Demokratisasi,
Hak Asasi Manusia, dan
Reformasi Hukum
di Indonesia
Editor: Taftazani
DEMOKRATISASI,
HAK ASASI MANUSIA, DAN
REFORMASI HUKUM DI INDONESIA
Perpustakaan Nasional Indonesia : Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Muladi
Demokratisasi, hak asasi manusia, dan reformasi hukum
di Indonesia/ penulis, Muladi; editor, Taftazani;
Jakarta, The Habibie Center, 2002, --
viii, 320 hal ; 21 cm.
ISBN 979-96962-1-6
Editor: Taftazani
iii
Departemen Kehakiman merumuskan pelbagai rancangan undang-
undang. Hal ini juga merupakan refleksi pengalaman empiris penulis
semasa menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan Menteri Sekretaris
Negara RI (1988-1999) serta mantan hakim agung MA (2000-2001)
yang juga banyak bergelut dengan pelbagai proses pembentukan
perundang-undangan, penegakan hukum dan peningkatan
kesadaran hukum masyarakat.
Semasa menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan Menteri
Sekretaris Negara, penulis merasa memperoleh blessing in disguise yang
sangat besar, karena justru dalam jabatan yang relatif singkat tersebut,
penulis secara langsung terlibat sebagai stakeholder untuk
menyelesaikan puluhan produk perundang-undangan sebagai
tuntutan reformasi. Perundang-undangan tersebut berkaitan dengan
perundang-undangan di bidang sosial politik, HAM, ekonomi pasar
dalam rangka proses globalisasi, pemberantasan KKN, yang semuanya
merupakan bagian usaha sistematis bangsa Indonesia untuk
mengaktualisasikan nilai-nilai demokrasi sebagai tuntutan reformasi.
Khusus di bidang HAM, penulis mengalami masa-masa yang
cukup dramatis, sebagai anggota KOMNAS HAM (sub divisi
pemantauan) tahun 1993-1998, karena harus mempromosikan dan
melindungi HAM di masa pemerintahan Orde Baru yang represif
dengan segala dinamika dan romantikanya. Dalam hal ini pula
semasa menjadi Menteri Kehakiman, penulis ditunjuk sebagai Ketua
Delegasi RI untuk pembentukan Mahkamah Pidana Internasional
(International Criminal Court) di Roma (1998) yang kemudian
menghasilkan Statuta Roma 1998. Penulis juga terlibat langsung
dalam penyusunan RUU Pengadilan HAM dan sosialisasinya dalam
bentuk pelbagai penataran. Kedudukan sekarang sebagai Ketua
Dewan Pengurus The Habibie Center merangkap sebagai Ketua Pusat
Demokrasi dan HAM akan lebih memperkuat nuansa di atas.
Selanjutnya sepanjang berkaitan dengan sistem peradilan pidana,
hal ini banyak dipengaruhi oleh pengalaman penulis semasa menjabat
sebagai koresponden nasional RI pada “Commission on Crime
Prevention and Criminal Justice”, Ecosoc (1991-1998) yang banyak
bergelut dengan instrumen-instrumen internasional pencegahan
kejahatan dan sistem peradilan pidana.
iv
Pembahasan substansi yang banyak bersentuhan dengan
kehidupan peradilan dan pengadilan yang selalu menggelorakan
kekuasaan kehakiman yang merdeka, sedikit banyak dipacu oleh
emosi penulis semasa menjabat sebagai hakim agung pada
Mahkamah Agung RI tahun 2000-2001.
Perhatian terhadap relevansi antara hukum, demokrasi dan
politik, yang menempatkan baik hukum sebagai variabel dependen
maupun sebagai variabel independen banyak dipengaruhi oleh
kedudukan penulis baik sebagai anggota MPR (utusan daerah) pada
tahun 1992-1997 maupun pelbagai jabatan birokratis di atas.
Namun demikian, obyektivikasi penulisan akan selalu menjadi
pedoman penulis, sebab sebagai insan yang berasal dari kampus
perguruan tinggi, baik sebagai dosen, sebagai mantan ketua jurusan,
dekan dan rektor, penulis akan selalu menjunjung tinggi kebebasan
akademis (academic freedom) dan budaya akademis (academic culture)
yang akan menjunjung tinggi kebenaran (truth) dan bukan
pembenaran (justification).
Harapan penulis, Insya Allah penulisan buku ini akan bermanfaat
bagi pemerhati hukum khususnya, dan pembaca pada umumnya.
Penulis,
Muladi
v
Daftar Isi
vi
Bagian kedua: Faktor-faktor Global dan Ketegangan
Hukum Nasional
vii
Polisi dan Persepsi Keadilan ..................................................... 274
Pertanggungjawaban Komando ............................................... 280
Tinjauan Yuridis Terhadap Kasus Penyuapan Saksi Oleh
Pengacara ............................................................................ 293
Proses Peradilan In Absentia: Konteks dan Permasalahannya ... 299
Struktur Kekuasaan Lembaga Pengadilan dan Kejaksaan ........ 306
viii
bagian 1
REFORMASI HUKUM, DAN HAK ASASI
M A N U S I A
1
2
Peranan Mahkamah Agung dan
Kekuasaan Kehakiman di Era Reformasi
Pendahuluan
Setiap warga negara yang sadar politik, pasti akan tertarik dan
menaruh perhatian untuk mengkaji dan memantau implementasi Garis-
garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, Tap MPR No. IV/MPR/
1999, yang diwarnai oleh tekad bangsa Indonesia untuk mengatasi
krisis multi dimensi melalui reformasi di segala bidang kehidupan. Di
dalam GBHN tersebut kebijakan di bidang hukum dirumuskan sebagai
bagian integral dari seluruh kebijakan sosial, yang pada dasarnya
merupakan usaha sistematis dari seluruh bangsa untuk meningkatkan
kesejahteraan seluruh warganya di pelbagai bidang kehidupan.
Kondisi umum bidang hukum yang diidentifikasikan pada saat
GBHN dirumuskan terasa cukup memprihatinkan, sebab kondisi
tersebut telah dipandang sebagai penyebab berbagai pelanggaran
HAM dalam bentuk tindak kekerasan, diskriminasi dan kesewenang-
wenangan yang terjadi selama ini. Identifikasi kondisi umum tersebut
secara singkat dapat digambarkan seperti sebagai berikut:
Pertama, terdapat perkembangan yang kontroversial. Di satu
pihak produk materi hukum, pembinaan aparatur, sarana dan
prasarana hukum menunjukkan peningkatan. Tetapi di pihak lain
peningkatan tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan integritas
moral dan profesionalisme aparat hukum, kesadaran hukum, mutu
pelayanan, serta tidak adanya kepastian dan keadilan hukum sehingga
gagasan tentang perlunya menegakkan supremasi hukum baru pada
tingkat retorika belaka, belum dapat diwujudkan secara nyata.
Kedua, tekad untuk memberantas segala bentuk penyelewengan
— sesuai tuntutan reformasi — seperti KKN dan kejahatan ekonomi,
3
keuangan dan penyalahgunaan kekuasaan belum diikuti langkah-
langkah nyata dan kesungguhan pemerintah serta aparat penegak
hukum dalam menerapkan dan menegakkan hukum. Terjadinya
campur tangan dalam proses peradilan dan tumpang tindih dan
kerancuan hukum yang acap terjadi, telah mengakibatkan terjadinya
krisis hukum di hampir semua tingkatan.
Pembangunan nasional didasarkan atas visi bagi terwujudnya
masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berdaya saing, maju
dan sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan R.I. yang didukung
oleh manusia Indonesia yang mandiri, beriman, bertakwa, berakhlak
mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan,
menguasai iptek, memiliki etos kerja yang tinggi serta berdisiplin.
Untuk mewujudkan visi tersebut, maka misi yang digariskan dalam
GBHN juga menggaris bawahi betapa pentingnya perwujudan sistem
hukum nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan HAM
yang berlandaskan keadilan dan kebenaran.
Atas dasar kondisi umum, visi dan misi di atas, maka arah
kebijakan hukum yang harus dicapai adalah sebagai berikut:
1. Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat
untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam
kerangka supremasi hukum dan tegaknya Negara hukum.
2. Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu
dengan mengakui dan menghormati agama dan hukum adat serta
memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum
nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan
ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program
legislasi.
3. Menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin
kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum serta
menghargai HAM.
4. Melanjutkan ratifikasi konvensi internasional, terutama yang
bertalian dengan HAM sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan
bangsa dalam bentuk Undang-Undang.
5. Meningkatkan integritas moral dan profesionalisme aparat
penegak hukum, termasuk POLRI, untuk menumbuhkan
kepercayaan masyarakat dengan meningkatkan kesejahteraan,
dukungan sarana dan prasarana hukum, pendidikan, serta
pengawasan yang efektif.
4
6. Mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari
pengaruh penguasa dan pihak manapun.
7. Mengembangkan peraturan perundang-undangan yang
mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era
perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional.
8. Menyelenggarakan proses peradilan secara cepat, mudah, murah
dan terbuka, serta bebas KKN dengan tetap menjunjung tinggi
asas keadilan dan kebenaran.
9. Meningkatkan pemahaman, kesadaran, perlindungan,
penghormatan, dan penegakan HAM dalam seluruh aspek
kehidupan.
10.Menyelesaikan berbagai proses peradilan terhadap pelanggaran
hukum dan HAM yang belum ditangani secara tuntas.
Kekuatan
Derap reformasi yang mengawali lengsernya Orde Baru pada
awal tahun 1998 pada dasarnya merupakan gerak kesinambungan
yang merefleksikan komitmen bangsa Indonesia yang secara rasional
dan sistematis bertekad untuk mengaktualisasikan nilai-nilai dasar
demokrasi. Nilai-nilai dasar tersebut antara lain berupa sikap
transparan dan aspiratif dalam segala pengambilan keputusan politik,
pers yang bebas, sistem pemilihan umum yang jujur dan adil,
pemisahan POLRI dan TNI, sistem otonomi daerah yang adil, dan
prinsip good governance yang mengedepankan profesionalisme
birokrasi lembaga eksekutif, keberadaan badan legislatif yang kuat
dan berwibawa, kekuasaan kehakiman yang independen dan impartial,
partisipasi masyarakat yang terorganisasi dengan baik serta
penghormatan terhadap supremasi hukum.
Dalam hal yang terakhir ini (penghormatan terhadap supremasi
hukum), di samping keharusan adanya kekuasaan kehakiman yang
independen, harus dijunjung pula nilai-nilai sebagai berikut; menjauhi
hal-hal yang bersifat fragmentaris (ad hoc) dan mengedepankan
5
pendekatan sistematik, mengutamakan kebenaran dan keadilan,
melakukan promosi dan perlindungan HAM, menjaga
kesinambungan antara moralitas institusional, moralitas sosial dan
moralitas sipil, hukum tidak mengabdi kepada atau berada di bawah
kekuasaan politik, sistem hukum yang kondusif untuk terciptanya
supremasi hukum, kepemimpinan nasional yang mempunyai
komitmen kuat terhadap tegaknya supremasi hukum, konsep
kesadaran hukum yang terpadu antara kesadaran hukum penguasa
dan perasaan hukum masyarakat, proses pembuatan peraturan
perundang-undangan, proses penegakan dan pembudayaan hukum
yang mempertimbangkan aspirasi suprastruktur, infrastruktur,
kepakaran dan aspirasi internasional, penegakan hukum yang
berorientasi pada penyelesaian konflik secara tuntas, perpaduan
antara tindakan represif dan preventif, dan perpaduan antara proses
litigasi dan non litigasi (alternative dispute resolution).
Aktualisasi nilai-nilai dasar demokrasi tersebut sebenarnya
mempunyai basis kultural-historis yang sangat kuat, mengingat negara
Republik Indonesia lahir melalui perjuangan fisik yang teramat berat
menentang penjajahan. Perjuangan itu mengandung pesan moral
untuk senantiasa menegakkan dan mempromosikan nilai-nilai HAM,
sebab penjajahan pada hakekatnya merupakan salah satu bentuk
pelanggaran HAM berat (gross violation of human rights) .
Mempromosikan dan menegakkan HAM merupakan salah satu
elemen utama supremasi hukum, dan supremasi hukum sendiri
merupakan salah satu inti nilai demokrasi. Semangat ini dengan jelas
tersurat dan tersirat dalam pembukaan UUD 1945.
Penegasan bahwa Indonesia merupakan negara hukum
(Rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machsstaat), serta
pernyataan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka, mengandung spirit untuk tidak menjadikan hukum sebagai
alat kekuasaan, menegakkan prinsip persamaan di depan hukum dan
melindungi campur tangan baik yang bersifat internal maupun
eksternal terhadap kekuasaan kehakiman dalam rangka mencegah
dan menghindari kegagalan pencapaian keadilan. Perlu dicatat bahwa
prinsip independensi kekuasaan kehakiman merupakan prinsip yang
diakui sebagai salah satu instrumen HAM internasional yaitu UN
Basic Principles on the Independence of the Judiciary(1985).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa usaha untuk melakukan
6
reformasi hukum sebenarnya telah terjadi sejak proklamaasi
kemerdekaan, khususnya pada saat UUD 1945 disusun. UUD 1945
tidak hanya merupakan sistem normatif hukum dasar semata-mata,
tetapi sarat dengan sistem nilai demokratis yang merupakan reaksi
terhadap penjajahan yang penuh diwarnai dengan penindasan terhadap
nilai-nilai dasar demokrasi dan HAM. Rangkaian langkah reformasi
tersebut terus berlanjut pada zaman Konstitusi RIS, UUD 1950 dan
setelah kita kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959,
sampai dengan proses amandemen UUD 45 saat ini.
Malpraktek, penyimpangan dan distorsi yang terjadi dalam
praktek konstitusi biasanya lebih banyak diakibatkan oleh
kecerobohan, kebodohan, kemiskinan, kurang pengalaman, kurang
kemampuan dan kurang pengetahuan, yang pada akhirnya banyak
dimanfaatkan oleh elit-elit politik yang tidak bertanggungjawab, yang
berusaha mempertahankan kekuasaannya dengan memadukan
ideologi tertentu yang dianutnya dengan teror sistematis dan hukum
yang sudah dikooptasi oleh kekuasaan. Dalam konteks ini dapat
dipahami jika muncul apa yang diistilahkan dengan ‘c rimes by
government’ atau ‘top hat crimes’, suatu istilah yang melukiskan tentang
praktek pelanggaran terhadap nilai-nilai dasar demokrasi dan HAM
yang melibatkan unsur negara atau pemerintah.
Setiap tahap pergantian rezim selalu mengandung harapan-
harapan baru berupa kehidupan yang lebih demokratis dibandingkan
dengan pemerintahan sebelumnya. Jatuhnya Orde Lama yang
digantikan Orde Baru, yang ditandai dengan ikutsertanya para
teknokrat dari dunia akademis di pemerintahan, pada mulanya
membawa angin segar dan harapan baru dalam kehidupan politik di
Indonesia. Namun akibat inkonsistensi dalam sikap dan pemikiran
dalam menegakkan nili-nilai dasar demokrasi, pada akhirnya Orde
Baru terseret dalam praktek-praktek pemerintahan pragmatis dan
otoriter. Akibatnya hukum ditundukkan untuk mengabdi kepada
sistem kekuasaan represif. Sebagai contoh adalah perundangan UU
No. 14 Tahun 1970 yang menggantikan UU No. 19 Tahun 1964. Dalam
hal ini masyarakat hukum Indonesia mengharapkan adanya
kehidupan hukum yang lebih responsif dan demokratis, karena
banyak prinsip-prinsip “due process of law” yang diadopsi.
Namun demikian di sisi lain masih terdapat pula pasal-pasal yang
tidak menunjukkan konsistensi, seperti Pasal 11 ayat (1) UU No. 14
7
Tahun 1970 yang memungkinkan campur tangan departemen-
departemen teknis (DEPKEH, DEPHANKAM dan DEPAG) untuk
mengurus organisasi, administrasi dan finansial badan-badan
kehakiman kecuali Mahkamah Agung. Baru dengan UU No. 35 Tahun
1999, setelah melampaui rentang hampir tiga dasawarsa, hal ini secara
bertahap dapat dikoreksi. Dalam praktek terbukti bahwa inkonsistensi
tersebut dimanfaatkan oleh kekuasaan eksekutif untuk melakukan
intervensi ke dalam kekuasaan kehakiman, khususnya dalam kasus-
kasus bernuansa politik yang diperkirakan baik langsung maupun
tidak langsung akan merugikan pemerintah atau kekuasaan.
Pengangkatan pimpinan Mahkamah Agung tidak terkecuali selalu
direkayasa sehingga dijabat oleh mereka yang direstui penguasa.
Demikian pula kehendak politik untuk mempertahankan
berlakunya UU No. 11/Pnps/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan
Subversi, dengan cara tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan
sebagaimana tersurat dan tersirat dalam UU No. 5 Tahun 1969, yang
pada akhirnya banyak memproduksi ratusan tapol dan napol
(Catatan: UU No. 11/Pnps/1963 telah dicabut melalui UU No. 26
Tahun 1999). Contoh lain adalah kegagalan Orde Baru untuk
membuat TAP MPRS yang mengatur tentang HAM dengan alasan
yang bersifat sangat partikularistik dan cenderung defensif.
Selalu saja terbukti bahwa sikap tidak taat asas ternyata membawa
bencana bagi kehidupan bangsa Indonesia, khususnya pada dunia
hukum. Selama Orde Baru, HAM sipil dan politik banyak dilanggar
dengan alasan untuk menjaga stabilitas politik demi kelancaran
pembangunan ekonomi. KKN merajalela, penyalahgunaan kekuasaan
meluas, hukum merupakan subordinasi dari kekuasaan politik, dan
campur tangan eksekutif terhadap kekuasaan kehakiman sudah
menjadi cerita biasa. Beberapa keputusan Mahkamah Agung jelas-
jelas memperlihatkan pemihakannya terhadap kekuasaan, meski
dengan akibat merugikan rakyat kecil. Kebenaran dan keadilan sering
dikesampingkan dengan alasan demi persatuan dan kesatuan bangsa,
demi Pancasila, demi kepentingan umum, demi asas kekeluargaan
dan sebagainyaa, meski semua itu merugikan HAM.
Terdapat pula sikap ambivalen akibat pengaruh universal dan
global yang mengharuskan penguasa untuk mengadopsi
kecenderungan internasional yang diakui oleh bangsa-bangsa
beradab, seperti tercermin pada kasus – untuk menyebut beberapa
8
— diundangkannya UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana, UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN dan dibentuknya
KOMNAS HAM dengan Keppres No. 50 Tahun 1993 yang membawa
pesan-pesan demokratis (kedudukan Komnas HAM kemudian
diperkuat oleh UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).
Maraknya aktivitas pelbagai LSM yang bergerak di bidang studi
dan advokasi hukum serta HAM, turut pula memberikan
kontribusinya sendiri. Mereka berjuang tanpa lelah menembus
kekakuan birokrasi, dibantu oleh tekanan masyarakat internasional
yang cukup efektif. Cukup lama kita merasakan bahwa wajah hukum
kita berwajah ganda. Tidak dapat disangkal bahwa di samping krisis
ekonomi yang dahsyat, sebenarnya langkah-langkah ambivalen
tersebut merupakan rahmat tersembunyi (blessing in disguise) dan turut
andil dalam kejatuhan Orde Baru.
Kekuatan lain yang memberi semangat reformasi hukum adalah
proses globalisasi sebagai akibat perkembangan teknologi komunikasi,
informatika dan transportasi modern, yang menyebabkan
interdependensi antar bangsa semakin tak terhindarkan sehingga
mengharuskan terjadinya harmonisasi hukum yang intensif terhadap
ketentuan-ketentuan hukum internasional. Harmonisasi tidak hanya
melalui ratifikasi terhadap pelbagai konvensi internasional, tetapi juga
terhadap sumber-sumber hukum internasional lain yang terbukti
dalam praktek telah diterima sebagai hukum, seperti hukum kebiasaan
internasional, asas-asas hukum umum yang diakui oleh bangsa-
bangsa beradab, dan keputusan pengadilan serta pandangan-
pandangan penulis yang berkualitas dari pelbagai bangsa yang secara
komplementer dapat didayagunakan untuk menegakkan supremasi
hukum baik nasional maupun internasional. Dalam hal ini Pembukaan
UUD 1945 Alinea ke 4 memberikan pembenaran bahwa Pemerintah
Indonesia juga membawa misi untuk “ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial…”.
Bahkan pelbagai deklarasi, resolusi, standard minimum rules, model
law/model treaties, code of conduct, guidelines dan hasil-hasil kongres
internasional yang sering diselenggarakan oleh organisasi profesi
hukum atau NGO’s, sering dimanfaatkan untuk acuan harmonisasi
hukum. Sebagai contoh, untuk menggambarkan dampak
keterlambatan dalam menyesuaikan diri dengan kecenderungan
9
internasional adalah maraknya tuntutan internasional terhadap
mereka yang dituduh melakukan pelanggaran HAM berat di Timor
Timur pasca jajak pendapat 1998. Ancaman digelarnya international
criminal tribunal, karena dipandang tidak memiliki kemauan dan
kemampuan untuk mengadili si pelanggar, mengharuskan kita untuk
segera membentuk UU Pengadilan HAM, mengingat PERPU No. 1
Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM telah ditolak DPR. Melalui
pelbagai debat dan polemik, demi atas nama kehormatan bangsa,
produk UU Pengadilan HAM yang sesuai dengan standar
internasional tersebut memang tidak bisa lain harus ada.
Mengingat gerakan reformasi hukum harus mencakup seluruh
subsistem hukum (struktur, substansi dan kultur hukum) maka
supresmasi tersebut juga akan mencakup pula seluruh aspek yang
berkaitan dengan peradilan yang masuk wilayah kekuasaan eksekutif
(seperti Polri dan Kejaksaan sebagai penegak hukum), kekuasaan
legislatif (pembuat undang-undang) dan kekuasaan yudikatif
(kekuasaan kehakiman). Bahkan aspek sosial yang sifatnya non-
governmental seperti profesi advokasi dan masyarakat luas (berkaitan
dengan kesadaran hukum masyarakat) harus menjadi bagian sasaran
reformasi hukum.
Pembaharuan substansi hukum yang mencakup 67 Undang-
undang, 3 Perpu, 112 Peraturan Pemerintah, 253 Keputusan Presiden
dan 31 Instruksi Presiden sejak lengsernya Orde Baru bagaimanapun
harus dilihat sebagai hal yang positif, dan kemajuan tersebut
merupakan modal pembangunan hukum sebagaimana tercantum
dalam GBHN 1999-2004. Demikian pula tekad untuk memberantas
KKN dan tindak pidana ekonomi lainnya, termasuk keberadaan visi
dan misi serta keberadaan arah dan kebijakan yang jelas dalam
pembangunan hukum, penting sekurangnya untuk diapresiasi sebagai
niat baik.
10
1. Masih diperlukannya peningkatan integritas moral dan
profesionalisme aparat hukum, kesadaran hukum, mutu pelayanan
hukum, kepastian dan keadilan hukum;
2. Perlunya peningkatan tekad dan kesungguhan aparatur penegak
hukum;
3. Masih adanya praktek campur tangan dalam peradilan, sehingga
perjuangan untuk menegakkan kemandirian kekuasaan kehakiman
perlu terus dilakukan;
4. Masih adanya tumpang tindih dan kerancuan hukum;
5. Belum terwujudnya sistem hukum nasional yang menjamin
tegaknya supremasi hukum dan HAM berlandaskan keadilan dan
kebenaran;
6. Masih diperlukannya ratifikasi konvensi internasional di bidang
HAM;
7. Masih kurangnya peraturan perundang-undangan yang
mendukung perekonomian dalam menghadapi perdagangan
bebas, meskipun tanpa melupakan kepentingan nasional;
8. Masih belum terwujudnya peradilan yang cepat, murah, mudah,
terbuka dan bebas dari KKN;
9. Promosi dan perlindungan HAM yang masih perlu ditingkatkan,
termasuk penegakan hukum terhadap para pelanggar HAM.
11
(supreme court) untuk melakukan uji materiil (judicial review) yang
mencakup pula uji materiil terhadap undang-undang sebagai bagian
prinsip check and balance dalam kehidupan demokrasi, sebagai alternatif
dari usulan untuk dibentuknya Mahkamah Konstitusi (Constitutional
Court). Tidak benar apabila dikatakan bahwa hal ini — seperti
dikhawatirkan banyak orang — akan menempatkan Mahkamah Agung
sebagai super legislature. Tujuannya semata-mata untuk melindungi
konstitusi Indonesia dan sekaligus juga merupakan konsekuensi adanya
tata urutan perundang-undangan Republik Indonesia. (catatan: dalam
proses amandemen UUD’45 kedudukan Mahkamah Konstitusi
dikukuhkan dalam Pasal 24 c).
Selanjutnya dalam rangka mengimbangi tegaknya kekuasaan
kehakiman yang bebas, usulan adanya semacam lembaga pengawas
eksternal yang independen (Komisi Yudisial) perlu diatur untuk
menjaga integritas Mahkamah Agung. Keberadaan Komisi Yudisial
telah dikukuhkan dalam proses amandemen UUD’45, Pasal 24 b.
Demikian pula dengan usulan agar dibentuk divisi-divisi atau kamar-
kamar khusus di Mahkamah Agung guna meningkatkan kinerja
Mahkamah Agung agar lebih profesional, khususnya dalam
menghadapi hubungan dan peristiwa hukum yang semakin kompleks
akibat modernisasi dan globalisasi, harus ditanggapi secara positif.
Belum mantapnya pengaturan organisasi profesi advokat atas
dasar perundang-undangan baru yang lebih menjamin integritas,
uniformitas, standardisasi profesi, kode etik dan peradilan disiplin
merupakan permasalahan tersendiri. Kondisi semacam itu
mengakibatkan profesi advokat belum sepenuhnya diperlakukan
sebagai salah satu subsistem peradilan. Bahkan tidak jarang, secara
struktural dan individual penasehat hukum justru melakukan
malpraktek dan turut andil dalam proses gagalnya pencapaian
keadilan. Perilaku di bawah standar profesi (professional malpractice)
tersebut tidak hanya menimbulkan kerugian perseorangan, tetapi juga
menggoyahkan kepercayaan masyarakat terhadap profesi hukum,
dalam arti luas mengganggu proses pembangunan hukum nasional.
Kedudukan hakim sebagai pegawai negeri dan keikutsertaan
hakim sebagai anggota Muspida dan Mahkejapol yang cenderung
menimbulkan conflict of interest dan mengganggu prinsip
profesionalisme dan independensi hakim harus diakhiri. Demikian pula
praktek penerbitan “surat sakti” MA atas dasar alasan fungsi pembinaan
12
dan pengawasan MA tidak sepatutnya dilakukan, kecuali atas dasar
alasan yang transparan dengan pertimbangan adanya clear and present
danger terhadap asas supremasi hukum. Lalu istilah-istilah klise atau
jargon-jargon yang tidak selalu mudah dimengerti hendaknya
dipraktekkan dengan indikator-indikator yang lebih jelas. Sebagai
contoh, istilah “sistem peradilan pidana terpadu”, orang cenderung
sulit memahaminya dalam konteksnya yang operasional. Karena itu
pelbagai indikator efektivitas kinerja operasionalnya harus lebih jelas
seperti; crime rate yang rendah; clearance rate yang tinggi; conviction
rate yang tinggi; reconviction rate yang rendah; partisipasi publik yang
tinggi; profesionalisme penegak hukum; rendahnya disparitas sanksi;
speedy trial (dalam GBHN dirumuskan lebih luas yakni cepat, murah,
sederhana dan terbuka); sistem pendidikan terpadu antar penegak
hukum; dan transparansi antar subsistem peradilan pidana.
Sepanjang menyangkut indikator “pengadilan yang cepat” dapat
dikemukakan bahwa suatu keterlambatan yang tidak beralasan dalam
penanganan proses peradilan (unreasonable delay of justice) merupakan
pelanggaran HAM bagi pencari keadilan. Sehubungan dengan ini,
ada kenyataan yang sangat memprihatinkan yaitu stagnasi perkara
di tingkat kasasi (kurang lebih 16.000 kasus). Untuk itu di satu pihak
diperlukan langkah crash program yang bervariasi dengan melibatkan
“masyarakat hukum Indonesia” (seperti akademisi dan advokat), di
lain pihak diperlukan perundang-undangan yang dapat membatasi
kasasi. Di samping itu perlu pula dikaji kemungkinan untuk
menerapkan semacam pengadilan keliling (mobile court) MA ke
pelbagai Pengadilan Tinggi untuk melakukan “jemput bola” terhadap
kasus-kasus yang diajukan sebagai perkara kasasi.
Masih terjadinya langkah ad hoc yang bersifat fragmentaris dan
pragmatis, sebaiknya dikaji dan diuji terlebih dahulu atas dasar
konsistensi sistem secara menyeluruh. Sebagai contoh adalah usaha
untuk menghidupkan kembali lembaga sandera (gijzeling) dalam kasus
utang piutang (perdata). Lembaga ini sejak tahun 1964 — dengan
pertimbangan bertentangan dengan kemanusiaan — atas pengarahan
MA tidak digunakan kembali. Dalam suatu sistem yang tidak
didukung oleh kualitas SDM yang berwawasan luas, kemungkinan
penyalahgunaan lembaga ini besar sekali. Kriteria debitur yang
beritikad “baik” dan “buruk” sangat subyektif, apalagi dalam situasi
krisis multidimensional seperti saat ini. Kondisi force majeure
13
merupakan sesuatu yang terlalu debatable. Kreditur yang “kuat”
dengan mudah akan dapat merampas kemerdekaan debitur atas
biayanya sendiri maksimum satu tahun. Padahal kebijakan pidana
saat ini justru menghindari short prison sentence di bawah satu tahun
yang cenderung dianggap merusak. Secara empiris juga membuktikan
bahwa lembaga sandera, atas dasar UU No. 19 Tahun 1997 tentang
perpajakan, juga tak pernah diterapkan karena masih dapat diatasi
dengan upaya lain seperti penyitaan jaminan pribadi dan lain-lain.
Sekali lagi usaha untuk menghidupkan kembali lembaga sandera,
harus didahului dengan pertimbangan yang masak.
Indikasi masih banyaknya korupsi di pengadilan ternyata tidak
hanya menimbulkan keprihatinan negara per negara, tetapi juga di
forum internasional. Korupsi di pengadilan tidak hanya merusak
supremasi hukum atas dasar independensi kekuasaan kehakiman, tetapi
dianggap pula bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang
didasarkan atas kepercayaan. Tindakan tersebut berupa berbuat atau
tidak berbuat sesuatu (omission) yang mengakibatkan atau bertujuan
untuk mengganggu kebebasan dan bersifat tidak memihak pengadilan.
Secara khusus korupsi terjadi apabila hakim atau pejabat pengadilan
mencari atau memperoleh keuntungan pribadi dalam kaitan dengan
kekuasaannya. Perbuatan-perbuatan tersebut dapat berupa penyuapan,
penipuan, pembocoran informasi, memalsu atau merubah bahkan
menghilangkan dokumen pengadilan dan sebagainya.
Korupsi di pengadilan (istilah “mafia peradilan” terkesan terlalu
didramatisasi) juga terjadi apabila hakim atau pejabat pengadilan
lainnya melakukan perbuatan melawan hukum atas dasar pengaruh,
rayuan, tekanan, ancaman atau campur tangan (langsung atau tidak
langsung) sehingga menimbulkan benturan kepentingan. Faktor-
faktor yang berpengaruh antara lain karena nepotisme, hubungan
kawan, janji-janji berkaitan dengan prospek promosi, masa depan
setelah pensiun, tekanan kekuasaan politik, hubungan yang salah
dengan profesi hukum dan pihak yang berperkara atau calon pihak
yang berperkara, hubungan yang salah dengan penegak hukum lain
(misalnya jaksa) dan lain sebagainya.
Guna mengatasi hal tersebut Center for the Independence of Judgesand
Lawyers (CIJL), yang merupakan subsistem dari the International
Commission of Jurist (ICJ) telah memprakarsai pertemuan 16 Pakar di
Jenewa pada tanggal 23-25 Pebruari 2000 (penulis merupakan salah
14
seorang yang diundang). Rekomendasi penanggulangan yang diajukan
antara lain mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Perlunya mekanisme independen untuk menginvestigasi dugaan
korupsi;
2. Menekankan betapa pentingnya “Judicial Ethics”, yang didukung
sanksi yang tegas;
3. Perlu adanya ketentuan yang mengharuskan pengungkapan dan
pemantauan kekayaan hakim dan pejabat pengadilan;
4. Perlu adanya peranan aktif dari lembaga pengadilan untuk
memberikan informasi kepada publik tentang terjadinya korupsi
di pengadilan;
5. Perlu disediakannya pembiayaan yang memadai untuk pengadilan;
6. Seleksi dan promosi hakim dan pejabat pengadilan atas dasar merit
system;
7. Gaji dan kesejahteraan hakim dan pejabat pengadilan yang
memadai;
8. Peranan organisasi profesi penasehat hukum untuk mendidik
anggotanya dan masyarakat umum untuk menghindarkan diri dari
korupsi di pengadilan dan secara aktif mengambil langkah-langkah
untuk mencegah, mengekspos dan mengambil tindakan disiplin.
15
peningkatan kinerja pengadilan. Pendayagunaan hakim adhoc sangat
dibutuhkan dalam kasus-kasus yang membutuhkan pendekatan
komprehensif dan kepakaran seperti kasus-kasus HAM, niaga, hak
cipta, lingkungan hidup dan sebagainya.
Salah satu kelemahan lain yang sangat dirasakan oleh pengadilan
adalah kualitas sumber daya manusia, khususnya penguasaan yang
minim terhadap sumber-sumber hukum internasional dan instrumen-
instrumen internasional lain sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.
Penguasaan tersebut sangat penting tidak hanya dalam kasus-kasus
transnasional, tetapi juga dalam rangka harmonisasi keputusan-
keputusan hakim terhadap pelbagai kecenderungan yang diakui
bangsa-bangsa beradab sehubungan dengan proses globalisasi. Citra
positif dalam hal ini dapat menumbuhkan kepercayaan asing,
khususnya berkaitan dengan ekonomi pasar dan investasi. Usul
rekrutmen hakim asing sangat berlebihan. Keterlibatan para ahli asing
dapat dilakukan melalui prosedur kesaksian ahli (expert testimony) atau
sebagai bagian kelompok pakar. Dalam kerangka SDM ini pula perlu
disampaikan betapa pentingnya pengaturan sistem seleksi dan
rekrutmen hakim dan pejabat-pejabat yudisial yang transparan atas
dasar kemampuan dan kualitas moral dan intelektual. Demikian pula
sistem promosi hakim dan pejabat-pejabat yudisial yang seharusnya
dilakukan atas dasar merit system yang diharapkan akan mendorong
dan memberi semangat mereka untuk menjalankan tugasnya lebih baik.
16
untuk mempromosikan nilai-nilai demokrasi dan HAM; fungsi
pembaharuan hukum melalui proses penemuan hukum (rechtsvinding);
fungsi judicialization of politics atau fungsi policy making by judge; dan
fungsi penyelesaian konflik secara tuntas.
Untuk itu, jelas dibutuhkan kapasitas pengetahuan yang luas
bahkan mencakup pula pengetahuan ekstra yuridis, mengingat sistem
yudisial merupakan subsistem dari sistem sosial yang lebih luas.
Pelbagai pendapat agar Ketua Mahkamah Agung membebaskan diri
dari fungsi mengadili agar bisa menjaga independensinya serta dapat
berkonsentrasi pada manajemen dan fungsi-fungsi Mahkamah Agung
lain yang akan memberikan nuansa kehidupan politik, cukup layak
untuk dipertimbangkan.
Di samping spirit reformasi tersebut di atas, proses globalisasi,
independensi kekuasaan kehakiman yang semakin mantap,
rekrutmen dan promosi atas dasar merit system yang menjamin
terjadinya kompetisi ketat dan adil, penerapan prinsip good governance
yang konsisten, kesejahteraan dan pendidikan hukum yang lebih baik,
semuanya harus dilihat sebagai peluang untuk menempatkan hukum,
keadilan dan kebenaran menjadi salah satu acuan utama dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kendala-kendala yang akan dihadapi untuk mereformasi
Mahkamah Agung dan kekuasaan kehakiman lain bersifat
multidimensional. Sebagian kendala telah dikemukakan pada analisis
yang berkaitan dengan pelbagai kelemahan di atas, yang mencakup
hal-hal yang telah tersurat dan tersirat dalam GBHN 1999-2004 (baik
yang berkaitan dengan struktur, substansi maupun kultur hukum),
seperti belum mantapnya pengaturan UUD 1945 yang berkaitan
dengan prinsip independensi kekuasaan kehakiman (termasuk
lambatnya pelaksanaan UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan
atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman), terbatasnya kewenangan uji materiil (hanya
terhadap peraturan-peraturan yang lebih rendah daripada UU), belum
adanya lembaga pengawas internal yang independen, tidak adanya
divisi-divisi spesialis di Mahkamah Agung yang lebih menjamin
profesionalisme, Undang-undang advokat yang sudah ketinggalan
jaman, masih adanya “surat sakti” dari MA dengan alasan pengawasan
atau pembinaan yang selalu memperoleh reaksi negatif dari
masyarakat, kedudukan hakim sebagai pegawai negeri, kedudukan
17
Ketua KPT/KPN sebagai anggota atau penasehat Muspida,
keberadaan lembaga Mahkejapol, besarnya jumlah tunggakan perkara
di MA dan tiadanya pembatasan kasasi, masih adanya langkah-
langkah adhoc yang tidak sistemik, masih maraknya korupsi di
pengadilan, kurangnya kemampuan penguasaan hakim terhadap
sumber-sumber hukum dan kecenderungan internasional, belum
efektifnya tugas-tugas MA di bidang-bidang non yudisial, masih
belum efektifnya peranan hakim non-karir atau hakim adhoc dan
sistem rekrutmen hakim dan pejabat pengadilan serta sistem promosi
yang cenderung belum transparan.
Bagaimanapun peningkatan peranan Mahkamah Agung dan
kekuasaan kehakiman lainnya di era reformasi sedikit banyak akan
tergantung pada keberhasilan untuk mengatasi pelbagai kelemahan
atau kendala di atas. Di luar itu terdapat hal-hal lain yang sifatnya
lebih eksternal tetapi memiliki dampak tersendiri terhadap kekuasaan
kehakiman, misalnya;
• keberadaan pemimpin-pemimpin nasional di segala lini yang
memiliki komitmen kuat dan konsisten terhadap supremasi
hukum;
• kualitas perundang-undangan yang aspiratif, baik dalam kaitannya
dengan aspirasi suprastruktur, infrastruktur, kepakaran maupun
aspirasi internasional;
• tersedianya sarana dan prasarana yang relatif memadai, yang
menjamin adanya sistem informasi dan manajemen yang efisien
dan efektif;
• partisipasi masyarakat yang terorganisasi secara baik dan kritis
(misalnya dalam bentuk judicial watch) dalam kerangka masyarakat
madani;
• tersedianya sumber daya manusia yang memadai baik dari sisi
mental maupun intelektual;
• keberadaan Dewan Pakar yang dapat memberikan “policy advice”
diminta atau tidak diminta;
• kelembagaan yang mangkus dan sangkil;
• pelembagaan sistem penyelesaian sengketa alternatif yang bersifat
komplementer terhadap sistem litigasi, mengingat sistem
penyelesaian sengketa tidak hanya dilakukan dengan proses
pengadilan. Dalam hal ini efektivikasi UU No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa harus ditingkatkan;
18
secara sistemik terhadap kekuasaan kehakiman termasuk Mahkamah
Agung. Secara sistemik, reformasi hukum mengandung elemen
struktural (kelembagaan yang terkait pada sistem), elemen substansial
(hukum positif yang mendasari jalannya sistem tersebut) dan elemen
kultural (pandangan, sikap, bahkan filosofi yang mendukung
efektivitas sistem tersebut).
Mengingat masalahnya demikian kompleks maka perlu ada skala
prioritas yang disusun dengan mempertimbangkan desakan
masyarakat terhadap tegaknya reformasi hukum dan reformasi
kekuasaan kehakiman, khususnya Mahkamah Agung. Untuk itu
program jangka pendek dan jangka menengah harus diarahkan pada
aspek-aspek reformasi struktural dan substansial secara kasuistis.
Sedangkan program jangka panjang secara simultan diarahkan pada
aspek kultural. Jangka pendek bisa dilakukan antara 2-3 tahun,
sedangkan jangka panjang paling lama 5 tahun. Jika ada kemauan,
pasti ada jalan. n
20
Peran Serta Masyarakat
Dalam Proses Penegakan Hukum
Pasca Reformasi
Pendahuluan
Penggunaan istilah “pasca reformasi” sebenarnya mengandung
kontradiksi interminis. Sebab secara hakiki “reformasi” adalah sebuah
proses yang tak pernah berhenti untuk menuju gambaran ideal
tertentu. Penggunaan istilah itu, dalam konteks kita di Indonesia,
agaknya dimaksudkan dalam pengertiannya yang khas dan terbatas,
yakni untuk melukiskan suatu babakan runtuhnya rezim Orde Baru
oleh gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa empat tahun
silam.
Reformasi sebagai suatu era dan dalam pengertian politis sebagai
tatanan atau rezim, harus diartikan sebagai usaha sistematis dari
bangsa Indonesia untuk mengaktualisasikan nilai-nilai dasar
demokrasi; atau lebih luas lagi untuk mengaudit dan
mengaktualisasikan indeks demokrasi yang pada orde lalu yang telah
dimanipulasi.
Demokrasi dapat digambarkan sebagai suatu piramida yang
mengandung empat sub, yang masing-masing sub terdiri dari
pelbagai indeks atau indikator kinerja yang dapat diaudit untuk
mengukur seberapa jauh suatu negara benar-benar demokratis. Di
bawah ini akan diuraikan secara sepintas ke empat sub piramida
demokrasi tersebut.
Pertama, adanya sistem pemilihan yang bebas dan adil (free and
fair elections). Di dalam kerangka ini, indikator kinerjanya antara lain
mencakup; pemilihan umum yang berbasis pada kompetisi terbuka,
hak pilih dan sistem pemilihan yang bersifat rahasia, pemberian
kesempatan yang sama untuk menduduki jabatan-jabatan publik tanpa
21
diskriminasi, adanya pemerintahan yang independen dan bebas dari
penyalahgunaan kekuasaan serta pengaruh-pengaruh eksternal lain
terhadap pemilih. Selanjutnya bisa disebutkan adanya akses yang
adil dan sama dari partai dan kandidat untuk menggunakan media
dan sarana-sarana komunikasi yang lain.
Kedua, adanya pemerintahan yang terbuka, bertanggungjawab
dan bersifat responsif. Terkait di sini indikator-indikator seperti,
keterbukaan informasi terhadap apa yang dilakukan penguasa, efek
dari kebijakan, independensi sarana-sarana informasi milik
pemerintah, efektivitas pengawasan terhadap pejabat pemerintah baik
sipil maupun militer, efektivitas pengawasan parlemen terhadap
eksekutif, ketaatan eksekutif terhadap “the rule of law’, transparansi
pengaturan yang mengendalikan kekuasaannya, jaminan pengadilan
bahwa eksekutif taat pada hukum termasuk efektivitas acaranya,
adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka dari pengaruh eksekutif
dan pengaruh serta bentuk-bentuk campur tangan yang lain dan
sampai seberapa jauh administrasi hukum terbuka bagi efektivitas
pengawasan publik.
Selanjutnya, sebagai indikator perlu dipertanyakan juga seberapa
jauh masyarakat memperoleh akses untuk memperoleh keadilan
melalui pengadilan, ombudsman dan lain-lain, dalam rangka
memperjuangkan hak-haknya akibat terjadinya “mal administration”
atau kegagalan pemerintah dan badan-badan publik untuk
menjalankan tanggung jawab hukumnya. Kemudian masih dalam
konteks indikator kinerja tadi, perlu dilihat pula seberapa jauh
keterbukaan pemerintah terhadap hak-hak masyarakat untuk
menyampaikan opini publik dalam rangka pembentukan dan
implementasi kebijakan dan perundang-undangan.
Ketiga, adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia,
khususnya hak-hak sipil dan politik. Hal ini mencakup; seberapa jauh
hukum mendefinisikan hak-hak sipil dan politik serta kebebasan
warga negara dan seberapa jauh pula hal ini terlindungi; kebebasan
dari diskriminasi dalam menikmati hak-hak tersebut; seberapa jauh
keberadaan lembaga-lembaga sukarela dikembangkan dalam rangka
pemantauan terhadap pelaksanaan hak-hak tersebut; seberapa jauh
efektivitas prosedur dan sistem sosialisasi hak-hak tersebut terhadap
masyarakat; dan sampai seberapa jauh perlindungan terhadap
pengungsi dan imigran yang membutuhkan perlindungan.
22
Keempat, adanya rasa percaya diri warga negara dalam kehidupan
demokratis atas dasar kekuatannya sendiri untuk mempengaruhi
pelbagai keputusan kolektif yang bermanfaat bagi kehidupannya.
Dalam hal ini, ketiadaan diskriminasi terhadap minoritas atas dasar
kesepakatan nasional, pengawasan NGO’s , pluralisme media
komunikasi, partisipasi masyarakat dalam kehidupan ekonomi, sosial,
budaya, politik atas dasar prinsip keterbukaan menjadi sangat
penting.
Aktualisasi nilai-nilai dasar demokrasi sebagaimana dijelaskan
di atas bersifat universal, indivisible dan interdependen. Semuanya
harus dilakukan secara simultan dan tidak boleh dilakukan dengan
mengutamakan salah satu atau beberapa indeks di satu pihak, seraya
mengabaikan indeks-indeks.
23
penegakan hukum; akan mengganggu atau membatasi hak
seseorang atas dilaksanakannya peradilan yang jujur (fair trial) dan
tidak memihak (impartial adjudication); untuk melindungi kepentingan
kerahasiaan pribadi (privacy interest) terhadap gangguan atau
pelanggaran yang tidak beralasan (unwarranted invasion); untuk
melindungi identitas sumber-sumber yang dirahasiakan baik berupa
negara atau badan intelijen, badan-badan daerah atau asing,
lembaga swasta yang memberikan informasi secara rahasia; untuk
melindungi kerahasiaan teknik dan prosedur investigasi dan
penuntutan yang dapat menimbulkan risiko pengelakan hukum
(circumvention of the law); dan untuk melindungi nyawa dan
keamanan fisik seorang individu.
b. Adanya jaminan ketaatan penguasa terhadap prinsip kedaulatan
hukum atas dasar prinsip “equality before the law”. Dalam hal ini
harus dicegah terjadinya penegakan hukum yang selektif dan
mengandung hak-hak istimewa (privilege), misalnya banyak
dipersoalkan apakah masih diperlukan izin atasan untuk
memeriksa pejabat-pejabat tinggi baik sebagai saksi maupun
sebagai tersangka. Dipertanyakan pula dalam hal ini keberadaan
asas oportunitas yang memungkinkan Jaksa Agung untuk
mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.
c. Ditegakkannya asas kekuasaan kehakiman yang merdeka dan
bertanggungjawab. Merdeka berarti bahwa dalam melaksanakan
judicial power, hakim harus bebas dari pengaruh eksternal, seperti
eksekutif, legislatif, kepentingan pribadi, kelompok, golongan,
pengaruh pers, pengaruh KKN; selain juga pengaruh internal dari
lingkungan peradilan yang lebih tinggi. Akhir-akhir ini muncul
pula pendapat agar independensi tersebut mencakup pula seluruh
jajaran sistem peradilan, seperti jaksa penuntut umum dan polisi
sebagai penegak hukum. Kekuasaan kehakiman, di samping
memiliki independensi, juga harus memiliki tanggungjawab baik
yang bersifat administratif, prosedural, maupun substantif, dan
akuntabilitas yudisial – baik berupa akuntabilitas politik, sosial
atau publik, dan akuntabilitas hukum. Yang tak kalah pentingnya
adalah akuntabilitas vertikal: Tuhan!
d. Adanya jaminan yang luas bagi warga negara untuk memperoleh
keadilan (access to justice) apabila terlanjur menjadi korban akibat
malpraktek dalam penegakan hukum, baik berupa
24
“maladministration” maupun “miscarriage of justice” yang dilakukan
oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga publik. Di samping
melalui lembaga-lembaga pengadilan, lembaga semacam
“Ombudsman” dan Komnas HAM menjadi sangat strategis
keberadaannya.
e. Diperlukan perundang-undangan yang demokratis dan aspiratif;
melalui koridor akademis, birokratis, sosial dan politik, akan
terjaring secara proporsional aspirasi suprastruktur , infrastruktur
dan aspirasi kepakaran. Selanjutnya dalam era globalisasi harus
diperhatikan pula aspirasi global yang diakui oleh bangsa-bangsa
beradab. Khusus dalam kerangka aspirasi lintas struktural, dalam
kerangka otonomi daerah dan Tap.MPR RI No. III/MPR/2000,
perlu diperhatikan aspirasi daerah dalan kerangka Perda. Dalam
rangka menghadapi “kondisi-kondisi yang luar biasa” seperti
korupsi yang sistemik dan endemik, tidak mustahil diperlukan
pula instrumen-instrumen yang luar biasa untuk
menanggulanginya, seperti pendekatan sistem “pembuktian
terbalik” (omkering van bewijslast) yang akan segera diberlakukan.
Begitu pula masalah lembaga paksa badan (gijzeling) terhadap
debitur yang beritikad buruk.
f. Adanya sarana dan prasarana yang memadai. Sarana dan prasarana
ini mencakup aspek material, finansial, dan kelembagaan yang betul-
betul memadai. Sebagai contoh adalah akan segera dibentuknya
“Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” dan keberadaan
“Pengadilan HAM” yang akan mengadili pelanggaran HAM berat,
seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Ada pula
usul untuk membentuk pengadilan khusus korupsi (corruption court).
Hal yang secara khusus berkaitan dengan peran serta masyarakat
yang terorganisasi dan tertata dengan baik serta kualitas SDM yang
diperlukan secara khusus akan diuraikan di bawah.
25
dimaksudkan sebagai reaksi terhadap masa lalu yang lebih menekankan
pendekatan mobilisasi daripada partisipasi. Ketentuan yang mencakup
hal ini diatur di dalam Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 1999 tentang
“Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam
Penyelenggaraan Negara”.
Apabila digambarkan abstraksinya secara umum, “peran serta
masyarakat” dalam konteks penyelenggaraan negara mengandung
hak-hak dan kewajiban sebagai berikut:
a. hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi mengenai
penyelenggaraan negara (lihat FOIA di atas);
b. hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari
penyelenggara negara;
c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab
terhadap kebijakan penyelenggara negara;
d. hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal
melaksanakan haknya, dan apabila diminta hadir dalam proses
penyelidikan, penyidikan dan di sidang pengadilan sebagai saksi
pelapor, saksi atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
e. Hak-hak tersebut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan dengan mantaati norma
agama dan norma sosial lainnya. Hal ini dimaksudkan dalam rangka
menghindari fitnah dan laporan yang tidak bertanggungjawab. (Di
beberapa negara pelakunya justru dapat dipidana).
Dari sisi HAM, hak untuk berpartisipasi dalam pembangunan
masuk kategori “Generasi HAM III”, yaitu “hak untuk
pembangunan” (right to development). Di samping peran serta yang
bersifat individual, secara khusus perlu ditonjolkan peranan civil
society yang dapat didefinisikan sebagai suatu organisasi
kehidupan sosial yang bersifat terbuka, sukarela, “self generating”
atau sekurangnya “self supportjng”, otonom terhadap negara, dan
terikat pada suatu tertib hukum, berdiri di antara lingkungan
swasta dan negara. Organisasi atau lembaga-lembaga bergerak
dalam lingkup soal-soal publik yang beragam, mulai dari hukum,
ekonomi, lingkungan, budaya, dan sebagainya.
Gerakan civil society pada dasarnya bukanlah dimaksudkan
untuk bersaing untuk mengalahkan negara, atau memupuk
kekuasaan untuk mengarahkan kebijakan negara secara
26
menyeluruh. Yang diharapkan oleh para aktor pendukungnya
adalah semacam konsesi, kemanfaatan, perubahan kebijakan,
pembaharuan kelembagaan, keadilan, dan akuntabilitas, yang
kesemuanya diorientasikan bagi pemenuhan hak-hak atau urusan
publik dan bukan orang per orang atau kelompok eksklusif.
f. Kesadaran hukum masyarakat dan para penegak hukum dalam
semangat yang interaktif, antara kesadaran hukum versi penguasa
si satu sisi, dan perasaan hukum khususnya persepsi keadilan yang
bersifat spontan dari masyarakat di sisi lain.
Kesimpulan
Efektivitas penegakan hukum sedikit banyak tergantung pada
faktor-faktor di atas. Namun secara umum ada tiga faktor yang
mempengaruhi efektivitas penegakan hukum. Pertama, adanya
strategi penegakan hukum yang tepat dan dirumuskan secara
komprehensif dan integral; kedua, adanya kehendak politik untuk
melaksanakan strategi tersebut; dan ketiga, adanya pressure dalam
bentuk pengawasan masyarakat.
Di samping tiga faktor di atas, selain diperlukan adanya faktor
kepemimpinan yang committed terhadap supremasi hukum, juga etik
kepemimpinan yang mencakup standar-standar sebagai berikut :
a. Responsibility and Accountability; hal ini memungkinkan yang
bersangkutan dapat melakukan identifikasi secara terus menerus
terhadap kekuatan dan kelemahannya;
b. Commitment; mencakup dedikasi, antusiasme terhadap perannya
dalam organisasi, komitmen terhadap hukum dan peraturan
perundang- undangan lain, serta standar profesi;
c. Responsiveness; sifat peka dan fleksibel terhadap perubahan sosial
dan kebutuhan publik;
d. Knowledge and skills; dibangun melalui pendidikan dan pelatihan
untuk menjawab kebutuhan akan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang bergerak secara dinamik;
e. Conflicts of interest; dalam arti peka terhadap kemungkian benturan
kepentingan, terutama antara kepentingan pribadi dan
kepentingan organisasi;
f. Professional Ethics; harus selalu melakukan evaluasi untuk
mendeteksi seberapa jauh keputusan yang telah diambil sejalan
dengan standar etika. n
27
Reformasi Hukum dan
Proses Demokratisasi di Indonesia
28
pemililihan umum yang bebas dan adil; kedua, keberadaan
pemerintahan yang terbuka, akuntabel dan responsif; ketiga, pemajuan
dan perlindungan hak-hak sipil dan politik seluruh warga tanpa
kecuali; dan keempat, keberadaan masyarakat yang memiliki rasa
percaya diri yang penuh.
Dalam hubungannya dengan reformasi hukum dalam kerangka
empat aspek dasar demokrasi di atas, pemerintah harus secara
sistematis menerapkan reformasi yang didasarkan kepada elemen-
elemen konsep sistem hukum yaitu; (1) struktur hukum (semacam suatu
lembaga, mesin lintas sektoral dari sistem hukum, seperti potret yang
membuat suatu gerakan menjadi beku atau diam); (2) elemen substansi
hukum (produk dari mesin yaitu hukum, aturan-aturan yang aktual,
norma dan pola perilaku dari orang-orang dalam suatu sistem); dan
(3) elemen budaya hukum (perilaku orang terhadap hukum dan sistem
hukum; iklim dari pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang
menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau
disalahgunakan).
Dengan mempertimbangkan konsep sistem hukum di atas, dan
setelah mempertimbangkan pula arti dari reformasi serta kondisi
domestik yang spesifik, pemerintah dan badan pembentuk undang-
undang memusatkan perhatian reformasi hukum terhadap lima
kepentingan hukum berikut ini.
Pertama, peraturan perundang-udangan di bidang sosial politik
harus sedapat mungkin mengakomodasi prinsip-prinsip demokrasi,
contohnya undang-undang tentang pemilihan umum yang jujur dan
adil. Pemilihan umum harus didasarkan pada kompetisi terbuka, hak
pilih yang universal, pemungutan suara yang rahasia dan bebas. Hal
ini harus didukung oleh undang-undang tentang kebebasan
berekspresi, kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan pers,
netralitas politik dari pegawai negeri, polisi dan militer. Dalam
konteks ini, pendirian suatu Komisi Pemilihan Umum yang lebih
independen di masa mendatang mutlak diperlukan untuk memberikan
jaminan dari segala kemungkinan manipulasi dan bentuk-bentuk
kecurangan lain yang bertentangan dengan prinsip demokrasi.
Kedua, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
upaya pemulihan ekonomi, yang menekankan pada persiapan untuk
menghadapi kecenderungan ekonomi pasar internasional yang tak
terhindarkan, seperti Undang-undang tentang Bank Sentral yang
29
memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk menjalankan
kebijakan moneter secara independen, undang-undang perlindungan
konsumen, undang-undang anti monopoli, undang-undang kepailitan
(yang juga berisikan ketentuan pendirian Pengadilan Niaga yang
didasari prinsip pengadilan cepat), dan inisiatif untuk membangun
program-program ekonomi yang bekerjasama dengan berbagai
organisasi internasional.
Ketiga, peraturan perundang-undangan tentang pemajuan dan
perlindungan hak asasi manusia, seperti Undang-undang HAM,
Undang-undang Pengadilan HAM untuk mengadili pelanggaran berat
HAM, ratifikasi berbagai instrumen hak asasi manusia seperti
“Konvensi PBB tentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman
yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat”, atau
“Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Ras”, serta berbagai konvensi organisasi perburuhan internasional.
Keempat, peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan
yang bersih, akuntabel dan responsif. Dalam hal ini termasuk di
dalamnya pembaharuan undang-undang pemberantasan korupsi,
undang-undang tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas
dari KKN (yang antara lain mencakup kewajiban penyelenggara
negara untuk mengumumkan kekayaan dan aset-asetnya).
Pembaharuan ‘Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman’ yang
menyatukan kekuasaan mengadili dan penyelenggaraan administrasi
peradilan di bawah satu atap (Mahkamah Agung), harus dapat
dilakukan dalam rangka menegakkan prinsip independensi kekuasaan
peradilan eksekutif.
Komitmen untuk memajukan dan memberdayakan parlemen
adalah untuk menghindari adanya kemungkinan campur tangan dari
eksekutif dan untuk mendorong terciptanya sistem check and balances.
Keputusan Presiden tentang Ombudsman juga telah dikeluarkan
untuk mengawasi kegagalan pejabat pemerintah dalam melaksanakan
tanggungjawabnya secara hukum (maladministration).
Beberapa waktu yang lalu sejumlah rancangan undang-undang
untuk memperkuat penghapusan korupsi telah disampaikan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat RI, beban pembuktian terbalik, Rancangan
Undang-undang tentang Pencucian Uang, dan yang terakhir adalah
tentang Pembentukan Komisi Independen Untuk Memberantas
Korupsi. Komisi ini akan memiliki fungsi multidimensi, yaitu
30
melakukan fungsi-fungsi investigasi dan penuntutan, pendidikan,
pencegahan dan legislasi.
Kelima, peraturan perundang-undangan untuk melindungi dan
memperkuat masyarakat yang demokratis sebagai masyarakat yang
memiliki rasa percaya diri. Dalam hal ini, termasuk undang-undang
yang memajukan dan melindungi kebebasan pers, pluralisme media
komunikasi dan kebebasan berekspresi. Pembatasan dan larangan
terhadap pembentukan dan pengendalian organisasi profesi,
termasuk serikat buruh, asosiasi jurnalis, dan asosiasi-asosiasi
masyarakat sipil lainnya juga telah dicabut.
Konsep “masyarakat madani” harus dikembangkan bukan untuk
mendapatkan kendali atau posisi dalam negara, dan bukan pula untuk
mengatur pemerintahan secara keseluruhan, melainkan bertindak atas
konsesi dari negara yang secara kritis berjuang untuk kepentingan
perubahan kebijakan, reformasi kelembagaan, pemulihan, keadilan
dan akuntabilitas. Dengan kata lain hendak ditekankan di sini bahwa
terdapat perbedaan khusus antara reformasi hukum pada kondisi
yang normal (sebagai upaya untuk menggantikan hukum kolonial
dengan hukum nasional) dan reformasi hukum dalam arti gerakan
reformasi yang harus diinterpretasikan sebagai demokratisasi hukum.
Selama pemerintahan Habibie (22 Mei 1998 sampai dengan 14
Oktober 1999), telah dikeluarkan 67 Undang-undang, 3 Peraturan
Pemerintah, 263 Keputusan Presiden dan 31 Instruksi Presiden.
Keseluruhan kebijakan itu dimaksudkan sebagai bagian dari solusi
untuk mengatasi problem yang berlangsung dalam situasi krisis tadi.
Disadari atau tidak, banyak kemajuan yang telah dicapai, sehingga
pada waktu terjadinya peralihan kekuasaan dari Presiden Habibie
kepada Presiden Abdurrahman Wahid (Oktober 1999), pemulihan
ekonomi berlangsung dengan baik, yang ditandai dengan peningkatan
berbagai indikator ekonomi, seperti tingkat inflasi 2 %, nilai tukar
rupiah sebesar Rp. 6.700,- per dollar AS, dan suku bunga 12 %.
Secara jujur harus diakui, bahwa kerusakan sistemik dan multi
dimensional warisan Orde Baru tidak mudah untuk diselesaikan
dalam waktu singkat. Namun rezim baru yang menggantikan akan
terasa tidak bijaksana jika setiap kali masih terus menyalahkan Orde
Baru dengan motif untuk menyembunyikan ketidakmampuannya.
Konflik regional dan horizontal, gerakan disintegrasi, kekerasan
politik, berlanjutnya krisis ekonomi dan keuangan, kesenjangan antara
31
pusat dan daerah, disharmoni sosial, tingginya tingkat kejahatan,
krisis kepercayaan dari para donor dan investor internal dan eksternal,
meningkat dan berlanjutnya praktek korupsi baik secara kuantitas
maupun kualitas, berlanjutnya praktek mafia di pengadilan,
amandemen Undang-undang Dasar 1945, harus dianggap sebagai
proses yang tidak terhindarkan dalam iklim demokrasi. Sekurangnya
begitulah fakta yang dapat kita saksikan.
Di masa yang akan datang, agar gerakan reformasi dapat
dilakukan secara lebih komprehensif, agaknya penting untuk
mempertimbangkan beberapa persyaratan sehingga gerakan
reformasi tidak identik dengan memunculkan gejala euforia, yang
belakangan justru lebih banyak menimbulkan perasaan tidak menentu
ketimbang harapan yang menjanjikan. Pertama, harus segera
dirumuskan suatu strategi reformasi dan pemulihan yang terintegrasi
dan komprehensif. Kedua, terdapat kemauan politik yang kuat —
khususnya dari para elite – untuk segera keluar dari krisis yang amat
melelahkan ini. Ketiga, harus selalu ada “tekanan sosial” (dalam arti
positif) baik secara nasional maupun internasional. Keempat, didukung
oleh watak kepemimpinan yang profesional dan beretika pada semua
tingkatan pemerintahan. Kelima, keinginan dari organisasi
internasional untuk mendukung reformasi harus sepenuhnya
didasarkan atas semangat kemitraan. Keenam, rekonsiliasi nasional
untuk menyelesaikan berbagai masalah dan kasus-kasus yang
dilakukan oleh rezim Orde Baru. Ketujuh , komitmen untuk
menjunjung prinsip supremasi hukum dan pemerintahan yang baik
guna menjamin keadilan, keamanan dan kepastian berdasarkan
hukum.
Dalam hal penegakan supremasi hukum, ada beberapa langkah
sistemik yang harus dilakukan:
1. Pengadopsian semua aspirasi hukum sebagai sumber daya dalam
upaya untuk melakukan reformasi hukum, yang meliputi aspirasi
suprastruktur, aspirasi infrastruktur, aspirasi kepakaran dan
aspirasi internasional yang telah diterima oleh bangsa-bangsa
beradab;
2. Menjunjung prinsip kebebasan dan ketidak berpihakan lembaga
peradilan, bebas dari campur tangan kekuatan internal maupun
eksternal;
3. Meningkatkan pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia;
32
4. Meningkatkan semangat profesionalisme aparat penegak hukum;
5. Pembentukan Komisi Yudisial dengan keanggotaan yang
komprehensif dalam rangka untuk mengawasi perilaku hakim
dan pejabat peradilan, menyelenggarakan pendidikan dan
pelatihan yang berkelanjutan bagi para hakim, dan menangani
pengaduan terhadap hakim dan aparat peradilan;
6. Mendorong fungsi kontrol masyarakat terhadap lembaga
peradilan (semacam Judicial Watch);
7. Meningkatkan pengimplementasian prinsip sistem lembaga
peradilan terpadu;
8. Secara sistematis memerangi korupsi di pengadilan dan dalam
sistem peradilan;
9. Rekrutmen kepemimpinan di bidang hukum atas dasar merit
system. n
33
Peranan Administrasi Peradilan
Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu
Pendahuluan
Wacana tentang peradilan terpadu mengemuka sehubungan
dengan adanya TAP MPR-RI No. VIII/MPR/2000 tentang Laporan
Tahunan Lembaga-lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan
MPR RI tahun 2000. Tap MPR itu antara lain menekankan bahwa MA
perlu melaksanakan asas-asas sistem peradilan terpadu. Peringatan
ini menyadarkan kepada kita tentang kondisi obyektif sistem
peradilan pidana yang tidak hanya terkesan fragmentaris dan
berorientasi sektoral, tetapi juga cenderung mengganggu terhadap
sistem secara keseluruhan.
Sistem peradilan pidana (terpadu) bisa berdimensi internal namun
bisa juga berdimensi eksternal. Berdimensi internal apabila perhatian
ditujukan kepada keterpaduan subsistem peradilan, seperti kepolisian,
kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan. Sedangkan dimensi
eksternal lebih karena kaitannya yang hampir tidak bisa dipisahkan
dari sistem sosial yang lebih luas. Yang terakhir ini akan sangat
berpengaruh terhadap keberhasilan sistem peradilan dalam
pencapaian tujuannya, termasuk di sini budaya hukum kekuasaan
dan masyarakat, perkembangan politik, ekonomi, sosial, iptek,
pendidikan dan sebagainya. Contoh budaya hukum kekuasaan adalah
kecenderungan terjadinya politisasi hukum atau instrumentalisasi
hukum baik dalam proses pembuatan UU maupun dalam praktek
penegakan hukum. (Tate and Vallinder, 1995)
Karakter sistem peradilan yang bersifat khusus akan tetap
mengikuti karakter sistem yang bersifat umum, yaitu kerjasama secara
terpadu antara pelbagai subsistem untuk mencapai tujuan yang sama.
34
Dalam kerangka itu secara internal dan eksternal sistem peradilan
harus berorientasi pada tujuan yang sama (purposive behavior) ,
pendekatannya harus bersifat menyeluruh dan jauh dari sifat
fragmentaris, selalu berinteraksi dengan sistem yang lebih besar,
operasionalisasi bagian-bagiannya akan menciptakan nilai tertentu
(value transformation), keterkaitan dan ketergantungan antar subsistem,
dan adanya mekanisme kontrol dalam rangka pengendalian secara
terpadu.
