerintahan oleh perwakilan yang dipilih oleh rakyat (a
government by representatives chosen by the people).295 Untuk itu,
maka Bagir Manan menyatakan bahwa secara asasi paham
republik (republicanism) mengandung makna pemerintahan yang
diselenggarakan oleh kepentingan umum (rakyat banyak).296
Adapun Hamilton sebagaimana dikutip Abdul Goffar
menyatakan bahwa yang paling esensial dalam republik yaitu
pemerintah berasal dari rakyat banyak, bukan dari suatu jumlah
(kecil) yang tidak berarti atau dari kelas tertentu.297 Adapun
pemerintahan yang berbentuk monarki adalah pemerintahan
yang kedaulatannya dipegang oleh raja atau nama lainnya.
Black’s Law Dictionary menyatakan bahwa “monarchy is a gov-
ernment in which the supreme power is vested in a single person”.298
Untuk membedakan antara bentuk pemerintahan republik
dan monarki, Hans Kelsen menggunakan kriteria tata cara
pengisian jabatan kepala negara. Dengan dasar tersebut, Hans
Kelsen mengklasifikasikan bentuk pemerintahan menjadi
monarki dan republik. Jika kepala negara diangkat berdasarkan
hak waris atau keturunan, maka disebut dengan monarki.
Sedangkan jika kepala negara dipilih melalui pemilihan umum
untuk masa jabatan tertentu, maka bentuk negara disebut

294
Edi Toet Hendratno, Op.Cit., h. 88
295
Henry Campbell Black, Op.Cit., h. 1467
296
Bagir Manan, Lembaga…Op.Cit. h. 2-3
297
Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan
UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2009, h. 42
298
Henry Campbell Black, Op.Cit., h. 1156

151
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

republik.299 Senada dengan hal tersebut, Leon Duguit menyata-


kan bahwa untuk membedakan apakah negara berbentuk
republik atau kerajaan didasarkan pada penunjukan kepala
negaranya. Apabila kepala negara ditunjuk oleh tatanan peng-
gantian secara keturunan yang telah ditetapkan, maka disebut
monarki, sedangkan apabila bukan demikian maka disebut
republik.300
Berkenaan dengan bentuk negara, Otto Koellreutter
sependapat dengan Hans Kelsen dan Leon Duguit, namun selain
monarki dan republik, ada juga satu lagi bentuk negara yakni
negara autoriter (autoritaren fuhrerstaat). Monarki adalah suatu
negara yang diperintah oleh suatu dinasti, jadi kepala negaranya
diangkat atas dasar keturunan. Oleh karena itu, dasar pengang-
katan kepala negara dalam monarki adalah ketidaksamaan, ka-
rena tidak setiap orang dapat menjadi kepala negara. Sebaliknya,
republik berdasarkan asas asas kesamaan, karena kepala
negaranya diangkat berdasarkan kemauan orang banyak dan
setiap orang dianggap sama haknya untuk menjadi kepala
negara. Kepala negara republik tidak diangkat berdasarkan
keturunannya ataupun kepribadiannya melainkan karena
kemauan rakyat secara politis dan kenegaraan. Sedangkan dalam
negara autoriter, kepala negaranya tidak lagi diangkat atas dasar
dinasti melainkan atas dasar pikiran yang dapat berkuasa (der
Gedanken der Staatsautoritat). Jadi atas dasar ketidaksamaan. Akan
tetapi, asas ketidaksamaan ini berlainan dengan asas ketidaksa-
maan dalam monarki yang berpangkal pada dinasti/keturunan.
Jadi dasar kemauan negara adalah kekuasaan pemimpin.301
Berbeda dengan Hans Kelsen, Leon Duguit dan Otto
Koellreutter, Goerge Jellinek membagi bentuk pemerintahan
berdasakan cara pembentukan kemauan negara. Kemauan
negara itu adalah sesuatu yang abstrak dan bentuk konkretnya
adalah menjelma sebagai hukum atau undang-undang. Dalam
negara monarki, pembentukan kemauan negara hanya

299
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar…Op.Cit., h. 166
300
Soehino, Op.Cit., h. 174
301
Azhary, Ilmu Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1974, h. 53

152
Teori Bentuk Negara dan Bentuk Pemerintahan

ditentukan oleh satu orang, tiada badan atau orang yang dapat
ikut campur dalam pembentukan kehendak negara. Artinya
bahwa undang-undang negara itu hanya ditentukan atau dibuat
oleh satu orang saja. Sedangkan dalam republik, pembentukan
kemauan negara dibentuk dalam suatu dewan. Dewan itu adalah
suatu pengertian hukum dan bersifat abstrak. Dewan tersebut
diisi oleh orang-orang sebagai satu kesatuan. Kehendak negara
yang terbentuk atau tersusun secara demikian ini disebut
kehendak atau kemauan yuridis.302 Dengan kata lain, kemauan
negara dalam republik berasal dari kemauan banyak orang,
sehingga kemauan itu tidak terlihat sebagai kemauan satu or-
ang, melainkan banyak orang.303
Dari penjelasan di atas, maka perbedaan antara bentuk
pemerintahan republik dan monarki dapat dijelaskan dalam
tabel di bawah ini:

Dewasa ini, telah muncul beberapa varian bentuk


pemerintahan monarki dan republik. Varian-varian tersebut
adalah sebagai berikut:304
1. Varian bentuk pemerintahan republik:
a. Republik dengan sistem pemerintahan rakyat secara
langsung, atau dengan sistem referendum.
Dalam bentuk pemerintahan republik ini, rakyat secara
langsung ikut serta dalam pengambilan keputusan

302
Soehino, Op.Cit., h. 175
303
Azhari, Op.Cit., h. 49-50
304
Soehino, Op.Cit., h. 181

153
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

negara. Jadi kehendak negara didasarkan pada kehendak


rakyat. Misalkan perubahan konstitusi harus terlebih
dahulu meminta persetujuan rakyat.
b. Republik dengan sistem pemerintahan perwakilan rakyat,
atau dengan sistem parlementer
Dalam bentuk pemerintahan republik ini, rakyat terlibat
dalam pelaksanaan pemerintahan tidak secara langsung.
Kedaulatan rakyat diwujudkan dalam pemilihan umum
untuk memilih wakil-wakil yang akan duduk di par-
lemen. Siapa yang memperoleh suara terbanyak dalam
pemilihan umum berhak untuk membentuk pemerin-
tahan. Untuk itu, maka kehendak rakyat diwakilkan
kepada anggota parlemen
c. Republik dengan sistem pemisahan kekuasaan, atau
dengan presidensial
Dalam bentuk pemerintahan republik ini, rakyat juga
tidak terlibat secara langsung dalam pengambilan kebijak-
an negara. Kedaulatan rakyat dilaksanakan melalui
pemilihan umum untuk memilih anggota parlemen dan
pemilihan umum untuk memilih presiden sebagai kepada
eksekutif dan kepala negara. Parlemen dan presiden
adalah 2 (dua) lembaga yang terpisah dan masing-masing
dipilih secara langsung oleh rakyat. Untuk itu, maka ke-
hendak rakyat dilaksanakan oleh kedua lembaga tersebut.

2. Varian bentuk pemerintahan monarki:


a. Monarki dengan sistem pemerintahan absolutisme
Dalam bentuk pemerintahan monarki ini, kekuasaan
dipegang oleh satu orang dengan kekuasaan yang sangat
besar, sehingga kekuasaan tersebut bersifat absolut.
Kehendak pemimpin menjadi kehendak negara.
b. Monarki terbatas
Dalam bentuk pemerintahan monarki ini, kekuasaan
dipegang oleh satu orang dengan kekuasaan terbatas.
Terbatas artinya bahwa kekuasaan pemimpin tidak
dilakukan secara absolut dan sewenang-wenang.

154
Teori Bentuk Negara dan Bentuk Pemerintahan

c. Monarki konstitusional
Dalam bentuk pemerintahan monarki ini, kekuasaan
dipegang oleh satu orang dengan kekuasaan yang di-
dasarkan pada konstitusi. Kekuasaan pemimpin dibatasi
oleh konstitusi. Sehingga tindakan-tindakan penguasa
dilarang bertentangan dengan konstitusi.

155
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

156
BAB VII
TEORI SISTEM PEMERINTAHAN

A. Pengertian Sistem Pemerintahan


Secara umum sering terjadi pencampuran dalam meng-
gunakan istilah “sistem pemerintahan”, “bentuk Pemerintahan”
dan “bentuk negara”. Padahal dalam ilmu negara, ketiga istilah
tersebut mempunyai perbedaan yang mendasar. Menurut Hans
Kelsen, dalam teori politik klasik, bentuk pemerintahan
diklasifikasikan menjadi “monarki” dan “republik”. Jika kepala
negara diangkat berdasarkan hak waris atau keturunan, maka
disebut dengan monarki. Sedangkan jika kepala negara dipilih
melalui pemilihan umum untuk masa jabatan tertentu, maka
bentuk negara disebut republik.305
Mengenai bentuk negara, dalam ilmu negara, secara garis
besar dapat dibagi tiga, yaitu negara kesatuan, negara federasi
dan konderasi. Negara Kesatuan adalah negara berdaulat yang
diselenggarakan sebagai satu kesatuan tunggal, di mana
pemerintah pusat adalah yang tertinggi dan satuan-satuan sub
nasionalnya hanya menjalankan kekuasaan yang dipilih oleh
pemerintah pusat untuk didelegasikan. Negara federal adalah
negara bagian (satuan sub nasional) berbagi kedaulatan dengan
pemerintah pusat, dan negara bagian memiliki fungsi kekuasaan

305
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar…Op.Cit., h. 166

157
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

yang tidak dapat diubah secara sepihak oleh pemerintah


pusat.Konfederasi merupakan persekutuan antar negara-negara
berdaulat dan merdeka yang karena kebutuhan tertentu meng-
gabungkan diri dalam organisasi kerjasama yang longgar.
Negara-negara anggota konfederasi tetap memiliki kedaulatan
sendiri, namun masing-masing negara bersepakat untuk duduk
satu meja memikirkan segala kemungkinan kerjasama dalam
bidang tertentu. Misalnya: penyelenggaraan politik luar negeri,
pertahanan dan keamanan bersama. Konfederasi bukanlah
merupakan negara dalam pengertian hukum internasional,
karena negara-negara anggotanya secara masing-masing tetap
mempertahankan kedudukannya secara internasional.
DalamIlmu Negara Umum (algemeine staatslehre) yang
dimaksud dengan sistem pemerintahan adalah sistem ketata-
negaraan, baik yang berbentuk mon arki maupun republik, yaitu
mengenai hubungan antar pemerintah dan badan yang me-
wakili rakyat.306 Menurut Usep Ranawijaya sistem pemerintahan
adalah sistem hubungan antara eksekutif dan legislatif.307Hal
yang kurang lebih sama dikemukakan Jimly Asshiddiqie yang
menyatakan bahwa sistem pemerintahan adalah berkaitan
dengan pengertian regeringsdaad, yaitu penyelenggaraan
pemerintahan oleh eksekutif dalam hubungannya dengan fungsi
legislatif.308 Cara pandang demikian, sesuai dengan teori di-
chotomy, yaitu legislatif sebagai policy making (taak stelling), se-
dangkan eksekutif sebagai policy executing (taak verwezenlijking).309
Dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi negara, terjadi relasi

306
Harun Alrasyid, Kajian Sistem Pemerintahan dan Ruang Lingkupnya, dalam
Basement, Majalah Mahasiswa Universitas Pasundan, Vol. 3., No., III, Juni,
Bandung, h.1
307
Usep Ranawijaya, Hukum Tata Negara Indonesia: Dasar-dasarnya, Jakarta:
GhaliaIndonesia, 1983, h. 73
308
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,
Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2008, h. 311
309
I Made Pasek Diantha, Tipe-Tipe Pokok Sistem Pemerintahan Dalam Demokrasi
Moderen, Bandung: Abardin, 1990, h. 20

158
Teori Sistem Pemerintahan

saling memengaruhi dalam penyelenggaraan kekuasaan


eksekutif dan legislatif.310

B. Macam-Macam Sistem Pemerintahan


Menurut Jimly Asshiddiqie sistem pemerintahan yang
dikenal di dunia secara garis besar dapat dibedakan menjadi
tiga macam yaitu: (1) sistem pemerintahan parlementer (parlia-
mentary system); (2) sistem pemerintahan presidensial (presiden-
tial system); dan (3) sistem campuran (mixed system atau hybrid
system).311

1. Sistem Pemerintahan Parlementer (parliamentary


system)
Dalam catatan sejarah, Inggris adalah tempat kelahiran
sistem parlementer.312Douglas V. Verney sebagaimana dikutip
Saldi Isra mengingatkan bahwa “analisis sistem pemerintahan
parlementer sebaiknya dimulai dengan mengacu kepada
berbagai lembaga dalam sistem politik Inggris”.313 Pentingnya
rujukan terhadap pengalaman Inggris juga dikemukakan oleh
CF. Strong yang menyatakan “the history of the growth of the Cabi-
net system in Britain is one of the most instructive studies in the whole
realm of the science of government”.314
Berdasarkan sejarah perkembangan sistem pemerintahan
Inggris, sistem pemerintahan parlementer tumbuh melalui suatu
perjalanan sejarah ketatanegaraan Inggris yang panjang, ratusan
tahun.315 Dengan proses evolusi yang amat lamban, the Great

310
Bivitri Susanti, dkk., Semua Harus Terwakili: Studi mengenai Reposisi MPR,
DPR dan Lembaga Kepresidenan Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum dan
Kebijakan, 2000, h. 7
311
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok …Op.Cit., h. 311
312
I Made Pasek Diantha, Op.Cit. h. 25
313
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Kekuasaan Legilasi Menguatnya Model Legislasi
Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2010, h. 26
314
C.F. Strong, Op.Cit., h. 8
315
Hendarmin Ranadireksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Bandung: Fokus
Media, 2007, h. 10

159
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

Council tumbuh menjadi cikal-bakal institusi moderen


pemerintahan Inggris. Pertumbuhan sistem parlementer dapat
dilihat melalui beberapa konvensi ketatanegaraan sebagai bagian
dari konstitusi (unwritten constitution) Inggris.316 Dari varian
sistem pemerintahan yang ada, Douglas V. Verney menyatakan
bahwa sistem pemerintahan parlementer merupakan sistem
pemerintahan yang paling luas diterapkan di dunia.317
Douglas V. Verney menyatakan bahwa evolusi menuju
sistem pemerintahan parlementer berlangsung melalui tiga
tahapan, yaitu: pertama, pemerintahan dipimpin oleh seorang
raja yang bertanggungjawab atas seluruh sistem politik dan
sistem ketatanegaraan; kedua, muncul sebuah majelis yang
menentang hegemoni raja; ketiga, majelis mengambil-alih
tanggungjawab atas pemerintahan dengan bertindak sebagai
parlemen, sehingga raja kehilangan sebagian besar kekuasaan
tradisionalnya.318
Cara mudah untuk mengenali sistem pemerintahan adalah
dengan memperhatikan di mana letak obyek utama yang
diperebutkan. Dalam sistem pemerintahan parlementer, obyek
utama yang diperebutkan adalah parlemen. Berkaitan dengan
itu, pemilihan umum parlemen menjadi sangat penting karena
kekuasaan eksekutif hanya mungkin diperoleh setelah partai
kontestan pemilihan umum berhasil meraih kursi mayoritas
dalam parlemen. 319
Untuk mendalami karakter sistem pemerinthan parle-
menter, tidak cukup hanya dengan memperhatikan parlemen
sebagai obyek utama yang diperebutkan. Menurut Djo-
kosoetono, sistem parlementer merupakan sistem di mana
menteri bertanggungjawab kepada parlemen, ditambah dengan
kekuasaan lebih kepada parlemen.320Karenanya, pemerintah

316
C.F. Strong,Loc.Cit.,
317
Saldi Isra,Op.Cit., h. 26
318
Ibid, h. 27
319
Hendarmin Ranadireksa, Op.Cit., h. 106
320
R.M. Ananda B. Kusuma, Sistem Pemerintahan Indonesia, Dalam Jurnal
Konstitusi, Vol. 1 No.1., Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI, h. 156

160
Teori Sistem Pemerintahan

(eksekutif, perdana menteri ) dapat djatuhkan melalui mosi tidak


percaya (can fall if it receives a vote of no confiedence) oleh lembaga
legislatif (parlemen, DPR). Dengan demikian, kekuasaan
tertinggi dalam sistem parlementer dipegang oleh parlemen (par-
liament is sovereign), atau dalam bahasa A.V. Dicey disebut par-
liamentary supremacy. Menurut A.V. Dicey yang dimaksud par-
liamentary supremacy adalah : (1) “parliament is competent to legis-
late on any subject-matter; (2) No parliament can be bound by a prede-
cessor or bind a successor, and (3) No other body has the ability to
override or set aside an Act of parliament”.321
Menurut Giavanni Sartori sebagaimana dikutip Saldi Isra
bahwa :
Parliamentary system do not permit a separation of power between parlia-
ment and government : they are all based on legislative-executive power shar-
ing. Which also, to say that all the system that we call parliamentary require
governments to be appointed, supported and, as the case may be, dismissed,
by parliamentary vote.322

Senada dengan dengan pendapat Djokosoetono dan


Giavanni Sartori, Miriam Budiardjo menyatakan bahwa dalam
sistem pemerintahan parlementer, badan eksekutif dan badan
legislatif bergantung satu sama lain. Kabinet, sebagai bagian dari
badan eksekutif yang bertanggungjawab, diharapkan men-
cerminkan kekuatan-kekuatan politik dalam badan legislatif
yang mendukungnya dan hidup-matinya kabinet bergantung
kepada dukungan dalam badan legilatif (asas tanggungjawab
menteri).323
Ditambahkan Alfred Stepan dan Cibdy Skach, dalam Saldi
Isra, bahwa pemerintah harus mendapat dukungan mayoritas
lembaga legislatif (the chief executive power must be supported by a
majority in the legislature). Dalam perjalanannya, pemerintah
dapat jatuh melalui mosi tidak percaya (can fall if it receives a vote
of no confiedence) dari lembaga legislatif. Dengan kondisi

321
Saldi Isra, Op.Cit., h. 28-29
322
Ibid. h. 29
323
Miriam Budiardjo, Op.Cit. h. 210

161
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

demikian, dalam sistem parlementer, keberlanjutan pemerintah


sangat tergantung dari dukungan parlemen.324
Meskipun demikian, dalam praktiknya menurut Miriam
Budirdjo, sifat serta bobot ’ketergantungan’ tersebut berbeda dari
suatu negara dengan negara lain, akan tetapi pada umumnya
dicoba untuk mencapai keseimbangan antara badan eksekutif
dan badan legislatif.325 Keseimbangan yang harus dibangun oleh
eksekutif dan legislatif dijelaskan T.A. Legawa sebagai berikut:
Dalam sistem parlementer, petinggi-petinggi maupun anggota
eksekutif dan legislatif mempunyai konstituensi yang sama. Jika partai
berkuasa dikeluarkan (voted out) dari badan legislatif, jajaran eksekutif
juga berubah. Karena itu kerjasama atau kooperasi antara eksekutif
dan legislatif diperlukan agar pemerintah dapat bertahan dan efektif
dalam melaksanakan program-programnya.326

Kembali kepada karaketeristik pemerintahan parlementer,


Witman dan Wuest sebagaimana dikutip Inu Kencana Syafiie
dan Andi Azikin mengemukakan ada empat karakteristik dan
syarat sistem pemerintahan parlementer, yaitu :
a. it is base upon the diffusion of powers principle(berdasarkan
prinsip pembagian kekuasaaan);
b. there is mutual responsibility between the executive and the legis-
lature, or he must resign together with the rest of the cabinet when
his policies are not longer accepted by the majority of the member-
ship in the legislature(Adanya pertanggungjawaban antara
eksekutif dan legislatif. Oleh karena itu, eksekutif dapat
membubarkan legislatif, begitu juga sebaliknya. Eksekutif
harus meletakkan jabatan bersama kabinetnya (perdana
menteri dan para menteri), ketika kebijakan eksekutif tidak
dapat diterima oleh mayoritas anggota parlemen);

324
Saldi Isra, Op.Cit.,h. 29
325
Loc.Cit
326
T.A. Legowo, Paradigma Check and Balances dalam hubungan Eksekutif-
Legislatif, dalam Laporan Hasil Konferensi Melanjutkan Dialog Menuju
Reformasi Konstitusi di Indonesia, Jakarta: International IDEA, 2002, h. 89

162
Teori Sistem Pemerintahan

c. there is also mutual responsibility between the executive and the


cabinet (Terdapat pertanggungjawaban secara timbal-balik
antara perdana menteri dan kabinet/para menteri);
d. the executive (prime minister, premier, or chancellor) is chosen by
the titular head of state (monarch of president), according to the
support of the majority in the legislature(Eksekutif (perdana
menteri dan para menteri) dipilih oleh kepala negara sesuai
dengan dukungan suara mayoritas parlemen.327

Lebih lanjut, C.F. Strong mengemukakan bahwa sistem


pemerintahan parlementer mempunyai karakteristik pokok
sebagai berikut :
a. kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri dibentuk oleh
kekuatan-kekuatan yang menguasai parlemen;
b. para anggota kabinet umumnya terdiri dari seluruh atau
sebagian anggota parlemen;
c. Perdana Menteri bersama dengan kabinet bertanggungjawab
kepada parlemen;
d. Kepala negara berdasarkan saran atau nasehat Perdana
Menteri dapat membubarkan parlemen dan memerintahkan
diadakannya pemilihan umum.328

Menurut Jimly Asshiddiqie terdapat beberapa prinsip pokok


yang bersifat universal dari karakteristik sistem pemerintahan
parlementer, yaitu:
a. Hubungan antara lembaga parlemen dan pemerintah tidak
murni terpisahkan;
b. Fungsi eksekutif dibagi dalam dua bagian, yaitu seperti yang
diistilahkan oleh C.F. Strong di atas antara “the real execu-
tive” pada kepala pemerintahan dan “the nominal executive”
pada kepala negara;
c. Kepala pemerintahan diangkat oleh kepala negara ;

327
Inu Kencana Syafiie dan Andi Azikin, Perbandingan Pemerintahan, Bandung:
Refika Aditama, 2007, h. 35
328
C.F. Strong, Op.Cit., h. 212

163
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

d. Kepala pemerintahan mengangkat menteri-menteri sebagai


satu kesatuan institusi yang bersifat kolektif;
e. Menteri biasanya anggota parlemen;
f. Pemerintah bertanggungjawab kepada parlemen, tidak ke-
pada rakyat pemilih. Karena pemerintah tidak dipilih secara
langsung, sehingga pertanggungjawaban kepada rakyat
pemilih juga bersifat tidak langsung, melalui parlemen;
g. Kepala pemerintahan dapat memberikan pendapat kepada
kepala negara untuk membubarkan parlemen;
h. Dianutnya prinsip supremasi parlemen sehingga kedudukan
parlemen dianggap lebih tinggi dari pada bagian-bagian dari
sistem pemeritahan;
i. Sistem kekuasaan negara terpusat pada parlemen.329

Menurut Denny Indrayana bahwa karakteristik sistem


parlementer sebagai berikut :
a. Kepala negara perannya hanya simbolik dan seremonial,
mempunyai pengaruh politik (political influence) amat
terbatas. Kepala negara mungkin seorang presiden
sebagaimana di Jerman, India, dan Itali, meskipun di Jepang
adalah kaisar atau ratu di Inggris;
b. Cabang kekuasaan eksekutif dipimpin seorang perdana
menteri atau kanselir, yang bersama-sama dengan kabinet,
adalah bagian dari parlemen, dipilih oleh parlemen dan setiap
saat dapat diberhentikan oleh parlemen dengan mosi tidak
percaya;
c. Parlemen dipilih melalui pemilu yang waktunya bervariasi,
ditentukan oleh kepala negara berdasarkan masukan dari
perdana menteri atau kanselir.330

Senada dengan pendapat-pendapat di atas, Douglas V.


Verney juga mengemukakan 11 (sebelas) karakteristik sistem

329
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok... Op.Cit., h. 315
330
Denny Indrayana, Negara Antara Ada dan Tiada, Reformasi Hukum
Ketatanegaraan, Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2008, h. 197-198

164
Teori Sistem Pemerintahan

pemerintahan parlementer. Kesebelas karakteristik sistem


pemerintahan parlementer tersebut adalah sebagai berikut:
a. The assembly become a parliament(Majelis menjadi parlemen).
b. The executive is divided into two parts(Eksekutif dibagi menjadi
2 (dua) bagian).
c. The head of state appointes the head of government(Kepala Negara
mengangkat Kepala Pemerintahan).
d. The head of government appoints the ministry(Kepala
Pemerintahan mengangkat menteri).
e. The ministry (or government) is a collective body(Menteri (atau
pemerintah) adalah badan yang bersifat kolektif).
f. Ministers are usually members of parliament(Pada umumnya,
menteri adalah anggota parlemen).
g. The government is politically responsible to the assembly(Secara
politik, pemerintah bertanggungjawab kepada majelis).
h. The head of government may advise the head of state to dissolve
parliament(Kepala Pemerintahan dapat memberikan saran/
meminta Kepala Negara untuk membubarkan parlemen).
i. Parliament as a whole is supreme over its constituent parts, gov-
ernment and a assembly, neither or which may dominate the
other(Parlemen secara utuh adalah lebih tinggi dari bagian
pemilih, pemerintah dan mejelis, tidak seorang pun dapat
mendominasi satu dengan yang lainnya).
j. The government as a whole is only indirectly responsible to the
electore (Pemerintah secara utuh hanya bertanggungjawab
kepada pemilih secara tidak langsung)
k. Parliament is the focus of power in the political system(Parlemen
adalah pusat kekuasaan di dalam sistem kekuasaan/
politik).331

Dalam sejarah ketatanegaraan, sistem pemerintahan


parlementer rawan instabilitas, dalam arti bahwa dalam sistem
pemerintahan parlementer seorang Kepala Pemerintahan, yang

331
Saldi Isra, Op.Cit., h. 30

165
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

lazimnya dijabat seorang Perdana Menteri rawan untuk


dijatuhkan sebelum masa jabatannya berakhir. Beberapa contoh
negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer antara
lain: Inggris, Belanda, Malaysia, Thailand, Jerman, India, dan
Singapura.

2. Sistem Pemerintahan Presidensial (Presidential


System)
Jika sistem pemerintahan perlementer Berkaitan dan tidak
dapat dipisahkan dengan perkembangan sistem parlementer
Inggris, maka sistem pemerintahan presidensial tidak dapat
dipisahkan dari Amerika Serikat.Amerika Serikat tidak saja
merupakan tanah kelahiran sistem presidensial, tetapi juga
contoh ideal karena memenuhi hampir semua kriteria yang ada
dalam sistem pemerintahan presidensial.CF. Strong menyatakan,
“the principle of the non-parliamentary or fixed executive is most per-
fectly illustrated in the case of the United State of America”.332Senada
dengan pendapat itu, Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa
Amerika Serikat sering disebut sebagai salah satu contoh ideal
pemerintahan presidensial di dunia.333 Oleh karena itu, Douglas
V. Verney mengingatkan bahwa kajian terhadap sistem
presidensial sebaiknya dimulai dengan menelaah sistem politik
Amerika Serikat.334
Berbeda dengan sejarah sistem pemerintahan parlementer,
sistem pemerintahan presidensial tidak dibangun melalui proses
evolusi yang lambat dan panjang. Kelahiran sistem peme-
rintahan presidensial tidak dapat dilepaskan dari perjuangan
Amerika Serikat menentang dan melepaskan diri dari kolonial
Inggris335 serta sejarah singkat pembentukan konstitusi Amerika
Serikat.336

332
C.F. Strong, Op.Cit., h. 233
333
Jimly Asshddiqie, Pokok-Pokok....Op.Cit. h. 316
334
Saldi Isra, Op.Cit., h. 31
335
Hendarmin Ranadireksa, Op.Cit. h. 127
336
I Made Pasek Diantha, Op.Cit., h. 33

166
Teori Sistem Pemerintahan

Berkaitan dengan upaya melepaskan diri dari koloni


Inggris tersebut, Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim
menyatakan:
Latar belakang negara Amerika Serikat menganut sistem presidensial
adalah kebencian rakyat terhadap pemerintahan Raja George III.
Sehingga mereka tidak menghendaki bentuk negara monarki dan
untuk mewujudkan kemerdekaannya dari pengaruh Inggris, maka
mereka lebih suka mengikuti jejak Montesquieu dengan mengadakan
pemisahan kekuasaan, sehingga tidak ada kemungkinan kekuasaan
yang satu akan melebihi kekuasaan yang lainnya, karena dalam Trias
Politica itu terdapat sistem checks and balances.337

Sebagai bentuk penolakan terhadap Inggris, pembentuk


konstitusi (framers of the constitution) Amerika Serikat berupaya
membentuk sistem pemerintahan yang berbeda dengan sistem
pemerintahan parlementer yang dipraktikkan di lnggris.
Menurut CF. Strong, the conception of independence of the executive
from the legislative merupakan salah satu konsep yang disepakati
pendiri negara Amerika Serikat.338 Pemisahan itu diatur dalam
Article I dan Article II Konstitusi Amerika Serikat. Tidak hanya
pemisahan antara legislatif dan eksekutif, jabatan presiden
sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan
pertama kali muncul di Amerika Serikat pada abad ke-18.339
Sebagaimana dinyatakan oleh Jack Bell, sekalipun memilih
presiden dan menolak raja, para perancang konstitusi Amerika
Serikat memutuskan bahwa presiden harus mempunyai
kekuatan yang memadai untuk menyelesaikan rumitnya
masalah bangsa (the Executive must have the power to cope with the
problems of nation).340 Karena itu, dirancanglah konstitusi yang
memberikan kekuasaan besar kepada presiden, namun dengan
tetap menutup hadirnya pemimpin sejenis raja yang tiran.341

337
Moh. Kusnardi dan Harmaliy Ibrahim, Pengantar…Op.Cit., h. 177
338
C.F. Strong, Op.Cit., h. 233
339
Denny Indrayana, Mendesain Presidensial Yang Efektif, Bukan “Presiden Sial
“ atawa Presiden Sialan”, Makalah, 11-13 Mei 2007, Bukittinggi, h. 3
340
Saldi Isra, Op.Cit., h. 32
341
Ibid. h. 32

167
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

Berbeda dengan sistem parlementer, sistem pemerintahan


presidensial tidak hanya meletakkan presiden sebagai pusat
kekuasaan eksekutif, tetapi juga pusat kekuasaan negara.
Artinya, presiden tidak hanya sebagai kepala pemerintah (chief
of executive), tetapi juga sebagai kepala negara (chief of state).Itulah
sebabnya, rentang kekuasaan presiden tidak hanya menyentuh
wilayah kekuasaan eksekutif, tetapi juga merambah pada fungsi
legislasi serta kewenangan di bidang yudisial. 342 Dengan
demikian, rentang kekuasaan presiden begitu luas. Jika dalam
sistem pemerintahan parlementer objek utama yang diperebut-
kan adalah parlemen, maka dalam sistem pemerintahan
presidensial objek utama yang diperebutkan adalah presiden.343
Sekalipun dalam sistem pemerintahan presidensial tidak satu
pun lembaga negara yang menjadi fokus kekuasaan,344 peran
dan karakter individu presiden lebih menonjol dibandingkan
dengan peran kelompok, organisasi, atau partai politik yang ada
dalam negara.345Karena itu, mayoritas pendapat ahli dalam
menguraikan karakter sistem presidensial cenderung mem-
perhadapkan posisi presiden dengan lembaga legislatif.
Sistem pemerintahan presidensial adalah sistem peme-
rintahan yang terpusat pada jabatan presiden sebagai kepala
pemerintahan (head of government) sekaligus sebagai kepala
negara (head of state). Dalam sistem pmerintahan presidensial
tidak dipisahkan antara jabatan Presiden sebagai kepala negara
(head of state) dan kepala pemerintahan (head of government).
Menurut Witmandan Wuest sebagaimana dikutip Inu
Kencana Syafiie dan Andi Azikin, ada empat karakteristik dan
syarat sistem pemerintahan presidensial, yaitu :
a. it is base upon the separation of power principle(Sistem
Presidensial berdasarkan pada prinsip pemisahan
kekuasaan).

342
Denny Indrayana, Lo.Cit.
343
Hendarmin Danadireksa, Op.Cit. h. 131
344
Douglas V. Verney, dalam Saldi Isra, Op.Cit., h. 38
345
Hendarmin Danadireksa, Op.Cit., h. 38

168
Teori Sistem Pemerintahan

b. the executive has no power to dissolve the legislative nor must he


resign when he loses the support of the majority of its membership
(Eksekutif mempunyai tidak mempunyai kewenangan untuk
membubarkan parlemen atau presiden tidak wajib mundur,
ketika kehilangan dukungan mayoritas dari parlemen).
c. there is no mutual responsibility between the president and his cabi-
net, the latter is wholly responsible to the chief of executive (Tidak
ada hubungan tanggung jawab antara presiden dan
kabinetnya, pada akhirnya seluruh tanggungjawab ada pada
Presiden).
d. the executive is chosen by electorate(Eksekutif dipilih oleh para
pemilih).346

Lebih lanjut, C.F. Strong menyatakan bahwa sistem


pemerintahan presidensial mempunyai karakteristik pokok
sebagai berikut:
a. Di samping mempunyai kekuasaan “nominal” (sebagai
kepala negara), presiden juga berkedudukan sebagai kepala
pemerintahan. Sebagai kepala pemerintahan, presiden
memiliki kekuasaan yang sangat besar.
b. Presiden tidak dipilih oleh parlemen (kekuasaan legislatif),
tetapi dipilih langsung oleh rakyat atau oleh dewan pemilih
seperti berlaku di Amerika Serikat.
c. Presiden tidak memegang kekuasaan legislatif.
d. Presiden tidak dapat membubarkan parlemen atau
kekuasaan legislatif. 347

Senada dengan pendapat-pendapat di atas, Jimly


Asshiddiqie menyatakan bahwa terdapat beberapa prinsip
pokok yang bersifat universal dari karakteristik sistem
pemerintahan presidensial:

346
Inu Kencana Syafiie dan Andi Azikin, Op.Cit., h. 29
347
C.F. Strong, Op.Cit., h. 239

169
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

a. Terdapat pemisahan yang jelas antara cabang kekuasaan


eksekutif dan legislatif.
b. Presiden merupakan eksekutif tunggal. Kekuasaan eksekutif
presiden tidak terbagi dan yang ada hanya presiden dan
wakil presiden.
c. Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara atau
sebaliknya, kepala negara adalah sekaligus merupakan
kepala pemerintahan.
d. Presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu atau
sebagai bawahan yang bertanggungjawab kepadanya.
e. Anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif
dan demikian pula sebaliknya.
f. Presiden tidak dapat membubarkan atau memaksa parlemen.
g. Jika dalam sistem parlementer berlaku prinsip supremasi
parlemen, maka dalam sistem presidensial berlaku prinsip
supremasi konstitusi. Karena itu pemerintahan eksekutif
bertanggungjawab kepada konstitusi.
h. Eksekutif bertanggungjawab langsung kepada rakyat yang
berdaulat.
i. Kekuasaan tersebar secara tidak terpusat seperti dalam sistem
parlementer yang terpusat pada parlemen.

Pendapat di atas sebenarnya esensinya tidak jauh berbeda


dengan pendapat-pendapat sebelumnya, namun lebih
mempertegas adanya supremasi konstitusi dalam sistem peme-
rintahan presidensial, maka meskipun diakui bahwa kekuasaan
presiden sebagai kepala pemerintahan, namun kekuasaan
presiden tersebut pada akhirnya tunduk pada konstitusi. Di
samping itu, Jimly Ashiddiqie juga mempertegas adanya
tanggung jawab presiden secara langsung kepada rakyat yang
berdaulat, karenanya Presiden sebagai kepala eksekutif harus
dipilih langsung oleh rakyat tidak melalui perwakilan. Pemilihan
langsung tersebut merupakan manisfestasi dari demokrasi
langsung.

170
Teori Sistem Pemerintahan

Berkaitan dengan sistem pemerintahan presidensial, Alan


R. Ball dan B. Guy Peters menyatakan bahwa sistem pemerin-
tahan presidensial mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Presiden adalah sebagai kepala negara dan sekaligus kepala
pemerintahan.
b. Presiden tidak dipilih oleh parlemen, tetapi langsung dipilih
oleh rakyat (popular elected).
c. Presiden bukan bagian dari parlemen, dan tidak dapat
diberhentikan oleh parlemen, kecuali melalui proses
pamakzulan (impeachment).
d. Presiden tidak dapat membubarkan parlemen.348

Sama halnya dengan pandangan Jimly Asshiddiqie, Dou-


glas V. Verney mengemukakan 11 (sebalas) karakteristik sistem
presidensial, yakni sebagai berikut:
a. The assembly remains as assembly only(Majelis hanya tetap
menjadi majelis).
b. The executive is not divided but is a president elected by the
people for a definite term at the time of assembly elections
(Eksekutif tidak terbagi, tetapi presiden dipilih oleh rakyat
untuk jangka waktu tertentu ketika pemilihan majelis).
c. The head of government is the head of state(Kepala pemerintahan
adalah kepala negara).
d. The president appoints head of departements who are his
subordinate(Presiden mengangkat kepala departemen yang
menjadi bawahannya).
e. The president is the sole of executive(Presiden adalah eksekutif
tunggal).
f. Members of assembly are not eligible for office in the administra-
tion and vice versa(Anggota-anggota majelis tidak dapat dipilih
untuk jabatan administrasi dan sebaliknya).
g. The executive is responsible to the constitution(Eksekutif
bertanggung jawab kepada konstitusi).

348
Denny Indrayana, Negara …Op.Cit., h. 198

171
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

h. The president cannot dissolve or coerce the assembly(Presiden


tidak dapat membubarkan atau memaksa majelis).
i. The assembly is ultimately supreme over the other branches of gov-
ernment and there is no fusion of the executive and legislative
branches in a parliament(Majelis adalah lembaga tertinggi di
antara lembaga pemerintahan dan tidak ada peleburan/
penyatuan lembaga eksekutif dan legislatif di parlemen).
j. The executive is directly responsible to the electorate(Eksekutif
bertanggung jawab secara langsung kepada pemilih).
k. There is no focus of power in the political system(Tidak ada
konsentrasi kekuasaan dalam sistem kekuasaan/politik.349

Amerika Serikat merupakan salah satu contoh yang meng-


gunakan prinsip-prinsip sistem pemerintahan presidensial.
Bahkan Amerika Serikat disebut sebagai salah satu contoh ideal
pemerintahan presidensial di dunia, bahkan disebut sebagai
“mother of presidensial system”.

3. Sistem Pemerintahan Campuran (mixed


systematauhybrid system)
Di samping sistem pemerintahan parlementer dan sistem
pemerintahan presidensial sebagaimana telah dijelaskan di atas,
dalam kepustakaan hukum ketatanegaraan juga dikenal sistem
pemerintahan campuran (mixed system atauhybrid system).Sistem
pemerintahan campuran merupakan penggabungan antara
sistem pemerintahan parlementer dengan sistem pemerintahan
presidensial, namun bukan merupakan campuran secara
menyeluruh antara kedua sistem pemerintahan tersebut, sebab
sistem ini hanya menggabungkan antara beberapa elemen sistem
pemerintahan presidensial dan elemen sistem pemerintahan
parlementer.
Dalam sistem campuran ini, peran kepala negara dijalankan
oleh Presiden, sedangkan peran kepala pemerintahan dilakukan
oleh Perdana Menteri. Meskipun Presiden berkedudukan selaku

349
Douglas V. Verney, dalam Saldi Isra, Op.Cit. h. 40

172
Teori Sistem Pemerintahan

kepala negara, Presiden tidak hanya menjalankan tugas-tugas


seremonial kenegaraan secara simbolik. Dalam sistem campuran
ini, Presiden memiliki kewajiban bertanggungjawab kepada
rakyat secara langsung, sebagai konsekuensi dari pemilihan
presiden oleh rakyat secara langsung. Berbeda dengan kedu-
dukan Presiden, kedudukan kepala pemerintahan, lazimnya
dijabat oleh Perdana Menteri, selain bertanggungjawab kepada
presiden, juga bertanggungjawab kepada parlemen.
Dalam sejarah ketatanegaraan sistem campuran ini, pertama
kalinya dianut dan dikembangkan oleh Perancis pada masa
Republik Kelima, yang dimulai pada tahun 1958. Oleh karena
itu sistem campuran ini juga disebut sebagai Sistem Perancis
(French System), atau sistem Semi-Presidensial (Semi-Presidential
System), bahkan dapat juga disebut sebagai sistem pemerintahan
semi-parlementer (Semi-parliamentary system). Patut dicatat di
sini, bila yang lebih utama adalah kedudukan presiden, dan
elemen sistem parlementer dicangkokkan ke dalam sistem
presidensial, maka sistem ini disebut dengan semi atau quasi
presidensial. Misalnya, Perancis, Rusia dan Gabon. Sebaliknya,
apabila dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan yang
lebih menonjol adalah elemen sistem parlementernya, maka
disebut dengan semi atau quasi parlementer. Misalnya, Jerman,
India, dan Singapura.
Sama halnya dengan dua sistem pemerintahan terdahulu,
parlementer dan presidensial, membahas sistem pemerintahan
semi-presidensial tidak mungkin lepas dari kajian mengenai
perkembangan ketatanegaraan Perancis.350 Sejarah itu dimulai
ketika gedung pemerintahan Perancis dikuasai oleh tentara
Aljazair tanggal 13 Mei 1958.Kejadian ini menunjukkan makin
lemahnya pemerintahan Perancis di mata para koloni. Charles
Andre Joseph Marie de Gaulle, seorang jenderal berpengaruh
saat itu, menilai kejadian tersebut karena kesalahan para
politikus. Menurut Charles Andre Joseph Marie de Gaulle, sistem
multi-partai yang berlaku ketika itu menyebabkan lemahnya
pemerintahan. Untuk mencegah keadaan bertambah parah, pada

350
Saldi Isra, Op.Cit.,h. 43

173
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

1 Juni 1958, di bawah naungan Konstitusi Republik Keempat,


National Assembly menunjuk Charles Andre Joseph Marie de
Gaullesebagai Perdana Menteri.Selain menjabat Perdana
Menteri, Charles Andre Joseph Marie de Gaulle diberi tugas
khusus membentuk konstitusi baru dengan kekuasaan darurat
selama enam bulan.Penunjukan dan tugas khusus itu tidak
terlepas dan sosok Charles Andre Joseph Marie de Gaulle yang
diperlukan untuk menyatukan perpecahan yang terjadi di
Perancis.351 Sesuai dengan tugas itu, melalui referendum yang
didukung 79,2 persen suara, konstitusi baru hasil kerja Charles
Andre Joseph Marie de Gaulle disahkan.
Sejak saat itu, secara resmi terbentuk Republik Kelima
Prancis dengan sistem baru yang disebut oleh Maurice Duver-
ger sebagai ‘A New Political System Model: A Semi-Presidential
Government’.352Model baru itu sering juga disebut sebagal sistem
pemerintahan campuran,353 atau Ito D. Duchacek menyebutnya
dengan hybrid system.354
Terlepas dan perbedaan pandangan itu, sistem semi-
presidensial, meski tidak seluas dua sistem pemerintahan ter-
dahulu, sistem pemerintahan semi presidensial juga berkembang
di beberapa negara. Setidaknya, sistem pemerintahan campuran
model Perancis juga diterapkan pada negara-negara bekas
koloninya, seperti Rusia, Gabon, Mali dan Senegal, serta
beberapa negara-negara di Eropa Timur, seperti: Polandia dan
Bulgaria. Polandia memiliki sistern campuran yang elemen-
elemen pemerintahannya sama dengan sistem hybrid Perancis.
Portugal juga menganut “mixed system” yang juga meme-
ngaruhi negara-negara bekas koloninya, seperti Mozambik dan
Angola.

351
Ibid
352
Maunice Duverger, ‘A New Political System Model: A Semi-Presidential Gov-
ernment’, dalam Saldi Isra, Op.Cit., h. 43
353
Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah:
Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Jakarta: UI Press, 2006, h.
89
354
Ibid.

174
Teori Sistem Pemerintahan

Secara umum sistem pemerintahan semi-presidensial


memisahkan pemilihan presiden dengan pemilihan lembaga
legislatif. Menurut Sartori, semi-presidential system perform on a
power sharing basis: the president must share power with a prime min-
ister; and, in turn, the prime minister must obtain continuous parlia-
mentary support.355 Dengan adanya pembagian kekuasaan antara
presiden dan perdana menteri, maka akan terjadi dual-executive
dalam pelaksanaan pemerintahan. Rod Hague, Martin Harropp,
dan Shaun Breslin menyatakan bahwa:356
The dual executive combines an elected president performing political task
with the prime minister who heads a cabinet accountable to parliament. The
prime minister, usually appointed by the president, is responsible for day-to-
day domestic government (including relation with the assembly) but the presi-
dent retains an oversight role, responsibility for foreign affairs, and can usu-
ally take emergency power.

(Dual executive mengkombinasikan pelaksanaan tugas politik Presiden


terpilih dengan Perdana Menteri sebagai memimpin kabinet yang
bertanggung jawab kepada parlemen. Perdana Menteri umumnya
diangkat oleh Presiden dan bertanggung jawab hari ke hari mengenai
pemerintahan dalam negeri kepada Presiden (termasuk hubungan
dengan majelis), namun Presiden tetap mempertahankan peran
pengawasan, bertanggung jawab untuk hubungan luar negeri dan
umumnya memegang kekuasaan darurat).

Meskipun berbagi kekuasaan dengan perdana menteri,


presiden diberi otoritas untuk memilih perdana menteri (presi-
dent usually has the constitutional power to select prime minister).
Karenanya, dalam negara yang menganut mix-system, maka
sistem pemerintahannya dapat menjadi sistem semi-presidensial
dan sistem semi-parlementer.Jika konstitusi atau situasi politik
cenderung memberikan kekuasaan lebih besar bagi presiden,
sistem pemerintahan campuran lebih sering disebut dengan
sistem semi-presidensial.Sebaliknya, jika perdana menteri dan
badan legislatif mempunyai kekuasaan lebih besar dari presiden,

355`
Ibid., h. 44
356
Ibid,

175
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

sistem campuran lebih sering disebut dengan sistem semi-


parlementer.
Berkaitan dengan hal tersebut, Duverger menyatakan bahwa
sebuah sistem pemerintahan dikatakan semi presidensial jika
konstitusi negara bersangkutan menyatukan tiga unsur berikut:
a. the presiden of the republic is elected by universal suffrage(Presiden
republik dipilih oleh orang yang mempunyai hak pilih);
b. he possesses quite considerable power(Presiden mempunyai
kewenangan yang cukup besar).
c. he has opposite him, however, a prime minister and ministers who
possesses executive and governmental power can stay in the office
only if the parliament does not shop its opposition to them…..
(Presiden mempunyai lawan (oposisi), perdana menteri dan
menteri-menteri yang mempunyi kewenangan eksekutif dan
pemerintahan dapat menduduki jabatan jika parlemen tidak
menggunakan hak oposisinya kepada mereka).357

Meskipun Presiden dipilih melalui pemilihan umum,dan


presiden memiliki kekuasaan cukup besar, namun Duverger
menyatakan bahwa dalam praktik muncul tiga varian, yaitu (1)
negara dengan presiden sebagai boneka seperti Austria, Irlandia,
dan Islandia; (2) negara dengan kedudukan presiden yang sangat
berkuasa, yaitu Perancis; dan (3) negara dengan kedudukan
Presiden dan Pemerintah (Perdana Menteri) yang relatif
seimbang, yaitu Republik Weimar, Finlandia, dan Portugal.358
Dengan adanya varian itu, salah satu unsur yang harus dipenuhi
untuk menyatakan sebuah negara dikatakan menggunakan
sistem pemerintahan semi-presidensial, jika kekuasaan presiden
sangat besar atau sekurang-kurangnya presiden dan pemerintah
(Perdana Menteri) yang relatif seimbang.
Sama dengan halnya dengan sistem pemerintahan
presidensial, masa jabatan presiden dalam sistem semi-
presidensial adalah tetap (fixed-term).Karenanya, lembaga

357
Maunice Duverger, ‘A New Political System Model: A Semi-Presidential Gov-
ernment’, dalam Saldi Isra, Op.Cit., h.45
358
Ibid

176
Teori Sistem Pemerintahan

legislatif tidak dapat memecat presiden sebelum berakhir masa


jabatannya. Dengan mencontohkan praktik sistem pemerintahan
semi-presidensial Perancis, TA. Legowo menyatakan:
Badan legislatif Perancis tidak dapat memecat presiden di tengah masa
jabatan.Sebaliknya, presiden dapat membubarkan majelis rendah
(tetapi tidak untuk majelis tinggi).Selanjutnya presiden dapat
mengangkat dan memecat perdana menteri, yang secara efektif adalah
kepala kabinet dan lembaga legislatif.Sama halnya dengan model
parlementer, majelis rendah dapat juga memaksa perdana menteri
untuk turun dan jabatannya melalui mosi tidak percaya. Jadi, dalam
model Perancis, perdana menteri amat rawan terhadap kemungkinan
pemecatan oleh presiden maupun oleh lembaga legislatif.359

Senada dengan pendapat di atas, Sartori mengemukakan 5


(lima) karakter umum sistem pemerintahan semi-presidensial
sebagai berikut:360
a. The head of state (president) is elected by popular vote - either di-
rectly or indirectly- for a fixed of office (Kepala negara (presiden)
dipilih oleh rakyat yang memiliki hak suara (popular vote),
baik secara langsung maupun tidak untuk masa jabatan
tertentu)
b. The head of state shares the executive power with a prime minister,
thus entering a dual authority structure whose three defining cri-
teria are(Kepala negara membagi kekuasaan eksekutif dengan
perdana menteri, sehingga menyebabkan struktur dual au-
thority).
c. The president is independent from parliament, but is not entitled
to govern alone or directly and therefore his will must be conveyed
and processed via his government(Presiden mandiri dari
parlemen, akan tetapi tidak mempunyai hak untuk meme-
rintah sendiri atau secara langsung, dan oleh karena itu
kehendak Presiden harus disampaikan dan diproses melalui
pemerintahannya).
d. Conversely, the prime minister and his cabinet are president-inde-
pendent in that they are parliament-dependent: they are subject to
359
T.A. Legowo, Op.Cit., h. 91
360
Giovanni Sartori, dalam Saldi Isra, op.cit., hlm 47.

177
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

either parliamentary confidence or no confidence (or both), and ei-


ther case need the support of parliamentary majority (Sebaliknya,
perdana menteri dan kabinetnya adalah mandiri dari
presiden, dan bergantung kepada parlemen: mereka tunduk,
terhadap kepercayaan parlemen atau tidak (atau keduanya)
dan kasus yang lain membutuhkan dukungan mayoritas
parlemen).
e. The dual authority structure of semi-presidentialism allows for dif-
ferent balances and also for shifting prevalances of power within
the executive, under the strict condition that the ‘autonomy poten-
tial’ of each component unit of the executive does subsist(Struktur
dual authority semi-presidensialisme mengizinkan untuk
keseimbangan yang berbeda dan juga pembalikan prevelensi
kekuasaan di dalam eksekutif, di bawah kondisi tertentu
bahwa potensi otonomi dari setiap komponen unit eksekutif
tetap bertahan).