Keterpaduan mengandung makna fixed control arrangements dan
sekaligus koordinasi yang seringkali diartikan sebagai suatu proses
pencapaian tujuan melalui kebersamaan norma dan nilai (shared norms
and values). Sebagai contoh, adalah kenyataan bahwa sistem peradilan
pidana selalu bekerja atas dasar sistem informasi yang berjenjang.
Karena itu apabila muncul informasi yang menyesatkan akan dengan
sendirinya berdampak luas terhadap kinerja pengadilan, misalnya
berupa kegagalan dalam menciptakan keadilan. Untuk dapat
mengevaluasi atau mengaudit sampai seberapa jauh sistem peradilan
pidana sudah bekerja dengan baik, perlu dirumuskan indeks sistem
peradilan pidana yang pada hakekatnya merupakan indikator kinerja
sistem peradilan pidana, baik dalam tataran idiil, tataran asas maupun
tataran operasional dan tataran penunjang.
Pada tataran ideal paling tidak ada 3 (tiga) indeks yaitu:
keberhasilan sistem peradilan pidana menciptakan rehabilitasi dan
resosialisasi bagi terpidana; keberhasilan sistem peradilan pidana
untuk mencegah terjadinya kejahatan; dan keberhasilan sistem
peradilan pidana untuk menciptakan kesejahteraan sosial. Indeks pada
tataran asas berkaitan dengan prinsip-prinsip kekuasaan kehakiman
yang merdeka, promosi dan perlindungan HAM, berorientasi tidak
hanya kepada model rehabilitatif tetapi juga kepada model restoratif.
Pada level operasional, pelbagai indeks yang semakin konkrit
mencakup antara lain; keberadaan “UU payung” (umbrella act) yang
dapat menciptakan sinergi positif antar subsistem (semacam Wet RO,
1928 di masa lalu); berorientasi baik kepada tindak pidana, pelaku
tindak pidana maupun pada korban tindak pidana; keterukuran dari
clearance rate, conviction rate, rate of recall to prison. Selanjutnya juga
tingkat terjadinya disparitas pidana, tersedianya pelbagai sistem
sanksi pidana alternatif, dan tingkat kecepatan penanganan perkara
baik di lingkungan subsistem maupun sistem secara keseluruhan.
35
Pada tataran penunjang indeks terpenting nampak pada kualitas
sumber daya manusia yang dimiliki, seperti SDM yang terlatih dan
terorganisasi dengan baik, kepemimpinan yang bertanggungjawab,
partisipasi masyarakat terhadap sistem peradilan pidana, dan sistem
pelatihan terpadu antar penegak hukum.
Administrasi Peradilan
Administrasi peradilan bisa bermakna ganda. Pertama, bisa
diartikan sebagai court administration, dalam arti pengelolaan yang
berkaitan dengan organisasi, administrasi dan pengaturan finansial
badan-badan peradilan. Kedua, dalam arti administration of justice yang
mencakup proses penanganan perkara (caseflow management) dan
prosedur serta praktek litigasi dalam kerangka kekuasaan mengadili
(judicial power). Kekuasaan mengadili ini berhubungan erat dengan
proses penegakan hukum. Dua makna tersebut berkaitan erat dengan
kesatuan tanggungjawab yudisial yang mengandung tiga dimensi
yaitu; (a) tanggungjawab administratif yang menuntut kualitas
pengelolaan organisasi, administrasi dan pengaturan finansial; (b)
tanggungjawab prosedural yang menuntut ketelitian atau akurasi
hukum acara yang digunakan; dan (c) tanggungjawab substantif yang
berhubungan dengan ketepatan pengkaitan antara fakta dan hukum
yang berlaku. Tanggungjawab mengandung dimensi hal-hal yang
harus dipertanggungjawabkan atau akuntabilitas yang bisa bersifat
responsif (peka terhadap kebutuhan masyarakat), bersifat
representatif (yang menuntut sikap jujur dan tidak diskriminatif) dan
bersifat ekonomis (kesadaran adanya pengawasan publik, khususnya
berkaitan dengan dana-dana masyarakat yang digunakan). (Shetreet
and Deschenes, 1985)
Pada era reformasi, kewenangan penguasaan dua dimensi makna
administrasi peradilan di atas sangat dipersoalkan (sampai saat ini
implementasinya belum selesai) sebab berkaitan dengan kebiasaan
kekuasaan di era Orde Baru yang sering mengooptasi kekuasaan
kehakiman sehingga tidak pernah tumbuh sebagai lembaga
independen. Padahal, independensinya lembaga kehakiman di negara
manapun merupakan salah satu ukuran yang paling menonjol untuk
melihat apakah sebuah sistem kekuasaan demokratis atau otoriter.
Betapa pentingnya prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka ini
nampak dari pernyataan-pernyataan sebagai berikut:
36
“The principle of complete independence of the judiciary from the executive is
the foundation of many things in our island life…..the judge has not only to do
justice between man and man. He also has to do justice between the citizens and
the state. He has to ensure that the administration conforms with the law and to
adjudicate upon the legality of the exercise by the executive of its power.”
(Sir Winston Churchil).
“Fundamental rights and liberties can best be preserved in a society where the
legal profession and the judiciary enjoy freedom from interference and pressure
(Louis Joined, UN Rapporteur on the Independence of Judiciary).”
37
Di samping keterkaitannya dengan prinsip kekuasaan kehakiman
yang merdeka, maka baik buruknya kinerja administrasi peradilan
akan merupakan variabel independen terhadap promosi dan
perlindungan HAM dalam administrasi peradilan pidana. Dalam hal
ini penghayatan terhadap pedoman yang tersurat dan tersirat dalam
pelbagai instrumen internasional tak dapat dihindarkan.
38
menghambat atau menggangggu proses kesaksian, melakukan
pembalasan terhadap saksi, melakukan intimidasi, menyuap untuk
mempengaruhi pejabat pengadilan dengan tujuan untuk memaksa
pejabat yang bersangkutan untuk tidak melakukan atau melakukan
tugasnya secara tidak benar (termasuk pula di sini pejabat pengadilan
yang menerima suap), melakukan pembalasan terhadap pejabat
pengadilan sehubungan dengan pelaksanaan tugas pejabat yang lain,
melakukan perbuatan tidak patut di depan pengadilan, dan
merendahkan martabat pengadilan (contempt of court).
Khusus mengenai promosi dan perlindungan HAM dalam
administrasi peradilan pidana, mencakup di dalamnya usaha untuk
selalu mencapai atau mendekati standar umum kemajuan sebagaimana
ditentukan oleh pelbagai instrumen internasional yang mencakup antara
lain, penegakan persamaan hukum dan pencegahan diskriminasi baik
secara tertulis maupun praktis, perlindungan asas legalitas, hak untuk
hidup dan bebas dari pemidanaan yang kejam dan tidak biasa, hak-
hak kebebasan dan hak terpidana (prisoners rights), hak untuk diadili
secara adil, administrasi peradilan bagi anak remaja (Administration of
Juvenile Justice), kekuasaan kehakiman yang merdeka; pelbagai Kode
Etik untuk para penegak hukum; dan lain sebagainya.
Kesimpulan
1. Kualitas administrasi peradilan baik dalam bentuknya sebagai court
administration maupun sebagai administration of justice dalam
kerangka kekuasaan mengadili (judicial power) sangat berarti bagi
terciptanya sistem peradilan pidana terpadu;
2. Untuk dapat berperan efektif dan maksimal terhadap sistem
peradilan pidana terpadu, dua dimensi makna administrasi
peradilan harus dapat mncerminkan pelbagai indeks sistem
peradilan pidana terpadu pada umumnya baik yang berada pada
tataran ideal, tataran asas, tataran operasional dan tataran
penunjang, maupun promosi dan perlindungan kekuasaan
kehakiman yang merdeka dan HAM pada khususnya;
3. Untuk tidak mengulangi pengalaman masa lalu, khususnya untuk
menghindari kooptasi kekuasaan kehakiman oleh eksekutif, maka
dua dimensi administrasi peradilan harus berada dalam satu
kekuasaan yaitu MA. Dengan demikian UU No. 35 Tahun 1999
harus dilaksanakan secara sistematik dan konsisten;
39
4. Untuk dapat menerima tugasnya yang berat dalam rangka
menyatukan kekuasaan mengadili, dan court administration, MA
dengan segala jajarannya harus membenahi diri secara sistemik
yang mencakup perbaikan struktural, substantif, kultural,
kepemimpinan, keterbukaan akan kritik dan peningkatan
kesejahteraan pejabat-pejabat pengadilan;
5. Mengingat makna dari administrasi peradilan yang mencakup pula
‘administration of justice’ dalam arti luas, maka di samping
dukungan legislasi yang memadai (UU No. 35/1999 dan
kriminalisasi perbuatan yang mengganggu), diperlukan semangat
para pemegang peran di dalamnya untuk memperluas pengertian
‘the independence of judiciary’ menjadi ‘the independence of the
administration of justice’;
6. Di samping kualitas penguasaan konseptual, perlu diperhatikan
pelbagai faktor-faktor decisive lain seperti kualitas perundang-
undangan, ketersediaan prasarana penunjang, kualitas SDM,
partisipasi masyarakat, kualitas kepemimpinan di bidang hukum,
dan kondisi sosial ekonomi yang kondusif. n
40
Analisis Gijzeling dari Sisi Hukum Pidana
dan Hak Asasi Manusia
Pendahuluan
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 1964 dan
No.2 Tahun 1975 telah memerintahkan kepada Ketua Pengadilan dan
Hakim untuk tidak mempergunakan lagi peraturan-peraturan
mengenai gijzeling (upaya paksa badan) yang diatur dalam Pasal 209
sampai dengan Pasal 224 Reglemen Indonesia yang diperbaharui
(RIB/HIR), dan Pasal 242 sampai dengan Pasal 258 Reglemen Hukum
Acara untuk daerah luar Jawa dan Madura (RBg) karena dianggap
bertentangan dengan perikemanusiaan.
Seperti diketahui, surat edaran di atas sempat menimbulkan
kontroversi karena landasan hukum pembekuan ketentuan HIR dan
RBg tentang gijzeling melalui SEMA dianggap tidak memadai dan
bisa menimbulkan preseden hukum yang buruk. Mestinya
pertimbangan kebutuhan hukum, keadilan, perikemanusiaan dan hak
asasi manusia harus dijadikan semangat bagi para hakim untuk
mengembangkan dan menggali nilai-nilai keadilan masyarakat dalam
penerapan hukum. Dengan demikian tercermin upaya lebih serius
untuk melaksanakan prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka
(the independece of judiciary) sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 24
dan Pasal 25 UUD 1945 Melalui Peraturan Mahkamah Agung No.1
Tahun 2000, kedua SEMA di atas dinyatakan tidak berlaku lagi atas
dasar pertimbangan bahwa pembekuan lembaga gijzeling dipandang
sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kebutuhan untuk
penegakan hukum dan keadilan dalam konteks pembangunan bangsa
Indonesia. Selanjutnya pertimbangan Mahkamah Agung dalam
Peraturan MA (PERMA) No. 1 Tahun 2000 untuk tidak lagi
41
mengartikan gijzeling sebagai sandera (hostage) atau penyanderaan
(taking of hostages) dan diganti dengan paksa badan (imprisonment for
civil debts) sangat tepat. Sesuai dengan prinsip universal, imprisonment
harus diartikan sebagai lawful imprisonment. Menggunakan penjelasan
Black: “penahanan seseorang bertentangan dengan keinginannya.
Undang-undang menempatkan atau membatasi seseorang dalam
penjara. Pengekangan atas kebebasan pribadi seseorang; paksaan yang
dilakukan atas seseorang untuk mencegah penggunaan kebebasan
bergerak. (Black, 1998).
Istilah sandera atau penyanderaan selalu mengandung konotasi
negatif dalam arti false imprisonment yang di dalamnya terkandung
unsur tidak mengindahkan hukum, tanpa surat perintah, dan dengan
paksaan. Di Amerika Serikat, penyanderaan diperlakukan sebagai
federal crime. Dalam KUHP Indonesia hal semacam ini diatur dalam
pasal-pasal yang menyangkut kejahatan terhadap kemerdekaan orang
(Bab XVIII).
42
Di dalam hukum pidana sering kali orang sulit membedakan
antara persoalan hukum perdata dengan persoalan hukum pidana.
Definisi tentang kejahatan ekonomi yang digunakan oleh The American
Bar Association dapat dijadikan acuan, mengingat salah satu
karakteristik kejahatan ekonomi adalah tindak pidana yang dilakukan
dalam lingkup kegiatan ekonomi, yang dengan sendirinya merupakan,
atau paling tidak dianggap sebagai kegiatan bisnis yang legal dan
normal. Disebutkan bahwa tindak pidana ekonomi adalah kegiatan
ilegal dan tanpa kekerasan yang pada dasarnya mengandung unsur
penipuan, mispresentasi, penyembunyian, manipulasi, pelanggaran
kepercayaan, pengelakan atau penggunaan dalih yang tidak sah
menurut hukum. Dengan demikian keberadaan unsur-unsur tadi
merupakan kata-kata kunci untuk menentukan apakah suatu
perbuatan di bidang ekonomi merupakan perbuatan yang
mengandung unsur sifat melawan hukum (pidana) ataukah perbuatan
melanggar hukum yang bersifat perdata (Clinard and Yeager, 1989).
Apabila hukum perdata dengan sanksi berupa ganti rugi berusaha
untuk melindungi hak-hak sipil/privat, maka hukum pidana melalui
proses kriminalisasi dan sanksi yang lebih berat (pidana mati, penjara,
kurungan dan atau denda serta pidana tambahan) berusaha untuk
melindungi tidak hanya kepentingan pribadi, tetapi juga kepentingan
pribadi dalam kaitannya dengan kepentingan masyarakat luas, seperti
kepentingan umum dan kepentingan negara. Dalam hal ini dikenal
istilah mala in se (suatu perbuatan yang salah dan immoral pada
dirinya) dan mala prohibita (hal-hal yang dilarang undang-undang
sebagai pelanggaran hak orang lain hanya karena hal-hal tersebut
dilarang). Yang terakhir ini menunjukkan kemungkinan bergesernya
pandangan tradisional hukum pidana tentang unsur kebejatan moral.
Dengan perkembangan di atas, sekalipun agak aneh, tetapi atas
dasar asas komplementer antara hukum perdata dan hukum pidana,
pendayaguaan imprisonment (yang merupakan sanksi hukum pidana)
sebagai upaya paksa badan (gijzeling) terhadap debitur yang beritikad
tidak baik, masih dapat dibenarkan sejauh didasarkan atas alasan
yang dapat dipertanggungjawabkan. Pemberlakukan upaya paksa
badan tadi pada dasarnya merupakan kriminalisasi terbatas. Disebut
kriminalisasi terbatas sebab dalam hal ini muncul istilah atau jenis
kejahatan baru yakni civil offenses sebagaimana diatur di Arizona,
yakni ketika misalnya seseorang atau orang tua gagal untuk
43
membayar bantuan terhadap anak yang ditetapkan oleh pengadilan
(Child Support Arrest Warrant).
Kriminalisasi dapat diartikan sebagai berikut; (a) proses
menjadikan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana
menjadi sebuah tindak pidana; (b) mengaktualisasikan ketentuan
hukum pidana yang semula dianggap sebagai ultimum remedium
menjadi primum remedium; (c) perluasan subjek hukum pidana
mencakup pidana atas dasar prinsip komplementer terhadap
pelanggaran norma-norma hukum perdata (civil offense) dan hukum
administrasi (Muladi, 1990).
Salah satu syarat kriminalisasi adalah keberadaan korban, baik
korban aktual maupun korban potensial. Imprisonment for debts jelas
mengandung dua jenis korban tersebut. Syarat lain adalah apakah
fungsi subsidair dipenuhi, dalam arti tidak adanya cara lain yang
lebih efektif dan penggunaan cost and benefit analysis. Kapasitas atau
kelayakannya untuk diterapkan merupakan faktor penting yang harus
diperhitungkan sehingga tidak menimbulkan kesan adanya
overkriminalisasi. Kriminalisasi tidak boleh bersifat adhoc dan terlebih
lagi dimaksudkan sebagai tindakan pembalasan semata-mata.
Ringkasnya, kriminalisasi tetap harus berpijak pada tujuan-tujuan
positif. (Mc Lean, 1999)
Khusus mengenai fungsi subsidair, gijzeling merupakan reaksi
terhadap sistem alternative dispute resolution yang tidak memuaskan
dan proses hukum perdata yang berlarut-larut dan bertentangan
dengan prinsip pengadilan yang cepat. Alasan penolakan terhadap
imprisonment for debts seperti yang terjadi di Texas, berkaitan dengan
pemikiran bahwa memenjarakan, mengurung, atau bahkan
mengancam pemenjaraan dan pengurungan terhadap proses
penyelesaian hutang seorang debitur yang beritikad baik, adalah
langkah yang tidak beradab dan sama sekali tidak dibenarkan. Alasan
lain, dikaitkan dengan pengalaman empiris, bahwa sekalipun
penerapan hukum pidana dalam kasus-kasus perdata didasarkan atas
keinginan penuntut umum untuk menyatakan perang melawan
pengusaha yang terlibat dalam perselisihan kontrak demi mencari
keadilan, namun ternyata eksesnya adalah pemerasan (exortion)
terhadap pengusaha yang jujur yang tidak mampu untuk menerima
stigma atau noda akibat pemenjaraan.
Di samping itu alasan kemampuan atau ketidakmampuan debitur
44
untuk memenuhi kewajibannya yang terkait dengan persoalan
finansial, seringkali menimbulkan penegakan hukum pidana yang
diskriminatif yang sebenarnya bertentangan dengan konstitusi. Hal
ini sangat mungkin terjadi apabila kinerja debitur didasarkan pada
unjustifiable standard dan arbitrary classification. Bagi mereka yang
terkena, langkah pemenjaraan akan dianggap sebagai tindakan hukum
yang tiranik dari sebuah sistem kekuasaan yang arogan akibat
penerapan teori rekayasa sosial yang berlebihan.
Di beberapa negara bagian Amerika Serikat memang terdapat
Constitutional and Statutory Restriction untuk tidak menerapkan
penahanan seseorang atas dasar masalah perdata, kecuali atas dasar
dua hal. Pertama, kasus-kasus yang mengandung unsur penipuan
atau kecurangan atau yang secara sengaja ingin menimbulkan
kerugian terhadap orang lain, yang seringkali antara keduanya
dipisahkan atau dibedakan satu sama lain. Jika pemahaman terhadap
unsur “kecurangan” dapat mengacu pada definisi kejahatan ekonomi
dari American Bar Association di atas, maka unsur “dengan sengaja”
yang biasa digunakan dalam hukum pidana mencakup tujuan atau
kesengajaan untuk melakukan perbuatan. Sekalipun tidak mengandung
kesengajaan jahat, orang yang bersangkutan menghendaki dan
mengetahui segala sesuatu yang akan dilakukan termasuk akibatnya,
sebagai seseorang yang bebas. Unsur “dengan sengaja” tadi
menjadikan perbuatan seorang debitur sebagai kejahatan, misalnya
seseorang sebenarnya mampu untuk membayar, tetapi dengan sengaja
(menghendaki dan mengetahui) menolak kewajiban tersebut, meskipun
ia tahu menyangkut hak orang lain. Dalam hal ini perbuatan seorang
debitur melebihi batas dan masuk ke dalam lingkup pidana.
Kedua, Hutang debitur yang termasuk dalam kategori not ordinary
debts, yaitu apabila dengan itikad buruk ia sengaja tidak ingin dibayar,
akan bertentangan dengan kesejahteraan umum atau bertentangan
dengan good morals and fair dealing atau dengan sengaja ingin merugikan
hak orang lain atau berlawanan dengan norma-norma sosial yang
fundamental. Mungkin “kondisi negara dalam keadaan krisis
multidimensional” masuk dalam kategori ini. (Androphy, 2001).
45
demokrasi seolah-olah berlomba untuk diaktualisasikan. Pelbagai
indeks tersebut pada dasarnya bersumber pada empat hal yaitu; (a)
pemilihan umum yang jujur dan adil; (b) pemerintahan yang terbuka,
akuntabel, dan responsif; (c) penghormatan terhadap hak-hak sipil
dan politik; (d) pemenuhan terhadap ciri-ciri yang diperlukan bagi
masyarakat yang demokratis (Beetham, 1999).
Kekuasaan di Indonesia pasca Orde Baru nampaknya sangat serius
terhadap promosi dan perlindungan HAM. Hal ini nampak dari produk
perundang-undangan yang dihasilkannya tegas-tegas mengakomodasi
elemen-elemen HAM yang penting, seperi sebagai berikut:
Pertama, Pasal 3 Piagam HAM PBB (the Universal Declaration of
Human Rights) yang mengatur bahwa “setiap orang berhak atas
penghidupan, kemerdekaan dan keselamatan seseorang”; Gijzeling
pada dasarnya adalah perampasan kemerdekaan yang tidak boleh
diingkari dengan semena-mena. Ini diperkuat dengan penjelasan Pasal
9 Piagam HAM PBB bahwa “tidak seorangpun boleh ditangkap,
ditahan atau dibuang secara sewenang-wenang”.
Kedua, Pada Pasal 11 ayat (1) Piagam PBB menyatakan bahwa
“setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan suatu tindak
pidana dianggap tak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya
menurut undang-undang dalam suatu sidang pengadilan yang
terbuka, dan di dalam sidang itu diberikan segala jaminan yang perlu
untuk pembelaannya”.
Gijzeling yang masuk kategori imprisonment for civil debt
merupakan bagian dari kriminalisasi terbatas. Apabila pelaksanaannya
tidak didasarkan atas keputusan pengadilan maka merupakan
pelanggaran HAM. Hal ini nampaknya sudah diantisipasi oleh
perumus Perma No.1 Tahun 2000. Pasal 6 Perma tersebut mengatur
bahwa putusan tentang “paksa badan”, ditetapkan bersama-sama
dengan putusan pokok perkara terhadap debitur yang beritikad tidak
baik dan mempunyai hutang kepada negara atau yang dijamin oleh
negara, dan dilaksanakan secara serta merta. Pelaksanaan putusan
yang menyangkut “paksa badan” dilakukan dengan Penetapan Ketua
Pengadilan Negeri. Dalam hal ini perlu dipikirkan agar dengan syarat-
syarat tertentu, perbuatan debitur yang tidak memenuhi
kewajibannya dijadikan tindak pidana (kriminalisasi penuh). Syarat-
syarat tersebut antara lain berkaitan dengan unsur penipuan dan
kecurangan disertai unsur kesengajaan dilengkapi dengan standar
46
kejahatan ekonomi dari The American Bar Association; hutang debitur
nakal yang bersangkutan termasuk kategori “utang yang tidak biasa”
dan dipenuhinya dengan syarat-syarat kriminalisasi yang lain.
Ketiga, Pasal 29 ayat (2) Piagam Ham PBB yang secara tegas
menyatakan bahwa di dalam menjalankan hak dan kewajibannya yang
ditetapkan oleh undang-undang, setiap orang tunduk hanya pada
batasan-batasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang
layak bagi hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-
syarat kesusilaan, kesejahteraan umum yang adil dalam suatu
masyarakat demokrasi. Hal seperti ini juga diatur dalam Pasal 73 UU
No.39 Tahun 1999 yang menegaskan bahwa hak dan kebebasan yang
diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan
berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan
dan penghormatan terhadap HAM serta kebebasan dasar orang lain,
kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.
Sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) Kovenan Internasional Tentang Hak-
hak Sipil dan Politik, maka masalah kemerdekaan dan kebebasan tidak
termasuk dalam non derogable rights, sehingga dapat dibatasi dengan
undang-undang atas dasar alasan-alasan yang didasarkan pada baik
Pasal 29 ayat (2) piagam HAM PBB atau Pasal 73 UU No. 29 Th 1999.
Dengan demikian perkeculian tertera dalam Pasal 2 PERMA no.1 tahun
2000 bahwa di samping gijzeling harus didasarkan pada ketentuan Pasal
209 sampai dengan Pasal 224 HIR, dan Pasal 242 sampai dengan Pasal
2558 RBg, masih mungkin dikecualikan dalam hal yang diatur secara
khusus dalam PERMA tersebut perlu dipertanyakan.
Keempat, Pasal 11 Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil
dan Politik menegaskan bahwa “tidak seorangpun atas putusan
pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas
alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam
perjanjian utang piutang”. Mengingat sifat hak kemerdekaan
merupakan derogable rights, maka dapat diperlakukan kemungkinan
restriksi dan limitasi atas dasar Pasal 29 ayat (2) Piagam HAM PBB
dan Pasal 73 UU No. 39 Tahun 1999. Dengan demikian pertimbangan
normatif dari PERMA No. 1 Tahun 2000 (keadaan dan kebutuhan
hukum dalam rangka penegakan hukum dan keadilan serta
pembangunan ekonomi bangsa Indonesia) harus kompatibel dengan
istilah “debitur yang beritikad tidak baik” sebagaimana beberapa
47
kali disebut dalam batang tubuh Perma, konsep empiris yang berkaitan
dengan syarat penerapan imprisonment for debts, standar pengecualian
sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Piagam HAM PBB, dan Pasal 73
UU No.39 tahun 1999.
49
tangan Presiden terhadap kekuasaan kehakiman demi kepentingan
revolusi, dan pembiaran kedudukan MPR dan DPR yang bersifat
sementara dalam kurun waktu yang relatif lama. Demikian pula
dengan keberadaan UU No.11 Tahun 1963 tentang Pemberantasan
Kegiatan Subversi yang penuh dengan nuansa pelanggaran Hak Asasi
Manusia (HAM), meningkatnya peraturan-peraturan hukum pidana
yang represif, dan bayang-bayang kegiatan intelijen yang bersifat
eksesif karena kemungkinannya dapat terlibat melakukan crimes by
government dengan dalih keamanan, ketertiban, dan seterusnya.
Setelah Orde Lama jatuh, muncul Orde Baru yang diwarnai oleh
semangat untuk menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni
dan konsekuen, suatu semangat yang lama diabaikan dan dipandang
menjadi sebab paling penting kejatuhan Orde Lama pada tahun 1966.
Dekade pertama dari Orde Baru ini diwarnai oleh semangat promosi
dan perlindungan HAM, supremasi hukum dan demokratisasi melalui
Pemilu 1971. Tetapi nampaknya spirit tersebut tak berlangsung lama,
karena segera setelah itu, yang dapat kita saksikan adalah
beroperasinya sebuah sistem kekuasaan dan kepemimpinan nasional
yang bersifat tertutup, melupakan tekad awal untuk menjalankan
UUD 45 dan Pancasila secara murni dan konsekuen, dan di atas
segalanya, merebaknya praktek-praktek KKN yang berlangsung
begitu luas dan dalam jangka waktu yang lama pula. Usaha untuk
merumuskan TAP MPRS tentang HAM sejak tahun 1966 gagal
dilakukan, dan supremasi hukum tinggal kenangan akibat korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN). Kekuasaan kehakiman yang merdeka
tidak berhasil diwujudkan, karena UU No.14 Tahun 1970 yang
diundangkan membuka kemungkinan untuk campur tangan eksekutif
terhadap kekuasaan kehakiman melalui kewenangan Menteri
Kehakiman, Menteri Hankam dan Menteri Agama untuk tetap campur
tangan di bidang administrasi peradilan (administrasi, finansial dan
personal). Pemilu 1971 dan seterusnya sulit dikatakan “jujur dan adil”
– meskipun istilah ini menjadi semboyan resmi di sepanjang pemilu
Orde Baru — karena ditandai oleh pelbagai rekayasa untuk
kepentingan politik penguasa saat itu. Apa yang disebut praktek KKN
ternyata sudah demikian sistemik dan endemik sifatnya.
Yang sangat mengherankan adalah munculnya usaha untuk
melestarikan UU No.11 tahun 1963 (melalui UU No.5 tahun 1969
menjadi UU No.11 PNPS tahun 1963), yang ternyata menimbulkan
50
ekses luar biasa mahal berupa “kematian” hak-hak politik dan kemudian
membawa banyak korban dalam bentuk meningkatnya jumlah tahanan
politik dan narapidana politik. Padahal undang-undang tersebut pada
masa Orde Lama telah banyak mengantarkan tokoh-tokoh Orde Baru
ke penjara. Kelak, dengan praktek-praktek semacam itu, Orde Baru
yang pada mulanya ditunggu hasil positifnya dengan penuh harapan,
pada akhirnya menampakkan bentuknya sebagai orde yang hampir
selalu diliputi oleh penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan
banyak terlibat dalam praktek pelanggaran HAM.
Pada mulanya langkah-Iangkah yang menekan hak-hak sipil dan
politik dengan dalih perlunya keamanan dan ketertiban masyarakat
demi pembangunan ekonomi tidak terlalu dirasakan karena didukung
oleh kondisi ekonomi yang baik. Namun begitu krisis ekonomi terjadi
pada tahun 1997, maka tuntutan-tuntutan untuk menegakkan hak-hak
sipil dan politik melalui gerakan reformasi meledak tak tertahankan
dan berujung pada jatuhnya Orde Baru pada bulan Mei 1998.
Orde Reformasi yang dimulai pada Mei 1998 belajar banyak dari
orde-orde sebelumnya. Langkah sistematis dilakukan untuk bangkit
kembali dari krisis multidimensional yang mengawali kekuasaannya.
Reformasi diletakkan makna operasionalnya sebagai usaha sistematis
bangsa Indonesia untuk mengaktualisasikan kembali nilai-nilai dasar
demokrasi. Reformasi hukum yang pada orde-orde sebelumnya
diartikan sebagai usaha untuk menggantikan pelbagal perundang-
undangan kolonial dengan hukum nasional, diposisikan sebagai
proses demokratisasi hukum dengan memperhatikan baik aspirasi
nasional maupun global. Konsentrasi pembaharuan hukum diarahkan
pada pelbagai kelemahan pada masa lalu yang mencakup sistem hukum
dan kehidupan sosial, politik dan HAM, pemberantasan KKN, dan
yang mengatur bidang ekonomi untuk menghadapi era pasar bebas.
Undang-undang yang mengatur Pemilu dan Partai Politik disesuaikan
dengan dengan cara mengakomodasi aspirasi demokrasi yang
berkembang. UU tentang HAM dirumuskan, diikuti dengan ratifikasi
terhadap HAM Internasional. UU tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi diperbaiki, dan penciptaan pemerintahan yang bersih
dan bebas KKN terus diusahakan. Undang-undang anti monopoli,
kepailitan, perlindungan konsumen, perbankan — yang antara lain
mengatur independensi Bank Indonesia dan lain-lain dibentuk —
juga disempurnakan. Yang tak kalah pentingnya adalah UU No.35
51
Tahun 1999 yang mengatur “kekuasaan kehakiman” di bawah satu
atap Mahkamah Agung juga diundangkan, dengan maksud utama
untuk menghalangi kooptasi kekuasaan eksekutif terhadap kekuasaan
yudikatif. Belum lagi yang mengatur kebebasan pers serta pencabutan
UU Pemberantasan Kegiatan Subversi yang disusul dengan
pembebasan ratusan tahan politik dan narapidana politik.
Tetapi, seperti kita tahu, oleh sebab-sebab politik yang tak
terhindarkan berupa gugatan-gugatan terhadap legitimasi yang
menopangnya terutama menyangkut UUD 45, selain karena kasus
skandal perbankan dan soal jajak pendapat Timor Timur, Orde
Reformasi ini pada akhirnya jatuh juga. Orde Reformasi lanjutan di
bawah kepemimpinan Abdurrahman Wahid – dikenal dengan Kabinet
Persatuannya — yang dimulai pada bulan Oktober 1999 berusaha
terus untuk melanjutkan dan mengoreksi Orde Reformasi sebelumnya.
Tetapi, kabinet inipun tidak berlangsung lama. Abdurrahman Wahid
dilengserkan pada bulan Juli 2001 akibat tuduhan KKN terutama
dalam skandal Bulogate I dan juga faktor krisis multidimensional
yang hampir tidak menunjukkan tanda perbaikan di sepanjang masa
kepemimpinannya.
Untuk keluar dari kemelut di atas, agaknya sulit dibayangkan
tanpa mengandalkan suatu sistem pemerintahan yang memiliki basis
legitimasi yang luas dan dipilih secara langsung melalui pemilu yang
terbuka, jujur dan demokratis, baik untuk Presiden dan wakil
Presiden, maupun bagi anggota DPR dan DPRD. Sistem yang demikian
lebih memungkinkan bagi terciptanya pemerintahan yang terbuka,
bertanggungjawab dan responsif dalam kerangka penegakan negara
hukum, promosi dan perlindungan Hak Asasi Manusia, terutama hak-
hak sipil dan politik yang pada masa lalu banyak terabaikan. Partisipasi
masyarakat dalam rangka pembentukan masyarakat madani yang
ditandai dengan apa yang disebut “self confidence citizens”, juga sejalan
karena sistem pemilu yang bersifat langsung memberikan akses
langsung bagi hak politik rakyat untuk mengontrol pemerintahannya,
baik yang di lembaga legislatif, yudikatif maupun di eksekutif.
Khusus di bidang hukum dan Hak Asasi Manusia, diperlukan
kepemimpinan di bidang hukum yang moralis dan kuat, disamping
dibutuhkan adanya strategi kebijakan yang komprehensif dan
profesional, kehendak politik dan pengawasan masyarakat yang
berkelanjutan.
52
Pada akhirnya hasil-hasil amandemen terhadap UUD 1945 (I-
IV) — yang belakangan sempat memicu kontroversi — secara
sistematis dan profesional harus dilaksanakan mengingat sebagian
sumber dari segala kemelut bangsa ini, termasuk di bidang hukum
dan Hak Asasi Manusia terkait dengan sifat UUD 1945 yang terlalu
singkat dan umum sehingga mudah diberikan interpretasi atau
bahkan dimanipulasi sesuai dengan selera dan kepentingan tertentu.
Tanpa ada langkah-langkah terobosan yang lebih konkrit dan
menyeluruh serta tahapan-tahapan yang jelas, sulit dibayangkan
dapat segera keluar dari lingkaran yang serba samar ini. n
53
Diskriminasi Terhadap Wanita,
Suatu Perspektif Hak Asasi Manusia
54
dan ‘Convention on the Political Rights of Woman’ yang diratifikasi dengan
UU No.68 Tahun 1958), secara komprehensif harus dikaitkan pula
dengan Piagam PBB dan dokumen-dokumen HAM Internasional lain
seperti: Convention on the Rights of Child (CRC); The Vienna Declaration
and Programme of Action (1993) yang antara lain menegaskan bahwa
“hak asasi manusia wanita/perempuan merupakan bagian integral yang
tak terpisahkan dari hak asasi manusia; ‘Beijing Declaration and Platform
for Action’ (1995); Declaration on the Protection of Woman and Children in
Emergency and Armed Conflict; Convention Consent to Marriage, minimum
Age for Marriage and Registration of Marriage; Perjanjian tentang Persamaan
pembayaran Gaji Bagi Wanita dan Pria untuk Pekerjaan yang Sama, di
Jenewa (diratifikasi dengan UU No.80 tahun 1957).
Di samping itu, sebagai konsekuensi dari negara berdaulat maka
segala pembicaraan tentang hak-hak wanita harus mengacu pula pada
hukum positif nasional seperti:
• Pasal 27 UUD 1945, memberikan landasan pemikiran bahwa
wanita dan pria memiliki hak dan kewajiban (rights and duties)
yang sama dalam keluarga, masyarakat dan pembangunan;
• GBHN 1993 (Tap MPR/II/1993) yang menegaskan bahwa wanita,
baik sebagai warga negara maupun sebagai daya insani
pembangunan, mempunyai hak dan kewajiban serta kesempatan
yang sama dengan pria dalam pembangunan di segala bidang;
• Kebijaksanaan mengenai peranan wanita dalam Repelita VI yakni
peningkatan kualitas wanita sebagai insan maupun sumber daya
pembangunan;
• UU No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pembangunan Nasional,
khususnya yang mengatur tentang wajib belajar pendidikan dasar
9 tahun yang dimulai tahun 1994, menegaskan bahwa orang tua
dianjurkan menyekolahkan anaknya baik wanita ataupun pria
sekurang-kurangnya sampai menyelesaikan SLTP;
• Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-O3/MEN/1989 dan
No.PER-O4/MEN/1989, masing-masing mengenai larangan
pemberhentian hubungan kerja bagi wanita karena perkawinan,
hamil dan melahirkan dan aturan (tata cara) untuk melindungi
tenaga kerja wanita yang bekerja pada malam hari.
55
namun — sebagaimana negara-negara berkembang yang lain — dalam
implementasinya dikenal pula “asas relativisme kultural” yang secara
universal juga sudah mendapatkan pengakuan, tentu sejauh
penggunaan asas “relativisme kultural” tersebut tidak bertentangan
dengan prinsip dan hakekat HAM yang universal. Pentingnya untuk
tetap mempertimbangkan aspek kultural dan historis suatu bangsa
atau masyarakat dalam penerapan HAM, nampak pada contoh sebagai
berikut:
1. The Jakarta Message (1992), butir 18 antara lain menegaskan bahwa:
“No country however, should use its power dictate its concept of
democracy and human rights or impose conditionalities on others..”.
2. Deklarasi Kuala Lumpur (1993) tentang HAM yang dirumuskan
oleh ‘Asean Inter Parliamentary Organization’ (AIPO) antara lain
menegaskan:
“the peoples of Asean accept that human rights exist in a dynamic and
envolving context and that each country has inherent historical
experiences, and changing economic, social, political and cultural realities
and value system which should be taken into account”.
3. Deklarasi Bangkok 1993 yang dirumuskan oleh negara-negara Asia
yang menyatakan bahwa:
“while human rights are universal in nature, they must be considered in
the context of a dynamic and evolving process of international norm-
setting, bearing in mind the significance of national and regional
peculiaritiers and various historical, cultural and religious backgrounds.”
4. Deklarasi Wina dan Program Aksi (1993) yang dihasilkan oleh
Konferensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia yang merumuskan
bahwa:
“All human rights are universal, indivisible and interdependent and
interrelated While the significant of national and regional particularities
and various historical, cultural and religious background must be borne
in mind, it is the duty of states, regardless of their political, economic
and cultural systems, to promote and protect all human rights and
fundamental freedoms.”
56
HAM, manusia tak dapat mengembangkan bakat-bakat dan
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, meliputi hak-hak sipil dan
politik, hak-hak sosial, ekonomi, budaya serta hak untuk berkembang.
Sepanjang menyangkut diskriminasi terhadap wanita, pelbagai
data baik nasional maupun internasional menunjukkan bahwa
perjuangan untuk menegakkan HAM wanita masih merupakan
perjuangan yang berat, sebab masih terdapat kesenjangan yang cukup
memprihatinkan antara “hukum dalam buku” dan “hukum dalam
praktek”. Ratifikasi terhadap konvensi internasional tentang wanita
tidak secara otomatis akan mengakhiri pelbagai tindak diskriminatif.
Implementasinya masih harus menuntut perjuangan secara
berkelanjutan, sebab masalah yang terkandung di dalamnya tidak
sekedar melulu persoalan yuridis tetapi juga mengandung aspek
politik, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan sebagainya.
Pengertian diskriminasi sendiri dapat dikaji dari Pasal 1
‘Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against
Woman’ (1979) yang menyatakan bahwa:
“For the purpose of the present convention, the term “discrimination against
woman” shall mean any distinction, exclusion or restriction made on the basis
of sex which has the effect or purpose of impairing or nullifying the recognition,
enjoyment or exercise by woman, irrespective of their marital status, on a basis
of equality of men and women, of human rights and fundamental freedoms in
the political, economic, social, cultural, civil or any other field”.
Secara universal diskriminasi diidentifikasikan sebagai praktek-
praktek yang meliputi; aborsi selektif dengan teknik-teknik cangggih
untuk memperbaiki rasio laki-laki dan wanita (China, India dan Korea
Utara); pembunuhan bayi wanita (India Selatan); penyunatan yang
sangat kejam (Afrika); diskriminasi kesehatan terhadap anak-anak
wanita (Bangladesh); kawin muda; penyimpangan seksual dan
perkosaan; pelacuran anak-anak; diskriminasi wanita di bidang
penguasaan hak pekerjaan, pendidikan, upah, perlindungan kerja;
dan sebagainya.
Kemudian dalam Fourth World Conference on Woman di Beijing
tanggal 4-15 September 1995, diidentifikasikan beberapa “wilayah
kritis” yang berkaitan dengan wanita dan harus secara berkelanjutan
diperjuangkan, meliputi; wanita dan kemiskinan, pendidikan dan
pelatihan bagi wanita, wanita dan kesehatan, kekerasan terhadap
wanita, wanita dan konflik bersenjata, wanita dan ekonomi, wanita
dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan, mekanisme
57
kelembagaan bagi peningkatan wanita; hak asasi wanita; wanita dan
lingkungan, dan termasuk wanita yang masih anak-anak.
Secara nasional, diskriminasi terhadap wanita di Indonesia
nampak pada ‘Hasil Survei Sosial Ekonomi’ (Susenas) 1994 yang
dilakukan oleh Biro Pusat Statistik yang antara lain mengambarkan;
tingkat buta huruf wanita lebih tinggi daripada pria; kemampuan
berbahasa Indonesia lebih rendah dari laki-laki; jam kerja wanita lebih
pendek daripada pria; jumlah pegawai negeri sipil wanita sepertiga
dari jumlah seluruh pegawai negeri sipil; pegawai negeri sipil wanita
yang mempunyai kedudukan tinggi masih sedikit; jumlah wanita yang
menjadi anggota lembaga tinggi negara masih sedikit; pengurus partai
sebagian besar adalah pria; pengurus maupun anggota organisasi
profesi lebih sedikit dari pada pria; penegak hukum wanita jauh lebih
sedikit dibandingkan penegak hukum pria.
Selanjutnya dari riset yang dilakukan oleh “Convention Watch”,
suatu kelompok kerja yang dibentuk di Program Studi Kajian Wanita
(PSW) Pasca Sarjana Universitas Indonesia, memuat penjelasan adanya
sejumlah diskriminasi terhadap tenaga kerja wanita, seperti; hak
kesempatan kerja yang sama antara perempuan dan laki-laki; kebebasan
memilih profesi, pekerjaan, promosi dan pelatihan; hak dalam
memperoleh upah yang sama terhadap pekerjaan yang sama nilai
(perempuan selalu dianggap lajang); hak dalam menikmati jaminan
sosial; hak terhadap kesehatan dan keselamatan kerja; hak untuk tidak
diberhentikan dari pekerjaan (dan mendapat tunjangan) karena kawin
dan melahirkan; hak haid, hamil dan melahirkan; hak untuk mendapat
fasilitas umum dan sosial, khususnya tempat penitipan anak.
Dalam kerangka untuk melakukan akselerasi tercapainya
pemenuhan hak-hak wanita sebagaimana tercantum di dalam dua
Konvensi Internasional dan hukum positif Indonesia, maka perlu
dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Perlu ditingkatkan sosialisasi Konvensi Internasional tentang
wanita serta peraturan-peraturan hukum positif yang menunjang;
b. Perlu ditingkatkan kegiatan-kegiatan penelitian kondusif untuk
meningkatkan perlindungan atas hak-hak kewajiban wanita;
c. Perlu ditingkatkan usaha untuk menyusun Buku Pedoman Latihan
Sosialisasi Konvensi Wanita;
d. Perlu ditingkatkan peranan NGO’s untuk mengkaji, mendesiminasi
dan mengimplementasikan HAM wanita;
58
e. Perlu ditingkatkan kerjasama pelbagai pihak untuk melakukan
perlindungan terhadap Wanita;
f. Meningkatkan kepeloporan Pusat-pusat Kajian Wanita di
Perguruan Tinggi dalam rangka menegakkan HAM Wanita;
g. Perlu ditingkatkan usaha untuk melakukan pembaharuan hukum
dan harmonisasi hukum nasional sehingga sejalan dengan
dokumen-dokumen internasional tentang HAM Wanita;
h. Perlu ditingkatkan kerjasama regional dan internasional untuk
meningkatkan penghayatan terhadap HAM Wanita baik yang
menyangkut “institutional arrangement ” maupun “financial
arrangement”.
i. Perlunya pula sosialisasi dari “Beijing Declaration and Platform for
Action” yang dihasilkan oleh Fourth World Conference on Woman di
Beijing (1995). n
59
Perlindungan Wanita Terhadap
Tindak Kekerasan
60
dan Budaya, Konvensi Internasional untuk Menghapuskan (eliminasi)
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (1979), Deklarasi
terhadap Penghapusan Kekerasan Terhadap Wanita (1993).
Pertemuan-pertemuan internasional untuk membahas
penanggulangan kekerasan terhadap wanita juga semakin banyak
dilakukan di berbagai negara, seperti; seminar di Den Haag pada
tahun 1993 dengan tema “Calling for Change: International Strategies to
End Violence Against Woman”; Workshop Internasional di China (1990);
Pertemuan Internasional tentang Kesehatan Reproduksi Wanita di
Indonesia (disponsori oleh the Population Council and the Epidemiology
Network) yang mengidentifikasi kekerasan terhadap wanita sebagai
salah satu bidang prioritas; Konferensi (dua tahunan) yang
diselenggarakan oleh the Association of Woman in Development (1991),
yang mengidentifikasi kekerasan terhadap wanita sebagai salah satu
masalah kesehatan yang penting; Pertemuan yang disponsori oleh
the National Council for Woman’s Rights di Brazil (1986) dan Konferensi
Internasional HAM PBB di Wina pada tahun 1993, yang mengakui
kekerasan terhadap wanita sebagai pengingkaran HAM wanita.
Beberapa pertemuan atau konferensi lain, meskipun sebagian
tidak secara langsung berhubungan dengan tema kekerasan terhadap
wanita tetapi sangat relevan, di antaranya; Pertemuan tingkat Menteri
di Napoli tentang kejahatan transnasional yang terorganisasi di
Napoli; Kongres PBB tentang Pencegahan Kejahatan dan Peradilan
Pidana di Kairo, serta Sidang keempat Komisi Pencegahan Kejahatan
dan Peradilan Pidana (semuanya pada tahun 1994). Demikian pula
Forty-Seventh World Health Assembly (1994), Forth UN World Conference
on Woman, Action for Equality, Development and Peace di Beijing (1995).
Kekerasan terhadap wanita juga menjadi substansi utama dalam Final
Declaration dari Konferensi Internasional tentang Perlindungan
terhadap korban perang di Jenewa (1993), yang berkaitan dengan
hukum humaniter.
Pelbagai peristiwa di atas semakin menjadi jelas bahwa
pergeseran pandangan telah terjadi secara drastis dalam masalah
kekerasan terhadap wanita. Semula masalah kekerasan terhadap
wanita dilihat sebagai kejahatan terhadap badan dan mungkin nyawa
sebagai bentuk kejahatan penganiayaan dan pembunuhan biasa;
demikian pula tentang pelecehan seksual dan sebagainya. Dalam
perkembangannya kemudian nampak bahwa kekerasan terhadap
61
wanita tidak hanya merupakan persoalan yuridis semata-mata, tetapi
di belakangnya ada suatu spirit yang besar yang berkaitan dengan
HAM. Seperti diketahui, HAM mencakup dimensi politik, ekonomi,
sosial budaya, pendidikan dan sebagainya yang harus ditelaah secara
komprehensif dan integral.
62
binding” di China pada masa lalu, “stove death” dengan cara dibakar di
Pakistan, penganiayaan karena mahar di India dan Bangladesh serta
Pakistan baik di desa maupun di kota. Di Bangladesh dikenal adanya
perusakan muka wanita dengan melempar bahan kimia. Di Afrika
terjadi penyunatan wanita yang melebihi batas toleransi kesehatan,
perdagangan wanita untuk pelacuran termasuk anak-anak di bawah
umur (white slavery), penganiayaan isteri, perkosaan dan kekerasan
lain di lingkungan keluarga (domestic violence), kekerasan terhadap
karyawan wanita, pornografi, kawin paksa (force marriage), serangan-
serangan psikis dan emosional lain, diskriminasi ekonomis, pelecehan
seksual, intimidasi di lingkungan kerja.
Dari sisi siklus kehidupan manusia kekerasan terhadap wanita
dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
- Sebelum kelahiran: aborsi (Cina, atas India, dasar seleksi kelamin
Korea), penganiayaan pada saat hamil, pemaksaan kehamilan
seperti perkosaan masal pada saat perang.
- Pada saat bayi: pembunuhan bayi (wanita), perlakuan salah baik
emosional dan psikis, perbedaan perlakuan dalam bidang makanan
dan kesehatan terhadap anak wanita.
- Pada usia anak: kawin anak, penyunatan, perlakuan seksual baik
oleh keluarga maupun orang lain, pelacuran anak.
- Pada usia remaja: kekerasan pada saat bercumbuan (date rape),
perlakuan seks terpaksa karena tekanan ekonomi, pelecehan
seksual di tempat kerja, perkosaan, pelacuran dipaksa,
perdagangan wanita.
- Masa reproduksi: Kekerasan oleh pasangan intim, marital rape,
pembunuhan atau kekerasan karena mahar, pembunuhan oleh
pasangan, perlakuan salah psikis, pelecehan seksual di tempat kerja,
perkosaan, kekerasan terhadap wanita cacat.
- Usia tua: Kekerasan terhadap janda, kekerasan terhadap orang
tua.
Identifikasi Kausa
Pada dasarnya secara umum dapat dikatakan bahwa akar kausa
terjadinya kekerasan terhadap wanita adalah “budaya dominasi laki-
laki” atau “budaya patriakhi”. Dalam struktur dominasi ini kekerasan
seringkali digunakan laki-laki untuk memenangkan perbedaan
pendapat, untuk menyatakan rasa tidak puas, dan kadangkala untuk
63
mendemonstrasikan dominasi semata-mata. Segala bentuk kekerasan
seringkali tanpa disadari merupakan refleksi dari sistem patriarkhi
tersebut.
Pendekatan “akar budaya” tentang praktek-praktek merugikan
terhadap wanita (culture-bound practices harmful to women), seringkali
digunakan untuk menggantikan istilah yang lebih dangkal yang
digunakan PBB, yakni apa yang disebut “praktek- praktek tradisional
yang merugikan wanita” (traditional practices harmful to woman) .
Sebagai contoh, penghargaan terhadap “keperawanan”,
diidentifikasikan sebagai sebab pendorong terjadinya perkawinan
pada usia sangat muda. Begitu pula tentang “penyunatan” (dilakukan
dengan cara yang dapat mengganggu kesehatan) diarahkan untuk
cepat kawin muda. Di beberapa negara Afrika penyunatan yang
sangat kejam dengan mengangkat sebagian klitoris dilakukan dengan
motivasi menghindarkan penyelewengan wanita. Hal ini dapat
mengakibatkan infeksi, tetanus keracunan darah karena digunakannya
alat-alat pemotong yang tidak steril. Seringkali di Sierra Leonne hal
ini dilakukan tanpa anastesi dan mengakibatkan shock. Bedah plastik
dan diet patologis, serta pelbagai tindakan lain yang sering tanpa
disadari hanya dimaksudkan untuk pemuasan kaum laki-laki, sering
menimbulkan deritanya sendiri bagi kaum wanita.
Di beberapa negara konsep tentang kehormatan seringkali
menstimulasi terjadinya kekerasan terhadap wanita. Bagi suatu
masyarakat tertentu, karena alasan-alasan tradisional yang terlanjur
melekat, kehilangan keperawanan hanya dapat ditebus dengan darah.
Di Mesir misalnya sekalipun hilangnya keperawanan itu terjadi karena
perkosaan, kehormatan keluarga diangap lebih penting daripada
keadilan individual wanita. Di Bangladesh dan India, korban perkosaan
seringkali dipaksa kawin dengan pemerkosanya. Di Pakistan perkosaan
dianggap sebagai jinah (etramarital sex). Dalam hukum Islam, perkosaan
harus dapat dibuktikan dengan keterangan 4 saksi laki-laki, kalau tidak,
si wanita dapat dipidana karena dianggap jinah.
Kekerasan terhadap wanita seringkali tidak dianggap sebagai
masalah besar karena beberapa alasan: pertama, ketiadaan data
statistik yang akurat; kedua, ada anggapan bahwa kekerasan tersebut
adalah masalah “tempat tidur” yang sangat pribadi dan berkaitan
dengan kesucian rumah; ketiga, berkaitan dengan keterkaitan dengan
budaya (cultural sovereignity) seperti telah diuraikan di atas; dan
64
keempat karena ketakutan terhadap suami. Seringkali faktor-faktor
tersebut terpadu satu sama lain.
Sejumlah kalangan berpendapat bahwa tindak kekerasan
terhadap wanita seringkali berkaitan pula dengan instabilitas di rumah
dan di masyarakat. Hal ini nampak dari tiga kategori sebagai berikut;
Pertama, kondisi kemiskinan cenderung mendorong perilaku agresif
dan sasarannya hampir selalu diarahkan kepada kelompok yang
lemah, yakni wanita dan anak-anak. Kedua, dalam masyarakat yang
penuh instabilitas, budaya kekerasan akan mudah berkembang.
Ketiga, dalam masyarakat yang bergolak kekerasan merupakan bagian
senjata yang digunakan untuk perang.
Kondisi-kondisi seperti di atas menggambarkan bahwa isu
kekerasan terhadap wanita bergeser, yang semula lebih bersifat
individual berubah menjadi isu kolektif dan politis. Namun demikian,
dari segi pandangan hukum pidana, kriminologis dan viktimologis,
pendekatan yang berorientasi pada hubungan pelaku dan korban
(offender victim oriented ) harus dilakukan. Dalam kerangka ini
identifikasi tentang korban kekerasan dapat dikategorikan sebagai
berikut:
(a) Korban serta merta (unrelated victim), karena nasib.
(b) Korban yang turut memprovokasi (provocative victim).
(c) Korban yang turut mendorong, tanpa harus memprovokasi
(precipitative victim).
(d) Korban yang secara fisik lemah (biologically weak victim), seperti
anak, wanita, orang cacat.
(e) Korban yang lemah secara sosial (socially weak victim), misalnya
kelompok imigran, minoritas.
(f) Korban politis
(g) Korban laten, yakni mereka yang mempunyai karakter perilaku
yang selalu menjadikannya korban.
Dalam tipologi semacam itu tidak mustahil terjadi tanggungjawab
renteng (shared responsibility) baik yang bersifat individual maupun
sosial.
Penanggulangan
Dari uraian di atas nampak bahwa permasalahan kekerasan
terhadap wanita merupakan masalah interdisipliner, baik politis, sosial
budaya, ekonomis maupun aspek-aspek lainnya. Atas dasar kajian-
65
kajian lintas disiplin, misalnya saja dapat diprediksi bahwa kekerasan
akan banyak terjadi jika; dimana ada kesenjangan ekonomis antara
laki-laki dan wanita, dominasi laki-laki dalam ekonomi keluarga dan
pengambilan keputusan yang berbasis pada laki-laki. Sebaliknya
dalam kondisi dimana perempuan mempunyai aktivitas di luar rumah,
berkembangnya perlindungan sosial, keluarga dan kawan terhadap
kekerasan, kemungkinan terjadinya kekerasan sangat dapat
diprediksi akan rendah. Dari pengalaman pelbagai negara dalam
menanggulangi tindak kekerasan terhadap wanita, pada umumnya
mencakup hal-hal sebagai berikut:
(1) Peningkatan kesadaran wanita terhadap hak dan kewajibannya
di dalam hukum melalui latihan dan penyuluhan (legal training).
Pendidikan sebagai sarana pemberdayaan wanita dilakukan
dalam tema yang universal.
(2) Peningkatan kesadaran masyarakat tentang betapa pentingnya
usaha untuk mengatasi terjadinya kekerasan terhadap wanita,
baik dalam konteks individual, sosial maupun institusional.
(3) Mengingat masalah kekerasan terhadap wanita sudah merupakan
isu global, maka perlu koordinasi antar negara untuk melakukan
kerjasama penanggulangan.
(4) Meningkatkan kesadaran para penegak hukum, agar bertindak
cepat dalam mengatasi kekerasan terhadap wanita, dalam satu
spirit bahwa masalahnya telah bergeser menjadi masalah global.
(5) Peningkatan bantuan dan konseling terhadap korban kekerasan
terhadap wanita.
(6) Peningkatan kesadaran masyarakat secara nasional dengan
kampanye yang sistematis didukung jaringan yang mantap.
(7) Meningkatkan peranan media massa.
(8) Perbaikan sistem peradilan pidana, dimulai dari pembaharuan
hukum yang kondusif terhadap terjadinya kekerasan.
(9) Pembaharuan sistem pelayanan kesehatan yang kondusif untuk
penanggulangan kekerasan terhadap wanita.
(10) Secara terpadu meningkatkan program pembinaan korban dan
pelaku. n
66
Beberapa Catatan Tentang
Hukum Acara Pengadilan Hak Asasi Manusia
67
Pidana (UU No. 8 tahun 1981 beserta Peraturan Pelaksanaannya serta
perundang-undangan positif lain yang terkait). Namun demikian,
apabila KUHAP dll. dan UU No. 26 Th.2000 tidak mengatur, tidak
ada salahnya kita, atas dasar International Customary Law mengadopsi
hal-hal yang diatur dalam ICC beserta segenap aturan dan prosedur
sebagai lampirannya.
68
bagian dari suatu serangan yang meluas (widespread) atau sistematik
(systematic) dan ditujukan pada penduduk sipil; dan (b) keharusan
adanya pengetahuan pelaku bahwa perbuatan yang dilakukan
merupakan bagian dari atau dimaksudkan untuk menjadi bagian
serangan yang meluas atau sistematik terhadap penduduk sipil.
Hal lain yang harus dicermati adalah bahwa telah ditegaskan
adanya eliminasi secara tegas hubungan antara kejahatan terhadap
kemanusiaan dengan konflik bersenjata (armed conflict), karena dalam
hukum kebiasaan internasional kejahatan kemanusiaan dapat juga
terjadi di masa damai. Hal ini dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB
pada saat merumuskan Statuta Tribunal Internasional untuk Rwanda
(ICTR) dan selanjutnya diakui pula oleh Majelis Banding dari
International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia (ICTY) dalam kasus
Tadic.
Perkembangan ini dilembagakan oleh Statuta Roma 1987 Art. 7
yang diawali dengan paragraph yang menyatakan: ”For the purpose of
this Statute, “crimes against humanity” means any of the following act
when committed as part of a widespread or systematic attack directed against
any civilian population, with the knowledge of the attack”.
Pengertian “attack” tersurat dan tersirat pada Art. 7.2.a. yang
menyatakan bahwa “the term of attack is defined as a course of conduct
involving the multiple commission of acts referred to in paragraph 1 against
any civilian population, pursuant to or in furtherance of a State or
organizational policy to commit such attack”. Dengan demikian secara
implisit dapat disimpulkan bahwa serangan tersebut tidak
memerlukan karakter sebagai suatu serangan militer. Selanjutnya dari
kata ‘organizational policy’ dapat disimpulkan bahwa kejahatan
terhadap kemanusiaan dalam kondisi tertentu dapat dilakukan oleh
“aktor non negara”. Demikian pula mengenai korban, sekalipun ada
istilah meluas atau sistematik, korbannya bisa hanya satu dan tidak
harus lebih dari satu, asalkan syarat lain dipenuhi. Mengenai ‘policy
to commit such attack’, harus dipahami bahwa negara atau organisasi
aktif mempromosikan dan mendorong serangan terhadap penduduk
sipil tersebut.
Selanjutnya adanya persyaratan bagi pelaku yang harus memiliki
“pengetahuan tentang penyerangan”, harus diartikan sebagai
kesengajaan khusus (specific intent). Misalnya seseorang yang turut
serta melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa
69
pembunuhan, tetapi tidak sadar bahwa perbuatannya merupakan
bagian dari suatu serangan yang meluas atau sistematis terhadap
penduduk sipil, tetap dapat dinyatakan salah telah melakukan
pembunuhan tetapi tidak dalam kerangka kejahatan terhadap
kemanusiaan melainkan merupakan kejahatan biasa (ordinary crime)
sebagaimana diatur dalam Pasal 338 dan 340 KUHP.
Perlu pula diingat bahwa untuk dapat dipidana karena melakukan
kejahatan terhadap kemanusiaan, tidak disyaratkan bahwa si pelaku
telah mengetahui seluruh karakteristik dari serangan atau rincian
pasti dari perencanaan atau dari negara atau organisasi tersebut.
Persyaratan yang berkaitan dengan alasan/sebab kejahatan,
sekalipun tidak tercantum dalam definisi kejahatan terhadap
kemanusiaan, hal ini tetap relevan sebagai indikator kesalahan, di
samping untuk menentukan sanksi pidana yang tepat atau
proporsional. Contohnya adalah kejahatan terhadap kemanusiaan
berupa penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau
perkumpulan, dicantumkan motif berupa perbedaan paham politik,
ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain
yang diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut
hukum internasional.
70
dalam bentuk ‘culpable omissions’. Dengan demikian atasan dapat
dimintai pertanggungjawaban tidak hanya karena telah
memerintahkan, menganjurkan atau merencanakan tindak pidana
yang dilakukan bawahan, tetapi juga apabila atasan tersebut gagal
mengambil tindakan untuk mencegah atau menghentikan perbuatan
yang melawan hukum yang dilakukan bawahan. Seorang komandan
militer dianggap berpartisipasi atau menganjurkan kejahatan apabila
tidak mengambil tindakan terhadap bawahan yang melakukan
kejahatan, atau membiarkan bawahannya melakukan kejahatan. Tiga
persyaratan yang harus terbukti adalah; (a) adanya hubungan atasan
bawahan baik langsung atau tak langsung, baik de jure maupun de
facto; (b) atasan tahu atau seharusnya beralasan untuk mengetahui
bahwa tindak pidana sedang dilakukan atau telah dilakukan dan; (c)
atasan gagal mengambil tindakan yang perlu dan beralasan untuk
mencegah tindak pidana atau menghukum si pelaku (lihat Ps 42 UU
No. 26 Th. 2000).
Perlindungan
Perlindungan terhadap korban dan saksi, sekalipun sudah diatur
dalam Pasal 34 UU No. 26 Tahun 2000, tetapi pengaturannya tidak
tuntas dan diserahkan lebih lanjut kepada Peraturan Pemerintah. Di
dalam Statuta Roma 1998 dimungkinkan adanya penyimpangan dari
asas terbuka untuk umum demi kepentingan saksi dan korban atau
untuk melindungi informasi konfidensial atau sensitif yang diajukan
sebagai alat bukti dalam bentuk kamera (audio visual dan sejenisnya
yang berhubungan teknologi) atau mengijinkan ‘the presentation of
evidence by electronic or other special means’ (recorded audio or video
testimony of witness). Dalam hal ini sidang juga dapat dinyatakan
tertutup.
Sesuai dengan stelsel pembuktian berdasarkan undang-undang
yang bersifat negatif yang kita anut, maka atas dasar Pasal 183
KUHAP ditentukan bahwa kesalahan terbukti dengan sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah, dan hakim memperoleh keyakinan
bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah
yang melakukannya. Hal ini secara konsisten juga dianut oleh ICC,
sekalipun di dalamnya dimasukkan lembaga Common Law berupa
lembaga ‘guilty plea’, tetapi tidak diartikan sebagai ganti berupa
komitmen dari jaksa untuk tidak mempidana berat dan bentuk
71
dakwaan. Dalam pengertian Continental Law hal ini harus dipandang
dengan hati-hati dan curiga, sebab yang dicari adalah kebenaran
materiil. Kesalahan atau tidak harus didasarkan pada alat bukti
minimum yang cukup (menurut Ps.184 ayat (1) KUHAP, keterangan
terdakwa baru merupakan salah satu alat bukti). Dalam hal ini berlaku
prinsip yang disebut ‘beyond reasonable doubt’.
Beberapa prinsip ICC lain yang perlu diperhatikan dalam
pengadilan HAM sebagai hukum kebiasaan atau hukum konvensi
internasional adalah:
• Tidak dikenal peradilan ‘in absentia’ kecuali terdakwa mengacaukan
jalannya persidangan (dalam hal ini dapat digunakan teknologi
komunikasi jika dipandang perlu);
• Hak-hak terdakwa, saksi dan korban harus dilindungi dan
dihormati;
• Memberikan perlindungan informasi yang bersifat peka dan
rahasia, contohnya untuk keamanan nasional;
• Pembuktian terbalik tidak diperbolehkan;
• Larangan permaksaan untuk memberikan kesaksian yang
memberatkan dirinya , untuk diam (right to silence) atau mengaku
bersalah.;
• Sepanjang relevan dan diperlukan, atas dasar prinsip kepercayaan,
maka tidak ada larangan untuk menyampaikan ‘hearsay or indirect
evidence’;
• Apabila terdakwa nekad tidak mau didampingi pengacara (a
stubborn defendant) maka pengadilan dapat menunjuk seorang
‘amicus curiae’ (friend of the court) untuk menjamin bahwa keadilan
akan ditegakkan, dengan cara menyampaikan hasil observasi baik
tertulis atau lisan.
• Dimungkinkan demi efektivitas atau kepentingan korban, korban
dapat menunjuk legal representatives yang wajib hadir dan
berpartisipasi dalam persidangan.
• Larangan ‘self incrimination by a witness’. n
72
Asas Legalitas dan
Pengadilan Hak Asasi Manusia
Pendahuluan
Asas legalitas tumbuh menjadi asas fundamental hukum pidana
di sebagian besar sistem peradilan pidana di dunia dimulai pada akhir
tahun 1800-an sebagai akibat perubahan pemikiran politik di Eropa
dan filsafat hukum yang berkembang pada abad pencerahan. Asas
tersebut terdiri atas : (1) nullum crimen sine lege (tiada kejahatan tanpa
undang-undang); (2) nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-
undang); dan (3) nulla poena sine crimine (tiada pidana tanpa
kejahatan). Asas ini mencakup pula asas derivatif seperti ‘nullum
crimen sine lege praevia’ (tiada kejahatan tanpa undang-undang
sebelumnya) dan ‘nullum crimen sine poena legali’ (tiada kejahatan
tanpa pidana). Asas lain yang terkait di sini adalah larangan untuk
menerapkan ‘ex post facto criminal law’ dan kaitannya dengan
pemberlakuan surut hukum pidana dan sanksi pidana (non retroactive
application of criminal laws and criminal sanctions). (Bassiouni, 1992)
Sekalipun asas legalitas berkaitan dengan pembatas legislatif
(legislative constraint), hal tersebut menyentuh pula aturan tentang
penafsiran yudisial, yakni larangan atau pembatasan penggunaan
analogi. Dalam pelbagai kesempatan para sarjana hukum menegaskan
pula berlakunya asas ‘lex-certa’, bahwa undang-undang harus
dirumuskan sejelas dan setajam mungkin serta harus dapat dipercaya.
Dalam hal ini terkait dua fungsi sekaligus; yakni fungsi melindungi
(maksudnya melindungi rakyat dari pelaksanaan kekuasaan yang
tanpa batas), dan fungsi instrumental (dalam batas-batas yang
ditentukan undang-undang, pelaksanaan kekuasaan oleh pemerintah
tegas-tegas diperbolehkan). (Schaffmeister dkk, 1995)
73
Secara keseluruhan tujuan dari asas legalitas adalah: (1)
memperkuat kepastian hukum; (2) menciptakan keadilan dan
kejujuran bagi terdakwa; (3) mengefektifkan fungsi pencegahan
(deterrent funtion) dari sanksi pidana; (4) mencegah penyalahgunaan
kekuasaan; dan (5) memperkokoh penerapan rule of law.
74
Asas Legalitas dalam Hukum Pidana Internasional
Hukum internasional di samping berasal dari produk kebiasaan-
kebiasaan yang sering dipraktekkan oleh negara-negara, juga berasal
dari apa yang dinamakan certain basic national principles, kaidah-kaidah
dasar yang masuk kategori “asas-asas umum” (general principles) .
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penerapan asas legalitas
tidak sama ketatnya antara hukum nasional dan hukum internasional
mengingat kekhasan masing-masing negara. Yang menonjol dari
hukum internasional adalah proses kriminalisasi yang terjadi jauh
dari kebijakan dan standar legislatif. Hukum pidana internasional
lebih bersifat konvensional, biasanya dalam bentuk ratusan instrumen
yang dibangun oleh organisasi-organisasi internasional yang pada
kenyataannya tidak luput dan bahkan banyak dipengaruhi oleh
faktor-faktor lingkungan politik. Lebih dari itu, dalam praktek
seringkali tanpa disertai dengan teknik perancangan yang konsisten,
sehingga dapat berakibat tidak memenuhi standar legalitas. Para
perancang pada umumnya terdiri dari diplomat-diplomat yang
seringkali bukan ahli hukum pidana internasional dan hukum pidana
perbandingan. Penting untuk diperhatikan bahwa produk formulasi
norma-norma yang dihasilkannya tidak langsung diarahkan untuk
diterapkan pada individu-individu melalui pengadilan pidana
internasional. Dengan demikian norma-norma tersebut lebih
merupakan rangkaian kewajiban bagi negara-negara untuk
menggunakannya sebagai bahan pembaharuan hukum pidana nasional
di masing-masing negara.
Perumusan kejahatan internasional biasanya dilukiskan dengan
sangat umum dan luas dan acap melupakan elemen-elemen tindak
pidana dan pertanggungjawaban pidana sebagaimana tercantum
dalam bagian umum hukum pidana nasional. Seringkali juga dijumpai
bahwa hukum pidana internasional tidak mengatur sanksi pidana.
Oleh karenanya, praktek hukum kebiasaan internasional tidak
memasukkan asas nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-
undang). Disini nampak adanya artikulasi dari asas nullum crimen
sine lege (tiada kejahatan tanpa undang-undang) menjadi nullum
crimen sine iure (tiada kejahatan tanpa hukum) yang menjadi inti asas
legalitas dalam hukum pidana internasional, seperti nampak dalam
banyak konvensi-konvensi hukum pidana internasional. Dalam
konteks ini, dimungkinkan penggunaan analogi dipertautkan dengan
75
hukum nasional negara yang terkait. Asas larangan berlaku surut
juga diakui dalam hukum pidana internasional sebagai hasil interaksi
antara traktat dan praktek diplomatik serta yudisial. Khusus mengenai
kasus kejahatan terhadap kemanusiaan yang banyak berkaitan dengan
pelanggaran HAM dianggap tidak melanggar standar asas legalitas
di dalam hukum pidana international, sebab kejahatan tersebut
semata-mata merupakan perluasan yuridiksi dari kejahatan perang,
dan hukum international melarang perbuatan tersebut. Apa yang
dilakukan oleh International Military Tribunal di Nuremberg tidak akan
menimbulkan preseden karena hal tersebut tidak menciptakan hukum
baru, tetapi semata-mata menerapkan hukum yang sudah ada di
dalam Kesepakatan Internasional tentang kejahatan perang.
Argumen lain yang akan muncul adalah bahwa asas nullum
crimen sine lege (tiada kejahatan tanpa undang-undang) tidak
merupakan batasan kedaulatan, tetapi harus dipandang sebagai
“prinsip keadilan” yang harus ditegaiand Sseba,l adalah tidak adin
76
c. Artikel 99 dari Konvensi Jenewa Ketiga, 12 Agustus 1949:
“Seorang tawanan perang tidak boleh diadili atau dipidana karena
perbuatan yang tidak dilarang oleh hukum atau oleh hukum
internasional yang berlaku pada saat tindakan tersebut
dilakukan”. Demikian pula yang tercantum dalam Article 2 ©
Protocol additional to Geneve Convention 1945 (Protocol I) dan Article
6 © Protocol II.
(Kedua yang terakhir juga melarang penggunaan hukum secara ex
post facto atau pemberlakuan hukum surut).
Sejak pengadilan Nuremberg dan Tokyo, beberapa negara telah
mengatur secara nasional untuk mengadili kasus-kasus kejahatan
terhadap kemanusiaan. Israel menuntut Adolf Eichmann pada tahun
1960, Perancis mengadili Klaus Barbie pada tahun 1988, Kanada
mengadili Imre Finta pada tahun 1989. Dalam hal ini para ahli ada
yang menolak terhadap praktek pemberlakukan hukum secara surut
dalam mengadili kasus-kasus tadi. Argumen untuk menolak kritik
tersebut adalah bahwa tidak ada hukum kejahatan baru; yang
diterapkan adalah hukum pidana yang terdapat dalam hukum
internasional. Disebutkan: “it has not violated any prohibition against
the ex post facto application of criminal laws which may exist in international
law”. (Bassiouni, 1992). n
77
Perspektif Hak Asasi Manusia
Tentang Ilmu dan Etika Keilmuan
78
masyarakat akademis, kebebasan akademik (academic freedom) dan
budaya akademik, tetapi juga menyentuh bidang-bidang lain yang
lebih luas. Era reformasi menyadarkan kepada kita bahwa masalah
keilmuan, dengan segala kompleksitasnya itu, akan bersentuhan
secara langsung dan tidak langsung dengan bangunan yang besar,
yaitu nilai–nilai dasar atau indeks demokrasi.
Sejak bergulirnya gerakan reformasi di Indonesia di penghujung
tahun 1988, seluruh elemen bangsa Indonesia, baik individual maupun
kolektif, berusaha mengkaitkan diri atau kelompoknya — dalam arti
introspeksi — dengan mulai mempertanyakan apakah reformasi perlu
pula dilakukan di lingkungannya, mengingat reformasi mengandung
nuansa multi dimensional, seiring dengan reaksinya terhadap
kompleksitas krisis yang melanda bangsa Indonesia. Namun
demikian perlu disepakati terlebih dahulu makna reformasi itu
sendiri. Reformasi pada dasarnya merupakan usaha sistematis dari
seluruh bangsa dan negara Indonesia untuk mengaktualisasikan
kembali indeks atau nilai-nilai dasar demokrasi yang telah mengalami
distorsi yang berat pada era Orde Baru dengan diterapkannya ideologi
pembangunan. (Muladi, 1977).
Indeks demokrasi tersebut sekalipun cukup banyak, namun pada
dasarnya dapat dikelompokkan dalam empat kategori elemen sebagai
berikut: 1). Keberadaan sistem pemilihan umum yang jujur dan adil;
2). Adanya pemerintahan yang transparan, akuntabel dan responsif;
3). Adanya kemauan dan langkah politik untuk selalu melakukan
promosi dan perlindungan HAM, khususnya hak-hak sipil dan politik;
4). Adanya masyarakat demokratik yang terrefleksi dalam sikap
percaya diri, antara lain dalam bentuk pelbagai assosiasi masyarakat
madani (Beetham, 1999)
Elemen butir 2, 3 dan 4 terkait secara fundamental dengan topik
pembicaraan tentang etika keilmuan, karena akan terbukti bahwa
etika keilmuan tidak dapat dilepaskan dari hakekat ilmu sendiri yang
pada dasarnya merupakan bangunan terorganisasi tentang
pengetahuan (the organized body of knowledge), yang seharusnya
mencakup pula perilaku dan metoda yang membentuk ilmu
pengetahuan tersebut. Pengalaman di pelbagai negara yang pernah
mengalami pemerintahan yang otoriter membuktikan, bahwa
perkembangan ilmu dan keilmuan tidak mungkin bisa terbentuk dan
tumbuh dengan baik bilamana kehidupan politik tidak kondusif,
79
kebebasan akademik ditekan, kultur akademik yang mendambakan
kebenaran terancam.
Kaitan ilmu/keilmuan, kebebasan akademik dan kultur akademik
dengan HAM tidak dapat dihindari dan bahkan memperoleh
pengakuan universal. Karena, ilmu pada akhirnya harus diekspresikan
dan diinformasikan untuk kemaslahatan manusia. Terkait di sini apa
yang dinamakan “kebebasan untuk berekspresi” atau “menyatakan
pendapat” yang diatur di dalam Deklarasi HAM PBB tahun 1948
dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (1966)
Pasal 19, yang mencakup kebebasan untuk mencari, menerima dan
memberi informasi/keterangan dan segala macam gagasan tanpa
memperhatikan pembatasan-pembatasan, baik secara lisan maupun
tulisan atau tercetak, dalam bentuk seni, atau sarana lain menurut
pilihannya.
Selanjutnya di dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya (1966) Pasal 15 ditegaskan bahwa, para
negara peserta perjanjian (state parties) harus mengakui hak setiap
orang untuk menikmati manfaat dari kemajuan ilmu dan
penerapannya serta memperoleh manfaat perlindungan atas
kepentingan moral dan material yang terdapat pada segala karya
ilmiah, sastra atau seni yang telah diciptakannya, termasuk langkah-
langkah yang diperlukan guna melestarikan, mengembangkan dan
menyebarkan ilmu dan kebudayaan. Yang tak kalah pentingnya
adalah adanya janji untuk menghormati kebebasan yang mutlak yang
diperlukan untuk peneliti ilmiah dan kegiatan yang kreatif untuk
menghindarkan praktek-praktek diskriminasi yang dapat merusak
hakekat pendidikan. Pada tahun 1960 telah dirumuskan konvensi
melawan diskriminasi dalam pendidikan.
Sebenarnya masih dapat disebutkan instrumen-instrumen HAM
— baik nasional maupun internasional — yang memberikan
perlindungan terhadap ilmu pengetahuan dan proses untuk
membentuk ilmu tersebut, seperti “Deklarasi Wina” (Program Aksi)
tentang HAM, yang dirumuskan dalam “Konferensi Dunia tentang
HAM” tahun 1993, dan sebagainya. Yang selalu harus diingat dalam
hal ini adalah pengalaman menunjukkan bahwa masyarakat akademis
sebagai konsumen sekaligus produsen dan disseminator ilmu, sangat
rentan terhadap pelbagai tekanan politik maupun ekonomi.
Pada Era Orde Baru, sebagai insan Perguruan Tinggi kita tidak
80
pernah bisa lupa terhadap pelbagai restriksi terhadap aktivitas
akademik dan kebebasan berekspresi, seperti keharusan untuk
memperoleh ijin riset yang berbelit-belit baik dari lingkungan
Perguruan Tinggi maupun dari Direktorat Sospol jajaran Depdagri,
keharusan untuk memperoleh ijin dari Polri baik daerah maupun
pusat apabila akan menyelenggarakan seminar atau konferensi. Istilah
“blacklist” dari aparat militer dan intelijen sangat populer saat itu.
Sensor preventif dari rektor terhadap topik-topik tertentu yang akan
diangkat dalam seminar sangat lazim dilakukan, bahkan seringkali
berujung pada penundaan atau pembatalan. Interogasi, intimidasi
yang bersifat ekstra yudisial sering terjadi, apalagi bila menyangkut
pembicara asing. Di era demokrasi, pembatasan-pembatasan tersebut
tidak selayaknya lagi dilakukan, sebab bukan tanpa alasan hukum
jika tindakan demikian dianggap sebagai “kejahatan yang dilakukan
oleh penguasa”. (baca: “Academic Freedom in Indonesia, Dismantling
Soeharto-Era Barriers” dalam Human Right Watch 1998).
Khusus mengenai indeks demokrasi berupa keberadaan
“masyarakat yang penuh percaya diri”, sebagian tercermin dalam
bentuk assosiasi-assosiasi, seperti IDI (Ikatan Dokter Indonesia),
PERSAHI (Persatuan Sarjana Hukum Indonesia), dan sebagainya, bisa
saja beberapa jenis assosiasi tersebut akan berperan tidak saja menjaga
standardisasi kualitas ilmu, tetapi juga sebagai kompetitor bagi
lembaga-lembaga pemerintah dalam melaksanakan pembangunan di
bidangnya masing-masing, baik secara konseptual maupun praktis.
Dalam kerangka “kebebasan akademik” dikenal pula istilah “hak
kebebasan berserikat” (the right to freedom association).
Sesuai dengan hakekat ilmu yang berbasis logika untuk
menyatakan benar atau salah, sudah seharusnya “bahasa ilmu” tidak
perlu dibebani dengan segala bentuk tata krama pengucapan
(euphemisme) yang sama sekali tidak ada relevansinya. Watak ilmu
harus berburu “kebenaran” dan menentang “pembenaran” yang tidak
didukung oleh logika yang rasional. Inilah yang dinamakan kejujuran
ilmiah (academic honesty ), sekalipun seseorang ilmuwan yang
profesional misalnya saja bekerja pada suatu lingkungan korporasi
atau pemerintah (organic intellectual), dan bukan sebagai ilmuwan
murni (traditional intellectual). Seorang ilmuwan yang beneran harus
siap berdiri diantara kesepian (loneliness ) dan keberpihakan
(alignment) .
81
Selanjutnya ilmuwan acap pula digambarkan sebagai sosok yang
tidak memiliki kantor untuk berlindung atau teritori untuk melakukan
konsolidasi. Dalam kehidupan modern ilmuwan tidak lagi dipandang
semata-mata hidup di menara gading yang bertugas hanya untuk
pengembangan ilmu atau sering disebut “ilmuwan kutu buku” yang
hanya mau terikat dengan literatur (closed literature scientist), tetapi
juga harus berperan pula sebagai agen perubahan sosial. Dalam hal
terakhir ini, yang membedakan antara kebenaran dan pembenaran
adalah kemampuan untuk memberikan alternatif-alternatif
pemecahan, bukan satu pemecahan yang bersifat mutlak, seolah-olah
paling benar. Sebab, yang demikian itu bertentangan dengan hakekat
ilmu yang watak dasarnya dinamis dan anti “status quo”. Dalam hal
ini patut dikutip pernyataan dari salah seorang pemenang Hadiah
Nobel untuk DNA, Francis Crick, yang menyatakan bahwa sopan
santun (politeness) merupakan racun (poison) bagi semua kerjasama
yang baik di bidang ilmu. Jiwa kerjasama adalah kejujuran dan
keterusterangan (candor), dan bila perlu kasar (rudeness). Di dalam
ilmu, kritik merupakan pertanda tingginya ukuran persahabatan.
Di dalam Dekralasi Lima tentang Kebebasan Akademik dan
Otonomi Lembaga Pendidikan Tinggi yang dirumuskan dan diterima
dalam Sidang Umum ke 68 “World University Service” pada tahun
1988, di samping memuat penjelasan pelbagai kebebasan dan hak
dari Pendidikan Tinggi, secara tersurat dan tersirat tercantum
pelbagai prakondisi yang diperlukan bagi keberadaan etika keilmuan,
seperti: perkembangan paripurna kepribadian manusia, harga diri,
penghormatan terhadap HAM, kebebasan asasi dan perdamaian,
semangat toleransi, anti-diskriminasi, perlindungan lingkungan,
instrumen perubahan sosial yang positif, kebebasan berpikir,
berkontemplasi, beragama, berekspresi, berkumpul dan berserikat,
hak atas kebebasan dan keamanan seseorang dan kebebasan bergerak,
akses pada komunitas akademis, hak untuk mengadakan kerja
penelitian tanpa campur tangan, mengikuti prinsip-prinsip universal
dan metode penelitian saintifik, hak mengkomunikasikan hasil
penelitian secara bebas dan mempublikasikannya tanpa sensor,
kebebasan untuk berhubungan dengan koleganya di belahan dunia
manapun, merespon masyarakat kontemporer, menjalankan
pelaksanaan HAM masyarakat, berusaha untuk mencegah
penyalahgunaan sains dan teknologi, memberikan solidaritas bagi
82
institusi lain dan anggota komunitas akdemis, partnership yang setara
dalam mencari dan menggunakan pengetahuan, mendorong
korporasi akademis dan tingkat otonomi institusi yang tinggi.
Uraian di atas sekali lagi menggambarkan bahwa etika keilmuan
penuh dengan nuansa “hak” dan “tugas”. Suatu lembaga yang
bernama “Inter Action Council” yang anggota-anggotanya secara
selektif terdiri dari mantan-mantan Presiden dan Kepala Pemerintahan
(mantan Presiden BJ. Habibie, termasuk di dalamnya) telah
merumuskan sebuah draft, “the Draft Universal Declaration of Human
Responsibilities”, sebagai pasangan dari UN Declaration of Human
Right. Di dalam pasal 13 dinyatakan bahwa:
“Tidak satupun politisi, pegawai negri, pimpinan bisnis, saintis, penulis
atau seniman dikecualikan dari standar etika umum. Begitu juga dengan
ahli fisika, pengacara dan profesional lain yang memiliki tugas khusus
bagi klien. Profesional dan kode etik lain harus mencerminkan prioritas
standar umum seperti standar kebenaran dan keadilan.”
83
Format Penyelenggaraan Negara
di Bidang Pertahanan dan Keamanan
84
yang baru adalah “menciptakan pertahanan bersama” (common defence).
Perlu ditegaskan di sini, bahwa penetapan tujuan tersebut mendahului
tujuan lain yang bahkan sebenarnya juga sangat penting, yaitu
“memajukan kesejahteraan umum” (general welfare). Pada saat tujuan
tersebut dirumuskan, kita yakin bahwa yang ada di balik para perumus
konstitusi tersebut adalah bayangan bahaya atau ancaman fisik dari
kekuatan-kekuatan Eropa yang bermusuhan dengan Amerika Serikat
dan masih mempunyai tempat berpijak di Amerika Utara.
Demikian pula dengan konstitusi Indonesia (UUD 1945). Dalam
bagian Pembukaan ditegaskan: “Kemudian dari pada itu untuk
membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia….”.
Perumusan ini juga mendahului tujuan lain yang pada dasarnya juga
berkaitan dengan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Penyebutan
fungsi “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia” lebih dahulu daripada “membentuk pemerintah
Indonesia”, bukanlah hal yang kebetulan. Seperti halnya di Amerika
Serikat, para pendiri Republik ini secara rasional dan emosional telah
dengan sadar menempatkan aspek yang bernuansa “keamanan
nasional” dan bahkan “keamanan bangsa-bangsa di dunia” dalam
kedudukannya yang strategis, kalau bukan paling strategis.
Seperti diketahui, aspek pertahanan dan keamanan nasional yang
secara riil dihadapi Indonesia saat itu (sebelum dan sesudah
proklamasi kemerdekaan) banyak bersentuhan dengan perjuangan
fisik baik untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan, maupun
menghadapi bahaya disintegrasi bangsa sebagai wilayah kesatuan
dan persatuan RI. Jika saja fungsi “pertahanan dan keamanan” itu
diberikan tafsir berdasar konteks situasi sekarang maka hampir pasti
elemen-elemen kebijakan yang harus dihadapi akan jauh lebih
komprehensif dan luas. Perumusan Pasal 30 ayat (1) UUD 1945 bahwa
tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha bela
negara, adalah refleksi nuansa kejiwaan saat itu. Bela negara, bukan
saja dihayati sebagai hak, tetapi sudah merupakan kewajiban dan
bahkan kehormatan. Dengan perspektif konstitusi seperti ini maka
dapat disimpulkan bahwa soal pertahanan dan keamanan nasional,
faktor perekatnya terletak pada Pembukaan UUD 1945.
85
Faktor perekat lain yang bersifat internal tetapi juga sekaligus
universal adalah komitmen untuk melindungi dan mempromosikan
nilai-nilai hak asasi manusia (HAM). Tak bisa dipungkiri bahwa setiap
bentuk pengingkaran dan pelanggaran HAM, tidak saja merupakan
tragedi yang dirasakan secara individual tetapi juga merupakan atau
dapat menimbulkan derita sosial dan politik yang luas, seperti
tersemainya benih-benih konflik dan kekerasan di segala tingkatan:
lokal, nasional dan bahkan internasional. Karena itu tak dapat
diragukan kebenaran salah satu bunyi pernyataan Piagam HAM PBB,
1948, bahwa: “menghormati hak asasi dan martabat manusia adalah
landasan bagi terciptanya kebebasan, keadilan, dan kedamaian di
dunia”. Kajian terhadap Pembukaan UUD 1945 mengantarkan pada
suatu kesimpulan pasti bahwa perjuangan gigih merebut kemerdekaan
Indonesia adalah reaksi terhadap pelanggaran HAM yang berat:
penjajahan, dengan segenap kekerasan yang ada di dalamnya.
Piagam HAM PBB, 1948, yang kemudian dielaborasi ke dalam
Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik (1966),
dengan tegas menyatakan bahwa hidup, kebebasan, dan keamanan
seseorang merupakan hak absolut yang harus dihormati bahkan
dalam kondisi darurat sekalipun. Betapa pentingnya arti keamanan
nasional juga nampak dalam pelbagai instrumen HAM internasional,
yang bahkan dalam beberapa hal digunakan sebagai syarat restriksi
dan limitasi bagai penerapan hak asasi yang lain. Hal ini antara lain
nampak dalam beberapa artikel dari kovenan internasional tentang
hak-hak sipil dan politik, yakni bahwa restriksi terhadap beberapa
hak dapat saja dilakukan dengan undang-undang atas pertimbangan
untuk melindungi keamanan nasional.
Aktualisasi analisis terhadap ancaman keamanan nasional di atas
sangat penting untuk melakukan generalisasi terhadap elemen-elemen
kebijakan pertahanan dan keamanan nasional seakurat dan
seantisipatif mungkin. Selanjutnya, untuk mengimplementasikan
kebijakan tersebut perlu dirumuskan manajemen dan organisasinya
melalui Departemen Pertahanan dan MABES POLRI yang secara
konseptual berfungsi untuk merumuskan doktrin, strategi,
rekrutmen, pelatihan, sistem penunjang apabila terjadi konflik
bersenjata dan perang, penggelaran dan pemeliharaan kekuatan,
pengadaan dan pemeliharaan materiil. Dalam banyak hal sulit untuk
melepaskan diri dari dukungan terhadap kebijakan luar negeri dan
86
kebijakan departemen lain. Selanjutnya, sebagai negara yang
menganut prinsip demokrasi, maka praktek konsultasi dan penjelasan
yang lebih persuasif kepada masyarakat luas tak dapat dihindari,
seperti media massa, kalangan LSM, parlemen, kalangan Perguruan
Tinggi, dan kelompok-kelompok sosial yang tertarik pada masalah
kajian keamanan nasional.
Untuk menentukan unsur-unsur yang harus diperhatikan dalam
menentukan kebijakan pertahanan dan keamanan nasional harus
secara akurat dan komprehensif diidentifikasikan pelbagai kendala
signifikan yang secara aktual dan potensial dapat membahayakan
keamanan nasional, baik secara geografis maupun fungsional. Setelah
itu barulah dapat dikaji faktor-faktor organisasional dan manajerial
dalam rangka memformulasikan dan melaksanakan kebijakan hankam
nasional.
Indonesia, tentu tidak dapat begitu saja meniru kebijakan Amerika
Serikat yang karena kekuatan nasionalnya menerapkan wawasan
global. Mengkaji pengalaman negara adidaya itu, kita melihat bahwa
elemen-elemen kebijakan keamanan nasional yang ditempuh tidak
hanya mendasarkan diri pada kepentingan militer, tetapi juga
kepentingan politik, ekonomi, dan kepentingan-kepentingan lainnya
yang dinilai strategis. Elemen-elemen tesebut meliputi:
1. Identifikasi terhadap negara-negara yang dapat dikategorikan
sebagai “musuh utama” dalam kancah internasional, baik secara
militer maupun kemungkinan terjadinya intimidasi politik;
dengan sendirinya menggunakan standar kekuatan politik,
ekonomi dan militer.
2. Hal-hal yang dapat membahayakan kondisi ekonomi Amerika
serikat, termasuk kemungkinan gangguan terhadap penyediaan
energi dari negara lain yang bagi AS dipandang sangat strategis
bagi keamanan nasional.
3. Masalah perkembangan bahaya persenjataan nuklir di negara-
negara lain.
4. Pengembangan dan pembagian tanggungjawab dengan sekutu-
sekutu militer, seperti NATO.
5. Efisiensi dan efektivitas manajemen dan organisasi Departemen
Pertahanan.
6. Basis politik domestik yang kondusif untuk menunjang
perumusan dan pelaksanaan kebijakan keamanan nasional.
87
7. Strategi politik, militer dan ekonomi secara terpadu dalam
kebijakan pengendalian persenjataan.
8. Kemampuan militer.
9. Kepentingan keamanan di pelbagai wilayah di dunia, seperti di
Asia Timur, Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin
10. Penemuan-penemuan baru di bidang industri strategis dan
industri persenjataan.
11. Kehandalan diplomasi internasional.
12. Kemampuan untuk mengontrol perbatasan wilayah nasional
(Amerika sampai saat ini sangat disibukkan oleh imigran-imigran
gelap dari negara-negara lain).
13. Pembinaan sumberdaya manusia secara memadai. Kebijakan
keamanan nasional mensyaratkan strategi militer yang
membutuhkan struktur militer yang harus dibiayai, dilengkapi
dan diperkuat dengan staf serta personil yang profesional.
14. Kualitas pemimpin sipil dan militer yang handal dan mempunyai
komitmen terhadap kebijakan keamanan nasional.
88
industri-industri tersebut. Padahal pada proporsinya yang benar
industri-industri strategis itu sangat diperlukan untuk menunjang
kebijakan keamanan nasional.
2. Munculnya gerakan-gerakan separatis dengan pelbagai latar
belakang dengan menyalahtafsirkan prinsip HAM: “hak untuk
menentukan nasib sendiri” sebagai tertera dalam kovenan
internasional tentang hak-hak sipil dan politik. Padahal hak
tersebut hanya bisa diterapkan dalam konteks rakyat yng berada
di bawah dominasi asing dan sama sekali tidak dapat diterapkan
kepada bagian dari warga/rakyat suatu bangsa yang merdeka
dan berdaulat yang merupakan inti dari keutuhan bangsa.
Perkembangan internasional memang menunjukkan bahwa
implikasi dari hak tersebut dapat dipahami dalam konteks
“otonomi” dalam lingkup “domestic constitutional arrangement”.
Gerakan separatis tersebut antara lain bermula dari rasa
ketidakadilan, baik ekonomi, politik maupun yang lainnya.
3. Basis politik dalam negeri yang kurang kondusif dan diliputi
kecurigaan terhadap TNI/Polri akibat terkooptasinya kedua
institusi tersebut ke dalam sistem kekuasaan yang tidak
demokratis di masa lalu sehingga mudah dituduh misalnya terlibat
dalam kegiatan politik praktis, penyalahgunaan kekuasaan, dan
melakukan pelanggaran HAM.
4. Peralatan militer yang sudah tidak memadai, baik jumlah maupun
mutunya (penting dicermati keluhan korps marinis kepada
Presiden baru-baru ini ihwal peralatan militer tahun 1960 yang
masih digunakan).
5. Kurangnya kemampuan untuk mengawasi wilayah perbatasan
yang memang sangat luas (salah satunya karena peralatan tadi).
Banyak infiltrasi asing tak mudah dideteksi, dan ini sungguh
berbahaya terutama bagi sejumlah wilayah yang sedang bergolak,
seperti Aceh, Maluku, dan sebagainya yang rawan bagi terhadap
penyelundupan senjata dari luar.
6. Krisis ekonomi yang belum kunjung dapat dipulihkan sering
menimbulkan kerawanan sosial dan politik. Lebih dari itu juga
menimbulkan ketidakmampuan untuk meningkatkan kualitas
SDM TNI dan Polri. Lalu rendahnya tingkat kesejahteraan
cenderung mendorong mereka pada perbuatan-perbuatan tercela.
7. Proses reformasi dan reposisi di tubuh TNI/Polri yang tidak
89
tuntas seringkali dapat menimbulkan fragmentasi pemikiran dan
langkah keduanya.
8. Pemahaman terhadap hukum humaniter dan hukum hak asasi
manusia yang masih rendah, dapat dengan mudah menjebak
mereka (anggota TNI/Polri) untuk melakukan tindak
pelanggaran HAM, atau sekurangnya menimbulkan kegamangan
yang sering menimbulkan kesan tidak profesional.
9. Pengamanan yang belum memadai terhadap kekayaan sumber
daya alam, sehingga potensial mengganggu keamanan nasional.
10. Khusus mengenai Polri, kelemahan yang terasa adalah
menonjolnya fungsi authoritative intervention dan symbolic justice.
Pemahaman keduanya di segala tingkatan harus diperluas ke arah
“management of crime” yang menempatkan kedua fungsi tadi di
bawah “crime prevention”. n
90
Proses Aktualisasi
Hukum Pidana Lingkungan
di Indonesia
91
(e) Subject of environmental protection should be included at all educational
level, and specifically in curriculla for the study of criminal law, and
human resources should also be developed to deal with these new problems,
by means of degree courses, post-graduate courses, seminars and any
other form of training;
(f) Not only should environment offences be established as a class of offence
in penal codes, but also, in the administrative area, offending enterprises
should be subject to financial penalties;
(g) Regarding penal sanctions themselves, the principle of subjective
culpability should be maintained.
92
on Environment and Development di Rio de Janeiro, pada tahun 1992.
Kaitan antara masalah lingkungan hidup dengan HAM secara
lebih mendalam tercantum dalam laporan akhir tentang “Human
Rights and the Environment” dari Commission on Human Rights, Ecosoc,
PBB (Doc. E/CN.4/sub.2/1994/9, 6 Juli 1994). Dalam laporan ini
ditegaskan bahwa efek lingkungan hidup terhadap HAM berkaitan
dengan: (a) Right to self-determination and permanent sovereignity over
natural resources; (b) Right to life; (c) Right to health; (d) Right to food;
(e) Right to safe and healthy working conditions; (f) Right to housing;
(g) Right to information; (h) Popular participation; (i) Freedom of association;
(j) Cultural rights.
Latar belakang legislatif lain yang dapat dikemukakan di sini adalah
apa yang tercantum di dalam Guiding Principle for Crime Prevention and
Criminal Justice in the Context of Development and a New International
Economic Order (UN, 1985) yang menegaskan bahwa: “7. In view of the
characteristics of contemporary post industrial’ society and the role played by
growing industrialization, technology and scientific progress, special protection
against criminal negligence should be ensured in matters pertaining to public
health, labour conditions, the explotation of natural resources and the environment
and the provision of goods and services to consumers”.
The Council of Europe Resolution 77 (28) juga menegaskan perlunya
kontribusi hukum pidana dalam rangka proteksi terhadap lingkungan
hidup. Demikian pula UN General Assembly Resolution No. 45/121
tahun 1990 yang menerima resolusi tentang proteksi lingkungan hidup
dengan hukum pidana yang diajukan oleh the Eighth UN Congress on
the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders.
Rekomendasi dari the AIDP Preparatory Colloquium on the
Application of Criminal Law to Crime Against the Environment yang
diselenggarakan di Ottawa, Kanada (2-6 Nopember 1992) menegaskan
perlunya dipertimbangkan penggunaan hukum pidana untuk
melindungi kelestarian lingkungan hidup.
Selanjutnya di dalam The Vienna Declaration and Programme of
Action yang dirumuskan pada World Conference on Human Rights
dinyatakan bahwa: “11. The right to development should be fulfilled so as
to meet equitably the developmental and environmental needs of present
and future generations. The World Conference on Human Rights recognizes
that illicit dumping of toxic and dangerous substances and waste potentially
constitutes a serious threat to human rights to life and health of everyone”.
93
Pada bulan Maret 1994, di Portland, Oregon, USA, telah
diselenggarakan International Meeting of Experts on Environmental
Crime. Dalam pertemuan itu dibahas tentang penggunaan sanksi
kriminal dalam kerangka perlindungan lingkungan dalam lingkup
internasional, regional dan domestik yang kemudian menghasilkan
‘The Portland Draft’.
Yang lebih memprihatinkan adalah, bahwa kejahatan lingkungan
dalam bentuk illegal disposal of dangerous waste di pelbagai negara sudah
menjurus ke arah kejahatan transnasional yang terorganisasi dan
secara serius hal ini dibahas dalam The World Ministerial Conference
on Organized Transnational Crimes di Napoli pada 21-23 Nopember
1994. Secara konseptual hal ini sejalan dengan pemahaman bahwa
tindak pidana yang melanggar ketentuan tentang perlindungan
lingkungan merupakan salah satu kejahatan kriminal di samping 21
kejahatan yang lain. Hal ini berkaitan dengan kenyataan bahwa
kejahatan lingkungan seringkali mempunyai dampak internasional
atau transnasional. Dalam hukum internasional, unsur internasional
dalam hal ini sering berkaitan dengan kategorisasi delik lingkungan
sebagai perbuatan yang menyebabkan “indirect threat to world peace
and security, conduct affecting more than one state, conduct including or
affecting citizens of more than one state”, sehingga memerlukan metode
kerjasama antar negara untuk penanggulangannya.
Sebelumnya di Rio de Janeiro, Brazil, sejak tanggal 5 sampai 10
September 1994 telah diselenggarakan The XVth. International Congress
of Penal Law yang antara lain secara khusus membahas crimes against
environment. Dalam kongres PBB tentang Pencegahan Kejahatan dan
Pembinaan para Pelaku ke-9 sebagaimana tersebut di atas, United
Nations Interregional Crime and Justice Research Institute (UNICRI), telah
menampilkan hasil riset tentang Environmental Protection at National
and International Levels: Potentials and Limits of Criminal Justice (Case
Studies).
Sebagaimana masalah nasional, secara yuridis persoalan kejahatan
lingkungan dikategorikan sebagai tindak pidana administratif atau
tindak pidana yang mengganggu kesejahteraan masyarakat. Tindak
pidana ini semakin populer dengan diundangkannya UU No. 4 Th.
1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Jangka waktu pemberlakuan selama 12 tahun menunjukkan
kepada bangsa Indonesia bahwa pengaturan tindak pidana
94
lingkungan hidup yang secara idiil dimaksudkan untuk dapat
melakukan rekayasa sosial, masih memerlukan penyempurnaan
ditinjau dari seluruh permasalahan pokok hukum pidana, yakni:
perumusan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan sanksi
baik yang merupakan pidana maupun tindakan tata tertib.
Di lain pihak, usaha untuk memperbaharui kodifikasi hukum
pidana nasional (menggantikan WvS) terus dilakukan dan ada
kesepakatan dari Tim Perumus untuk memberikan muatan-muatan
hukum pidana nasional dengan elemen-elemen: (1) cita-cita nasional
sebagaimana tersurat dan tersirat dalam Ideologi Bangsa; (2) kondisi
manusia, alam dan tradisi bangsa dan (3) kecenderungan-
kecenderungan internasional yang diakui oleh masyarakat beradab.
Mengingat konsep Rancangan KUHP tersebut sudah merupakan
draft akademis, maka sudah selayaknya apabila segala pembicaraan
tentang perencanaan peraturan pidana (termasuk aspek hukum
pidana dalam pengelolaan lingkungan) secara sistemik membahas
pula Konsep Rancangan KUHP tersebut, khususnya sepanjang
berkaitan dengan Ketentuan Umumnya yang akan berlaku tidak
hanya ke dalam tetapi juga keluar KUHP. Tentu saja perkembangan
internasional yang berkembang harus dijadikan acuan, mengingat
secara konseptual Rancangan KUHP baru yang disusun sejak lama
bisa juga ketinggalan zaman.
Secara umum pembaharuan hukum dapat dilakukan dengan 3
(tiga) pendekatan yakni (a) pendekatan global (global approach), yang
mengatur secara tersendiri materi hukum di luar kodifikasi yang ada,
dengan kemungkinan terjadinya banyak penyimpangan; (b)
Pendekatan evolusioner (evolusionary approach ), dengan cara
menyempurnakan atau menambahkan pasal-pasal tertentu dalam
KUHP yang ada; (c) Pendekatan kompromis (compromise approach)
dengan menambahkan suatu Bab baru dalam kodifikasi yang ada.
Beberapa Permasalahan
(1) Perlunya penegasan secara konsisten asas-asas dasar (general
principles ) yang dapat memberikan pembenaran terhadap
penggunaan hukum pidana dalam rangka perlindungan dan
pelestarian lingkungan hidup.
(2) Perlunya penegasan tentang konsep korban dalam tindak pidana
lingkungan, untuk memberikan pembenaran tentang
95
kemungkinan penjatuhan pidana yang lebih proporsional bagi
pelaku tindak pidana lingkungan. Di samping itu perlu penegasan
tentang konsep kerugian dan kerusakan (harm) sebagai akibat
tindak pidana lingkungan.
(3) Perlunya arahan tentang stelsel dan sistem sanksi tindak pidana
lingkungan, baik yang merupakan pidana (punishment) maupun
tindakan tata tertib (treatment). Dalam hal sanksi pidana, sejauh
mungkin mencakup jenis pidana (strafsoort) berat ringannya
(strafmaat) dan cara pelaksanaan (strafmodus) pidana tersebut.
(4) Sampai seberapa jauh konsep pertanggungjawaban korporasi
dalam tindak pidana lingkungan. Dalam hal ini timbul masalah
apakah korporasi mencakup pula organisasi yang tidak berbentuk
badan hukum.
(5) Usaha untuk merumuskan kembali tindak pidana lingkungan atas
dasar asas legalitas yang menuntut adanya kepastian dan kejelasan
(lex certa). Perlukah dibedakan antara generic crimes dan specific
crimes.
(6) Menegaskan kedudukan tindak pidana lingkungan dalam sistem
hukum pidana. Apakah tindakan pidana lingkungan merupakan
tindak pidana yang berdiri sendiri atau tergantung pada bidang
hukum lain.
Asas-asas Umum
Asas pertama yang menonjol adalah asas legalitas, yang di
dalamnya terkandung asas kepastian hukum dan kejelasan serta
ketajaman dalam merumuskan peraturan dalam hukum pidana,
khususnya sepanjang berkaitan dengan definition of crimes against the
environment dan sanksi yang perlu dijatuhkan agar si pelaku mentaati
normanya. Dalam hal ini terkait akurasi proses kriminalisasi dengan
segala persyaratannya. Syarat-syarat tersebut antara lain adalah
adanya korban/kerugian yang jelas dan sifat enforceable dari
perumusan tersebut.
Asas yang kedua adalah asas pembangunan yang
berkesinambungan, yang diterima oleh The General Assembly PBB pada
tahun 1992 yang menegaskan bahwa pembangunan ekonomi jangan
sampai mengorbankan hak generasi yang akan datang untuk
menikmati lingkungan hidup yang sehat.
Asas yang ketiga adalah asas pencegahan, yang dikemukakan
96
dalam Konperensi PBB tentang lingkungan hidup dan pembangunan
tahun 1992 di Rio de Janeiro dan kemudian diadopsi oleh Sidang
Umum PBB. Asas ini menegaskan bahwa apabila terjadi bahaya atau
ancaman terjadinya kerusakan yang serius dan irreversible, maka
kekurangsempurnaan kepastian ilmiah hendaknya jangan dijadikan
alasan untuk menunda Je Tj912.75 T46.0501 Tcost effective (aasuresuntuk9 Tj -ble) Tj 4
alc. Ah19 Tw 03ersiya atau
97
ditekankan terhadap proses kriminalisasi, tetapi juga berkaitan erat
dengan pedoman pemidanaan, konsep pertanggungjawaban pidana,
dan usaha untuk mencantumkan ganti rugi (restitution) sebagai sanksi
pidana. Dalam hal pertanggungjawaban pidana, antara lain muncul
konsep shared responsibility apabila si korban juga turut berperan untuk
terjadinya kejahatan tersebut.
Analisis terhadap korban kejahatan sangat penting untuk
menentukan politik kriminal yang paling tepat dalam rangka
penanggulangan kejahatan.
Dalam tindak pidana lingkungan, hal yang paling mendasar adalah
kualifikasinya sebagai tindak pidana ekonomi (economic crimes) yang
secara umum dirumuskan sebagai “any non-violent, illegal activity which
principally involves deceit, misrepresentation, concealment, manipulation,
breach of trust, subterfuge or illegal circumvention”. Istilah non-violent
sendiri sangat relatif, karena tindak pidana lingkungan hidup dapat
menyebabkan orang luka, mati, pingsan atau tidak berdaya, yang
secara yuridis disamakan dengan kekerasan. Dalam konotasi politis
tindak pidana ekonomi diistilahkan sebagai white collar crime dan secara
sosial disebut sebagai socio-economic crime. Apapun istilahnya, di sini
nampak korban pertama dari tindak pidana lingkungan sebagai tindak
pidana ekonomi adalah kepentingan negara dan kepentingan
masyarakat, karena tindak pidana ekonomi selaku berkaitan dengan
sistem ekonomi suatu bangsa. Dengan demikian tindak pidana ekonomi
sering disebut juga sebagai crimes against constitution.
Kemungkinan korban kedua adalah manusia perorangan atau
kolektif yang menderita baik fisik maupun mental, dan korban
selanjutnya adalah perusahaan saingan yang kalah efisien karena taat
pada peraturan lingkungan yang mengharuskan adanya pengolahan
limbah dengan biaya yang besar. Korban potensial lain adalah
karyawan, karena bekerja pada suatu lingkungan yang tidak aman/
tidak sehat.
Apabila hal-hal di atas merupakan korban yang bersifat langsung
maka ada pula proses viktimisasi akibat tindak pidana lingkungan
yang bersifat tidak langsung dalam bentuk kerugian negara berupa
biaya-biaya yang harus dikeluarkan dalam melaksanakan peradilan
pidana, yang tentu saja lebih kompleks dan otomatis lebih mahal
dibanding dengan tindak pidana biasa. Di samping itu dapat berupa
kerugian sosial, karena sebagai tindak pidana ekonomi mengandung
98
pula apa yang dinamakan corrosive effect terhadap standar moral yang
seharusnya ditaati dalam menjalankan usaha.
Persoalan lingkungan menjadi semakin kompleks. Tidak hanya
bersifat praktis atau konseptual ekonomi saja tetapi juga merupakan
masalah etika baik sosial maupun bisnis. Yang dilindungi oleh hukum
(pidana) tidak hanya alam, flora dan fauna (the ecological approach),
tetapi juga masa depan kemanusiaan yang kemungkinan menderita
akibat degradasi lingkungan hidup (the anthropocentric approach) .
Dengan demikian muncul istilah “the environmental laws carry penal
sanctions that protect a multitude of interest”.
Konsep korban dalam tindak pidana lingkungan berkaitan erat
dengan konsep tentang kerugian dan kerusakan lingkungan. Hal ini
meliputi kerugian dan kerusakan nyata (actual harm) dan ancaman
kerusakan (threatened harm). Sebab harus dipahami bahwa kerugian
atau kerusakan dalam tindak pidana lingkungan seringkali tidak terjadi
seketika atau dapat dikuantifikasi dengan mudah. Dengan demikian
ada kategori korban yang bersifat konkrit dan ada korban yang bersifat
abstrak. Di sinilah pembicaraan sering bersinggungan dengan tindak
pidana formil dan tindak pidana materiil; tindak pidana spesifik dan
tindak pidana generik. Masalahnya perbuatan seseorang tidak hanya
“causes impairment of the quality of the natural environment”, tetapi juga
“is likely to cause impairment of the quality of the natural environment”.
99
c. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan
sehingga mejadi orang yang baik dan berguna; dan
d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Untuk memenuhi tujuan integratif di atas, perlu disediakan
pelbagai alternatif yang dapat dipilih oleh hakim dalam menentukan
jenis-jenis pidana yang pantas diterapkan kepada si pelaku dengan
mempertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan dengan
perbuatannya, orangnya, kesan masyarakat terhadap kejahatan, berat
ringannya korban/kerugian, dan proyeksi efektivitas pemidanaan.
Dalam tindak pidana lingkungan, beberapa tujuan yang hendak
dicapai dalam pemidanaan adalah; pertama, untuk mendidik
masyarakat sehubungan dengan kesalahan moral yang berkaitan
dengan perilaku yang dilarang; kedua, mencegah atau menghalangi
pelaku potensial agar tidak melakukan perilaku yang tidak
bertanggungjawab terhadap lingkungan hidup. Dengan demikian
secara antisipatif sebenarnya secara konseptual tidak ada masalah
seandainya ancaman pidana dalam tindak pidana lingkungan akan
dikembangkan dan tidak hanya mencakup pidana penjara dan atau
denda sebagaimana diatur di dalam Pasal 22 UU No. 4 Th. 1982.
Atas dasar kecenderungan internasional, di samping pidana
kemerdekaan, perlu diperhatikan jenis sanksi-sanksi finansial, seperti
denda, sanksi bisnis misalnya penutupan perusahaan, dan sanksi
alternatif misalnya kompensasi terhadap korban dan perbaikan yang
harus dilakukan atas kerusakan. Hal ini didasarkan atas pengalaman
bahwa tindak pidana lingkungan biasanya dilakukan atas dasar
alasan-alasan ekonomis dan dalam kerangka aktivitas bisnis.
Pertanggungjawaban Korporasi
Pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana sudah diatur
dalam hukum positif Indonesia, khususnya dalam beberapa tindak
pidana di luar KUHP. Dalam ius constituendum, pertanggungjawaban
korporasi ini ditingkatkan kedudukannya menjadi ketentuan yang
brsifat umum (masuk Buku I KUHP).
Di dalam UU No. 4 Th. 1982, pertanggungjawaban korporasi
juga dikenal walaupun dari segi teknik legislative drafting kurang baik.
Hal ini nampak dari pencantumannya yang hanya ditempatkan dalam
penjelasan Pasal 55 UU tersebut. Di samping itu pengaturannya terlalu
sederhana, yang seringkali menimbulkan pelbagai penafsiran. Atas
100
dasar pengalaman pengaturan hukum positif, dan pemikiran yang
berkembang pada saat penyusunan Rancangan KUHP serta
memperhatikan pula kecenderungan internasional, maka
pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana lingkungan
hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Korporasi mencakup baik badan hukum maupun non badan
hukum seperti organisasi dan sebagainya;
b. Korporasi dapat bersifat privat dan dapat pula bersifat publik;
c. Apabila diidentifikasikan bahwa tindak pidana lingkungan
dilakukan dalam bentuk organisasional, maka orang alamiah
(managers, agents, employees) dan korporasi dapat dipidana baik
sendiri-sendiri maupun bersama-sama (bi-punishment provision);
d. Terdapat kesalahan manajemen dalam korporasi dan terjadi apa
yang dinamakan breach of a statutory or regulatory provision;
e. Pertanggungjawaban badan hukum dilakukan terlepas dari
apakah orang-orang yang bertanggungjawab di dalam badan
hukum tersebut berhasil diidentifikasikan, dituntut dan dipidana;
f. Segala sanksi pidana dan tindakan pada dasarnya dapat dikenakan
pada korporasi, kecuali pidana mati dan pidana penjara;
g. Penerapan sanksi pidana terhadap korporasi tidak menghapuskan
kesalahan perorangan;
h. Pemidanaan terhadap korporasi hendaknya memperhatikan
kedudukan korporasi untuk mengendalikan perusahaan, melalui
kebijakan pengurus atau para pengurus yang memiliki kekuasaan
untuk memutuskan dan keputusan tersebut telah diterima oleh
korporasi tersebut.
101
mengatur delik lingkungan dalam KUHP, apakah dalam bentuknya
sebagai tindak pidana yang membahayakan keamanan umum bagi
orang, barang dan lingkungan hidup ataukah sebagai Bab tersendiri
yang memuat tindak pidana lingkungan hidup secara sistematis dan
lengkap.
Tindak pidana lingkungan di Indonesia saat ini dapat
dikategorikan sebagai administrative penal law atau public welfare offenses
(Ordnungswidrigkeiten) yang memberi kesan ringannya perbuatan
tersebut. Dalam hal ini fungsi hukum pidana bersifat menunjang
sanksi-sanksi administratif untuk ditaatinya norma-norma hukum
administrasi. Dengan demikian keberadaan tindak pidana lingkungan
sepenuhnya tergantung pada hukum lain.
Kondisi semacam itu wajar, namun mengingat betapa pentingnya
lingkungan hidup yang sehat dan baik dan kedudukannya sebagai
tindak pidana ekonomi serta kompleksitas kepentingan yang
dilindungi tersebut di atas baik yang bersifat antroposentris maupun
ekosentris, maka ketentuan khusus (specific crimes) perlu dilengkapi
dengan tindak pidana lingkungan yang bersifat umum dan mandiri
terlepas dari hukum lain (delictum sui generis), yang dinamakan generic
crimes atau core crimes.
Dalam merumuskan tindak pidana lingkungan, hendaknya selalu
diingat bahwa kerugian dan kerusakan lingkungan hidup tidak hanya
yang bersifat nyata, tetapi juga yang bersifat ancaman kerusakan
potensial, baik terhadap lingkungan hidup maupun kesehatan umum.
Hal ini disebabkan karena kerusakan tersebut seringkali tidak seketika
timbul dan tidak dengan mudah pula untuk dikuantifikasi.
Sehubungan dengan ini untuk generic crime yang relatif berat
sebaiknya memang dirumuskan sebagai tindak pidana materiil, dalam
hal mana akibat merupakan unsur hakiki yang harus dibuktikan.
Namun untuk tindak pidana yang bersifat khusus yang melekat
pada hukum adminstratif dan relatif lebih ringan, maka perumusan
yang bersifat formil tanpa menunggu pembuktian akibat yang terjadi
dapat dilakukan. Sikap batin yang menjadi elemen tindak pidana
tersebut dapat mencakup perbuatan sengaja (dolus, knowingly), sengaja
dengan kemungkinan (dolus eventualis, recklesness), dan kealpaan
(culpa, negligence). Pengkajian terhadap Pasal 22 UU No. 4 Th. 1982
menunjukkan bahwa pasal tersebut banyak kelemahannya ditinjau
dari ukuran-ukuran di atas.
102
Dalam merumuskan tindak pidana lingkungan hendaknya selalu
dipertimbangkan adanya dua macam elemen yakni elemen material
dan elemen mental. Elemen material mencakup: (1) adanya perbuatan
atau tidak berbuat sesuatu yang menyebabkan terjadinya tindak
pidana; atau (2) perbuatan atau tidak berbuat yang melanggar atau
bertentangan dengan standar lingkungan yang ada.
Elemen mental mencakup pengertian bahwa berbuat atau tidak
berbuat tersebut dilakukan dengan sengaja, recklessness (dolus
eventualis atau culpa gravis) atau kealpaan (negligence). Pembagian ini
biasa dikenal dalam Sistem Hukum Anglo Saxon. Sedangkan hukum
kita yang banyak dipengaruhi oleh Sistem Hukum Kontinental
membedakan kategori-kategori kesengajaan (dolus) dan kealpaan
(culpa).
Ditinjau dari perkembangan internasional, perumusan di atas
perlu disempurnakan, karena masih kelihatan bahwa lingkungan
hidup sebagai kepentingan hukum belum memperoleh perlindungan
secara eksplisit. Kesehatan umum dan nyawa manusia jauh lebih
sempit apabila dibandingkan dengan pengertian lingkungan hidup
yang luas. Karena itu, pada masa mendatang, pengaturan tindak
pidana lingkungan hidup, hendaknya menyesuaikan diri dengan
kecenderungan internasional (AIDP Preparatory Colloquium on the
Application of Criminal Law to Crimes Against the Environment di Ottawa
pada 2-6 Nopember 1992, International Meeting of Experts on
Environmental Crime di Oregon 19-23 Maret 1994 yang menghasilkan
The Portland Draft, dan XVth International Congress of Penal Law di Rio
de Janeiro pada tanggal 5-19 September 1994) yang membedakan antara
“Generic Crimes” dan “Specific Crimes”.
Seperti dinyatakan di atas, sifat dari “generic crimes” adalah
independen (otonom) dan perumusannya merupakan delik materiil,
dalam hal mana akibat merupakan unsur yang hakiki (material
endangerment offences atau concrete gevaarzettings-delicten). Dalam hal
ini teori kausalitas sangat penting. Selanjutnya karakteristik “specific
crime” adalah sifatnya yang dependent terhadap aturan-aturan lain
dan perumusannya bersifat formil dalam hal mana akibat bukan
merupakan unsur hakiki (abstract endangerment offenses atau abstracte
gevaarzettings-delicten) dan teori kausalitas tidak menjadi penting.
103
Perkembangan Hukum Pidana Lingkungan dalam UU No. 23
tahun 1997
Dalam UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup, khususnya pada Pasal 41 sampai dengan Pasal 48 sepanjang
mengenai tindak pidana lingkungan dirumuskan jauh lebih baik
daripada perumusan semacam dalam UU No. 4 tahun 1982. Beberapa
perkembangan yang terjadi adalah sebagai berikut:
1. Tindak pidana lingkungan tidak mengatur tentang “strict liability”
karena semua tindak pidana lingkungan dilihat sebagai kejahatan.
Dengan demikian unsur kesalahan (dalam bentuk kesengajaan dan
kealpaan) merupakan unsur yang hakiki (liability based on fault);
2. Tindak pidana lingkungan terbagi dalam 2 (dua) kategori yaitu
tindak pidana generik yang merupakan delik materiil (Pasal 41 dan
Pasal 42) dan tindak pidana spesifik yang merupakan delik formil
(Pasal 43 dan Pasal 44). Perumusan delik materiil didasarkan atas
konsep viktimisasi yang bersifat aktual, sedangkan perumusan delik
formil dilandasi konsep viktimisasi yang bersifat potensial (potential
harm atau threatened harm); Dalam proses pembuktian delik materiil
teori hukum pidana tentang kausalitas menjadi sangat penting.
3. Baik delik materiil maupun delik formil dapat berupa delik
kesengajaan dan delik kealpaan dan khusus mengenai delik formil
(yang merupakan kejahatan spesifik), mensyaratkan adanya
pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan yang ada
terlebih dahulu;
4. Jenis-jenis delik materiil meliputi perbuatan baik sengaja maupun
alpa yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup. Akibat berupa orang mati atau luka berat
merupakan alasan pemberatan pidana;
5. Jenis delik-delik formil mencakup pelbagai perbuatan baik sengaja
maupun alpa berupa: (1) melepaskan atau membuang zat, energi,
dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di
atas atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air
permukaan; (2) melakukan impor, ekspor, memperdagangkan,
mengangkut; (3) menyimpan bahan tersebut; (4) menjalankan
instalasi yang berbahaya; Di samping terdapat syarat perlunya
melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, terdapat
perumusan unsur yang dikulpakan (pro parte dolus pro parte culpa)
yaitu si pelaku mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga
104
bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/
atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan
umum atau nyawa orang lain;
6. Dalam delik formil yang berupa delik kesengajaan diatur pula
delik berupa dengan sengaja memberikan informasi palsu atau
menghilangkan atau menyembunyikan atau merusak informasi
yang diperlukan dalam kaitannya dengan delik kesengajaan
tersebut dalam butir (5) di atas, padahal mengetahui atau sangat
beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat
menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain;
7. Sanksi pidana penjara dan denda dirumuskan secara kumulatif,
yang secara imperatif harus diterapkan hakim;
8. Definisi “pencemaran lingkungan hidup” diatur dalam Pasal 1 butir
(12) yaitu “masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat,
energi, dan/atau komponen lain di dalam lingkungan hidup oleh
kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat
tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat
berfungsi sesuai dengan peruntukannya; Dalam Pasal 1 butir (14)
“perusakan lingkungan hidup” dirumuskan sebagai tindakan yang
menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap
sifat fisik dan/atau hayati yang mengakibatkan lingkungan hidup
tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan yang
berkelanjutan; catatan: ada keluhan dari penegak hukum bahwa
kalimat “yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi
lagi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan” terlalu
abstrak dan bersifat akademis, sehingga menimbulkan kendala
terhadap penegakan hukum;
9. UU No. 23 tahun 1997 secara eksklusif mengatur pertanggung–
jawaban korporasi dalam hukum pidana (corporate criminal
responsibility), yaitu dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 47. Dengan
demikian, korporasi (yang meliputi badan hukum, perseroan,
perserikatan, yayasan atau organisasi lain) tidak hanya dipandang
dapat melakukan tindak pidana, tetapi juga dapat
dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana serta dapat dijatuhi
pidana dan/atau tindakan. Catatan: Penjelasan tentang hal ihwal
pertanggungjawaban korporasi dapat dikaji dari bagian lain buku
ini;
105
10.Sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi yang melakukan
tindak pidana, di samping denda yang diperberat dengan
sepertiga (Pasal 45), juga sanksi berupa tindakan tata tertib
(tuchtmaatregel) seperti: perampasan keuntungan yang diperoleh
dari tindak pidana; dan atau penutupan seluruhnya atau sebagian
perusahaan; dan atau perbaikan akibat tindak pidana; dan atau
mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak dan/atau menempatkan
perusahaan di bawah pengampunan paling lama 3 (tiga) tahun.
Penutup
Mengingat semakin meningkatnya kesadaran manusia terhadap
konsep pembangunan yang berkelanjutan, maka peranan hukum
pidana dalam melindungi lingkungan hidup semakin penting. Bahkan
dalam kasus-kasus pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yang
berat, sifatnya sebagai “pimum remedium” semakin nampak. Sekalipun
demikian, efektivikasinya akan banyak tergantung pada kualitas
mental dan intelektual para penegak hukumnya, terutama untuk
memahami spirit dan substansi hukum pidana lingkungan yang cukup
kompleks.
Pemahaman ini antara lain dilakukan denga mengadakan studi
banding dengan penerapan hukum pidana lingkungan di negara lain
yang sudah banyak pengalaman dalam penegakan hukum pidana
lingkungan. Pendayagunaan saksi ahli akan sangat membantu untuk
selalu menjaga keseimbangan antara kepastian hukum, kemanfaatan,
kebenaran dan keadilan. n
106
bagian 2
FAKTOR-FAKTOR GLOBAL DAN
KETEGANGAN HUKUM NASIONAL
107
108
International Criminal Court
Sebagai Karya Agung Antar Bangsa
109
Perkembangan untuk merumuskan kejahatan perang yang
memungkinkan para pelakunya untuk dituntut semakin melembaga
setelah Perang Dunia I sampai dengan terbentuknya Pengadilan
Pidana Internasional (International Criminal Law) dalam bentuk Statuta
Roma pada tahun 1998. Dari sisi hukum pidana internasional,
terbentuknya statuta ini sangat menarik, sebab sampai saat ini, dalam
penegakan hukum secara umum berlaku ‘indirect enforcement method’
atas dasar konvensi internasional, yang mengharuskan negara-negara
untuk melakukan ratifikasi konvensi tersebut dan menerapkannya
melalui hukum nasional. Penegakan hukum yang bersifat langsung
(direct enforcement model), hingga saat ini, secara eksplisit hanya
diterapkan secara adhoc dengan tempos dan locus tertentu. Statuta
Roma 1998 tentang ICC justru mengembangkan ‘direct enforcement
model’ dalam pengadilan yang bersifat permanen. (Bassiouni, 1993)
110
Yugoslavia, penggunaan senjata nuklir, hak menentukan nasib sendiri
di Timor Timur, imunitas dari para penyelidik HAM internasional
dan penerapan pidana mati di Amerika.
Apabila ICC dibentuk atas dasar Statuta Roma 1998, maka ICJ
dibentuk atas dasar Piagam HAM PBB sebagai “principal judicial organ”
PBB. Apabila yurisdiksi dari ICC menyangkut perkara pokok
pelanggaran berat HAM, seperti kejahatan perang, genosida,
kejahatan terhadap kemanusiaan, dan agresi, maka yurisdiksi ICJ
menyangkut pelbagai perselisihan hukum (legal disputes) mengenai:
the interpretation of a treaty; any question of international law; the existence
of any fact which, if established, would constitute a breach of an international
obligation; the nature or extent of the reparation to be made for the breach of
an international obligation (Art.36). Sebagai contoh adalah perselisihan
antara Indonesia dan Malaysia mengenai kedaulatan (sovereignty) atas
pulau Ligitan dan pulau Sipadan.
Tentang hukum yang digunakan (applicable law), dalam Pasal 38
Statuta ICJ ditentukan sebagai berikut: (a) international convention,
whether general or particular, establishing rules expressly recognized by the
contesting states; (b) international custom, as evidence of a general practice
accepted as law; (c) the generals principles of law recognized by civilized
nations; (d) subject to the provisions of Art. 59, judicial decisions and the
teachings of most highly qualified publicist of the various nations, as subsidiary
means for the determination of rules of law.
Pada ICC, hukum yang diterapkan diatur dalam Pasal 21 Statuta
Roma, yaitu: (a) in the first place, this Statue, Elements of Crime and its
Rules of Procedure and Evidence; (b) in the second place, where appropriate,
applicable treaties and the principles and rules of international law or armed
conflict; (c) Failing that, general principle of law derived by Court from
national laws of legal systems of the world including, as appropriate, the
national laws of states that would normally exercise jurisdiction over the
crime, provided that those principles are not inconsistency with this Statute
and with international law and internationally recognized norms and
standards.
Terbentuknya ICC pada tahun 1998 merupakan buah dari usaha
yang panjang dan sarat dengan kendala, bahkan tragedi-tragedi
kemanusiaan di dunia. Usaha tersebut dimulai pada tiga perempat
abad yang lalu, yaitu pada tahun 1919 di Versailles saat berakhirnya
Perang Dunia I, yang sebenanrnya diharapkan sebagai “the war to
111
end all wars”. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu
meledaknya Perang Dunia II yang menimbulkan akibat lebih dahsyat
dan mengerikan dari sisi kemanusiaan. Sejak itu boleh dikatakan telah
terjadi kurang lebih 250 konflik dalam segala bentuknya dan proses
viktimisasi yang dilakukan oleh rezim-rezim tiranis yang
mengorbankan lebih kurang 170 juta orang. Yang teramat
mengejutkan adalah bahwa sebagian besar pelaku genosida, kejahatan
terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang diuntungkan melalui
praktek “impunity” (membebaskan tanpa memberikan hukuman).
Dalam kurun waktu sejak tahun 1919 masyarakat internasional
sudah mendesak untuk dibentuknya “Pengadilan Pidana Internasional”
(ICC) yang bersifat permanen. Bahkan dalam kurun waktu 50 tahun
terakhir telah terbentuk 4 tribunal adhoc dan 5 “komisi pemeriksa”
(investigatory commissions). Keempat tribunal ad hoc tersebut adalah;
a). the International Military Tribunal (IMT) yang berkedudukan di
Nuremberg; b). the International Military Tribunal for the Far East (IMTFE)
yang berkedudukan di Tokyo; c). the International Criminal Tribunal for
the Former Yugoslavia di Den Haag, dan d). the International Criminal
Tribunal untuk Rwanda (ICTR) di Arusha.
(Sebagai tambahan dapat dikemukakan bahwa di samping
pengadilan militer di Nuremberg dan di Tokyo pasca Perang Dunia
II, langkah-langkah penuntutan yang bersifat nasional atas dasar
Control Council Law No. 10 juga terjadi di Republik Federal Jerman,
Kanada, Perancis dan Israel. Australia dan Inggris juga melakukannya
sekalipun hanya satu orang yang diadili. Apa yang terjadi di Tokyo
dan Nuremberg sangat berarti karena berhasil diciptakan sebagai
preseden dalam sistem peradilan pidana internasional, yakni dalam
bentuk norma-norma hukum baru dan standar pertanggungjawaban
pidana kepala negara atau kepala pemerintahan).
Sedangkan kelima Komisi Pemeriksa di atas terdiri dari: a). the 1919
Commission on the Responsibilities of the Authors of War and on Enforcement
of Penalties, yang menginvestigasi pelbagai kejahatan yang terjadi selama
PD I; b). the 1943 UN War Crime Commission, yang menginvestigasi
kejahatan perang Jerman selama PD II; c) the 1946 Far Eastern Commission,
yang menginvestigasi kejahatan perang Jepang selama PD II; d). the
Commission of Expert Established Pursuant to Security Council Resolution
780, yang menginvestigasi pelanggaran hukum humaniter di bekas
negara Yugoslavia; dan e). the Independence Council Resolution 935, the
112
Rwanda Commission , yang menginvestigasi pelanggaran yang dilakukan
selama perang saudara (civil war) di Rwanda.
Sebenarnya setelah PD I the Treaty of Versailles menetapkan pula
keberadaan tribunal ad hoc, namun tidak pernah terlaksana dan atas
persetujuan tentara sekutu penuntutan dilakukan secara nasional di
Jerman. Baru setelah 75 tahun kehendak masyarakat internasional
untuk membentuk pengadilan pidana permanen terlaksana, sekalipun
hanya terbatas pada pertanggungjawaban kriminal secara individual.
Konsep tentang ‘state criminal responsibility’ belum pernah diterapkan
(kecuali dalam peradilan Nuremberg). Dalam hal ini faktor political
will sangat menonjol. Apabila setelah PD I terjadi kompromi untuk
kepentingan kebijaksanaan politik, maka pasca PD II kehendak politik
—terutama negara-negara pemenang perang-- sangat berkeinginan
untuk menciptakan keadilan internasional yang efektif. Hal ini sering
dinamakan “victor justice over the defeated’ sekalipun bisa dibuktikan
bahwa pengadilan tersebut “were not unjust” dan bahkan bisa
mendemonstrasikan peranannya sebagai lambang keadilan
internasional dan kejujuran.
Terbentuknya ICC boleh dikatakan sepenuhnya merupakan buah
perjuangan baik individu, NGO’s, pemerintah negara-negara maupun
lembaga-lembaga lainnya yang semuanya mengharapkan terciptanya
rule of law di level inetrnasional. Tahun 1989 – 1998 merupakan saat-
saat yang paling dramatis. Harapan yang sudah tipis untuk
membentuk ICC antara tahun 1989 – 1992 (kurun berakhirnya perang
dingin antara Blok Barat dan Blok Timur), dengan terjadinya peristiwa
yang mengerikan di Yugoslavia dan Rwanda, kemudian digalakkan
lagi yang disusul dengan langkah Dewan Keamanan PBB untuk
membentuk Tribunal Pidana Internasional ad hoc untuk mengadili
pelanggaran HAM berat di kedua wilayah tersebut. Dalam kurun
waktu itu pula, dalam suasana dan iklim dukungan publik
internasional yang kuat, akhirnya terbentuk pengadilan permanen
ICC pada tanggal 17 Juli 1998 di Roma.