Senada dengan Sartori, Rafael Mart’nez Martinez dalam


‘Semi-Presidentialism: A Comparative Study”, menyatakan bahwa
ada lima syarat yang diperlukan untuk menyatakan sebuah
sistem pemerintahan disebut dengan semi-presidensial, yakni:361
a. The existence of a dual executive power(terdapat dua kekuasaan
eksekutif).
b. The President of the Republic be directly elected by universal suf-
frage (Presiden republic dipilih secara langsung oleh pemilih)
c. The constitution confer widepowers on the president(Konstitusi
memberikan kekuasaan yang luas kepada presiden).
d. The president appoint the prime minister and chair the ministerial
council (Presiden menunjuk perdana menteri dan memimpin
dewan menteri).
e. The government be accountable to the parliament(Pemerintah
bertanggung jawab kepada perlemen).

361
Rafael Mart’nez Martinez, dalam Saldi Isra, Ibid

178
Teori Sistem Pemerintahan

Dari karakteristik-karakteristik yang dikemukakan para ahli


tersebut, sistem pemerintahan campuran adalah sistem
pemerintahan yang berupaya untuk mencarikan titik-temu
(meeting-point) antara sistem pemerintahan presidensial dan
sistem pemerintahan parlementer.Fungsi ganda (dual-function)
presiden sebagaimana dalam sistem pemerintahan presidensial
tetap dipertahankan.Namun, sebagai kepala pemerintahan,
presiden berbagi kekuasaan (power sharing) dengan perdana
menteri yang menimbulkan dual executive system.362Dengan
adanya pembagian tersebut, potensial terjadi ketegangan antara
presiden dan perdana menteri.Ketegangan itu dapat terjadi jika
kekuatan mayoritas atau partai politik pemenang pemilihan
umum legislatif berbeda dengan partai politik presiden. Dengan
demikian, karakter kunci sistem pemerintahan semi-presidensial
terletak pada fungsi ganda presiden yang dalam fungsi eksekutif,
presiden berbagi kekuasaan dengan perdana menteri yang juga
memegang jabatan eksekutif.

362
Dalam sistem semi-presidensial Prancis, misalnya, menurut Eva Liu: France
has a dual executive system in which the President of the Republic and the Prime
Minister are both responsible for the executive functions of the government, dalam
Saldi Isra, Ibid., h. 48

179
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

180
BAB VIII
TEORI NEGARA HUKUM

A. Peristilahan dan Pengertian


Dalam kepustakaan Hukum Tata Negara, Istilah “Negara
Hukum” memiliki berbagai padanan, misalnya Rule of Law
(Inggris), Rechtsstaat (Belanda, Jerman), Nomokrasi (berasal dari
bahasa Inggris : Nomocracy), Etat de Droit (Perancis), Stato di
Dirrito (Italia), dan Socialits Legality (negara komunis/sosialis).
Dalam perkembangan mengenai gagasan negara hukum
terdapat dua tradisi besar yaitu tradisi Eropa Kontinental yang
disebut “rechtsstaat” dan tradisi negara hukum Anglo Saxon yang
disebut “rule of law”. 363 Gagasan mengenai rechtsstaat ini
berkembang di Eropa Barat dalam suasana individualisme dan
liberalisme yang sedang tumbuh di sekitar abad ke-XVIII yang
dipelopori oleh Imanuel Kant dengan mengidealkan paham
laifaire laissez aller dan gagasan negara penjaga malam (nachwa-
chersstaat).364 Dalam gagasan ini, setiap warga negara dibiarkan
menyelanggarakan sendiri usaha-usaha kemakmurannya.
Negara tidak perlu ikut campur dalam urusan-urusan yang
dapat ditangani oleh masyarakat sendiri. Philipus M.
Hadjonmenyatakan bahwa konsep rechtsstaat lahir dari suatu

363
Mahkamah Konstitusi, Laporan Penelitian Mekanisme Impeachment dan
Hukum Acara Mahhakamah Konstitusi, Jakarta: Sekjen MK RI, 2005, h. 12
364
Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Yogyakarta: Liberty,
1993, h. 28

181
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

perjuangan menentang absolutisme, sehingga sifatnya


revolusioner.365 Sedangkanrule of law merupakan konsep yang
lahir dalam sistem common law yang berkembang dengan cara
evolusioner.366 Sehingga dari segi karakter, antara rechtsstaat dan
rule of law terdapat perbedaan. Konsep rechtsstaat bertumpu pada
administratief, sedangkan rule of law bertumpu pada judicial.367
Namun pada hakikatnya, kedua-duanya bertujuan untuk
memberikan perlindungan hukum terhadap rakyat melalui
pembatasan kekuasaan pemerintah oleh hukum.368
Dalam Ensiklopedia Indonesia (N-Z), istilah negara hukum
(rechtsstaat) yang dilawankan dengan negara Kekuasaan”
(machtsstaat) dirumuskan sebagai berikut: negara hukum adalah
negara yang bertujuan untuk menyelenggarakan ketertiban
hukum, yakni tata tertib yang umumnya berdasarkan hukum
yang terdapat pada rakyat. Dalam negara Hukum kewajiban
pemerintah yang utama ialah memelihara hukum, menjaga
ketertiban umum supaya jangan sampai terganggu dan agar
semuanya berjalan menurut hukum.Sebaliknya, negara
kekuasaan adalahnegara yang bertujuan untuk memelihara dan
mempertahankan kekuasaan semata-mata. Gumplowicsa.l.
mengajarkan bahwa negara itu tidak lain daripada “organisasi
dari kekuasaan golongan kecil atas golongan besar”. Menurut-
nya, hukum berdasarkan ketaatan golongan yang lemah kepada
golongan yang kuat.
D.Mutiara’s369menyatakan bahwa negara hukum ialah suatu
negara yang susunannya diatur dengan sebaik-baiknya, dalam
undang-undang, sehingga segala kekuasaan dari alat-alat
pemerintahannya berdasarkan atas hukum. Rakyat tidak boleh
bertindak sendiri-sendiri menurut semaunya yang bertentangan
dengan hukum.Negara hukum itu ialah negara yang diperintahi
bukan oleh tetapi oleh undang-undang (a state that not governed
by men, but by law). Karena itu di dalam negara hukun hak-hak

365
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya:
Bina Ilmu, 1987, h. 72
366
Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bandung:
Mandar Maju, 2011, h. 4

182
Teori Negara Hukum

rakyat dijamin sepenuhnya oleh negara dan terhadap Negara


sebaliknya kewajiban-kewajiban rakyat harus dipenuhi
seluruhnya dengan tunduk dan taat kepada segala peraturan
pemerintah dan undang- undang negara.
Menurut Juniartobahwa asas negara hukum atau asas the
Rule of Law, berarti dalam penyelenggaraan negara tindakan-
tindakan penguasa harus didasarkan kepada hukum, bukan
didasarkan pada kekuasaan atau kemauan dari pada penguasa-
nya belaka dengan maksud untuk membatasi kekuasaan pe-
nguasa dan bertujuan melindungi kepentingan masyarakatnya
yaitu perlindungan terhadap hak-hak asasi dari pada-anggota
masyarakatnya dari tindakan sewenang–wenang.370
Wirjono Projdodikoro memberikan pengertian bahwa
negara hukum merupakan negara di mana penguasa atau
pemerintah sebagai penyelenggara negara dalam menjalankan
tugas kenegaraan terikat pada peraturan hukum yang berlaku.371
Muhammad Yamin mendefinisikan negara hukum sebagai suatu
negara yang menjalankan pemerintahan yang tidak menurut
kemauan orang-orang yang memegang kekuasaan, melainkan
menurut aturan tertulis yang dibuat oleh badan-badan
perwakilan rakyat yang terbentuk secara sah sesuai dengan asas
“the laws and not man shall govern”.372
Negara hukum merupakan negara yang berkembang dari
prinsip “freedom under the rule of law” yakni negara yang
didasarkan pada kebebasan, namun dalam perkembangannya

367
Ibid
368
Mukti Fajar, Tipe Negara Hukum,cet.2, Malang: Bayumedia Publishing,
Malang, 2005, h. 6
369
D’ Mutiar’as dalam Mukti Fajar, Ibid
370
Joeniarto, Negara Hukum, Yogyakarta: YBP Universitas Gajah Mada, 1981,
h. 7
371
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Jakarta:
Dian Rakyat, 1977, h. 10
372
M. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Siguntang,
1971, h. 74

183
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

kebebasan tersebut dibatasi oleh hukum.373 Joeniarto menyata-


kan bahwa negara hukum merupakan negara di mana tindakan
penguasanya harus dibatasi oleh hukum.374 Ide pembatasan
terhadap kebebasan pemerintahan merupakan prinsip utama
dalam negara hukum.375Tujuan negara hukum adalah adanya
ketentuan yang akan menjadi dasar wewenang pemerintah
dalam melakukan tindakan. Hukum sebagai dasar kekuasaan
negara dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala
bentuknya dilakukan di bawah kekuasaan hukum. Hotma P.
Sibuea menyatakan:376
“Jika ada pengakuan bahwa kekuasaan penguasa bersumber dari
hukum, berarti kekuasaan bukan merupakan kekuasaan yang bersifat
mutlak (absolut) tanpa batas, tetapi kekuasaan yang dibatasi oleh
hukum. Konsekuensi atas pengakuan yang demikian mengandung arti
bahwa bahwa penguasa tidak dapat bertindak sewenang-wenang”.

Negara hukum memang ditujukan untuk menghindari


tindakan penguasa yang sewenang-wenang.377 Negara hukum
memberikan pembatasan terhadap kekuasaan negara atau
pemerintah. Kekuasaan pemerintah yang terbatas merupakan
ciri dari adanya kedaulatan rakyat. Kedauatan rakyat diwujud-
kan melalui adanya perlindungan hukum melalui undang-
undang yang akan menjadi pedoman pemerintah dalam ber-
tindak. Sehingga tidak boleh sedikitpun suatu undang-undang
memberikan kerugian bagi rakyat.

373
Brianz Z. Tamanaha, On the Rule of Law, History, Politic, Theory, ed. 4, Cam-
bridge university Press, 2006, h. 6
374
Joeniarto, Op.Cit., h. 8
375
Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,
2011, h. 16
376
Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan dan Asas-Asas
Umum Pemerintahan yang Baik, Jakarta: Erlangga, 2010, h. 49
377
Irianto A. Baso Ence, Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah
Konstitusi; Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi, Bandung:
Alumni, 2008, h. vii

184
Teori Negara Hukum

B. Pembedaan Negara Hukum


Secara teoritis negara hukum dapat dibedakan sebagai
berikut:
a. Fungsi dan tujuan negara itu dapat dibedakan dalam fungsi
dan tujuan negara yangklasik (asli) serta fungsi dan tujuan
negara yang moderen. Fungsi dan tujuan negara yang klasik,
ialah hanya memelihara ketertiban dan keamanan masya-
rakat saja, disebut dengan negara yangg negara penjaga
malam (nachtwakerstaat). Sedang fungsi dan tujuan negara
yang modern ialah bahwa di samping memelihara ketertiban
dan keamanandan negara, juga berfungsi dan bertujuan
untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum bagi seluruh
warganya dalam arti seluas luasnya, jasmaniah-rokhaniah,
di lapangan ekonomi, sosial kultural dan lain lain (welfare
State).
b. Hukum dapat diartikan dalan artian sempit atau formil
(tertulis), berupa undang undang dan peraturan lainnya yang
dibuat oleh penguasa atau badan legislatif suatu negara, dan
hukum dalam arti yang luas atau materiil, baik tertulis mau-
pun tidak tertulis, yang mengandung nilai nilai kebenaran
dan keadilan, yang merupakan “ just law” (keadilan).378

Berdasarkan pendekatan segi fungsi dan tujuan negara,


dihasilkan dua tipe negara hukum, yang pada umumnya oleh
para sarjana dinamakan ‘’negara hukum dalam arti sempit atau
formil” dan “negara hukum dalam arti luas atau materiil”.
Utrecht menyebut dengan “negara hukum klasik” (kinssieke
rechtsstaat) untuk negara hukum dalam arti formil, dan “negara
hukun modern” (modern rechtsstaat) untuk negara hukumdalam
arti yang materiil. 379
Negara hukum dalan arti formil (sempit, klasik) ialah
negarayang kerjanya hanya menjaga agar jangan sampai ada

378
A. Mukti Fajar dan Isrok, Negara Hukum, Produksi “Si Unyil”, Malang,
1988, hlm 22-23.
379
Ibid,h.23

185
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

pelanggaran terhadap ketentraman dan ketertiban umum,


seperti yang telah ditentukan oleh hukum yang tertulis (undang
undang). Negara hanya bertugas melindungi jiwa, benda atau
hak hak azasi wargannya secara pasif. Negaratidak ikut campur
tangan dalam bidang perekonomian atau penyelenggaraan
kesejahteraanrakyat, karena yang berlaku dalam lapangan
ekonomi adalah prinsip “laiesez faire, laissez aller”. Bahkan
menurut Utrecht, negara hanya mempunyai tugas primer untuk
melindungi dan menjamin kedudukan ekonomi dari golongan
penguasa (rulling class) dan bisa disebut dengan “negara jaga
malam”.
Negara hukun dalam arti materiil (luas, modern) ialah ne-
gara yang dikenal dengan istilah “welfare state” (“wolrvaarstaat”/
“wehlfarstaat”), yang bertugas menjaga keamanan dalam arti kata
seluas luasnya, yaitu keamanan sosial (social, security) dan
menyelenggarakan kesejahteraan umum, berdasarkan prinsip-
prinsip hukum yang benar dan adil, sehingga hak azasi warga
negaranya benar-benar terjamin dan terlindungi.
W.Friedman dalam bukunya, “Law in a changing society” juga
berpendapat bahwa kata “Rule of Law” dapat dipakai dalam arti
formil (in the formal sense) dan dalan arti materiil (ideological
sense).Rule of Law dalan arti formil, tidak lain artinya dari pada
“organized public power” atau kekuasaan umum yang terorganisir,
sehingga setiap negarapun mempunyai rule of law, walaupun
negara totaliter sekalipun.Sedangkan rule of law dalam artian
yang materiil adalah rule of law yang merupakan ‘’rule of just
law” dan inilah yang dimaksud dengan menegakkan rule of law
yang sebenarnya.380
Begitu pula T.D. Weldon dalam bukunya “The Vocabulatory
of Politics” membagi Rule of Law dalam dua arti, yaitu yang
pertama bahwa Rule of Law yang tidak hanya memiliki sistem
peradilan yang sempurna di atas kertas saja(law in the book), akan
tetapi jugapada Rule of Law itu, yang pada kenyataan (law in
action) benar benar dapat menikmati keadilan, dalam arti

380
Ibid, h.24

186
Teori Negara Hukum

perlakuan yang adil baik dari sesama warganya maupun dari


pemerintahan.381

C. Latar Belakang Timbulnya Konsepsi Negara


Hukum
Istilah “rechtsstaat”(negara hukum) adalah suatu istilah yang
masih muda baru muncul di abad ke-XIX jika dibandingakan
istilah- istilah terkenal lainnya dalan ketatanegaraan, seperti
Demokrasi, konstitusi, kedaulatan dan sebagainya. Menurut
Soedirman Kartohadiprojo, bahwa istilah itu pertama kali
digunakan oleh Rudolf ven Gueist (l8l6- 1895), seorang guru
besar di Berlin (Jerman), di mana dalam bukunya “das Enslische
Verwaltungerechte”(1857) mempergunakan istilah “rechtsstaat”
untuk pemerintahan negara Inggris. Namun konsepsi negara
Hukum itu sendiri, sudah dicetuskan sejak abad ke-XVII di
negara negara Eropat Barat bersama-sama dengan timbulnya
perjuangan menentang kekuasaan yang tidak terbatas dari pada
para penguasa, yaitu para raja yang berkekuasaan absolut. Cita-
cita itu pada mulanya, sangat dipengaruhi oleh aliran indivi-
dualisme dan mendapat dorongan yang kuat dari Renaissance
serta Reformasi.382
Konsepsi atau ide negara hukum yangberhadapan secara
diametral dengan negara-negara kekuasaan (negara dengan
pemerintahan absolut), pada hakekatnya merupakan hasil dari
pada perdebatan yang terus menerus selama berabad-abad dari
para sarjana dan ahli filsafat, teori tentang negara dan hukum,
yaitu mengenai persoalan hakekat, asal mula, tujuan negara
dansebagainya. Khususnya masalah yang inti adalah selalu dari
manakah negara mendapat kekuasaannya untuk mengadakan
tindakan-tindakannyadan ditaatinya tindakan-tindakan ini oleh
rakyat. Demikianlah dalam hal ini dapat dicatat dua teori besar
tentang negara dan hukumyaitu tentang teori kedaulatan
(souverenete) dan teori asal mula negara yang telah menghasilkan
dua pola negara yakni negara dan pemerintahan absolut (negara
kekuasaan) dan negara hukum.

187
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

Jika pada abad pertengahan ada dualisme pemerintahan


(kekuasaan) antara Kerajaan Tuhan dan Kerajaan Dunia, antara
Gereja dan Raja, sebagai akibat doktrin Teokratis tentang asal
mula negara, di mana dominasi dan pengaruh Gereja begitu
besar terhadap kehidupan negara dan umat manusia, maka pada
zaman Renaissance, kekuasaan mutlak beralih kepada negara
(raja). Pada masa tersebut, negara mempunyai kedaulatan
mutlak dan pemerintahan yang sangat sentral dengan raja yang
absolut. Doktrin teokratis pada abad pertengahan yang bersifat
universal disempurnakan, dan digunakan untuk membesarkan
kabiasaan raja-raja yang mutlak.Dikatakannya, bahwa raja
bertahta karena kehendak Tuhan. Raja adalah wakil Tuhan di
dunia. Sehingga pelanggaran terhadap kekuasaan raja berarti
pelanggaran terhadap Tuhan.
Sarjana-sarjana dan ahli-ahli filsafat, seperti Niccolo
Machiavelli, Jean Bodin, Thomes Hobbes, Jellinek, John Austin
dan sebagainya, telah melahirkan suatu teori kedaulatan untuk
menopang paham negara dengan kekuasaan mutlak, yang me-
rupakan konsep kedaulatan tradisionil atau konsep kedaulatan
monistis. Pokok - pokok atau intisari konsep kedaulatan negara
ini ialah bahwa kekuasaan negara nerupakan kekuasaan yang
tertinggi dan tidak terbatas, yang dapat memaksakan
perintahnya dengan tidak mengindahkan perintah lainnya.
Negara yang memiliki kekuasaan tertinggi itu menghendaki
pentaatan mutlak dari semua warga negara. Kekuasaan negara
yang mutlak ini terjelma dalam bidang-perundang-undangan,
di mana negara merupakan pembentuk undang-undang yang
tertinggi.383
Niccolo Machiavell (1469-1627), pemikir Renaisance dari
Italia dengan bukunya yang terkenal “The Prince” (sang
Penguasa) telah mengajarkan, bahwa tujuan negara yang selalu
hendak dituju ialah tercapainya tata tertib dan ketentraman, dan
itu hanya dapat dicapai oleh pemerintahan seorang raja yang

381
Ibid, h.24
382
Ibid, h.4
383
Ibid, h.6

188
Teori Negara Hukum

tidak dihalang-halangi dan diiringi barang sesuatupun,


pemerintahan yang disentralisir pada raja yang absolut. Tujuan
negara itu dapat dicapai dengan segala cara, kalau perlu dengan
kekerasan, tipuan dan lain lain cara yang jahat sekalipun. Inilah
prinsip Machiavellisme yang sangat terkenal dan biasa dianut
oleh negara-negara totaliter (negara kekuasaan). Tujuan
menghalkan cara atau “The End justifies the mean”. Bagi
Machiavelli hukum dan kekuasaan itu adalah detik. Barang siapa
punya kekuasaan maka dia mempunyai hukum, barang siapa
tidak mempunyai kekuasaan tak pernah punya hukum. Undang-
undang hanya kemauan raja yang memegang kedaulatan mutlak
dan dilaksanakan dengan fisik.
Berkaitan dengan hal tersebut, Jean Bodin (1530-1596) juga
telah mengemukakan teori kedaulatan raja yang mutlak dalam
bukunya “Six Livres de la Republiqus” (1576). Dialah yang pertama-
tama menganggap kedaulatan (souvereingty), sebagai atribut
negara, yang membedakan negara dari persekutuan-
persekutuan lainnya. Hakekat negara melekat pada kedaulatan,
tanpa kedaulatan tidak ada negara.Kedaulatan dipersonifisir
oleh Raja. Raja yang berdaulat tidak bertanggung jawab terhadap
siapapun, kecuali terhadap Tuhan.Ajaran Bodin tentang
kedaulatan negara mutlak lahir di Perancis, karena ia hidup di
Perancis yangsedang dalam keadaan lemah oleh karena
pertikaian-pertikaian dalam negeri, pertikaian antara kaum
bangsawan dan pertikaian kaum agamawan. Menurut Bodin dan
partainya ‘’politiques”, bahwa perdamaian dan ketertiban hanya
dapat dicapai jika Perancis menindas pertikaian-pertikaian
politik dan agama itu dengan meletakkan semua kekuasaan pada
diri seorang raja.Karena itu, mereka menghendaki adanya
supremasi raja dalam semua bidang kehidupan.
Kemudian Thomas Hobbes (1588-1679) dengan teori
kontraknya yang berdasarkan hukum alam telah pula
memperkuat teori absolutisme Bodin. Menurut Hobbes keadaan
alamiah bukanlah keadaan yang aman, sentausa, adil dan
makmur, tetapi suatu keadaan kacau balau.Manusia yang satu
merupakan serigala bagi manusia yang lain (hommo homini lu-
pus). Untuk mempertahankan diri masing-masing, mereka lalu

189
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

saling mengadakan perjanjian dengan menyerahkan seluruh


hak-hak kodratnya sebagai individu kepada-seseorang (raja)
atau sekelompok orang yang ditunjuk untuk mengatur
kelompok mereka. Oleh karena itu,raja (sekelompok orang
tersebut) harus diberi kekuasaan penuh dan mutlak. Jadi, negara
(raja) harus berkekuasaan penuh dan mutlak, sehingga tidak bisa
ditandingi oleh kekuasaan siapapun. Dengan demikian, Tho-
mas Hobbes dengan bukunya yang sangat terkenal “Leviathan”
telah meletakan dasar-dasar filsafat negara yang mutlak,
kerajaan yang absolut. Dengan Adagium “princeps legibus solutus
est” (raja berada di atas undang undang ) dari Bodin betul-betul
berlaku.
Ajaran Bodin dan Hobbes diteruskan oleh John Austin (1790-
1859), Sarjana Hukum dari Inggris pelopor aliran analistis. Bagi
John Austin, yang berdaulat adalah “”legibus solute”, yakni
pembentuk hukum yang tertinggi (supreme legislator) dan hukum
positif adalah hukun yang dibuat oleh yang berdaulat. Karena
itu sebagai konsekuensinya, yang berdaulat berada di atas
hukum yang diciptakan sendiri. Konsep kedaulatan yang
monistis (kedaulatan negara), yang mutlak tersebut, dengan raja
menpunyai kekuasaan absolut, telah menimbulkan tindakan
sewenang-wenang dari raja, berupa penindasan terhadap hak-
hak asasi manusia, sehingga mendapat reaksi dan tantangan dari
aliran pluralisme politik yang nenyangkal kekuasaan tertinggi
dan tidak terbatas dari negara (penguasa negara).
Huge Krabbe (1857–1936), guru besar Universitas Leiden,
telah mengecamnya dari segi ethis, yaitu dari segi perasaan
hukum, yang bersumber pada individu dan bersifat ethis
normatif, karena merupakan manifestasi dari kesadaran
individu akan hal-hal yang baik atau buruk. Menurut Krabbe,
hukum bukanlah semata-mata apa yang secara formil di-
undangkan oleh badan legislatif suatu negara. Hukum (dan
kedaulatan sebagai aspeknya) bersumberkan perasaan hukum
anggota-anggota masyarakat.Perasaan hukum adalah sumber
dan merupakan pencipta hukum, negara hanya memberi bentuk
pada perasaan hukum itu. Hanya apa yang sesuai dengan
perasaan hukum itulah yang benar-benar merupakan hukum.