Yurisdiksi ICC
Yurisdiksi ICC berkaitan dengan pelbagai parameter hukum sebagai
berikut:
1. Yurisdiksi yang berkaitan dengan pokok perkara; ini mencakup
pelbagai kejahatan yang sangat berat seperti genosida (genocide),
113
kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) ,
kejahatan perang (war crime) dan agresi. Sepanjang menyangkut
kejahatan agresi, pengadilan hanya akan menerapkan
yurisdiksinya setelah ada kesepakatan terhadap definisi kejahatan
agresi dan kondisi-kondisi yang memungkinkan pengadilan
menerapkan konsisten dengan Piagam PBB (Pasal 5) dalam
kerangka Pasal 121 dan 123 Statuta, yang mengatur amandemen
melalui “Review Conference” yang dapat dilakukan setelah 7 tahun
sejak berlakunya Statuta secara efektif.
2. Yurisdiksi yang berkaitan dengan waktu (temporal jurisdiction);
ditegaskan bahwa ICC merupakan lembaga prospektif yang tidak
dapat menerapkan yurisdiksinya terhadap kejahatan-kejahatan
yang dilakukan sebelum Statuta ICC berlaku (entry into force).
Dalam hal ini asas “nullum crimen nulla poena sibe lege” tetap
dipandang sebagai asas fundamental. Terhadap kejahatan-
kejahatan yang terjadi sebelumnya, maka penyelesaiannya
diserahkan kepada hukum nasional masing-masing. Apabila
negara–negara tersebut menolak maka mekanisme universal
dapat ditetapkan. Berlakunya asas legalitas tersebut mengandung
perkecualian, yaitu apabila negara yang bersangkutan telah
membuat suatu pernyataan (adhoc declaration) bahwa negara
tersebut dapat menerima pelaksanaan yurisdiksi oleh pengadilan
yang berkaitan dengan kejahatan bersangkutan yang dilakukan
di masa lalu. Terhadap kejahatan-kejahatan yang sudah dimulai
sebelum Statuta berlaku secara efektif dan berlanjut sesudahnya
(continues crimes), penyelesaian diserahkan sepenuhnya kepada
pertimbangan pengadilan.
3. Yurisdiksi teritorial (space/territorial jurisdiction); pengadilan
mempunyai yurisdiksi terhadap kejahatan yang dilakukan di
dalam wilayah negara peserta, tanpa mempertimbangkan
kewarganegaraan si pelaku, termasuk pula kejahatan di wilayah
negara yang menerima yurisdiksi atas dasar pernyataan ad hoc
dan di atas wilayah yang ditentukan oleh Dewan Keamanan.
Wilayah dalam hal ini mencakup pula kapal dan pesawat terbang
yang didaftarkan di negara peserta.
4. Yurisdiksi personal/individual; ditentukan bahwa ICC
mempunyai yurisdiksi terhadap warganegara negara peserta yang
dituntut atas suatu kejahatan. ICC dapat juga mempunyai
114
yurisdiksi warga negara bukan negara peserta yang telah
menerima yurisdiksi yang bersifat ad hoc atau mengikuti Dewan
Keamanan PBB. Prinsip “equally to all persons”, “irrelevance of official
capacity” diterapkan, termasuk mereka yang berkedudukan
sebagai “kepala negara” atau “kepala pemerintahan”. Imunitas
atas dasar hukum internasional tidak menghalangi yurisdiksi ICC.
Selanjutnya diatur pula apa yang disebut “responsibility of
commanders and the superiors”, termasuk di sini perbuatan berupa
“disregarded information” yang menjurus pada kejahatan omisionis
(pembiaran).
115
melindungi si pelaku dari pertanggungjawaban pidana; (b) terjadi
keterlambatan proses peradilan yang dasarnya tidak dapat
dibenarkan (unjustified delay); (c) proses peradilan tidak dilaksanakan
secara merdeka. Sedangkan ukuran untuk menentukan
“ketidakmampuan” (inability) dalam kasus-kasus tertentu, yakni
apabila pengadilan (ICC) mempertimbangkan bahwa telah terjadi
kegagalan secara menyeluruh atau substansial atau ketiadaan/
ketidaksediaan sistem peradilan nasional untuk menemukan
tersangka, atau bukti-bukti dan kesaksian, atau tidak mampu untuk
menyelenggarakan proses peradilan.
116
lembaga pengadilan nasional tidak mau atau tidak mampu berbuat
atau tidak berdaya.
f. Untuk mencegah terjadinya kejadian serupa di masa datang;
effective deterrence ini merupakan salah satu tujuan utama
pembentukan ICC.
g. Dengan mengkombinasikan antara nilai-nilai kemanusiaan dan
pertimbangan kebijakan, maka ICC diharapkan tidak hanya
penting untuk pencapaian keadilan, perbaikan dan pencegahan,
tetapi juga berusaha untuk meberikan perlindungan, restorasi, dan
pemeliharaan perdamaian.
h. Karena perhatiannya yang terfokus pada pada perlindungan dan
restorasi korban, termasuk pemberian restitusi, kompensasi dan
rehabilitasi, maka ICC dapat dikatakan tidak hanya merupakan
simbol keadilan tetapi juga merupakan yudisial yang efektif, yakni
secara adil menerapkan keadilan retributif dan restoratif sekaligus.
i. ICC diharapkan merupakan warisan moral ( moral legacy) bagi mereka
yang mendambakan sistem peradilan pidana internasional yang
permanen, efektif dan secara politik tidak mengenal kompromi.
j. ICC merupakan “landmark” dalam hukum internasional yang
penting dalam hubungan internasional. Dalam hal ini Sekjen PBB
(Kofi Annan) menggambarkannya sebagai “a gift of hope to future
generations, and a giant step forward in the march forward universal
human right and the rule of law”. Bahkan seorang penulis seperti
Robert C. Johansen menyebutnya sebagai ‘the most important
institutional innovation since the founding of the United Nations”.
117
3. Presiden akan menjamin bahwa semua resolusi Dewan Keamanan
PBB yang membentuk “peacekeeping operations” secara permanen
mengecualikan anggota-anggota angkatan bersenjata Amerika
Serikat dari penuntutan oleh ICC.
4. Amerika Serikat tidak akan berpartsipasi pada setiap misi
perdamaian kecuali Presiden menyatakan kepada Kongres bahwa
personil militer Amerika Serikat dikecualikan dari penuntutan ICC.
5. Tidak ada informasi keamanan nasional yang bersifat rahasia dapat
ditransfer langsung atau tidak langsung kepada ICC atau kepada
negara yang menjadi pihak dari Statuta Roma.
6. Amerika Serikat tidak akan memberikan bantuan militer, termasuk
pelatihan, kepada negara-negara yang meratifikasi perjanjian ICC,
kecuali negara-negara anggota NATO, dan “major non NATO allies”
(Australia, Mesir, Israel, Jepang, Republik Korea, Taiwan, dan New
Zeland).
7. Presiden diberi wewenang untuk menggunakan “segala yang
diperlukan dan tepat” (all means necessary and appropriate) untuk
membebaskan personil Amerika Serikat atau sekutunya yang
ditahan atau dipidana bertentangan dengan kehendaknya oleh
atau atas nama ICC. Secara tradisional bahasa ini meliputi kekuatan
militer, termasuk ancaman eksplisit untuk menginvasi Belanda,
sekutu NATO.
8. Pengecualian dimungkinkannya dengan syarat-syarat yang sangat
ketat (misalnya atas dasar kepentingan nasional).
118
ICC, dengan cara menunda hanya satu tahun setiap investigasi dan
penuntutan ICC terhadap pasukan perdamaian (peacekeepers) dari
negara-negara yang belum meratifikasi perjanjian ICC. Hal ini sesuai
dengan Pasal 16 ICC, walaupun pasal ini sebenarnya berlaku terhadap
“a particular case” dan bukan “category of people” seperti pasukan
perdamaian.
Kesimpulan
• ICC hanya dapat memenuhi misi yang diembannya, baik yang
berupa “general spirit” maupun “specific spirit”, apabila ICC tetap
bersifat independen, efektif, tidak memihak, jujur dan adil.
• Adopsi terhadap Statuta ICC pada tanggal 17 Juli 1998, di samping
merupakan berakhirnya perjuangan yang panjang untuk
pembentukannya, juga merupakan titik awal pencapaian sasaran
yang baru, yakni berlakunya ICC secara efektif setelah diratifikasi
oleh 60 negara (dapat dikemukakan bahwa sejak 31 Desember
2000 sebanyak 130 negara, kecuali Indonesia, telah
menandatangani Statuta Roma dan 52 negara telah
meratifikasinya).
• Statuta Roma merupakan bentuk keseimbangan antara peranan
lembaga nasional dan lembaga internasional atas dasar prinsip
insentif dan komplementer. Sebagai perjanjian multilateral Statuta
Roma membutuhkan dukungan luas tanpa mengorbankan
efektivitas dan keadilan.
• Memahami Statuta Roma 1998 tentang Pengadilan Pidana
Internasional (ICC), secara simultan harus dilakukan pula
pemahaman terhadap 2 dokumen yang terkait dalam satu
kesatuan, yaitu dokumen yang menguraikan “the elements of
crimes” dan dokumen yang mengatur “rule of procedures and
evidence”. n
119
Menjamin Kepastian, Ketertiban,
Penegakan dan Perlindungan Hukum
Dalam Era Globalisasi
Pendahuluan
Perubahan sosial yang cepat akibat proses modernisasi sudah
dirasakan sebagai sesuatu yang secara potensial dapat menimbulkan
keresahan dan bahkan ketegangan sosial. Perubahan sistem nilai
dengan cepat menuntut adanya norma-norma kehidupan sosial baru,
yang menyibukkan badan legislatif, lembaga-lembaga penyelesaian
sengketa dan segenap usaha untuk melakukan sosialisasi hukum.
Sinisme masyarakat yang meluas terhadap dunia hukum muncul dalam
ragam pandangan, seperti hukum dituduh telah ketinggalan zaman,
tidak memenuhi rasa keadilan, penegak hukum dianggap tidak
profesional, sasaran (adressat) norma dianggap tidak sadar hukum,
lembaga peradilan didakwa tidak dapat menggali nilai-nilai dalam
masyarakat, diskresi-diskresi muncul secara tidak terkendali, DPR
dilecehkan, hakim didakwa menyalahgunakan kebebasan, delegated
legislation semakin merebak, doktrin dasar terdesak oleh
pragmatisme, otonomi profesional berjuang melawan legislasi, dan
sebagainya.
Dengan semakin meningkatnya proses modernisasi akibat
ditemukannya alat-alat komunikasi modern, alat transportasi dan
teknologi informatika modern, isu modernisasi menjadi mendunia dan
memunculkan fenomena baru berupa globalisasi yang menuntut
perubahan struktur hubungan hukum, substansi-substansi baru
pengaturan hukum dan budaya hukum yang sering sama sekali baru.
Tanpa adanya perubahan sistem hukum tersebut, akibat-akibat
selanjutnya yang lebih rumit dapat dipastikan akan muncul. Misalnya,
persepsi publik yang terlanjur menganggap bahwa penguasa tidak
120
dapat menjamin kepastian hukum akan dapat menimbulkan bahaya
lenyapnya ketenteraman dalam pelbagai kehidupan sosial. Segalanya
terasa serba tidak pasti. Praktek penegakan hukum yang terjadi semakin
jauh dari penegakan hukum yang diidealkan, dan hukum hanya akan
berpihak melindungi orang-orang yang berkuasa dan para pelanggar
hak asasi manusia, dan seterusnya. Di sinilah masalah kepastian hukum,
ketertiban hukum dan perlindungan hukum akan dirasakan sebagai
kebutuhan yang pada dasarnya mengandung dua hal sekaligus, yakni,
rasa aman (jasmaniah) dan tentram (batiniah), yang keduanya tercakup
dalam tujuan hukum: kedamaian!.
121
yang sudah terbentuk atas dasar pandangan-pandangan kultural
etnosentrik yang sempit tanpa memandang nasionalitasnya.
Globalisasi melibatkan tenaga-tenaga tertentu yang memiliki keahlian
khusus dari perusahaan yang beroperasi di seluruh dunia, tanpa
melihat kewarganegaraannya. Penghargaan terhadap staf tersebut
sepenuhnya didasarkan atas semata-mata karyanya yang hebat serta
usahanya untuk menciptakan kemajuan perusahaan yang tanpa batas.
Melakukan bisnis dalam nuansa ini mau tidak mau mengharuskan
para pelaku bisnis mempertimbangkan pendekatan global terhadap
hasil produksi dan jasa untuk melayani konsumen atau langganan,
yang kemungkinan juga beroperasi (dalam bentuk kontrak-kontrak)
di seluruh dunia. Mereka, baik secara individual maupun kolektif,
melalui sistem informasi yang canggih mengharapkan standar
produksi dan pelayanan yang sama, di manapun mereka berada (the
global traveler). Dalam kondisi global seperti ini terbuka kemungkinan
yang luas bagi mereka untuk berkompetisi, mengikuti perkembangan
teknologi, dan menggali keuntungan dari pelbagai kesempatan bisnis
yang ada.
Dari segi hukum, hal-hal di atas tidak dapat dibiarkan begitu
saja. Kehidupan umat manusia yang didasarkan atas pemikiran yang
bersifat global dengan segala kompleksitasnya, tidak dapat dibiarkan
berjalan tanpa norma dan tanpa rule of law. Persiapan masing-masing
negara, baik secara internal maupun eksternal harus dilakukan apabila
bangsa dan negara tersebut ingin menjadi independent variable dalam
era globalisasi.
Harus segera dikatakan bahwa apa yang dinamakan globalisasi
tidak hanya terjadi di bidang ekonomi (Uruguay Round, NAFTA,
APEC dan sebagainya). Globalisasi juga terjadi di bidang-bidang iptek
(ISO 9000), pendidikan dalam bentuk kelas-kelas paralel pendidikan
jarak jauh (distance education) yang menempatkan aktivitas pendidikan
sebagai komoditi perdagangan, sistem informasi melalui internet yang
sering dinamakan “library in the sky”, masalah sosial budaya (misalnya
isu tentang lingkungan hidup), masalah politik (demokratisasi dan
HAM), dan sebagainya. Nampaknya usaha untuk mempertahankan
pola-pola kehidupan yang bersifat domestik, jargon-jargon politik
yang bersifat nasional, dan aktivitas ekonomi yang eksklusif tidak
dapat dipertahankan lagi. Kecenderungan global di pelbagai
kehidupan di atas tidak berdiri tetapi saling terkait satu sama lain.
122
Yang menjadi pertanyaan kunci adalah seberapa jauh doktrin-
doktrin dasar setiap bangsa (Untuk Indonesia: Pancasila dan UUD
dengan segala refleksi pengaturannya) dalam konteks kehidupan
globisnca. Selobikann,UD
123
Integrasi Antara Kepentingan Nasional dan Internasional
Integrasi antara kepentingan nasional dengan kepentingan
internasional sangat penting sebagai bahan pertimbangan akademis
mengingat interdependensi, interaksi dan interkoneksi antar negara
cenderung semakin meningkat dalam pelbagai aspek kehidupan.
Pendekatan partikularistik relatif harus lebih dikembangkan dalam
bentuk strategi yang tetap berpijak pada jati diri bangsa, tanpa
mengesampingkan kecenderungan global sepanjang tidak bertolak
belakang dengan pandangan hidup bangsa. Kepentingan internasional
tersebut tersurat dan tersirat dalam instrumen-instrumen dan
dokumen-dokumen internasional berupa konvensi, model treaties,
standar minimum rules, resolusi, deklarasi, dan sebagainya yang
dihasilkan oleh organisasi-organisasi internasional terutama PBB.
Kebutuhan ini dapat diatasi dengan ratifikasi, perjanjian bilateral,
regional, harmonisasi hukum dan seterusnya. Dalam konteks ini
relevan dengan salah satu tujuan nasional bangsa yaitu ikut serta
dalam menciptakan ketertiban dunia. Tetapi, di atas segalanya yang
lebih penting adalah keberanian para penegak hukum untuk
menjadikan instrumen-instrumen dan dokumen-dokumen
internasional tersebut sebagai acuan penegakan hukum, di samping
perundang-undangan, kebiasaan, yurisprudensi dan doktrin.
Integrasi antar pelbagai aspek kehidupan nasional merupakan atau
harus dipandang sebagai refleksi dari Doktrin Ketahanan Nasional.
Pemahaman terhadap refleksi ketahanan nasional dalam kaitannya
dengan integrasi dan harmonisasi antar pelbagai aspek kehidupan akan
lebih mudah dipahami dalam hubungan sentral antara hukum dan
politik dalam kehidupan masyarakat. Seni untuk menyerasikan
aktualisasi nilai-nilai atau karakteristik pelbagai bentuk masyarakat,
pada dasarnya merupakan usaha untuk menyerasikan hubungan antara
kesejahteraan dan keamanan dalam pelbagai aspek kehidupan nasional.
Di bawah ini adalah table karakteristik dari suatu sistem sosial tertentu.
Kristalisasi dari uraian di atas adalah bahwa yang disebut hukum
nasional dalam era globalisasi di samping mengandung karakteristik
lokal, seperti ideologi bangsa, kondisi-kondisi manusia, alam dan
tradisi bangsa, juga harus mengandung kecenderungan-
kecenderungan internasional yang diakui oleh masyarakat dunia yang
beradab. Yang menjadi masalah adalah sampai seberapa jauh
kecenderungan-kecenderungan internasional ini memberikan warna
124
dalam kehidupan hukum nasional baik dalam pembentukan hukum,
penegakan hukum maupun kesadaran hukum.
Dalam pembentukan dan pembaharuan hukum, aspirasi yang
perlu diperhatikan adalah aspirasi suprastruktur, infrastruktur,
ekpertis dan aspirasi masyarakat internasional, di samping tentu saja
proses legal drafting yang berkualitas harus dapat dipenuhi.
Untuk penegakan hukum sudah seharusnya ada transparasi antar
keluarga-keluarga hukum (legal family) dengan maksud agar tidak
diikuti lagi secara kaku. Keluarga-keluarga hukum tersebut antara
lain keluarga hukum Anglo-Saxon, keluarga hukum Kontinental,
keluarga hukum Sosialis, keluarga hukum Timur Tengah dan keluarga
hukum Timur Jauh. Yurisprudensi misalnya, sudah saatnya menjadi
sumber hukum yang representatif, tanpa harus memandangnya
sebagai tradisi yang hanya ada di sistem Common Law. Selanjutnya
Doktrin-doktrin hukum dari para pakar kiranya dapat mengisi
kekosongan hukum yang ada. Persepsi teoritik di samping dapat
menggambarkan, menjelaskan, mengungkap, juga dapat memprediksi
secara lebih akurat apa yang akan terjadi di masa depan.
Dalam pembentukan hukum dan penegakan hukum harus
tergambar pula karakteristik hukum modern, yang merupakan
landasan sistem hukum dalam menyongsong globalisasi yang semakin
meningkat di masa datang. Tidak mustahil sasaran (adressat) norma
hukum nasional suatu bangsa, karena aktivitas transnasional, adalah
bangsa lain yang ada di negara yang berlainan sebagaimana
tergambar dalam hakekat globalisasi di atas.
Karakteristik hukum modern adalah bahwa hukum harus (a)
seragam dalam dalam aplikasi; (b) transaksional; (c) universalistik;
(d) hirarkis; (e) organized bureau-critically; (f) rasional; (g) profesional;
(h) dapat diamandemen; (i) politik; (j) pemisahan lembaga legislatif,
yudikatif dan eksekutif.
Aspirasi infrastruktur baik dalam pembentukan hukum maupun
penegakan hukum harus diperhitungkan sebagai salah satu aspek
penentu efektivitas hukum. Sebagai illustrasi dapat dikemukakan di
sini hasil riset di pelbagai negara yang menyimpulkan, bahwa
seringkali pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana ekonomi tidak
dapat efektif karena mereka merasa dirinya bukan penjahat. Hanya
karena kesalahan yang tidak seberapa mereka harus masuk penjara.
Tidak ada stigma sosial yang diberikan oleh lingkungannya.
125
Dalam kehidupan global yang saat ini dan di masa datang akan
banyak ditandai oleh profesionalisme, maka dituntut adanya sistem
pendidikan hukum yang semakin menunjang berupa sekolah-sekolah
profesional yang terdiversifikasikan secara baik, semakin spesialis,
pendidikan penegak hukum yang terintegrasi, badan-badan dan
lembaga-lembaga khusus yang menangani kasus-kasus yang sarat
dengan kerumitan dan sarat iptek. Pengembangan para legal
nampaknya harus dilihat sebagai tuntutan yang tidak berlebihan.
Dalam kerangka ini pula muncul kode etik, yang keberadaannya sudah
merupakan tuntutan nasional maupun internasional.
Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini bahwa di tingkat
internasional saat ini terdapat: (a) kode etik untuk perusahaan
transnasional; (b) kode etik untuk untuk para penegak hukum; (c)
prinsip-prinsip dasar bagi peran pengacara; (d) panduan tentang Jaksa
Penuntut; dan sebagainya. Ketaatan seseorang pada kode etik harus
mendapatkan penghargaan yang memadai, mengingat sanksi dalam
masalah norma susila sangat lemah dibanding sanksi hukum. Yang
harus dihayati adalah bahwa dalam hal ini terkait tiga komponen
sekaligus, yakni komponen mental, intelektual dan semangat alruistik
yang memadai.
Standar-standar tersebut sangat penting (apalagi bila didukung
oleh peradilan disiplin dan organisasi profesi yang handal), di samping
dapat memperkuat, memperlemah atau menghapuskan sifat melawan
hukum dalam suatu kasus perbuatan, standar-standar tersebut juga
dapat dijadikan sarana untuk menentukan apakah telah terjadi
malpraktek profesional atau tidak. Dikatakan ada malpraktek apabila
seorang profesional, dalam menjalankan kewajibannya telah bertindak
di bawah standar (substandar) profesinya sehingga menimbulkan
kerugian terhadap orang lain sebagai akibat perbuatannya (causation).
Perlu disadari pula bahwa menegakkan hukum dengan semangat
dan jiwa yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman, secara
konseptual merupakan malpraktek juga. Dalam hal ini harus dibedakan
antara jiwa undang-undang (the legal spirit) sebagaimana tersurat dan
tersirat dalam konsiderans dan penjelasan umum perundang-undangan
tersebut, dengan jiwa penegakan hukum (the spirit of law enforcement)
yang berdasarkan Pasal 27 ayat 1 UU no. 14 th 1970 yang harus selalu
digali oleh hakim pada saat mengadili perkara tersebut di dalam
masyarakat. Semangat ini harus mewarnai juga segala sub sistem
126
peradilan pidana lain. Doktrin yang menyatakan bahwa apabila terjadi
benturan antara hukum dan keadilan maka keadilanlah yang harus
diutamakan atas dasar asas-asas umum pemerintahan yang baik dan
atas dasar ajaran sifat melawan hukum materiil.
Dalam era globalisasi orang tidak mungkin lagi hanya
mengoperasionalkan nilai-nilai domestik. Sebagai contoh adalah usaha
dunia internasional melalui PBB untuk melindungi apa yang
dinamakan jural postulates of civilization (JPC) yang mendasari
pernyataan bahwa ada 22 kejahatan yang dipertimbangkan sebagai
kejahatan international. JPCs tersebut adalah : (a) Ancaman langsung
terhadap kedamaian dan keamanan dunia; (b) Ancaman tidak
langsung terhadap kedamaian dan keamanan dunia; (c) Shocking to
the conscience of humanity; (d) Conduct affecting more than one state; (e)
Conduct including or affecting citizens of more than one state; (f) Means or
methods transcend national boundaries; (g) Cooperation of States Necessary
to enforce.
Dalam aktivitas manusia maupun kelembagaan yang bersifat
global, khususnya globalisasi politik yang bernuansa perlindungan
HAM dan demokratisasi. Manusia dan lembaga tersebut harus sadar
bahwa segala bentuk norma-norma HAM, baik hak-hak sipil dan
politik, hak-hak sosial, ekonomi dan kultural serta hak kolektif untuk
berkembang mengenal restriksi-restriksi dan limitasi yang diakui
secara universal. Restriksi dan limitasi tersebut adalah harus
menghormati hak dan kebebasan orang lain, menghormati aturan
moral umum, menghormati ketertiban umum, menghormati
kesejahteraan umum, menghormati keamanan umum, menghormati
keamanan nasional dan keamanan masyarakat, menghormati
kesehatan umum, menghindari penyalahgunaan hak, menghormati
asas-asas demokrasi dan menghormati hukum positif.
Sebaliknya, hak negara untuk mengurus dan mengatur serta
menyelenggarakan pemerintahan, juga dihadapkan pada restriksi dan
limitasi, seperti asas legalitas, asas negara hukum, martabat
kemanusiaan, asas bahwa pembatasan merupakan perkecualian, asas
persamaan dan non diskriminasi, asas non retroaktif dan asas
personalitas. Restriksi dan limitasi baik bagi negara maupun warga
negara dan penduduk suatu negara, menunjukkan kepada kita bahwa
sesuai dengan isyarat yang terkandung dalam Pasal 27 ayat 1 UUD
1945, setiap orang tidak hanya memiliki hak persamaan di depan
127
hukum tetapi juga sama-sama mempunyai kewajiban untuk
menjunjung hukum dan pemerintahan, tanpa ada pengecualian.
Di samping penegakan hukum yang bersifat represif dan preventif
yang sudah banyak diuraikan di atas dengan pelbagai asas
pembatasnya, dekade terakhir diwarnai oleh munculnya dimensi baru
dalam peradilan, yakni dimensi korban khususnya dalam kasus-kasus
pidana. Dimensi baru ini tidak hanya menimbulkan gerakan untuk
lebih memperhatikan korban untuk mendapatkan akses keadilan, tetapi
muncul gerakan untuk menumbuhkan apa yang dinamakan restorative
justice yang menempatkan 90 so uihuuntgw (resto. Modele) Tj -20 -12.75 TD -0.7596 Tc-0.2
128
Hukum Positif Indonesia
Dalam Penanggulangan Kejahatan
Lintas Negara
Pendahuluan
Pada saat orang membicarakan proses modernisasi dan dampak
serta perubahan sosial yang diakibatkannya dua dekade yang lalu,
banyak orang diliputi rasa keprihatinan yang mendalam. Sistem
hukum baik substantif, struktural maupun kultural dirasakan sangat
ketinggalan dibandingkan dengan pelbagai kebutuhan hukum yang
berkembang akibat perubahan sosial. Diskrepansi tersebut cenderung
menumbuhkan kritik yang tajam terhadap lembaga-lembaga hukum,
baik yang terlibat langsung dalam proses pembuatan undang-undang,
yang melaksanakan proses penegakan hukum, maupun lembaga
peradilan yang harus menerapkan hukum dalam peristiwa yang
konkrit dalam kerangka kehidupan nasional sehari-hari.
Kemudian, pada dekade terakhir orang juga nyaris semakin
terpana oleh fenomena proses globalisasi sebagai dampak dari
perkembangan teknologi komunikasi, informatika dan transportasi
modern yang dahsyat. Proses globalisasi antara lain memunculkan
fenomena berupa erosi kedaulatan nasional, munculnya konsep-
konsep kesejahteraan regional dan global, berlakunya pelbagai
standar baku di pelbagai bidang yang bersifat global seperti rezim
WTO, HAM dan sebagainya. Sementara itu mobilitas sosial yang
semakin tinggi yang ditandai munculnya global travellers, juga
memunculkan serangkaian akibat-akibat lain yang tak terbayangkan
sebelumnya, seperti melemahnya ikatan-ikatan etnosentrik, peranan
swasta yang semakin besar yang beriringan dengan meningkatnya
peranan dan pemanfaatan informasi yang luar biasa (Daniels, 1994).
Globalisasi sebagai proses perubahan sosial yang tak
terhindarkan, di samping membawa kemaslahatan manusia di dunia
129
dalam bentuk pelbagai kenikmatan dan kemudahan, ternyata juga
menimbulkan mudarat yang bersifat eksesif dalam bentuk kehancuran
bagi negara-negara yang tidak siap, perusakan lingkungan hidup,
runtuhnya tradisi-tradisi nasional yang bersifat partikularistik,
berkembangnya jenis-jenis kejahatan baru yang bersifat transnasional
dengan memanfaatkan perkembangan alat transportasi, komunikasi
dan informatika modern dan sebagainya.
Reaksi-reaksi keras yang terjadi terhadap globalisasi yang dilakukan
oleh sejumlah kalangan NGO’s akhir-akhir ini, pada dasarnya menuntut
agar globalisasi juga menghormati supremasi hukum dan HAM.
Ringkasnya, globalisasi tidak hanya mengandung kesempatan emas,
tetapi juga mengandung pelbagai bahaya dan ancaman bagi kehidupan
manusia. Banyak orang beranggapan bahwa dengan ekonomi global
berarti semakin mudahnya perdagangan wanita dan anak-anak untuk
kerja paksa dan prostitusi, semakin mudahnya penyelundupan narkotik
dan senjata, semakin mudahnya menghindari pengadilan, dan lebih
banyak bisnis yang menghasilkan penyuapan. (Handelman, 2000).
Globalisasi tidak hanya bersifat kriminogin yang menimbulkan
bentuk kejahatan-kejahatan lintas negara dan munculnya jenis-jenis
kejahatan baru, tetapi juga memicu berkembangnya kejahatan yang
terorganisasi (organized crimes), bahkan yang bersifat transnasional
(organized transnational crimes). Problem yang ditimbulkan oleh kejahatan
yang disebut terakhir ini (transnasional) semakin meningkat dan harus
dicermati betul, karena dari pelbagai riset nampak terbukti adanya kaitan
erat antara kejahatan terorisme dengan kejahatan terorganisasi.
PBB menganggap fenomena di atas sebagai sesuatu yang terlalu
serius untuk diabaikan karena akan membahayakan keamanan,
stabilitas nasional dan internasional, dan tertib hukum serta HAM.
Beberapa kriteria untuk melakukan kategorisasi adanya kejahatan
internasional adalah bahaya yang ditimbulkannya baik langsung
maupun tidak langsung terhadap perdamaian dan keamanan,
pelanggaran terhadap nurani kemanusiaan, pengaruhnya terhadap
warga lebih dari satu negara, cara dan alatnya yang bersifat lintas
batas, dan kerjasama antar negara yang menangani (Bassiouni, 1990).
Perkembangan kejahatan lintas negara yang terorganisasi tersebut
begitu meresahkan pelbagai negara mengingat dimensi-dimensi
keorganisasiannya yang begitu canggih dan motifnya yang bersifat
multidimensional seperti motif ekonomis, politis atau kombinasi antara
130
keduanya. Untuk itu cara penanggulangannya tidak bisa lain harus
pula dilakukan secara transnasional dalam bentuk kerjasama yang
komprehensif antar negara (internasional, regional, bilateral dan
multilateral) baik preventif maupun represif, baik dengan sarana penal
(melalui sistem peradilan pidana) maupun dengan sarana non penal.
131
penegak hukum lebih fleksibel — mengingat definisi yang ada terlalu
kriminologis, kompleks dan seringkali sempit. Sebagai contoh, di
Kanada, perubahan yang dilakukan menyangkut ciri-ciri kejahatan
terorganisasi antara lain mencakup: (1) mengurangi jumlah orang yang
terorganisasi dari lima menjadi tiga orang; (2) Jaksa tidak lagi
diwajibkan untuk menunjukkan bahwa organisasi kejahatan tersebut
terlibat dalam pelaksanaan serangkaian kejahatan untuk kepentingan
organisasi tersebut selama lima tahun terakhir; (3) memperluas ruang
lingkup kejahatan yang didefinisikan dalam organisasi kejahatan dan
meliputi semua kejahatan berat. Padahal sebelumnya hanya mencakup
serangan atau tindakan yang dapat dituduhkan (indictable offenses)
yang dipidana maksimum lima tahun atau lebih.
Definisi tentang “kelompok kejahatan yang terorganisasi” dan
“kejahatan transnasional terorganisasi” (transnational organized crime)
menjadi semakin mantap dengan diadopsinya konvensi PBB untuk
memerangi kejahatan transnasional yang terorganisasi, di Palermo
(disebut Konvensi Palermo), oleh the General Assembly pada bulan
Nopember 2000 dan terbuka untuk ditandatangani di Palermo,
Desember 2000. Konvensi ini berlaku setelah diratifikasi oleh 40
negara. Dalam Konvensi ini, Organized Criminal Group dirumuskan
sebagai: “kelompok terstruktur yang terdiri dari tiga orang atau lebih,
berada untuk suatu masa dan berbuat dalam satu kesatuan dengan
tujuan untuk melakukan lebih dari satu kejahatan serius yang diatur
dalam konvensi, untuk memperoleh, langsung atau tidak langsung,
keuntungan finansial atau materi yang lain”.
Sedangkan ruang lingkup penerapan konvensi tersebut mencakup
pencegahan, investigasi dan penuntutan meliputi kejahatan-kejahatan
sebagai berikut: (a) berpartisipasi dalam organisasi kelompok
kejahatan; (b) pencucian hasil tindak kejahatan; (c) korupsi; (d)
mengganggu proses untuk mendapatkan keadilan; (e) tindak pidana
berat sebagaimana didefinisikan dalam Artikel 2 Konvensi tersebut.
Selanjutnya di dalam Artikel 3.2. dinyatakan bahwa kejahatan
tersebut dikategorikan bersifat transnasional apabila: (a) dilakukan di
lebih dari satu negara; (b) dilakukan di sebuah negara tetapi persiapan
dan pengendaliannya dilakukan dari negara lain; (c) dilakukan di sebuah
negara, tetapi melibatkan kelompok organisasi kejahatan yang terlibat
dalam tindak kejahatan di lebih dari satu negara; atau (d) dilakukan di
satu negara tetapi menimbulkan efek substansial di negara lain.
132
Di samping pelbagai kejahatan di atas, terdapat tiga protokol, yakni;
(1) protokol yang menentang penyelundupan migran melalui darat,
udara dan laut; (2) protokol untuk mencegah, memberantas dan
memidana perdagangan manusia, khususnya wanita dan anak; dan (3)
protokol yang menentang pembuatan dan perdagangan senjata api,
bagian-bagian atau komponen dan amunisinya. Hanya saja dalam Pasal
37 ditegaskan bahwa suatu negara harus terlebih dahulu meratifikasi
Konvensi tentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi sebelum
menjadi peserta suatu protokol di atas. Hal ini berarti bahwa setiap
protokol harus dibaca dan diterapkan dalam kerangka Konvensi Utama.
Kasus di Indonesia
Data yang tercatat pada Mabes POLRI pada tahun 2000/2001
tentang keterlibatan orang asing dalam tindak pidana menunjukkan
fakta-fakta sebagai berikut:
133
Data di atas secara sekilas menunjukkan bahwa pelbagai
kejahatan yang melibatkan orang asing di Indonesia lebih bersifat
perorangan. Sekalipun ada kemungkinan bahwa tindak pidana
keimigrasian, imigran gelap, tindak pidana narkotika dan tindak
pidana uang palsu kemungkinan berkaitan dengan kejahatan
transnasional yang terorganisasi, namun nampaknya hal ini belum
pernah terungkap. (Karena keterbatasan waktu, penulis belum
memperoleh data tentang keterlibatan warga negara Indonesia dalam
tindak pidana di luar negeri, yang kemungkinan berkaitan dengan
kejahatan transnasional yang terorganisasi).
Dengan semakin meningkatnya kejahatan lintas negara terutama
yang terorganisasi dalam bentuk sindikat baik regional maupun global,
maka di samping usaha peningkatan kebijakan kriminal domestik (baik
preventif maupun represif), masih diperlukan kerjasama antar negara
yang intensif. Kerjasama tersebut bisa bersifat bilateral (mis. perjanjian
ekstradisi antara dua negara, bahkan forum seperti The Canada—US
Cross-Border Crime Forum) dan bisa pula bersifat multilateral. Yang
terakhir ini bisa bersifat global (atas dasar UN Convention Against
Transnational Organized Crimes, Interpol) dan bisa pula bersifat regional
(mis. The Asean Plan of Action to Combat Transnational Crime dan
SARPCCO: the Southern African Police Chiefs Cooperation Organization
yang salah satu tujuannya adalah memerangi kejahatan lintas negara
yang terorganisasi. Demikian pula keberadaan Aseanapol).
Kerjasama tersebut mencakup ruang lingkup yang luas seperti
pertukaran informasi, kerjasama di bidang hukum seperti kriminalisasi
dan harmonisasi hukum, kerjasama di bidang penegakan hukum seperti
ekstradisi, mutual assistance, transfer of proceeding, investigasi bersama,
pelatihan, peningkatan kapasitas kelembagaan, dan kerjasama ekstra
regional. Dalam hal ini berlaku doktrin bahwa “tak satupun suatu
bangsa dapat menyelesaikan soal kejahatan secara sendirian!”
134
dan adanya sanksi baik pidana (punishment) maupun tindakan
(treatment). Dalam hal ini akan terkait pula persoalan kriminalisasi,
baik dalam arti perumusan tindak pidana baru, maupun perluasan
berlakunya hukum pidana seperti pengaturan corporate criminal liability.
Dalam Konvensi PBB tentang kejahatan transnasional terorganisasi,
liability of legal persons tidak hanya berkaitan dengan hukum pidana,
tetapi juga hukum perdata dan hukum administratif (Art. 10).
Dalam konteks Indonesia, persoalan yang perlu diajukan adalah
sampai seberapa jauh telah dilakukan kriminalisasi terhadap tindak
pidana dalam kategori sebagai berikut: tindak pidana berupa turut
berpartisipasi dalam kelompok organisasi kejahatan; tindak pidana
pencucian uang hasil kejahatan (money laundering) dan tindak pidana
korupsi; tindak pidana gangguan terhadap proses untuk memperoleh
keadilan; dan pelbagai kejahatan berat (yang diancam dengan pidana
perampasan kemerdekaan paling sedikit empat tahun atau lebih berat)
yang bersifat transnasional dan melibatkan kelompok organisasi
kejahatan. Jawabannya adalah Indonesia secara eksplisit belum
mempunyai perundang-undangan yang mengkriminalisasikan
kejahatan-kejahatan berpartisipasi dalam kelompok organisasi
kejahatan dan kejahatan “obstruction of justice”. Untuk tindak pidana
korupsi relatif telah diatur secara lengkap dalam UU. no 31 th. 1999,
namun di luar kaitannya dengan sifat transnasional dan dengan
kelompok kejahatan terorganisasi. Sedangkan tindak pidana “money
laundering” (UU. no 15 th, 2002) masih harus diuji seberapa jauh
kesesuaiannya dengan dengan standar internasional.
Sepanjang menyangkut kejahatan penyelundupan imigran (human
cargo), trafficking in persons dan trafficking in firearms sekalipun jauh
dari memadai, kita mempunyai Pasal 324 KUHP, Pasal 297 KUHP
dan UU No.1 Drt. Th. 1951. Namun sekali lagi nuansa transnasional
dan kaitannya dengan organisasi kejahatan belum ada pengaturannya.
Terhadap tindak-tindak pidana berat yang lain, juga banyak yang
belum dikriminalisasikan, apalagi jika dikaitkan dengan kelompok
kejahatan terorganisasi dan sifat transnasional. Dari pelbagai contoh
kejahatan lintas negara sebagaimana tersebut di atas, secara domestik
sudah banyak diatur (sekalipun ancaman pidananya ada yang lebih
ringan dari empat tahun penjara), tetapi sekali lagi itu tidak terkait
dengan sifat transnasional dan hubungannya dengan organisasi
kejahatan. Belum lagi menyangkut jenis-jenis kejahatan serius lain,
135
seperti “kejahatan maya” (cybercrimes) yang ruang lingkup
pengaturannya begitu luas seperti tercermin secara tersurat dan
tersirat dalam Konvensi Eropa tentang Kejahatan Maya tahun 2001
(European Convention on Cybercrime 2001), dan terorisme (hanya
beberapa dari 12 Konvensi Internasional yang menentang terorisme
telah diratifikasi).
Selanjutnya, dengan sendirinya persoalan akan bersentuhan
dengan hukum pidana formil, yakni tata cara untuk mempertahankan
hukum pidana materiil. Yang perlu dicermati di sini adalah ketentuan
tentang perlindungan saksi dan perlindungan korban, mulai dari
perlindungan fisik, relokasi, sampai dengan penyembunyian identitas.
Korban dalam hal ini harus dilihat pula sebagai saksi, di samping
ketentuan tentang “obstruction of justice”.
Pada akhirnya yang harus diperhatikan adalah hukum
pelaksanaan pidana yang berkaitan dengan jenis pidananya (strafsoort),
kemudian berat ringannya pidana (strafmaat), dan cara bagaimana
pidana dilaksanakan (strafmodus). Contoh yang menarik adalah
Kanada. Pada bulan April 1997, terjadi amandemen KUHP yang
mengatur anti gang measure yang memidana maksimum 14 tahun
penjara terhadap mereka yang berpartisipasi terhadap organisasi
kriminal. Selanjutnya terdapat ketentuan dalam Corrections and
Conditional Act (CCRA), yang menentukan bahwa terpidana kejahatan
yang berkaitan dengan organisasi kejahatan tidak berhak mengajukan
parole, semacam pelepasan bersyarat. Dalam UU tentang ekstradisi
yang baru ditentukan kemungkinan bagi saksi untuk menggunakan
video and audio-link technology dalam memberikan kesaksian baik yang
ada di Kanada maupun di luar Kanada.
Kesimpulan
Dalam rangka penanggulangan kejahatan lintas negara yang
terorganisasi yang membahayakan keamanan dan kehidupan nasional,
regional maupun internasional diperlukan langkah-Iangkah strategis
dan kerjasama baik domestik, bilateral, regional maupun internasional.
Dari sisi kehidupan masing-masing negara paling sedikit diperlukan
langkah-langkah strategis sebagai berikut:
a. Melakukan kajian dan ratifikasi terhadap UN Conventions Against
Transnational Organized Crime, disusul kriminalisasi dan
harmonisasi pengaturan tentang tindak-tindak pidana terkait.
136
b. Memperluas jangkauan perjanjian ekstradisi dan kerjasama yang
lain.
c. Melakukan usaha perlindungan saksi dan korban secara
maksimal.
d. Mendorong dan mempererat kerjasama domestik, bilateral,
regional dan internasional untuk mengefektifkan
penanggulangan kejahatan transnasional terorganisasi kejahatan
terkait.
e. Meningkatkan partisipasi masyarakat melalui sosialisasi substansi
Konvensi termasuk dimensi bahaya yang ditimbulkan kejahatan
transnasional terorganisasi.
f. Merumuskan kebijakan kriminal yang komprehensif, baik
preventif maupun represif. n
137
Korporasi Transnasional dan Pengaruhnya
Terhadap Tindak Pidana Ekonomi di Indonesia
138
a) Tindak pidana ekonomi adalah tindak pidana yang dilakukan
dalam lingkup kegiatan ekonomi, yang dengan sendirinya
merupakan, atau paling tidak dianggap, sebagai kegiatan bisnis
yang legal dan wajar. Tidak termasuk di dalamnya kegiatan
ekonomi yang bersifat ilegal, seperti perjudian ilegal, perdagangan
narkotik, atau prostitusi yang terorganisasi.
b) Tindak pidana ekonomi adalah tindak pidana yang bukan hanya
individu yang menjadi korban, tetapi juga merugikan kepentingan
negara atau masyarakat secara umum. Kejahatan ekonomi adalah
kejahatan bisnis, meski tidak berarti semua kejahatan bisnis adalah
kejahatan ekonomi. Kasus-kasus penipuan atau penggelapan biasa
tidak termasuk dalam kategori ini.
c) Tindak pidana ekonomi mencakup pula di dalamnya tindak pidana
yang dilakukan dunia bisnis atas perusahaan bisnis yang lain, atau
individu-individu, atau sekurangnya beberapa tindak pidana yang
sejenis. (Andenaes, 1977).
139
1. Kegiatan Perusahaan Transnasional.
a. Umum dan Politik; menghormati kedaulatan negara dan patuh
pada hukum, peraturan dan praktek-praktek administratif negara
setempat; berpegang pada tujuan-tujuan ekonomi dan sasaran-
sasaran serta prioritas kebijakan pembangunan; berpegang pada
nilai sosio kultural; menghormati HAM; tidak campur tangan
urusan politik intern; dan tidak terlibat dalam praktek korupsi.
b. Ekonomi, Finansial, dan Sosial; meliputi ketentuan kepemilikan
dan pengawasan; neraca pembayaran dan keuangan; transfer
pricing, perpajakan; persaingan dan praktek-praktek bisnis
terbatas; transfer tekonologi; lapangan kerja dan pekerjaan;
perlindungan konsumen; dan perlindungan terhadap
lingkungan.
c. Penyingkapan Informasi.
2. Perlakuan Terhadap Perusahaan Transnasional.
Hal-hal penting yang perlu mendapatkan perhatian dalam ketegori
ini di antaranya; perlakuan umum Perusahaan Transnasional oleh
negara-negara tuan rumah; nasionalisasi dan kompensasi; yurisdiksi.
3. Kerjasama antar Negara.
140
Dalam hukum pidana, korporasi bisa berbentuk badan hukum
atau non badan hukum. Dalam pasal 15 UU No.7 Drt. Th 1955 tentang
Tindak Pidana Ekonomi ayat (1) dinyatakan bahwa “Jika suatu tindak
pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum,
suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, maka…”.
Dengan demikian bisa terjadi bahwa pengertian korporasi dalam
tindak pidana ekonomi, bisa mengandung organisasi yang sah dan
bisa pula yang bersifat tidak sah. Yang pertama dapat dikategorikan
sebagai crimes for corporation, sedang yang terakhir ini bisa disebut
corporate criminal, yakni korporasi yang dibentuk untuk melakukan
kejahatan. Tetapi secara transnasional, yang terlibat dalam kejahatan
terorganisir bisa juga mencakup kedua-duanya asalkan memenuhi
karakteristik sebagaimana dirumuskan di dalam Rencana Aksi Global
Melawan Organisasi Kejahatan Transnasional yang dihasilkan oleh
Konferensi Tingkat Menteri Dunia tentang Organisasi Kejahatan, di
Napoli (November, 1994), yang rumusannya sebagai berikut:
“Untuk memerangi organisasi kejahatan dengan efektif, negara harus
mempertimbangkan karakteristik struktural dan modus operandinya
dalam merumuskan strategi, kebijakan, perundang-undangan dan
langkah-langkah lainnya. Meskipun tidak mencerminkan definisi legal
yang komprehensif atas fenomena tersebut, sifat-sifat berikut merupakan
bagian dari karakteristiknya, yaitu; organisasi kelompok untuk
melakukan tindak pidana; hubungan hirarkis atau hubungan personal
yang memungkinkan seseorang yang disebut pemimpin dapat
mengontrol kelompok; kekerasan, intimidasi dan korupsi yang
dilakukan untuk untuk mendapatkan keuntungan atau mengontrol
wilayah dan pasar; pencucian uang hasil kejahatan dengan dalam
rangka menjalankan kegiatan tindak pidana dan untuk menyusup
kedalam kegiatan ekonomi yang legal; potensi untuk ekspansi ke dalam
kegiatan-kegiatan baru dan di luar perbatasan negara; serta kerjasama
dengan kelompok-kelompok organisai kejahatan transnasional yang
lain”.(General Assembly, UN, 1994: hal 9-10).
Dalam Konvensi Palermo Th. 2000 tentang Kejahatan
Transnasional yang Terorganisasi, terdapat sejumlah jenis kejahatan
yang diidentifikasi masuk dalam kategori “transnational organizes
crimes” yaitu: korupsi, pencucian uang, berpartisipasi dalam kelompok
kejahatan, dan obstruction of justice. Disebut bersifat transnasional
kejahatan itu memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) perbuatan
dilakukan di lebih dari satu negara; (2) dilakukan di satu negara
141
tetapi bagian substantif dari persiapan, perencanaan, dan
pengendaliannya dilakukan dari negara lain; (3) dilakukan di satu
negara tetapi melibatkan suatu kelompok organisasi kejahatan di lebih
dari satu negara; atau (4) dilakukan di satu negara tetapi efek
substansialnya mengimbas ke negara-negara lain.
Jadi, sepanjang MNEs terlibat dalam usaha-usaha dengan
karakteristik di atas, maka ia memenuhi syarat untuk disebut sebagai
telah melakukan kejahatan transnasional yang terorganisasi.
Konsekuensinya adalah berlakunya corporate liability, baik bagi pejabat
eksekutif korporasi maupun korporasinya sendiri, sejauh memenuhi
prasyarat dalam kaitannya dengan functional criminal liability of natural
persons. Keterlibatan MNEs di atas, antara lain bisa dalam bentuk
pencucian uang hasil kejahatan, khususnya dalam bentuk integration
(Waling dkk., 1994: hal 1072-1073). Dalam hal ini tentu saja asas legalitas
tetap harus diperhatikan. Dan agar tetap dapat dipertanggungjawabkan,
undang-undang harus secara eksplisit mengaturnya.
Di samping kemungkinan terlibat secara langsung dengan
kejahatan transnasional terorganisasi, secara kolektif dan mandiri
MNEs dapat pula melakukan tindak pidana ekonomi secara tidak
langsung di negara di mana MNEs beroperasi, seperti menimbulkan
kerusakan lingkungan hidup, pelanggaran pajak, hak milik intelektual
(lihat UU Pabean yang baru), perburuhan, perlindungan konsumen,
korupsi dan sebagainya.
Khusus dalam kaitannya dengan korupsi, ada kasus yang
menarik, yakni apa yang dilakukan oleh Amerika Serikat dalam rangka
menanggulangi pembayaran-pembayaran yang tidak sah yang
dilakukan oleh MNEs Amerika di negara-negara di mana mereka
beroperasi, termasuk penyuapan terhadap pejabat-pejabat setempat
dalam bentuk penyuapan, pemerasan, pembayaran kembali, biaya
siluman untuk korupsi politik, dan sebagainya. Banyak negara-negara
maju semula menganggap bahwa perbuatan-perbuatan tersebut
merupakan bagian dari strategi kompetisi dengan MNEs negara-
negara lain yang beroperasi di negara-negara berkembang, sehingga
tindakan yang demikian cenderung dianggap bukan merupakan
kewajiban negara bersangkutan (tuan rumah) untuk menegakkan
integritas pegawai-pegawai negara lain.
Amerika serikat sejak semula menganggap bahwa perbuatan
seperti disinggung di atas merupakan perbuatan tercela. Di dalam Tax
142
Reform Act 1976, penyuapan terhadap pejabat asing (trading in influence)
di negara asing oleh MNEs dapat mengakibatkan konsekuensi pajak
yang berat. Selanjutnya di dalam Foreign Corrupt Practices Act (FCPA)
yang ditandatangani pada tahun 1977 (bab 103 dan 104), pelaku
penyuapan tersebut (untuk perusahaan) dapat dijatuhi denda 1 juta
dollar dan bagi individu denda 10.000 dollar dan pidana 5 tahun.
(Seymour, 1977; hal 220-223). Langkah ini secara global memperoleh
tanggapan, yang ditandai dengan disusunnya kode etik untuk MNEs
dan diterimanya resolusi tentang “Tindakan Memerangi Korupsi”,
yang telah mengadopsi Kode Etik Internasional untuk Para Pejabat
Publik pada sidang kelima Komisi Pencegahan Kejahatan dan Peradilan
Pidana di Wina, 21-31 Mei 1996 yang lalu. Yang perlu dikemukakan di
sini bahwa “penyuapan untuk pejabat publik asing” (bribery of foreign
public officials) bersama-sama dengan tindak pidana lingkungan,
pemalsuan dan sebagainya, termasuk kategori kejahatan internasional
(Bassiouni, 1989). Beberapa konvensi internasional terkait dalam hal
ini antara lain: EU Convention on the Fight Againts Corruption (1977),
Council of Europe Criminal Law Convention on Corruption (1999), dan
OECD Anti-Bribery Convention (2000).
Keberadaan standar-standar internasional mendampingi
aktivitas manusia yang juga semakin mengglobal akibat kemajuan
teknologi komunikasi, transportasi dan informatika modern. Sulit
dapat dibayangkan betapa kacaunya tatanan dunia ini (karena
globalisasi ekonomi yang ditandai oleh meningkatnya peranan modal
swasta, interdepedensi perusahaan-perusahaan swasta antar negara,
peranan modal asing yang semakin besar, tumbuhnya perusahaan-
perusahaan raksasa) apabila tidak dibarengi dengan tegaknya hukum
(Ohmae, 1995). Dalam kerangka ini semua negara harus segera
menyadari bahwa tidak ada satu negara pun secara sendiri-sendiri
dapat secara efektif mengatasi kejahatan yang berkaitan dengan
negara lain. Untuk itu diperlukan jaringan kerjasama internasional
untuk pencegahan kejahatan dan peradilan pidana.
143
adalah tindakan yang dilakukan oleh korporasi yang diancam
hukuman di bawah hukum pidana, perdata atau administratif”
(Clinard and Yeager, 1980). Dalam pengertian yang kurang lebih sama
juga dinyatakan oleh Box sebagai berikut:
“Kejahatan korporasi adalah kejahatan, terlepas dari apakah yang
hanya diancam hukuman di bawah badan administratif, atau apakah
hanya sekedar melanggar hak-hak sipil…mungkin menjadi pertanyaan
mengapa banyak kejahatan korporasi ditangani badan-badan
administratif bukan pengadilan pidana. Tetapi itu tidak menjastifikasi
pengecualian tindakan-tindakan korporasi yang diatur oleh badan-
badan administratif dari kajian kejahatan korporasi. (Box, 1983).
Hal di atas nampaknya berkaitan erat dengan penyataan bahwa
dalam “kejahatan kerah putih”, baik perumusan hukum maupun status
kriminal si pelaku bersifat mendua. Ini berarti bahwa dalam kejahatan
tersebut (yang mencakup pula kejahatan korporasi), terdapat batas
yang sempit antara legalitas, ilegalitas dan kriminalitas. Pada kejahatan
organisasional, landasan nasional dalam penggunaan hukum pidana
bukan semata-mata didasarkan atas pertimbangan bahwa perbuatan
tersebut secara moral salah, tetapi demi perlindungan hukum pidana
tindak pidana semacam itu disebut mala prohibita dan bukan mala in se.
Croal menyatakan bahwa tindakan yang demikian sering dipandang
sebagai “nyata-nyata pidana”, dan tersangka dapat mengklaim bahwa
kejahatan tersebut merupakan hasil kesalahan yang tidak disengaja
atau semacam keteledoran teknis, sehingga dapat dibedakan dengan
tindak pidana yang sebenarnya (Croall, 1992).
Permohonan di atas secara menarik dinyatakan oleh Clinard
dalam kaitannya dengan pembelaan diri dari pelaku kejahatan
korporasi yang mengakibatkan efektivitas sanksi hukum menjadi
berkurang. Ia mengutip hasil riset dari Silk dan Vogel (1976),
khususnya tentang keyakinan pada level atas manajer korporasi,
sebagai berikut:
1. Semua tindakan hukum yang diusulkan menggambarkan campur
tangan pemerintah dalam sistem perdagangan bebas;
2. Peraturan-peraturan pemerintah tidak dapat dibenarkan karena
biaya tambahan dengan adanya peraturan dan prosedur birokrasi
akan mengurangi keuntungan;
3. Peraturan cacat karena kebanyakan peraturan pemerintah tidak
mudah dipahami dan sangat kompleks;
144
4. Peraturan tidak perlu karena menyangkut masalah-masalah yang
tidak penting;
5. Terdapat unsur kesengajaan yang ringan dalam penyelewengan
korporasi; banyak diantaranya berupa kesalahan omisionis karena
kelalaian ketimbang kesalahan yang disadari;
6. Masalah lain yang berkaitan dengan bisnis adalah pelanggaran
hukum, dan jika pemerintah tidak bisa mencegah situasi ini, tidak
ada alasan mengapa perusahaan yang bersaing juga tidak boleh
mengambil keuntungan melalui tindakannya yang serupa;
7. Meskipun benar, seperti dalam kasus price fixing, bahwa sejumlah
penyelewengan korporasi melibatkan jutaan dolar, kerugian
begitu menyebar di kalangan konsumen sehingga secara
individual kerugian tersebut sangat kecil;
8. Jika tidak ada penambahan keuntungan bagi perusahaan,
pelanggaran dianggap tidak salah;
9. Perusahaan pada hakekatnya dimiliki oleh warga negara biasa,
sehingga klaim bahwa bisnis besar dapat mendominasi masyarakat
dan melanggar hukum dengan bebas adalah tidak benar;
10. Pelanggaran disebabkan oleh kebutuhan ekonomi: tujuan untuk
melindungi nilai saham, untuk memastikan pengembalian yang
memadai bagi pemegang saham dan untuk melindungi kepastian
pekerjaan bagi para pekerja dengan menjamin stabilitas finansial
perusahaan. (Clinard, 180)
Pemahaman di atas akan berkaitan erat dengan pelbagai usaha untuk
menghentikan viktimasi yang terus akan terjadi — karena sulit
diharapkan adanya kesadaran si pelaku terhadap kesalahannya —
selama credo and belief semacam itu masih tetap bersemayam dalam
sanubari pimpinan-pimpinan korporasi.
Budaya korporasi yang bersifat negatif menampakkan diri berupa
penekanan prioritas keuntungan dalam bentuk pertumbuhan,
pengendalian pasar sebagai tujuan organisasional, ambisi pribadi dari
pimpinan korporasi yang tanpa batas, penegakan hukum yang lemah,
pengawasan yang kendur, subkultur tidak bermoral yang melanda
masyarakat, merupakan serangkaian gejala yang akan menambah
maraknya kejahatan korporasi di masyarakat modern. (Box, 1983)
Berdasarkan hasil riset terhadap perilaku top management, sederet
pemicu kejahatan korporasi masih dapat disebut di sini, misalnya
kompetisi dan kerakusan, tipe industri dengan margin keuntungan
145
yang rendah atau tipe industri yang sangat kompetitif, riwayat sosial
korporasi, praktek dagang yang tidak jujur dari perusahaan saingan,
budaya korporasi, adalah faktor-faktor kriminogen dari kejahatan
korporasi. (Clinard, 1983)
Jika hendak dikaji lebih jauh, apa yang dinamakan “kejahatan
kerah putih” pada umumnya, dan kejahatan korporasi pada
khususnya, biasanya melukiskan karakteristik sebagai berikut: tingkat
kelayakan yang rendah, kompleks, difusi tanggungjawab, difusi
viktimisasi, sulit untuk mendeteksi dan mengusut, sanksi yang lemah,
hukum yang mendua, dan status pidana yang ambivalen (Croal, 1992).
Khusus yang disebut “difusi viktimisasi”, penting dicermati karena
menunjukkan perbedaannya dengan korban kejahatan konvensional
yang biasanya dengan mudah dapat diidentifikasikan. Pada kejahatan
korporasi seringkali sosok korban bersifat abstrak dan tidak mudah
diidentifikasi, seperti pemerintah, perusahaan, atau konsumen yang
jumlahnya banyak — sedangkan secara individual kerugiannya
mungkin sangat sedikit. Para korban kejahatan korporasi, demikian
kata Clinard dan Yeager, acap tidak menyadari bahwa mereka menjadi
korban, seperti pada contoh pemegang saham yang menerima balance
sheet palsu, konsumen yang membayar tinggi sebuah produk karena
kolusi anti trust, atau kerugian yang ditanggung konsumen (biaya,
kesehatan) karena sebuah iklan produk yang menyesatkan.
Kompleksitas masalah yang berkaitan dengan pelaku, korban
dan kejahatan korporasi tersebut tidak boleh menyurutkan langkah
atau kebijakan kriminal dalam rangka menanggulangi kejahatan
korporasi yang dampaknya sangat luas. Secara internasional hal ini
juga diwaspadai, seperti tercermin pada ‘Guiding Principles for Crime
Prevention and Criminal Justice in the Context of Development and a new
International Economic Order’ yang kemudian diadopsi oleh Kongres
PBB tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Para Pelaku ke
VII di Milan (1985), yang antara lain menegaskan sebagai berikut:
“Due consideration should be given by Member States to making criminally
responsible not only those persons who have acted on behalf of an institution,
corporation or enterprise, or who are in a policy-making or executive capacity,
but also the institution, corporation or enterprise itself, by devising appropriate
measures that would prevent or sanction the furtherance of criminal activities”.
Perhatian masyarakat internasional terhadap kejahatan korporasi,
secara jelas nampak pula dari usaha dunia internasional untuk
menangkal perilaku negatif dari perusahaan-perusahaan
146
multinasional. Usaha tersebut merupakan hasil kerjasama
internasional dalam bentuk ‘Code of Conduct of Transnational
Corporations’ (UN, Ecosoc, 1979), yang antara lain mengatur : (1)
Aktivitas kerjasama transnasional; 2) Treatment kerjasama
transnasional; dan (3) Kerjasama antar pemerintah (Horn, 1980).
Dari uraian di atas semakin disadari bahwa persoalan kejahatan
korporasi tidak sekedar merupakan masalah hukum belaka (pidana,
perdata, administrasi), tetapi juga masalah etika berbangsa dan
bernegara dan hubungan antar bangsa. Secara ideal, di dalam
masyarakat modern, kegiatan bisnis yang diharapkan oleh
masyarakat seharusnya memenuhi harapan-harapan sebagai berikut:
1. Tempat yang baik bagi kegiatan investasi;
2. Tempat yang baik untuk bekerja;
3. Dukungan yang kuat bagi etika yang luhur;
4. Perusahaan yang baik untuk menjual;
5. Perusahaan yang baik untuk membeli;
6. Pembayar pajak yang baik dan pendukung pemerintah;
7. Tetangga yang baik di dalam masyarakat;
8. Penyumbang yang baik bagi kebutuhan-kebutuhasn sosial,
kepentingan publik dan kemajuan manusia. (Blomstrom, 1985).
147
dinamakan “keterbagian tanggungjawab” (shared responsibility) antara
pelaku dengan korban baik individual maupun kolektif. (Karmen,
1984, Separovic, 1985).
Pemahaman terhadap spektrum korban tindak pidana korporasi
dapat dikaji langsung dari pihak-pihak yang mempunyai tujuan dan
kepentingan yang berlawanan dengan kepentingan korporasi yang
bersifat menyimpang, yakni tujuan dan kepentingan organisasional
berupa prioritization of profit. Sebab dari kontradiksi kepentingan inilah
muncul jenis-jenis tindak pidana yang sangat kompleks (Box, 1983 ).
Pihak-pihak tersebut adalah :
1. Perusahaan saingan (competitors) sebagai akibat kejahatan dari
kejahatan spionase industri yang melanggar hak milik intelektual,
kompetisi yang tidak sehat, praktek-praktek monopoli. Tindakan
merugikan perusahaan lain tersebut akan menjadi semakin parah
dengan berkembangnya pemikiran untuk menerapkan strategi
perang dalam persaingan korporasi (corporate conflict) yang
berintikan ciri-ciri seperti, menyerang musuh (pesaing), unsur
kejutan, melakukan manuver, dan ciri-ciri lainya sebagai yang biasa
dijumpai dalam peperangan. (Ramsey, 1987 )
2. Negara (State) sebagai akibat kejahatan korporasi seperti informasi
palsu terhadap instansi pemerintah, korupsi, tindak pidana
ekonomi, tindak pidana subversi.
3. Karyawan (Employees), sebagai akibat kejahatan korporasi berupa
lingkungan kerja yang tidak sehat dan tidak aman, pengekangan
hak untuk membentuk organisasi buruh, tidak dipenuhinya upah
minimum, PHK yang melanggar hukum.
4. Konsumen (Consumers), sebagai akibat advertensi yang
menyesatkan menciptakan hasil produksi yang beracun dan
berbahaya.
5. Masyarakat (Public), sebagai akibat pencemaran dan perusakan
lingkungan hidup, penggelapan, dan penghindaran pajak.
Kerugian-kerugian dalam kaitannya dengan pencemaran dan
perusakan lingkungan hidup ini dapat bersifat penderitaan fisik
sampai kematian. Hal ini mengakibatkan terjadinya pergeseran
definisi “kejahatan ekonomi” atau “kejahatan kerah putih” dan
termasuk “kejahatan korporasi”. Unsur non violent menjadi sama
sekali kabur pengertiannya. Demikian pula dalam hal keamanan
dan kesehatan kerja ini semua dikenal dengan apa yang dinamakan
148
corporate violence yang oleh Clinard dan Yeager (1980) dirumuskan
sebagai: “behavior producing an unreasonable risk of physical harm to
consumers, employees, or other persons as a result of deliberate decision
making by corporate executives or culpable negligence on their part
149
(1) Tingkat kerugian yang diderita publik;
(2) Tingkat keterlibatan corporate managers;
(3) Lamanya masa pelanggaran;
(4) Frekuensi pelanggaran oleh korporasi;
(5) Bukti-bukti kesengajaan tindak pidana;
(6) Bukti telah terjadinya penyuapan;
(7) Reaksi negatif dari media massa;
(8) Preseden dalam hukum;
(9) Riwayat kejahatan serius yang dilakukan korporasi;
(10) Kemungkinan pengaruh pencegahan;
(11) Tingkat kerjasama yang ditunjukkan oleh korporasi (Clinard and
Yeager, 1980).
150
Penanggulangan Kejahatan Ekonomi
dan Kejahatan Profesi dalam Mengantisipasi
Era Globalisasi
151
Pendekatan lain yang bisa digunakan adalah pendekatan moral atau
politik (moral and political approach). Pendekatan ini lebih menitikberatkan
pada kepentingan kejahatan, yakni melanggar kepentingan negara atau
masyarakat secara umum, tidak hanya individu saja yang menjadi
korbannya. Di samping dua pendekatan di atas, ada pula yang memperluas
elemen kejahatan ekonomi dengan memasukkan kejahatan-kejahatan yang
dilakukan di dalam kehidupan bisnis terhadap perusahaan atau perorangan
yang lain, misalnya penipuan terhadap masyarakat dengan menggunakan
prospektus yang tidak sesuai dengan kenyataan.
Dengan demikian dalam merumuskan kejahatan ekonomi paling
tidak harus memperhatikan elemen-elemen sebagai berikut:
a. Kejahatan ekonomi dilakukan dalam rangka aktivitas ekonomi
yang pada dasarnya merupakan aktivitas bisnis normal dan sah;
b. Kejahatan ekonomi merupakan kejahatan yang melanggar
kepentingan negara dan masyarakat secara umum, tidak hanya
korban individual;
c. Termasuk pula dalam hal ini kejahatan di lingkungan bisnis
terhadap perusahaan lain atau terhadap perorangan.