190
Teori Negara Hukum

Negara tidak berdaulat mutlak, karena perasaan hukun


menentukan dan membatasi isi hukum.Bukan negara yang
berdaulat, tetapi hukumlah yang berdaulat. Teori Krabbe ini
dikenal sebagai teori “kedaulatan hukum”, yang kemudian
menimbulkan bentuk negara hukun, yaitu suatu negara yang
susunannya diatur sedemikian rupa sehingga segala kekuasaan
dari alat pemerintahan didasarkan atas ketentuan hukum, begitu
pula segenap warganegaranya harus menundukkan diri pada
hukum itu. Kecaman dan tantangan terhadap teori kedaulatan
mutlak dari negara yang telah menimbulkan negara kekuasaan
itu juga dikemukakan oleh aliran Pragmatisme yang dipelopori
oleh Leon Duguit dan Harold J. Laski. Negara dipandangnya
sebagai suatu lembaga kesejahteraan umum (public service
instituta), dan hukum bukanlah serangkaian perintah-
perintah,tetapi adalah cara-cara penyelenggaraan kesejahteraan
umum itu.Dengan konsepsi ini, negara tidak berkuasa, tetapi
bertanggung jawab. Individu akan mentaati negara, karena
tujuan-tujuan yang diselengrakan oleh negara, yaitu
kesejahteraan umum.
Kemudian faham absolutisme juga rnendapat tantangan
dari sarjana sarjana tokoh dari Perjanjian Masyarakat.John Locke,
Rousseau, Immanuel Kant, dan lain lain yang sangat berbeda
dan bahkan bertentangan dengan Thomas Homas Hobbes, yang
juga menganut teori perjanjian masyarakat.John Locke (l652-
I704) dalam bukunya “Treaties of Civil Government ”(1690)
mengemukakan bahwa kekuasaan penguasa tidak pernah
mutlak, tetapi selalu terbatas, karena dalam rnengadakan
perjanjian dengan seseorang atau sekolompok orang, individu-
individu tidak menyerahkan seluruh hak-hak alamiah mereka.
Ada hak-hak alamiah yang merupakan hak asasi yang tidak
dapat dipisahkan atau dilepaskan, juga tidak oleh individu
sendiri. Penguasa yang diserahi tugas mengatur hidup individu
dalam ikatan kenegaraan yang harus menghomati hak-hak asasi
tersebut. Fungsi perjanjian masyarakat menurut John Locke ialah
untuk nenjamin dan melindungi hak-hak kodrat itu. Dengan
konstruksi demikian, John Locke menghasilkan negara yang
dalam kekuasaannya dibatasi oleh hak-hak kodrat yang tidak

191
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

dapat dilepaskan itu.Maka ajaran John Locke menghasilkan


negara konstitusionil, bukan negara absolut. Di dalam bukunya
itu, John Locke mengemukakan bahwa untuk membatasi
kekuasaan penguasa negara agar hak-hak asasi warga negara
terlindungi, maka kekuasaan negara dibagi dalam tiga
kekuasaan, yaitu Kekuasaan legislatif adalah lembaga yang
membuat undang-undang, dan kekuasaan eksekutif adalah
kekuasaan yang melaksanakan undang undang yang dibuat oleh
kekuasaan legislatif. Sedangkan kekuasaan federatif adalah
kekuasaan yang berkaitan dengan hubungan luar negeri,
kekuasaan menentukan perang, perdamaian, aliansi antar
negara, dan transaksi-transaksi dengan negara asing. Ketiga
cabang kekuasaan tersebut harus terpisah satu sama lain, baik
berkenaan dengan tugas maupun fungsinya serta mengenai alat
perlengkapan yang menyelenggarakannya. Dengan demikian,
tiga kekuasaan tersebut tidak boleh diserahkan kepada orang
atau badan yang sama untuk mencegah konsentrasi dan
penyalahgunaan oleh pihak yang berkuasa.
Kemudian teori pemisahan kekuasaan John Locke ini,
dikembangkan oleh De Secondat de Montesquieu (1689-1755)
dalam bukunya “The spirit of laws” yang membagi kekuasaan
ke dalam tiga bentuk, yakni kekuasaan legislatif (la puissance
legislative), kekuasaan eksekutif (la puissance executive) dan
kekuasaan yudisial (la puissance de juger). Dalam hal ini,
Montesquieu menekankan arti pentingnya kebebasan atau
kemandirian kekuasaan yudisial demi menjamin perlindungan
hak asasi warga negara yang pada masa itu menjadi korban
despotis raja-raja. Ajaran pemisahan tiga kekuasaan ini dikenal
dengan teori “trias politica”. Ketiga kekuasaan tersebut menurut
Montesquieu masing-masing terpisah satu sama lain, baik
mengenai tugas (functie) maupun perlengkapan (orgaan) yang
melakukannya. Dalam doktrin trias politica, baik dalam
pengertian pemisahan kekuasaan maupun pembagian
kekuasaan, prinsip utama yang harus dilaksanakan adalah
kekuasaan yudisial dalam negara hukum harus bebas dari
campur tangan badan eksekutif. Hal ini dimaksudkan agar
kekuasaan yudisial dapat berfungsi secara sewajarnya, demi

192
Teori Negara Hukum

penegakan hukum dan keadilan serta menjamin hak asasi


manusia. Dengan demikian, kekuasaan yudisial mempunyai
peran yang sangat penting, karena memegang kekuasaan untuk
menyelesaikan masalah maupun konflik yang terjadi dalam
suatu negara.
Tokoh yang ikut ambil bagian untuk membatasi kekuasaan
raja (penguasa negara), sekaligus motor utama Revolusi Perancis
adalah Jean Jacques Rousseau (1712-1778) dengan ajarannya
yang terkenal, yaitu kedaulatan rakyat. Sebagai penganut ajaran
hukum alam, Rousseau mendasarkan teorinya pada perjanjian
masyarakat atau kontrak sosial dalam bukunya berjudul “Du
Contract Social” yang ditulis tahun 1762. Menurut Rousseau,
dalam keadaan alamiah hidup individu bebas dan sederajat,
aman dan bahagia, seperti keadaan alam firdaus. Tetapi manusia
juga sadar adanya ancaman potensial dalam hidupnya,
penghalang kemajuan individu lebih besar daripada alat-alat
yang dimiliki individu. Keadaan alamiah (status naturalis) tidak
bisa terus dipertahankan, maka perlu untuk diakhiri dengan
kontrak sosial, sehingga keadaan alamiah beralih ke keadaan
bernegara (status civilis). Dia menggambarkan, manusia
dilahirkan merdeka, namun di mana-mana ia terbelenggu (man
is born free and every where he is in chains).Sehingga Pemerintah
sebagai pimpinan organisasi dibentuk dan ditentukan oleh yang
berdaulat, yaitu rakyat seluruhnya melalui kemauan umumnya
(volunte generale). Konstruksi perjanjian sosial Rousseau
menghasilkan bentuk negara yang kedaulatannya berada di
tangan rakyat melalui kemauan umumnya, negara demokratis
di mana penguasa negara hanya merupakan wakil rakyat.
Negara Hukum (rechtsstaat) itu dilahirkan di abad ke-XVII
dan XVIII, melalui tulisan-tulisan para sarjana penganut aliran
hukun alam, sebagai reaksi dan tantangan terhadap absolutisme
yang telah melahirkan negara kekuasaan. Inti dari ajaran hukum
alam ialah bahwa kekuasaan penguasa (raja harus dibatasi, agar
jangan berbuat sewenang-wenang terhadap rakyat dan warga-
nya). Pembatasan itu dengan jalan adanya supremasi hukum,
yaitu bahwa semua tindakan penguasa negara tidak boleh
semau-maunya, tetapi harus berdasarkan dan berakar pada

193
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

hukum (Krabbe), untuk itu juga harus ada pemisahan kakuaasan


negara (Locke, Montesquieu), khususnya kekuasaan judisial
harus dipisahkan dari raja (penguasa). Kesemuanya itu bertujuan
untuk menjamin dan melindungi hak-hak asasi rakyatnya (John
Locke) dan menbawa kesejahteraan umum (Leon Duguit, Laski).
Konsep negara hukum yang ditujukan untuk membatasi
kekuasaan penguasa/raja yang absolut itu juga diperkuat oleh
paham konstitusionalisme (John Lock, Mantesquieu) dan paham
kedaulatan rakyat serta demokrasi (Rousseau), yang kemudian
melahirkan negara konstitusional demokrasi atau negara
demokrasi konstitusional (constitutional democracy). Dengan
dasar tersebut, maka sesungguhnya sejak kelahirannya
kelahirannya bahwa asas negara hukum, asas kedaulatan rakyat
, asas demokrasi dan asas konstitusionalisme itu satu sama lain
saling berhubungan erat, bahkan pelaksanaannya ternyata tak
dapat dipisah–pisahkan satu sama lain.
Dinegara - negara Eropa Kontinental, konsep negara hukum
ini selanjutnya dikembangkan oleh Imanuel Kant, Friederich
Julius-Stahl, Fichte, Laband Guys dan lain lain, dan dikenal
dengan istilah konsep rechtsstaat. Sedangkan di negara-negara
Anglo saxon lahirlah konsep “rule of law” dipelopori oleh
Dicey.Di negara negara sosialis diperkembangkan pula konsep
yang mendekati idea rechtsstaatatau rule of lawyang disebut “so-
cialist legality’’, yang menginginkan adanya realisasi dari
sosialisme sebagai sumber yang paling menentukan dalam
segala aktivitas organ-organ negara dan pemerintahan, pejabat-
pejabat pemerintah dan warga negara.384
Memang dari latar belakang sejarah kelahirannya, konsep
rechtsstaat (negara hukum) atau Ruleof Law itu sangat
dipengaruhi oleh-paham liberalisme dan individualisme, yang
merupakan falsafah yang dianut oleh kebanyakan negara-negara
Barat. Namun demikian, cita (idea) yang terkandung di
dalamnya, yang menginginkan adanya perlindungan terhadap
hak hak asasi manusia (the dignity of man), tidak mungkin secara

384
Ismail Suny, Prof. Dr., Kepastian Hukum Menuju Stabilisasi Politik dan
Ekonomi, Hukum dan Masyarakat, No. I/1967, hal.24

194
Teori Negara Hukum

apriori ditolak secara mentah-mentah. Sebab ide-ide itu


nerupakan ide-ide yang universal yang merupakanmilik umat
manusia, kapan dan di manapun berada. Untuk itu, perlu
dikemukakan bahwa konsep negara hukum itu bukan melulu
milik atau monopoli Barat, karena sebelum konsep itu lahir di
Eropah Barat pada, abad ke-XVII-XVIII, agama Islam yang
dianut oleh sebagian basar bangsa Indonesia sudah menentukan
pilihannya kepada bentuk negara hukum, yang dikenal dengan
nama “Nomokrasi Islam”.385
Berbagai pandangan para sarjana kenamaan tentang negara
hukum seperti tersebut di atas, disesuaikan kondisi sosial,
budaya dan ideologi bangsa Indonesia, maka para sarjana
kenamaan Indonesia merumuskan apa yang disebut dengan
Negara Hukum Pancasila (NHP).

D. Perkembangan Konsep Negara Hukum


Berikut ini akan dikemukakan beberapa konsep negara
hukum berturut-turut :Rechtsstaat, The Rule of Law, Socialist Le-
gality, Nomokrasi Islam dan Negara Hukum Pancasila (NHP).
Lebih lanjut, di bawah ini akan diuraikan teori negara hukum
yang diajukan/dikemukakan oleh Muhammad Tahir Azhary.
Menurut Muhammad Tahir Azhary setidaknya ada 5(lima) Teori
Negara Hukum, yakni: Rechtsstaat, the Rule of Law, Socialist Le-
gality, Nomokrasi Islam, dan Negara Hukum Pancasila (NHP)386.

1. Karakteristik Rechtsstaat
Konsep Rechtsstaat diperkenalkan dari hasil pemikiran
Immanuel Kant dan Frederich Julius Stahl, kemudian
dikembangkan di negara-negara Eropa Kontinental. Konsep
Rechtsstaat dari Immanuel Kant, melahirkan pemikiran tentang

385
Soediman Kartohadiprodjo, Prof. SH., Melaksanakan Pancasila dan UUD
1945 secara Murni dan konsekwen, Mahasiswa Indonesia Edisi Jabar No.
76 ke 2 Sep. 1967, hal. IV.
386
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, Suatu Studi Tentang Prinsip-
prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara
Madinah dan Masa Kini, Jakarta: Prenada Media, 2004, h. 83-102

195
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

negara hukum formil atau lazim disebut nachtwakersstaat. Dalam


pengertian ini, negara menjamin kebebasan individu sebagai
anggota masyarakat, negara tidak diperkenankan mencampuri
urusan warga masyarakatnya, oleh karena itu teori rechtsstaatini
disebut sebagai negara hukum liberal.387 Teori rechtsstaatdalam
arti formil ini menempatkan negara hanya sebagai penjaga
ketertiban masyarakat.
Konsep Rechtsstaat, menurut Julius Stahl sebagaimana
dikutip oleh Miriam Budiardjo, memiliki unsur-unsur sebagai
berikut : (a). diakuinya hak-hak asasi warga negara (gron-
drechten); (b). adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan
negara (separationofpower /scheidingvanmachten) untuk menjamin
hak-hak asasi manusia, yang biasa dikenal sebagai trias politica;
(c). pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-un-
dangan/ hukum (wetmatigheid van bestuur/rechtmatigheid van het
bestuur), dan (d). adanya peradilan administrasi dalam
perselisihan (administrative rechtspraak).388
D.H.M. Meuwissen menyatakan bahwa Undang-Undang
Dasar atau konstitusi merupakan unsur yang harus ada dalam
teori negara hukum, sebab konstitusi merupakan jaminan
perlindungan hak-hak dasar warga negara.389Van Der Pot juga
menyatakan bahwa rechtsstaat mempunyai prinsip-prinsip dasar
yang meliputi 3 (tiga) aspek, yakni: Pertama: adanya undang-
undang dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis
tentang hubungan antara penguasa dan rakyat.Kedua: adanya
pembagian kekuasaan negara, yang meliputi: kekuasaan pem-
buatan undang-undang yang ada pada parlemen, kekuasaan
kehakiman yang bebas dan tidak hanya menangani sengketa
antara individu rakyat tetapi juga antara penguasa dan rakyat
dan pemerintah yang mendasarkan tindakannya atas undang-
undang (wetmatig bestuur). Ketiga: diakui dan dilindunginya hak-

387
Padmo Wahyono, Konsep Yuridis Negara Hukum Indonesia, Jakarta: UI Press,
l998, h. 2
388
Frederick Julius Stahl dalam Miriam Budihardjo, Op.Cit. h. 57-58
389
D.H.M. Meuwissen dalam Philipus M. Hadjon, Perlindungan…Op.Cit., h.
76

196
Teori Negara Hukum

hak kebebasan rakyat (vrijheidsrechten van de burger). Ciri-ciri


tersebut menunjukkan prinsip sentral rechtsstaat adalah pada
pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia serta
kebebasan dan persamaan.390
Scheltema, sebagaimana dikutip B. Arief Sidharta, me-
rumuskan unsur-unsur dan asas-asas negara hukum secara lebih
lengkap meliputi 5 (lima) hal sebagai berikut:
a. Pengakuan, penghormatan, dan perlindungan hak asasi
manusia yang berakar dalam penghormatan atas martabat
manusia.
b. Berlakunya asas kepastian hukum. Negara hukum bertujuan
menjamin bahwa kepastian hukum terwujud dalam
masyarakat. Hukum bertujuan mewujudkan kepastian
hukum dan prediktabilitas yang tinggi, sehingga dinamika
kehidupan bersama dalam masyarakat bersifat “predictable”.
Asas-asas yang Berkaitan dengan kepastian hukum itu
adalah:
1) asas legalitas, konstitusionalitas, dan supremasi hukum;
2) asas undang-undang menetapkan berbagai perangkat
peraturan tentang cara pemerintah dan para pejabatnya
melakukan tindakan pemerintahan;
3) asas non-retroaktif, di mana perundang-undangan,
sebelum mengikat, harus terlebih dahulu diundangkan
dan diumumkan secara layak;
4) asas peradilan bebas, independen, impartial, obyektif,
rasional, adil dan manusiawi;
5) asas non-liquet, hakim tidak boleh menolak perkara,
karena alasan undang undang tidak ada atau tidak jelas;
6) hak asasi manusia harus dirumuskan dan dijamin
perlindungannya dalam Undang Undang Dasar atau
Undang Undang.
c. Berlakunya asas persamaan (similia similibus atau equality be-
fore the law), bahwa dalam negara hukum, pemerintah tidak

390
Ibid., h. 71.

197
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

boleh mengistimewakan orang atau kelompok orang tertentu


atau mendiskriminasikan orang atau kelompok orang
tertentu. Di dalam prinsip ini terkandung makna: (a) adanya
jaminan persamaan bagi semua orang di hadapan hukum
dan pemerintahan, dan (b) tersedianya mekanisme untuk
menuntut perlakuan yang sama bagi semua warga Negara.
d. Asas demokrasi, di mana setiap orang mempunyai hak dan
kesempatan yang sama untuk turut serta dalam
pemerintahan atau untuk memengaruhi tindakan-tindakan
pemerintahan.
e. Pemerintah dan pejabat mengemban amanat sebagai pelayan
masyarakat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan
masyarakat sesuai dengan tujuan negara yang bersangkutan.
Dalam asas ini terkandung hal-hal sebagai berikut : (a) asas-
asas umum pemerintahan yang layak; (b) syarat-syarat fun-
damental bagi keberadaan manusia yang bermartabat di-
jamin dan dirumuskan dalam peraturan perundang-
undangan, khususnya dalam konstitusi; (c) pemerintah secara
rasional menata setiap tindakannya, memiliki tujuan yang
jelas dan berhasil guna (doelmatig). Artinya, pemerintahan
diselenggarakan secara efektif dan efisien.391

Philipus M. Hadjon mendasarkan pada pendapat S.W.


Couwenberg, mengemukakan 9 (sembilan) ciri-ciri “rechtsstaat”
sebagai berikut:
a. Pemisahan antara negara dengan masyarakat sipil,
pemisahan antara kepentingan umum dan kepentingan
perorangan, pemisahan antara hukum publik dan hukum
privat;
b. Pemisahan antara negara dan gereja;
c. Adanya jaminan atas hak-hak kebebasan sipil;
d. Persamaan di hadapan undang-undang;

391
B. Arief Sidharta, Kajian Kefilsafatan Tentang Negara Hukum, dalam Jentera,
Jakarta: Jurnal Hukum Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Edisi 3
Tahun II, November 2004, h. 124-125

198
Teori Negara Hukum

e. Adanya konstitusi tertulis sebagai dasar kekuasaaan negara


dan dasar sistem hukum;
f. Pemisahan kekuasaan berdasarkan “trias politica” dan sistem
“checks and balances”;
g. Adanya asas legalitas;392
h. Ide tentang aparat pemerintahan dan kekuasaan kehakiman
yang tidak memihak dan netral;
i. Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap penguasa
oleh peradilan yang bebas dan tidak memihak dan ber-
barengan dengan prinsip-prinsip tersebut diletakkan prinsip
tanggung-gugat Negara secara yuridis; dan
j. Prinsip pembagian kekuasaan, baik teritorial sifatnya
maupun vertikal (sistem federasi maupun desentralisasi).393

Senada dengan pendapat-pendapat di atas, Van Wijk dan


Konijnbelt menyatakan bahwa rechtsstaat memiliki unsur-unsur
sebagai berikut:394

392
Adapun pengertian asas legalitas adalah tiada perbuatan dapat dipidana
kecuali atas dasar kekuatan ketentuan pidana menurut Undang-Undang
yang sudah ada terlebih dahulu. Pengertian demikian, sesuai dengan bunyi
ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP: “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana
kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundan-undangan yang telah
ada, sebelum perbuatan dilakukan”. Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas &
Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2011,
h.19-20. Makna yang terkandung dari asas legalitas dapat diperinci sebagai
berikut: Pertama, seseorang tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan
ketentuan pidana menurut undang-undang. Kedua, tidak ada penerapan
undang undang pidana berdasarkan analogi. Ketiga, seseorang tidak dapat
dipidana hanya berdasarkan kebiasaan. Keempat, tidak boleh ada
perumusan delik yang kurang jelas (penerapan dari asas lex certa). Kelima,
tidak ada kekuatan surut dari ketentuan pidana. Hal ini dikenal dengan
prinsip non retroaktif dari ketentuan pidana. Keenam, tidak ada pidana
lain, kecuali yang ditentukan Undang Undang. Ketujuh, yang terakhir,
penuntutan pidana hanya boleh dilakukan menurut cara yang ditentukan
oleh undang-undang.
393
Philipus M. Hadjon, Perlindungan…Op.Cit., h. 75
394
A.Hamid S.Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisis mengenai
Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I –

199
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

a. pemerintahan menurut hukum (wetmatig/rechtmatig bestuur),


yang meliputi kewenangan yang dinyatakan dengan tegas,
tentang perlakuan yang sama, dan tentang kepastian hukum;
b. jaminan atas hak-hak asasi;
c. pembagian kekuasaan yang meliputi struktur kewenangan
atau desentralisasi dan tentang tentang pengawasan dan
kontrol;
d. pengawasan oleh kekuasaan peradilan.

2. Karakteristik Rule of Law


Jika konsep hukum “rechtsstaat” pada umumnya ber-
kembang di negara-negara Eropa Kontinental, sebaliknya
konsep negara hukum rule of law berkembang di negara-negara
Anglo-Saxon. Seorang sarjana kenamaan bernama A.V. Dicey
menguraikan adanya tiga ciri penting dari “rule of law”, yaitu:
(a). Supremacy of Law(supremasi hukum); (b). Equality before the
law(persamaan di hadapan hukum); dan (c). The Constitution
based on Individual Right(hak-hak individu dijamin konstitusi).395
Unsur penting yang pertama dari rule of law adalah su-
premacy of law atau supremasi hukum. Bahkan di Inggris, su-
premacy of lawmerupakan unsur mutlak yang tidak dapat
ditawar-tawar dari rule of law. Hal ini, merupakan unsur rule of
lawyang diperjuangkan rakyat Inggris lebih dahulu, jika
dibandingkan dengan negara Barat lainnya. Negara Inggris yang
mendasarkan pada prinsip supremasi hukum, menjamin bahwa
tidak seorangpun boleh dipenjara atau ditahan tanpa adanya
dasar hukum yang jelas dan pasti. Oleh karena itu, Roscoe Pound
menyatakan bahwa rule of law berintikan judicial, artinya selalu
menjunjung tinggi lembaga peradilan (supremacy of law). Baik
rakyat maupun pemerintah jika melakukan kesalahan harus
diselesaikan melalui lembaga peradilan. Tidak ada perbedaan

Pelita IV, Disertasi, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990, h.


45
395
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta:
Konstitusi Press, 2006, h. 148

200
Teori Negara Hukum

perlakuan antara rakyat maupun pemerintah di mata hukum


(equality before the law).396
Unsur kedua dari rule of law adalah equality before the law
atau persamaan di hadapan hukum. Setiap warga negara, baik
pejabat negara maupun warga/individu harus tunduk pada
hukum yang sama dan diadili pada pengadilan yang sama.
Dengan demikian di Inggris, tidak dikenal pengadilan khusus
bagi pejabat negara.
Unsur Ketiga darirule of law adalah the constitution based on
individual right. Artinya hak-hak individu dijamin dan dilindungi
oleh konstitusi. Konstitusi di sini tidak seperti pada umumnya
konstitusi yang terdapat di negara-negara lain berupa dokumen
tertulis atau Undang-Undang Dasar, melainkan konstitusi di
Inggris lebih menunjuk pada sejumlah dokumen yang isinya
bersifat fundamental yang dijadikan dasar oleh rakyat Inggris
dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegaranya.
Konsep rule of law yang dikemukakan oleh Dicey tersebut
terus mengalami perkembangan. International Commission of Ju-
rists pada tahun 1959 di New Delhi merumuskan ciri-ciri yang
seharusnya ada dalam rule of law. Ciri-ciri tersebut yaitu:397
a. keberadaan pemerintahan yang representatif;
b. penghargaan terhadap hak asasi manusia yang terdapat
dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia Tahun
1948 dan Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia di
Tahun 1950;
c. tiadanya hukum pidana yang berlaku surut;
d. adanya hak untuk mengajukan gugatan terhadap negara;
e. adanya hak atas pengadilan yang adil termasuk di antaranya
adalah pemberlakuan praduga tak bersalah, bantuan hukum,
dan hak atas upaya hukum banding;
f. peradilan yang mandiri;

396
Bahder Johar Nasution, Op. Cit., h. 9
397
Alex Carroll, Constitutional and Administrative Law, Harlow: Pearson Edu-
cation Limited, 2007, h. 46

201
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

g. adanya pengawasan atas peraturan perundang-undangan


yang berfungsi sebagai pelaksana undang-undang.

Lebih lanjut, berdasarkan hasil Konferensi Perserikatan


Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2006, disebutkan 8 (delapan) elemen
rule of law, yaitu:398
a. Supremacy of law (supremasi hukum);
b. Equality before the law (persamaan di depan hukum);
c. Accountability to the law (tanggung jawab yang sesuai dengan
hukum);
d. Fairness the application of the law (keadilan dalam pelaksanaan
hukum);
e. Separation of powers (pemisahan kekuasaan);
f. Legal Certainty(kepastian hukum);
g. Avoidance of arbitrary (peniadaan kesewenang-wenangan);
h. procedural of legal certainty (prosedur hukum yang pasti).