152
Dalam hal yang kedua (struktur motivasi) terdapat kategori-
kategori sebagai berikut:
• Kajahatan atas dasar basis individual, misalnya penipuan kartu
kredit, pelanggaran pajak pendapatan;
• Kajahatan jabatan yang menghianati kepercayaan seperti,
pelanggaran perbankan, pemalsuan biaya perjalanan;
• Kejahatan insidental dalam bisnis, tetapi tidak berkaitan dengan
tujuan utama bisnis, misalnya korupsi, pencemaran lingkungan;
• Kejahatan ekonomi sebagai bisnis atau sebagai aktivitas sentral,
contohnya penipuan asuransi, penyelundupan.
153
beberapa kejahatan ekonomi telah dikategorikan sebagai “kejahatan
internasional”, seperti kejahatan lingkungan, pemalsuan dan penipuan,
penyuapan di luar negeri, sehingga tunduk pada “universal
jurisdiction”. Faktor-faktor kondusif yang menyebabkan terjadinya
kejahatan ekonomi karena ciri-ciri sebagai berikut: kompleks, difusi
tanggung jawab, difusi korban, sulit dideteksi, sanksi kurang berat
serta hukum dan status pelaku yang mendua.
154
Sebagaimana pelaku kejahatan ekonomi, penjahat profesional
melakukan perbuatannya atas dasar tujuan keuntungan — baik pribadi
maupun organisasi — atas dasar karakteristik individual yang
semuanya menciptakan subkultur immoral, tidak bertanggungjawab,
dan merasa bahwa segalanya bisa diselesaikan dengan uang (crimes
of the powerful). Kejahatan jenis ini muncul karena beberapa sebab,
seperti lemahnya “law enforcement’ akibat korbannya tidak peduli,
pidana yang ringan, ketiadaan stigma, reaksi sosial yang lemah, dan
lemahnya pengawasan.
155
kejahatan-kejahatan ekonomi yang lebih canggih. Mobilitas sosial
yang cepat menimbulkan masalah sistem pengamanan, kompleksitas
dalam pemasaran dan distribusi. Kemakmuran yang melimpah
membuat orang semakin ingin melindungi hartanya, karena kemajuan
teknologi juga berakibat munculnya kejahatan berbasis teknologi
tinggi, seperti cyber crimes, pemalsuan uang, pemalsuan kartu kredit
dan sebagainya, penyelundupan dan pencurian pasir laut dengan kapal
canggih, money laundering, dan pelbagai jenis kejahatan-kejahatan
canggih lainnya yang belum pernah ada presedennya. Belum lagi
pengaturan yang kompleks dan birokratis di banyak negara,
mengundang suap dan perbuatan menyimpang. Pelbagai kejahatan
canggih tersebut tidak mungkin terjadi tanpa bantuan dari mereka
yang memiliki profesionalisme yang tinggi.
Politik Kriminal
Apapun bentuknya, politik kriminal yang dapat dilakukan adalah
dengan menggunakan baik sarana penal maupun sarana non penal
(prevention without punishment). Sarana penal berarti penggunaan
sistem peradilan pidana, mulai dari kriminalisasi sampai dengan
pelaksanaan pidana. Sedangkan sarana non penal pada dasarnya
merupakan tindakan preventif, mulai dari pendidikan kode etik
sampai dengan pembaharuan hukum perdata dan hukum administrasi.
Klasifikasi pencegahan kejahatan biasanya dibedakan dalam
kategori berikut:
1. Primary prevention; suatu strategi yang dilakukan melalui kebijakan
publik, khususnya untuk mempengaruhi sebab dan akar
kejahatan, dengan target masyarakat umum.
2. Secondary prevention; targetnya adalah calon-calon pelaku.
3. Tertiary prevention; targetnya mereka yang telah melakukan
kejahatan.
156
Penerapan Tanggungjawab Korporasi
Dalam Hukum Pidana
157
keadaan yang hanya dimiliki oleh badan hukum atau korporasi
tersebut. Hal ini dimungkinkan atas dasar Pasal 91 KUHP Belanda
atau Pasal 103 KUHP Indonesia yang memungkinkan peraturan di
luar kodifikasi menyimpang dari Ketentuan Umum Buku I.
Pasal 15 ayat (1) Wet Economische Delicten (WED) 1950 Belanda
(kemudian ditiru Indonesia melalui UU No.7 Drt. Tahun 1955)
mengatur bahwa dalam tindak pidana ekonomi, korporasi dapat
melakukan tindak pidana dan dapat dipidana. Prof.BVA. Roling pada
tahun itu juga mendesak untuk memperluas sistem tersebut agar
berlaku untuk semua tindak pidana, sehubungan dengan fungsi sosial
korporasi dalam masyarakat (theorie van het functioneel daderschap).
RAV van Haersolte dalam bukunya “Personifikatie van Sociale
Systemen” (1971) menyatakan bahwa setelah beberapa individu hidup
bersama, bekerja bersama, dan berjuang bersama demi kepentingan
tertentu atau untuk memenuhi beberapa keinginan tertentu untuk
bertahan dalam penghidupan, dengan sendirinya lahir sistem kerjasama
dan sebagainya (misalnya keluarga, marga, suku, bangsa, dsb.) yang
dapat melaksanakan dengan bersama tindakan tertentu, dan juga dapat
dilakukan oleh individu sendirian dan kepadanya hukum
menghubungkannya dengan konsekuensi menurut peraturan-peraturan
hukum tertentu. Karena para individu bertindak bersama dalam
berbagai perikatan dan korporasi, mereka merasakan hubungan itu
sebagai suatu kesatuan khusus, dalam wujud personifikasi dari sistem
yang kemudian juga memasuki bidang hukum (van Bammelen, 1983).
Kelompok yang menentang (misal Remmelink) mengajukan
argumentasi yang melekat pada sifat dasar manusia alamiah, seperti
kesengajaan dan kealpaan, tingkah laku material, pidana dan tindakan.
Argumentasi yang lain adalah kemungkinan pemidanaan korporasi
dapat merugikan orang yang tidak bersalah dan kemungkinan
kesulitan menentukan batas antara pengurus dan korporasi.
Alasan-alasan lain berkaitan dengan pendapat bahwa teori hukum
pidana dibangun atas dasar manusia alamiah sebagai pembuat tindak
pidana hanya sebagian sistem pemidanaan yang dapat diterapkan,
terjadi pergeseran “tanggung akibat” orang ke korporasi, melanggar
asas ne bis in idem, dan membahayakan para pegawai korporasi. Baru
pada tahun 1976 melalui UU tanggal 23 Juni 1976, Stb.377 yang
disahkan tanggal 1 September 1976, muncul perumusan baru Pasal
51 Sr.Bld. yang berbunyi:
158
1. Tindak pidana dapat dilakukan oleh manusia alamiah dan badan
hukum;
2. Apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh badan hukum, dapat
dilakukan tuntutan pidana dan jika dianggap perlu dapat
dijatuhkan pidana dan tindakan-tindakan yang tercantum dalam
undang-undang terhadap: badan hukum atau terhadap yang
“memerintahkan” melakukan perbuatan itu; terhadap mereka yang
bertindak sebagai “pemimpin” melakukan tindakan yang dilarang
itu; atau terhadap “badan hukum” dan “yang memerintahkan
melakukan perbuatan” di atas bersama-sama.
3. Bagi pemakai ayat selebihnya disamakan dengan badan hukum:
perseroan tanpa badan hukum, perserikatan, dan yayasan.
159
tetapi yang dapat dipertanggungjawabkan hanya manusia alamiah.
Dan dalam tahap ketiga, baik manusia alamiah maupun korporasi
dapat melakukan tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan
serta dipidana. Hal yang terakhir nampak antara lain dalam UU No.
11 PNPS 1963, UU No. 7 Drt th. 1955, dan UU No. 31 th. 1999.
Sebenarnya (menurut penulis) terdapat perkembangan tahap ke
empat, seperti juga di Belanda, yaitu melembagakan perkembangan
yang ada di luar KUHP, dengan mengatur pertanggungjawaban
korporasi secara umum dalam Buku I KUHP, sehingga berlaku untuk
semua tindak pidana.
Pembicara korporasi sebagai subyek hukum (Normadressat) akan
menyentuh persoalan utama, yaitu kapan dan apa ukurannya untuk
dapat mempertanggungjawabkan korporasi dalam hukum pidana.
Sekalipun ada pendapat bahwa hal yang demikian harus dilihat secara
kasus per kasus, sesuai dengan sifat kekhasan delik tertentu (misalnya
delik fungsional yang lebih bersifat administratif dan delik non
fungsional yang lebih bersifat fisik), namun sebagai pedoman dapat
dikemukakan pelbagai pemikiran sebagai berikut:
1. Perbuatan dari perorangan dapat dibebankan pada badan hukum,
apabila perbuatan-perbuatan tersebut tercermin dalam lalu lintas
sosial sebagai perbuatan-perbuatan badan hukum.
2. Apabila sifat dan tujuan dari pengaturan telah menunjukkan
indikasi untuk perbuatan pidana, untuk pembuktian akhir pembuat
pidana, di samping apakah perbuatan tersebut sesuai dengan tujuan
statuta dari badan hukum dan atau sesuai dengan kebijaksanaan
perusahaan, maka yang terpenting adalah apabila tindakan
tersebut sesuai dengan ruang lingkup pekerjaan dari badan hukum.
3. Badan hukum dapat diperlakukan sebagai pelaku tindak pidana
bilamana perbuatan yang terlarang yang untuk
pertanggungjawabannya dibebankan atas badan hukum dilakukan
dalam rangka pelaksanaan tugas dan/atau pencapaian tujuan-
tujuan badan hukum tersebut.
4. Badan hukum baru dapat diberlakukan sebagai pelaku tindak
pidana apabila badan tersebut “berwenang untuk melakukannya
terlepas dari terjadi atau tidak terjadinya tindakan, dan di mana
tindakan dilakukan atau terjadi dalam operasi usaha pada
umumnya” dan “diterima atau biasanya diterima secara demikian”
oleh badan hukum (Ijzerdraad-arrest HR. 1954). Syarat kekuasaan
160
(machtsvereiste) mencakup: wewenang mengatur/menguasai dan/
atau memerintah pihak yang dalam kenyataan melakukan tindakan
terlarang tersebut; mampu melaksanakan kewenangannya dan pada
dasarnya mampu mengambil keputusan-keputusan tentang hal yang
bersangkutan; dan mampu mengupayakan kebijakan atau tindakan
pengamanan dalam rangka mencegah dilakukannya tindakan
terlarang; Selanjutnya syarat penerimaan (aanvaardingsvereiste), hal
ini terjadi apabila ada kaitan erat antara proses pengambilan atau
pembentukan keputusan di dalam badan hukum dengan tindakan
terlarang tersebut. Juga apabila ada kemampuan untuk mengawasi
secara cukup.
5. Kesengajaan badan hukum terjadi apabila kesengajaan itu pada
kenyataannya tercakup dalam politik perusahaan, atau berada
dalam kegiatan yang nyata dari perusahaan, atau berada dalam
kegiatan yang nyata dari perusahaan tertentu. Dalam kejadian-
kejadian lain penyelesaian harus dilakukan dengan konstruksi
pertanggungjawaban, kesengajaan dari perorangan (natuurlijk
persoon) yang berbuat atas nama korporasi sehingga dianggap juga
dapat menimbulkan kesengajaan badan hukum;
6. Kesengajaan suatu organ dari badan hukum dapat dipertanggung–
jawabkan secara hukum. Dalam hal-hal tertentu, kesengajaan dari
seorang bawahan, bahkan dari orang ketiga, dapat mengakibatkan
kesengajaan badan hukum;
7. Pertanggungjawaban juga bergantung dari organisasi internal
dalam korporasi dan cara bagaimana tanggungjawab dibagi;
demikian pula apabila berkaitan dengan kealpaan;
8. Pengetahuan bersama dari sebagian besar anggota direksi dapat
dianggap sebagai kesengajaan badan hukum; bahkan sampai pada
kesengajaan kemungkinan.
161
korporasi, tetapi bisa juga bersifat “non-vicarious liability” apabila
pelakunya adalah “directors and managers who represent the directing
mind and will of the company and control what it does”. Limitasi didasarkan
atas doktrin “ultra virez”, yakni apabila perbuatan dilakukan di luar
ruang lingkup kekuasaan korporasi.
Ada pula istilah “statutory liability of officers”, apabila tindak pidana
tersebut terjadi/dilakukan dengan persetujuan atau kerjasama atau
diakibatkan oleh keteledoran seorang manajer, direktur atau pejabat
lain yang sederajat, sehingga orang-orang tersebut dan korporasi
dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Termasuk di
sini “failure to supervise the subordinate appropriately and an omission to
discharge a specific duty of affirmative performance imposed on corporations
by law”.
Di dalam “Council of Europe Criminal Law Convention on Corrup-
tion (1999) ditegaskan bahwa:
“legal persons can be held liable for the criminal offence….committed for their
benefit by any natural person, acting either individually or as part of an organ
of the legal person, who has a leading position within the legal person, based
on: a power of representation; or an authority to take decisions on behalf of the
legal person; or an authority to exercise control within the legal person as well
as for involvement of such a natural person as accessory or instigator in the
above-mentioned offence”.
Dalam rangka langkah-langkah yuridis, sekalipun pada
umumnya pendayagunaan hukum perdata dan hukum administrasi
merupakan “primum remedium” dan hukum pidana sebagai “ultimum
remedium”, namun diharapkan dalam hal-hal tertentu penggunaan
hukum pidana dapat diutamakan dengan mempertimbangkan hal-
hal yang dikemukakan Clinard dan Yeager (1980) sebagai berikut:
1. the degree of loss to the public;
2. the level of complicity by high corporate managers;
3. the duration of the violation;
4. the frequency of the violation by the corporations;
5. Evidence of intent to violate;
6. Evidence of extortion, as in bribery cases;
7. the degree of notoriety engendered by the media;
8. Prcedent in law;
9. the history of serious violation by the corporation;
10. Deterrence potential;
11. the degree of cooperation evinced by the corporation”.
162
Sering dikatakan bahwa pidana pokok yang bisa dijatuhkan
kepada korporasi hanyalah pidana denda (fine), tetapi apabila
dijatuhkan sanksi berupa penutupan seluruh korporasi, maka pada
dasarnya merupakan “corporate death penalty”. Sedangkan sanksi
berupa segala bentuk pembatasan terhadap aktivitas korporasi, maka
sebenarnya mempunyai hakekat yang sama dengan pidana penjara
atau kurungan, sehingga ada istilah “corporate imprisonment”. Pidana
tambahan dalam hal ini tetap bisa dijatuhkan. Bahkan pidana tambahan
berupa pengumuman keputusan hakim, merupakan sanksi yang
sangat ditakuti oleh korporasi. (Brickey, 1995).
Prospek pengaturan pertanggungjawaban korporasi dalam
hukum pidana di Indonesia nampaknya cukup positif. Dalam RUU
KUHP th. 1999/2000 yang dipublikasikan oleh Departemen Kumdang,
pertanggungjawaban tersebut akan diintegrasikan dalam Buku I
KUHP (Ketentuan Umum) sebagaimana yang telah terjadi di Belanda
pada than 1976. Dalam Pasal 44 sampai dengan Pasal 49 berturut-
turut dirumuskan bahwa:
1. Korporasi dapat dipertanggungjawabkan dalam melakukan
tindak pidana (Pasal 44);
2. Jika tindak pidana dilakukan oleh atau untuk korporasi, penjatuhan
pidananya dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau
pengurusnya (Pasal 45);
3. Korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana
terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan atas nama
korporasi, apabila perbuatan tersebut tidak termasuk dalam
lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar
atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang
bersangkutan (Pasal 46);
4. Pertanggungjawaban pidana korporasi dibatasi sepanjang
pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur
organisasi korporasi (Pasal 47);
5. Dalam mempertimbangkan suatu tuntutan pidana, harus
dipertimbangkan apakah bagian hukum lain telah memberikan
perlindungan yang lebih berguna daripada menjatuhkan pidana
terhadap suatu korporasi (Pasal 48, ayat (1));
6. Pertimbangan sebagaimana dimaksud ayat (1) harus dinyatakan
dalam putusan hakim (Pasal 48 ayat (2));
7. Alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat diajukan oleh
163
pembuat yang bertindak untuk dan atau atas nama korporasi,
dapat diajukan oleh korporasi sepanjang alasan tersebut langsung
berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan pada korporasi
(Pasal 49).
(Dalam Pasal 161 ditegaskan bahwa “setiap orang adalah orang
perseorangan, termasuk korporasi”. Sedangkan dalam Pasal 162
disebutkan bahwa “korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari
orang dan atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun
bukan badan hukum”). n
164
Hakekat Terorisme dan
Prinsip Pengaturan dalam Kriminalisasi
Pendahuluan
Wacana dan praktek pengaturan untuk mencegah dan memerangi
terorisme baik secara internasional, regional maupun negara per
negara tidak hanya terjadi setelah peristiwa 11 September 2001 yang
meluluhlantakkan World Trade Centre. Jauh sebelum peristiwa itu, baik
masyarakat internasional maupun regional serta pelbagai negara telah
berusaha untuk melakukan kebijakan kriminal (criminal policy) disertai
kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif terhadap perbuatan
yang dikategorikan sebagai terorisme. Usaha untuk melakukan
kebijakan kriminal dan kriminalisasi secara sistematik dan
komprehensif tersebut didasari oleh kenyataan terjadinya proses
viktimisasi perbuatan terorisme, yang secara faktual dan potensial
sangat besar dan bahkan mengorbankan orang-orang yang tidak
bersalah, termasuk wanita dan anak-anak sebagai kelompok yang
paling rentan.
Persyaratan kriminalisasi yang lain sudah cukup memadai,
seperti; kedudukan hukum pidana sebagai “ultimum remedium” (ultima
ratio principle) terpenuhi mengingat alternatif usaha lain yang tidak
memadai; analisa biaya dan hasil yang didapat; dukungan publik
yang kuat baik nasional maupun internasional; prediksi penegakan
hukum yang memadai (enforceability) mengingat jaringan kerjasama
internasional dan sifat terorisame yang dapat dikategorikan
mengandung bahaya terhadap demokrasi, supremasi hukum, HAM
dan stabilitas. (Kofi Anan, 2001). Dalam ‘SAARC Regional Convention
on Suppression of Terrorism’ (1988), terorisme bahkan dikategorikan
sebagai perbuatan yang dapat menimbulkan dampak yang merugikan
165
terhadap perdamaian, kerjasama, persahabatan, hubungan baik
bertetangga, dan dapat mencederai kedaulatan dan integritas suatu
negara.
Yang patut menjadi pertimbangan kriminalisasi yang lain adalah
pertimbangan yang ditegaskan dalam ‘Convention of the Organisation
of the Islamic Conference on Combating International Terrorism ‘(1999)
yang menyatakan “Recoqnizing the growing links between terrorism and
organized crime, including illicit trafficking in arms, narcotics, human beings
and money laundering”. Dari sisi kebijakan kriminal, dengan mengingat
kompleksitas dan hakekat terorisme yang bersifat multidimensional,
maka istilah ‘memerangi terorisme’, ‘membasmi terorisme’ dan
‘eliminasi terorisme’ yang bersifat represif harus disertai dengan
langkah-langkah pencegahan yang memadai seperti pengamanan
wilayah teritorial dari pemanfaatan praktek terorisme, kerjasama
antar negara, menyempurnakan sistem deteksi terhadap sarana
terorisme, memperkuat sistem dan prosedur pengawasan,
memperkuat mekanisme pengamanan orang-orang penting dan
instalasi vital, peningkatan perlindungan diplomat dan konsul atau
misi internasional yang lain, peningkatan sistem koordinasi dan
pengamanan serta informasi, dan sebagainya. Langkah-langkah
preventif atas dasar kenyataan sosial di bawah ini juga perlu
diperhatikan.
Sebagai ilustrasi dapat digambarkan hubungan antara hak asasi
manusia, kewajiban asasi manusia (human responsibility) dan keamanan
asasi manusia (human security). Dikatakan bahwa penghormatan
terhadap HAM dan kebebasan dasar serta martabat manusia
merupakan landasan terciptanya kemerdekaan, keadilan dan
perdamaian di dunia. Namun demikian HAM dan kebebasan dasar
yang bersifat relatif (derogable), dapat dibatasi dengan undang-undang
demi penghormatan HAM orang lain, ketertiban umum, keamanan
nasional dan kesejahteraan umum di dalam masyarakat demokratis.
Namun demikian realisasi penuh dan keseimbangan antara HAM
dan kewajiban asasi memerlukan prakondisi yang disebut keamanan
asasi manusia, yang harus dipertimbangkan sebagai “sasaran antara”.
Keamanan asasi merupakan segala usaha dan langkah-langkah yang
sistematik dan sungguh-sungguh untuk mengeliminasi pelanggaran
HAM yang secara nyata masih banyak terjadi, baik yang bersifat
individual maupun kolektif, dan bahkan dapat saja pelanggaran itu
166
dilakukan oleh suatu bangsa atau negara terhadap bangsa yang lain.
Diskriminasi, rasialisme, kolonialisme, dominasi dan pendudukan
asing, agresi, campur tangan asing, ancaman terhadap kedaulatan,
kesatuan, dan integritas nasional, ancaman perang dan penolakan
terhadap hak untuk menentukan nasib sendiri akan menyebabkan
tidak hanya tragedi perorangan, tetapi juga dapat memicu keresahan
sosial dan politik, kekerasan serta konflik di dalam dan antar
masyarakat dan bangsa. Apabila hal-hal semacam ini masih terjadi,
maka dalam pengertian keadilan yang bersifat universal, dalam hal-
hal tertentu dapat dipahami bahwa pengertian teroris dan terorisme
tetap merupakan pengertian yang subyektif dan relatif.
Pemikiran seperti di atas tidak jarang menumbuhkan sikap
ambivalen dan standar ganda. Bagi suatu negara yang berdaulat,
apakah pemerintahan bersifat fasis atau demokratis, akan memandang
kombatan melawan pemerintah cenderung sebagai teroris (crime
against government). Sebaliknya, dari sudut pandangan kombatan yang
menentang pemerintah yang rasial, tindakan represif dari penguasa
akan dilihat sebagai kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah (crime
by government or state crime or state-organized crime). Penting untuk
diperhatikan bahwa pada tahun 1973 Majelis Umum PBB menyetujui
suatu asas yang melindungi HAM para “pejuang kebebasan” yang
menjadi kombatan terhadap pemerintahan kolonial dan rezim yang
fasis. Kombatan yang tertangkap harus diberi status sebagai tawanan
perang atas dasar Konvensi Jenewa Ketiga (1949). Dalam hal ini, maka
tidak heran bahwa seseorang, bagi suatu negara tertentu disebut
teroris tetapi bagi negara lain ia dianggap sebagai pahlawan. Suicide
bomber Palestina bagi Israel adalah teroris, tetapi bagi orang Palestina
mereka adalah pahlawan.
Beberapa waktu yang lalu, Presiden Libanon Emile Lahoud
menolak keras daftar yang dipublikasikan Washington yang
memasukkan Hezbollah sebagai kelompok teroris dan aset globalnya
harus dibekukan di AS. Hezbollah dan yang lain dianggap sangat
berjasa membebaskan wilayah Libanon yang diduduki Israel.
(Lembah Bekka, Arab News, 18 November 2001).
Fenomena berupa kasus-kasus terorisme yang terjadi di dunia
membenarkan pendapat bahwa terorisme tidak identik dengan
aktivitas agama tertentu (Islam). Di samping kelompok-kelompok
yang dikategorikan sebagai teroris yang berbau agama, maka terdapat
167
pula kelompok teroris yang bersifat ‘non agama’ seperti “African
National Congress” (Afrika Selatan) yang semula berjuang di dalam
sistem untuk memperjuangkan hak-hak kulit hitam, tetapi akhirnya
menempuh jalan teror; “Armed Forces for National Liberation “
(FALN:US) yang memperjuangkan lepasnya Puerto Rico dari US
dominion; “Armed Revulutionary Forces of Columbia” (FARC:Columbia)
yang merupakan sayap militer partai komunis; “Armed Revolutionary
Nuclear” (NAR: Italy) yang berjuang untuk mengembalikan fasisme
di Itali; “Basque Fatherland and Liberty” (ETA) gerilya marxist untuk
memerdekakan Basque dari Spanyol; IRA (Irish Republican Army) yang
merupakan refleksi konflik berdarah antara Katolik dan Protestan;
“Japanese Red Army” (JRA) yang merupakan kelompok teroris
internasional yang memperjuangkan revolusi dunia dan meruntuhkan
monarki Jepang.
Dari pelbagai instrumen yang berkaitan dengan pencegahan dan
perang terhadap terorisme, terbukti bahwa dunia Islam juga sangat
konsisten mengutuk terorisme. The Arab Convention on the Suppression
of Terrorism (Cairo, 1998) dan Convention of the Organisation of the Islamic
Conference on Combating International Terrorism (Ougadougou, 1999),
merupakan dua peristiwa penting untuk membuktikan kepedulian
dunia Islam – wilayah yang kerap mendapat stigma sebagai “sarang”
atau sekurangnya acuh dalam masalah terorisme — terhadap masalah
terorisme.
Dalam perkembangannya, terorisme memang dikategorikan
sebagai pelanggaran HAM yang berat, sehingga dikategorikan juga
sebagai kejahatan internasional dan bahkan transnasional. Dalam
diskusi-diskusi pembentukan “the International Criminal Court” (ICC,
Statuta Roma 1998), setelah tujuh tahun berlaku efektif, dalam ‘Review
Conference’, banyak negara yang mengusulkan agar kejahatan
terorisme dimasukkan sebagai salah satu yurisdiksi materi ICC, di
samping kejahatan perang, genosida, kejahatan terhadap
kemanusiaan, dan agresi. Terorisme merupakan kejahatan
internasional di antara 22 kejahatan yang masuk kategori tersebut
karena dinilai dapat mengancam perdamaian dan keamanan dunia,
menggoncangkan hati nurani manusia, mempengaruhi lebih dari suatu
negara atau warga negara lebih dari satu negara, alat dan caranya
melalui batas negara, dan memerlukan kerjasama antar negara untuk
mengatasinya (Bassiouni, 1985).
168
Dalam Konvensi Palermo, 2000, tentang “kejahatan transnasional
yang terorganisasi” dinyatakan, bahwa suatu kejahatan dapat disebut
bersifat transnasional apabila memiliki karakteristik; (1) dilakukan
di lebih dari satu negara; (2) dilakukan di satu negara tetapi persiapan,
perencanaan dan pengendaliannya mengambil tempat di negara lain;
(3) dilakukan di satu negara tetapi melibatkan suatu kelompok
kejahatan terorganisasi yang memiliki jaringan kegiatan di banyak
negara, atau; (4) dilakukan di satu negara tetapi secara substansial
efeknya mengimbas sampai ke negara lain.
Di samping terorisme yang bersifat internasional dan
transnasional, terdapat pula terorisme yang bersifat nasional atau
domestik, termasuk di dalamnya apa yang dinamakan “single issue
terrorist”, yang menunjuk pada kelompok yang menggunakan taktik
ekstrimis untuk mendukung satu isu tertentu. Contohnya adalah “the
unabomber” di Amerika Serikat (1995), yang menempatkan Universitas
dan Airlines sebagai target sasaran dengan motif ketidaksenangan
terhadap teknologi. Di samping itu, ada pula yang dinamakan “hate
crime”, yaitu serangan terhadap sasaran berupa orang atau
kekayaannya atas dasar ras korban, warna kulit, agama, asal usul
nasional, etnik, jenis kelamin atau orientasi seksual, seperti “skinheads”
dan Neo Nazi.
169
sebagian besar buta huruf dan apatis, seruan atau perjuangan melalui
huruf-huruf tertulis dampaknya sangat kecil, sehingga lebih efektif
menerapkan “filsafat bom”, yakni bersifat eksplosif dan sangat sulit
untuk mengabaikannya.
Seorang Brazilia, Carlos Marighela, menulis buku tentang teori
modern tentang teror yang berjudul “Minimanual of the Urban Guerilla”
yang kemudian dijadikan buku pegangan gerakan teror di seluruh
dunia. Dia mengatakan bahwa untuk memberikan informasi tentang
aksi-aksi revolusioner cukup dengan menjadikan media massa
modern sebagai sarana penting untuk propaganda. Bahwa perang
psikologis, lanjut Carlos, merupakan suatu teknik untuk berjuang atas
dasar penggunaan langsung atau tidak langsung media massa.
Bentuk ketiga (terorisme media) ini berkembang melalui tiga
sumber; pertama, kecenderungan sejarah yang semakin menentang
kolonialisme dan tumbuhnya gerakan-gerakan demokrasi serta
HAM; kedua, pergeseran ideologis yang mencakup kebangkitan
fundamentalisme agama, radikalisasi setelah era perang Vietnam dan
munculnya ide perang gerilya kota; dan ketiga, kemajuan teknologi
seperti satelit, peningkatan lalu lintas udara dan penemuan senjata-
senjata canggih.
Mengenai tipologi terorisme, terdapat sejumlah versi penjelasan,
diantaranya tipologi yang dirumuskan oleh “National Advisory
Committee” dalam The Report of the Task Force on Disorders and Terrrorism
(1996), yang mengemukakan sebagai berikut:
1. Terorisme politik; mencakup perilaku kriminal yang dilakukan
dengan kekerasan yang didisain terutama untuk menimbulkan
ketakutan di lingkungan masyarakat dengan tujuan politis.
2. Terorisme non politik; dilakukan untuk tujuan-tujuan keuntungan
pribadi, termasuk aktivitas kejahatan terorganisasi.
3. Quasi terorisme; menggambarkan aktivitas yang bersifat
insidental untuk melakukan kejahatan kekerasan yang bentuk dan
caranya menyerupai terorisme, tetapi tidak mempunyai unsur
esensialnya. Dalam kasus pembajakan udara atau penyanderaan
misalnya, para pelaku lebih tertarik kepada uang tebusan daripada
motivasi ideologis.
4. Terorisme politik terbatas; menunjuk kepada perbuatan terorisme
yang dilakukan untuk tujuan atau motif politik, tetapi tidak
merupakan bagian dari suatu kampanye bersama untuk
170
menguasai pengendalian negara. Contohnya adalah perbuatan
teroris yang bersifat pembunuhan balas dendam (vendetta-type
executions).
5. Terorisme pejabat atau negara (official or state terrorism); terjadi di
suatu bangsa yang tatanannya didasarkan atas penindasan.
171
1. US Central Intelligence Agency (CIA).
Terorisme internasional adalah terorisme yang dilakukan dengan
dukungan pemerintah atau organisasi asing dan/atau diarahkan
untuk melawan negara, lembaga, atau pemerintahan asing
2. US Federal Bureau of Investigation (FBI).
Terorisme adalah penggunaan kekuasaan tidak sah atau kekerasan
atas seseorang atau harta untuk mengintimidasi sebuah
pemerintahan, penduduk sipil dan elemen-elemennya untuk
mencapai tujuan-tujuan sosial atau politik.
3. US Departments of State and Defense.
Terorisme adalah kekerasan yang bermotif politik dan dilakukan
oleh agen negara atau kelompok subnasional terhadap sasaran
kelompok non kombatan. Biasanya dengan maksud untuk
mempengaruhi audien. Terorisme internasional adalah terorisme
yang melibatkan warga negara atau wilayah lebih dari satu negara.
4. Black’s Law Dictionary.
Tindakan terorisme adalah kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan
atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang
melanggar hukum pidana Amerika, atau negara bagian Amerika,
dan jelas dimaksudkan untuk; (i) mengintimidasi penduduk sipil; (ii)
mempengaruhi kebijakan pemerintah; (iii) mempengaruhi
penyelenggaraan negara dengan cara penculikan dan pembunuhan.
5. States of the South Asian Association for Regional Cooperation (SAARC)
Regional Convention on Suppression of Terrorism.
a. Kejahatan dalam lingkup “Konvensi untuk Pembasmian
Perampasan Tidak Sah atas Keselamatan Penerbangan Sipil”,
ditandatangani di Hague pada 16 Dsember 1970;
b. Kejahatan dalam lingkup “Konvensi untuk Pembasmian
Perampasan Tidak Sah atas Penerbangan Sipil”,
ditandatangani di Montreal pada tanggal 23 September 1971;
c. Kejahatan dalam lingkup ”Konvensi tentang Pencegahan dan
Hukuman atas Tindak Pidana Terhadap Orang-orang yang
Secara Internasional Dilindungi, termasuk Agen-agen
Diplomatik”, ditandatangani di Newyork, 14 Desember 1973;
d. Kejahatan dalam lingkup konvensi apapun dimana negara-
negara anggota SAARC adalah pihak-pihak yang
mengharuskan angota-anggotanya untuk menuntut atau
melakukan ekstradisi;
172
e. Pembunuhan, pembantaian, serangan yang mencelakakan badan,
penculikan, kejahatan yang berhubungan dengan senjata api,
senjata, bahan peledak dan bahan-bahan lain yang jika digunakan
untuk melakukan kejahatan dapat berakibat kematian atau luka
yang serius atau kerusakan berat pada harta milik;
f. Usaha untuk melakukan kejahatan, atau turut sebagai kaki
tangan seseorang yang melakukan atau berusaha melakukan
kejahatan tersebut;
g. Usaha atau konspirasi untuk melakukan kejahatan (yang
dijabarkan pada bagian (f) membantu, memudahkan atau
menganjurkan kejahatan tersebut atau berpartisipasi sebagai
kaki tangan dalam kejahatan yang digambarkan.
173
d. Konvensi tentang Pencegahan dan Hukuman Tindak Kejahatan
terhadap Orang-Orang yang Dilindungi Secara Internasional,
termasuk Agen-Agen Diplomatik, pada 14 Desember 1973;
e. Konvensi Internasional terhadap Penyanderaan, pada
Desember 1979;
f. Ketetapan-Ketetapan Konvensi PBB tentang Hukum Laut,
tahun 1982, yang berhubungan dengan pembajakan di atas laut;
g. Serangan atas Raja, Kepala Negara atau Penguasa Negara-
negara yang Menjalin Kontrak atau atas Pasangan dan
Keluarganya;
h. Serangan atas Pangeran, Wakil Presiden, Perdana Menteri di
Negara yang Menjalin Kontrak;
i. Serangan atas orang-orang yang memiliki kekebalan
diplomatik, termasuk duta besar dan diplomat yang bertugas
di negara-negara yang menjalin kontrak;
j. Pembunuhan atau pencurian yang direncanakan yang diikuti
dengan penggunaan kekerasan yang ditujukan kepada
individu, otoritas atau alat-alat transportasi dan komunikasi;
k. Tindakan sabotase dan perusakan harta publik dan harta yang
diperuntukan bagi pelayanan publik, bahkan jika dimiliki oleh
negara yang menjalin kontrak;
l. Pembuatan, penjualan ilegal atau kepemilikan senjata, amunisi
atau bahan peledak, atau bahan-bahan lain yang bisa digunakan
untuk melakukan tindak kejahatan teroris.
174
d. mengancam kehidupan negarawan atau tokoh masyarakat
dengan tujuan mengakhiri aktivitas publik atau negaranya
atau sebagai pembalasan terhadap aktivitas tersebut;
e. menyerang perwakilan Negara asing atau staf anggota
organisasi internasional yang dilindungi secara internasional,
begitu juga tempat-tempat bisnis atau kendaraan orang-orang
yang dilindungi secara internasional;
f. tindakan lain yang dikategorikan sebagai teroris di bawah
perundang-undangan nasional atau instrumen legal yang
diakui secara internasional yang bertujuan memerangi
terorisme
(Catatan: (1) Dalam rangka ekstradisi, negara-negara pihak tidak
akan memperlakukan perbuatan tersebut, selain sebagai kriminal;
(2) Muncul istilah baru yaitu “technological terrorism” yakni
penggunaan atau ancaman penggunaan senjata nuklir, radiologi,
bahan kimia atau bakteri dalam rangka perbuatan terorisme)
175
undang negara yang bersangkutan atau yang belum diratifikasi :
a. Konvensi tentang Kejahatan dan Tindakan lain yang Dilakukan
di Kabin Pesawat Terbang (Tokyo, 14.9.1963);
b. Konvensi tentang Pembasmian Perampasan Pesawat Terbang
Yang Menyalahi Hukum (The Hague, 16.12.1970);
c. Konvensi tentang Pembasmian Tindakan Menyalahi Hukum
Terhadap Keselamatan Penerbangan Sipil yang ditandatangani
di Montreal pada 23.9.1971 dan Protokolnya (Montreal
10.12.1984);
d. Konvensi tentang Pencegahan dan Hukuman Tindak
Kejahatan Terhadap Orang-Orang Yang Memiliki Imunitas
Internasional, Termasuk Agen-Agen Diplomatik (New York,
14.12. 1973);
e. Konvensi Internasioanal Terhadap Penyanderaan (New York,
1979);
f. Hukum Konvensi Laut PBB tahun 1988 dan pasal-pasalnya
yang berkaitan dengan pembajakan di laut.;
g. Konvensi tentang Perlindungan Fisik Bahan Nuklir (Vienna,
1979);
h. Protokol Pembasmian Tindak Kekerasan Menyalahi Hukum
di Bandara Yang Melayani Penerbangan Sipil Internasional
Suplemen bagi Konvensi untuk Pembasmian Tindakan
Menyalahi Hukum Terhadap Keselamatan Penerbangan Sipil
(Montreal 1988);
i. Protokol untuk Pembasmian Tindakan Menyalahi Hukum
Terhadap Keselamatan Platform Tetap tentang Dasar
Kontinental (Roma, 1988);
j. Konvensi untuk Pembasmian Tindakan Menyalahi Hukum
Terhadap Keselamatan Navigasi Maritim (Roma, 1987);
k. Konvensi Internasional untuk Pembasmian Pemboman Teroris
(New York, 1997);
l. Konvensi tentang Plastic Exsplosive untuk Tujuan Deteksi
(Montreal, 1991);
m. Agresi terhadap para raja dan kepala negara negara-negara
yang menandatangani kontrak atau terhadap pasangan,
tanggungan atau keturunan mereka;
n. Agresi terhadap pangeran atau wakil presiden atau wakil
kepala pemerintahan atau para menteri di negara-negara yang
menandatangani kontrak;
176
o. Agresi terhadap orang-orang yang memiliki imunitas
internasional termasuk para duta besar dan diplomat di
negara-negara yang Menandatangani Kontrak atau di negara-
negara yang diakui;
p. Pembunuhan atau perampokan dengan kekerasan terhadap
individu atau otoritas atau alat-alat transport dan komunikasi;
q. Tindakan sabotase dan perusakan harta publik dan harta yang
diperuntukkan bagi pelayanan publik, bahkan meskipun milik
negara-negara yang menandatangani kontrak.;
r. Tindak kejahatan pembuatan, penyelundupan atau pemilikan
senjata dan amunisi atau bahan-bahan peledak atau benda-
benda lain yang disiapkan untuk tindak kejahatan teroris;
s. Semua bentuk kejahatan internasional, termasuk perdagangan
ilegal narkotika dan manusia serta pencucian uang yang
bertujuan membiayai tujuan-tujuan teroris harus dianggap
sebagai tindak kejahatan teroris.
(Catatan: (1) Perjuangan bersenjata melawan pendudukan, agresi,
kolonialisme dan hegemoni asing dengan tujuan kemerdekaan
dan menentukan nasib sendiri sesuai dengan prinsip hukum
internasional tidak dianggap sebagai kejahatan terorisme; (2)
Pelbagai tindak pidana terorisme di atas tidak dapat
dikategorikan sebagai kejahatan politik; (3) Tindak pidana butir
xiii-xviii tidak dapat dianggap sebagai kejahatan politik sekalipun
bermotif politik; (4) Dalam definisi terorisme motif politik).
178
11. European Convention on the Suppression of Terrorism (1977)
a. Kejahatan dalam lingkup Konvensi untuk Pembasmian
Perampasan Tidak Sah atas Pesawat Terbang, ditandatangani
di Hague pada Desember 1970;
b. Kejahatan dalam lingkup Konvensi untuk Pembasmian
Tindakan Tidak Sah atas Keselamatan Penerbangan Sipil,
ditandatangani di Montreal pada 23 September 1971;
c. Kejahatan berat yang melibatkan serangan atas integritas fisik
dan kehidupan atau kebebasan orang-orang yang dilindungi
secara internasional, termasuk agen-agen diplomatik;
d. Kejahatan yang melibatkan penculikan, penyanderaan atau
penahanan berat yang tidak sah;
e. Kejahatan yang melibatkan penggunaan bom, granat, roket,
senjata otomatis atau surat atau paket bom jika
penggunaannya membahayakan orang lain;
f. Usaha untuk melakukan kejahatan atau berpartisipasi sebagai
kaki tangan seseorang yang melakukan atau berusaha
melakukan kejahatan tersebut;
g. Kejahatan serius yang melibatkan tindak kekerasan, selain
dari yang tercakup dalam Artikel 1 (a-f), atas integritas fisik
dan kehidupan atau kebebasan seseorang;
h. Kejahatan serius yang melibatkan tindakan atas harta, selain
dari yang tercakup dalam Artikel 1 (a-f), jika tindakan
menimbulkan bahaya kolektif bagi orang lain;
i. Usaha untuk melakukan kejahatan yang tersebut sebelumnya
atau berpartisipasi sebagai kaki tangan seseorang yang
melakukan kejahatan tersebut.
Catatan: (1) Terhadap pelbagai tindak pidana terorisme tersebut
ditegaskan bahwa untuk tujuan ekstradisi pelbagai tindak pidana
tersebut tidak boleh dianggap sebagai tindak pidana politik atau
sebagai suatu tindak pidana yang berkaitan dengan suatu tindak
pidana politik atau sebagai suatu tindak pidana yang diilhami oleh
motif politik. Dengan demikian menurut penulis tidak dapat
dikategorikan sebagai “non-extraditable crimes”; (2) Bentuk tindak
pidana terorisme antara lain selalu dikaitkan dengan salah satu atau
beberapa Konvensi internasional (international treaties) dari kurang
lebih 12 konvensi internasional tentang terorisme yang sudah ada
(mestinya yang sudah diratifikasi oleh negara yang bersangkutan).
179
Menurut penulis, UU No. 2 Th. 1976 yang telah meratifikasi 3
Konvensi internasional tentang kejahatan penerbangan (Den Haag,
Montreal dan Tokyo) yang kemudian disusul dengan keluarnya UU
No. 4 Th 1976 berupa penambahan Bab XXIXA KUHP tentang
Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana Penerbangan
dapat dijadikan contoh untuk dikategorikan sebagai tindak pidana
terorisme; (3) Percobaan disamakan dengan delik selesai dan
pembantuan disamakan kualifikasinya dengan si pelaku.
180
ini lebih luas daripada ketentuan tentang perlindungan bagi
penyelidik dan penyidik.
(f) Perlu diatur ketentuan bahwa perjuangan bersenjata (freedom
fighters) melawan kolonialisme, pendudukan, dominasi dan agresi
asing tidak merupakan tindak pidana terorisme; ini penting
nantinya dalam hubungan dengan ekstradisi dan kemungkinan
dimasukkannya kejahatan terorisme sebagai kejahatan
internasional (asas universalitas);
(g) Kepentingan hukum yang dibahayakan oleh terorisme jangan hanya
dibatasi terhadap nyawa, harta benda, kebebasan pribadi dan rasa
takut masyarakat. Sesuai dengan perkembangan internasional perlu
dipertimbangkan perlindungan terhadap: integritas nasional dan
kedaulatan, fasilitas internasional, diplomat asing, kepala negara dan
wakil kepala negara, instalasi publik, lingkungan hidup, sumber daya
alam nasional dan transportasi serta komunikasi.
(h) Sesuai dengan prinsip-prinsip HAM, maka dalam merumuskan
tindak pidana harus memegang teguh asas legalitas dan asas
‘lex certa’ (perumusan hukum harus jelas dan tajam serta dapat
dipercaya); Penyimpangan terhadap hukum acara yang berlaku
sejauh mungkin dihindari.
(i) Di samping langkah-langkah represif, perlu diatur tentang
langkah-langkah preventif (counter-terrorism measures) yang
komprehensif, seperti pencegahan infiltrasi elemen teroris dari
negara lain, kerjasama dan koordinasi dengan negara-negara
sahabat, pengembangan sistem seleksi dan manajemen senjata
api dan bahan peledak, pengawasan perbatasan dan tempat
masuk orang asing, pengembangan sistem pengawasan,
peningkatan pengamanan instalasi vital, perlindungan orang-
orang penting dan diplomat, penyempurnaan organisasi
intelijen, penciptaan ‘database’ dari elemen dan jaringan teroris.
(j) Menegaskan perlunya keterlibatan perguruan tinggi untuk
mengkaji masalah-masalah terorisme (semacam ‘the Terrorism
Research Center’);
(k) Pengaturan tentang keterlibatan dalam organisasi terlarang yang
terlibat terorisme perlu dijajagi (seperti di Inggris). n
181
Aspek Internasional
dari Kebijakan Kriminal Non Penal
182
(semacam National Crime Prevention Councils) yang beranggotakan luas,
baik yang berasal dari badan publik atau privat. Sedangkan di negara
lain pencegahan kejahtan merupakan tanggungjawab departemen atau
lembaga tertentu, seperti kepolisian atau kejaksaan.
Dalam perkembangannya, kebijakan kriminal berkembang ke
arah tindakan-tindakan proaktif yang ternyata, selain terbukti lebih
murah (dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan polisi, pengadilan
dan penjara), juga menjanjikan hasil yang lebih baik dalam memerangi
kejahatan. Tanggungjawab pencegahan kejahatan diperluas mencakup
lembaga-lembaga dan individu di luar sistem peradilan pidana.
Kejahatan dianggap permasalahan masyarakat (common public concern)
dan pencegahannya tidak lagi dianggap wilayah eksklusif dari
spesialis, sekalipun hubungan antara pencegahan kejahatan dan
peradilan pidana cukup erat.
Di beberapa negara Eropa Timur, pencegahan kejahatan terkait
satu sama lain. Pengadilan tidak hanya berfungsi yudikatif tetapi
juga mengidentifikasi dan memutuskan penyebab terjadinya
kejahatan. Dalam kasus pencurian di tempat kerja misalnya, pimpinan
instansi dapat diperintahkan untuk mencegah terjadinya pengulangan
kejahatan. Apabila tidak diindahkan maka yang bersangkutan dapat
dijatuhi sanksi. Contoh lain keterlibatan masyarakat adalah
keberadaan semacam informal tribunal yang dapat menyelesaikan
kasus-kasus di sekolah, tempat kerja atau di lingkungan tetangga.
Kasus-kasus seperti ini cenderung diselesaikan oleh anggota
masyarakat biasa, sehingga ada kaitan antara sistem pencegahan
kejahatan yang formal dengan kontrol sosial masyarakat.
Pencegahan kejahatan pada dasarnya merupakan tujuan utama
dari kebijakan kriminal. Sekalipun demikian harus diakui bahwa
konsep dan definisinya masih terlalu lemah, sehingga orang
cenderung untuk membicarakan pencegahan kajahatan dalam
kerangka pendekatan dan model. Secara tradisional, tujuan sistem
peradilan pidana bersifat represif dan berkaiatan erat dengan
pencegahan kejahatan setelah suatu kejahatan telah terjadi. Konsep
pencegahan kejahatan sendiri memfokuskan diri pada campur tangan
sosial, ekonomi dan pelbagai area kebijakan publik dengan maksud
mencegah kejahatan sebelum kejahatan dilakukan. Dengan demikian
pencegahan kejahatan pada dasarnya adalah segala tindakan yang
tujuan khususnya adalah untuk membatasi meluasnya kekerasan dan
183
kejahatan, apakah melalui pengurangan kesempatan untuk melakukan
kejahatan atau dengan cara mempengaruhi pelaku potensial dan
masyarakat umum. Umumnya strategi preventif terdiri atas tiga
kategori yang mendasarkan diri pada “public health model” yakni; (a)
pencegahan kejahatan primer (primary prevention); (b) pencegahaan
sekunder (secondary prevention); dan (c) dan pencegahan tersier (tertiary
prevention) .
Pencegahan primer adalah strategi yang dilakukan melalui
kebijakan sosial, ekonomi dan kebijakan sosial yang lain yang
diorientasikan untuk mempengaruhi situasi kriminogenik dan akar
kejahatan (pre-offence intervention), seperti kebijakan di bidang
pendidikan, perumahan, lapangan kerja, rekreasi, dan sebagainya.
Sasaran utama dari model kebijakan ini adalah masyarakat luas.
Pencegahan sekunder dapat ditemukan di dalam sistem peradilan
pidana dan penerapannya bersifat praktis, seperti yang biasa dapat
disaksikan pada peranan polisi dalam pencegahan kejahatan. Sasarannya
ditujukan kepada mereka yang dianggap cenderung melanggar.
Sedangkan pencegahan tersier terutama diarahkan pada residivisme
(oleh polisi atau lembaga-lembaga lain sistem peradilan pidana) dan
sasaran utamanya adalah mereka yang telah melakukan kejahatan.
Di lain pihak dibedakan pula antara “pencegahan sosial” (social
crime prevention) yang diarahkan pada akar kejahatan, “pencegahan
situasional” (situational crime prevention), yang diarahkan pada
pengurangan kesempatan untuk melakukan kejahatan, dan
“pencegahan masyarakat” (community based prevention ), yakni
tindakan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam
mengurangi kejahatan dengan cara meningkatkan kemampuan
mereka untuk menggunakan kontrol sosial. Pelbagai pendekatan
tersebut bukan merupakan pemisahan yang tegas, namun saling
mengisi dan berkaitan satu sama lain.
Terdapat kecenderungan untuk meningkatkan keseimbangan
antara pencegahan kejahatan yang berorientasi pada pelaku (offender-
centered crime prevention) dan yang berorientasi pada korban (victim
centered crime prevention) .
Internasionalisasi Kejahatan
Saat ini sulit sekali untuk membedakan antara kejahatan yang terjadi
di negara-negara maju dan kejahatan yang terjadi di negara-negara
184
berkembang. Aspek-aspek kultural, politik dan sosial yang pada masa
lalu biasa dijadikan faktor pembeda, kini hampir tidak mungkin
dilakukan. Dalam era globalisasi hubungan antara bangsa menjadi sangat
mudah sebagai akibat dari kemajuan teknologi di bidang transportasi,
komunikasi dan jaringan komputer, dan hal ini sangat mempengaruhi
gejala internasionalisasi kejahatan. Munculnya istilah “shared
characteristics” adalah menggambarkan meningkatnya kejahatan-
kejahatan kekerasan dan pembunuhan yang merata di kota-kota besar
di dunia. Contoh yang paling nyata dan sekaligus amat merisaukan adalah
kejahatan obat bius. Dengan demikian nampak bahwa mobilitas besar-
besaran individu dari negara-negara berkembang ke negara-negara maju
atau sebaliknya merupakan faktor kriminogin, yang pada
perkembangannya memunculkan gejala baru berupa bentuk-bentuk
kejahatan terorganisasi. Dari pelbagai pertemuan internasional dapat
dirasakan keprihatinan pelbagai negara di dunia akibat eskalasi
peningkatan kuantitas dan kualitas kejahatan ke arah bentuk-bentuk
“organisasi kejahatan transnasional” yang melampaui batas-batas negara
dan menunjukkan kerjasama yang bersifat regional dan internasional.
Persoalan yang dimunculkan oleh “kejahatan transnasional
terorganisasi” semakin diwaspadai, karena pelbagai penelitian
menunjukkan adanya kaitan erat antara terorisme dengan kejahatan
terorganisasi, khususnya dengan sifat-sifatnya yang transnasional dan
di luar hukum, seperti penggunaan kekerasan fisik, perdagangan
senjata dan obat bius, money laundering, transaksi gelap, penculikan,
penggelapan, pemalsuan, perampasan dan pemerasan. Tindak pidana
tersebut dapat pula berupa perdagangan wanita, imigran gelap,
perjudian, tindak pidana lingkungan dan pencurian benda-benda
budaya, bahkan muncul indikasi mulai dilakukannya perdagangan
unsur-unsur nuklir (uranium). PBB bahkan menganggap fenomena
itu sebagai kejahatan yang dapat membahayakan keamanan dan
stabilitas nasional dan internasional, demokrasi, tertib hukum, HAM
dan pembangunan ekonomi serta sosial.
Sidang Komisi Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana di
Wina, (21-31 Mei 1996), juga memberikan penegasan bahwa kejahatan-
kejahatan yang harus diwaspadai saat ini meliputi kejahatan
transnasional (terorganisasi), kejahatan ekonomi termasuk pemutihan
uang, kejahatan lingkungan hidup, kejahatan perkotaan, kejahatan
kekerasan, kejahatan yang dilakukan remaja, perdagangan senjata
185
api, kekerasan terhadap wanita, anak-anak, penyelundupan imigran
gelap dan tindak pidana korupsi.
Sepanjang pembahasan tentang kemungkinan hubungan antara
kejahatan transnasional terorganisasi dan terorisme, terdapat dua
pandangan yang berbeda, yaitu; pertama negara-negara yang
berpendapat keduanya memiliki kesamaan elemen, metode, aktivitas,
dan kemungkinan hubungan yang langsung terjadi antara keduanya.
Kedua, negara-negara yang menyatakan bahwa walaupun bentuk
terorisme dapat dimasukkan dalam definisi kejahatan transnasional yang
terorganisasi, namun terdapat perbedaan yang jelas dalam tujuannya,
yaitu terorisme mempunyai motif dan tujuan politik sedangkan kejahatan
terorganisasi hanya mempunyai tujuan ekonomi semata.
Diskusi mengenai terorisme berulangkali menekankan adanya
ancaman yang kuat terhadap perdamaian dan pembangunan. Hampir
semua negara peserta pada prinsipnya mengutuk kejahatan terorisme
dalam segala bentuknya, walaupun beberapa negara lainnya,
khususnya Iran, Suriah, Libanon dan Libia, menekankan perlunya
pembedaan antara kejahatan tersebut dengan perjuangan rakyat
untuk membebaskan wilayahnya dari pendudukan.
186
e. Perlu upaya konkrit internasional untuk memerangi korupsi guna
meningkatkan citra pejabat pemerintah yang bersih dan
berwibawa.
f. Sehubungan dengan semakin meningkatnya pemakaian senjata api
dalam kegiatan kejahatan, diusulkan pelbagai hal sebagai berikut:
• Perlunya pertemuan-pertemuan informal para penegak hukum
dan pejabat bea cukai negara-negara untuk membahas usaha
menyeragamkan atau harmonisasi hukum mengenai pengaturan
penggunaan senjata.
• Perlu ditingkatkan perundang-undangan nasional di bidang
pengaturan senjata api yang lebih komprehensif dan dapat
diimplementasikan secara efektif.
• Perlu ditingkatkannya kerjasama bilateral, regional dan
internasional untuk mencegah lalu lintas gelap senjata api, yang
cenderung meningkat akibat kurang harmonisnya perundang-
undangan nasional, peraturan dan kebijaksanaan.
• Perlunya upaya meningkatkan informasi dan perbaikan statistik
penggunaan senjata api serta upaya untuk melakukan tinjauan
yang komprehensif perkembangan peraturan penggunaan
senjata api di dunia.
g. Menggarisbawahi peningkatan kerjasama teknik di bidang
pencegahan kejahatan dan peradilan pidana sebagai bagian dari
proses pembangunan secara menyeluruh dari suatu negara. Untuk
ini harus dibentuk kelompok kerja.
h. Pemberian prioritas utama pada “edvisory services” sebagai
tanggapan terhadap permintaan internasional, khususnya dari
negara-negara berkembang atau negara dengan ekonomi transisi.
i. Perlu ditingkatkannya kerjasama dengan badan-badan lain seperti
Department for Development Support and Management Services, United
Nations International Drug Control Program, Centre for Human Rights,
United Nations dan badan-badan regional dan internasional terkait.
j. Negara-negara menekankan pentingnya standar-standar dan
aturan-aturan PBB di bidang pencegahan kejahatan dan peradilan
pidana dan implementasinya dalam praktek. Beberapa instrumen
diusulkan untuk ditinjau kembali mengingat perbedaan sistem
hukum sering dianggap sebagai kendala.
k. Sehubungan dengan kejahatan transnasional, negara-negara
memandang perlu adanya jaringan yang efektif untuk penegakan
187
hukum dan untuk meyakinkan bahwa tidak ada pelaku kejahatan
yang dapat menghindari proses peradilan.
l. Diperlukan peningkatan mekanisme pertukaran informasi dan
pengalaman, evaluasi dan pengembangan langkah-langkah
legislatif serta kerjasama teknik. Dalam hal ini pertemuan kelompok
ahli antar pemerintah dapat menjadi forum yang diharapkan.
m. Perlu segera dibentuk suatu pusat “repository” informasi
internasional mengenai langkah-langkah yang telah diambil oleh
negara anggota dan organisasi dalam rangka memerangi kejahatan
transnasional terorganisasi. Untuk itu diperlukan adanya “United
Nations Crime and Justice Information Network”. Dalam hal ini perlu
dihindari adanya tumpang tindih dengan repository yang sudah
ada dari Commonwealth dan the International Criminal Police
Organization (ICPO/Interpol).
n. Khusus mengenai kekerasan terhadap wanita dan anak-anak
ditegaskan perlunya:
• Pencapaian “gender quality” dan peningkatan status wanita.
• Pembaharuan hukum terhadap perlindungan wanita.
• Pelatihan khusus bagi praktisi, pusat bantuan dan pemberian
nasehat untuk membantu korban. Bantuan media massa sangat
diperlukan untuk menghindari “gender stereotyping”.
• Diperlukan langkah-langkah untuk membantu kelompok-
kelompok wanita yang rentan.
o. Khusus mengenai anak sebagai korban dan pelaku tindak pidana
diusulkan antara lain:
• Perlunya konvensi internasional khusus yang mengacu pada
“the Inter American Convention on International Traffic in Minors”.
• Ratifikasi terhadap instrumen peradilan remaja.
p. Perlu dilanjutkan pengembangan UN Crime and Justice Information
Network (UNCJIN) yang berkaitan dengan UN On-Line Crime and
Justice Clearing House (UNOJUST) dalam rangka meningkatkan
pelaksanaan sistem peradilan pidana yang efektif.
q. Negara-negara perlu mendukung 15 resolusi sebagai berikut:
• Peranan hukum pidana dalam perlindungan lingkungan hidup.
• Tindakan untuk mengatur senjata api.
• Deklarasi tentang pembentukan kelompok ahli di bidang korban
kejahatan.
• Pembinaan para pelaku.
188
• Administrasi peradilan remaja.
• Tindakan untuk melawan korupsi, sebagaimana telah
diadopsinya The International Code of Conduct for Public Officials.
• Kerjasama teknik dan layanan antar regional. Dalam hal ini
diperlukan kontribusi terhadap UN Crime Prevention and
Criminal Justice Fund.
• Eliminasi terhadap kekerasan terhadap wanita.
• Kekerasan internasional dan bantuan manajemen sistem
peradilan pidana.
• Tindakan pencegahan terhadap perdagangan gelap anak.
• Kejahatan dan keamanan publik.
• Pencegahan kejahatan dan peradilan pidana.
• Manajemen strategis dalam pencegahan kejahatan dan peradilan
pidana.
• Pidana mati.
• Implementasi dari The Naples Political Declaration and Global
Action Plan Against Organized Transnational Crime. n
189
Beberapa Catatan Tentang
Hukum Pidana Internasional
190
sebagai sarana penegakan hukum. Melalui kerjasama tersebut
diharapkan dapat diciptakan mekanisme internasional dan yurisdiksi
pidana internasional untuk diterapkan (langsung atau tidak langsung)
terhadap kejahatan-kejahatan di atas guna melindungi hak-hak
fundamental (baik individual maupun kolektif) terhadap segala
bentuk ancaman dan pelanggaran dari segala sumber kejahatan, baik
publik maupun privat. Belum lagi harus menghadapi corak kejahatan
lain yang ‘direstui negara’ atau state sponsored violations.
Berkembangnya pelbagai bentuk kejahatan internasional dan
transnasional (misalnya kejahatan komputer dan cybercrimes, kejahatan
finansial dan ekonomi, kejahatan lingkungan dan terorisme) harus
diimbangi pula dengan perkembangan sistem pengaturan dan
pengendalian. Mengingat dimensi bahayanya, saat ini hukum pidana
internasional dengan komponen HAM-nya merupakan disiplin yang
cukup banyak menarik perhatian sejumlah kalangan, baik pakar,
pengajar hukum, pemerintah, organisasi serta lembaga-lembaga baik
internasional maupun regional. Orang-orang tersebut terus
mendiskusikan teori, doktrin, kerangka, kebijakan untuk melakukan
kriminalisasi, teknik dan persyaratan formal kodifikasi, dan aspek-
aspek prosedural dalam penegakan hukum. Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari pelbagai pendapat yang bersifat adhoc yang seringkali
menimbulkan inkonsistensi, ketidakpastian, sulit diprediksi, dan
pertentangan dalam menggunakan konsep hukum dan terminologi
serta drafting dalam merumuskan konvensi internasional.
Dengan demikian pembicaraan tentang hukum pidana
internasional hampir pasti akan menyentuh tiga substansi pokok yaitu:
(1) kejahatan; (2) prosedur hukum; dan (3) penegakan hukum pidana
internasional itu sendiri. Sepanjang mengenai “kejahatan”, atas dasar
perkembangan konvensi internasional dan hukum kebiasaan
internasional serta paling tidak satu dari 10 karakteristik, dapat
diidentifikasikan 22 kejahatan internasional dan kejahatan
transnasional. Kejahatan-kejahatan tersebut meliputi; agresi, kejahatan
perang, penggunaan senjata ilegal, kejahatan terhadap kemanusiaan,
genosida, diskriminasi ras dan apartheid, perbudakan dan kejahatan-
kejahatan sejenis, penyiksaan, eksperimentasi tidak sah atas manusia,
perompakan, pembajakan, ancaman dan penggunaan kekerasan
terhadap orang-orang yang secara internasional dilindungi,
menjadikan warga sipil sebagai sandera, kejahatan obat bius
191
penghancuran atau pencurian atas hazanah warisan nasional,
pencurian benda-benda nuklir, penggunaan email secara tidak sah,
intervensi terhadap kawat bawah laut, pemalsuan, penipuan dan
penyuapan pegawai publik asing.
Asas-asas umum dan opini para juri juga merupakan sumber,
tetapi harus dirumuskan dalam konvensi internasional. Yang jelas
basis doktrinal untuk mengelompokkan kejahatan dalam kategori
kejahatan internasional lebih bersifat empiris dan atas dasar konvensi
atau kebiasaan internasional. Dalam hal ini paling tidak terdapat tiga
persyaratan, yaitu harus berisi baik elemen internasional atau
transnasional, atau sebagian dari keduanya, dan disertai dengan
elemen kebutuhan (necessity) untuk mengkategorikan sebagai
kejahatan internasional. Jadi merupakan perpaduan antara kejahatan
terhadap masyarakat internasional (delicto jus gentium) dan
pengaruhnya menjangkau kepentingan lebih dari satu negara.
Elemen internasional terdiri atas ancaman baik langsung maupun
tidak langsung terhadap kedamaian dan keamanan dunia; dan
menimbulkan perasaan tergumcang terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Sedangkan elemen transnasional, mengandung ciri-ciri; menimbulkan
pengaruh bagi lebih dari satu negara; menimbulkan pengaruh
terhadap warga negara lebih dari satu negara; dan memiliki metode
yang melampaui batas-batas bangsa atau negara. Merujuk pada
konvensi PBB tentang “Kejahatan Transnasional Terorganisasi” di
Palermo, tahun 2000, kejahatan transnasional mencakup empat
karakteristik sebagai berikut; 1) dilakukan di lebih dari satu negara;
2) dilakukan di satu negara tetapi bagian substansial dari persiapan,
perencanaan, petunjuk atau pengendaliannya dilakukan di negara
lain; 3) dilakukan di sebuah negara tetapi melibatkan organisasi
kejahatan yang terlibat dalam tindak kejahatan di lebih dari satu
negara; atau 3) dilakukan di satu negara tetapi menimbulkan efek
substansial bagi negara-negara lain. Selebihnya, elemen necessity lebih
berkaitan dengan kebutuhan untuk kerjasama antar negara.
Sehubungan dengan konvensi internasional dapat dikatakan
bahwa kejahatan internasional adalah tindakan yang dianggap sebagai
kejahatan dalam konvensi-konvensi multilateral yang diakui negara-
negara dalam jumlah yang signifikan, asalkan instrumennya
mencakup satu dari sepuluh karakteristik pidana sebagaimana
digambarkan di bawah ini;
192
1) pengakuan secara eksplisit bahwa perbuatan terlarang tersebut
merupakan kejahatan internasional, atau kejahatan di bawah
hukum internasional atau suatu kejahatan;
2) pengakuan implisit tentang hakekat perbuatan dengan melakukan
larangan, pencegahan, penuntutan, pemidanaan atau sebangsanya;
3) melakukan kriminalisasi perbuatan yang dilarang tersebut;
4) kewajiban dan hak untuk menuntut;
5) kewajiban dan hak untuk memidana;
6) kewajiban dan hak untuk mengekstradisi;
7) kewajiban dan hak untuk bekerjasama di dalam penuntutan,
pemidanaan (termasuk bantuan yudisial di dalam proses
peradilan pidana);
8) pengaturan tentang landasan yurisdiksi pidana, baik teoritis
maupun praktis;
9) rekomendasi untuk membentuk sebuah pengadilan pidana
internasional atau mahkamah internasional dengan karakteristik
khusus;
10) eliminasi pembelaan diri atas perintah atasan.
193
Selanjutnya, sepanjang menyangkut penegakan hukum, ia harus
merujuk pada apa yang dinamakan ‘direct enforcement model’. Apabila
yang disebut terakhir ini (direct enforcement model) bersifat ganda
(dual nature) karena kaitannya dengan kejahatan nasional (melalui
ratifikasi), maka ‘indirect enforcement’ secara eksplisit hanya
diterapkan terhadap kejahatan internasional. Sebagai contoh adalah
pengadilan pasca Perang Dunia I dan pengadilan pasca Perang Dunia
II yang terjadi di Nuremberg dan Tokyo, yang semuanya bersifat
adhoc. Dapat disebutkan pula di sini Mahkamah Internasional untuk
Rwanda dan negara-negara bekas Yugoslavia. Bahkan saat ini
masyarakat internasional telah berhasil merumuskan Statuta Roma
1998 tentang ‘International Criminal Court’ yang mempunyai yurisdiksi
untuk mengadili kasus-kasus kejahatan perang, genosida, kejahatan
terhadap kemanusiaan dan agresi serta gangguan terhadap
pengadilan yang kemungkinan terjadi. Dapat pula dicatat di sini
bahwa saat ini berkembang pula pelbagai norma yang diarahkan
untuk melindungi HAM individual di dalam konteks proses peradilan
pidana. Hal ini dapat berupa konvensi, standar aturan minimum,
kode etik, resolusi, dan sebagainya.
Dari uraian di atas nampak bahwa hukum pidana internasional
pada dasarnya merupakan perpaduan (convergence) antara dua disiplin
hukum yang berbeda yang pada akhirnya harus mengembangkan
sikap saling mengisi (complementary). Dua disiplin hukum tersebut
terdiri dari aspek hukum pidana dari hukum internasional seperti
kriminalisasi pelbagai kejahatan internasional atau transnasional dan
aspek internasional dari hukum pidana nasional. n
194
Tindak Pidana
Perlindungan Terhadap Konsumen
Sebagai Mala Per Se
195
Hukum Perlindungan Konsumen memang merupakan peraturan yang
relatif baru, tetapi tidak berarti bahwa tindak pidana pelaku usaha yang
dikategorikan sebagai kejahatan korporasi ini merupakan “mala prohibta”
(menjadi tindak pidana karena dilarang undang-undang). Tindak pidana
lingkungan tetap jelas merupakan “mal per se” (crimes against conscience)
yang sepenuhnya tak bisa dibenarkan, karena hakekat perlindungan
konsumen adalah perlindungan konsumen terhadap praktek bisnis yang
mengandung sifat penyalahgunaan, tidak jujur dan memperdayakan. Hal
ini didasarkan atas asas bahwa transaksi penjualan harus didasarkan pada
prinsip “caveat emptor” yang artinya: biarkan pembeli sadar!. Tuntutan
pidana, sanksi administratif dan gugatan perdata dilandasi oleh pelbagai
konsep dan teori hukum, seperti konsep “corporate liability”, “breach of
warranty”, “negligence” dan “strict liability”. (Cheeseman, 2000).
Kriminalisasi tindak pidana perlindungan terhadap konsumen
memiliki cukup alasan karena di samping sifatnya sebagai mala per
se, juga karena viktimisasinya yang cukup besar, dukungan publik
yang kuat, tidak bersifat ad hoc, tetapi terpadu dengan hukum perdata
dan hukum administrasi serta etika bisnis. Yang harus dituntut
sekarang adalah bukti sekaligus juga merupakan syarat kriminalisasi
yang lain adalah law enforcement.
Salah satu Pasal yang menarik untuk diberi perhatian adalah Pasal
19 ayat (4) yang menegaskan bahwa: “pemberian ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat
mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan, tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan
pidana berdasarkan pembuktian kesalahan”. Hal ini menunjukkan
bahwa proses hukum administrasi tidak menjadikan “ne bis in idem”
proses peradilan pidana. Dengan demikian sifat “primum remedium”
hukum pidana mulai kelihatan. Bahkan sistem pembuktian kesalahan
dilakukan secara terbalik (reverse burden of proof).
Hal menarik lainnya adalah kecenderungan penerapan “strict
liability” dalam perumusan delik, sehingga unsur kesalahan
(kesengajaan atau kealpaan) tidak tercantum dalam rumusan delik.
Demikian pula unsur sifat melawan hukum. Pasal 63 sebenarnya berisi
tindakan tata tertib yang juga terkait dengan “corporate penalty” dalam
kerangka “corporate criminal liability”. Contohnya adalah pencabutan
ijin usaha, perintah penghentian kegiatan tertentu yang merugikan
konsumen, dan penarikan barang dari peredaran.
196
Kejahatan korporasi, seperti tindak pidana terhadap perlindungan
konsumen, terjadi akibat adanya kontradiksi antara tujuan korporasi
yang menyimpang — berupa prioritas yang berlebihan pada
keuntungan melalui pertumbuhan dan pengendalian pasar ditopang
oleh karakteristik individual yang bersifat serakah — dengan kebutuhan
konsumen. Di pelbagai negara kejahatan korporasi terhadap konsumen
antara lain bisa berupa produk-produk yang mengandung bahaya,
penetapan harga, iklan yang menyesatkan konsumen, dan sebagainya
(Box, 1983). Mengingat tindak pidana tersebut biasanya dilakukan oleh
orang-orang yang cukup pandai, maka pengungkapan kejahatan-
kejahatan yang terkait menjadi tidak mudah. Jenis kejahatan seperti
ini biasanya memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Kejahatan tersebut sulit diamati, karena biasanya tertutup oleh
kegiatan pekerjaan normal yang rutin, melibatkan keahlian
profesional dan sistem organisasi yang kompleks;
b. Kejahatan tersebut sangat kompleks karena selalu berkaitan
dengan kebohongan, kecurangan, penipuan dan seringkali juga
berkaitan dengan sesuatu yang ilmiah, teknologis, finansial, legal,
terorganisasikan, melibatkan banyak orang, serta berjalan sudah
lama;
c. Terjadinya penyebaran tanggungjawab (diffusion of responsibility)
yang semakin luas akibat kompleksitas organisasi;
d. Penyebaran korban (dalam hal ini konsumen) yang luas dan secara
individual seringkali tidak menyadari atau masa bodoh bahwa
dirinya merupakan korban tindak pidana (unware crime victim);
e. Hambatan dalam pendeteksian dan penuntutan sebagai akibat
profesionalisme yang tidak seimbang antara penegak hukum dan
pelaku tindak pidana. Seringkali penegakan hukum ini juga
menjadi mahal;
f. Peraturan yang tidak jelas, sehingga menimbulkan keraguan
dalam penegakan hukum;
g. Ambiguitas status pelaku tindak pidana. Dalam tindak pidana
ekonomi para pelaku seringkali merasa bahwa perbuatannya secara
moral tidak salah (mala prohibita), karena telah melanggar peraturan
yang dibuat negara untuk melindungi ketertiban kehidupan modern
(Weston, 1987); mereka merasa telah menjalankan prinsip ekonomi
dan negara sebenarnya telah terlalu banyak melakukan campur
tangan dalam pasar bebas (Silk and Vogel, 1986).
197
Kejahatan ekonomi, baik yang bersifat pribadi (occupational crime)
maupun yang bersifat korporatif, tidak semata-mata hanya berkaitan
dengan hukum (hukum pidana, perdata dan hukum administratif),
tetapi juga bersentuhan dengan etika bisnis. Secara ideal, di dalam
masyarakat modern, lembaga dan kegiatan bisnis selalu diharapkan
untuk menjadi: tempat yang menyenangkan bagi investasi; enak untuk
bekerja; ditopang oleh etika yang luhur; baik untuk membeli maupun
menjual; memperhatikan kepentingan publik; pembayar pajak; dan
sebagainya (Blomstrom, 1995).
Khusus mengenai tindak pidana perlindungan konsumen,
pertama kali yang menanggung langsung kerugian adalah konsumen,
termasuk perusahaan saingan (competitors ) yang menjalankan
usahanya dengan jujur. Tetapi lebih dari itu, sebenarnya terjadi pula
proses kerugian secara tidak langsung (indirect victimization) berupa:
a. Kerugian negara dalam bentuk waktu dan biaya-biaya penegakan
hukum ekonomi (termasuk kejahatan korporasi) yang lebih lama
dan lebih mahal dibandingkan dengan penegakan hukum tindak
pidana konvensional, mengingat kompleksitasnya baik dalam
penyelidikan, penyidikan penuntutan maupun persidangan di
pengadilan;
b. Kerugian sosial (social damage) dalam kehidupan bisnis yang
menopang perekonomian negara, dalam bentuk efek merusak
terhadap standar moral bisnis (Box, 1983).
198
(criminal policy) yang komprehensif baik yang bersifat preventif
maupun represif, bahkan rehabilitatif melalui proses alternatif
penyelesaian sengketa atau gugatan perdata. Dengan adanya PERMA
tentang Class Action tahun 2002 baru-baru ini, maka ketentuan ini
dapat dimanfaatkan masyarakat atas dasar Pasal 46 ayat (1) huruf b,
UU No. 8 Tahun 1999.
Di masa depan kita harus lebih waspada karena era globalisasi
yang ditunjang alat komunikasi, transportasi dan informatika modern,
pasti akan dimanfaatkan oleh pelaku bisnis yang jahat untuk
memanipulasi budaya konsumerisme dengan cara-cara yang melawan
hukum. Globalisasi tidak hanya akan mempermudah dan
menyejahterakan kehidupan manusia, tetapi pada saat yang
bersamaan, terutama bagi sebagian besar masyarakat yang belum
siap, globalisasi juga akan mendatangkan banyak kemudaratan.
Dengan demikian globalisasi harus diartikan dalam konteks
menciptakan keamanan bersama (Habibie, 2002).
Akhirnya perlu diingatkan bahwa efektivitas perundang-
undangan tidak hanya tergantung pada kualitas perundang-undangan
positif yang ada, tetapi juga tergantung pula pada sarana-prasarana
pendukung, partisipasi masyarakat, kualitas penegak hukum
(termasuk PPNS sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU No.8 tahun
1999) baik moral, mental maupun intelektualitas, kualitas
kepemimpinan, kehendak politik penguasa, dan kondisi sosial
ekonomi suatu masyarakat. Yang terakhir ini penting menjadi
perhatian semua pihak, terutama para elite, bahwa dalam kondisi
ekonomi yang buruk orang mudah tergoda untuk melakukan
tindakan-tindakan melawan hukum. Ini sudah menyerupai “hukum
besi” masyarakat yang terjadi di manapun. n
199
Kebijakan Kriminal Terhadap Cybercrime
200
interests) — baik dari negara, masyarakat maupun kepentingan
pribadi, khususnya dalam kaitannya dengan kerahasiaan, integritas
dan ketersediaan baik berupa sistem komputer, sistem jaringan,
maupun data komputer sendiri.
Berbicara tentang kebijakan kriminal (criminal policy) yang
mencakup pendekatan penal melalui sistem peradilan pidana, dengan
sendirinya akan bersentuhan dengan kriminalisasi yang mengatur
ruang lingkup perbuatan yang bersifat melawan hukum,
pertanggungjawaban pidana, dan sanksi yang dapat dijatuhkan, baik
berupa pidana (punishment) maupun tindakan (treatment) .
Kriminalisasi tentu harus dilakukan secara ekstra hati-hati, jangan
sampai justru menimbulkan kesan represif yang melanggar prinsip
ultimum remedium (ultima ratio principle) dan menjadi bumerang dalam
kehidupan sosial, yaitu berupa krimininalisasi yang berlebihan yang
justru mengurangi wibawa hukum. Kriminalisasi dalam hukum
pidana materiil akan diikuti pula oleh langkah-langkah pragmatis
dalam hukum pidana formil untuk kepentingan penyidikan dan
penuntutan. Kriminalisasi harus memenuhi pelbagai syarat, antara
lain bahwa perbuatan tersebut benar-benar menampakkan korban
(victimizing) baik aktual maupun potensial, konsistensi penerapan asas
ultimum remedium, dukungan publik yang kuat, bersifat
komprehensif, dan tidak bersifat ad hoc.
Di era demokratisasi seperti saat ini, merumuskan peraturan hukum
harus mempertimbangkan secara komprehensif beragam dimensi
persoalan. Semua aspirasi (suprastruktur, infrastruktur, kepakaran dan
aspirasi internasional) dan pelbagai kepentingan harus diselaraskan
dan diserasikan. Persoalan komunikasi massa menempati posisi yang
strategis dalam kehidupan demokrasi, dan ini akan bersentuhan secara
langsung tidak hanya dengan persoalan supremasi hukum yang bersifat
“top down” — misalnya untuk kepentingan keamanan negara, persatuan
dan kesatuan nasional – tetapi juga sebaliknya, “bottom up”, sebab orang
cenderung akan melemparkan banyak pertanyaan kritis dan tidak
begitu saja menerima suatu produk hukum. Di sini orang akan
mempersoalkan hak-hak warga seperti kebebasan berekspresi,
kebebasan media, dan masalah-masalah HAM yang lain: persoalan
privasi, hak untuk memperoleh informasi, dan sebagainya yang saat
ini sangat diperhatikan dalam legislasi positif nasional. Di sinilah
relevansi persoalan hak dan kewajiban manjadi penting.
201
Orang masih mencoba menggunakan “soft law” dalam bentuk
“code of conduct” atau “code od ethics” seperti misalnya di Jepang (1996)
dan di Singapura dalam bentuk “Internet Code of Conduct”. Bisa juga
dalam bentuk hukum administratif yang bersifat “semi hard law”
berupa “code of practice” seperti yang dirumuskan oleh the Australian
Internet Industry Association, 1999. Sarana terakhir adalah kriminalisai
berupa penerapan “hard law” seperti di Singapura dalam bentuk
Computer Misuse Act (CMA), 1993 dan di Malaysia dalam bentuk
Computer Crimes Act, 1997. Code of conduct, code of ethics dan code of
practice sudah masuk wilayah kebijakan kriminal yang kedua yakni
penggunaan sarana non penal (prevention without punishment), di
samping langkah-langkah yeng bernuansa teknologis yang kompleks
(techno-prevention) .
Mengingat sifat kejahatan telekomunikasi/internet yang
cenderung bersifat lintas negara maka langkah kebijakan kriminal,
baik yang bersifat penal maupun non-penal, memerlukan kerjasama
internasional; apakah berupa “mutual assistance”, ekstradisi, maupun
bentuk-bentuk kerjasama lainnya. Karena itu dibutuhkan langkah-
langkah harmonisasi hukum antar bangsa sebagai bagian dari
kerjasama internasional dalam kaitannya “double criminality principle”.
Hukum yang mengatur komunikasi massa mencakup area yang
luas, mulai dari media cetak, media penyiaran maupun media
telekomunikasi/internet. Uraian di bawah ini akan difokuskan pada
kebijakan kriminal yang berkaitan dengan jenis kejahatan yang
berbasis pada media terakhir tersebut (cyber media).
Pengaturan komunikasi massa termasuk “cyberlaw” dan
“cybercrime” sangat penting, karena baik korban aktual maupun
korban potensialnya sangat luas. Demikian pula jangkauannya, sangat
luas dan heterogen dengan kualitas dan persepsi yang berbeda.
Substansinya pun beragam, meliputi segala aspek kehidupan baik
yang bersifat positif maupun negatif. Ia juga bersifat lintas negara.
Penyebarannya cepat dan berlipat ganda, dan informasi muatannya
ada yang masih berupa konsep, isu, data, fakta gagasan yang bisa
bersifat obyektif dan bisa pula bersifat subyektif. Ada yang bersifat
mengajak dan tidak jarang bersifat provokatif. Kepentingan yang
terkait bisa kepentingan negara, kepentingan umum, dan bisa pula
kepentingan kelompok atau bahkan pribadi.
202
Beberapa Model Regulasi
Pengaturan tentang cybercrime pada hakekatnya merupakan
pengaturan aspek hukum pidana dari cyberlaw. Boleh dikatakan
bahwa sampai saat ini tidak ada definisi yang seragam tentang
cybercrime, baik nasional maupun global. Sekalipun demikian, kita
bisa mengidentifikasi beberapa karakteristik tertentu dan
merumuskan suatu definisi. Cybercrime merupakan suatu istilah umum
yang pengertiannya mencakup pelbagai tindak pidana yang dapat
diketemukan dalam KUHP atau perundang-undangan pidana lain
yang menggunakan teknologi komputer sebagai suatu komponen
sentral. Dengan demikian cybercrime bisa berupa: tindakan sengaja
merusak properti, masuk tanpa ijin, pencurian hak milik intelektual,
perbuatan cabul, pemalsuan, pornografi anak, pencurian, dan
beberapa tindak pidana lainnya.
Cybercrime pada hakekatnya merupakan “sisi negatif” dari
teknologi komputer, dalam arti bahwa ternyata ia juga rentan terhadap
perilaku kriminal. Sebagai contoh adalah praktek-praktek implantasi
virus yang mencederai komputer di seluruh dunia. Beberapa virus
hanya bersifat mengganggu, tetapi jenis virus lain dapat menimbulkan
kerusakan yang sangat signifikan terhadap data, program dan hardware.
Bank-bank dan pelbagai lembaga keuangan telah kehilangan uang
dalam jumlah besar; ada yang melaporkan perbuatan tersebut tetapi
ada pula yang merahasiakannya dengan alasan reputasi. Beberapa
kejadian di negara maju, data tentang keamanan nasional dan rahasia
dagang perusahaan secara melawan hukum telah didownload oleh orang-
orang yang tidak bertanggungjawab dan dijual kepada dinas intelijen
asing. Yang sangat dirugikan juga para pemilik hak atas kekayaan
intelektual yang karyanya diakses tanpa membayar royalti. Belum lagi
pelbagai tindak pidana lain, yang melalui pelbagai sarana teknologi
canggih para pelakunya dapat menghindarkan diri dari penuntutan
dan melakukannya dari negara-negara yang belum memiliki hukum
yang mengatur “cyberlaw” atau “cybercrime”.
Istilah yang digunakan untuk melukiskan jenis “kejahatan maya”
ini bermacam-macam. Singapura dalam UU-nya menggunakan istilah
“computer misuse”, sedangkan Malaysia dalam UU-nya secara tegas
menggunakan istilah “computer crimes”. Persoalan juga timbul apakah
kedua istilah tersebut diarahkan kepada kejahatan terhadap komputer
(crimes directed at computers), kejahatan yang mendayagunakan
203
komputer (crimes utilizing computers), atau semata-mata kejahatan
yang berkaitan dengan komputer (crimes related to computers) .
Semuanya terbukti selalu memberikan gambaran yang tidak pas.
Tetapi, istilah apapun yang dipakai, pelbagai pihak telah berusaha
membuat definisi kerjanya sendiri. The OECD misalnya merumuskan
bahwa: “Computer abuse (use in the same fashion as ‘computer related
crimes’) is considered as any illegal, unethical or unauthorized behaviour
relating to the automatic processing and the transmission of data”.
Di Amerika Serikat terdapat pelbagai perundang-undangan yang
mengatur “cybercrime” dalam kaitannya dengan internet, seperti :
1. Access Device Fraud Act of 1984 (18 USC Section 1029);
2. Computer Fraud and Abuse Act of 1986 (18 USC Section 1030);
3. Wire Fraud Statute of 1952 (18 USC Section 1343);
4. Criminal Infringement of a Copyright (the Copyright Act of 1976) (18
USC Section 506 (a));
5. Counterfeit Trademarks (the Trademark Counterfeit Act of 1984) (USC
Section 2320);
6. Mail Fraud (18 USC Section 1341);
7. Conspiracy to Defraud the US Government (18 USC 371);
8. False Statements (18 USC Section 1001);
9. Identity Theft and Assumption Deterrence Act of 1998 (18 USC Section
1028);
10. The Racketeer Influenced and Corrupt Organizations Act (RICO) (18
USC Section 2511);
204
dan the Interstate Transportation of Wagering Paraphernalia Act, namun di
lain pihak merupakan kenyataan bahwa pelbagai negara bagian
mengaturnya sendiri-sendiri. Bahkan di lingkungan reservasi Indian
dikecualikan dari pengaturan negara bagian atau Federal. Jadi
persoalan yang timbul bersifat yurisdiksional; apalagi kalau si penjudi
melakukan perbuatannya melalui desktop dari rumah yang relatif sulit
diketahui dan bahkan privasinya dilindungi konstitusi. Lebih sulit lagi
apabila pusat perjudian terjadi di luar yurisdiksi (offshore betting) yang
justru mengijinkan dan menggalakkan perjudian. Corak perjudian ini
merupakan rival kasino, khususnya yang berkaitan dengan pajak
(revenue). Diperkirakan saat ini di AS terdapat 14 juta online gamblers
yang perkiraan revenue-nya kurang lebih 1 milliar dollar US.
Perhatian juga banyak ditujukan pada persoalan perbuatan cabul
(obscenity) dan adult entertainment and cyberporn, khususnya pornografi
anak. Dalam hal ini bisa disebutkan adanya ketentuan tentang Federal
Obscenity Law, berupa “Transportation of Obscene Matters for Sale or
Distribution” (18 USC Section 1465) dan “Communications Decency Act
of 1996”.
Sebagai catatan dapat dikemukakan bahwa Amerika Serikat
merupakan salah satu negara yang menganut sistem terbuka dalam
regulasi internet, sehingga regulasi yang bersifat sensor represif sangat
menonjol. Di Jerman pada tahun 1997 diundangkan “the Information
and Communications Services Act”. Undang-undang ini memungkinkan
sensor terhadap propaganda neo-Nazi, pornografi dan kekerasan.
Convention on Cybercrime dari Council of Europe terbuka untuk
ditandatangani mulai tanggal 23 November tahun 2001 di Budapest.
Konvensi ini akan berlaku secara efektif dengan kondisi 5 ratifikasi
termasuk paling tidak 3 negara anggota Council of Europe. Substansi
konvensi mencakup area yang luas, bahkan mengandung kebijakan
kriminal yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari
“cybercrime” baik melalui undang-undang maupun kerjasama
internasional. Hal ini dilakukan dengan penuh kesadaran sehubungan
dengan semakin meningkatnya intensitas digitalisasi, konvergensi
dan globalisasi yang berkelanjutan dari jaringan komputer. Jaringan
komputer dan informasi elektronik menurut pengalaman dapat juga
dimanfaatkan untuk melakukan tindak pidana (bersifat kriminogin).
Melihat sifat lintas negara dari jaringan komputer dan informasi
elektronik, maka diperlukan peningkatan yang efektif, cepat,
205
fungsional dan dapat dipercaya dari kerjasama internasional. Tak
terkecuali, termasuk kalangan industri harus secara bersama-sama
memerangi cybercrime. Dengan demikian kepentingan yang sah dalam
memanfaatkan dan mengembangkan teknologi informasi dapat
terlindungi. Lebih dari itu kerjasama internasional ini dipandang
sangat penting tidak hanya untuk memerangi cybercrime, tetapi juga
untuk meningkatkan pemahaman internasional tentang hal tersebut.
Pemahaman bersama ini penting dan diperlukan untuk merumuskan
reaksi bersama (common responses) terhadap perkembangan teknologi
baru informatika atas dasar standar dan nilai yang sama.
Kriminalisasi terhadap pelbagai perbuatan yang masuk kategori
cybercrime dan keberadaan pelbagai institusi yang mempunyai
kekuasaan untuk melakukan penyelidikan, investigasi dan penuntutan
(baik domestik maupun internasional) sangat diperlukan dan diyakini
dapat merupakan langkah pencegahan dan perlindungan terhadap
confidentiality, integrity dan availability dari sistem komputer.
Pengembangan kerjasama internasional di bidang pidana sangat
bermanfaat untuk meningkatkan efektivitas investigasi dan proses
peradilan terhadap pelaku tindak pidana yang berkaitan dengan
sistem komputer (computer related crime) dan memungkinkan
pengumpulan alat bukti tindak pidana dalam bentuk elektronik.
Kriminalisasi atas dasar konvensi antar negara juga relevan untuk
mendekatkan satu sama lain pelbagai hukum pidana domestik,
sehingga memudahkan kerjasama internasional.
Dalam pengaturan tentang cybercrime hendaknya selalu dijaga
keseimbangan antara kepentingan penegakan hukum dan penghormatan
terhadap HAM yang fundamental sebagaimana diatur dalam pelbagai
instrumen internasional, seperti penegasan hak setiap orang untuk
mengemukakan pendapat tanpa tekanan, hak untuk berekspresi,
termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan
informasi, dan hak-hak yang berkaitan dengan penghormatan privasi.
Dalam Konvensi tentang Cybercrime, Council of Europe ini, sepanjang
berkaitan dengan jenis-jenis kejahatan sebagaimana diatur dalam
hukum pidana substantif adalah sebagai berikut :
1. Tindak pidana yang berkaitan dengan kerahasiaan, integritas dan
keberadaan data dan sistem komputer:
a. Akses yang tidak sah (illegal access);
b. Intersepsi secara tidak sah (illegal interception);
206
c. Gangguan pada data (data interference);
d. Gangguan pada sistem (system interference);
e. Salah penggunaan alat (misuse of devices).
2. Tindak pidana yang berkaitan dengan komputer (computer-related
offences) :
a. Pemalsuan melalui komputer (computer-related forgery);
b. Penipuan melalui komputer (computer related fraud);
3. Tindak pidana yang berkaitan dengan pornografi anak (offences
related to child pornography).
4. Tindak pidana yang melanggar hak cipta dan hak-hak yang terkait
(Offences related to infringements of copyright and related rights).
207
4. Intersepsi terhadap komunikasi atau pengupingan. Hal ini bisa
membahayakan kerahasiaan dan integrita “users” ;
5. Penyajian yang keliru dan atau pemalsuan identitas misalnya.
208
6. Pentingnya kebutuhan apa yang dinamakan “approximation of
substantive criminal law”. Approximasi tersebut mencakup
kemungkinkan keberadaan pengaturan hukum pidana nasional
yang relatif komprehensif untuk menghadapi segala bentuk
serangan terhadap sistem informasi. Kesenjangan dan perbedaan
yang signifikan pengaturan hukum pidana di pelbagai negara
dapat merintangi perjuangan untuk melawan kejahatan.
Pengaturan yang seragam antar negara dengan definisi cybercrime
yang relatif tepat dapat menjamin prinsip dual criminality dalam
kerangka mutual assistance dan ekstradisi, mengingat kejahatan
terhadap sistem informasi cenderung bersifat transnasional. Dalam
hal yang terakhir ini perlu pula dipikirkan kemungkinan polisi
internasional dan kerjasama yudisial (terorisme berupa perusakan
fasilitas infrastruktur vital, tidak mustahil pula berupa perusakan
sistem informasi yang dapat membahayakan nyawa atau
menimbulkan kerugian ekonomi yang besar).
209
(Yang dipidana tidak hanya tindak pidana yang dilakukan
terhadap komputer dari dalam Singapura, tetapi juga dari luar
Singapura dan tindak-tindak pidana yang dilakukan terhadap
komputer di luar negeri. Polisi bahkan diijinkan untuk menahan
tanpa surat perintah terhadap tersangka yang kuat diduga
melakukan tindak pidana).
Pada tahun 1998 CMA mengalami amandemen, yang melalui
pemberatan pidana dan penciptaan tindak pidana baru berusaha
untuk memperkuat perlindungan terhadap sistem komputer yang
diatur CMA 1993. Tindak pidana baru tersebut meliputi:
1. Mengganggu atau menggunakan komputer atau secara tidak sah
mangungkap access codes atau dengan sarana lain guna memperoleh
keuntungan atau tujuan yang tidak sah;
2. Membuka/mengungkap password, kode akses atau dengan cara
lain memperoleh akses terhadap program atau data yang disimpan
di suatu komputer. Dalam hal ini pemikiran sampai pada
“confidentiality law”;
3. Tindak pidana yang melanggar “protected computers” untuk
kepentingan pertahanan, keamanan, hubungan internasional,
eksistensi dan identitas rahasia tentang sumber informasi dalam
rangka penegakan hukum pidana, pengaturan tentang
infrastruktur komunikasi, perbankan dan pelayanan keuangan dan
keamanan publik.
(Di pelbagai negara di Asia Pacific sudah terdapat pengaturan
yang maju tentang E-commerce Law. Bahkan UNCITRAL: United
Nations Commission on International Trade telah mengeluarkan
UNCITRAL’s Model Law on Electronic Commerce).
210
• Tidak akan ada tempat perlindungan yang aman bagi mereka yang
menyalahgunakan teknologi informasi;
• Penyidikan dan penuntutan terhadap high-tech crimes internasional
harus dikoordinasikan di antara negara-negara yang menaruh
perhatian, tanpa melihat di mana akibat yang merugikan terjadi;
• Aparat penegak hukum harus dilatih dan dilengkapi dalam
menghadapi high-tech crimes;
• Sistem hukum harus melindungi kerahasiaan, integritas dan
keberadaan data dan sistem dari perbuatan yang tidak sah dan
menjamin bahwa penyalahgunaan yang serius harus dipidana;
• Sistem hukum harus mengijinkan perlindungan dan akses cepat
terhadap data elektronik, yang seringkali kritis bagi suksesnya
penyidikan kejahatan;
• Pengaturan “mutual assistance” harus dapat menjamin pengumpulan
dan pertukaran alat bukti tepat pada waktunya, dalam kasus-kasus
yang berkaitan dengan high-tech crime;
• Akses elektronik lintas batas oleh penegak hukum terhadap
keberadaan informasi yang bersifat umum tidak memerlukan
pengesahan dari negara di mana data tersebut berada;
• Standar forensik untuk mendapatkan dan membuktikan keaslian
data elektronik dalam rangka penyidikan tindak pidana dan
penuntutan harus dikembangkan dan digunakan;
• Untuk kepentingan praktis, sistem informasi dan telekomunikasi
harus didesain untuk membantu mencegah dan mendeteksi
penyalahgunaan jaringan, dan harus juga memfasilitasi pencarian
penjahat dan pengumpulan alat bukti;
• Bekerja di lingkungan ini harus berkoordinasi dengan pekerjaan lain
di era informasi yang relevan untuk menghindari duplikasi kebijakan.
211
3. Meninjau sistem hukum yang ada untuk menjamin bahwa telah
terjadi kriminalisasi yang memadai terhadap penyalahgunaan
sistem telekomunikasi dan komputer serta mempromosikan
penyidikan terhadap high-tech crimes;
4. Mempertimbangkan pelbagai isu yang ditimbulkan oleh high-tech
crimes sepanjang relevan saat bernegosiasi tentang perjanjian mutual
assistance;
5. Melanjutkan untuk memeriksa dan mengembangkan solusi yang
dapat dilakukan sehubungan dengan pengamanan bukti-bukti
sebelum melaksanakan dan memenuhi permintaan mutual
assistance, penyelidikan lintas batas, dan penelusuran data
komputer di mana lokasi data tidak diketahui;
6. Mengembangkan prosedur cepat untuk memperoleh lalu lintas
data dari seluruh jaringan dan mata rantai komunikasi dan
mengkaji jalan untuk secara cepat menyampaikan data tersebut
secara internasional;
7. Bekerjasama dengan industri untuk menjamin bahwa teknologi baru
dapat memfasilitasi usaha untuk memerangi high-tech crimes dengan
cara melindungi dan mengumpulkan bukti yang berbahaya;
8. Menjamin bahwa dalam kasus-kasus penting dan cocok, menerima
dan menanggapi untuk saling membantu, permintaan yang
berkaitan dengan high-tech crime melalui sarana komunikasi yang
cepat dan dipercaya, termasuk voice, fax, atau e-mail, dengan
konfirmasi tertulis sebagai tindak lanjut bilamana diperlukan;
9. Menggalakkan lembaga-lembaga internasional yang diakui di
bidang telekomunikasi dan teknologi informasi untuk melanjutkan
penyediaan di lingkungan sektor publik dan privat, standar bagi
teknologi komunikasi dan proses data yang aman dan dapat
dipercaya;
10.Mengembangkan dan menggunakan standar forensik yang cocok
guna mendapatkan dan membuktikan keaslian data elektronik
yang digunakan untuk penyidikan dan penuntutan.
Hal yang sama dilakukan oleh “Council of Europe” yang pada tahun
1995 memberikan rekomendasi sebagai berikut:
1. Penggeledahan dan penyitaan (Search and Seizure). Dalam hal ini
dewan menekankan bahwa perbedaan dilakukan antara the search
of computer systems dan seizure of stored data dan the interception of
212
data. Hukum acara pidana harus mengijinkan lembaga pemerintah
yang berwenang untuk memeriksa dan menyita data tersebut
sepanjang dimungkinkan oleh hukum nasional; hak tersebut
tunduk pada ketentuan perlindungan yang pantas;
2. Pengawasan teknis (technical surveillance). Direkomendasikan bahwa
hukum tentang pengawasan teknis agar ditinjau kembali dan bahwa
hal ini harus memungkinkan penyidik untuk mengambil tindakan
untuk mengumpulkan lalu lintas data dalam penyidikan kejahatan;
3. Kewajiban untuk bekerjasama dengan lembaga. Penyelenggara
pelayanan internet diharuskan untuk memungkinkan penyidik
memperoleh informasi berkenaan dengan identitas users; petugas
sistem komputer yang menyampaikan data jelas-jelas di bawah
kontrol mereka; dan jaringan telekomunikasi harus menyediakan
peralatan teknologi yang memungkinkan mereka untuk melakukan
intersepsi terhadap komunikasi;
4. Bukti elektronik (Electronic evidence). Prosedur pengumpulan,
pengamanan dan presentasi bukti-bukti elektronik diatur dalam
hukum acara pidana;
5. Use of encryption. Dewan menekankan kebutuhan untuk membatasi
penggunaan secara tidak sah dari bahasa sandi (cryptography)
berkaitan dengan penyidikan tindak pidana;
6. Riset, statistik dan pelatihan. Lembaga pemerintah harus
menyelenggarakan riset, mengumpulkan statistik dan melakukan
pelatihan yang tepat;
7. Kerjasama internasional. Dewan mendesak negara-negara untuk
ikut dalam persetujuan mengenai bagaimana, kapan dan dalam
rangka apa pemeriksaan dan perampasan sistem komputer asing
dilakukan. Kerjasama hendaknya merupakan pertukaran bukti
yang cepat apabila dibutuhkan oleh negara lain.
213
Kemudian, dalam manual tentang pencegahan dan pengendalian
kejahatan yang berkaitan dengan komputer, PBB menekankan
kebutuhan adanya usaha internasional baik di negara maju maupun
negara berkembang. Dalam studi dikemukakan bahwa ada dugaan
keras bahwa kejahatan komputer telah banyak ditutupi oleh para
korban, khususnya korporasi-korporasi tidak berniat untuk
mengungkap kerentanan mereka terhadap “cyberhackers”. Tipe-tipe
kejahatan komputer utama yang terjadi adalah “fraud, computer forgery,
damage to or modifications of computer data or programs, unauthorized access
to computer systems and service, and unauthorized reproduction of legally
protected computer programs”.
214
disalurkan melalui jaringan telekomunikasi; penyelenggara jasa
telekomunikasi atau diterima pelanggan; tidak menjaga kerahasiaan
informasi yang dikirim.
Sekalipun demikian, dengan melihat sifatnya yang lintas negara
dan dimensinya yang luas, secara futuristik Indonesia harus mulai
mengkaji kebijakan kriminal untuk menghadapi cybercrimes di atas.
Secara umum, uraian di atas dapat dirumuskan hal-hal sebagai berikut:
1. Pendekatan Penal (Menggunakan Sistem Peradilan Pidana):
a. Merumuskan sistem peradilan pidana yang tepat, mulai dari
kriminalisasi yang rasional sampai dengan merumuskan
elemen-elemen hukum acara yang kondusif; Sebagai contoh
adalah pengaturan yurisdiksi sebagaimana tercantum dalam
“Council of Europe Convention”, di samping penerapan asas
teritorialitas, juga menerapkan yurisdiksi terhadap warga
negara yang melakukan tindak pidana di tempat di mana
perbuatan tersebut juga diancam pidana dan di luar teritorial
negara dan juga sama sekali di luar teritorial negara lain. Di
Singapura bahkan berlaku bagi mereka yang dari luar Singapura
melakukan perbuatan yang merugikan komputer di Singapura
dan pelaku di Singapura yang merugikan komputer luar negeri;
b. Sejauh mungkin dihindari kemungkinan terjadinya over
kriminalisasi;
c. Perumusan kriminalisasi harus dilakukan secara komprehensif
sehingga menggambarkan approximasi hukum pidana sebagai
“safeguard” yang sesuai dengan standar antar bangsa;
d. Dalam kriminalisasi harus diperhitungkan keselarasan antara
HAM dan Kewajiban Asasi;
e. Perlu dikaji tentang “corporate criminal responsibility “dan
perluasan yurisdiksi.
2. Pendekatan Non-penal (Prevention Without Punishment):
a. Perlu dirumuskan terlebih dahulu Umbrella Act yang mengatur
kebijakan tentang komunikasi massa, baik yang bersifat cetak,
penyiaran maupun cyber;
a. Perlu dirumuskan secara profesional penyusunan Kode Etik,
Code of Conduct and Code of Practice tentang penggunaan
teknologi informatika;
b. Perlu kerjasama antar segala pihak yang terkait termasuk
kalangan industri untuk mengembangkan preventive technology
215
menghadapi cybercrime. Sebagai contoh adalah dikembangkannya
cyber patrol software yang dapat digunakan oleh Internet Service
Provider (ISP) atau Internet Content Provider (ICP) untuk
menyaring atau memblok akses ke situs tertentu secara
otomatik apabila situs tersebut telah masuk black list. Internet
memang bukan jaringan yang aman.
4. Kerjasama Internasional.
Mengingat sifat cybercrime yang transnasional, maka diperlukan
kerjasama internasional yang intensif, baik dalam penegakan
hukum pidana maupun dalam bidang teknologi berupa jaringan
informasi yang kuat (mis. 24 hours point of contact) untuk
menghadapi kejahatan cybercrime, pelatihan personil yang
memadai, harmonisasi hukum dan penyebarluasan kesepakatan-
kesepakatan internasional; Sebagai contoh adalah apa yang
dinamakan “spontaneous information” yakni suatu komitmen untuk
tanpa diminta segera menyebarluaskan informasi bilamana
ditemukan hal-hal negatif yang dapat dijadikan bahan
investigasi, pembuktian, proses peradilan tentang “cybercrime”
bagi negara lain.
5. Secara nasional perlu disusun suatu Rencana Aksi Nasional
(National Plan of Action) untuk menanggulangi cybercrime
mengingat luasnya proses viktimisasi kejahatan tersebut dan
sifatnya yang transnasional. n
216
bagian 3
SISI-SISI PROBLEMATIK HUKUM DI
I N D O N E S I A
217
218
Kekuasaan Kehakiman
Yang Merdeka dan Bertanggungjawab
Pendahuluan
Analisis terhadap topik bahasan di atas tidak mungkin dilakukan
secara segmental, mengingat begitu banyak variabel yang terkait di
dalamnya dan satu sama lain saling berhubungan. Karena itu analisis
tidak bisa lain harus dilakukan secara sistemik, komprehensif dan
integral. Pendekatan dan metode bahasan sistemik dan komprehensif
integral mengandung keharusan untuk memperhatikan elemen-
elemen dasar sistem yaitu; orientasi pada tujuan (purposive behavior),
bersifat menyeluruh (wholism), keterbukaan (openness), transformasi
(transformation), saling keterkaitan (interrelatedness) dan mekanisme
pengendalian.
Pertama-tama harus disadari bahwa membicarakan kekuasaan
kehakiman yang bebas dan bertanggungjawab tidak mungkin
219
dilepaskan dari (bahkan merupakan salah satu sub sistem) kondisi
umum, visi dan misi pembangunan hukum di era reformasi saat ini,
yang secara keseluruhan merupakan bagian integral dari visi dan
misi pembangunan nasional.
Dalam GBHN 1999-2004 (TAP MPR NO. IV/MPR 1999)
digambarkan betapa parahnya kondisi umum bidang hukum, khususnya
menyangkut integritas moral dan profesionalisme aparat hukum,
kesadaran hukum, mutu pelayanan serta tidak adanya kepastian hukum
dan keadilan hukum, sehingga mengakibatkan supremasi hukum belum
terwujud. Demikian pula masih kuat dirasakan belum mantapnya
langkah-langkah nyata dan kesungguhan pemerintah, khususnya aparat
penegak hukum dalam menerapkan dan menegakkan hukum. Gejala
campur tangan dalam proses peradilan dan tumpang tindih serta
kerancuan hukum yang acap masih banyak dijumpai, telah mengakibatkan
terjadinya krisis hukum yang berkepanjangan.
Salah satu elemen pendukung bagi terwujudnya visi pembangunan
nasional berupa terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai,
demokratis, berdaya saing, maju dan sejahtera dalam wadah Negara
Kesatuan RI, adalah manusia Indonesia yang berkesadaran hukum.
Untuk mewujudkan visi tersebut, maka misi yang digariskan dalam
GBHN juga melihat betapa pentingnya perwujudan sistem hukum
nasional, yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan HAM
berlandaskan keadilan dan kebenaran. Dalam hal ini salah satu Arah
Kebijakan Hukum yang harus dicapai adalah “mewujudkan lembaga
peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak
manapun”, di samping kebijakan lain baik yang berkaitan dengan aspek
institusional, instrumental maupun kultural.
Para pendiri Republik Indonesia jauh-jauh sudah menyadari
betapa strategisnya kekuasaan kehakiman yang merdeka dan
bertanggung jawab. Dalam penjelasan pasal 24 dan pasal 25 UUD
1945 ditegaskan bahwa: “kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang
merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah.
Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam undang-
undang tentang kedudukan para hakim”.
Persepsi dari para pendiri Republik tersebut tepat, karena ternyata
bahwa persoalan kekuasaan kehakiman yang merdeka juga dianggap
sebagai salah satu persoalan hak asasi manusia yang bersifat universal,
khususnya di bidang hak sipil dan politik. Baik Piagam PBB (The
220
Charter of the UN)1945, Piagam HAM PBB (The Universal Declaration
of Human Rights) 1948 maupun The International Convenant on Civil
and Political Rights, 1966, menggambarkan secara tersurat dan tersirat
betapa kekuasaan kehakiman yang merdeka penting sekali untuk
mencapai sistem keadilan dan perdamaian, pemeliharaan kehormatan
individu dan tertib sosial, perlindungan hukum yang setara; bahwa
tertuduh harus dianggap tidak bersalah hingga dapat dibuktikan,
dalam pemeriksaan yang jujur dan terbuka oleh pengadilan yang
kompeten, mandiri, dan adil yang diatur oleh undang-undang; dan
bahwa tidak seorangpun menderita karena penangkapan, penahanan
atau pembuangan sewenang-wenang. Bahkan seringkali dikatakan
bahwa hak-hak yudisial manusia seperti peradilan dan pemeriksaan
yang jujur, bebas dari penahanan yang sewenang-wenang, tidak
hanya merupakan asas tetapi sudah merupakan hukum (judicial rights
as a matter of law, not just principle).
Di dalam Beijing Statement of Principles of the Independence the
Lawasia region of the Judiciary di Manila, 28 Agustus 1997, dinyatakan
antara lain:
1. Kehakiman merupakan institusi nilai yang tertinggi pada setiap
masyarakat.
2. Kemerdekaan hakim mempersyaratkan bahwa; hakim
memutuskan sebuah perkara sepenuhnya atas dasar pemahaman
undang-undang dan terbebas dari pengaruh dari manapun, baik
langsung ataupun tidak langsung; hakim memiliki yurisdiksi,
langsung maupun tidak langsung, atas segala segala isu yang
memerlukan keadilan.
3. Mempertahankan kemandirian kehakiman adalah sesuatu yang
esensial untuk mencapat tujuan dan melaksanakan fungsinya yang
tepat dalam masyarakat yang bebas dan menghormati hukum.
Kemandirian tersebut harus dijamin oleh negara melalui konstitusi
dan undang-undang.
221
lembaga lain, sikap tidak memihak dan bebas dari segala pengaruh,
pembatasan, tekanan langsung atau tak langsung, mempunyai
yurisdiksi atas segala persoalan dan kewenangan eksklusif untuk
memutus berdasarkan hukum yang berlaku, hak stake holder harus
dihormati dan proses peradilan harus dilakukan secara jujur,
negara harus menyediakan pelbagai sumber daya secara memadai
yang memungkinkan peradilan melaksanakan fungsinya);
b. Kebebasan meneyatakan pendapat dan berkumpul (seperti anggota
masyarakat lain mempunyai kebebasan untuk berekspresi,
berkeyakinan/kepercayaan, berserikat dan berkumpul, hakim
bebas untuk membentuk dan ikut dalam asosiasi hakim atau
organisasi lain untuk menyalurkan kepentingan, meningkatkan
kemampuan dan melindungi kebebasan yudisialnya);
c. Kwalifikasi, seleksi, dan training (harus didasarkan atas integritas
dan kemampuan serta bebas dari diskriminasi);
d. Profesionalisme dan imunitas (imunitas personal dalam arti
imunitas dari gugatan perdata atas kerugian finansial akibat
perbuatan tidak benar atau perbuatan omisi dalam melaksanakan
fungsi yudisial);
e. Disiplin, penskorsan, pemindahan/pemotongan (harus didasarkan
atas prosedur dan standar yang jujur, adil dan tepat serta
dilakukan atas dasar tinjauan yang independen).
222
tangan eksekutif terhadap peradilan demi kepentingan revolusi.
Demikian pula dengan UU no. 13/1965 yang mewajibkan hakim untuk
memihak pada kebenaran sebagaimana dirumuskan dalam Pancasila
dan Manipol/Usdek.
Selanjutnya di era Orde Baru, pada tahun 1970 muncul UU no.
14/1970 yang menempatkan kekuasaan kehakiman dalam posisi
ambigu: segi judicial power berada di bawah MA, namun dalam
kerangka administrasi peradilan, kewenangan finansial, administratif
dan personalia, berada di bawah Departemen Kehakiman,
Departemen Hankam, dan Departemen Agama. Hal ini membuka
peluang bagi terjadinya kooptasi politis terhadap kekuasaan
kehakiman. Di era reformasi, pada tahun 1999 atas dasar UU no. 35/
1999 dualisme ini diakhiri, namun sampai saat ini UU tersebut belum
diimplementasikan dengan alasan yang tidak jelas. Kondisi tersebut
tidak mustahil terjadi karena sistem sosial dan sistem politik akan
cenderung mempengaruhi sistem hukum yang berlaku.
Selain itu pengertian “negara hukum” harus diartikan secara
dinamis dalam kerangka komparasi dengan konsep Supremacy of
General Law yang berkembang di Eropa Kontinental. Di dalam sistem
Anglo Saxon, asas stare decisis memungkinkan hakim untuk
membentuk hukum (judge made law). Di lain pihak prinsip Rechsstaat
lebih dekat pada prinsip Supremacy of General Law di dalam sistem
kontinental, yang pada dasarnya tidak memungkinkan hakim untuk
menciptakan hukum.
Namun demikian pandangan seperti itu sebenarnya sudah
berubah. Pandangan bahwa masyarakat dilindungi hukum tidak lagi
berlaku, karena masyarakat juga meminta perlindungan terhadap
hukum. Hukum tidak lagi semata-mata difungsikan sebagai kekuasaan
yang berdaulat, tetapi harus pula dipertanyakan hakekat dan substansi
dari hukum tersebut. Dengan demikian hakim harus difungsikan pula
peranannya sebagai deputy legislators atau pseudo legislators.
Kemerdekaan kekuasaan kehakiman merupakan hak asasi
manusia, namun simultan dengan kemerdekaan tersebut manusia juga
mempertanyakan sampai seberapa jauh kemerdekaan tersebut juga
mengandung tanggung jawab kekuasaan kehakiman. Tanggung jawab
yudisial pada dasarnya merupakan value laden concept yang
merefleksikan hubungan tertentu antara subyek — khususnya hakim
– dengan nilai-nilai sosial. Dalam hal ini terkandung dua hal penting:
223
kekuasaan kehakiman dan akuntabilitas dalam penggunaan kekuasaan
tersebut.
Kekuasaan kehakiman mengandung pengertian tidak hanya
otoritas hukum tetapi juga kewajiban hukum yang merupakan
kekuasaan yang melekat pada hakim dan pengadilan untuk
melaksanakan fungsi pemerintahan berupa mengadili dan memutus.
Adjudikasi tersebut secara luas mencakup tiga hal: tanggungjawab
administratif (manajemen perkara), tanggungjawab prosedural
(manajemen peradilan atas dasar hukum acara yang berlaku) dan
tanggungjawab substantif (yang berkaitan dengan pengkaitan antara
fakta dengan hukum yang berlaku).
Sedangkan akuntabilitas yudisial dapat diperinci dalam empat
hal sebagai berikut: (a) akuntabilitas politik baik dari hakim secara
pribadi maupun kelompok dalam kerangka konstitusi; (b)
akuntabilitas sosial atau publik dari hakim, baik pribadi maupun
kelompok; (c) akuntabilitas hukum sebagai wakil (vicarious) negara;
dan akuntabilitas hukum (personal) dari hakim baik kriminal, sipil
maupun disiplin.
Kedudukan hakim dan kekuasaan kehakiman di Indonesia
menjadi semakin berat sebab mencakup tanggungjawab horizontal
dan vertikal sekaligus. Hal ini tersurat dan tersirat dalam irah-irah
putusan hakim: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa” (Pasal 4 ayat (1) UU no. 14/1970), disamping sumpah atau janji
menurut agamanya sebelum memangku jabatan, untuk setia kepada
Dasar Negara, Konstitusi dan perundang-undangan serta jujur,
seksama, tidak diskriminatif dan adil. (Pasal 9 ayat (1) UU no. 14/
1985).
224
akuntabel dan responsif. Tiga pilar tersebut oleh Beetham
dioperasionalkan dalam bentuk 30 indeks demokrasi, dan apa yang
disebutnya “independence of judiciary from the executive and from all
forms of interference” masuk dalam kategori indeks pemerintahan yang
terbuka, akuntabel dan responsif.
Elemen lain dari pemerintahan yang terbuka, akuntabel dan
responsif yang relevan adalah seberapa jauh eksekutif tunduk pada
rule of law, transparasi peraturan dalam menjalankan kekuasaan,
peranan kontrol masyarakat dalam administrasi hukum dan akses
masyarakat untuk memperoleh keadilan melalui pengadilan,
ombudsman dan lembaga peradilan lain apabila terjadi
maladministrasi.
Dalam pendekatan sistem, suasana reformasi — baik nasional
maupun global— dipandang sebagai masukan lingkungan strategis
yang harus diperhitungkan dengan seksama. Di samping masukan
lingkungan strategis nasional dan global tersebut harus selalu
diperhatikan sistem kendali nasional dalam bentuk perundang-
undangan positif yang kondusif.
Yang harus dikaji pertama-tama adalah keberadaan Pasal 24 dan
Pasal 25 UUD 1945 beserta penjelasannya sebagaimana telah diuraikan
di atas. Selanjutnya bisa disebutkan di sini TAP MPR RI Nomor X/
MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan Dalam
Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai
Haluan Negara, yang antara lain memerintahkan adanya pemisahan
yang tegas antara fungsi-fungsi eksekutif dan legislatif yang pada
akhirnya menghasilkan UU no. 35/1999 yang akan menjadikan
kekuasaan mengadili dan administrasi peradilan dalam kekuasaan
satu atap Mahkamah Agung.
Selanjutnya harus diperhatikan pula TAP MPR No. VIII/MPR/
2000 tentang Laporan Tahunan Lembaga-lembaga Tinggi Negara pada
Sidang Tahunan MPR tahun 2000. Penting pula diperhatikan
Rekomendasi MPR terhadap Mahkamah Agung : “Mahkamah Agung
perlu segera melaksanakan UU no. 35/1999 tentang Perubahan atas
UU No. 14/1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman dan
Mahkamah Agung perlu memantapkan kemandiriannya dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya serta menjadikan Mahkamah
Agung bebas dari KKN”.
Keprihatinan dunia internasional terhadap kondisi hukum
225
Indonesia termasuk terhadap kebebasan kekuasaan kehakiman,
nampak antara lain dari suatu buku yang berjudul The Ruler’s Law
yang merupakan laporan dari the International Commission of Jurist
tentang Indonesia (Oktober 1999). Dalam kaitannya dengan
kebebasan kekuasaan kehakiman antara lain disoroti Pasal 11 UU
14/1970 (sebelum diubah oleh UU no. 35/1999), usulan dibentuknya
Mahkamah Konstitusi, usulan dibentuknya komisi yudisial,
kedudukan hakim sebagai pegawai negeri sipil, usulan keberadaan
hakim non karir, pemberantasan korupsi di pengadilan dan
sebagainya.
226
2. Mahkamah Agung perlu segera melaksanakan UU no. 35/1999
tentang perubahan atas UU no. 14/1970 tentang Pokok-pokok
Kekuasaan Kehakiman.
3. Mahkamah Agung perlu memantapkan kemandiriannya dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya serta menjadikan Mahkamah
Agung bebas dari KKN.
227
f. Perlu ditingkatkan peranan “public relation” yang dengan cepat
dan profesional dapat menjawab keluhan-keluhan masyarakat
terhadap badan-badan peradilan;
2. Aspek Substantif-Instrumental.
a. Perlu segera diimplementasikannya UU no. 35 tahun 1999;
b. Perlu segera dibuat UU tentang Contempt of Court;
c. Perlu segera dilaksanakan revisi perundang-undangan yang
mengatur badan-badan peradilan;
d. Perlu segera dibuat UU payung (umbrella act) yang mengatur
“integrated judiciary system”, semacam wet R.O. di masa lalu;
e. Mendorong segera terbentuknya UU Advokat yang baru;
3. Aspek Kultural.
a. Mendorong semangat reformasi dan spirit perubahan yang
positif di Mahkamah Agung;
b. Menggalakkan semangat profesionalisme yang bertumpu pada
ekspertif, tanggungjawab sosial, kesejawatan, ketaatan pada
kode etik dan ekonomi;
c. Menggalang semangat kebanggaan korps;
d. Memerangi secara preventif dan represif KKN di lingkungan
kekuasaan kehakiman dan melakukan kampanye anti KKN
secara berkesinambungan (sustainable clean hand campaign);
4. Aspek Kepemimpinan; dilakukan dengan membenahi struktur dan
personalia kepemimpinan di lingkungan kekuasaan kehakiman
atas dasar reward and punishment principle (merit system).
5. Aspek Partisipasi Masyarakat; membuka akses seluas-luasnya
kepada masyarakat untuk mengawasi kinerja badan-badan di
lingkungan kekuasaan kehakiman;
6. Peningkatan Kesejahteraan Hakim dan Tenaga Administrasi;
peningkatan kesejahteraan di lingkungan kekuasaan kehakiman
perlu dilakukan melalui cara dan dari sumber-sumber yang sah.
Penutup
1. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bertanggungjawab
merupakan bagian dari pilar demokrasi yaitu pemerintahan yang
terbuka, akuntabel dan responsif;
2. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bertanggungjawab
tidak mungkin terwujud tanpa dukungan yang kondusif dan
memadai dari aspek-aspek struktural-institusional, substantif-
228
instrumental, kultural, kepemimpinan yang baik dan partisipasi
masyarakat serta kesejahteraan yang memadai dari hakim dan
pejabat-pejabat lain di lingkungan kekuasaan kehakiman;
3. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bertanggungjawab
harus dipahami dan dihormati oleh siapa saja, baik internal
kekuasaan kehakiman maupun eksternal kekuasaan kehakiman
yang secara potensial biasa mengganggu/mempengaruhi
kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bertanggungjawab.
4. Dalam membangun kekuasaan kehakiman yang merdeka dan
bertanggungjawab, perlu dilakukan usaha untuk mencapai standar
internasional yang sudah diadopsi PBB (UN Basic Principles on
the Independence of Judiciary, 1985). n
229
Refleksi dan Rekonstruksi
Wajah Hukum Indonesia
Pendahuluan
Sebenarnya obsesi bangsa dan negara Indonesia untuk menjadi
negara bangsa yang modern dan demokratis sudah nampak pada
saat UUD 1945 dirumuskan. Prinsip kedaulatan rakyat di tangan MPR
dan prinsip negara hukum merupakan beberapa contoh dari sekian
keinginan tersebut. Namun faktor-faktor obyektif dan subyektif yang
ada ternyata memberikan warna yang sama sekali berbeda dari yang
dicita-citakan sejak semula.
Faktor-faktor obyektif pada masa pra-kemerdekaan antara lain
tercermin dalam keinginan untuk membentuk negara kesatuan, yang
dalam praktek sering dihadapkan dengan fakta-fakta yang tak
terelakkan, seperti gerakan separatisme dan primordialisme, situasi
perekonomian yang sangat lemah dan sukar bersaing, mental bangsa
terjajah yang rendah diri dan terbelakang, euforia kemerdekaan yang
seringkali diwarnai dengan kebanggaan apabila bisa melanggar hukum
yang diciptakan penjajah, perjuangan fisik untuk merebut Irian Barat,
konsep pembangunan politik yang masih bersifat trial and error mulai
dari penerapan demokrasi liberal sampai dengan demokrasi terpimpin,
konsepsi “revolusi belum selesai” yang menempatkan kekuasaan
eksekutif bersifat dominan terhadap kekuasaan yang lain, ambisi untuk
menjadi pelopor dari negara-negara berkembang, dan lain lain
perbuatan dalam kerangka nation and character building.
Faktor subyektif terletak pada karakter figur pimpinan nasional
yang penuh heroisme dan semangat revolusioner ingin menempatkan
bangsa Indonesia sejajar dengan bangsa-bangsa maju yang lain di
dunia, meski dengan taruhan biaya yang sangat mahal.
230
Apabila hal-hal di atas dapat dikategorikan sebagai faktor-faktor
internal bangsa dan negara Indonesia, maka faktor eksternal juga
berpengaruh besar untuk membentuk kepribadian sistem politik.
Faktor eksternal tersebut berupa dahsyatnya situasi perang dingin
antara Blok Barat dan Blok Timur untuk menanamkan pengaruhnya
di pelbagai negara berkembang, yang ternyata juga sangat mewarnai
perkembangan nasional.
Dalam situasi demikian, pelbagai kebijakan harus secara simultan
dilakukan, dan dengan alasan menerapkan prinsip negara hukum
maka pelbagai kebijakan tersebut diterjemahkan dalam bentuk
produk hukum. Agar produk-produk hukum tersebut sesuai dengan
selera kekuasaan, maka dimulailah kooptasi kekuasaan terhadap
hukum, yang memungkinkan terjadinya instrumentalisasi hukum dan
politisasi hukum dalam kehidupan sosial. Instrumentalisasi dan
politisasi hukum yang menempatkan hukum tidak hanya sebagai
dependent variable tetapi juga sebagai independent variable merupakan
hal yang wajar baik di negara demokratis maupun di negara otoriter,
(pen: pemerintah di negara paling otoriterpun akan mengaku dirinya
sebagai negara demokratis), sebab hukum pada dasarnya merupakan
hasil dari proses interaksi politik.
Namun harus tetap disadari bahwa instrumentalisasi dan
politisasi hukum hanya sah apabila dikendalikan oleh asas-asas
hukum demokratis yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab.
Instrumentalisasi hukum dan politisasi hukum dapat dilakukan baik
melalui proses pembentukan undang-undang (law making process) ,
proses penegakan hukum (law enforcement process) dan proses
penanaman kesadaran hukum (legal awareness process) .
Instrumentalisasi hukum yang sehat harus mendasari ketiga proses
tersebut dengan asas-asas yang bersifat universal.
Pada era Soekarno (Orde Lama), karena pengaruh faktor obyektif
dan subyektif serta faktor internal dan eksternal di atas, telah terjadi
langkah-langkah praktis dan pragmatis dengan menerapkan konsep
instrumentalisasi dan politisasi hukum secara tidak sehat yang pada
akhirnya menampilkan sosok wajah hukum yang represif. Salah satu
alasan utama yang mendasarinya, adalah mengamankan “kepentingan
revolusi”, yang saat itu menjadi “tesis perjuangan politik” Soekarno.
Sebagai contoh, di dalam UU No. 19 tahun 1964 diatur bahwa demi
kepentingan revolusi Presiden dapat mencampuri urusan pengadilan;
231
Ketua Mahkamah Agung merupakan anggota kabinet; dan munculnya
Penpres 11 tahun 1963 tentang pemberantasan kegiatan subversif
yang sangat represif dan inkonstitusional.
Belajar dari pengalaman di era Soekarno, maka pada era Soeharto
(Orde Baru), terutama pada masa-masa awal kekuasaannya, ada
itikad untuk menampilkan wajah hukum yang lebih demokratis.
Masyarakat hukum pasca 1966, dengan penuh optimisme
mengumandangkan gagasan supremasi hukum yang tak jarang pula
diliputi nuansa promosi dan perlindungan HAM. Misalnya, pada saat
itu sudah muncul Konsep TAP MPRS tentang HAM; lalu UU No. 14
Th. 1970 yang menggantikan UU No. 19 Th. 1964 (tentang Pokok-
pokok Kekuasaan Kehakiman) telah mengatur Kekuasaan Kehakiman
Yang Merdeka dan sebagainya.
Namun demikian kondisi sosial ekonomi internal yang morat-
marit dan faktor-faktor subyektif kepemimpinan nasional yang ingin
berkuasa terus menerus, pada akhirnya menumbuhkan sikap-sikap
kekuasaan yang hampir selalu bersifat ambivalen, sepert; Undang-
undang Pemberantasan Kegiatan Subversi tetap dipertahankan;
meningkatnya jumlah napol dan tapol, TAP MPRS tentang HAM tidak
pernah terselesaikan; pendekatan represif semakin meningkat; kooptasi
terhadap kekuasaan kehakiman demi kepentingan politik semakin besar.
Dengan dalih “pembangunan ekonomi” yang membutuhkan ketertiban,
hak-hak sipil dan politik diberangus. Instrumentalisasi hukum dan
politisasi hukum semakin meningkat tanpa terkendali. Semua langkah-
langkah negatif ini dapat digambarkan sebagai penyalahgunaan
kekuasaan, pelanggaran HAM, dan KKN – isu yang kelak justru
menjadi tema perjuangan mahasiswa dan masyarakat paling dominan
untuk menjatuhkannya dari kekuasaan.
Era Reformasi
Di era reformasi, kejatuhan Orde Baru pada penghujung tahun
1998, memberikan landasan pengalaman bagi sebuah “kesepakatan
baru” bahwa proses demokratisasi harus berjalan di bawah payung
supremasi hukum. Dengan kata lain, hukum haruslah memberikan
jaminan bagi terselenggaranya sistem yang lebih demokratis. Karena
itu aspek perundang-undangan di bidang sosial politik, HAM,
pemberantasan KKN, kemerdekaan kekuasaan kehakiman,
penyesuaian terhadap standar-standar baku internasional, perangkat
232
hukum menghadapi pasar bebas, terus dilakukan untuk sesegera
mungkin mengatasi penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran HAM
dan memberantas KKN agar dapat menumbuhkan kepercayaan di
dalam dan di luar negeri sebagai pra-kondisi untuk masuk secara
terhormat dalam pergaulan internasional. Instrumentalisasi dan
politisasi hukum diusahakan untuk selalu mematuhi asas-asas hukum,
dengan keyakinan bahwa suatu sistem politik yang baik akan
menghasilkan produk hukum yang baik pula.
Namun demikian penting dikemukakan, bahwa keinginan ideal
seperti di atas, dalam prakteknya – terlebih di tengah euforia politik
yang tak kunjung mereda – bukan perkara yang mudah ditegakan
mengingat berbagai hambatan yang dijumpai di lapangan, baik yang
bersifat langsung maupun tidak langsung.
233
munculnya reaksi untuk menentang usaha pengaturan tentang
contempt of court yang sebenarnya sangat penting di negara demokrasi,
yang selalu mengandalkan adanya dukungan wibawa dan martabat
lembaga peradilan yang bersih.
Kesadaran hukum baik di lingkungan para penegak hukum
maupun masyarakat masih terasa sangat lemah. Kegagalan
menciptakan keadilan oleh penegak hukum masih sering terjadi,
dibarengi dengan masih banyaknya terjadi tindakan anomis serta
perbuatan main hakim sendiri (eigen richting ) di lingkungan
masyarakat. Yang terakhir ini, sebagian menggambarkan sikap umum
masyarakat yang semakin luruh kepercayaannya terhadap aparat
penegak hukum. Sistem peradilan yang terpadu, juga tidak kunjung
dapat ditegakkan, yang ujungnya selalu menimbulkan ketidakpuasan
bagi pencari keadilan di satu sisi, dan rusaknya citra penegak hukum
di sisi yang lain.
Masih langkanya panutan dan idola kepemimpinan di bidang
penegakan hukum yang diharapkan dapat menjadi prime mover, adalah
sisi kelemahan yang lain lagi. Perjalanan sejarah bangsa menunjukkan
bahwa efektivitas suatu sistem masih banyak ditentukan oleh kualitas
kepemimpinan sebagai pemegang peran utama sistem tersebut.
Kehidupan civil society di bidang hukum, cenderung lebih
melahirkan sikap “memusuhi” aparat penegak hukum ketimbang
sikap komplementer yang diperlukan. Fungsi legislatif DPR yang
secara konstitusional semakin kuat, tetapi karena kurang didukung
dengan profesionalisme yang cukup telah mengakibatkan peranan
eksekutif tetap saja dominan. Keterlambatan dalam hal ini tidak hanya
menimbulkan kesulitan dalam penegakan hukum, tetapi juga
mengurangi wibawa hukum, baik di mata bangsanya sendiri maupun
bangsa-bangsa lain. Sebagai contoh aktual, tudingan sementara pihak
di luar negeri bahwa Indonesia dianggap sebagai negara yang tidak
koperatif karena belum mempunyai UU tentang money laundering,
terasa merendahkan kalau bukan menyakitkan.
Lalu tindakan represif dan koersif yang dilakukan sering tidak
berimbang dengan tindakan preventif, misalnya dalam kasus
penanganan pelanggaran tata tertib perkotaan. Sikap pemberitaan
sejumlah media massa juga terkesan mengembangkan character
assasination, stigmatisasi, dan mengabaikan prinsip praduga tidak
bersalah, dan bahkan sebaliknya menggunakan pendekatan “praduga
234
bersalah”. Sementara itu, harmonisasi hukum terhadap standar-
standar baku universal di bidang HAM, baik menyangkut hak-hak
sipil, politik, sosial, ekonomi, budaya dan hak atas pembangunan,
masih jauh dari memadai. Ratifikasi terhadap konvensi internasional
lebih mengesankan sebagai langkah windowdressing, ketimbang
sebagai langkah-langkah sistematis yang serius.
Atas dasar fakta-fakta tersebut, hal-hal yang harus
dikembangkan dan dilakukan di masa datang, di samping
memperbaiki secara ad hoc kelemahan-kelemahan di atas, secara
sistemis harus dilembagakan pemikiran-pemikiran sebagai berikut ;
1. Hukum dalam kehidupan modern harus mendayagunakan
peranannya sebagai mekanisme pengintegrasi. Dalam hal ini hukum
selain bisa bersifat defensif melembagakan perubahan sosial
(dependent variable), juga bisa bersifat aktif bahkan sebagai alat
perubahan sosial (independent variable) atas dasar asas-asas hukum
yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab; mencakup proses
pembuatan hukum, proses penegakan hukum, dan proses
penanaman kesadaran hukum;
2. Hukum tetap harus dipandang dan difungsikan secara konsisten
sebagai salah satu unsur utama demokrasi dalam kerangka
pemerintahan yang transparan, akuntabel dan responsif, di samping
adanya sistem pemilihan umum yang jujur dan adil, perlindungan
terhadap HAM dan keberadaan masyarakat yang demokratis dan
percaya diri. Dalam hal ini hukum harus bisa memberikan landasan
hukum yang memadai bagi elemen-elemen demokrasi tersebut;
3. Sebagai unsur utama demokrasi hukum harus menjamin bahwa
para penyelenggara negara dalam melaksanakan tugasnya secara
transparan tunduk pada prinsip rule of law;
4. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dari pelbagai pengaruh baik
internal maupun eksternal, khususnya pengaruh eksekutif harus
ditegakkan;
5. Administrasi hukum dan peradilan harus transparan terhadap
pengawasan masyarakat yang efektif;
6. Akses yang terbuka bagi masyarakat untuk mencari dan
memperoleh keadilan melalui pengadilan, ombudsman dan
lembaga-lembaga lain, khususnya terhadap maladministrasi dan
kegagalan badan publik dalam menjalankan tanggungjawab
hukumnya.