3. Karakteristik Socialist Legality


Konsep socialist legalityini mengandung prinsip yang
berbeda dari “Rechtsstaat” maupun “rule of law”.Karakteristik
atau ciri utama dari teori socialist legalityadalah bersumber pada
paham komunis yang menempatkan hukum sebagai alat untuk
mewujudkan sosialisme dengan mengabaikan hak-hak
perseorangan/individu.Hak-hak individu harus lebur dalam
tujuan sosialisme yang mengutamakan kepentingan masyarakat
(kolektivisme) di atas kepentingan pribadi individu-individu.
Teori socialist legality selain bersifat sekuler dan atheis, juga anti
terhadap nilai-nilai transendental.399Dengan demikian dapat
diketahui bahwa karakteristik socialist legalityadalah menem-

398
Periksa Putusan MK No. 1-2/PUU-XII/2014 Perkara Pengujian Undang
Undang No 4 Tahun 2014 Tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2013
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang Undang No. 24 Tahun 2003
Tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, h. 6
399
Muhammad Tahir Azhary, Op.Cit., h. 91-92

202
Teori Negara Hukum

patkan hukum sebagai alat mewujudkan sosialisme,


mengabaikan hak-hak individu/perseorangan, bersifat sekuler
dan atheis, serta anti terhadap nilai-nilai transendental.
Menurut Philipus M. Hadjon, bahwa konsep sociale
rechtsstaat merupakan varian dari liberale rechsstaat yang
memunculkan interpretasi baru terhadap hak-hak klasik dengan
memunculkan konsep hak-hak sosial, konsepsi baru tentang
kekuasan politik dalam hubungannya dengan kekuasaan
ekonomi, konsepsi baru tentang makna kepentingan umum, dan
karakter baru dari wet dan wetgeving. Interpretasi terhadap hak-
hak klasik tentang kebebasan dan persamaan memunculkan
pandangan bahwa kebebasan dan persamaan bukan hanya
bersifat formal yuridis saja tetapi secara riil dalam masyarakat.
Oleh karena itu dibutuhkan pemenuhan hak-hak sosial,
ekonomi, dan kultural. Legitimasi kekuasaan politik dilihat dari
sudut pandang kaitannya dengan kekuasaan ekonomi.
Kepentingan umum tidak diartikan sebagai kepentingan negara
atau kepentingan kaum borjuis tetapi kepentingan dari
demokratisasi nasional, yaitu setiap orang dapat menjadi bagian
dari cabang kekuasaan. Watak undang-undang dalam konsep
liberal yang restriktif dan sebagai instrumen stabilitasi mulai
luntur karena fungsi pembentukan undang-undang hanyalah
sebagai landasan yuridis formal bagi kebijakan pemerintah yang
berorientasi sosial. Dengan demikian watak ratio scripta atau
aturan tertulis dalam undang-undang direduksi menjadi
instrumen hukum untuk mewujudkan kebijakan. Pergeseran-
pergeseran tersebut mengarahkan sociale rechsstaat pada tiga
unsur pokok: hak-hak dasar, peluang ekonomi, dan distribusi
sosial.400

4. Karakteristik Nomokrasi Islam


Nomokrasi islam bersumber pada Alqur’an, Sunnah Nabi
dan Ar Ro’yu dengan unsur-unsur pokok atau prinsip-prinsip
umum sebagai berikut: “kekuasaan sebagai amanah, mu-
syawarah, keadilan, persamaan, pengakuan dan perlindungan

400
Philipus M. Hadjon, Perlindungan…Op.Cit., h. 73

203
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

terhadap Hak-hak Asasi Manusia, peradilan bebas, perdamaian,


kesejahteraan dan ketaatan rakyat pada hukum”.401
Menurut Muhammad Tahir Azhary, nomokrasi islam
dibandingkan dengan “rechtsstaat” dan “rule of law” memiliki
beberapa keunggulan sebagai berikut:
a. Nomokrasi islam bersumber dari wahyu Allah SWT. dan oleh
karena itu, ia mengandung kebenaran;
b. Memiliki sifat bi-dimensional, yaitu duniawi dan ukhrowi;
c. Konsep nomokrasi islam berisi nilai-nilai ketuhanan (ilahiah
dan insaniah);
d. Nomokrasiislam dilandasi oleh dua doktrin pokok dalam
Islam, yaitu:
1) Tauhid atau Ketuhanan Yang Maha Esa, dan
2) Amar ma’ruf dan nahi mungkar, artinya agar manusia
memerintahkan kepada perbuatan baik (kebajikan) dan
mencegah perbuatan yang buruk (munkar).
e. Nomokrasi islam berlaku bagi seluruh umat manusia.
Prinsip-prinsipnya mengandung nilai-nilai yang universal,
eternal dan sesuai dengan fitrah manusia.402

Prinsip-prinsip nomokrasi Islam, meliputi kekuasaan


sebagai amanah, prinsip musyawarah, prinsip keadilan, prinsip
persamaan, prinsip pengakuan dan perlindungan HAM, prinsip
peradilan bebas, prinsip perdamaian, prinsip kesejahteran dan
prinsip ketaatan rakyat.

5. Karakteristik Negara Hukum Pancasila


Pembahasan konsep negara hukum sebagaimana di-
kemukakan di atas sebagai pintu masuk (entry point) untuk
memahami pengertian negara hukum yang dianut oleh Indo-
nesia. Dalam beberapa kepustakaan hukum di Indonesia, terlihat
adanya kecenderungan untuk menggunakan istilah negara

401
Muhammad Tahir Azhary, Op.Cit., h. 85-86
402
Ibid., h. 264

204
Teori Negara Hukum

hukum pancasila (NHP). Mengenai negara hukum pancasila


sebenarnya merupakan pengertian yang relatif baru, sehingga
pembatasan dan pengertian negara hukum pancasila (NHP)
masih mencari bentuk atau memerlukan pembakuan format
yang pasti. Sebagai pemahaman awal berikut ini dikemukakan
beberapa pengertian dan batasan negara hukum pancasila
(NHP) sebagaimana diuraikan di bawah ini.
Sri Soemantri merumuskan unsur-unsur yang terkandung
dalam negara hukum pancasila adalah:403
a. Adanya pengakuan terhadap jaminan hak asasi manusia dan
warga negara;
b. Adanya pembagian kekuasaan;
c. Bahwa dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya,
pemerintah harus selalu berdasarkan atas hukum yang
berlaku, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis;
d. Adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka artinya terlepas
dari pengaruh kekuasaan pemerintah.

Senada dengan pendapat di atas, Padmo Wahyono ber-


pendapat tentang konsep negara hukum pancasila sebagai
berikut adalah :
a. Bertitik-pangkal dari asas kekeluargaan yang tercantum
dalam UUD 1945;
b. Bahwa asas kekeluargaan mengutamakan: “rakyat banyak,
namun harkat dan martabat manusia tetap dihargai”;
c. Pengertian negara dan pengertian hukum dilihat dari asas
kekeluargaan adalah:
1) Negara Indonesia terbentuk bukan karena “perjanjian
bermasyarakat” dari status “naturalis ke status civil
dengan perlindungan terhadap civil right, melainkan
“atas berkat Rachmad Allah Yang Maha Kuasa dengan

403
Sri Soemantri, Perlindungan Hukum Melalui Perlindungan Hak Asasi, Makalah
Seminar, Surabaya: Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945, 1992, h.
3

205
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

keinginan luhur untuk berkehidupan kebangsaan yang


bebas;
2) Terdapat tiga fungsi hukum yang bersifat pengayoman
dari cara pandang asas kekeluargaan, ialah :
a) Menegakkan demokrasi sesuai sistem pemerintahan
negara yang dikandung UUD 1945;
b) Mewujudkan keadilan sosial sesuai Pasal 33 UUD 1945;
c) Menegakkan perikemanusiaan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa secara Adil dan Beradab.404

Dalam Perubahan UUD 1945, mengenai konsep negara


hukum Indonesia diatur dalam Pasal 1 ayat (3) dengan rumusan
berbunyi: “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Diketahui
bahwa ketentuan ini, berasal dan diangkat dari Penjelasan UUD
1945 sebelum perubahan. Berkaitan dengan rumusan ketentuan
pasal 1 ayat (3) di atas, Moh. Mahfud MD menyatakan bahwa
konsepsi negara hukum yang dulu dikesankan menganut
konsepsi rechtsstaat dinetralkan menjadi negara hukum saja,
tanpa label rechtsstaat. Dengan demikian konsepsi negara hukum
yang dianut UUD 1945 diperoleh baik dari rechtsstaat maupun
rule of law, bahkan sistem hukum lainnya yang menyatu
(integratif) dan impelementasinya disesuaikan dengan tuntutan
perkembangan. Konsepsi negara hukum Indonesia menerima
prinsip kepastian hukum yang menjadi hal utama dalam
konsepsi rechtsstaat, sekaligus juga menerima prinsip rasa
keadilan yang menjadi hal utama dalam rule of law. Bahkan,
negara hukum Indonesia juga menerima nilai spiritual dari
hukum agama. Hukum tertulis dan segala ketentuan pro-
seduralnya (rechtsstaat) diterima, tetapi harus diletakkan dalam
rangka menegakkan keadilan (rule of law). Ketentuan tertulis
yang menghalangi keadilan dapat ditinggalkan. Hal ini
ditegaskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945
menyatakan bahwa fungsi kekuasaan kehakiman adalah
menegakkan hukum dan keadilan, serta Pasal 28D ayat (1) UUD
1945 tentang hak memperoleh kepastian hukum dan Pasal 28H

404
Muhammad Tahir Azhary, Op.Cit., h. 94-99

206
Teori Negara Hukum

ayat (2) UUD 1945 bahwa hukum harus dibangun berdasarkan


keadilan dan kemanfaatan.405
Berkaitan dengan negara hukum pancasila tersebut, Mahfud
MD menyatakan bahwa negara hukum Indonesia merupakan
sintesis dari konsep rechtsstaat, the rule of law, negara hukum for-
mal dan negara hukum materiil, yang kemudian diberi nilai ke-
Indonesiaan sebagai nilai spesifik, sehingga menjadi negara
hukum Pancasila.406 Artinya bahwa negara hukum Pancasila
mengambil pola tidak menyimpang dari pengertian negara
hukum pada umumnya yang kemudian disesuaikan dengan
keadaan spesifik Indonesia.407
Sedangkan Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa negara
hukum Indonesia berbeda dengan rechtsstaat dan the rule of law.
Rechtsstaat lebih mengedepankan wetmatigheid yang kemudian
menjadi rechtmatigheid,the rule of law mengutamakan prinsip
equality before the law, sedangkan negara hukum Indonesia
menghendaki keserasian hubungan antara pemerintah dan
rakyat yang mengedapankan asas kerukunan.408 Selanjutnya,
Philipus M. Hadjonmemberikan elemen-elemen penting negara
hukum Indonesia:409
a. Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat
berdasarkan asas kerukunan.
b. Hubungan fungsional yang proporsional antar kekuasaan
negara.
c. Penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan
merupakan sarana terakhir jika musyawarah gagal.
d. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.

405
Moh Mahfud MD, Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem ketetanegaraan Indo-
nesia, Makalah ini disampaikan pada acara dialog dengan Asosiasi Dosen
pengajar HTN/HAN se-Jawa Timur yang diselenggarakan oleh Fakultas
Hukum Universitas Dr. Soetomo Surabaya, 18 Oktober 2008, h. 13-14
406
Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Yogyakarta: GAMA Me-
dia, 999, h. 138
407
Ibid., hlm. 141
408
Philipus M. Hadjon, Perlindungan…Op.Cit., h. 143
409
Ibid.

207
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

Dari semua tipe negara hukum sebagaimana dijelaskan di


atas, maka negara hukum adalah negara yang pemerintahannya
dipimpin oleh hukum. Hukum merupakan sesuatu yang supreme
dalam negara. Sebagai sesuatu yang supreme, maka hukum
memberikan batasan kekuasaan pemimpin dan menjamin
adanya perlindungan hukum terhadap hak asasi warga negara.
Pada tahun 1965, konferensi International Commision Of Jurist
pada tahun 1965 di Bangkok memperluas konsep mengenai rule
of law dan menekankan apa yang dinamakannya “the dynamic
aspect of the Rule of Law in the modern age”.410 Di samping hak-hak
politik (right to do), hak-asasi sosial dan ekonomi harus diakui
dan dipelihara (right to recieve).411 Untuk itu, maka International
Commission of Jurists mengemukakan unsur-unsur dari negara
hukum, yakni:
1. adanya proteksi konstitusional terhadap hak asasi;
2. adanya pengadilan yang bebas;
3. adanya pemilihan umum yang bebas;
4. adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat dan
berserikat;
5. adanya tugas oposisi;
6. adanya pendidikan civics.412

Jadi dalam perspektif negara hukum modern, tugas negara


tidak hanya untuk menciptakan keamanan dan ketertiban bagi
warga negara, namun negara juga wajib untuk menciptakan
kesejahteraan bagi warganya. Berkaitan dengan hal tersebut,
Bagir Mananmenyatakan bahwa konsepsi negara hukum mod-
ern merupakan perpaduan antara konsep negara hukum dan
negara kesejahteraan. Di dalam konsep ini, tugas negara atau
pemerintah tidak semata-mata sebagai penjaga keamanan dan
ketertiban masyarakat saja, tetapi memikul tanggungjawab
mewujudkan keadilan sosial, kesejahtraan umum, dan sebesar-
410
Ni’matul Huda, Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi, Yogyakarta:
UII Press, Yogyakarta, 2007,h. 60
411
Bahder Johan Nasution, Op. Cit., h. 7
412
Miriam Budiardjo, Op.Cit., h. 60

208
Teori Negara Hukum

besarnya kemakmuran rakyat.413 Konsep negara hukum dalam


arti formil (liberal democratische rechtsstaat) dirubah menjadi
negara hukum materiil (sociale rechtsstaat/welvaarstaat). Di mana
dalam sociale rechtsstaat prinsip perlindungan hukum diarahkan
pada perlindungan hak-hak sosial, hak ekonomi, dan hak
kultural.414
Menurut Jimly Asshiddiqie bahwa ada dua isu pokok yang
senantiasa menjadi inspirasi perkembangan prinsip-prinsip
negara hukum adalah masalah pembatasan kekuasaan dan
perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).Selanjutnya, Jimly
Asshiddiqie mengemukakan 13 (tiga belas) prinsip negara
hukum modern, yaitu :
1. Supremasi konstitusi (supremacy of law);
2. Persamaan dalam hukum (equality before the law);
3. Asas legalitas (due process of law);
4. Adanya pembatasan kekuasaan berdasarkan Undang
Undang Dasar (limitation of power);
5. Berfungsinyaorgan-organ negara yang independen, dan
saling mengendalikan;
6. Prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak (indepen-
dent and impartial judiciary);
7. Tersedianya upaya peradilan tata usaha negara (administra-
tive court);
8. Tersedianyaperadilan tata negara (constitutional adjudication);
9 Adanya jaminan perlindungan hak asasi manusia (human
dignity);
10. Bersifat demokratis (democratic rule of law atau democratische-
rechtsstaats), sehingga pembentukan hukum yang bersifat
demokratis dan partisipatoris dapat terjamin;
11. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara
(welfare- rechtsstaat);

413
Bagir Manan, Politik Perundang-Undangan Dalam Rangka Mengantisipasi
Liberalisme Perekonomian, Bandar Lampung: FH-UNILA, 1996, h. 16
414
Philipus M. Hadjon, Perlindungan…Op. Cit., h. 71-74

209
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

12. Adanya pers yang bebas dan prinsip pengelolaan kekuasaan


negara yang transparan dan akuntabel dengan efektifnya
mekanisme kontrol sosial yang terbuka;
13. Berketuhanan yang Maha Esa.415
.
Dari uraian mengenai beberapa karakteristik negara hukum
di atas, maka suatu negara hukum demokratis haruslah
mengandung beberapa unsur yaitu:
1. adanya pembagian kekuasaan;
2. adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia;
3. penggunaan kekuasaan didasarkan atas hukum yang
berlaku;
4. adanya lembaga perwakilan rakyat;
5. terbukanya ruang partisipasi publik dalam penyelenggaraan
pemerintahan;
6. penyelesaian sengketa secara musyawarah, dengan
menggunakan lembaga peradilan sebagai sarana terakhir;
7. adanya peradilan administrasi yang bebas dan berfungsi
untuk mengawasi penggunaan kekuasaan negara.

415
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok... Op.Cit., h. 310

210
BAB IX
TEORI KONSTITUSI

A. Pengertian Konstitusi
Konstitusi merupakan padanan kata dari “contitutio”(Latin
dan Italia), “constitution” (Inggris), “constitutie” (Belanda),
“verfasuung” (Jerman) dan dalam dalam Arab “mas utiyah”.416
Konstitusi secara etimologis berasal dari bahasa Perancis
“constituer”, yang berarti membentuk. Dalam Black’s Law Dic-
tionary ditentukan bahwa “constituere is to appoint, constitute,
establish, ordain, or undertake”.417Pemakaian istilah konstitusi yang
dimaksudkan adalah pembentukan suatu negara atau menyusun
dan menyatakan suatu negara.418
Dalam bahasa Latin, kata konstitusi merupakan bentukan
dari kata, yaitu cume dan statuere. Cume adalah sebuah preposisi
yang berarti “bersama dengan….”, sedangkan statuere berasal
dari kata “sta” pembentuk kata kerja stare yang berarti berdiri.
Atas dasar itu, kata statuere mempunyai arti membuat sesuatu
agar berdiri atau menetapkan. Dengan demikian, bentuk tunggal
“constitution” berarti menetapkan sesuatu secara bersama-sama

416
Astim Riyanto, Teori Konstitusi, Bandung: Yapemdo, 2000, h. 17
417
Henry Campbell Black, Op.Cit., h. 384
418
Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum Tata Negara Di Indonesia, Jakarta:
Dian Rakyat, 1989, h. 10

211
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

dan bentuk jamak “contitusiones” berarti segala sesuatu yang


telah ditetapkan.419
Dalam bahasa Inggris, istilah “constituer” memiliki padanan
dengan istilah “constitute” atau “constate” yang mempunyai arti
“to establish, constitute, or ordain” (untuk membentuk, menetapkan
atau menakdirkan). Dari kata “constitute” atau “constate”
tersebut, lahirlah istilah “constitution” yang mempunyai arti:420
“The organic and fundamentallaw of a nation or state, which may be written
orunwritten, establishing the character and conceptionof its government, lay-
ing the basic principlesto which its internal life is to be conformed,
organizingthe government, and regulating, distributing,and limiting the func-
tions of its differentdepartments, and prescribing the extent and mannerof the
exercise of sovereign powers. A charter of government deriving its whole au-
thority from the governed”.

(Hukum dasar dari sebuah bangsa atau negara, baik tertulis maupun
tidak tertulis, membentuk karakter dan konsepsi pemerintahan negara,
mengatur tentang prinsip-prinsip dasar yang berfungsi sebagai
pedoman pelaksanaan urusan internal negara, pengorganisasian dan
pengaturan pemerintahan, pembagian dan pembatasan fungsi-fungsi
dari bagian-bagian pemerintahan dan menjelaskan keluasan dan cara
penggunaan kewenangan. Sebuah piagam pemerintahan yang
menentukan seluruh kewenangannya yang bersumber dari yang
diperintah (rakyat).

Menurut Brian Thompson “a constitution is a document which


contains the rules for the operation of an organization” (kontitusi
adalah sebuah dokumen yang memuat peraturan-peraturan
untuk menyelenggarakan suatu organisasi). Bagi setiap
organisasi, kebutuhan akan naskah konstitusi tertulis itu
merupakan sesuatu yang niscaya, terutama dalam organisasi
yang berbentuk badan hukum (legal body, rechtspersoon).
Demikian pula negara, pada umumnya, selalu memiliki naskah
yang disebut sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar.421

419
Dahlan Thaib, et.al.,Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2005, h. 7- 8
420
Henry Campbell Black, Loc.Cit.
421
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi...Op.Cit., h. 19

212
Teori Konstitusi

Dalam konteks Hukum Tata Negara Inggris, Phillips Hood


and Jackson mengemukakan pengertian konstitusi sebagai
berikut :
“a body of laws, customs and conventions that define the composition and
powers of the organs of the State and that regulate the relations of the various
State organs to one another and to the private citizen”.422

Dari pengertian konstitusi, yang dikemukakan oleh Phillips


Hood and Jackson, bahwa konsep konstitusi mencakup pe-
ngertian kodifikasi peraturan tertulis (a body of laws), kebiasaan-
kebiasaan (customs), dan konvensi-konvensi kenegaraan (conven-
tions) yang menentukan susunan dan kedudukan organ-organ
negara, mengatur hubungan antara organ-organ negara itu, serta
mengatur hubungan organ-organ negara tersebut dengan warga
negara. Dalam arti luas, istilah konstitusi menurut Kenneth C.
Wheare sebagaimana dikutip oleh Astim Riyanto sebagai
berikut:
The word “constitution” is commonly used in at least two senses in any
ordinary discussion of political affairs, First of all it is use to describe the
whole system of government of a country, the collection of rules which estab-
lish and regulate or govern the government. This rule are partly legal, in the
sense that courts of law will recognize and play them, and partly non legal or
extra legal, taking from of usages, understandings, customs, or conventions
which courts do not recognize as law but which are not less effective in regu-
lating the government than the rules of law strictly so called.423

Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa konstitusi


adalah menggambarkan keseluruhan sistem pemerintahan suatu
negara, sekumpulan peraturan yang menetapkan dan mengatur
pemerintahan.Peraturan-peraturan itu sebagian bersifat hukum
dan sebagian bersifat non hukum atau ekstra hukum. Peraturan-
peraturan bersifat non-hukum dapat berbentuk kebiasaan-
kebiasaan(usages), kesepakatan-kesepakatan (understandings),
adat-istiadat (customs), atau konvensi-konvensi (conventions) .

422
Ibid. h. 20
423
Astim Riyanto, Op.Cit., h. 494

213
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

Ferdinand Lasalle dalam bukunya “Uber Verfassungswessen”


(1862), sebagaimana dikutip Jimly Asshiddiqie, membagi
konstitusi dalam dua pengertian, yaitu:
1. Pengertian sosiologis dan politis (sociologische ataupolitische
begrip).
Konstitusi dilihat sebagai sintesis antara faktor-faktor kekuat-
an politik yang nyata dalam masyarakat (deriele machts-
factoren), yaitu misalnya raja, parlemen, kabinet, kelompok-
kelompok penekan (preassure groups), partai politik, dan
sebagainya. Dinamika hubungan di antara kekuatan-
kekuatan politik yang nyata itulah sebenarnya apa yang
dipahami sebagai konstitusi;
2. Pengertian juridis (juridische begrip).
Konstitusi dilihat sebagai satu naskah hukum yang memuat
ketentuan dasar mengenai bangunan negara dan sendi-sendi
pemerintahan negara.424

Menurut Ferdinand Lasalle bahwa konstitusi merupakan


sintesis (gabungan) antara berbagai faktor-faktor kekuatan
politik yang nyata dalam masyarakat (pengertian sosiologis dan
politis). Sedangkan dalam pengertian yuridis kontitusi adalah
naskah hukum yang memuat ketentuan dasar mengenai
bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan negara.
Hermann Heller mengemukakan tiga pengertian konstitusi,
yaitu :
1. Die politische verfassung als gesellschaftlich wirklichkeit.
Konstitusi dilihat dalam arti politis dan sosiologis sebagai
cermin kehidupan sosial-politik yang nyata dalam
masyarakat;
2. Die verselbstandigte rechtsverfassung. Konstitusi dilihat dalam
arti yuridis sebagai suatu kesatuan kaidah hukum yang hidup
dalam masyarakat;

424
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Dasar tentang Kontitusi Dan Mahkamah Konstitusi,
dalam “Butir-butir pemikiran dalam Hukum memperingati 70 tahun Prof. Dr.
B. Arief Siddharta, SH.”, Bandung: Refika Aditama, 2008, h. 197

214
Teori Konstitusi

3. Die geschreiben verfassung. Konstitusi yang tertulis dalam


suatu naskah undang undang dasar sebagai hukum yang
tertinggi yang berlaku dalam suatu Negara.425

Lebih lanjutHermann Heller menjabarkan pengertian


konstitusi dalam 3 (tiga) tingkatan, yaitu:426
1. Konstitusi dalam pengertian Sosial-Politik. Pada tingkat
pertama ini, konstitusi tumbuh dalam pengertian sosial-
politik. Ide-ide konstitusional dikembangkan karena memang
mencerminkan keadaan sosial politik dalam masyarakat yang
bersangkutan pada saat itu. Konstitusi pada tahap ini dapat
digambarkan sebagai kesepakatan-kesepakatan politik yang
belum dituangkan dalam bentuk hukum tertentu, melainkan
tercerminkan dalam perilaku nyata dalam kehidupan kolektif
warga masyarakat;
2. Konstitusi dalam pengertian Hukum. Pada tahap kedua ini,
konstitusi sudah diberi bentuk hukum tertentu, sehingga
perumusan normatifnya menuntut pemberlakuan yang
dapat dipaksakan. Konstitusi dalam pengertian sosial
politikyang dilihat sebagai kenyataan tersebut di atas,
dianggap harus berlaku dalam kenyataan. Oleh karena itu,
setiap pelanggaran terhadapnya haruslah dapat dikenai
ancaman sanksi yang pasti;
3. Konstitusi dalam pengertian Peraturan Tertulis. Pengertian
yang terakhir ini merupakan tahap terakhir atau yang
tertinggi dalam perkembangan pengertian rechtsverfassung
yang muncul sebagai akibat pengaruh aliran kodifikasi yang
menghendaki agar berbagai norma hukum dapat dituliskan
dalam naskah yang bersifat resmi.Tujuannya adalah untuk
maksud mencapai kesatuan hukum atau unifikasi hukum
(rechtseineheid), kesederhanaan hukum (rechtsvereen-
voudiging), dan kepastian hukum (rechtszekerheid).

425
Ibid. h. 198
426
Ibid.

215
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

Pendapat Hermann Heller dengan Ferdinand Lasalle pada


pokoknya memiliki pengertian yang hampir sama mengenai
konsep konstitusi yakni konstitusi dalam pengertian sosiologis
dan politis serta pengertian konstitusi secara yuridis seperti
sudah dijelaskan di atas. Akan tetapi oleh Hermann Heller
ditambah satu pengertian lagi yaitu konstitusi dalam pengertian
peraturan tertulis, yaitu suatu naskah undang undang dasar
sebagai hukum yang tertinggi yang berlaku dalam suatu Negara.
Selanjutnya, apa hakikat Konstitusi?.Semua konstitusi selalu
menjadikan kekuasaan sebagai pusat perhatian, karena kekua-
saan itu sendiri pada intinya memang perlu diatur dan dibatasi
sebagaimana mestinya. Menurut Ivo D. Duchacek, bahwa:427
“Constitutions is identify the sources, purposes, uses and restraints of public
power”

(konstitusi adalah mengidentifikasikan sumber-sumber, tujuan-tujuan,


penggunaan-penggunaan, dan pembatasan-pembatasan kekuasaan
umum).