235
Yang sangat memprihatinkan saat ini adalah masih belum
tuntasnya proses amandemen terhadap UUD 1945 dan proses
pembentukan Mahkamah Konstitusi yang keduanya akan merupakan
batu penguji mantap atau tidaknya sistem hukum nasional.
Penegakan Hukum
Penegakan hukum pada hakekatnya merupakan kebijakan
penerapan substansi hukum oleh penguasa atau rezim sesuai dengan
kebijakan sosial yang telah digariskan. Sesuai dengan konteks uraian
di atas, maka penegakan hukum pada dasarnya merupakan
instrumentalisasi hukum atau politisasi hukum, sebab apapun warna
kekuasaan dan corak rezim yang berlaku, hukum selamanya
merupakan instrumen yang efektif untuk mengamankan kebijakan
sosial yang digariskan. Dalam hal ini istilah ‘supremasi hukum’ yang
merupakan salah satu simbol demokrasi selalu dimanfaatkan untuk
menjaga citra ke dalam maupun ke luar negeri. Padahal baik buruknya
masih tergantung pada kualitas demokrasi yang dianut oleh penguasa
atau rezim yang bersangkutan. Rezim yang baik pasti akan
menghasilkan penegakan hukum yang baik pula.
Rezim paling otoriterpun akan mendayagunakan hukum sebagai
instrumen dengan dalih supremasi hukum dan demokratisasi. Sejarah
kehidupan hukum yang terurai di atas menggambarkan dengan jelas
pelbagai manipulasi proses instrumentalisasi hukum. Proses
instrumentalisasi hukum tidak hanya bersifat nasional untuk
percepatan pencapaian tujuan-tujuan politik penguasa atau untuk
memberikan pembenaran terhadap kebijakan-kebijakan penguasa atau
untuk melindungi kepentingan penguasa baik pribadi maupun
kolektif. Penjajah Belanda di masa lalu, mempengaruhi sistem hukum
yang berlaku di Indonesia (sekaligus mendukung kebijakan
sosialnya), melalui asas konkordansi, yurisprudensi dan doktrin
hukum yang diajarkan oleh para sarjana hukum Belanda. Pengaruh
tersebut sampai saat ini masih terasa akibatnya.
Selain berdimensi nasional, instrumentalisasi atau politisasi hukum
dapat pula bersifat internasional sehubungan dengan proses globalisasi
yang sarat dengan kepentingan politik, ekonomi dan sebagainya. Proses
globalisasi yang menggeser orientasi konsep kepentingan dan
kesejahteraan nasional menjadi konsep kepentingan dan kesejahteraan
regional dan global, jelas didominasi atau bias kepentingan “negara-
236
negara kuat”di bidang ekonomi. Standar-standar baku yang lebih
menguntungkan kepentingan mereka secara sistematis diterapkan ke
seluruh dunia. Standar baku tersebut tidak hanya berkaitan dengan
kehidupan ekonomi, tetapi juga di bidang politik sebagai kerangka
dasarnya. Sebagai contoh, pasar bebas hanya mungkin terjadi di dalam
kehidupan demokrasi yang menjunjung tinggi promosi dan
perlindungan HAM, pemerintahan yang transparan dan akuntabel
serta kehidupan masyarakat madani yang sehat.
Untuk itu, secara sistematis pelbagai negara dunia pada akhirnya
harus meratifikasi konvensi internasional yang mengatur standar-
standar baku tersebut serta mendayagunakan ‘dispute settlement
bodies’ yang tersedia guna menyelesaikan persoalan-persoalan yang
timbul, tentu dengan pelbagai konsekuensi bagi yang tidak
mentaatinya. Tidak begitu peduli apakah suatu bangsa sudah siap
atau belum. Sebagai contoh adalah stigma “negara non koperatif”
bagi negara-negara yang tidak segera mengatur ‘money laundering’
— yang sebenarnya membutuhkan persiapan-persiapan yang matang
— dengan sendirinya menanggung konsekuensi akibat beban stigma
tadi. Contoh lain adalah betapa tergopoh-gopohnya Indonesia
mengatur Pengadilan HAM — sekalipun Indonesia belum meratifikasi
Statuta Roma 1998 – hanya karena tekanan internasional untuk
menggelar Pengadilan Internasional apabila Indonesia dinilai tidak
mampu dan tidak mau untuk mengadili pelanggaran HAM berat.
Instrumentalisasi hukum secara internasional bisa dalam bentuk
direct enforcement seperti pengadilan HAM internasional ad hoc
(Pengadilan ini mempunyai sifat ‘pimacy’ terhadap pengadilan
nasional, sedangkan Statuta Roma 1998-ICC- menggunakan istilah
complementary), bisa juga dalam bentuk indirect enforcement melalui
ratifikasi konvensi internasional, hukum kebiasaan internasional,
penerapan asas-asas umum, keputusan hakim dan pandangan para
hakim. Atau bisa juga melalui keterpaksaan untuk melakukan
harmonisasi hukum internasional.
Kemudian, instrumentalisasi hukum bisa melalui hukum pidana,
hukum perdata maupun hukum administrasi. Bahkan bisa pula melalui
kebijakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan (alternative dispure
resolution) atau kebijakan yang bersifat ad hoc. Yang penting adalah
sampai seberapa jauh instrumentalisasi hukum atau politisasi hukum
tidak menimbulkan kesan telah terjadinya kegagalan penguasa untuk
237
menciptakan keadilan (miscariage of justice) yang bertentangan dengan
keadilan yang menjunjung tinggi prinsip fairness dan mutual respect.
238
profesional, berkualitas baik moral maupun intelektual; (17)
keberadaan elemen-elemen civil society yang secara komplementer
berjuang bersama penguasa untuk merealisasikan supremasi hukum;
(18) keberadaan sistem pendidikan hukum dan pelatihan hukum yang
terpadu dan dapat menjamin kualitas pengetahuan, keterampilan dan
kepekaan sosial lulusannya serta sikap-sikap profesional yang otonom,
ahli, penuh rasa tanggungjawab sosial, taat kepada kode etik dan
menghormati kesejawatan; (19) keberadaan “pakar hukum” yang
selalu menyerukan kritik dan kebenaran atas dasar kebebasan
akademik dan budaya akademik.
Instrumentalisasi hukum yang taat asas akan menimbulkan
kepercayaan bagi pencari keadilan baik dari dalam maupun luar negeri,
dan pada gilirannya dapat memberikan sumbangan dalam
reformasi.Tidak dipenuhinya pelbagai standar di atas akan
mengakibatkan bahwa total enforcement yang kemudian berkembang
menjadi full enforcement setelah dibatasi oleh hukum akan cenderung
memunculkan actual enforcement yang penuh dengan diskresi yang legal.
Sistem Sosial
Hal lain yang perlu dikaji adalah kenyataan bahwa sistem
penegakan hukum pada dasarnya merupakan subsistem sosial. Dalam
instrumentalisasi hukum diharapkan agar hukum sebagai sarana
pengintegrasi dapat mempengaruhi perkembangan sosial. Namun
kenyataannya, efektivikasi hukum justru lebih sering dipengaruhi
secara signifikan oleh perkembangan sosial, persis seperti yang kita
rarasakan saat ini di Indonesia. Dalam kasus Bulogate II misalnya,
unsur “permainan politik” sangat transparan dalam tarik ulur
pembentukan Panitia Khusus. Praktek lobbi-lobbi politik dalam
penegakan hukum, inkonsistensi dalam penegakan hukum (misalnya
tersangka yang kasusnya lebih ringan ditahan, yang sangat berat
tidak ditahan) hampir menjadi berita sehari-hari. Demikian pula ribut-
ribut tentang KPP HAM Trisakti, akibat DPR terlanjur (atau
kebablasan) menetapkan tidak adanya pelangaran HAM berat,
padahal substansinya menyangkut wewenang penyidik. Selama Polri
sebagai penegak hukum, dan Jaksa Agung masih menjadi bagian
eksekutif di bawah Presiden maka kemungkinan timbulnya kesan
intervensi eksekutif terhadap administrasi peradilan tetap akan
terjadi. Contohnya adalah bantuan beberapa mobil dari suami Presiden
239
kepada Polri melalui Presiden telah dikhawatirkan akan
mempengaruhi independensi Polri terhadap eksekutif dan keluarga
Presiden. Pengaruh politik saat ini sangat kuat dengan semakin
kuatnya Badan Legislatif (DPR) sebagai representasi partai-partai
yang mempunyai fungsi-fungsi pengawasan, budget dan legislasi.
Seperti diuraikan di atas, fungsi legislasi merupakan salah satu
kendaraan yang kuat untuk melakukan politisasi hukum.
Di bidang sosial budaya muncul rupa-rupa gejala yang terasa
mencemaskan, seperti menguatnya ikatan primordial yang diwarnai
oleh kerusuhan-kerusuhan etnis, antar pemeluk agama, separatisme,
penafsiran otonomi yang sempit, kecemburuan sosial karena
kesenjangan ekonomi, yang seluruhnya sering memunculkan sikap-
sikap anomis. Penegakan hukum sering kelihatan ragu-ragu, dan
dalam banyak kasus — karena dipandang membawa dampak politik
— cenderung diselesaikan di luar pengadilan. Belum lagi masalah
pornografi dan narkoba yang merajalela di lingkungn pergaulan anak
muda, yang penegakan hukumnya terasa kurang disemangati
kerjasama yang baik. Usul untuk membentuk semacam Drug
Enforcement Administration (DEA) dengan kewenangan yang luas
seperti di USA mungkin dapat dipertimbangkan. Sikap feodalistik
dan paternalistik di lingkungan birokrasi juga masih sangat
berpengaruh. Contohnya ada Rektor sebuah PTN yang enggan atau
malu untuk melaksanakan keputusan PTUN yang memenangkan
mahasiswanya. Dia tidak sadar bahwa “penyepelean” keputusan
pengadilan sebenarnya merupakan contempt of court juga.
Di bidang ekonomi kondisinya jauh lebih gawat lagi, bahkan
dapat dikatakan bahwa krisis multidimensional sebenarnya pertama
kali justru dipicu oleh krisis ekonomi yang berkelanjutan.
Pengangguran yang mencapai 40 juta orang jelas sangat eksplosif dan
dapat mendorong kenekatan yang membabi buta untuk melakukan
tindak pidana. Selanjutnya krisis BLBI dengan perlakuan yang sangat
lunak (perpanjangan PKPS) jelas akan menimbulkan reaksi sosial
terhadap lemahnya penegakan hukum, sebab para ahli hukum
beranggapan bahwa secara selektif kasus tersebut dapat dikaitkan
dengan tindak pidana korupsi dan pelanggaran BMPK.
Soal keamanan tidak kalah seriusnya. Saat ini aparat keamanan
dalam banyak hal terlihat menjadi semakin “bingung” dan “gamang”.
Penjelasan apa yang bisa diberikan jika tewasnya seorang panglima
240
gerakan separatis bersenjata dalam kontak senjata justru menimbulkan
simpati dan menyalahkan aparat keamanan?
Sistem pendidikan hukum dan pelatihan hukum dituduh turut
andil dalam kekacauan penegakan hukum saat ini. Persoalan
standardisasi dan disparitas kualitas masih menonjol antara PTN dan
PTS, antara PT di Jawa dan luar Jawa. Sulitnya mencari dana
penataran nasional, tidak berkembangnya asosiasi-asosiasi profesi
dosen, terbatasnya dana beasiswa untuk pendidikan lanjut sangat
dirasakan. Belum lagi kelangkaan dana riset, sudah menjadi cerita
lama yang terus berulang.
Tuntutan adanya one roof training bagi penegak hukum termasuk
pengacara agaknya perlu mulai dipikirkan secara lebih serius. Dengan
demikian mereka mempunyai visi, misi dan persepsi yang sama
tentang sistem hukum di Indonesia, sedangkan di pengadilan hanya
terjadi kompetisi pembuktian untuk mencapai kebenaran materiil.
Untuk menutup bagian akhir tulisan ini, penulis merasa perlu
mengemukakan beberapa catatan sebagai berikut:
(1)Pendapat tentang perlunya diadakan Indonesian Law Summit harus
ditanggapi secara positif, sekalipun hal tersebut bukan merupakan
ide yang baru. Seminar Hukum Nasional yang sudah
diselenggarakan beberapa kali juga dicatat telah menghasilkan
pemikiran-pemikiran yang strategis. Apapun namanya pertemuan
tersebut, harus dapat menghasilkan Rencana Aksi Nasional di
bidang hukum yang operatif dalam suasana reformasi hukum.
(2)Pemberantasan KKN yang efektif hanya dapat terjadi bilamana
(a) adanya kemauan politik yang kuat; (b) adanya perencanaan
strategis yang baik dan komprehensif; (c) adanya kepemimpinan
yang profesional dan bermoral di semua lini; dan (d) adanya
tekanan sosial yang terus menerus. Salah satu langkah strategis
yang dapat diterapkan adalah ditanamkannya agen-agen anti
korupsi secara rahasia di instansi-instansi dan lembaga-lembaga
yang rawan korupsi. Di samping itu keberadaan Komisi
Pemberantasan Korupsi, semoga saja dapat membawa harapan
baru. n
241
Kontroversi
Seputar Sistem Pembuktian Terbalik
Pendahuluan
Semangat untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN) merupakan bagian tak terpisahkan dari tuntutan reformasi
yang harus dilakukan secara menyeluruh pasca runtuhnya sistem
kekuasaan otoriter Orde Baru. Setiap orang tentu memiliki tafsir dan
pengertiannya sendiri tentang reformasi, termasuk makna praksisnya
dalam konteks Indonesia saat ini. Tetapi penulis sendiri cenderung
lebih memahaminya sebagai tekad yang dibarengi dengan segenap
usaha sistematis dan mendasar dari bangsa Indonesia untuk
mengaktualisasikan secara simultan nilai-nilai dasar demokrasi, yang
pada ujungnya bermuara pada empat nilai dasar yaitu; (a) asas-asas
umum masyarakat demokratis; (b) pemilihan umum yang jujur dan
adil; (c) pemerintahan yang terbuka, akuntabel dan otonom; dan (d)
promosi dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM). Dalam
butir ketiga, terkait semangat untuk menciptakan ‘good governance’,
yang antara lain berupa gerakan untuk pemberantasan KKN.
Pasca runtuhnya kekuasaan Orde Baru, segenap upaya untuk
menekan bentuk-bentuk penyimpangan kekuasaan yang di era Orde
Baru lazim dilakukan, telah diupayakan dan diharapkan sedapat
mungkin memberikan kerangka bagi tindakan-tindakan pencegahan
baik secara substantif, struktural, maupun kultural. Secara substantif
perubahan dimulai dengan terbitnya TAP MPR RI No. XI/MPR/1998
tentang Penyelenggaran Negara Yang Bersih dan Bebas KKN yang
ditindaklanjuti dengan UU No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara
Negara Yang Bersih dan Bebas KKN. Selanjutnya diundangkan UU
No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
242
Sebagai pelengkap diterbitkan PP No.65 Tahun 1999 dan PP No.66
Tahun 1999 yang keduanya mengatur tentang Tata Cara Pemeriksaan
Kekayaan Penyelenggara Negara dan Persyaratan dan Tata Cara
Pengangkatan Serta Pemberhentian Anggota Komisi Pemeriksa dan
Keppres tentang Pengangkatan Anggota Komisi tersebut.
Secara substantif, saat ini juga sedang disiapkan RUU tentang
Money Laundering dan RUU tentang perlindungan saksi, semacam
‘Whistleblower Act’ atau ‘Protection of Informers di beberapa negara.
Dalam hal ini usaha-usaha untuk mengadakan perjanjian ekstradisi
dan mutual legal assistance dengan negara-negara lain harus terus
diusahakan, mengingat korupsi dapat pula bersifat transnasional,
sebagaimana nampak dari rekomendasi yang dikemukakan oleh
pelbagai pertemuan internasional (Anti-Corruption Summit Conference)
termasuk apa yang telah dirumuskan oleh OECD (Organization of
Economic Cooperation and Development) berupa OECD Anti Corruption
Convention, 1999.
Secara struktural, di samping dibentuk Komisi Pemeriksa
Kekayaan Penyelenggara Negara yang saat ini sudah mulai
melaksanakan tugasnya, dibentuk pula Komisi Ombudsman Nasional
dengan Keppres No.44 Tahun 2000, yang melalui peran serta
masyarakat akan membantu menciptakan dan atau mengembangkan
kondisi yang kondusif dalam melaksanakan pemberantasan KKN dan
meningkatkan perlindungan hak-hak masyarakat agar memperoleh
pelayanan umum, keadilan, dan kesejahteraan secara lebih baik. Pada
dasarnya lembaga ini berusaha untuk mempromosikan ‘administrative
fairness’ dalam rangka mencapai birokrasi yang bersih dan transparan.
Dalam kaitannya dengan aspek struktural — atas dasar Pasal 43
ayat (4) UU No.31 Tahun 1999 – sudah semestinya harus segera
dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang bersifat
independen, yang pada hakekatnya merupakan koordinator seluruh
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi
dalam batas-batas wewenang yang ditentukan dalam UU (RUU
tentang Pembentukan Komisi ini sedang disiapkan oleh suatu tim
yang dikoordinasikan oleh Departemen Kehakiman dan HAM).
Komisi semacam ini sudah dikenal di beberapa negara seperti
Hongkong (Independence Commission Against Corruption), Malaysia
(Anti Corruption Agency), Singapura (Singapore’s Corruption Prevention
and Investigation Bureau), Thailand (Thailand’s National Counter
243
Corruption Commission) dan sebagainya. Fungsi lembaga-lembaga ini
tidak terbatas pada fungsi investigasi dan penuntutan tetapi juga
mencakup fungsi-fungsi seperti pendidikan dan peningkatan
kesadaran, fungsi preventif, dan fungsi legislatif.
Secara kultural, kampanye anti korupsi terus dilakukan dan secara
sistematis lembaga-lembaga pengawas seperti BPK (Badan Pengawas
Keuangan) dan sejenisnya, juga lembaga-lembaga penegak hukum
lainnya, terus melakukan langkah-langkah preventif, represif dan
kuratif untuk memberantas KKN. Apabila pengertian korupsi secara
komprehensif telah diatur dengan UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka perbuatan kolusi dan
nepotisme telah dikriminalisasikan melalui UU No.28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari KKN.
244
“hal ihwal kegentingan yang memaksa” yang sekaligus bersifat
debatable — dan karenanya dapat diduga kalangan DPR akan
memperdebatkannya. Mengingat kedudukan PERPU di bawah
Undang-undang, maka Mahkamah Agung tentu dapat mengujinya
secara materiil.
Tetapi, bagaimanapun juga masalah “pembuktian terbalik”
merupakan sesuatu yang bersifat urgen. Karena itu sebaiknya
pengaturannya memang melalui undang-undang yang dipersiapkan
secara matang (misalnya melalui draft akademis) sehingga tidak
terkesan serampangan atau biasa disebut “panic regulation” , yang
ciri-cirinya berupa tidak sistemik, adhoc, jangkauannya pendek,
bersifat semata-mata retributif, dan rawan terhadap pelanggaran asas
hukum dan HAM. Pengaturan tentang pembuktian terbalik cenderung
untuk diatur sebagai bagian integral dari amandemen terhadap UU
No.31 tahun 1999 tentang “Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”,
yang antara lain juga menambahkan pasal tentang “Ketentuan
Peralihan” yang belum diatur oleh Undang-undang tersebut.
Terlepas dari debat mengenai bentuk perundang-undangannya,
yang harus dihargai adalah filosofi di belakang ide tersebut
mengandung semangat untuk memberantas KKN. Dalam konteks
ini penting untuk dikemukakan bahwa berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Transparancy International dan PBRC (Political and
Economic Risk Consultancy) yang berkedudukan di Hongkong,
Indonesia selalu menempati ranking yang memprihatinkan karena
masuk dalam ketegori sebagai negara rawan korupsi. Lepas dari
kelemahan-kelemahan metodologis – karena itu sempat menimbulkan
keberatan sejumlah pihak – dari penelitian itu, kita harus mengakui
fakta-fakta yang menyakitkan ini bahwa korupsi di Indonesia memang
sudah bersifat sistemik dan endemik sehingga memerlukan
instrumen-instrumen hukum luar biasa untuk menanganinya, tentu
sepanjang tidak menyimpang dari pelbagai standar yang berlaku
secara universal.
245
keseimbangan antara kekuasaan negara dengan perlindungan
terhadap hak-hak individu, maka sistem pembuktian merupakan “inti
filter” itu sendiri, sebab melalui proses pembuktian akan ditentukan
apakah kekuatan pembuktian dari setiap alat bukti (tersebut dalam
Pasal 184 KUHAP) akan menjadikan seorang terdakwa dibebaskan,
dilepaskan dari segala tuntutan, ataukah dipidana.
Secara universal atas dasar asas praduga tidak bersalah, beban
pembuktian dalam kasus kriminal terletak di tangan jaksa penuntut
umum sebagai aparat yang berwenang mewakili pemerintah
(kekuasaan publik) untuk membuktikan unsur-unsur tindak pidana
yang didakwakan. Setiap unsur tindak pidana harus dibuktikan secara
sah dan meyakinkan. Dalam hal ini keterangan terdakwa yang
dikemukakan di sidang pengadilan merupakan salah satu alat bukti
yang sah. Keterangan tersebut bisa atas inisiatif sendiri atau
merupakan jawaban atas pertanyaan hakim, penuntut umum atau
penasehat hukum. Isi keterangan bisa berupa pengakuan bisa pula
berupa pengingkaran.
Sesuai dengan Pasal 189 ayat (4) KUHAP, keterangan terdakwa
saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan
perbuatan yang didakwakan kepadanya, karena itu harus disertai
dengan alat bukti yang lain. Hal ini sesuai dengan asas minimum
pembuktian bahwa untuk menjatuhkan pidana terhadap terdakwa,
sekurang-kurangnya dibutuhkan dua alat bukti yang sah. (Pasal 183
KUHAP).
Persoalan muncul sehubungan dengan tuntutan untuk
menerapkan asas pembuktian terbalik yang harus dilakukan oleh
seorang terdakwa, yang juga diterapkan di beberapa negara sebagai
lex apecialis, mengingat sifat beratnya kejahatan-kejahatan tertentu
(seperti korupsi, perpajakan, narkotika, perlindungan konsumen dan
sebagainya) yang dianggap sebagai extraordinary crimes sehingga
penanganannyapun membutuhkan extraordinary instruments. Dikatakan
terdakwa, sebab secara universal tidak dikenal pembuktian terbalik
yang bersifat umum, sebab hal ini sangat rawan terhadap pelanggaran
HAM. Seseorang tidak dapat dituduh melakukan korupsi di luar
proceeding (dalam kedudukan sebagai terdakwa) hanya karena yang
bersangkutan tidak dapat membuktikan asal-usul kekayaannya.
Dengan demikian sekalipun dalam hal ini berlaku asas praduga
bersalah; dalam arti diduga melakukan korupsi tetapi beban
246
pembuktian terbalik tersebut harus dalam kerangka proceeding kasus
atau tindak pidana tertentu yang sedang diadili berdasarkan Undang-
undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berlaku. Tanpa
adanya pembatasan semacam ini maka sistem pembuktian terbalik
pasti akan menimbulkan miscarriage of justice yang bersifat kriminogin.
Hal ini penting untuk diperhatikan, sebab fungsi kekuasaan atau
penegakan hukum disamping harus mengendalikan kejahatan juga
tetap harus melindungi hak-hak individu. Dalam hal ini terkait
dengan penyimpangan terhadap asas praduga tidak bersalah dan
asas non self incrimination.
Pengaturan hukum pidana tidak boleh mengesankan adanya
kepanikan yang menyimpang dari asas-asas hukum tanpa dasar dan
tanpa restriksi serta limitasi. Sikap berlebihan justru akan
menimbulkan ketidakadilan karena mengesankan terjadinya
overkriminalisasi dan pengaturan yang tidak proporsional serta
membuka peluang untuk terjadinya ekses, seperti pemerasan
(extortion) dan rasa was-was di masyarakat yang cenderung
menyimpang dari tujuan hukum, yakni rasa kepastian, keadilan, dan
sebagainya.
Sebagai pembanding di bawah ini akan digambarkan sistem
pembuktian terbalik yang berlaku di Britania Raya, Republik
Singapura, dan Malaysia. Di Britania Raya, atas dasar Prevention of
Corruption Act 1916 terdapat pengaturan apa yang dinamakan praduga
korupsi untuk kasus-kasus tertentu yang bunyinya adalah sebagai
berikut:
“Jika dalam kasus dakwaan terhadap seseorang karena kejahatan di
bawah Undang-undang 1906 tentang Pencegahan Korupsi, atau UU
1889 tentang Pelbagai Praktek Korupsi Badan-badan Publik, terbukti
bahwa uang, hadiah, atau upah lain dibayar atau diberikan kepada
atau diterima oleh seseorang yang memiliki jabatan di lingkungan
Kerajaan atau Departemen Pemerintahan atau Badan Publik dari
seseorang, atau suatu agen yang memiliki atau berusaha mendapatkan
kontrak dari Raja atau Departemen Pemerintahan atau Badan Publik,
maka uang, hadiah atau upah tersebut dianggap sebagai pemberian
atau pembayaran dan penerimaan yang bersifat korupsi sebagaimana
disebutkan dalam undang-undang, kecuali terbukti sebaliknya”.
247
“Jika dalam kasus dakwaan terhadap seseorang karena kejahatan di
bawah pasal 5 atau 6 terbukti bahwa iming-iming diberikan kepada
atau diterima oleh seseorang yang memiliki jabatan di lingkungan
pemerintah atau departemen tertentu atau badan publik atau suatu
agen yang berusaha untuk mendapatkan kontrak dari Pemerintah atau
Departemen Pemerintahan atau badan publik, maka iming-iming atau
pemberian tersebut dianggap sebagai pembayaran dan penerimaan
yang bersifat korupsi sebagai pelicin sebagaimana disebutkan
sebelumnya kecuali terbukti sebaliknya”.
248
Sebagai catatan perlu dikemukan, yaitu apabila akan diatur sistem
pembuktian terbalik hendaknya tidak berlaku surut, sebab akan
bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28 ayat (1), di samping
bertentangan dengan instrumen-instrumen HAM internasional.
Model sebagaimana diterapkan dalam Peradilan ad hoc yang berlaku
surut hendaknya merupakan yang pertama dan terakhir mengingat
sifatnya sebagai bagian dari the international customary law.
Kesimpulan
1. Pengaturan sistem pembuktian terbalik dapat dilakukan, sebab
hal ini juga dikenal di beberapa negara, dan harus
dipertimbangkan sebagai lex specialis dengan menerapkan asas
praduga bersalah.
2. Pengaturan sistem pembuktian terbalik tidak dapat dilakukan
secara umum sebab rawan terhadap pelanggaran HAM, sehingga
diperlukan restriksi dan limitasi bahwa seseorang harus dalam
kedudukan terdakwa terlebih dahulu dalam kerangka proses
peradilan dalam kasus atau tindak pidana tertentu, sebagaimana
diatur dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
berlaku.
3. Di pelbagai negara ketentuan tentang asas pembuktian terbalik
berkaitan tindak pidana korupsi tertentu, khususnya tindak pidana
suap atau pemberian lainnya yang terkait dengan jabatan
dimilikinya untuk melakukan transaksi dengan si pemberi.
4. Pengaturan tentang sistem pembuktian terbalik akan berkaitan
dengan sistem kewajiban melapor telah terjadinya suap atau
pemberian lainnya yang di pelbagai negara dilakukan kepada
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
5. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut
dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan
bahwa dakwaan tidak terbukti.
6. Dalam kaitannya dengan UU No.31 Tahun 1999, pembuktian
tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilan atau
sumber penambahan kekayaannya, keterangan tersebut digunakan
untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa
telah melakukan tindak pidana korupsi (tindak pidana pokok)
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 16
249
UU No. 31 Tahun 1999. Dalam hal ini jaksa penuntut umum tetap
wajib membuktikan dakwaannya.
7. Pengaturan tentang sistem pembuktian terbalik cenderung
diintegrasikan ke dalam undang-undang yang mengatur
perubahan atas UU No.31 Tahun 1999. Pengaturan melalui Perpu
hendaknya dihindarkan mengingat kedudukan Perpu berada di
bawah Undang- undang, di samping adanya persyaratan “hal
ihwal kegentingan yang memaksa” yang bersifat debatable.
8. Ketentuan tentang sistem pembuktian terbalik hendaknya tidak
berlaku surut, sebab akan bertentangan dengan UUD 1945 dan
Instrumen HAM nasional maupun internasional. n
250
Politik Hukum Pidana,
Dasar Kriminalisasi dan De Kriminalisasi,
serta Beberapa Asas Dalam RUU KUHP
251
yang berlaku juga tidak mudah mengingat banyaknya aliran dalam
hukum pidana, asosiasi profesional hukum pidana yang berkembang,
dan perbedaan sistem hukum atau keluarga hukum yang ada. Dengan
demikian melalui metode perbandingan hukum dan sistem hukum
antar negara — yang juga pernah mengalami pembaharuan hukum
pidana — sejauh mungkin dapat digali common denominators dan
pelbagai kecenderungan jangka panjang yang dapat diadopsi setelah
melalui adaptasi yang akurat.
Sepanjang mengenai perbandingan hukum, pelbagai KUHP
negara-negara modern telah dikaji, baik yang masuk dalam kategori
keluarga hukum Eropa Continental, Negara-negara Anglo Saxon,
Sosialis, Timur Tengah dan Timur Jauh, kecenderungan Internasional
diamati melalui pelbagai konvensi internasional, model-law, resolusi
PBB, code of conduct, standard minimum rules, deklarasi, asas-asas, rules,
safeguards, basic principles, guidelines, model treaty, hasil pelbagai
kongres internasional, hasil seminar asosiasi hukum pidana,
kriminologi, viktimologi internasional, jurnal-jurnal ilmiah dan hasil-
hasil riset dari lembaga-lembaga terkemuka.
Melakukan pembaharuan terhadap kodifikasi hukum pidana
yang telah berumur lebih dari 100 tahun bukanlah pekerjaan yang
gampang (Nederlandse Wetboek van Strafrecht lahir berdasarkan UU
tanggal 2 Maret 1881 Stb. 35 dan mulai berlaku tanggal 1 September
1886 atas dasar Undang-undang pengesahan (Invoeringswet) tanggal
15 April 1886 Stb. 64). KUHP Belanda ini mempengaruhi hukum pidana
Indonesia secara mendasar melalui tiga jalur yaitu; (a) melalui asas
konkordansi zaman Hindia Belanda; (b) melalui doktrin hukum yang
berkembang pada saat KUHP tersebut disusun (MvT); dan (c) melalui
text book hukum pidana yang ditulis oleh para sarjana hukum Belanda
serta melalui kajian yurisprudensi.
Di samping itu tak dapat dikesampingkan perkembangan dalam
suasana kemerdekaan pasca UU No.1 Tahun 1946 dan perkembangan
akibat harmonisasi dengan perkembangan internasional. (Di era
reformasi “criminal law reform” mendapat misi baru yaitu melakukan
demokratisasi hukum pidana seperti promosi dan perlindungan HAM
dan sebagainya).
Aliran Hukum
Untuk dapat memahami hukum pidana yang berlaku di suatu bangsa
252
(hukum positif) termasuk “ius constituendum” hukum pidana Indonesia
berupa RUU KUHP Indonesia, secara strategis perlu dipahami aliran
hukum pidana yang dianut dan tujuan pemidanaan yang diadopsi.
Aliran pertama yang tumbuh sebagai reaksi tersebut ancien regime
yang arbitrair pada abad ke 18 di Perancis adalah aliran klasik.
Karakteristik aliran ini adalah: (a) legal definition of crime; (b) let the
punishment fit the crime, (c) doctrine of free will; (d) death penalty for some
offense; (e) anecdotal method no empirical research; (f) definite sentence. Aliran
ini sangat mewarnai KUHP Belanda pada saat pembentukannya, sebagai
pengaruh KUHP Perancis, tentunya dengan beberapa modifikasi sebagai
akibat pengaruh Aliran Modern. Hukum pidana dalam kerangka Aliran
Klasik disebut “Daadstrafrecht” atau “Tatsstrafrecht” yakni hukum pidana
yang berorientasi pada perbuatan (offense-oriented).
Aliran yang kedua adalah “Aliran Modern” yang timbul pada
abad 19 dan yang menjadi pusat perhatiannya adalah si pembuat
(offender-oriented). Aliran ini sering juga disebut “aliran positif”, karena
dalam mencari sebab kejahatan menggunakan metode ilmu alam dan
bermaksud untuk langsung mendekati dan mempengaruhi penjahat
secara positif sejauh masih dapat diperbaiki. Karakteristik “Aliran
Modern” adalah: (a) rejected legal definition of crime and substituted
natural crime; (b) let the punishment fit the criminal; (c) doctrine of
determinism; (d) abolition of the death penalty; (e) empirical research: use
of inductive method; (f) indeterminate sentence.
Sekalipun KUHP secara sistemik didominasi “Aliran Klasik”,
namun secara sporadis juga sudah dipengaruhi Aliran Modern,
seperti pengaturan tentang pidana bersyarat, masuknya sistem
tindakan, dan sebagainya. Aliran Modern disebut sebagai
“daderstrafrecht” atau “taterstrafrecht”.
Aliran yang ketiga adalah aliran “Neo Klasik”. Aliran ini
berkembang bersamaan dengan aliran modern dan berdasarkan juga
pada “Doctrine of Free Will” dengan modifikasi. Aliran ini berusaha
secara simultan untuk memperhatikan baik perbuatan maupun si pelaku
(offence-offender oriented). Karakteristiknya adalah: (a) modifikasi dari
“doctrine of free will” yang dapat dipengaruhi oleh patologi,
ketidakmampuan, penyakit jiwa, atau keadaan lain; (b) diterima
berlakunya keadaan-keadaan yang meringankan (mitigating
circumstances) baik fisikal, lingkungan maupun mental; (c) modifikasi
doktrin pertanggungjawaban pidana guna menetapkan peringanan
253
pidana dengan pertanggungjawaban sebagian di dalam hal-hal khusus
seperti gila, di bawah umur dan keadaan-keadaan lain yang dapat
mempengaruhi pengetahuan dan niat seseorang pada saat terjadinya
kejahatan; (d) diperkenankan masuknya kesaksian ahli (expert
testimony) untuk menentukan derajat pertanggungjawaban. Aliran Neo
Klasik pada dasarnya merupakan gabungan unsur-unsur positif Aliran
Klasik dan Aliran Modern dan banyak dianut pelbagai negara di dunia.
Masih bisa dicatat di sini aliran-aliran lain seperti “Aliran
Perlindungan Masyarakat” (de leer van de Defense Sociale), “Aliran
Perlindungan Masyarakat Baru” dan “Mazhab Utrecht” yang
menganggap kejahatan sebagai suatu gejala manusiawi dan
pernyataan seluruh kepribadian pelaku. Sesudah diadili dan kemudian
dipidana atau diperbaiki, selanjutnya harus dipupuk dan
dikembangkan. Kepada para penjahat, Aliran Perlindungan
Masyarakat ingin memberikan kekuatan “mengekang diri sendiri”
dan memupuk perasaan tanggungjawab penjahat, sebagai
pertanggungjawaban sesama manusia terhadap penjahat (de
“verantwoordelijkheid van de medemens” tegenover de delinquent).
Dikaitkan dengan teori tujuan pemidanaan, maka pemahaman
akan aliran-aliran tersebut akan membawa pembuat kebijakan kepada
cakrawala hukum yang lebih luas sebelum mengambil putusan tentang
tujuan pemidanaan yang akan digariskan. Dari Pasal 50 RUU KUHP
nampak bahwa secara selektif para perancang ingin mengadopsi teori
gabungan dari “Teori Absolut” yang berorientasi pada pembalasan
dan “Teori Relatif” yang bernuansa kemanfaatan, dengan
menyertakan pula pengalaman “sistem pemasyarakatan” yang telah
diterapkan di Indonesia selama bertahun-tahun. Pandangan
penyelesaian konflik dalam kerangka ekuilibrium mendapatkan
pembenaran dari pandangan adat.
Teori Pembalasan tidak nampak secara eksplisit, sebab secara
implisit pembalasan dalam arti konstruktif dan positif (yang dibatasi
oleh kesalahan si pelaku dan tidak membabi buta) dianggap telah
tercakup dalam tujuan pemidanaan yang lain. Tujuan pemidanaan
yang pertama berupa mencegah dilakukannya tindak pidana dengan
menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat
merupakan refleksi dari teori “Prevensi General” (menegakkan
wibawa pemerintah, menegakkan norma dan membentuk norma).
Di sini sekaligus dimasukkan fungsi perlindungan (de beveiligende
254
werking). Sedangkan tujuan yang kedua berupa memasyarakatkan
terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang
yang baik dan berguna, mencerminkan “Teori Prevensi Spesial”, yaitu
untuk mendidik dan memperbaiki.
Tujuan pemidanaan ketiga (menyelesaikan konflik yang ditimbulkan
oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, mendatangkan rasa
damai dalam masyarakat) disamping mendapatkan dukungan kultural
hukum adat berupa mengembalikan “evenwicht”, nampaknya secara
konseptual mengadopsi pandangan LHC Hulsam yang menyatakan
bahwa dua tujuan penting dari pidana adalah mempengaruhi tingkah
laku dan penyelesaian perselisihan (gedragbeinvloeding en conflictoplossing).
Hal ini mencakup memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh suatu
hna pnyaHulrupanuSpeiki.
255
Konsep “tindak pidana” yang dianut tetap mempertahankan asas
legalitas, dengan perkecualian diakuinya secara positif hukum yang
hidup atau hukum adat, walaupun perbuatan tersebut tidak diatur
dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 1 RUU, dan selanjutnya
dalam Pasal 15 RUU, sejauh menyangkut unsur sifat melawan hukum
maka dimasukan unsur materiil berupa “bertentangan dengan
kesadaran hukum masyarakat”. Dan apabila terjadi benturan antara
keadilan dan kepastian hukum, hakim sejauh mungkin harus
mengutamakan rasa keadilan di atas kepastian hukum, seperti
dilukiskan dalam sebuah adagium: “Penegakan hukum tanpa moral
merupakan kezaliman, sebaliknya penegakan moral tanpa hukum
merupakan anarki”.
Mengenai ukuran kriminalisasi dan deskriminalisasi secara
doktrinal harus berpedoman pada hal-hal sebagai berikut:
a) kriminalisasi tidak boleh terkesan menimbulkan
“overkriminalisasi” yang masuk kategori “the misuse of criminal
sanction”;
b) kriminalisasi tidak boleh bersifat ad hoc;
c) kriminalisasi harus mengandung unsur korban (victimizing) baik
aktual maupun potensial;
d) kriminalisasi harus memperhitungkan analisa biaya dan hasil dan
prinsip ultimum remedium;
e) kriminalisasi harus menghasilkan peraturan yang “enforceable”;
f) kriminalisasi harus memperoleh dukungan publik;
g) kriminalisasi harus mengandung unsur “subsosialiteit”
(mengakibatkan bahaya bagi masyarakat, sekalipun kecil sekali);
h) kriminalisasi harus memperhatikan peringatan bahwa setiap
peraturan pidana membatasi kebebasan rakyat dan memberikan
kemungkinan kepada aparat penegak hukum untuk mengekang
kebebasan itu.
256
arti lagi, harus dianggap seluruhnya atau sebagian sementara tidak
berlaku”.
257
Politik, Hukum, dan
Politik Hukum (I)
258
disebut adalah penafsiran tentang makna relativisme kultural. Seperti
kata sebuah ungkapan: “there is probably no single word which has been
more meanings than democracy” (Cord. dkk, 1999).
Pemahaman tentang demokrasi ini akan membawa kita pada
diskursus tentang tiga variabel judul di atas. Istilah “politik” dapat
diartikan sebagai “the human interactions involved in the authoritative
allocations of values for society. It involves people deciding, or having decided
for them, how to distribute material goods and services, or even symbolic
values, and it includes the procedures and power plays involved in reaching,
those decisions”. (Medelros, 1991).
Politik dan kekuasaan tak dapat dipisahkan, sebab politik akan
selalu melibatkan kelompok-kelompok orang dengan pelbagai konflik
kepentingan yang bersaing untuk menguasai pemerintahan. Dalam
kehidupan suatu negara akan terlihat bahwa yang membedakan
“politik negara” (politics of the state) dan “politik organisasi” lain dalam
masyarakat adalah ruang lingkupnya yang luas dan kemampuan
pemerintah untuk mendukung keputusan-keputusannya dengan
menggunakan atau menerapkan ancaman sanksi dan kekuatan yang
sah berdasarkan hukum.
Dalam sistem politik para pengambil keputusan selalu
mempertimbangkan masukan berupa tuntutan dari kelompok-
kelompok kepentingan dan dukungan masyarakat yang percaya pada
ligitimasinya. Setelah melewati proses konversi, mereka merumuskan
keluaran berupa keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan, antara
lain dalam bentuknya yang utama yaitu berupa pelbagai produk
hukum dan kebijakan umum. Apabila ingin berkembang maka sebuah
sistem politik harus memiliki mekanisme untuk menyerap umpan
balik. Kesimpulannya, ingin ditegaskan bahwa “hukum” dan “politik
hukum” (legal policy) pada dasarnya merupakan produk dari sistem
politik. Dengan demikian nampak bahwa warna dan kualitas hukum
yang berlaku dalam masyarakat akan tergantung pada warna dan
kualitas sistem politik yang berlaku. Sebagai contoh: “haatzaai artikelen”
warisan kolonial; UU No. 19 tahun 1964 yang memungkinkan Presiden
demi kepentingan revolusi mencampuri pengadilan, UU No. 11 PNPS
1963 pada zaman Orde Lama dan diteruskan zaman Orde Baru,
digunakan untuk kooptasi kekuasaan eksekutif terhadap kekuasaan
yudikatif atas dasar Pasal 11 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 dan lain-
lain. Ingat pula pengaruh hukum Belanda yang secara sistematis
259
dilakukan melalui asas konkordansi, yurisprudensi, dan doktrin
hukum.
Politisasi hukum terjadi di semua lini aktivitas hukum, baik proses
pembuatan hukum (law making process), proses penegakan hukum (law
enforcement process) dan proses penciptaan kesadaran hukum (law
awareness process) .
Di atas disebutkan bahwa keluaran tidak hanya berupa keputusan
hukum, tetapi juga tindakan. Dalam sistem politik atau suatu rezim
yang berlaku, maka aparatur pendukung biasanya sudah dibentuk
untuk secara konsisten mempertahankan jiwa dan semangat sistem
politik tersebut, termasuk para hakim yang mestinya merupakan deputy
legislators ikut serta dalam semangat mesin politik. Karena itu tidak
heran apabila dalam sistem politik yang buruk muncul malpractice of
law atau miscarriage of justice berupa pelanggaran hukum dan HAM,
yang dalam istilah politik biasa disebut crimes by government atau political
crimes yang bersifat ekstra yudisial. Praktek penyimpangan itu biasanya
baru terungkap setelah terjadi pergantian rezim. Yang menarik adalah
para penentang rezim otoriter yang sedang berkuasa dinyatakan telah
melakukan crimes against government.
Uraian di atas menempatkan hukum sebagai dependent variable
dan politik sebagai independent variable. Dalam masa transisi dari suatu
rezim otoriter menuju rezim demokratis terjadi pergeseran nilai yang
mengakibatkan hukum mempunyai “fungsi ganda” (dual function).
Artinya proses politisasi hukum tetap terjadi oleh rezim baru yang
reformis dan demokratis, di mana hukum digunakan untuk
membongkar dan mempengaruhi agar tatanan sosial menjadi aspiratif
dan demokratis. Yang terakhir ini sekaligus memfungsikan hukum
sebagai independent variable terhadap kehidupan sosial politik. Dalam
hal ini bisa dilihat pelbagai produk perundang-undangan yang muncul
setelah TAP MPR-RI No. X/MPR/1998 tentang “Pokok-Pokok
Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan Dan
Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara”. TAP MPR
tersebut antara lain memuat politik dan strategi reformasi sistem
hukum, baik yang bersifat struktural, substantif, maupun kultural.
Nonet (1988) dan McLean (1999) mengidentifikasikan bahwa baik
menempatkan hukum sebagai independent variable maupun sebagai
dependent variable sama-sama mengundang bahaya dengan konotasi yang
berbeda-beda. Dalam rezim yang otoriter yang mempraktekkan model
260
hukum yang represif nampak beberapa karakteristik sebagai berikut:
hukum berburu ketertiban dan mengesampingkan keadilan; hukum
diciptakan dan digunakan secara ad hoc dengan pendekatan yuridis
dogmatis; pengaturan tersubordinasikan pada kekuasaan politik; diskresi
bersifat oportunistik; moralitas komunal/institusional lebih ditonjolkan
dengan mengorbankan moralitas sipil. Di sini terjadi suatu kondisi yang
disebut “tirani hukum”, how the law is taking away our liberties.
Di dalam masyarakat demokratis yang mendayagunakan hukum
yang responsif dan otonom, karakteristik hubungan hukum dan
kehidupan sosial berusaha digeser, legitimasi dan kompetensi menjadi
menonjol; kejujuran prosedural dan keadilan substantif mulai
dibicarakan; pendekatan hukum bersifat sistemik, mengacu pada asas
dan kebijakan yang terpadu; pendekatan sosial dalam hukum (yuridis
sosiologis) dilakukan; diskresi berorientasi pada tujuan; moralitas sipil
membatasi kekuasaan negara; dan terjadi integrasi antara aspirasi
hukum dan politik. Namun demikian, harus tetap diingat bahwa
tindakan yang terlalu bersemangat dalam hal ini juga dapat
menimbulkan ekses berupa kondisi overregulasi, dan dalam hukum
pidana lebih khusus disebut “overcriminalization” yakni berupa salah
penggunaan sanksi pidana. Hal ini pada dasarnya juga merupakan sisi
lain dari “tirani hukum”, yang karakteristiknya adalah sebagai berikut:
• hukum dirasakan terlalu membatasi kebebasan manusia;
• semboyan yang berkembang adalah “there is no problem on earth
that ca not be solved by legislation”;
• orang menjadi tidak bahagia karena hukum mencampuri aspek-
aspek yang kecil dan sangat pribadi dalam kehidupan manusia
(ingat istilah “victimless crimes”);
• hukum positif menjadi semakin banyak dan ada kecenderungan
untuk menggunakan hukum pidana sebagai “penekan”;
• alasan reformasi dan supremasi hukum sering digunakan sebagai
pembenaran;
• setiap pejabat baru menjadikan produk pengaturan sebagai
indikator kinerja;
• terjadi suasana: banyak sekali hukum tapi sedikit sekali keadilan
(more laws but less justice);
• timbul sikap negatif dan nonkoperatif masyarakat dalam
penegakan hukum bahkan menjurus kurang menghargai hukum
(wibawa hukum merosot);
261
• pelanggaran hukum dan pemidanaan (misalnya dalam tindak
pidana ekonomi) sering dihayati sebagai kesialan (unlucky) bahkan
si pelaku sering menyebut dirinya sebagai “korban dari sebuah
sistem hukum yang tidak adil”;
• hukum kehilangan kredibilitasnya; apa yang dikatakan sebagai
“widespread distrust of the law” menggejala;
• alasan kepentingan umum yang lebih luas dijadikan alasan
pengaturan yang merugikan hak-hak individual; (misalnya distorsi
terhadap prinsip hak milik mempunyai fungsi sosial);
• hukum kehilangan moral and social framework, toleransi dan akal
manusia dikalahkan oleh the single-minded social engineering instincts;
Mana yang “legal”, mana yang “moral” menjadi tidak jelas. (dikatakan
Austin, bahwa “the only behind the law is physical force, not moral and
ethical”. Selanjutnya Lord Devlin dalam hal ini mengatakan “there is
no longer a moral obligation to obey the law in all circumstances. ”; Ingat
dalam hal ini perkembangan konsep “strict liability = liability without
mens rea” dalam “administrative criminal law”;
• tujuan hukum menyimpang dari penciptaan kedamaian (keeping
the peace), bahkan menuju ke negara polisi; ( McLean:”Western
countries are sleepwalking to a police state”).
262
Politik, Hukum, dan
Politik Hukum (II)
263
hanya berupa pengambilan keputusan, tetapi juga talk, expression, picture,
and image (drama and entertainment). Dan yang lebih menarik lagi adalah
pemanfaatan komunikasi massa, baik media cetak, media penyiaran
maupun media telekomunikasi/internet untuk kepentingan politik.
Dalam hal ini fungsi media massa dalam politik merupakan studi
tersendiri yang pada dasarnya mencakup fungsi-fungsi: pembuatan
berita, interpretasi, sosialisasi, persuasi, dan perancangan agenda.
Pendayagunaan media massa ini secara konseptual harus tetap
dilakukan setelah proses politik menghasilkan kebijakan dan tindakan
dalam rangka sosialisasi dan diseminasi. Di bidang hukum misalnya,
hal ini sangat penting untuk membentuk kesadaran hukum.
Betapa kuatnya aroma politik dalam kehidupan hukum terlihat
dalam proses pembuatan undang-undang dan pelembagaan sistem
checks and balances dalam pemerintahan yang demokratis serta praktek
penerapan kekuasaan birokrasi.
Di Indonesia proses pembuatan undang-undang menempuh proses
dan aktivitas yang kompleks mulai dari penyusunan rancangan
akademis yang penuh dengan nuansa academic reasoning seperti idealisme,
hasil riset normatif dan empiris; kajian kecenderungan internasional,
tanpa mengesampingkan aspirasi supra dan infrastruktural; kajian
prinsip-prinsip hukum juga sangat menonjol. (Catatan : Para sarjana
hukum saat ini dinilai dilanda legal principles crises). Proses ini akan
dilanjutkan dengan proses birokratik untuk menjaga sinkronisasi
vertikal dan horizontal perundang-undangan, serta konsistensi model
perundang-undangan, termasuk struktur dan terminologi.
Proses terakhir yang paling kompleks adalah proses sosial-politik
di parlemen. Paling kompleks, karena parlemen sebagai lembaga
politik sangat heterogen baik dari segi aspirasi politik (multi partai),
latar belakang sosial, aspirasi daerah, maupun disiplin ilmu. Hal ini
disertai keharusan untuk selalu melihat skala prioritas (program
legislasi) yang juga penuh dengan nuansa politis.
Pengalaman di negara demokrasi seperti di Amerika Serikat
menunjukkan kenyataan yang lebih kompleks. Proses pengenalan
RUU (introduction of bill) di Congress (House of Representatives and Senate)
sampai dengan Rancangan menjadi UU (bill becomes law) melalui
persetujuan Presiden setelah dicapai kompromi baik di House maupun
di Senat, selalu melalui debat yang panjang dan melelahkan.
Sebagai gambaran, setiap tahun Kongres menerima kurang lebih
264
10.000 RUU dan yang menjadi undang-undang kurang lebih hanya
400. Digambarkan bahwa proses tersebut kompleks dan
membosankan (complicated and tedious). Lebih-lebih di Senat yang
digambarkan bahwa debat tersebut pasti tiada habisnya.
Sistem checks and balances dalam kehidupan demokrasi sangat
penting dan didisain untuk menjamin bahwa secara konstitusional
tiga cabang kekuasaan dari pemerintahan nasional (Legislatif,
Eksekutif and Yudikatif) bisa saling membatasi dan mengawasi
kekuasaannya satu sama lain, dan mencegah konsentrasi kekuasaan
politik di salah satu kekuasaan. Gegap gempita Amandemen UUD
1945 saat ini, pada dasarnya sedang mencari bentuk yang mantap
tentang sistem checks and balances tersebut. Sistem masa lalu (Orba)
diidentifikasikan sebagai executive heavy, sehingga menimbulkan
penyalahgunaan kekuasaan. Saat ini ada yang mengkritisi sebagai
legislative heavy.
Di Amerika Serikat dapat kita lihat praktek penerapan sistem
check and balances; bahwa sekalipun suatu RUU (Bill) tidak akan
menjadi Undang-undang tanpa persetujuan Kongres (House dan
Senate) , namun Presiden dapat mengajukan “veto” terhadap
keputusan Kongres tersebut. Sebaliknya Kongres dapat menolak
(override) veto Presiden dengan 2/3 suara di House dan Senat. Di
samping iu Presiden juga dapat mengusulkan undang-undang kepada
Kongres dan mengundang Kongres untuk melakukan sidang khusus.
Selanjutnya dapat dilihat bahwa kekuasaan Presiden untuk
menunjuk kabinet dan duta besar harus memperhatikan konfirmasi
dari Senat. Presiden juga harus mendengar nasehat dan persetujuan
Senat mengenai segala perjanjian (treaties) yang dibuat.
Kemudian, sekalipun Presiden harus melaksanakan Undang-
undang, tetapi yang menyediakan anggaran adalah Kongres. Presiden
dan lembaga eksekutif lain dilarang menggunakan uang tanpa
persetujuan Kongres. Kongres juga mempunyai wewenang untuk
membentuk departemen dan badan-badan eksekutif. Selanjutnya
Kongres juga memiliki wewenang untuk melakukan impeachment dan
mencopot Presiden dari jabatannya karena telah melakukan kejahatan
dan pelanggaran berat.
Mahkamah Agung ditunjuk oleh Presiden, dengan konfirmasi
Senat. Secara tradisional, Mahkamah Agung memiliki 9 anggota, tetapi
Kongres dapat menentukan jumlah hakim. Lebih penting lagi, Kongres
265
dapat membentuk pengadilan federal tingkat bawah maupun
pengadilan banding. Kongres harus membentuk pula jumlah hakim
dan menentukan yurisdiksi pengadilan federal. Namun demikian
yang sangat menarik adalah bahwa Mahkamah Agung mempunyai
wewenang untuk melakukan Judicial Review. Judicial Review secara
spesifik tidak diatur dalam konstitusi. Kekuasaan ini mencakup
wewenang untuk menyatakan bahwa Undang-undang yang dibuat
Kongres dan kebijakan Presiden melanggar konstitusi.
Catatan : Perlu dikaji sampai seberapa jauh sistem checks and balances
terjadi pasca sistem bikameral (MPR terdiri atas DPR dan PDP);
Bandingkan judicial review dengan wewenang Constitutional Court di
Jerman dan hak uji materiil (materiele toetsingsrecht) di Indonesia.
Pengadilan –khususnya nampak dari penampilan Mahkamah
Agung– pada dasarnya memiliki “status ganda”. Status pertama
merupakan political body, sebab pengadilan merupakan bagian integral
dari sistem pemerintahan, sehingga perdefinisi pengadilan
merupakan institusi politik. Begitu pula proses penunjukan hakim
agung tidak bisa lepas dari persaingan politik di DPR. Sulit untuk
memahami Mahkamah Agung kecuali dalam konteks proses politik.
Belum lagi peranannya sebagai pembuat kebijakan melalui interpretasi
hukum apakah kebijakan pemerintah bertentangan dengan UUD.
Contoh: hak uji materiil dan PTUN. Status kedua sebagai instansi
hukum. Sekalipun diusahakan berlakunya the principle of the
independence of judiciary, tetapi hakim tidak memutus perkara dalam
ruang yang hampa. Pengadilan tetap merupakan sub-sistem sosial.
Hukum yang diterapkan juga merupakan hasil dari proses politik.
Aroma politik dalam praktek birokrasi berkaitan erat dengan
kenyataan bahwa perjuangan politik (political battles) tidak akan
berhenti di lembaga parlemen. Hal ini bertentangan dengan teori
bahwa “democracy is institutionalization of conflicts” (Emerson, 1998).
Yang dapat dikatakan adalah telah terjadi pergeseran perjuangan
politik dari arena politik ke arena administratif. Kepentingan-
kepentingan yang terorganisasi tidak akan puas hanya dengan telah
berhasil diundangkannya suatu Undang-undang sebagai hasil proses
politik. Mereka mulai mengamati medan perjuangan baru yaitu
implementasi hukum dan penggunaan uang oleh aparat birokrasi.
Kekuatan birokrasi sangat meyakinkan. Secara politis memang
Presiden dan Parlemen menentukan keberadaan Undang-undang,
266
tetapi secara administratif dan implementatif yang berperan adalah
birokrasi. Sebagai contoh di Amerika Serikat; dengan 3 juta pegawai
pemerintah federal, birokrasi federal setiap tahun mengeluarkan
60.000 halaman peraturan birokrasi (overregulation). Mereka bahkan
independen terhadap Kongres, presiden, pengadilan dan rakyat.
Bahkan boleh dikatakan bahwa Civil Service bureaucracy is a major base
of power in society.
Birokrasi tumbuh bersamaan dengan berkembangnya teknologi
dan kompleksitas masyarakat. Pengaruh teknokrat sangat dirasakan
baik di sektor publik (pemerintahan) dan sektor privat (korporasi).
Sektor publik mencakup pengaturan tentang waktu, energi,
lingkungan hidup, komunikasi, penerbangan dan sebagainya.
Semuanya membutuhkan spesialis. Kekuatan birokrasi lain terletak
pada kenyataan bahwa Undang-undang yang dihasilkan oleh
Presiden dan parlemen seringkali bersifat samar atau tidak jelas dan
mendua (vague and ambiguous). Tegasnya bersifat simbolik. Justru
birokrasilah yang mempunyai kesempatan dan kewenangan melalui
Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri
untuk memutuskan apakah yang seharusnya dilakukan. Dalam
kerangka ini sangat mudah bagi para politisi untuk menyalahkan
birokrasi. Dalam perkembangannya kemudian birokrasi sendiri
semakin besar peranannya dalam lobby-lobby terbentuknya UU
termasuk pendanaan. (bureaucracy is self perpetuating).
Parlemen sebagai lembaga politik sebenarnya mempunyai senjata
atau cara untuk membatasi kewenangan birokrasi, seperti (a) melalui
undang-undang yang membatasi kewenangan birokrasi; (b)
mengurangi budget birokrasi; (c) melalui dengar pendapat umum
dengan pemberitaan media massa luas tentang suatu kebijakan yang
dianggap unpopular; dan (d) mendiskusikan keluhan-keluhan yang
diarahkan terhadap birokrasi.
Terlepas dari motif politik yang diarahkan untuk membatasi
kewenangan birokrasi, namun secara obyektif kecenderungan
terjadinya overregulasi (contoh di bidang ekonomi dan industri)
sebagai poduk birokrasi patut diwaspadai, sebab akan menimbulkan:
(1) Peningkatan biaya (terutama di bidang bisnis) baik bagi pelaku
bisnis maupun konsumen apabila peraturan ekonomi yang kompleks
ditaati; (2) The cost of compliance dengan adanya peraturan baru sulit
ditimbang dibandingkan dengan keuntungan masyarakat; (3)
267
Overregulasi menciptakan kendala bagi berkembangnya inovasi dan
produktivitas; dan (4) Mengurangi kemampuan untuk berkompetisi
secara sehat, sebab birokratisasi hanya akan menguntungkan
perusahaan-perusahaan yang besar dan kuat.
Catatan: Di pelbagai negara termasuk Indonesia pasca 1998 muncul
gerakan deregulasi dan debirokratisasi, khususnya di bidang
ekonomi. Langkah ini pada dasarnya bertujuan to determine the most
cost-effective approach for meeting any regulatory objective and not to issue
regulations unless the potential benefits to society outweight the potential
costs. (Reagan, 1988). n
268
Politik, Hukum, dan
Politik Hukum (III)
269
demikian sangat penting untuk menyadarkan para perancang hukum
dan kebijakan publik bahkan para pendidik, bahwa hukum dan
kebijakan publik yang diterbitkan akan mempunyai implikasi yang
luas di bidang sosial, ekonomi dan politik. Sayangnya spesialisasi
baik dalam pekerjaan, pendidikan maupun riset yang dilandasi dua
disiplin tersebut (hukum dan ilmu sosial), sehingga pelbagai informasi
yang bersumber dari keduanya tidak selalu bertemu (converge) bahkan
seringkali tidak sama dan sebangun (incongruent).
Riset di bidang hukum mempunyai landasan asas-asas dan
penerapan hukum, dan dalam hal ini yang tidak menguntungkan
adalah ketiadaan pengetahuan untuk menyesuaikan kemanfaatan dan
kegunaan hukum dalam masyarakat yang sedang berubah. Di lain
pihak ahli-ahli ilmu pengetahuan sosial secara relatif memiliki
pemahaman yang lebih mendalam terhadap perubahan sosial,
ekonomi dan politik dalam masyarakat, bahkan cenderung lebih
ilmiah dalam mengembangkan dan menguji teori. Sekalipun demikian,
yang terakhir ini tidak dalam posisi untuk mengusulkan perubahan
hukum dan kebijakan yang konkrit, sehubungan dengan kelemahan
teknis di bidang hukum yang menyebabkan kurang percaya untuk
mengajukan konsep perubahan. Memang spesialisasi dan
independensi telah meningkatkan intra-disciplinary communication,
tetapi sekaligus juga memangkas inter-disciplinary exchanges in ideas.
Bahkan fakultas hukum dan fakultas ilmu sosial secara eksklusif
terpisah dan sebagai hasilnya, para mahasiswa masing-masing fakultas
tidak dapat menghormati kebutuhan dan kegunaan untuk
menjembatani dua disiplin tersebut. Sebagai contoh adalah
perkembangan pemahaman tentang “politik reformasi hukum” (the
politics of law reform). Sebelum era reformasi, pembaharuan hukum selalu
diartikan sebagai usaha sistematik untuk menggantikan pelbagai
produk hukum kolonial dengan produk hukum nasional. Setelah
refomasi, disamping usaha tersebut dilanjutkan muncul dimensi baru
dari reformasi hukum, yakni sebagai usaha sistematik untuk melakukan
demokratisasi sistem hukum. Hal ini mencakup langkah-langkah
mendasar berupa amandemen konstitusi, mengatur sistem politik,
menciptakan good governance, melakukan promosi dan perlindungan
HAM, meningkatkan partisipasi masyarakat, dan sebagainya.
Politik hukum harus dirumuskan secara mendasar dalam
kerangka sistem hukum yang mencakup elemen-elemen sebagai
270
berikut: Pertama, Elemen struktur hukum yang terdiri atas misalnya
jenis-jenis peradilan, yurisdiksinya, proses banding, kasasi, peninjauan
kembali, pengorganisasiannya, mekanisme hubungan polisi, dan
kejaksaan dan sebagainya. Dengan demikian struktur diartikan
sebagai a kind of cross section of the legal system- a kind of still photograph,
which freezes the action. (Friedman, 1979). Dengan demikian elemen
struktur hukum merupakan semacam mesin.
Kedua, Elemen substansi hukum yang dapat diartikan sebagai
pelbagai peraturan, norma dan perilaku orang-orang di dalam sistem.
Pada intinya merupakan hukum yang mengatur pelbagai norma, nilai
dan sanksi dalam bentuk peraturan-peraturan hukum. Termasuk di
sini living law yang terjadi dalam praktek hukum yang penuh dengan
diskresi. Substansi hukum bisa dipahami dengan melihat misalnya
berapa orang yang ditahan karena tindak pidana narkotika per tahun,
gambaran statistik kejahatan seksual di suatu daerah, dan sebagainya.
Dengan demikian legal substance berkaitan erat dengan apa yang
dihasilkan atau dilakukan oleh mesin atau struktur hukum di atas.
Ketiga, Elemen kultur hukum (legal culture) yang harus diartikan
sebagai people’s attitudes toward law and the legal system – their beliefs,
values, ideas, and expectations. Dengan kata lain, hal ini merupakan bagian
dari general culture yang berkaitan dengan sistem hukum. Misalnya
saja pernyataan bahwa masyarakat bawah tidak percaya pada polisi;
para pengusaha banyak menyelesaikan perkara di luar pengadilan;
untuk menjaga kredibilitas dan reputasi, kejahatan komputer di
lingkungan perbankan banyak yang tidak dilaporkan; hal ini semua
merupakan refleksi dari budaya hukum. Dengan demikian legal culture
merupakan whatever or whoever decides to turn the machine (the legal
structure) on and off, and determines how it will be used.
Setiap masyarakat, setiap negara, setiap komunitas mempunyai
suatu budaya hukum. Hal ini selalu berupa sikap dan pandangan
terhadap hukum (attitudes and opinions about law). Harus dipahami
pula berkembangnya pelbagai sub kultur (misalnya di Amerika), sub
kultur orang hitam dan putih, tua dan muda, Kristen dan Islam, kaya
dan miskin, pengusaha dan pejabat, desa dan kota dan sebagainya.
Salah satu subkultur yang penting untuk diperhatikan adalah the legal
culture of insiders, misalnya saja kultur yang dihayati oleh hakim dan
penasehat hukum yang bekerja di dalam sistem hukum itu sendiri.
Hal ini akan banyak berarti bagi efektivitas sistem hukum tersebut.
271
Secara operasional ketiga elemen sistem hukum tersebut
diterjemahkan sebagai proses pembuatan undang-undang (dalam
kerangka substansi hukum), proses penegakan hukum (dalam konteks
struktur hukum) dan proses penciptaan kesadaran hukum (dalam
kaitannya dengan budaya hukum), baik dalam bidang hukum pidana,
hukum perdata maupun hukum administrasi. Yang perlu dicatat
adalah bahwa pembidangan hukum tersebut semakin tidak absolut,
karena di negara-negara modern transparansi dan pendayagunaan
hukum secara simultan untuk mengatasi perbuatan-perbuatan yang
merugikan atau potensial dapat merugikan kepentingan individual,
kepentingan sosial dan kepentingan negara, saling kait mengkait,
sehingga semua elemen hukum harus didayagunakan untuk mencegah
dan mengatasinya. Sebagai contoh adalah didayagunakannya sanksi
perdata dalam tindak pidana korupsi dan kejahatan korporasi.
Selanjutnya adanya kecenderungan untuk memanfaatkan sanksi
hukum pidana dalam hukum administrasi. Demikian pula penerapan
ajaran sifat melawan hukum materiil dalam tindak pidana korupsi
dan tindak pidana lingkungan hidup. Unsur sifat melawan hukum
dapat digali dari pelanggaran terhadap norma-norma hukum perdata
atau hukum administrasi.
Teori dan asas hukum merupakan mekanisme pengendali untuk
secara relatif menjaga agar supaya distorsi terhadap pendayagunaan
hukum sebagai kebijakan dan langkah politik tidak terjadi, dan
memfungsikan hukum secara konsisten sebagai salah satu pilar utama
demokrasi. Teori, yang merupakan hubungan antar variabel yang
telah didukung oleh riset ilmiah, baik yang bersumber pada disiplin
ilmu pengetahuan yang baku maupun yang bersumber pada pelbagai
ilmu bantu, secara sistemik dan berkelanjutan akan terus memperkaya
kebijakan sosial, baik yang berupa kebijakan kesejahteraan maupun
kebijakan perlindungan. Fungsi teori tidak hanya menggambarkan,
menjelaskan, merenungkan, mengungkap, tetapi juga memprediksi
apa yang akan terjadi di masa depan. Integritas teori dijamin dari
karakteristik intelektual yang menghormati kebebasan akademis dan
budaya akademis yang diharapkan selalu memberikan pencerahan
atas dasar kebenaran dan bukan pembenaran.