Pembatasan kekuasaan pada umumnya dianggap


merupakan corak umum materi konstitusi. Konstitusi dibentuk
untuk membatasi kekuasaan pemerintah. Pemerintah harus
bertindak sesuai dengan ketentuan konstitusi. Pemerintah
dilarang bertindak di luar kewenangan yang telah ditentukan
dalam konstitusi. Dengan adanya pembatasan tersebut, maka
lahirlah ide konstitusionalisem.
Menurut Carl J. Friedrich, Konsitusionalisme merupakan
gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu kumpulan
kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi
yang dikenakan beberapa pembatasan yang diharapkan akan
menjamin bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk peme-
rintahan itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat
tugas untuk memerintah”. 428 Oleh sebab itu pula, kons-
titutionalisme, seperti dikemukakan oleh Carl J. Friedrich,

427
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi...Op.Cit., h. 21
428
Dahlan Thaib, et.al., Op.cit. h. 9-20

216
Teori Konstitusi

diberikan batasan sebagai “an institutionalised system of effective,


regularised restraints upon governmental action” (suatu sistem yang
terlembagakan menyangkut pembatasan yang efektif dan teratur
terhadap tindakan pemerintahan). Dalam pengertian demikian,
persoalan yang dianggap terpenting dalam setiap konstitusi
adalah pengaturan mengenai pengawasan atau pembatasan
terhadap kekuasaan pemerintahan.429
Prinsip konstitusionalisme modern sebenarnva memang
menyangkut prinsip pembatasan kekuasaan atau yang lazim
disebut sebagai prinsip limited government. Karena itu, menurut
William G. Andrews, “Under constitutionalism, two types of limi-
tations impinge on, government. Power proscribe and procedures pre-
scribed”. Kekuasaan melarang dan prosedur ditentukan. Kons-
titusionalisme mengatur dua hubungan yang saling berkaitan
satu sama lain, yaitu: Pertama, hubungan antara pemerintahan
dengan warga negara; dan Kedua, hubungan antara lembaga
pemerintahan yang satu dengan lembaga pemerintahan yang
lain. Karena itu, biasanya, isi konstitusi dimaksudkan untuk
mengatur mengenai tiga hal penting.yaitu: (a) menentukan pem-
batasan kekuasaan organ-organ negara, (b) mengatur hubungan
antara lembaga-lembaga negara yang satu dengan yang lain,
dan (c) mengatur hubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga
negara dengan warga negara.430
Walton H.Hamilton mengemukakan pengertian
konstitusionalisme sebagai berikut: “Constitusionalism is the name
given to the trust which men repose in the power of words engrossed
on parchment to keep a government in order.”431 (konstitusionalisme
adalah nama yang diberikan sebagai kepercayaan yang
membuat umat manusia merasa tenang dalam kekuatan kata-
kata yang memikat tercantum dalam suatu kertas dari kulit/
perkamen untuk menjaga pemerintahan senantiasa dalam
ketertiban).

429
Ibid. h. 197
430
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi...Op.Cit., h. 29
431
Ibid. h. 23-24

217
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

Adnan Buyung Nasution menyatakan bahwa pemerintahan


yang konstitusional itu bukan pemerintahan sekedar sesuai
dengan bunyi pasal-pasal konstitusi, melainkan pemerintahan
yang sesuai dengan bunyi konstitusi yang memang menurut
esensi konstitusionalisme. 432 Senada dengan hal tersebut,
Bambang Widjoyanto menambahkan 5 (lima) ciri dan esensi
konstitusionalisme sebagai berikut :
Pertama, public authority hanya dapat dilegitimasi menurut ketentuan
konstitusi; kedua, pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui perwakilan
harus dilakukan dengan menggunakan prinsip universal and equal suf-
frage dan pengangkatan eksekutif harus melalui pemilihan yang
demokratis; ketiga, pemisahan atau pembagian kekuasaan serta
pembatasan wewenang; Keempat, adanya kekuasaan kehakiman yang
mandiri yang dapat menegakkan hukum dan keadilan baik terhadap
rakyat maupun terhadap penguasa; Kelima, adanya sistem kontrol
terhadap militer dan kepolisian untuk menegakkan hukum dan
menghormati hak-hak rakyat.433

Menurut Soetandyo Wigjosoebroto bahwapaham


konstitusional (konstitusionalisme) paling tidak terdiri dari dua
hal : pertama, konsepsi negara hukum yang menyatakan bahwa
secara universal kewibawaan hukum haruslah mengatasi peme-
rintah; kedua, konsepsi hak-hak sipil warga negara menggariskan
adanya kebebasan warga negara di bawah jaminan konstitusi.434
Konsepsi negara hukum sebagai impilikasi dari paham
konstitusional (konstitusionalisme) sebagaimana dikemukakan
Soetandyo Wigjosoebroto tersebut, sesungguhnya telah lama
dikembangkan oleh para filsuf atau negarawan. Konsep negara
hukum modern di Eropa Kontinental dikembangkan dengan
menggunakan istilah Jerman yaitu “rechtsstaat” oleh Immanuel
Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fictte, dan lain-lain. Sedangkan

432
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indone-
sia, terjemahan Sylvia Tiwon, Grafiti Press, 1995, h. 116
433
Ibid. h. 2
434
Tim Kajian Amandemen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya,
Amandemen UUD 1945 Antara Teks dan Konteks dalam Negara yang Sedang
Berubah, Jakarta: Sinar Grafika, 2000, h. 2

218
Teori Konstitusi

dalam tradisi Anglo Amerika konsep negara hukum


dikembangkan dengan sebutan “the rule of law” yang dipelopori
oleh A.V. Dicey. Selain itu, konsep negara hukum juga Berkaitan
dengan istilah nomokrasi (nomocratie) yang berarti bahwa
penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan negara adalah
hukum.
Menurut Jimly Asshiddiqie, ada dua isu pokok yang
senantiasa menjadi inspirasi perkembangan prinsip-prinsip
negara hukum adalah masalah pembatasan kekuasaan dan
perlindungan HAM. Saat ini paling tidak terdapat 13 (tiga belas)
prinsip negara hukum, yaitu (1) supremasi konstitusi (supremacy
of law); (2)persamaan dalam hukum (equality before the law); (3)
asas legalitas (due process of law); (4) adanya pembatasan
kekuasaan berdasarkan Undang Undang Dasar (limitationof
power); (5) berfungsinya organ-organ negara yang independen,
dan saling mengendalikan; (6) prinsip peradilan yang bebas dan
tidak memihak (independent and impartial judiciary; (7) tersedianya
upayaperadilan tata usaha negara (administrative court); (8)
tersedianyaperadilan tata negara (constitutional adjudication); (9)
adanyajaminan perlindungan hak asasi manusia; (10) bersifat
demokratis (democratic rule of law atau democratische-rehtsstaats),
sehingga pembentukan hukum yang bersifat demokratis dan
partisipatoris dapat terjamin; (11)berfungsi sebagai sarana
mewujudkan tujuan bernegara (welfare rechtsstaat); (12) adanya
pers yang bebas dan prinsip pengelolaan kekuasaan nebara yang
transparan dan akuntabel dengan efektifnya mekanisme kontrol
sosial yang terbuka; (13) berketuhanan yang Maha Esa.435
Dalam suatu negara hukum, mengharuskan adanya
pengakuan normatif dan empirik terhadap prinsip supremasi
hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan
hukum sebagai pedoman tertinggi. Pengakuan normatif
mengenai supremasi hukum terwujud dalam pembentukan
norma hukum secara hierarkis yang berpuncak pada supremasi
konstitusi. Sedangkan secara empiris terwujud dalam perilaku
pemerintahan dan masyarakat yang mendasarkan diri pada

435
Jimly Asshiddiqie, Pokok... Op.Cit., h. 310

219
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

aturan hukum.Dengan demikian, segala tindakan pemerintahan


harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah
dan tertulis (rechtmatigheid van het bestuur).Peraturan perundang-
undangan tersebut harus ada dan berlaku terlebih dulu atau
mendahului perbuatan yang dilakukan. Dengan demikian,
setiap perbuatan administratif harus didasarkan atas aturan atau
rules and procedures.436
Prinsip supremasi hukum selalu diiringi dengan dianut dan
dipraktikkannya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang
menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-
undangan yang diterapkan dan ditegakkan mencerminkan
perasaan keadilan masyarakat. Hukum dan peraturan per-
undang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan
diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk ke-
pentingan penguasa. Hukum tidak dimaksudkan untuk hanya
menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melain-
kan menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang. Dengan
demikian negara hukum yang dikembangkan bukan absolute
rechtsstaat, melainkan democratische rechtsstaat.
Berdasarkan prinsip negara hukum, sesungguhnya yang
memerintah adalah hukum, bukan manusia (governed by law, not
by man).Hukum dimaknai sebagai kesatuan hierarkis tatanan
hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi. Konstitusi
merupakan sumber hukum bagi pembentukan peraturan
perundang-undangan negara dan sekaligus juga dasar bagi
pelaksanaan kekuasaan pemerintah. Supremasi konstitusi di
samping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum,
sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi
adalah wujud perjanjian sosial tertinggi.

B. Materi Muatan Konstitusi


Materi muatan konstitusi adalah isi konstitusi yang
Berkaitan dengan norma hukum apa yang diatur dalam
konstitusi. Dengan mengutip pendapat C.F. Strong, Kuntjoro
436
Ibid. h. 205

220
Teori Konstitusi

Purbopranoto menyatakan bahwa materi muatan atau isi


konstitusi (the content of the constitution) adalah “pokok-pokok
kenegaraan yang diatur dalam konstitusi pada umumnya
merupakan principle according to which the power of the govern-
ment, the right of the governed, and the relations between the two are
adjusted, yakni dasar-dasar atau pokok-pokok mengenai
kekuasaan pemerintah, hak-hak mereka yang diperintah, dan
hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah.437
J.G. Steenbeek mengemukakan bahwa pada umumnya
materi muatan konstitusi menyangkut tiga hal, yakni:Pertama,
adanya jaminan terhadap hak asasi manusia dan warga negara;
Kedua, ditetapkannya susunan ketatanegaraan yang fundamen-
tal; Ketiga, adanya pembagian dan pembatasan tugas
ketatatanegaraan yang juga bersifat fundamental.438 Berkenaan
dengan materi muatan konstitusi, Bagir Manan juga menyatakan
bahwa :
Kaidah-kaidah konstitusional ini memuat prinsip-prinsip tentang
susunan dan organisasi Negara,alat-alat kelengkapan Negara, tugas
dan wewenang serta hubungan antara organ Negara yang satu dengan
yang lain, hak dan kewajiban warga Negara atau rakyat pada
umumnya, serta hubungan antara pemerintah dan warga Negara atau
rakyat negara.439

Dalam kaitan materi muatan konstitusi serta hubungan


politik dan hukum, Nyoman Dekker menyatakan:
Di dalam konstitusi terurai struktur Negara, yaitu meliputi pengaturan
kekuasaan, lembaga-lembaga Negara, pengaturan mengenai hak asasi
manusia maupun kewajiban warga Negara.Masalah kontitusi adalah
masalah politik.Para pendiri negara itu menuangkan kemauan
politiknya dalam bentuk model mana yang dikehendakinya.Struktur
kenegaraan itu diberikan bentuk hukum, sehingga konstitusi
merupakan perpaduan antara masalah politik dan hukum.440

437
Astim Riyanto, Op.Cit., h. 94
438
Sri Soemantri Martosoewignjo, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi,
Bandung: Alumni, 2006, h. 59-60
439
Astim Riyanto, Op.Cit., h. 501
440
Ibid.,

221
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

Dengan demikian, materi muatan konstitusi atau Undang


Undang Dasar secara luas mencakup pengaturan hal-hal yang
fundamental mengenai susunan pemerintahan negara, kedu-
dukan, tugas dan wewenang lembaga negara, saling hubungan
antar kelembagaan negara, hubungan negara dengan warga
negara dan penduduknya, jaminan terhadap hak asasi manusia
dan warga negara serta kewajiban warga negara, pemisahan atau
pembagian kekuasaan negara, pembatasan kekuasaan negara,
serta konsepsi negara dalam berbagai bidang kehidupan ke arah
mencapai cita-cita nasional suatu negara.441

C. Fungsi Konstitusi
Dalam negara modern, konstitusi memiliki fungsi yang
sangat penting dalam penyelenggaraan negara, terutama dalam
pembatasan kekuasaan dan perlindungan hukum terhadap hak
asasi warga negara. Berkaitan dengan fungsi konsitusi, William
G. Andrews menyatakan bahwa:
“The constitution imposes restraints on government as a function of consti-
tutionalism; but it also legitimizes the power of the government. It is the docu-
mentary instrument for the transfer of authority from the residual holders -
the people under democracy, the king urder monarchy - to the organs of State
power”.442

Menurut William G. Andrews di atas, bahwa konstitusi di


satu pihak (a) menentukan pembatasan terhadap kekuasaan
sebagai satu fungsi konstitusionalisme, tetapi di pihak lain (b)
memberikan legitimasi terhadap kekuasaan pemerintahan.
Konstitusi juga (c) berfungsi sebagai instrumen untuk meng-
alihkan kewenangan dari pemegang kekuasaan asal (baik rakyat
dalam sistem demokrasi atau Raja dalam sistem Monarki)
kepada organ-organ kekuasaan negara. Bahkan Thomas Paine
dalam bukunya “Common Sense” menyatakan bahwa konstitusi
juga mempunyai fungsi sebagai “a national symbol”. Lebih lanjut,
Thomas Paine menyatakan bahwa:

441
Ibid., 501
442
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi... Op.Cit., h. 29

222
Teori Konstitusi

“It may serve instead of the king in that ceremonial function of exemplifying
the unity and majesty of the nation. Or it Mayexist along side the monarch,
embodying capacity that Constitutions are trundled about the country in shiny
almunium railroad trains under armed guard and exhibited to all comers”.443

Konstitusi dapat berfungsi sebagai pengganti raja dalam


kaitannya dengan fungsi-fungsi yang bersifat seremonial dan
fungsi pemersatu bangsa seperti yang biasanya dikaitkan dengan
fungsi kepala negara.Karena itu, selain ketiga fungsi tersebut di
atas, fungsi konstitusi dapat pula ditambah dengan fungsi-fungsi
lain (d) sebagai kepala negara simbolik dan (e) sebagai kitab suci
simbolik dari suatu agama civil atau syari’at negara (civilre-
ligion).Dalam fungsinya sebagai kepala negara simbolik,
konstitusi berfungsi sebagai: (i) sebagai simbol persatuan (sym-
bol of unity), (ii) lambang identitas dan keagungan nasional suatu
bangsa (majesty of thc nation), dan/atau (iii) puncak atau pusat
kekhidmatan upacara (center of ceremony). Tetapi, dalam
fungsinya sebagai dokumen kitab suci simbolik (symbolic civil
miliyion), Konstitusi berfungsi (i) sebagai dokumen pengendali
(tool of political, social, and economic control), dan (ii) sebagai
dokumen perekayasaan dan bahkan pembawaan ke arah masa
depan (tool of political, social and economic Engineering and reform).
Istilah kepala negara simbolik dipakai sejalan dengan
pengertian the Rule of Low yang menegaskan bahwa yang
sesungguhnya memimpin dalam suatu negara bukanlah orang,
melainkan hukum itu sendiri.Dengan demikian, kepala negara
yang sesungguhnya adalah konstitusi, bukan pribadi manusia
yang kebetulan menduduki jabatan sebagai kepala negara.Lagi
pula, pembedaan istilah kepala negara dan kepala pemerintahan
itu sendiri sudah seharusnya dipahami sebagai sesuatu yang
hanya relevan dalam lingkungan sistem pemerintahan par-
lementer dengan latar belakang sejarah kerajaan (monarki).
Dalam monarki konstitusional yang menganut sistem parle-
menter, jelas dipisahkan antara Raja atau Ratu sebagai kepala
negara dan Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan.
Dalam sistem republik seperti di Amerika Serikat, kedudukan

443
Ibid., h. 30

223
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

Raja itulah yang digantikan oleh konstitusi. Karena sistem


republik, apalagi yang menganut sistem pemerintahan pre-
sidensil seperti di Indonesia, tidak perlu dikembangkan adanya
pengertian mengenai kedudukan kepala negara, karena fungsi
kepala negara itu sendiri secara simbolik terlembagakan dalam
Undang-Undang Dasar sebagai naskah konstitusi yang bersifat
tertulis.
Dengan dasar tersebut, maka konstitusi sebagai kepala
negara simbolik itu memiliki fungsi-fungsi sebagai simbol
pemersatu (symbol of unity), ungkapan identitas dan keagungan
kebangsaan (identity of nation) dan pusat upacara kenegaraan
(center of ceremony). Sebagai dokamen yang mengungkapkan cita-
cita kolektif seluruh bangsa yang bersifat sangat umum, men-
cakup dan meliputi, maka konstitusi sangat mungkin dijadikan
pegangan bersama yang bersifat mempersatukan seluruh
bangsa. Dengan demikian, konstitusi juga dapat berfungsi
sebagai ungkapan identitas seluruh bangsa. Jika konstitusi
tersebut, ia menjadi sumber identitas kolektif, sama seperti
bendera kebangsaan. Berkaitan dengan itu, sebagai puncak atau
pusat upacara, konstitusi juga mempunyai arti yang penting
dalam aneka kegiatan upacara. Untuk menandai perubahan sta-
tus seseorang ke dalam suatu jabatan kenegaraan maka ia
diharuskan bersumpah setia kepada konstitusi. untuk menandai
suatu wilayah tertentu masuk atau keluar dari teritorial suatu
negara, juga ditandai dengan konstitusi.
Sementara itu, dalam fungsinya sebagai dokumen civil reli-
gion, konstitusi dapat difungsikan sebagai sarana pengendalian
atau sarana perekayasaan dan pembaruan. Dalam praktek,
memang dapat dikemukakan adanya dua aliran pemikiran
mengenai konstitusi, yaitu aliran pertama memfungsikan
konstitusi hanya sebagai dokumen yang memuat norma-norma
yang hidup dalam kenyataan. Kebanyakan konstitusi dimak-
sudkan untuk sekedar mendeskripsikan kenyataan-kenyataan
normatif yang ada ketika konstitusi itu dirumuskan (to describe
present reality). Di samping itu, banyak juga konstitusi yang
bersifat prospective dengan mengartikulasikan cita-cita atau
keinginan-keinginan ideal masyarakat yang dilayaninya. Banyak

224
Teori Konstitusi

konstitusi negara-negara modern yang juga merumuskan tujuan-


tujuan sosiai dan ekonomi, belum dapat diwujudkan atau
dicapai dalam masyarakat menjadi materi muatan konstitusi.
Konstitusi di lingkungan negara-negara yang menganut paham
sosialis atau dipengaruhi oleh aliran sosialisme, biasa memuat
ketentuan mengenai hal ini dalam rumusan konstitusi. Hal inilah
yang disebut sebagai economic constitution dan social constitution.
Konstitusi-konstitusi jenis demikian sangat berbeda dari
konstitusi yang ditulis menurut tradisi paham Demokrasi lib-
eral atau libertarian constitution. Sebagai contoh, konstitusi
Amerika Serikat tidak memuat sama sekali ketentuan mengenai
cita-cita ekanomi ataupun ketentuan mengenai sistem ekonomi
dan kegiatan ekonomi. Alasannya jelas, yaitu bahwa soal-soal
yang berkenaan dengan perekonomian tidaklah menyangkut
urusan kenegaraan, melainkan termasuk ke dalam wilayah
urusan pasar yang mempunyai mekanismenya tersendiri sesuai
dengan prinsip free market liberalism yang dianggap sebagai pi-
lar penting dalam sistem kapitalisme. Karena ekonomi adalah
urusan pasar maka ketentuan mengenai hal itu tidak seharusnya
dicantumkan ke dalam naskah konstitusi. Demikian pula urusan
orang kaya dan orang miskin bukanlah persoalan negara, dan
karena itu tidak perlu diatur dalam UUD. Pandangan demikian
jelas berbeda dari apa yang dianut dalam sistem sosialisme yang
mengembangkan pengertian welfare state. Dalam welfare state,
negara bertanggungjawab untuk mengurusi orang miskin
Karena itulah, Undang-Undang Dasar Negera Republik Indo-
nesia Tahun 1945 mengadopsikan perumusan Pasal 34 yang
menentukan bahwa “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh
Negara”.
Dari uraian terakhir di atas dapat dikatakan bahwa
konstitusi dapat pula difungsikan sebagai sarana kontrol politik,
sosial dan/atau ekonomi di masa sekarang, dan sebagai sarana
perekayasaan politik, sosial atau ekonomi menuju masa depan.
Dengan demikian, Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa fungsi-
fungsi konstitusi dapat dirinci sebagai berikut:

225
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

1. Fungsi penentu dan pembatas kekuasaan organ negara;


2. Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara;
3. Fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara
dengan warga negara;
4. Fungsi pemberi atau sumber legitimasi terhadap kekuasaan
negara ataupun kegiatan penyelenggaraan kekuasaan
negara;
5. Fungsi penyalur atau pengalih kewenangan dari sumber
kekuasaan yang asli (yang dalam sistem demokrasi adalah
rakyat) kepada organ negara;
6. Fungsi simbolik sebagai pemersatu (symbol of unity);
7. Fungsi simbolik sebagai rujukan identitas dan keagungan
kebangsaan (identity of nation);
8. Fungsi simbolik sebagai pusat upacara (center of ceremony);
9. Fungsi sebagai sarana pengendalian masyarakat (social con-
trol), baik dalam arti sempit hanya di bidang politik maupun
dalam arti luas mencakup bidang sosial dan ekonomi;
10. Fungsi sebagai sarana perekayasaan dan pembaruan
masyarakat (social engineering atau social reform), baik dalam
arti sempit maupun dalam arti luas.444

D. Nilai Konstitusi
Berkenaan dengan penilaian terhadap pelaksanaan suatu
konstitusi, Karl Loewenstein mengemukakan tiga tingkatan nilai
konstitusi, yaitu nilai normatif, nilai nominal dan nilai
semantik.445 Yang dimaksud dengan nilai normatif apabila semua
ketentuan konstitusi dilaksanakan secara murni dan konsekuen,
ditaati dan dijunjung tinggi sepenuhnya dalam penyelenggaraan
negara, serta tidak ada sedikitpun penyelewengan dalam
pelaksanaan konstitusi tersebut. Sedangkan yang dimaksud
dengan nilai nominal adalah secara hukum konstitusi berlaku,

444
Ibid., h. 33-34
445
R.G. Kartasapoetra, Sistematika Hukum Tata Negara, Jakarta: Bina Aksara,
1987, h. 21-22.

226
Teori Konstitusi

tetapi dalam praktek tidak sempurna, karena ada beberapa pasal


tertentu dari konstitusi dalam kenyataannya tidak berlaku.
Terakhir, adapun yang dimaksud dengan nilai semantik adalah
jika konstitusi secara hukum berlaku, namun dalam kenyataan
hanya memberi bentuk dari tempat yang telah ada untuk
melaksanakan kekuasaan politik.446

E. Perubahan Konstitusi
Konstiusi bukanlah suatu dokumen yang sakral yang tidak
dapat dilakukan perubahan. Konstitusi merupakan kesepakatan
politik suatu negara yang sewaktu-waktu dapat dilakukan
perubahan, sesuai dengan kebutuhan negara dan rakyat dalam
bidang politik, sosial, ekonomi dan budaya. Perubahan kons-
titusi perlu dilakukan supaya konstitusi sesuai dengan
perkembangan zaman dan tidak usang. Oleh kerana itu, K.C.
Wheare menyatakan bahwa ada 4 (empat) cara perubahan
konstitusi yang signifikan, meliputi :
1. Formal amandement, perubahan konstitusi dilakukan sesuai
dengan ketentuan norma-norma yang ditetapkan dalam
konstitusi itu sendiri;
2. Some Primary Sources, perubahan konstitusi karena desakan
dari partai-partai politik yang menguasai parlemen;
3. Judicial Constitution, perubahan konstitusi melalui penafsiran
hakim. Dalam praktek dapat dilakukan melalui judicial re-
view oleh Supreme Court atau Constitutional review oleh Con-
stitutional Court;
4. Usage and convention, perubahan konstitusi terjadi melalui
proses yang terjadi dalam masyarakat melalui kebiasaan dan
konvensi karena kesepakatan masyarakat.447

Selain pendapat di atas, C.F. Strong juga mengemukakan


mengemukakan 4 (empat) macam prosedur perubahan kons-
titusi, yaitu :
446
Astim Riyanto, Op.Cit., h. 311-317
447
I Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi, Problematika Konstitusi Indonesia
Sesudah Perubahan UUD 1945, Malang: Setara Press, 2012, h. 62

227
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

1. Perubahan konstitusi dilakukan oleh badan legislatif dengan


persyaratan khusus, misalnya mendapat persetujaun 2/3 dari
anggota parlemen yang hadir;
2. Perubahan konstitusi dilakukan dengan cara referendum,
yakni meminta pendapat rakyat untuk menerima atau
menolak Rancangan Perubahan Konstitusi yang diajukan
oleh badan yang berwenang melakukan perubahan secara
formal. Apabila disetujui oleh mayoritas rakyat, maka terjadi
perubahan konstitusi, sebaliknya apabila tidak disetujui atau
ditolak oleh mayoritas rakyat, maka tidak terjadi perubahan
konstitusi;
3. Perubahan konstitusi negara serikat, perubahan melalui
persetujuan konvensi negara-negara bagian (state);
4. Perubahan melalui konvensi oleh badan yang khusus di-
bentuk hanya berwenang melakukan perubahan konstitusi.448

Di Indonesia, perubahan UUD diatur dalam Pasal 37


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang menentukan:
(1) Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat
diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat
apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(2) Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan
secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan
untuk diubah beserta alasannya.
(3) Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang
Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-
kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan
Rakyat.
(4) Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar
dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh
persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat.

448
Ibid., h. 62-63.

228
Teori Konstitusi

(5) Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia


tidak dapat dilakukan perubahan.

Jika dikaitkan dengan pendapat K.C. Wheare tentang cara


perubahan konstitusi, tata cara perubahan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 termasuk cara
perubahan yang pertama, yaitu formal amandement, perubahan
konstitusi dilakukan sesuai dengan ketentuan norma-norma
yang ditetapkan dalam konstitusi itu sendiri, yaitu sebagaimana
tercantum pada Pasal 37 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Namun, bila dihubungkan
dengan pendapat C.F. Strong tentang macam cara perubahan
konstitusi, cara perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana diatur pada Pasal
37, termasuk model perubahan yang pertama, yakni perubahan
konstitusi dilakukan oleh badan legislatif dengan persyaratan
khusus, misalnya mendapat persetujuan 2/3 dari anggota
parlemen yang hadir. Dengan dasar tersebut, maka Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 termasuk
konstitusi yang rigid, karena perubahannya memerlukan
persyaratan khusus.

229
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

230
BAB X
TEORI NEGARA DEMOKRASI

A. Pengertian Demokrasi
Secara etimologi, demokrasiberasal dari bahasa Latin yang
tersusun dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratia
berarti pemerintahan. Jika dua kata itu digabungkan, menjadi
demokratia mengandung arti pemerintahan rakyat.449Black’s Law
Dictionary menyatakan bahwa “Democracy is that form of govern-
ment inwhich the sovereign power resides in and is exercisedby the
whole body of free citizens, as distinguishedfrom a monarchy, aristoc-
racy, or oligarchy.According to the theory of a pure democracy,every
citizen should participate directlyin the business of governing, and the
legislative assembly should comprise the whole people. Sovereign powers
are exercised by all the people orlarge number of them, or specifically,
in modern use, of arepresentative government where there is equality
of rightswithout hereditary or arbitrary differences in rank orprivilege;
and is distinguished from aristocracy”450(Demokrasi adalah bentuk
pemerintahan di mana kedaulatannya terletak dan dilaksanakan
oleh seluruh rakyat, sebagai lawan dari monarki, aristokrasi dan
oligarki.Menurut teori demokrasi, setiap warga negara harus
berpartisipasi secara langsung dalam urusan pemerintahan, dan
legislatif harus terdiri atas seluruh rakyat. Kedaulatan dilaksana-
kan oleh seluruh rakyat atau sebagian besar dari rakyat, atau

449
I Gde Pantja Astawa, Op.Cit., h. 67
450
Henry Campbell Black, Op.Cit., h. 518-519

231
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

secara spesifik dalam penggunaan terkini, pemerintahan yang


reprsentatif ada ketika ada persamaan hak, tanpa adanya hak
turun temurun dan kesewenang-wenangan yang dibedakan
berdasarkan kelas dan keistimewaan; dan demokrasi dibedakan
dengan aristokrasi).
Berangkat dari pemahaman secara etimologi tersebut,
Abraham Lincoln’s mengartikulasikan demokrasi dalam makna,
“government of the people, by the people and for the people”451
(pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat).
Senada dengan hal tersebut, Arend Lijphart menyatakan bahwa
demokrasi adalah “government by majority of people”.452 Negara
demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan
kehendak dan kemauan rakyat. Apabila ditinjau dari sudut
organisasi ia berarti suatu pengorganisasian negara yang
dilakukan oleh rakyat sendiri atas persetujuan rakyat karena
kedaulatan berada di tangan rakyat.453
Berkaitan dengan pengertian demokrasi tersebut, Dily’s M.
Hill berpendapat “the definition of democracy, on the other hand, is
conserned with the national political system based on citizen partici-
pation, majority rule, consultation and discussion and the responsibil-
ity of leaders to lead”454 (demokrasi diartikan sebagai sistem politik
nasional yang didasarkan pada partisipasi warga negara,
peraturan yang dibuat oleh mayoritas, konsultasi dan diskusi
serta pertanggungjawaban pemimpin untuk memimpin). Senada
dengan hal tersebut, Henry B. Majo juga menyatakan bahwa “a
democratic political system is one in which public policies are mede
and majority basis, by representative subject to effective popular con-
trol at periodic election which are conducted on the principle of politi-
cal equality and under condition of political freedom”455(sistem politik

451
Andrew Heywood, Politics, 2 ed, New York: Palgrave, 2002, h. 67
452
Mukhti Fajar, Op.Cit., h. 40
453
Amir machmud, “Demokrasi, Undang-Undang, dan Peran Rakyat”, PRISMA,
LP3ES, (No.8 1984)
454
Dilys M. Hill, Democratic Theory and Local Government , George Allen &
Unwin Ltd, 1974
455
I Gde Pantja Astawa, Op. Cit., h. 81

232
Teori Negara Demokrasi

demokrasi adalah satu kebijakan politik dibuat berdasarkan


mayoritas wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat
dalam pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan
politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya
kebebasan politik).
Tatu Vanhanen456 mengartikan demokrasi sebagai sistem
politik di mana kelompok-kelompok yang berbeda secara legal
merupakan entitas yang berhak berkompetisi mengejar
kekuasaan institusional, dipilih oleh rakyat dan bertanggung
jawab kepada rakyat. Demikian pula E.E. Schattscneider457
mendefinisikan demokrasi sebagai suatu sistem politik
kompetitif, terdapat persaingan-persaingan para pemimpin dan
organisasi-organisasi dalam menjalankan alternatif-alternatif
kebijakan publik, sehingga publik dapat turut berpartisipasi
dalam proses pengambilan keputusan.
Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim menyatakan bahwa
suatu negara yang menganut azas kedaulatan rakyat disebut
juga sebagai negara demokrasi.458 Titik Triwulan Tutik juga
menyatakan bahwa pengertian demokrasi secara harfiah identik
dengan makna kedaulatan rakyat. Negara demokrasi adalah
negara yang sistem pemerintahannya (kedaulatannya) berada
di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan
rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan
oleh rakyat.459 Jimly Asshiddiqie juga menyatakan bahwa dalam
sistem participatory democracy, kedaulatan rakyat itu
mengandung makna kekuasaan pemerintahan itu berasal dari
rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat dan bersama rakyat.460 Dengan
dasar tersebut, I Gde Pantja Astawa menyatakan bahwa
substansi demokrasi adalah adanya peran serta atau partisipasi
aktif masyarakat yang diimplementasikan melalui badan

456
Suyatno, Menjelajahi Demokrasi, Yogyakarta: Liebe Book, 2004, h. 34
457
Ibid
458
Moh.Kusnardi, Harmaily Ibrahim, Pengantar…Op.Cit., h. 130
459
Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Amandemen UUD 1945, Jakarta: Prenada Media Group, 2010, h. 67
460
Jimly Assiddiqie, Konstitusi…Op.Cit., h. 117

233
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

perwakilan untuk mengawasi pelaksanaan pemerintahan agar


sesuai dengan konstitusi, hukum, dan kedaulatan rakyat serta
adanya prinsip accountibility yakni pertanggungjawaban
pelaksanaan mandat kepada pemberi mandat”.461

B. Kriteria Pemerintahan Demokratis


Philipe C. Schmitter462 memaknai demokrasi sebagai sistem
pemerintahan, penguasa mempertanggungjawabkan tindakan-
nya kepada warga negara, bertindak secara langsung melalui
kompetisi dan kerja sama dengan wakil-wakil rakyat. Selain itu,
bahkan ada sebagian pakar mendefinisikan demokrasi melalui
penentuan syarat-syarat suatu sistem pemerintahan demokratis.
Affan Gaffar463 salah satu pakar yang menyebutkan lima kriteria
pokok demokrasi antara lain; pertama, akuntabilitas; kedua, rotasi
kekuasaan; ketiga, rekruitmen politik yang terbuka; keempat,
pemilihan umum; kelima, menikmati hak-hak dasar secara bebas.
Robert A. Dahl464 juga mengajukan lima kriteria demokrasi
ideal antara lain; pertama, persamaan hak pilih; kedua, partisipasi
efektif; ketiga, kebebasan berpendapat; keempat, kontrol terakhir
terhadap agenda; kelima, pencakupan. Menurut Dahl, bahwa
suatu pembuatan keputusan dapat dikatakan demokratis,
apabila telah memenuhi kelima kriteria tersebut di atas.
Selanjutnya, Dahl sebagaimana dikutip dalam Arend Lijphart,
mengajukan delapan kriteria demokrasi antara lain: (1) the right
to vote(hak untuk memilih); (2) the right tobe elected(hak untuk
dipilih);(3) the right to political leaders to compete for supportandvotes
(hak para pemimpin politik untuk berkompetisi secara sehat
dalam merebut dukungan dan suara);(4) elections that are free and
fair (adanya pemilu yg bebas, jujur dan adil);(5) freedom of asso-
ciation (adanya kebebasan untuk membentuk dan bergabung

461
I Gde Panca Astawa, Op.Cit., h. 84
462
Suyatno, Loc.Cit
463
Affan Gaffar, Demokrasi Politik, Makalah Seminar Perkembangan
Demokrasi di Indonesia Sejak 1945, Widtagraha, LIPI, 24-25 Mei 1993.
464
Robert A. Dahl, Dilemms of Pluralist Democracy: Autonomy VS. Control, New
York: Yale University Press, 1983,h. 10

234
Teori Negara Demokrasi

dalam organisasi); (6) freedom of expression (adanya kebebasan


menyatakan pendapat); (7) alternative sources of information (ada
pilihan terhadap berbagai sumber informasi); dan(8) institution
for making public policies depend an votes and expression of prefer-
ence (adanya lembaga-lembaga yang membuat kebijakan pe-
merintah berdasarkan aspirasi rakyat). 465Delapan kriteria
demokrasi yang diajukan Dahl pada umumnya terarah pada
demokrasi prosedural minimalis yang menekankan pada
kebebasan dan persamaan serta partisipasi politik rakyat dalam
ikut menentukan pimpinan dan kebijakan pemerintah.
Dalam rangka mendefinisikan demokrasi, Amien Rais
memaparkan kriteria-kriteria demokrasi, yaitu:466
a. Partisipasi dalam pembuatan keputusan;
b. Persamaan di bidang hukum;
c. Distribusi pendapatan secara adil;
d. Kesempatan pendidikan yang sama;
e. Empat macam kebebasan yaitu kebebasan mengeluarkan
pendapat, kebebasan persuratkabaran, kebebasan ber-
kumpul, dan kebebasan beragama;
f. Ketersedian dan keterbukaan informasi;
g. Mengindahkan fatsoen (tata krama politik);
h. Kebebasan Individu;
i. Semangat kerjasama; dan
j. Hak untuk protes.

Pemahaman Hans Kelsen467 tentang demokrasi, diklasifi-


kasikan dalam beberapa kelompok, sebagai berikut:

465
Arend Lijphart, Patterns ofDemocracy, New Haven: Yale University Press,
1999, h. 48-49
466
Amien Rais dalam Agus Wijayanto Nugroho, Kewenangan Mahkamah
Konstitusi Dalam Sengketa Pemilu Legislatif (Sebuah Pembelajaran Dalam
Mewujudkan dan Menjaga Kedaulatan Rakyat), Jurnal Konstitusi, PKK-FH,
Lambung Mangkurat, (Vol. II No. 1 Juni 2009), h. 65
467
Hans Kelsen, General Theory Law and State, New York: Russel & Russel,
1961, h. 284-299

235
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

1. The idea of freedom (ide tentang kebebasan):


a. The metamorphosis of the idea of freedom(metamorphosis dari
ide tentang kebebasan);
b. The principle of self-determination(prinsip untuk menentu-
kan sendiri).
2. The principle of majority( prinsip mayoritas):
a. Self determination and anarchy(menentukan nasib sendiri
dan anarki);
b. Necessary restriction of liberty by the principle of majority, the
idea of equality(pentingnya pembatasa kebebasan dengan
prinsip mayoritas, ide dari kesetaraan).
3. The right of the minority(hak-hak minoritas);
4. Democracy and compromise(demokrasi dan kompromi);
5. Direct and Indirect (representative) democracy(demokrasi
langsung dan demokrasi tidak langsung (perwakilan);
6. The fiction of representation(Fiksi dari perwakilan);
7. The electoral system (Sistem pemilihan):
a. The electorale body(badan pemilih);
b. The right of suffrage(hak untuk memilih);
c. Majority and proporsional representation(perwakilan
mayoritas dan perwakilan proporsional).
8. Democracy of legislation(demokrasi dalam legislasi):
a. Unicameral and bicameral system(sistem satu kamar dan dua
kamar);
b. Popular initiative and referendum(inisiatif orang banyak dan
referendum).
9. Democracy of executive (demokrasi eksekuti)f;
10. Democracy and legality of execution(demokrasi dan legalitas
pelaksanaannya).

Demokrasi bagi Kelsen, tertanam dalam gagasan tentang


kebebasan yang diturunkan dari kebebasan alam (natural free-
dom) dan hal itu sesuai dengan kebebasan politik (political lib-
erty). Endapan gagasan kebebasan tersebut menjadi penting

236
Teori Negara Demokrasi

untuk semua pemikiran politik, tetapi kebebasan tersebut in-


herent (melekat) pada “principle of self determinatiaon” (prinsip
pengaturan diri sendiri), yang mewajibkan individu harus
terlibat dalam menciptakan ketertiban sosial.468
The principle of majority dalam gagasan demokrasi Kelsen,
tetap bertumpu pada ide self determinationyang meyakini bahwa
penciptaan ketertiban sosial dalam pembuatan keputusan, harus
berdasarkan kebulatan suara, semua anggota menyetujui dan
senang atas keputusan itu, sehingga kehendak umum (the volonte
generale) harus sesuai dengan kehendak anggota (the volonte de
tous) masyarakat.469 Oleh karena itu, volonte de tous merupakan
dasar perjanjian masyarakat untuk terbentuknya suatu negara
dan hal-hal yang berlaku terus-menerus serta tidak dapat ditarik
kembali atau dibatalkan, sedangkan volonte generale merupakan
kesepakatan yang didasarkan setelah terbentuknya suatu negara,
yakni suatu kesepakatan yang tidak menuntut adanya
persetujuan secara bulat, melainkan didasarkan pada suara
terbanyak.470
Berbagai uraian di atas, menunjukkan adanya kesulitan
untuk memberi suatu definisi yang lengkap dan dapat disepakati
mengenai demokrasi. Kesulitan tersebut, disebabkan oleh
dimensi demokrasi yang sangat luas dan kompleks, sehingga
kecenderungan pakar berusaha mendeskipsikan demokrasi
melalui antara lain: pertama, penentuan kriteria dan syarat-syarat
substantif suatu demokrasi; kedua, pendekatan legal formal
dengan mengkonsepsinya demokrasi sebagai out put dari sebuah
sistem politik dari suatu konstitusi negara; dan ketiga, demokrasi
dipahami sebagai suatu sistem politik yang berhubungan
langsung dengan cara-cara pengambilan keputusan untuk
kepentingan seluruh warga negara. Oleh karena itu, suatu sistem
politik yang demokratis menurut Mochtar Mas’oed harus
memenuhi beberapa kriteria: pertama, adanya kompetisi yang

468
Ibid. h. 284-299
469
Ibid
470
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar…Op. Cit., h. 126

237
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

sungguh-sungguh di antara individu-individu dan kelompok-


kelompok organisasi, terutama partai politik untuk merebut
jabatan-jabatan pemerintahan secara reguler tanpa mengguna-
kan daya paksa dan kekerasan; kedua, partisipasi politik yang
melibatkan sebanyak mungkin warga negara dalam pemilihan
pemimpin dan kebijakan melalui pemilihan umum secara
berkala dan adil; ketiga, kebebasan sipil dan politik, yakni ke-
bebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan untuk membentuk
dan bergabung ke dalam organisasi yang cukup menjamin
integritas kompetisi dan partisipasi politik. 471 Pandangan
tersebut, lebih berorientasi kepada suksesi kepemimpinan politik
suatu negara.
Pada hakikatnyademokrasi adalah suatu cara rakyat
menyelenggarakan kedaulatan dalam bentuk pemerintahan
rakyat, sehingga segala bentuk penyelenggaraan pemerintahan
senantiasa berorientasi kepada kepentingan rakyat, pelibatan
dan pengawasan rakyat serta pertanggungjawaban kepadanya,
atas segala bentuk penyelenggaraan pemerintahan, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Senada dengan hal tersebut,
I Gde Pantja Astawa,472menyatakan bahwa substansi demokrasi
adalah: pertama, adanya peran serta atau partisipasi aktif
masyarakat yang diimplementasikan melalui badan perwakilan
untuk mengawasi pelaksanaan pemerintahan agar sesuai
dengan kedaulatan rakyat; kedua, adanya prinsip accountability,
yakni pertanggungjawaban pelaksana mandat (pejabat) kepada
pembari mandat (rakyat).
Perkembangan prinsip-prinsip tersebut dipengaruhi oleh
semakin kuatnya penerimaan paham kedaulatan rakyat dan
demokrasi dalam kehidupan bernegara menggantikan model-
model negara tradisional.473Prinsip-prinsip negara hukum
471
Mochtar Mas.oed, Negara Kapital dan Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003, h. 10-11
472
I Gde Pantja Astawa, Op. Cit., h. 83
473
Walaupun paham kedaulatan rakyat dan prinsip-prinsip demokrasi sudah
banyak diterapkan sejak akhir abad ke-XIX, namun masih terdapat negara-
negara autokrasi tradisional dan sistem otoritarian seperti negara-negara
Marxis-Leninis dan Fasis pada saat itu. Meskipun bentuk-bentuk negara

238
Teori Negara Demokrasi

(nomocratie) dan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat (democratie)


dijalankan secara beriringan sebagai dua sisi dari satu mata
uang.Paham negara hukum yang demikian dikenal disebut
sebagai negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat)
atau dalam bentuk konstitusional disebut constitutional
democracy.Hukum dibangun dan ditegakkan menurut prinsip-
prinsip demokrasi. Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan
ditafsirkan, dan ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan
kekuasaan semata (machtsstaat).Sebaliknya, demokrasi haruslah
diatur berdasar atas hukum.Perwujudan gagasan demokrasi
memerlukan instrumen hukum untuk mencegah munculnya
ohklokrasi yang mengancam pelaksanaan demokrasi itu sendiri.
Negara demokrasi modern berdiri di atas basis kesepakatan
umum mayoritas rakyat tentang bangunan negara yang
diidealkan. Organisasi negara diperlukan agar kepentingan
mereka dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pem-
bentukan dan penggunaan mekanisme negara.474 Masyarakat
suatu negara terdiri dari berbagai macam kelompok dengan
kepentingan yang berbeda-beda yang jika tidak diatur dan
diorganisasikan dengan baik akan saling berbenturan dan
kembali pada kondisi pra-negara. Maka salah satu fungsi negara
adalah memenuhi kepentingan warga negara sekaligus
melindungi kepentingan warga negara yang lain. Negara diberi
kekuasaan untuk mempromosikan kepentingan warga negara
dan mengatur pemenuhan kepentingan tersebut atau bahkan
membatasinya jika dapat merugikan kepentingan warga negara
yang lain. Jika negara hanya mempromosikan kepentingan

otoritarian juga diselenggarakan berdasarkan hukum tetapi bertolak


belakang dengan negara hukum demokrasi. Lihat G. Lowell Field, Gov-
ernments in Modern Society, New York-Toronto-London: McGraw-Hill Book
Company, Inc., 1951, h. 353-506
474
William G. Andrew menyatakan bahwa “The members of a political commu-
nity have, by definition, common interest which they seek to promote or protect
through the creation and use of the compulsory political mechanism we call the
state”. Lihat William G. Andrew, Constitutions and Constitutionalism, 3rd
Edition, New Jersey: Van Nostrand Company, 1968, h. 9

239
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

sekelompok warga negara saja, maka akan menjadi negara kelas


yang melahirkan gerakan-gerakan sosialisme-komunisme.
Dalam sistem demokrasi modern dewasa ini, sistem
kekuasaan dalam kehidupan bersama biasa dibedakan dalam
tiga wilayah atau domain, yaitu negara (state), pasar (market),
dan masyarakat (civil society). Ketiga domain kekuasaan tersebut
memiliki logika dan hukumnya sendiri-sendiri. Ketiganya harus
berjalan seiring dan sejalan, sama-sama kuat dan sama-sama
saling mengendalikan satu sama lain, tetapi tidak boleh saling
mencampuri atau dicampuradukkan.
Jika kekuasaan negara terlalu domain, demokrasi tidak
akan tumbuh karena selalu didikte dan dikendalikan oleh
Negara, sehinggayang berkembang adalah otoritarianisme. Jika
kekuasaan pasar terlalu kuat, melampaui kekuatan “civil soci-
ety” dan negara, berarti kekuatan modal (kapital) dan kaum
kapitalis yang menentukan dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara. Demikian pila jika kekuasaan yang dominan
adalah “civil society” sedangkan negara dan pasar lemah, maka
yang akan terjadi adalah situasi “chaos”, “messy”, “government-
less”, tanpa arah yang jelas.

C. Tipe Demokrasi
Dalam perkembangannya, demokrasi memiliki tipe yang
dapat dibedakan menjadi demokrasi langsung (direct
democration), demokrasi tidak langsung (indirect democration) dan
demokrasi konstitusional (constitutional democration).

1. Demokrasi langsung (direct democration) dan


demokrasi tidak langsung (indirect democration).
Pembahasan mengenai demokrasi tidak akan lepas dari
bagaimana caranya rakyat berperan serta dalam menentukan
kebijakan negara. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam praktek
beberapa negara dikenal ada dua cara yaitu langsung (direct)
dan perwakilan (indirect).475 Robert Dahl sebagaimana dikutip

475
Soehino, Op.Cit., h. 240

240
Teori Negara Demokrasi

oleh Kacung Marijan menyatakan bahwa dalam demokrasi


perwakilan, partisipasi publik atau masyarakat itu dimaksudkan
sebagai keterlibatan warga negara dalam pemilu.476
Demokrasi langsung adalah salah satu metode dengan cara
melibatkan rakyat secara langsung dalam pengambilan
kebijakan negara. Keterlibatan rakyat secara langsung
dilaksanakan tanpa melihat status atau kedudukan dari warga
negara tersebut, tetapi didasarkan pada kualitas manusia sebagai
mahluk Tuhan yang mempunyai hak untuk menentukan dan
mengatur dirinya sendiri tanpa ada tekanan atau intervensi dari
orang lain. Demokrasi langsung atau demokrasi klasik pada
umumnya hanya dipandang demokrasi yang pernah dipraktik-
kan di Yunani kuno, karena jumlah penduduknya yang masih
sedikit dan wilayah yang tidak terlalu luas, sehingga mudah di
dalam melaksanakannya.
Sedangkan berkaitan dengan penyaluran kedaulatan rakyat
secara langsung (demokrasi langsung), Jimly Asshiddiqie
menyatakan bahwa:
“Penyaluran kedaulatan rakyat secara langsung (direct democracy)
dilakukan melalui pemilihan umum, pemilihan presiden, dan
pelaksanaan referendum untuk menyatakan persetujuan atau
penolakan terhadap rencana perubahan atas pasal-pasal tertentu dalam
Undang-Undang Dasar. Disamping itu, kedaulatan rakyat dapat pula
disalurkan setiap waktu melalui pelaksanaan hak atas kebebasan
berpendapat, hak atas kebebasan pers, hak atas kebesasan informasi,
hak atas kebebasan berorganisasi dan berserikat serta hak-hak asasi
lainnya yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar.”477

Pada perkembangan selanjutnya, demokrasi langsung


sangat sulit untuk diterapkan. Hal ini disebabkan oleh per-
masalahan yang sudah begitu kompleks, maka lahirlah
demokrasi perwakilan (indirect democration). Indirect democration
adalah suatu bentuk penyelenggaraan kedaulatan rakyat secara

476
Kacung Marijan, Sistem Politk Indonesia: Konsolidasi Pasca Reformasi. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2010, h. 112-113
477
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi… Op.Cit, h. 59

241
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

tidak langsung tetapi melalui lembaga perwakilan. Sistem


demokrasi seperti ini, sangat lazim dipraktikkan dalam alam
demokrasi modern karena lebih mudah dan praktis. Demokrasi
tidak langsung dilakukan dengan cara rakyat memilih wakil-
wakilnya yang akan duduk di parlemen. Kemudian wakil-wakil
tersebut yang akan mewakilkan rakyat yang diwakilkannya
dalam pengambilan keputusan bernegara.

2. Demokrasi konstitusional (constitutional democration)


Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang didasarkan
pada kebebasan dan partisipasi warga negara. Demokrasi
tersebut tidak boleh dilaksanakan sebebas-bebasnya, tetapi perlu
dibatasi oleh konstitusi dan hukum. Demokrasi tanpa batas
adalah kemunduran, karena akan menimbulkan chaos dalam
negara. Oleh karena itu, demokrasi yang ideal harus dibatasi
oleh suatu konstitusi. Demokrasi yang dibatasi oleh suatu
konstitusi inilah yang disebut dengan istilah demokrasi
konstitusional (constitutional democration). Demokarasi
konstitusional terdiri dari ajaran kedaulatan rakyat (demokrasi)
dan kedaulatan hukum (nomokrasi). Karenanya, dalam
demokrasi konstitusional terdapat kebebasan rakyat untuk ikut
serta dalam pemerintahan, namun kebebasan tersebut dibatasi
oleh hukum.
Berkaitan dengan hal tersebut, Miriam Budiarjo menyatakan
bahwa:478
Ciri khas dari demokrasi konstitusional ialah gagasan bahwa
pemerintahan yang demokratis adalah pemerintahan yang terbatas
kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang
terhadap warga negaranya. Pembatasan-pembatasan atas kekuasaan
pemerintah tercantum dalam konstitusi, maka dari itu sering disebut
dengan pemerintahan yang berdasarkan konstitusi (constitutional gov-
ernment/limited government/restrained government).

Demokrasi konstitusional menghendaki adanya pembatas-


an kekuasaan melalui proteksi konstitusional. Hal ini bertujuan

478
Miriam Budiardjo, Op.Cit., h. 52

242
Teori Negara Demokrasi

supaya tidak terjadi pemusatan kekuasaan dalam peng-


organisasian negara, pemenuhan dan perlindungan terhadap
hak asasi warga negara serta peningkatan peran rakyat dalam
penentuan kebijakan negara. Eksistensi konstitusi diharapkan
tetap menjaga supaya kekuasaan tetap dalam ranah hukum yang
merupakan ekspresi kedaulatan rakyat (demokrasi). Di samping
itu, konstitusi juga merupakan dasar untuk membatasi
kebebasan warga negara dalam menyampaikan aspirasi dalam
penyelenggaraan negara.

D. Konsep Demokrasi dan Nomokrasi Dalam Undang-


Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
Dalam sebuah negara hukum, sesungguhnya yang meme-
rintah adalah hukum, bukan manusia. Setiap kebijakan yang
dibuat dan ditetapkan, serta setiap tindakan yang dilakukan oleh
aparat negara harus memiliki landasan hukum. Hukum
dimaknai sebagai kesatuan hierarkis, tatanan norma hukum
yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini, berarti bahwa dalam
sebuah negara hukum, menghendaki adanya supremasi kons-
titusi. Supremasi konstitusi, di samping merupakan konse-
kuenasi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan
pelaksanaan demokrasi, karena konstitusi adalah wujud
perjanjian sosial tertinggi.Dengan sendirinya perwujudan
supremasi konstitusi adalah juga mewujudkan negara hukum
yang demokratis.Di sini, nampak terdapat korelasi antara
konsepsi negara hukum dengan konsep kedaulatan rakyat atau
sistem demokrasi, yang dijalankan secara beriringan sebagai dua
sisi dari satu mata uang.Paham negara hukum yang demikian,
dikenal dengan sebutan negara hukum yang demokratis
(democratische rechtsstaat).Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan,
ditafsirkan, dan ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan
kekuasaan semata-mata (machtsstaat). Sebaliknya, demokrasi
haruslah diatur berdasar atas hukum. Perwujudan gagasan
demokrasi memerlukan instrumen hukum untuk mencegah
munculnya “mobokrasi” yang mengancam pelaksanaan
demokrasi itu sendiri.

243
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa “kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Ketentuan tersebut
memiliki dua prinsip, yaitu prinsip demokrasi tersirat dalam
kalimat “kedaulatan berada di tangan rakyat” dan prinsip negara
hukum tersirat dalam kalimat “dilaksanakan menurut UUD”.
Prinsip negara hukum dipertegas lagi pada Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang menentukan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Dengan rumusan ketentuan Pasal 1 ayat (3) di atas, Konsepsi
negara hukum yang dulu dikesankan menganut konsepsi
rechtsstaat dinetralkan menjadi negara hukum saja, tanpa label
rechtsstaat. Dengan demikian konsepsi negara hukum yang
dianut UUD 1945 diperoleh baik dari rechtsstaat maupun rule of
law, bahkan sistem hukum lainnya yang menyatu (integratif) dan
impelementasinya disesuaikan dengan tuntutan perkembangan
berdasarkan keadilan dan kemanfaatan.
Konsepsi negara hukum Indonesia menerima prinsip
kepastian hukum yang menjadi hal utama dalam konsepsi
rechtsstaat, sekaligus juga menerima prinsip rasa keadilan yang
menjadi hal utama dalam rule of law. Bahkan, dalam negara
hukum Indonesia juga menerima nilai spiritual dari hukum
agama. Hukum tertulis dan segala ketentuan proseduralnya
(rechtsstaat) diterima, tetapi harus diletakkan dalam rangka
menegakkan keadilan (rule of law). Ketentuan tertulis yang
menghalangi keadilan dapat ditinggalkan. Hal ini ditegaskan
dalam ketentuan Pasal 24 ayat (1)Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa fungsi
kekuasaan kehakiman adalah menegakkan hukum dan keadilan,
serta Pasal 28D ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 tentang hak memperoleh kepastian
hukum yang adil serta Pasal 28H ayat (2)Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa hukum harus
dibangun berdasarkan keadilan dan kemanfaatan.479

479
Moh Mahfud MD, Mahkamah Konstitusi… Op.Cit., h. 13-14

244
Teori Negara Demokrasi

Seperti dikemukakan di atas, apabila demokrasi (kedaulatan


rakyat) dan nomokrasi (kedaulatan hukum) dianut bersama-
sama dalam suatu negara, keduanya akan menghasilkan konsep
negara hukum yang demokratis (demokrasi konstitusional). Dari
sisi pemahaman kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi dalam
suatu negara berada di tangan rakyat.Kekuasaan tertinggi di
tangan rakyat itu dibatasi oleh kesepakatan yang mereka
tentukan sendiri secara bersama-sama, yang dituangkan dalam
aturan hukum (konstitusi). Aturan hukum (konstitusi) mem-
batasi dan mengatur bagaimana kedaulatan rakyat disalurkan,
dijalankan dan diselenggarakan dalam kegiatan kenegaraan dan
pemerintahan.Inilah yang kemudian berkembang menjadi
doktrin negara hukum.Dalam negara hukum yang demokratis,
cara berdemokrasi dan substansi hukumitu sendiri ditentukan
dengan cara-cara yang demokratis berdasarkan konstitusi.
Beberapa identitas yang mengemuka dalam konsep
Demokrasi Pancasila pada masa reformasi, antara lain; pertama,
amandemen UUD 1945 yang berorientasi pada penguatan
kedaulatan dan demokrasi; kedua, pelaksanaan kedaulatan
rakyat berdasarkan UUD; ketiga, partisipasi politik yang tinggi
bagi penentuan dan pengisian pejabat-pejabat publik, khususnya
lembaga legislatif, dan eksekutif; keempat, pembatasan masa
jabatan pejabat-pejabat publik; kelima, prinsip responsibilitas dan
akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.

245
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

246
DAFTAR PUSTAKA

Affandi, Muchtar, 1982. Ilmu-Ilmu Kenegaraan: Suatu Studi


Perbandingan. Lembaga Penerbit Fakultas Sosial Politik
Universitas Padjajaran, Bandung.
Al Chaidar, 2000. Federasi Atau Disintegrasi,Telaah Awal Wacana
Unitaris Versus Federalis Dalam Perspektif Islam,
Nasionalisme dan Sosial Demokrasi.Madani Press, Jakarta.
Alrasyid, Harun. Kajian Sistem Pemerintahan dan Ruang
Lingkupnya, dalam Basement, Majalah Mahasiswa Uni-
versitas Pasundan, Vol. 3., No., III, Juni, Bandung.
Apeldoorn, L.J. Van, 1968. Pengantar Ilmu Hukum. Pradnya
Paramita, Jakarta.
Amirmachmud, “Demokrasi, Undang-Undang, dan Peran Rakyat”,
PRISMA, LP3ES, (No.8 1984).
Andrew, William G., 1968. Constitutions and Constitutionalism,
3rd Edition. Van Nostrand Company, New Jersey.
Arend, Lijphart, 1999. Patterns ofDemocracy. Yale University
Press, New Haven.
Asshiddiqie, Jimly, 2005. Format Kelembagaan Negara dan
Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945. FH UII
Press,Yogyakarta.

247
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

Asshiddiqie, Jimly, 2006. Pergumulan Peran Pemerintah dan


Parlemen dalam Sejarah : Telaah Perbandingan Konstitusi
Berbagai Negara. UI Press, Jakarta.
Asshiddiqie, Jimly, 2006. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar
Demokrasi. Konstitusi Press, Jakarta.
Asshiddiqie, Jimly, 2008. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indo-
nesia Pasca Reformasi. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.
Asshiddiqie, Jimly, 2009. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Asshiddiqie, Jimly, 2010. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indo-
nesia. Sinar Grafika, Jakarta.
Astawa, I Gde Pantja, 2000. Hak Angket dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia Menurut UUD 1945. Disertasi,
PPS Unpad, Bandung:
Astawa, I Gde Pantja dan Suprin Na’a, 2009. Memahami Ilmu
Negara dan Teori Negara. Refika Aditama, Bandung.
Atmadja, I Dewa Gede, 2012. Hukum Konstitusi, Problematika
Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945. Setara
Press, Malang.
Attamimi, A.Hamid S., 1990. Peranan Keputusan Presiden Republik
Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara:
Suatu Studi Analisis mengenai Keputusan Presiden yang
Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita
IV. Disertasi, Fakultas Pascasarjana Universitas Indone-
sia.
Attamimi, A. Hamid S., 1992. Teori Perundang-Undangan Indone-
sia: Suatu sisi Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan In-
donesia Yang menjelaskan dan Menjernihkan
Pemahaman.Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
Tetap Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Jakarta.
Azhary,1974. Ilmu Negara.Ghalia Indonesia, Jakarta.

248
Daftar Pustaka

Azhary, Muhammad Tahir, 2004. Negara Hukum, Suatu Studi


Tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam,
Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa
Kini. Prenada Media, Jakarta.
Basah, Sjachran, 1994. Ilmu Negara, (Pengantar, Metode dan Sejarah
Perkembangan). Citra Aditya Bakti, Bandung.
Basyir, Ahmad Azhar, 2000. Negara dan Pemerintahan Dalam Is-
lam. UII Press, Yogyakarta.
Barker, Sir Ernest, 1960. The Political Theory–Plato and his Prede-
cessor. University Paperback – Barnes & Noble, New
York.
Black, Hanry Campbell, 1891. Black’s Law Dictionary, 4th.ST. Paul,
Minn. West Publishing, Co.
Budiarjo, Miriam, 1991. Dasar-Dasar Ilmu Politik.Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Budiman, Arief, 1996. Teori Negara. Gramedia Pustaka
Utama,Jakarta.
Busroh, Abu Daud, 1990. Ilmu Negara. Bumi Aksara,Jakarta.
Carroll, Alex, 2007. Constitutional and Administrative Law. Pearson
Education Limited, Harlow.
C., Anwar, 2008. Teori dan Hukum Konstitusi. In-Trasn, Malang.
Dahl, Robert A., 1983. Dilemms of Pluralist Democracy: Autonomy
VS. Control. Yale University Press, New York.
Diantha, I Made Pasek, 1990. Tipe-Tipe Pokok Sistem Pemerintahan
Dalam Demokrasi Moderen. Abardin, Bandung.
Ence, Irianto A. Baso, 2008. Negara Hukum & Hak Uji
Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi; Telaah Terhadap
Kewenangan Mahkamah Konstitusi. Alumni, Bandung.
Fajar, Mukti, 2005. Tipe Negara Hukum, cet.2. Bayumedia Pub-
lishing Malang.
Field, G. Lowell, 1951. Governments in Modern Society. McGraw-
Hill Book Company, Inc., New York-Toronto-London.

249
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

Gaffar, Affan, Demokrasi Politik, Makalah Seminar Perkembangan


Demokrasi di Indonesia Sejak 1945, Widtagraha, LIPI,
24-25 Mei 1993.
Garner, Bryan A., Black’s’s Law Dictionary, 7th.ST. Paul, Minn.
West Publishing, Co.
Ghoffar, Abdul, 2009. Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia
Setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju.
Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Hadjon, Philipus M., 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di
Indonesia. Bina Ilmu, Surabaya.
Hendratno, Edie Toet, 2009. Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan
Federalisme. Graha Ilmu dan Universitas Pancasila Press,
Jakarta.
Heywood, Andrew, 2002. Politics, 2th. New York, Palgrave.
Hiariej, Eddy O.S., 2011. Asas Legalitas & Penemuan Hukum Dalam
Hukum Pidana. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Hill, Dilys M., 1974. Democratic Theory and Local
Government.George Allen & Unwin Ltd.
HR., Ridwan, 2010. Hukum Administrasi Negara. RajaGrafindo
Persada, Jakarta.
Huda, Ni’matul, 2007. Lembaga Negara Dalam Masa Transisi
Demokrasi. FH UII Press, Yogyakarta.
Huda, Ni’matul, 2012. Ilmu Negara. Rajawali Pers, Jakarta.
Hutabarat, Martin H., dkk. (Penyunting), 1996. Hukum dan Politik
Indonesia Tinjauan Analitis Dekrit Presiden dan Otonomi
Daerah. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Isjwara, F., 1992. Pengantar Ilmu Politik.Binacipta, Jakarta.
Ismatullah, Deddy dan Asep A. Sahid Gatara, 2006. Ilmu Negara
Mutakhir: Kekuasaan, masyarakat, Hukum dan Agama.
Pustaka Attadbir, Bandung.

250
Daftar Pustaka

Isra, Saldi, 2010. Pergeseran Fungsi Kekuasaan Legilasi Menguatnya


Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidensial In-
donesia. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Indrayana, Denny, 2008. Negara Antara Ada dan Tiada, Reformasi
Hukum Ketatanegaraan. Kompas Media Nusantara,
Jakarta.
Indrayana, Denny Mendesain Presidensial Yang Efektif, Bukan
“Presiden Sial “ atawa Presiden Sialan”, Makalah, 11-13
Mei 2007, Bukittinggi.
Joeniarto, 1981. Negara Hukum. YBP Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta.
Koker, Francis W., Sovereignty, Encyclopaedia of Social Science,
vol. 14.
Kartasapoetra, RG., 1987. Sistematika Hukum Tata Negara. Bina
Aksara, Jakarta.Kranenburg, 19983. Ilmu Negara Umum
(diterjemahkan oleh Tk. B. Sabaroedin). Pradnya
Paramita, Jakarta.
Kelsen, Hans, 2006. Teori Umum Tentang Hukum dan Negara,
diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien. Penerbit
Nusamedia & Penerbit Nuansa, Bandung.
Kelsen, Hans, 1961. General Theory Law and State. Russel & Russel,
New York.
Koeswara, E., 2001. Otonomi Daerah, Untuk Demokrasi dan
Kemandirian Rakyat. Yayasan PARIBA Jakarta.
Konstitusi, Mahkamah, 2005. Laporan Penelitian Mekanisme Im-
peachment dan Hukum Acara Mahhakamah Konstitusi.
Sekjen MK RI, Jakarta.
Kusnardi, Moh. dan Harmaily Ibrahim, 1983. Pengantar Hukum
Tata Negara Indonesia. Pusat Studi Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Sinar Bakti,
Jakarta.

251
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

Kusnardi, Moh. dan Bintan R. Saragih, 1994. Susunan Pembagian


Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945.
Gramedia, Jakarta.
Kusnardi, Moh. dan Bintan R. Saragih, 1995. Ilmu Negara. Gaya
Media Pratama, Jakarta.
Kusuma, R.M. Ananda B., Sistem Pemerintahan Indonesia, Dalam
Jurnal Konstitusi, Vol. 1 No.1., Jakarta: Mahkamah
Konstitusi RI.
Laski, Harold J., 1974. The State in Theory and Practice. The Vi-
king Press, New York.
Legowo, T.A., Paradigma Check and Balances dalam hubungan
Eksekutif-Legislatif, dalam Laporan Hasil Konferensi
Melanjutkan Dialog Menuju Reformasi Konstitusi di
Indonesia, Jakarta: International IDEA, 2002.
Librayanto, Romi, 2008. Trias Politica Dalam Struktur
Ketatanegaraan Indonesia. PUKAP,Makasar.
Lubis, M. Solly, 1972. Hukum Tata Negara. Mandar Maju,
Bandung.
Lubis, M. Solly, 1983. Pergeseran Garis Politik dan Perundang-
undangan Mengenai Pemerintah Daerah. Alumni,
Bandung.
Lubis, M. Solly, 2002. Ilmu Negara. Mandar Maju, Bandung.
LS, Syahda Guruh, 2000. Menimbang Otonomi vs Federal. Remaja
Rosda Karya, Bandung. Mac Iver, Robert M., 1955. The
Modern State.Oxford University Press, London
Manan, Bagir, 1996. Politik Perundang-Undangan Dalam Rangka
Mengantisipasi Liberalisme Perekonomian. FH-UNILA,
Bandar Lampung.
Manan, Bagir, 1999. Lembaga Kepresidenan. Pusat Studi Hukum
UII dengan Gama Media, Yogyakarta.
Manan, Bagir, 2005. Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian).
FH UII Press, Yogyakarta.

252
Daftar Pustaka

Manan, Bagir, 2009. Hukum Kewarganegaraan Menurut UU No.


12 Tahun 2006. FH UII Press, Yogyakarta.
Marijan, Kacung, 2010. Sistem Politk Indonesia: Konsolidasi Pasca
Reformasi. Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Martin,Elizabeth A., 2003. Oxford Dictionary of Law, 5th. Oxford
University Press.
Martosoewignyo, Sri Soemantri, 1976. Sistem-Sistem Pemerintahan
Negara-Negara ASEAN. Tarsito, Bandung.
Martosuwignyo, Sri Soemantri, 1981. Pengantar Perbandingan
Hukum Tata Negara.Rajawali, Jakarta.
Martosoewignjo, Sri Soemantri, 1992. Perlindungan Hukum
Melalui Perlindungan Hak Asasi, Makalah Seminar.
Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya.
Martosoewignjo, Sri Soemantri, 2006. Prosedur dan Sistem
Perubahan Konstitusi. Alumni, Bandung.
Mas.oed, Mochtar, 2003. Negara Kapital dan Demokrasi. Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
MD, Mahfud, 1993. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia.Liberty,
Yogyakarta.
MD, Mahfud, 1999. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi. GAMA
Media, Yogyakarta.
MD, Moh Mahfud, Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem
ketetanegaraan Indonesia, Makalah ini disampaikan pada
acara dialog dengan Asosiasi Dosen pengajar HTN/
HAN se-Jawa Timur yang diselenggarakan oleh
Fakultas Hukum Universitas Dr. Soetomo Surabaya, 18
Oktober 2008.
Nasution, Adnan Buyung, 1995. Aspirasi Pemerintahan
Konstitusional di Indonesia, terjemahan Sylvia Tiwon.
Grafiti Press.
Nasution, Bahder Johan, 2011. Negara Hukum dan Hak Asasi
Manusia. Mandar Maju, Bandung.

253
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

Nugroho, Agus Wijayanto, Kewenangan Mahkamah Konstitusi


Dalam Sengketa Pemilu Legislatif (Sebuah Pembelajaran
Dalam Mewujudkan dan Menjaga Kedaulatan Rakyat),
Jurnal Konstitusi, PKK-FH, Lambung Mangkurat, (Vol.
II No. 1 Juni 2009).
Nurtjahjo, Hendra, 2006. Filsafat Demokrasi. Bumi Aksara,Jakarta.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008.Kamus
Besar Bahasa Indonesia,Jakarta.
Prodjodikoro, Wirjono, 1977. Asas-Asas Hukum Tata Negara di
Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta.
Prodjodikoro, Wirjono, 1986. Asas-Asas Ilmu Negara dan
Politik.Eresco, Bandung.
Ranadireksa, Hendarmin, 2007. Arsitektur Konstitusi Demokratik.
Fokus Media, Bandung.
Ranawijaya, Usep, 1983. Hukum Tata Negara Indonesia: Dasar-
dasarnya. Ghalia Indonesia, Jakarta.
Renan, Ernest, 1994. Apakah Bangsa Itu? (Qu’est ce qu’une nation?)
dialih bahasa oleh Mr. Sunario. Alumni, Bandung.
Riyanto, Astim, 2000, Teori Konstitusi. Yapemdo, Bandung.
Rudolf, Josep, 1996. Federation dalam International Encyclopedia
of Governemnet and Politics, Vol. I. Topan, Singapura.
Sidharta, B. Arief, Kajian Kefilsafatan Tentang Negara Hukum,
dalam Jentera, Jakarta: Jurnal Hukum Pusat Studi
Hukum dan Kebijakan (PSHK), Edisi 3 Tahun II, No-
vember 2004.
Sibuea, Hotma P., 2010. Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan
dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik. Erlangga,
Jakarta.
Simorangkir, Bonar et.al., 2000. Otonomi Atau Federalisme
Dampaknya Terhadap Perekonomian. Pustaka Sinar
Harapan dan Harian Suara Pembaruan, Jakarta.
Soehino, 2013, Ilmu Negara. Liberty,Yogyakarta.

254
Daftar Pustaka

Starke, J.G., 1958. An Introduction to International Law.London


Strong, C.F., 1975. Modern Political Constitution An Introduction
to the Comparative Studi of their Histrory and Existing Form.
Sidwick & Jackson Ltd.
Sunarno, Siswanto, 2009. Hukum Pemerintahan Daerah di Indone-
sia, Cet.3. Sinar Grafika, Jakarta.
Surbakti, Ramlan, 1992. Memahami Ilmu Politik. Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Susanti, Bivitri, dkk., 2000. Semua Harus Terwakili: Studi mengenai
Reposisi MPR, DPR dan Lembaga Kepresidenan Indonesia.
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Jakarta.
Suseno, Franz Magnis. 1999. Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral
Dasar Kenegaraan Modern. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Suyatno, 2004. Menjelajahi Demokrasi. Liebe Book, Yogyakarta.
Syafiie, Inu Kencana dan Andi Azikin, 2007. Perbandingan
Pemerintahan. Refika Aditama, Bandung.Syaukani, dkk.,
2002. Otonomi Dalam Negara Kesatuan. Pustaka Pelajar
kerja sama dengan PUSKAP, Yokyakarta.
Tamanaha, Brianz Z., 2006. On the Rule of Law, History, Politic,
Theory, ed. 4. Cambridge university Press.
Thaib, Dahlan, et.al., Teori dan Hukum Konstitusi. RajaGrafindo
Persada, Jakarta.
Tim Kajian Amandemen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya,
2000. Amandemen UUD 1945 Antara Teks dan Konteks
dalam Negara yang Sedang Berubah. Sinar Grafika, Jakarta.
Tutik, Titik Triwulan, 2008. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara
Indonesai Pasca-amandemen UUD 1945.Cerdas Pustaka
Publisher, Jakarta.
Tutik, Titik Triwulan, 2010. Konstruksi Hukum Tata Negara Indo-
nesia Pasca Amandemen UUD 1945. Prenada Media
Group, Jakarta.

255
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

Utrecht, E., 1969. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indone-


sia. Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Uni-
versitas Negeri Padjajaran, Bandung.
Von Schmid, J.J., 1954. Ahli-ahli Pemikir Besar tentang Negara dan
Hukum, terjemahan Mr. R. Wiratno dan Mr.
Djamaluddin Dt. Singomangkuto. Pembangunan,
Jakarta.
Wahyono, Padmo, 1980. Negara Republik Indonesia. Academica,
Jakarta.
Wahyono, Padmo, 1998. Konsep Yuridis Negara Hukum Indonesia.
UI Press,Jakarta.
Wahyudi, Agus Doktrin Pemisahan Kekuasaan: Akar Filsafat dan
Praktek, Jurnal JENTERA, Edisi 8 Tahun III, Maret 2005.
Yamin, M., 1971. Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945.
Siguntang, Jakarta.
Zoelva, Hamdan, 2011. Pemakzulan Presiden di Indonesia. Sinar
Grafika, Jakarta.

256
PROFIL PENULIS

Dr.Hufron, SH.,MH. Lahir di Lumajang – Jawa


Timur, 6 Maret 1968. Menamatkan Pendidikan
Strata Satu (S1) pada Fakultas Hukum Universi-
tas Brawijaya Malang tahun 1991. Menempuh
program Magister Hukum (MH) pada Universi-
tas Tujuh Belas Agustus (UNTAG) 1945 Surabaya
lulus tahun 2002. Gelar Doktor Ilmu Hukum
diperoleh dari Fakultas hukum Universitas
Brawijaya Malang, lulus tahun 2012.
Riwayat pekerjaan, tahun 1992 menjadi dosen tetap Fakultas
Hukum Universitas Putra Bangsa Surabaya. Pada tahun 1993-
1996 menjadi Pembantu Dekan Bidang Akademik, dan selama
dua periode pada tahun 1997-2000 dan 2000-2004 menjadi Dekan
Fakultas Hukum Putra Bangsa Surabaya. Pada tahun 2004-2007
dipercaya sebagai Wakil Rektor Bidang Akademik dan menjadi
Staf Ahli Rektor Universitas Putra Bangsa pada tahun 2007-
2008.Tahun 2009 mengundurkan diri dari Fakultas Hukum
Universitas Putra Bangsa (sekarang menjadi Universitas Pelita
Harapan Surabaya) dan menjadi dosen tetap pada Fakultas
Hukum Universitas Tujuh Belas Agustus 1945 Surabaya pada
awal tahun 2012 sampai sekarang.
Saat ini sebagai dosen pengajar HTN-HAN bergabung dan
menduduki Biro Penelitian pada Pengurus Asosiasi Pengajar

257
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

HTN-HAN Provinsi Jawa Timur serta sebagai Ketua Pusat


Kajian Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Tujuh Belas
Agustus 1945 Surabaya. Di samping sebagai dosen Fakultas
Hukum, berprofesi sebagai advokat sejak 1992 sampai sekarang.
Pada akhir 2008 bersama Dr. Ach. Rubai’e, SH., MH.,
mendirikan Kantor Lawfirm: “HUFRON &RUBAIE” ber-
kedudukan di Jalan Ngagel Jaya Utara 17 Surabaya, sebagai cor-
porate lawyer beberapa perusahaan di Surabaya dan Jakarta.
Sejak tahun 1999 sampai sekarang menjadi Direktur
Eksekutif “Pusat Studi Desentralisasi & Perancangan Hukum”
(Pusderankum) Jawa Timur, Organisasi nirlaba yang peduli
terhadap penguatan dan pengembangan SDM dalam rangka
percepatan otonomi daerah. Pernah aktif di panggung partai
politik menjadi pengurus wilayah Partai Persatuan
Pembangunan Jawa Timur Periode 1995-2000.
Di sela-sela kesibukan sebagai pengajar dan advokat, aktif
sebagai narasumber seminar atau lokakarya regional dan
nasional bidang hukum dan politik. Selain itu aktif menulis di
media massa dan menjadi Narasumber pada TV9 Jawa Timur,
JTV Jawa Timur, TVRI Jawa Timur dan Surabayapost.net
Buku yang telah diterbitkan: (1) “Perspektif Hukum
Pemberhentian Kepala Daerah di Indonesia”, Penerbit LaksBang
Yogyakarta (2005); (2) “Hukum, Politik, dan Kepentingan”,

258
Profil Penulis

SYOFYAN HADI, SH., MH. lahir di Pepao Timur


Lombok Tengah Nusa Tenggara Barat pada
tanggal 7 Desember 1988. Pendidikan sarjana (S-
1) ditempuh pada Fakultas Hukum Universitas
Mataram (2007-2011) sebagai lulusan terbaik.
Kemudian melanjutkan ke jenjang Program Mag-
ister (S-2) pada Program Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Uiversitas Airlangga (2011-
2013).
Sekarang menjadi dosen tetap pada Fakultas Hukum Uni-
versitas 17 Agustus 1945 Surabaya dengan mengajar beberapa
mata kuliah di bidang hukum ketatanegaraan, di antaranya Ilmu
Negara, Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi, Hukum
Otonomi Daerah dan Perancangan Peraturan Perundang-
Undangan.

259
Dr. Hufron, SH., MH. & Syofyan Hadi, SH., MH.

260

Anda mungkin juga menyukai