Selanjutnya asas-asas hukum merupakan ukuran legitimitas
dalam prosedur pembentukan, penemuan dan pelaksanaan hukum
(Sudarto, 1981). Asas-asas hukum berkedudukan lebih tinggi dari
272
undantg-undang dan penguasa. Asas-asas hukum tidak bersifat
transcendental, atau melampaui alam kenyataan yang dapat
disaksikan oleh panca indera. Asas-asas ini bersifat open-ended, multi-
interpretable, dan Gesellschaftsgebunden dan bukannya bersifat absolut.
Hal ini kadang-kadang berkonotasi negatif karena konstelasi politik
di suatu saat bisa berpengaruh. Ingat konsep negara integralistik yang
mendistorsi asas negara hukum (equaity before the law).
Asas-asas hukum adalah tendens-tendens, yang dituntut dari
hukum oleh rasa susila kita, yang dapat diketemukan dengan
menunjukkan hal-hal yang sama dari peraturan-peraturan yang
berjauhan satu sama lain, atau yang merupakan anggapan-anggapan
yang memancarkan pengaturan suatu lapangan hukum (Paul Scholten).
Asas-asas hukum adalah ungkapan-ungkapan hukum yang sangat
umum sifatnya, yang bertumpu pada perasaan , yang hidup di setiap
orang, dorongan-dorongan batin dari pembentuk undang-undang,
ialah sesuatu yang ditaati oleh orang-orang, apabila mereka ikut
bekerja dalam mewujudkan undang-undang (De Langen).
Asas-asas hukum itu untuk sebagian dapat diketemukan dengan
menyelidiki pikiran-pikiran yang memberi arah/pimpinan, yang
menjadi dasar kepada tata hukum yang ada, sebagaimana dipositifkan
dalam perundang-undangan dan yurisprudensi, dan untuk sebagian
berasal dari kesadaran hukum atau keyakinan kesusilaan kita, yang
secara langsung dan jelas sekali menonjol kepada kita (Wiarda). n
273
Polisi dan Persepsi Keadilan
274
umum, pencegahan sekunder yang targetnya adalah para pelaku
potensial, dan pencegahan tersier yang diarahkan kepada mereka
yang terlanjur telah melakukan tindak pidana.
Dalam bentuk lain kita semua menghendaki bahwa pencegahan
kejahatan dilakukan baik secara sosial yang ditujukan untuk mengatasi
akar kejahatan, secara situasional untuk mengurangi kesempatan
melakukan tindak pidana dan pencegahan yang bersifat community
based, yaitu meningkatkan kapasitas masyarakat untuk mengurangi
tindak pidana dengan cara meningkatkan kapasitas mereka untuk
mengembangkan kontrol sosial yang bersifat informal.
Dalam kehidupan demokratis pelbagai usaha di atas sering
membawa konsekuensi yang hampir tak terhindarkan, sebab polisilah
sebagai penyidik yang menghadapi langsung tindak pidana di
lapangan baik secara faktual maupun secara yuridis. Kedudukannya
yang demikian menyebabkan polisi sangat rawan terhadap
pelanggaran HAM dan bahkan dapat dikatakan bahwa polisi
merupakan potential offender terhadap HAM.
Konsekuensi seperti itu tidak perlu harus dilihat sebagai kendala,
tetapi harus dipandang sebagi tantangan untuk menjadikan polisi
lebih profesional. Disebut sebagai kendala mengingat semakin
vokalnya para penasehat hukum dan aktivis LSM dalam menyoroti
kinerja para penegak hukum sebagi konsekuensi proses
demokratisasi, yang antara lain menuntut adanya pemerintahan yang
terbuka, akuntabel dan responsif.
Pergeseran Wacana
Sejauh mungkin polisi dalam keadaan apapun juga harus
menghindarkan diri dari police misconduct, yang dapat diartikan
sebagai penyimpangan prosedur oleh polisi yang kadang-kadang
disertai penggunaan kekuasaan secara tidak pada tempatnya. Harus
disadari betul bahwa kecenderungan perilaku yang demikian
mempunyai dampak yang bersifat luas, seperti merosotnya
kepercayaan masyarakat terhadap polisi, memperburuk keresahan
sosial, menghambat efektivitas penuntutan di pengadilan, menjauhkan
polisi dari masyarakat, salah menentukan tersangka, menelantarkan
korban, merusak konsep dan citra penegakan hukum, membuka
kesempatan media untuk terus mengkritik polisi, dan pada akhirnya
juga mengkritik atau bahkan menekan pemerintah.
275
Sebaliknya, kredo yang mungkin harus dikembangkan adalah
menjadikan polisi “bukan sebagai pelanggar HAM, tetapi berada di
garis terdepan dalam memperjuangkan HAM”. Ini akan menjadi kunci
yang menentukan efektivitas lembaga kepolisian, yang dampak
positifnya akan segera dapat diukur dan dirasakan, seperti
kepercayaan masyarakat meningkat disertai peningkatan sikap
kooperatif mereka, penyelesaian konflik dapat dilakukan secara
damai, dan proses yuridis ke pengadilan dapat berhasil dengan baik.
Lalu citra positif polisipun melekat di benak masyarakat, seperti; polisi
dilihat sebagai bagian masyarakat dalam melaksanakan fungsi sosial,
administrasi peradilan dilakukan secara jujur dan adil, memberi
contoh kepada masyarakat untuk menghargai hukum, kebijakan
proaktif dapat dikembangkan dengan baik dengan bantuan
masyarakat dan dukungan media massa.
Di era demokrasi terjadi pergeseran konseptual pelbagai hal
secara mendasar. Di era yang tidak demokratis seperti di jaman Orde
Baru, kalau kita berbicara tentang kejahatan politik, maka konotasi
yang muncul di permukaan adalah konsep “kejahatan melawan
pemerintah” (crimes against government) seperti pembunuhan politik,
protes atau demonstrasi menentang pemerintah, makar, spionase dan
terorisme. Sebaliknya di era reformasi berkembang konsep kejahatan
yang dilakukan oleh pemerintah (crimes by government) atau state crimes
atau political policing atau govermental crimes seperti pelanggaran,
aktivitas dari polisi rahasia (penyadapan telpon, pelanggaran privasi,
pengawasan illegal). Perubahan wacana tersebut tidak merubah
konsep dasarnya yang menggambarkan tentang kejahatan politik,
yakni tindak pidana yang dilakukan untuk tujuan ideologis, dan
mereka percaya bahwa telah mengikuti nurani yang lebih tinggi, atau
moralitas masyarakat yang ada beserta perangkat hukumnya.
Pasal 16 RUU tentang KUHP (1999-2000) menegaskan, bahwa
dalam mempertimbangkan hukum yang akan diterapkan, hakim
sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum.
Subtansi pasal tersebut harus direnungkan dan dihayati secara proaktif
oleh seluruh jajaran penegak hukum sebagai bagian dari sistem nilai
di lingkungan peradilan. Mengejar kepastian hukum yang dalam
kenyataannya bersifat abstrak dan seringkali ketinggalan jaman,
hanya akan menghasilkan ketidakadilan.
Dalam kerangka ini terdapat suatu konsep yang terus
276
berkembang, yaitu konsep yang menggambarkan pelbagai
kemungkinan yang dapat menggagalkan usaha untuk menciptakan
keadilan, sebagaimana dikemukakan oleh Walker dan Stamer.
Disebutkan bahwa pengertian “keadilan” (justice) harus dipahami
sebagai bentuk distribusi nilai yang disebut fair treatment di dalam
menyelenggarakan sistem peradilan dalam negara yang demokratis.
Negara harus memperlakukan semua individu atas dasar prinsip
kesetaraan. Pemberlakuan hak individu tersebut tidak bersifat
absolut, sebab hak-hak tersebut tetap dibatasi untuk kepentingan
perlindungan terhadap hak-hak orang lain atau hak-hak yang
bersaing. Dalam hal ini setiap penerapan hak harus ditolak bilamana
biaya-biaya sosial yang dapat ditimbulkannya jauh lebih besar
dibandingkan biaya yang harus dibayar untuk menerapkan hak
original. Biaya sosial tersebut bahkan dapat berupa bencana
(catastrophic damage) apabila hak individual tersebut diterapkan dalam
masyarakat yang damai dan demokratis.
277
terdakwa bukan karena betul-betul alpa (really innocent ) tetapi
karena kesalahan teknis, termasuk dalam kategori perlakukan tidak
adil.
b. Peraturan hukum yang tidak adil semata-mata demi kepastian
hukum; contohnya hukum apartheid di Afrika Selatan pada masa
lalu, atau di Indonesia seperti korban UU subversi sebelum dicabut;
c. Tidak adanya pembenaran faktual dalam penerapan pidana dan
tindakan akibat kesalahan identitas atau pemidanaan terhadap
orang yang tidak salah akibat kesalahan dalam sistem pembuktian,
seperti adanya kesaksian palsu akibat rekayasa dan sebagainya
yang semuanya masuk kategori wrongful imprisonment.
d. Perlakuan yang merugikan dan tidak proporsional terhadap
tersangka, terdakwa atau terpidana, dibandingkan dengan
kebutuhan untuk melindungi hak-hak orang lain; contohnya adalah
tindakan yang keras terhadap perilaku anti sosial yang ringan.
Demikian pula pemidanaan yang bersifat eksesif, termasuk disini
kondisi penjara yang bersifat mendegradasikan harkat dan
martabat manusia;
e. Hak-hak orang lain (baik korban aktual maupun potensial) tidak
dilindungi secara efektif dan proporsional oleh negara terhadap
pelaku tindak pidana. Hal ini ditujukan terhadap keamanan umum
yang secara preventif menjadi tanggungjawab polisi. Sebagai
catatan perlu dikemukakan adanya konsep self responsibility for
security bagi penganut neo liberalism. Termasuk di sini
ketidaksediaan polisi untuk memproses perkara akibat pengaruh
politik atau korupsi (penyuapan), bahkan melakukan intimidasi
terhadap korban.
f. Perlakuan tidak adil terhadap korban akibat hukum yang tidak
kondusif; ini bisa berkaitan dengan hukum formil maupun materiil.
278
untuk mengatasi praktek-praktek MoJ di atas yang berdampak luas
seperti konsep indirect MoJ diatas. Salah satu contoh ekstrim adalah
apa yang terjadi di Haiti pasca pemerintahan otoriter selama tiga
tahun akibat kudeta tahun 1991. Pada masa itu pelanggaran HAM
oleh polisi dan militer sangat intensif, sehingga citra polisi di Haiti
demikian buruk. Setelah itu pemerintahan demokratis dibantu
masyarakat internasional (AS dan PBB) berusaha menciptakan polisi
nasional baru melalui Akademi Polisi Nasional dengan seleksi yang
ketat. Dalam hal ini pendidikan yang baik ternyata menghasilkan
kinerja positif, yang membangkitkan citra positif terhadap polisi.
Beberapa materi pendidikan yang sangat memepengaruhi kinerja
polisi di Haiti antara lain adalah International Human Rights Law, the
Law on Criminal Procedure, Haiti Constitution, Police Work in a Democracy,
dan materi-materi teknis kepolisian yang lain.
Sebagai standar training, perlu dikaji materi pelatihan HAM
untuk polisi dari PBB yang secara lengkap menguraikan betapa
pentingnya tugas-tugas polisi berkaitkan dengan masalah HAM
internasional, demokrasi, etika profesional, perhatian terhadap remaja
dan korban kejahatan, aturan penggunaan kekuatan senjata api dan
sebagainya. Hal ini sangat penting mengingat apa yang telah diuraikan
di atas, bahwa apa yang dinamakan MoJ didasarkan atas pemahaman
justice atas dasar individualistic rights-based approach. n
279
Pengantar
Diskusi tentang doktrin “pertanggungjawaban komando”,
khususnya dalam hukum pidana, akan selalu menarik mengingat
perkembangannya yang penuh perdebatan baik dalam hukum
internasional maupun dalam pelbagai hukum nasional yang
berkembang. Sekalipun maknanya tidak sesederhana sebagai s l ts5 m3 2Tw
280
Di Amerika Serikat, “the Article of War” yang dikeluarkan pada
tanggal 30 Juni 1775 mengatur bahwa :
“Every Officer commanding, in quarters, or in a march, shall keep good order,
and to the utmost of his power, redress all such abuses or disorders which may
be committed by any Officer or Soldiers under his command; if upon complaint
made to him of Officers or Soldiers beating or otherwise ill-treating any person,
or committing any kind of riots to the disquieting of the inhabitants of this
continent, he, the said commander, who shall refuse or omit to see Justice done
to this offender or offenders, and raparation made to the party or parties injured,
as soon as the offenderr’s wages shall enable him or them, upon due proof
thereof, be punished, as ordered by General Court Martial, in such manner as if
he himself had committed the crimes or disorders complained of”.
Pada tahun 1863, Amerika Serikat mengumumkan “the
Instructions for Government of Armies of the US in the Field” yang
kemudian terkenal sebagai “Lieber Code”. Prof Albert Lieber adalah
seorang Profesor dari Columbia University yang berperan menyusun
ketentuan tersebut. Art. 71 menegaskan: “Whoever intentionally inflicts
additional wounds on an enemy already wholly disabled, or kills such an
enemy, or who orders or encourages soldiers to do so, shall suffer death, if
duly convicted, whether he belongs to the Army of the ES, or in an enemy
captured after having committed his misdeed.”
Pada akhir abad 19 (1895), dalam tulisannya Military Law and
Precedents, Winthrop menulis:
“It is indeed the chief duty of the commander of the army of occupation to
maintain order and the public safety, as far as practicable without oppression
of the population, and as if the district were a part of the domain of his own
nation. All officers or soldiers offending against the rule of immunity of non-
combatans or private persons in war forfeit their right to be treated as
belligerents, and together with civilians similarly offending, become liable to
the severest penalties as violators of the laws of war”.
Dalam hukum internasional yang bersifat konvensional yang
mengatur perilaku konflik bersenjata, Art. 1 dari Konvensi Den Haag
1907 yang kemudian diatur pula dalam Konvensi Jenewa 1949 dan
Protokol 1977, dirumuskan kondisi dalam hal mana kombatan harus
menghormati hak-hak hukum dari negara yang berperang.
Ditentukan pula syarat adanya tentara yang “commanded by a person
responsible for his subordinates”. Persyaratan ini menegaskan
tanggungjawab komando secara terperinci.
281
Hal semacam juga muncul dalam laporan “Commission of the
Authors of the War and on Enforcement of Penalties” (1919) setelah PD I,
“Treaty of Versaiiles”, dan sebagainya. Masalah tanggungjawab
komando menjadi sangat aktual seusai PD II dengan diadilinya para
penjahat Perang Dunia II melalui Pengadilan Militer Internasional
seperti di Nuremberg (IMT) dan di Timur Jauh (IMTFE) yang antara
lain mengadili Jenderal Tomoyuki Yamashita, di samping pengadilan
pelbagai negara yang mengadili para penjahat perang seperti di
Kanada, Israel, Amerika Serikat, Perancis dan sebagainya, yang
banyak mengembangkan hukum kebiasaan internasional.
Masalah command responsibility jadi menghangat kembali
sehubungan dengan pengaturannya dalam Statute of the International
Criminal Tribunal for Rwanda (1994) dan Statute of the International
Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (1993) serta Rome Statute of
the International Criminal Court (1998).
Dalam kerangka pengaturan tentang Individual Criminal Responsibility
Art. 7 Statuta ICFY menegaskan; (i) A person who planned, instigated, ordered,
committed or otherwise aided and abetted in the planning, preparation or
execution of a crime referred to in the art. 2 to 5 of the present Statute, shall be
individually responsible for the crime; (ii) The official position of any accused
person, whether as Head of State or Government official, shall not relieve such
person of criminal responsibility nor mitigate punishment; (iii) The fact that
any of the acts referred to in articles 2 to 5 of the present Statute was committed
by a subordinate does not relieve his superior of criminal responsibility if he
know or had reason to know that the subordinate was about to commit such acts
or had done so and the superior failed to take the necessary and reasonable measures
to prevent such acts or to punish the perpetrators thereof; (iv) The fact that an
accused person acted pursuant to an order of a Government or of superior shall
not relieve him of criminal responsibility but may be considered in mitigation of
punishment if the International Tribunal determines that justice requires.”
Hal yang sama juga diatur dalam Art. 6 ICTR. Penjelasan yang
lebih lengkap dan agak berbeda dengan dua Statuta di atas tersurat
dan tersirat dalam Pasal 28 Statuta Roma tentang International Criminal
Court. Dalam Pasal 28 tersebut dijelaskan seperti berikut:
a. A military commander or person effectively acting as a military
commander shall be criminally responsible for crimes within the
jurisdiction of the Court committed by forces under his or her effective
command and control, or effective authority and control as the case may
282
be, as a result of his or her failure to exercise control properly over such
forces, where;
b. That military commander or person either knew or, owing to the
circumstances at the time, should have known that the forces ere
committing or about to commit such crimes; and
c. That military commander or person failed to take all necessary and
reasonable measures within his or her power to prevent or repress their
commission or to submit the matter to the competent authorities for
investigation and prosecution.
d. With respect to superior and subordinate relationship not described in
paragraph (a), a superior shall be criminally responsible for crimes within
the jurisdiction of the Court committed by sub ordinates under his or her
effective authority and control, as a result of his or her failure to exercise
control properly over such subordinate, where;
e. The superior either knew, or consciously disregarded information which
clearly indicated, that the subordinates were committing or about to
commit such crimes;
f. The crimes concerned activities that were within the effective
responsibility and control of the superior; and
g. The superior failed to take all necessary and reasonable measures within
his or her power to prevent or repress their commission or to submit the
matter to the competent authorities for investigation and prosecution.
283
individu pasukan liar atau gerilyawan (franc-tireurs).
Di dalam “the US Army Field Manual” antara lain disebutkan
bahwa ; “Command is a specific and legal position unique to the military.
It’s where the buck stops ….Command is a sacred trust. The legal and moral
responsibilities of commanders exceed those of any other leader of similar
position and authority”.
284
the Authors of the War and on Enforcement of Penalties) merekomendasikan
pembentukan suatu tribunal yang dapat menuntut dan memidana
mereka yang: “ordered, or with knowledge thereof and with power to
intervene, abstained from preventing or taking measures to prevent, putting
an end to or repressing violations of the laws or customs of war.” Baru
setelah PD II doktrin pertanggungjawaban komando yang bersifat
“culpable ommisions” (failure to act) memperoleh pengakuan dalam
konteks internasional. Di Perancis (1944) masuk kategori “tolerated
the criminal acts of their subordinates” dalam “the Suppression of War
Crimes”. Selanjutnya Chinese Law (1946) yang mengatur “the Trial of
War Criminals” hal ini masuk kategori Persons who have not fulfilled
their duty to prevent crimes from being committed by their subordinates
shall be treated as the accomplices of such war criminals.
Prof. Bassiouni mengidentifikasi bahwa “failure to act depends on
knowledge and opportunity to act” adalah sebagai berikut: (1) in the
prevention of the criminal act; (2) subsequent to the act if the superior failed
to supervise, discover and take remedial action as needed under the
circumstances; and (3) prosecute and if found guilty, punish the violator.
285
2. Berlakunya doktrin atau pendekatan “strict liability” (liability without
mens rea). Hal ini muncul dalam Peradilan Yamashita, di mana
jaksa sulit membuktikan bahwa Jenderal Yamashita telah
memerintahkan kekejaman terhadap penduduk Philipina dan para
tawanan orang-orang Amerika dalam pendudukan Jepang.
Namun Yamashita sebagai Commanding General bala tentara Jepang
di Philipina sekaligus sebagai gubernur militer “harus tahu” atas
terjadinya kekejaman yang meluas (widespread ) dan besar
(enormity), seperti perkosaan, pembunuhan, pembunuhan massal,
perusakan harta benda yang meluas baik dalam konteks waktu
maupun wilayah. Kejadian tersebut tidak bersifat sporadis dan
dalam banyak kasus justru dihadiri dan diawasi oleh perwira-
perwira Jepang. Sebagai komandan seharusnya melakukan kontrol
efektif, karena kondisi tertentu.Pemikiran rasional menyimpulkan
telah terjadinya perencanaan sengaja; Yamashita didakwa telah
melakukan “unlawfully disregarded and failed to discharge his duty as
commander to control the operations of the members of his command,
permitting them to commit brutal atrocities and other high crimes”;
3. The commanding general of occupied territory has the duty and
responsibility for maintaining peace and order, and the prevention of
crime. He cannot ignore obvious facts and plead ignorance as a defence;
(The High Command Case);
4. Bukti-bukti yang menunjukkan bahwa telah terjadi lebih dari satu
kejahatan perang dari kesatuan di bawah komando dan kehadiran
seorang perwira atau “non commission officer” pada saat atau
sebelum kejahatan terjadi sangat menentukan pertanggung–
jawaban komando. Kurt Meyer, di Pengadilan Militer Kanada,
dipidana karena anak buahnya telah melakukan pembunuhan
terhadap tahanan;
5. Komandan tidak harus melihat sendiri terjadinya kekejaman; cukup
apabila dia mengetahui bahwa bawahannya sedang dalam proses
melakukan kejahatan atau telah melakukan kejahatan dan yang
bersangkutan gagal mengambil langkah-langkah yang diperlukan
atau beralasan untuk menjamin ditaatinya hukum perang atau
memidana para pelaku. Hal ini sesuai pula dengan Art. 86 para. 2
Protocol I;
6. “Position of responsibility” bisa juga berkaitan dengan “civilian
authorities”. Dalam Rwanda Tribunal, seorang direktur pabrik teh
286
dituntut dan dipidana karena tidak melakukan tindakan campur
tangan dan pencegahan kejahatan genosida yang dilakukan
bawahannya di luar jam kerja;
7. Pertanggungjawaban komando tidak hanya diterapkan terhadap
“formal commanders”, tetapi juga terhadap orang-orang yang
memperoleh suatu posisi informal dalam hal mana dia bisa
menggunakan kekuasaannya sebagai seorang komandan. Hal ini
bisa terjadi dalam perang saudara (civil war). Dalam Tribunal
Yugoslavia, seorang yang bertindak sebagai komandan penjara di
Bosnia, sekalipun secara formal tidak pernah ditunjuk dalam jabatan
tersebut, tetapi secara de facto dia adalah komandan yang tidak
melakukan pencegahan pembunuhan-pembunuhan dan penyiksaan
yang dilakukan oleh para penjaga penjara;
8. Atas dasar “case law” dari dua tribunal dan juga Pasal 28 Statuta
ICC, kontrol yang efektif secara umum ditafsirkan sebagai suatu
kondisi di mana atasan secara sungguh-sungguh mampu
menggunakan kekuasaannya bilamana dia menginginkannya.
Dengan demikian istilah tersebut menunjuk kepada “material
ability” untuk mencegah dan menahan tindak pidana. Apakah
seseorang berada dalam posisi untuk mengontrol atau tidak akan
tergantung pada apakah seseorang mempunyai kekuasaan untuk
mengeluarkan perintah yang mengikat bawahannya dan untuk
mencegah atau menghukum setiap pelaku tindak pidana yang
mungkin dilakukan. Dengan demikian kontrol harus diartikan
sebagai sambungan atau akibat komando (sequel of command).
Perkecualian bisa terjadi apabila komandan tidak mempunyai
kontrol efektif, misalnya karena komunikasi terputus,
pemberontakan (mutiny), atau sebab-sebab lain yang sulit
dihindari. Kontrol tidak harus berasal dari komando militer, tetapi
juga bisa berasal dari orang yang berwenang, misalnya pimpinan
politik atau pejabat pemerintah. Tingkatan komando dan kontrol
bervariasi; bisa operasional, taktis, administratif, eksekutif dalam
teritori di bawah kontrol atasan. Tanggungjawab atasan akan
banyak tergantung pada derajat kontrol dan cara pelaksanaannya;
9. Seorang staf sekalipun memiliki pengaruh besar, belum tentu
mampu mencegah kejahatan. Sebagai contoh adalah kasus yang
diadili Trial Chamber ICTY. Seseorang yang bertindak sebagai
“co-ordinator of logistic support” tetapi tidak dalam posisi sebagai
287
“superior authority” terhadap pelaku kejahatan, sehingga
dibebaskan; Kasus lain yang menarik dalam hal ini adalah apa
yang terjadi dalam Tokyo Tribunal yang mengadili Letjen Akira
Muto, yang bebas dalam kasus Rape of Nanking, karena
kedudukannya sebagai seorang perwira staf dari Jenderal Iwane
Matsui. Muto kemudian dipromosikan menjadi Chief of Staff
Jenderal Yamashita di Filipina. Dalam kasus kekejaman di Filipina,
Muto tidak bebas dari pertanggungjawaban komander (shares
responsibility) karena dia dalam posisi yang dapat mempengaruhi
kebijakan (in a position to influence policy);
10.Istilah “cognitive element” mencakup tiga derajat kesadaran : (1)
”actually knew; (2) deliberately took the risk that this would happen, if not
knowing it ; dan (3) he should have known that such crimes were about to
occur”. Yang pertama mengandung pengertian “he must have known”
seperti dalam kasus Yamashita di mana kejahatan jumlahnya sangat
besar. Contoh lain adalah Kasus ICTY tentang pembunuhan di camp
penjara. Dalam hal ini ada perbedaan antara perumusan ICTR dan
ICTY di satu pihak yang menggunakan istilah “had reason to know”
dan Statuta ICC di lain pihak yang menggunakan istilah “owing to
the circumstances at the time, “should have known” that the forces were
committing or about to commit such crimes”. Dalam hal ini Trial Chamber
menentukan bahwa “had reason to know” berlaku dan atasan
bertanggungjawab apabila informasi sudah diberikan kepadanya,
yang menempatkan dia dalam posisi “deliberately taken the risk that
the crimes might occcur”. Istilah “should have known” dalam Statuta
ICC berkaitan dengan standar komander yang selalu mempunyai
kewajiban untuk selalu memiliki informasi tentang kinerja anak
buahnya. Dua kriteria “deliberately taking a risk” dan “the should have
known test” terdapat dalam Statuta Roma Art. 28. Dalam hal ini
terdapat perbedaan antara “military superiors” dan “non military
superiors”. “Non military superiors” tidak akan bertanggungjawab
secara pidana sehubungan dengan kejahatan yang dilakukan
bawahannya, kecuali mereka “consciously disregarded information”
yang jelas-jelas diberikan bahwa bawahannya melakukan tindak
pidana. Dalam hal terdakwa “a military superiors”, berlaku syarat
“owing the circumstances at the time, he should have known that the
forces were committing or about to commit such crimes”. Dalam hal ini
seorang komandan militer dapat dituntut karena “negligence”,
288
sedangkan untuk superior sipil harus menggunakan standar yang
lebih tinggi, yaitu dia harus memiliki pengetahuan aktual atau
konstruktif bahwa kejahatan sedang dilakukan.
11.Dalam kerangka elemen operasional, terkait suatu persyaratan
bahwa atasan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana
atas kegagalannya untuk campur tangan mencegah atau menahan
kejahatan. Dalam kasus ICTY yang menyangkut pembunuhan di
camp penjara, memang bisa dibuktikan bahwa komandan penjara
telah mengeluarkan perintah bahwa tidak seorangpun boleh disiksa,
namun dia alpa untuk melakukan pengecekan apakah perintahnya
dipatuhi. Harus dicatat bahwa hal ini tetap ada batasnya;
12.Untuk mengukur apakah telah terjadi “failed in his duty” untuk
mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mencegah atau
menghukum pelaku tindak pidana, yang dijadikan ukuran adalah
apakah seseorang telah bertindak sesuai dengan “reasonable person”
dalam posisinya sebagai komandan. Contohnya adalah seorang
komandan dalam tentara El Salvador yang telah dianggap
berpartisipasi membunuh petugas gereja Amerika, karena gagal
memenuhi kewajibannya seperti tersebut di atas. Sebagai
komandan ia “should have known” apa yang harus dilakukan para
petugas gereja dan aktivis;
13.Ruang lingkup tanggungjawab individual yang mencakup pula Head(s)
of State or Government atau responsible Government official (s) di dalam Art
7(2) mengindikasikan bahwa penerapannya jauh lebih luas daripada
sekedar komandan militer dan bisa mencakup pimpinan politik dan
atasan sipil lainnya sebagai atasan yang berwenang. Semua di bawah
“doctrine in certain circumstances”. Contohnya adalah apa yang terjadi
pada IMTFE yang mengadili kasus “rape of Nanking”. Dalam hal ini
yang dipidana tidak hanya Jenderal Iwane Matsui, tetapi juga Menteri
Luar Negeri Jepang Koki Hirota yang dianggap gagal menjalankan
tugasnya untuk mengambil langkah-langkah untuk mengamankan dan
mencegah pelanggaran terhadap hukum perang, padahal yang
bersangkutan telah memperoleh laporan tentang kekejaman yang
terjadi waktu tentara Jepang memasuki Nanking. Pengadilan
menyatakan bahwa “his inaction amounted to criminal negligence”.
Demikian pula terhadap Perdana Menteri Hideki Tojo dan Menteri
Luar Negeri Mamoru Shigemitsu karena dianggap melakukan
“omissions to prevent or punish the criminal acts” dari tentara Jepang;
289
14.Atas dasar pengalaman dua tribunal ad hoc, dalam hal ketiadaan
bukti-bukti langsung tentang pengetahuan superior tentang
kejahatan yang dilakukan bawahan, pengetahuan tersebut tidak
boleh diperkirakan, tetapi harus dikaitkan dengan bukti-bukti tidak
langsung (circumstantial evidence) berupa pengetahuan tertentu
seperti: “the number of illegal acts; the type of illegal acts; the scope of
illegal acts; the time during which the illegal acts occurred; the number
and type of troops involved; the logistics involved, if any; the geographical
locations of the acts; the widespread occurance of the acts; the tactical
tempo of operations; the modus operandi of similar illegal acts; the officers
and staff involved; theblocations of the commander at the time.”;
15.Hubungan sebab akibat antara “superior’s omission” dengan
kejahatan yang terjadi tidak perlu dibuktikan sebagai unsur
terpisah dari pertanggungjawaban komando. Hal ini dianggap
sudah melekat dalam persyaratan atas kejahatan yang dilakukan
oleh bawahan dan kegagalan atasan untuk mengambil tindakan
dalam rangka kekuasaannya untuk mencegah. Namun demikian
harus dipahami bahwa pertanggungjawaban komando baru bisa
dilakukan apabila telah dibuktikan telah terjadinya “core crimes”,
baik dalam bentuk kejahatan perang, kejahatan genosida atau
kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam hal “core crimes” ini,
sepanjang mengenai elemen material dan elemen mental perlu
dikaji ketentuan yang berlaku secara universal, misalnya apa yang
diatur dalam dokumen “the Elements of Crimes”, Statuta Roma
tentang ICC, 1998. Sekalipun demikian pemahaman mengenai
syarat pemidanaan yang berlaku dalam hukum nasional akan
sangat membantu, baik yang berkaitan dengan unsur perbuatan
maupun unsur kesalahan;
16.Bilamana persyaratan “actus reus” (elemen material) telah diuraikan
dalam bagian II makalah ini, maka prasyarat “mens rea” (elemen
mental) nampak dari hal-hal sebagai berikut: “(1) actual knowledge
established through direct evidence; or (2) actual knowledge established
through circumstancial evidence, with a presumption of knowledge where
the crimes of subordinates are a matter of public notoriety, are numerous,
occur over a prolonged period, or in a wide geographical area; or (3)
wanton disregard of, or failure to obtain information of a general nature
within the reasonable access of a commander indicating the likelihood of
actual or prospective criminal conduct on the part of his subordinates.”
290
Penutup
Indonesia telah memiliki UU No. 26 tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM. Dalam merumuskan kejahatan yang termasuk
yurisdiksinya tegas-tegas dinyatakan telah mengikuti Statuta Roma
th. 1998. Hanya sayangnya, dua dokumen lainnya yang melekat tidak
pernah disebutkan yaitu dokumen tentang “Elements of Crimes” dan
dokumen tentang “Rules of Procedures and Evidence”. Juga sangat
disayangkan tidak dimasukkannya ketentuan ICC tentang “kejahatan
perang” dalam yurisdiksi Pengadilan HAM. Di samping itu pelbagai
rumusan lain dalam Pengadilan HAM juga mengadopsi apa yang
diatur oleh ICC. Contohnya adalah Pasal 42 yang mengatur tentang
Pertanggungjawaban Komando.
Sebagai suatu norma yang baru, kita harus mengkaji baik secara
teoritik maupun empiris apa yang telah terjadi dalam praktek hukum
internasional yang cenderung sudah menjadi hukum kebiasaan
internasional. Sebenarnya pelbagai diskusi di atas dapat ditempatkan
dalam kerangka Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP yang mengatur tentang
Penyertaan (deelneming), sekalipun terdapat hal yang relatif baru yaitu
“crimes by omission” atau “culpable omission”. Dikatakan relatif baru,
karena secara konseptual kejahatan omisionis juga dikenal seperti
pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa 1949 berupa
pembunuhan dengan sengaja dengan cara tidak memberikan bantuan
makanan atau kesehatan atau melalaikan hak POW untuk diadili
secara adil. Dalam kerangka ini dipertimbangkan betapa pentingnya
studi perbandingan hukum antar negara.
Dalam hal ini Prof. Nico Kaijzer menyatakan bahwa pelbagai
uraian di atas tidak hanya terbatas pada kejahatan perang, tetapi
harus dilihat sebagai salah satu bentuk “criminal participation” atau
“participation by omission” dan dapat berkaitan dengan delik-delik yang
lain secara umum.
“The American Model Penal Code” (Section 2.06(3)) menentukan
bahwa “a person is an accomplice of another in the commission of a criminal
offence, inter alia, if he , having a legal duty to prevent the commission of
the offence, fails to make proper effort to do so”. Dalam Paragraf 13 KUHP
Jerman yang mengatur pertanggungjawaban pidana terhadap mereka
yang mengabaikan untuk mencegah kejahatan agar tidak terjadi,
padahal yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk
melakukannya. “Participation by omission” juga dikenal dalam
291
yurisprudensi (case law) Belanda sebagai landasan pertanggung–
jawaban pidana.
Sebagai rekomendasi dapat dikemukakan agar antar negara
terjadi harmonisasi mengenai “military codes” dan “rule of engagement”
(semacam British Manual of Military Law atau the US Army Field
Manual), mengingat telah terbentuknya ICC yang bersifat permanen
dan memungkinkan dibentuknya peradilan pidana ad hoc oleh Dewan
Keamanan PBB yang secara komplementer dapat mengambil alih
fungsi peradilan pidana nasional apabila diidentifikasikan telah terjadi
“sham proceeding”. n
292
Tinjauan Yuridis
Terhadap Kasus Penyuapan Saksi
Oleh Pengacara
293
Sedangkan konsep mala prohibita bertitik tolak dari pemikiran bahwa
perbuatan dianggap tercela atau salah karena perundang-undangan
telah melarangnya, sehingga disebut sebagai regulatory offenses.
Contohnya adalah pelbagai peraturan tata tertib di pelbagai bidang
kehidupan yang diperlukan dalam rangka untuk menegakkan
tertibnya kehidupan modern.
Tindak pidana suap merupakan mal per se karena penyuapan selalu
mengisyaratkan adanya maksud untuk mempengaruhi (influencing)
agar yang disuap (misalnya menyangkut diri seorang pejabat) berbuat
atau tidak berbuat yang bertentangan dengan kewajibannya. Atau
juga karena yang disuap telah melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya. Hal
ini nampak dari perumusan Pasal 209 KUHP dan Pasal 419 KUHP
(penyuapan aktif dan pasif terhadap pejabat) serta Pasal 210 KUHP
dan Pasal 420 KUHP (penyuapan aktif dan pasif terhadap hakim).
Dengan demikian baik “aktor intelektual” maupun “aktor pelakunya”
telah melakukan sesuatu yang bertentangan baik dengan norma
hukum maupun norma-norma sosial yang lain (agama, kesusilaan
dan kesopanan). Mengingat tindak pidana suap terhadap pejabat dan
terhadap hakim masuk kategori tindak pidana korupsi, maka menurut
UU No. 31 Tahun 1999 diatur pula tentang tanggungjawab kejahatan
korporasi (corporate criminal responsibility). Dalam kasus ini penyuapan
tidak hanya berupa pemberian atau janji untuk memberikan uang
atau barang, tetapi juga berupa gratifikasi, kemudahan, entertainment,
keuntungan, hadiah, honorarium dan sebagainya. Di dalam sistem
Common Law, sepanjang menyangkut pejabat publik, intisari dari
kejahatan adalah untuk merusak keadilan (to pervert justice).
Dalam Pasal 418 KUHP bahkan segala hadiah atau janji yang
diketahui atau sepatutnya harus diduga ada kaitannya dengan kekuasaan
atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya dilarang. Lima
Pasal KUHP tersebut dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. (UU
Njo. 31 Tahun 1999). Khusus berkaitan dengan Pasal 419 KUHP di
Singapura terdapat ketentuan yang lebih keras berupa Non-Acceptance
of Gifts yang pada prinsipnya setiap pejabat dilarang menerima hadiah,
souvenir dan lain-lain sepanjang dapat menempatkan yang bersangkutan
pada suatu kewajiban terhadap orang yang mempunyai hubungan
dengan pekerjaannya. Pemberian tersebut harus dilaporkan dan kalau
ingin memilikinya, harus membayar setelah ditaksir harganya.
294
Kejahatan penyuapan dianggap merusak integritas kemanusian,
kehormatan, demokrasi, kepercayaan, moralitas, keadilan dan
kebenaran, dan tidak hanya berkaitan dengan hubungan antara
pejabat dan warga negara, tetapi juga antar warga negara yang
berkaitan dengan kepentingan umum. Hal ini nampak dari
pengembangan kriminalisasi terhadap tindak pidana penyuapan yang
berkaitan dengan kepentingan umum (UU No. 11 Tahun 1980),
penyuapan dalam pemilihan umum baik supaya orang tidak
menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan
haknya dengan cara tertentu (Pasal 73 UU No. 3 Tahun 1999). Tindak
295
Kasus penyuapan terhadap saksi, apabila benar-benar terjadi
sudah merupakan tindak pidana berat, sebab tidak hanya berkaitan
dengan tindak pidana suap di luar ketentuan perundang-undangan
yang sudah ada (UU No. 11 Tahun 1980) terhadap seseorang, dengan
memberi atau menjanjikan sesuatu dengan maksud untuk membujuk
supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam
tugasnya (yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya
yang menyangkut kepentingan umum), tetapi juga berkaitan dengan
asas peradilan yang jujur dan dan tindak pidana berupa gangguan
terhadap proses memperoleh keadilan yang juga masuk kategori
transnational organized crimes (Palermo Convention, 2000). Lebih luas
lagi termasuk kategori kejahatan melawan administrasi peradilan.
296
Semua tahapan tersebut pada dasarnya berkaitan dengan
integritas pengadilan sebagai unsur demokrasi, khususnya
keberadaan pemerintahan yang terbuka, akuntabel dan responsif, di
samping keharusan terus menerus untuk mempromosikan dan
melindungi HAM. Penyuapan terhadap saksi jelas akan merusak
integritas pengadilan sebagai unsur demokrasi.
Tindak pidana penyuapan terhadap saksi pada dasarnya
merupakan tindak pidana gangguan terhadap hak untuk
mendapatkan keadilan (obstruction of justice) yang dalam Palermo
Convention dirumuskan sebagai berikut:
a. “The use of physical force, threats or intimidation or the promise, offering
or giving of an undue advantage to induce false testimony or to interfere
in the giving of testimony or the production of evidence in a proceeding
in relation to the commission of offenses covered by this Convention”;
b. The use of physical force, threats or intimidation to interfere with the
exercise of official duties by a justice or law enforcement official in relation
to the commission of offenses covered by this convention.
297
giving testimony or destroying, tampering with or interfering with the
collection of evidence;
d. Impeding, intimidating, or corruptly influencing an official of the court
for the purpose of forcing or persuading the official not to perform, or to
perform improperly, his or her duties;
e. Retaliating against an official of the court on account of duties performed
by that or another official;
f. Soliciting or accepting a bribe as an official of the court in connection
with his or her official duties.
Uraian atas dasar instrumen internasional dan negara lain di atas
penting untuk menggambarkan bahwa perbuatan penyuapan
merupakan mala per se dan dikriminalisasikan secara universal.
Sepanjang menyangkut penyuapan terhadap saksi, akan berkaitan
dengan delik yang lebih spesifik dan penting yaitu “obstruction of
justice” dan “offenses against the administration of justice”. Dampak
viktimisasinya bersifat multidimensional, sehingga alasan
kriminalisasinyapun sangat kuat.
Dalam kaitan dengan hukum pidana positif Indonesia, kasus
penyuapan terhadap saksi oleh seorang pengacara akan dapat
dipidana atas dasar UU No. 11 Tahun 1980 tentang “tindak pidana
suap” yang menyangkut kepentingan umum. Di samping itu dapat
pula dikaitkan dengan tindak pidana penganjuran untuk melakukan
sumpah palsu (Ps. 55 ayat (1) ke-2 Jo. Pasal 242 KUHP). Yang terakhir
ini sesuai dengan Pasal 174 KUHAP memerlukan acara khusus.
Sebagai catatan, khusus berkaitan dengan kasus yang dialami
pengacara di atas, sehubungan dengan telah dilakukannya peradilan
kode etik terhadap tersangka oleh asosiasi profesi dalam bentuk
“disciplinary proceedings” dan dinyatakan salah serta telah dijatuhi
sanksi teguran keras, maka sesuai dengan dokumen internasional
(Basic Principles on the Role of Lawyers, 1990) tindakan yang demikian
sudah benar. Namun karena persoalannya berkaitan dengan
pelanggaran etika, dan tidak berkaitan dengan malpraktek maka apa
yang telah diputuskan “pengadilan disiplin” tersebut tidak bersifat
interdependen dengan proses peradilan pidana. Hanya saja dari sisi
pembuktian unsur sifat melawan hukum, secara komplementer hasil
peradilan disiplin tersebut dapat dikaitkan dengan unsur sifat
melawan hukum materiil yang dapat memperkuat unsur sifat
melawan hukum formil. n
298
Proses Peradilan In Absentia:
Konteks dan Permasalahannya
299
Keberadaan peradilan in absentia bisa dikaji dari tiga sisi. Sisi
pertama memandang peradilan in absentia sebagai bagian dari asas-
asas peradilan yang adil. Sisi kedua melihat peradilan in absentia
sebagai bagian dari perlindungan HAM dalam sistem Administrasi
Peradilan Pidana (The Protection of Human Rights in the Administration
of Criminal Justice). Sedangkan sisi ketiga, peradilan in absentia sebagai
lembaga hukum akan bersentuhan dengan asas-asas ekstradisi.
300
h. hak untuk memeriksa para saksi;
i. hak untuk mendapatkan penerjemah;
j. larangan melibatkan seseorang yang memberatkan;
k. larangan penerapan hukum-hukum pidana yang berlaku surut;
l. larangan dalam bahaya yang berlipat (double jeopardy)
3. Tahap Pasca Peradilan;
a. hak untuk mengajukan peninjauan;
b. hak untuk mendapatkan ganti rugi karena kesalahan
peradilan.
301
Dalam ruang lingkup ini peradilan in absentia berkaitan erat
dengan “hak untuk mendapatkan peradilan yang fair”, khususnya
Pasal 14 (3) (d) Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik
yang mengatur “jaminan minimum”, dalam hal persamaan secara
penuh disebutkan:
“Untuk diadili dengan kehadiran terdakwa dan untuk membela dirinya
sendiri atau melalui bantuan hukum yang dipilihnya sendiri; untuk
diberitahukan haknya, jika ia tidak memiliki bantuan hukum; dan untuk
mendapatkan bantuan hukum yang ditunjuk untuknya dalam hal di
mana peradilan membutuhkannya, tanpa dibayar jika ia tidak mampu
membayarnya”.
Mengenai hal di atas Human Rights Committee of the International
Convenant on Civil and Political Rights memberikan komentar sebagai
berikut:
“Tertuduh atau pengacaranya harus dibenarkan bertindak sungguh-
sungguh dan tanpa rasa takut dalam melakukan pembelaan dan hak
untuk menguji keabsahan peradilan jika mereka percaya (peradilan)
tidak melakukan dengan adil. Jika peradilan in absentia dilakukan karena
alasan-alasan yang dapat dibenarkan, hak-hak pembelaan tertuduh
harus tetap diperhatikan….Komisi menetapkan bahwa hak untuk
mendapatkan peradilan secara terbuka tidak melarang tuduhan-
tuduhan in absentia. Komisi menyatakan bahwa tuduhan in absentia
dibolehkan dalam administrasi peradilan yang tepat, misalnya ketika
tertuduh telah diinformasikan mengenai tuduhan-tuduhannya lebih
dulu tetapi kemudian menolak penggunaan haknya untuk hadir.
Putusan yang sah in absentia mengharuskan pengambilan langkah-
langkah untuk menginformasikan tertuduh lebih dahulu mengenai
tuduhan-tuduhannya, terutama syarat-syarat pada ps. 14 (3) (a): untuk
diberitahukan dengan segera dan rinci dalam bahasa yang bisa
dimengerti mengenai alasan tuduhan terhadapnya. Tujuan
pemberitahuan adalah untuk memberikan kesempatan kepada tertuduh
menggunakan haknya secara efektif di bawah pasal 14. Untuk
memenuhi tujuan ini, pemberitahuan harus menginformasikan kepada
tertuduh mengenai tanggal dan tempat peradilan, dan meminta
kehadirannya.”
Dikaitkan dengan masalah ekstradisi, dapat dikaji Model Treaty
on Extradition. Di dalam pasal 3 yang mengatur Mandatory Grounds for
Refusal huruf (g), ditegaskan hal ini bisa terjadi bila: “Keputusan
negara yang meminta telah memutuskan in absentia, tertuduh tidak
mendapatkan pemberitahuan peradilan yang memadai, atau
302
kesempatan untuk mengatur pembelaannya, dan ia tidak memiliki
kesempatan lagi agar kasusnya diadili dengan kehadirannya”.
Didalam KUHAP, untuk acara pemeriksaan biasa dan
pemeriksaan acara singkat, tidak dibenarkan menerapkan peradilan
in absentia. Dengan demikian kehadiran terdakwa dalam persidangan
merupakan keharusan. Hal ini tersirat dalam Pasal 154 KUHAP yang
mengatur tentang proses menghadirkan terdakwa dalam persidangan,
dan bila perlu dihadirkan secara paksa (Pasal 154 ayat 6 KUHAP).
Persidangan tidak dapat dimulai sampai penuntut umum berhasil
menghadirkan terdakwa di persidangan.
Sebagai catatan, perkecualian bisa saja terjadi dalam pemeriksaan
perkara cepat, misalnya perkara pelanggaran lalu lintas jalan. Dalam
hal ini bisa dilakukan “quasi keperdataan” dan perkecualian terhadap
asas in absentia. Undang-undang tidak mewajibkan terdakwa
menghadap in person di sidang pengadilan dan ia dapat menunjuk
wakilnya. (Harahap, 2000).
Dalam beberapa perundang-undangan di luar KUHP, atas dasar
asas lex posteriori derogat legi priori diatur peradilan in absentia, seperti
UU No.3 Tahun 1971 tentang “Pemberantasan Tindakan Pidana
Korupsi” Pasal 23 ayat (1), yang kemudian ditegaskan kembali oleh
UU penggantinya yaitu UU No.31 Tahun 1999 Pasal 38 ayat (1). Dalam
hal ini dinyatakan bahwa jika terdakwa setelah dipanggil dengan
semestinya tidak hadir dalam sidang pengadilan dan tanpa memberi
alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus oleh
hakim tanpa kehadirannya. Sayangnya pengecualian yang signifikan
semacam ini tidak disertai dengan “standar hukum” dan “petunjuk
umum” tentang tata cara untuk melaksanakan peradilan “in absentia”.
Petunjuk umum semacam ini bisa disusun oleh Mahkamah Agung,
misalnya pernyataan bahwa Mahkamah Agung dapat mengatur lebih
lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan
peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam
Undang-undang ini. Hal ini sama persis dengan apa yang telah
dilakukan oleh Mahkamah Agung baru-baru ini melalui PERMA No.1
Tahun 2002 tentang “Acara Gugatan Perwakilan Kelompok”.
Pedoman Umum
Keberadaan “pedoman umum” melalui PERMA tentang standar
yuridis dan tata cara melaksanakan peradilan in absentia sangat
303
penting, melihat kemungkinan viktimisasi terhadap tiga dimensi
kepentingan dalam peradilan in absentia diatas. Pedoman semacam
ini harus bisa menjawab:
a. Hakekat peradilan in absentia sebagai ex parte hearing dalam konteks
sistem peradilan pidana;
b. Peradilan in absentia merupakan peradilan perkecualian dengan
syarat-syarat yang jelas (reasonable cause sebagai bagian minimum
guarantees) ;
c. Apakah peradilan in absentia hanya berkaitan dengan sidang
pengadilan ataukah bisa juga mencakup ketidakhadiran terdakwa
dalam keseluruhan proses sistem peradilan pidana (mulai
penyidikan sampai dengan sidang pengadilan). Dengan kata lain
apakah dimungkinkan penyidikan in absentia sehingga
menghasilkan dakwaan fiktif (fictional indictment);
d. Sampai seberapa jauh hakim dapat menolak kehadiran penasehat
hukum dalam peradilan in absentia, lebih-lebih apabila terdakwa
in absentia diancam dengan pidana berat;
e. Sampai seberapa jauh dimungkinkan terjadinya persidangan
ulangan, sehingga yang bersangkutan mempunyai kesempatan
untuk melakukan pembelaan.
304
harus sudah melalui eksaminasi permulaan yang cukup terhadap
alat-alat bukti yang dapat mendukung dakwaan;
d. Peradilan in absentia bisa mensyaratkan bahwa terdakwa pada
permulaan pernah hadir (initial presence), tetapi bisa juga tanpa
syarat tersebut asal tidak diragukan lagi bahwa terdakwa telah
memutuskan secara sukarela dengan kesadaran penuh untuk tidak
melaksanakan haknya untuk hadir;
e. Sekalipun peradilan in absentia dilaksanakan, maka terdakwa harus
dapat diwakili oleh penasehat hukum yang diberinya kuasa.
Dengan alat-alat komunikasi modern memungkinkan penasehat
hukun berkomunikasi dengan terdakwa setiap saat;
f. Apabila pelbagai persyaratan peradilan in absentia tidak dipenuhi,
maka harus dimungkinkan peradilan ulangan (retried) dengan
kehadiran terdakwa, sebab bagaimanapun juga keterangan
terdakwa secara pribadi tetap merupakan alat bukti penting;
g. Persyaratan persidangan ulangan harus didasarkan alasan-alasan
yang masuk akal seperti:
• Hambatan terhadap kehadiran kuasa hukum;
• Panggilan tidak sah atau tidak patut;
• Ketidakhadiran terdakwa alasannya cukup memadai;
• Terdakwa sedang melaksanakan kewajiban hukum lain yang
setara. n
305
Struktur Kekuasaan
Lembaga Pengadilan dan Kejaksaan
306
merdeka” yang secara universal telah diakui sebagai instrumen HAM
dan sudah diadopsi oleh PBB itu diatur oleh UUD 1945 dan bukan
oleh Undang-undang. Sesuai dengan standar universal (UN Basic
Principles on the Independence of the Judiciary, 1985) paling tidak
diperlukan adanya pengaturan pokok dalam UUD yang berkaitan
dengan asas-asas umum kekebasan peradilan, kebebasan menyatakan
pendapat dan berasosiasi, kualifikasi, seleksi dan pelatihan hakim,
kerahasiaan profesional dan imunitas serta pengaturan tentang
tindakan disiplin, suspensi dan pemindahan. Selanjutnya, di bawah
ini akan dikemukakan pelbagai pandangan tentang praktek konstitusi
di Indonesia yang dianggap tidak lagi sesuai dengan standar-standar
demokrasi universal, baik yang datang dari dalam negeri maupun
luar negeri, seperti “the International Commision of Jurist”.
Penting segera disadari bahwa ambivalensi – jika tidak disebut
kekacauan — dalam menafsirkan kemandirian kekuasaan kehakiman
yang sudah diakui tersebut muncul setelah secara emosional para
penyelenggara negara mulai mengelaborasi konsep “negara
integralistik”. Konsep ini bertolak dari pandangan dasar bahwa
negara merupakan kesatuan organik yang diasosiasikan – tentu
dengan akibat penyederhanan yang keterlaluan — layaknya sebuah
kehidupan keluarga: apapun yang dilakukan bapak (penguasa) harus
dipahami sebagai bertujuan untuk kepentingan semua anggota
keluarga (rakyat). Karena itu dalam konsep negara integralistik, unsur
harmoni, kebersamaan, sangat amat ditonjolkan. Sebaliknya, segi-
segi yang melekat pada hak-hak individual warga negara – kemudian
dipersepsikan sebagai “ancaman” terhadap tatanan harmoni,
kebersamaan, stabilitas — harus ditundukkan dalam kerangka
kepentingan negara. Segala tindakan warga negara yang tidak selaras
dengan kepentingan negara, mudah ditafsirkan sebagai
pembangkangan atau subversif.
Konsep di atas juga menimbulkan implikasi yang sangat
problematik dalam dunia hukum di Indonesia. Pernyataan bahwa
Indonesia merupakan “negara hukum” (rechstaat ), mestinya
menempatkan pengadilan dalam posisi strategis, dan bahkan dapat
memberikan kepastian bahwa kekuasaan legislatif dan eksekutif pun
tak terkecuali harus tegak di atas landasan hukum yang berlaku. Karena
itu, di pelbagai negara demokratis berkembang apa yang disebut
“judicialization of politics” atau “policy making by judges”. Maka, jika suatu
307
ketika misalnya terjadi “pertentangan konstitusi” (constitutional conflict)
pengadilan yang merdekalah yang harus menyelesaikannya, bukan
yang lain. Prinsip yang demikian tidak terjadi di era Orde Baru.
Kedudukan pengadilan yang mandiri, juga sering dikacaukan dengan
cara mengintrodusir istilah-istilah atau pengertian-pengertian yang
membingungkan, seperti pernyataan bahwa kita tidak menganut
prinsip “separation of power” tetapi “devision of power”.
Kemudian, ketentuan pasal 4 ayat (3) Undang-undang No 14 Tahun
1970 yang menyebutkan bahwa: “Segala campur tangan dalam urusan
peradilan oleh pihak-pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang
(pen: mestinya di sini titik) kecuali dalam hal-hal tersebut dalam UUD”,
menyediakan alasan bagi pihak penguasa untuk memberikan tafsir
menurut visi dan kepentingannya sendiri. Kata “kecuali dalam hal-hal
tersebut dalam UUD”, mudah dimanipulasi, misalnya dikaitkan dengan
“hak preogratif Presiden” (Pasal 14 UUD 1945), untuk melakukan
campur tangan terhadap kekuasaan kehakiman yang mandiri.
Demikian pula dengan pernyataan bahwa: “penegakan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila dan sesuai dengan perasaan hukum
bangsa Indonesia dan Masyarakat” yang kerap kita dengar di sepanjang
era kekuasaan Orde Baru, lebih merupakan slogan yang mengaburkan
prinsip-prinsip universal tentang kebebasan peradilan.
Sepanjang menyangkut pemisahan lembaga eksekutif dan yudikatif
sebagaimana dikehendaki TAP MPR (No. X/MPR/1998) sebagai
permulaan keberadaan UU No. 35 Tahun 1999, cukup memadai,
setidaknya sebagai kehendak politik. Namun demikian ketentuan
pengalihan organisasi, administrasi dan finansial yang dijadwalkan paling
lama 5 tahun sebaiknya bisa dilaksanakan lebih cepat. Sebab penundaan
dengan alasan-alasan yang bersifat teknis justru hanya akan mengaburkan
prinsip universal tentang kemandirian kekuasaan kehakiman. Demikian
pula dengan usul untuk melakukan perubahan pelbagai perundang-
undangan tentang kekuasaan kehakiman — yang merupakan turunan
dari UU No.14 Th. 1970 – dan pendayagunaan “Dewan Kehormatan
Hakim” serta pembentukan “Sub Komisi Yudikatif Pemeriksa Harta
Penyelenggara Negara”, harus dapat segera dilakukan.
Selain itu, usul untuk membentuk ‘Komisi Yudisial’ sebagaimana
banyak disuarakan masyarakat, khususnya kalangan LSM, dapat saja
dipertimbangkan. Dalam usul itu, Komisi Yudisial, yang para
anggotanya diangkat oleh DPR, diharapkan dapat mengemban fungsi
308
pokok antara lain untuk melakukan pengawasan terhadap perilaku
Hakim Agung dan terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang
Mahkamah Agung. Usul ini sejalan dengan dengan rekomendasi ‘the
International Commision of Jurit’ (1999). Keberadaan lembaga ini penting
untuk memberantas “judicial corruption” – yang di negeri ini terasa
sudah amat merisaukan – bersama-sama dengan lembaga-lembaga
lain, seperti Sub Komisi Yudikatif Pemeriksa Harta Penyelenggara
Negara, Komisi Pemberantasan Korupsi, Dewan Kehormatan Hakim,
Ombudsman. Fungsi lembaga-lembaga seperti ini juga memiliki
relevansi dengan kemungkinan akan diaturnya ‘Perlindungan Saksi’
dan keberadaan Kode Etik yang menegaskan betapa pentingnya
kebebasan peradilan, integritas, ketekunan, persamaan, sikap tidak
memihak (impunity), dan sebagainya.
Mengenai persoalan hak untuk menguji secara materiil dari
Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 26 UU No. 14
Th. 1970, nampaknya harus dirombak secara mendasar karena hanya
dibatasi terhadap produk perundang-undangan di bawah UU, sering
dengan alasan yang dibuat-buat yang sebenarnya untuk
mempertahankan pemerintahan yang arbitrair, seperti alasan tidak
sesuai dengan “konsep negara integralistik”, “division of power”,
kedudukan “hakim sebagai pegawai negeri”, dan sebagainya. Sebab
di dalam prinsip demokrasi hanya mengenal dua alternatif:
memperkuat kewenangan Mahkamah Agung untuk melakukan uji
materiil terhadap UU dan peraturan perundang-undangan lain, atau
membentuk Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court). Kewenangan
yang sangat strategis seperti ini tidak cukup hanya diatur dalam UU
tetapi harus diatur dalam UUD.
Ada sesuatu celah yang bersumber dari kewenangan pengawasan
Mahkamah Agung, yakni kebiasaan Mahkamah Agung untuk
memberikan perintah kepada pengadilan bawahan dengan alasan
pengawasan untuk menunda atau tidak melaksanakan keputusannya,
bahkan juga keputusannya sendiri dengan alasan yang tidak
transparan. Dalam hal ini harus ada rambu-rambu untuk mencegah
atau membatasi kewenangan mereka. Lalu kedudukan hakim sebagai
pegawai negeri harus segera diakhiri, karena jelas-jelas akan
menimbulkan “conflict of interest” bagi hakim dan rentan terhadap
manipulasi oleh kekuasaan eksekutif, apalagi jika masih harus menjadi
anggota Korpri seperti yang pernah dipraktekkan di jaman Orde Baru.
309
Pendayagunaan hakim adhoc, khususnya di Mahkamah Agung,
harus dilakukan mengingat penunjukannya didasarkan atas
pertimbangan keahliannya sesuai dengan kasus-kasus yang dihadapi,
seperti menyangkut hak cipta, kepailitan, dan sebagainya. Masuknya
“hakim non karir” seperti ini ke dalam Mahkamah Agung sebaiknya
dimungkinkan dengan berpedoman pada peraturan yang jelas, baik
yang berasal dari kalangan akademisi maupun dari praktisi hukum
dengan perimbangan komposisi keanggotaan: 75% hakim karir dan
25% hakim non karir.
Untuk menegaskan betapa strategisnya kedudukan Mahkamah
Agung dalam kehidupan demokrasi, maka selain fungsi-fungsinya
yang sudah diatur dalam UU No. 14 Th. 1985 perlu pula diatur peranan
Mahkamah Agung (melalui keputusan yang dibuatnya) menyangkut
hal-hal sebagai berikut: memberikan pendidikan hukum kepada
masyarakat; sarana pembaharuan hukum; mempromosikan prinsip
kemandirian kekuasaan kehakiman dan hak asasi manusia; mendorong
tegaknya demokrasi; dan memberikan solusi final terhadap konflik
yang terjadi. Sedangkan dalam kerangka “the administration of justice
system” perlu adanya pengaturan yang dapat menampung dan
memberikan pembenaran secara komperhensif atas perkembangan-
perkembangan baru dalam bentuk pengadilan khusus, seperti
“Pengadilan Niaga”, “Pengadilan HAM”, “Pengadilan Hak Cipta”, dan
sebagainya, yang sering kali memuat unsur penyimpangan baik dari
sisi prinsip-prinsip hukum materiilnya maupun hukum acaranya.
Dalam kerangka globalisasi perlu adanya pengaturan yang dapat
menstimulasi para hakim untuk memperhatikan sumber-sumber
hukum internasional baik berupa “konvensi internasional” yang sudah
diratifiksai, “hukum kebiasaan internasional” (international customary
law), “asas-asas hukum umum yang sudah diterima oleh bangsa-
bangsa beradab”, “instrumen-instrumen HAM”, dan lain sebagainya,
termasuk “Perda” untuk mengantisipasi berlakunya “otonomi
daerah” (UU No. 22 dan 25 Th. 1999).
Hal penting yang lain, perlu diadakan sosialisasi bahwa tidaklah
mungkin prinsip-prinsip “UN Basic Principles on the Independence of the
Judiciary” tanpa adanya ketaatan para pengacara terhadap “UN Basic
Princples on the Role of Lawyers”. Bahkan saat ini PBB sedang merancang
adanya sebuah deklarasi tentang “Independence of Justice” Sosialisasi
ini juga sebenarnya perlu dilakukan kepada lembaga-lembaga lain yang
310
secara potensial dapat “mempengaruhi” kebebasan peradilan, seperti
lembaga eksekutif, legislatif, pers, NGO’s, dan sebagainya. Kemudian,
pengaturan yang memungkinkan adanya “spesialisasi hakim” untuk
mengantisipasi penanganan kasus-kasus hukum yang semakin
kompleks, khususnya di bidang komersial dan ekonomi yang
berkembang demikian cepat, juga perlu mendapatkan pertimbangan.
Khusus mengenai kejaksaan, harus segera disadari bahwa
lembaga ini merupakan bagian penting dari sistem peradilan pidana.
Secara idiil, dalam pengaturan susunan dan kekuasaannya, selain harus
memperhatikan aspirasi nasional, juga harus dikaji nilai-nilai universal
seperti, “Guidelines on the Role of Prosecutors” yang diadopsi oleh
Kongres ke 8 tentang “Prevention of Crime and the Treatment of
Offenders” di Havana pada tahun 1990. Pengaturan susunan dan
kekuasaan kejaksaan haruslah mencakup hal-hal sebagai berikut:
- Persyaratan untuk menjadi jaksa harus didasarkan atas integritas
dan kemampuan melalui pelatihan kualifikasi;
- Kriteria seleksi tidak boleh mengandung unsur diskriminasi,
kecuali soal nasional;
- Pendidikan harus mengandung unsur etika dan perlindungan
terhadap hak-hak asasi terdakwa serta hak korban kejahatan yang
diakui oleh hukum nasional dan internasional;
- Jaksa adalah salah satu unsur utama dari “agent of the administration
of justice” yang harus menjaga martabat dan profesinya;
- Negara harus menjamin keamanan jaksa agar bebas dari pelbagai
gangguan dalam menjalankan profesinya;
- Promosi terhadap jaksa harus didasarkan atas kriteria yang
obyektif;
- Sebagai warga negara, jaksa harus diberi hak kebebasan untuk
berekspresi, berkumpul, berorganisasi, dengan berpedoman pada
hukum dan etika;
- Kantor jaksa harus terpisah dari fungsi-fungsi yudisial;
- Jaksa harus aktif dalam proses peradilan pidana, termasuk
mengawasi pelaksanaan keputusan hakim;
- Jaksa harus menghormati martabat HAM dan bertindak adil,
konsisten dan cepat;
- Jaksa harus menghindarkan diri dari sifat diskriminatif dan tidak
boleh memihak;
- Menjaga rahasia jabatan, kecuali demi kepentingan keadilan;
311
- Memperhatikan hak-hak korban;
- Jaksa tidak akan melakukan atau meneruskan penuntutan apabila
penyidikannya ternyata terbukti tidak netral (memihak) dan tidak
berdasar;
- Jaksa harus memberikan perhatian khusus terhadap kasus-kasus
yang melibatkan pejabat — khususnya yang berkaitan dengan
kewenangan yang dimilikinya, apakah sudah ditangani sesuai
hukum yang seharusnya atau sebaliknya;
- Apabila jaksa mengetahui bahwa bukti-bukti diperoleh secara
melawan hukum, maka dia harus menolaknya atau memberi
informasi kepada pengadilan dan mengambil langkah-langkah
yang diperlukan untuk membawa yang bertanggungjawab ke
pengadilan;
- Dengan mempertimbangkan hak-hak tersangka dan korban, jaksa
harus menjajagi kemungkinan penerapan “alternative prosecution”
atau “divesrion”;
- Untuk menjaga kejujuran dan keadilan dan efektivitas penuntutan,
jaksa harus kerjasama dengan polisi, pengadilan, pengacara, dan
lembaga-lembaga lain yang relevan;
- Tindakan disiplin terhadap jaksa harus diproses secara adil sesuai
dengan prosedur dan ada jaminan untuk ditinjau secara
independen.
312
DAFTAR PUSTAKA
313
Chaikin, David, “Tracking the Proceeds of Organized Crime- the Marcos”
(Paper), Canberra, 2000.
Chester L, “Sociology”, Fifth International Book Company,
Clinnovd, Marshall, B and Yeager, Peter c, “Corporate Crime”, London,
Collor Mc Millan Publ., 1980
Cohen, Cynthia Price, “UN Convention on the Rights of the Child
Introductory Note”, dalam : The Review ICJ, No.44, 1990.
Cyber Crime, CDPC, Strasbourg, 2000. “Confronting Cross Border
Crime”, Time Europe, Vol. 1.
Daniels, John L. and Daniels, Caroline, “Global Vision”, McGraw-Hill
International Edition, Toronto, 1993.
Daniels, John, “Global Vision”, Mc Graw Hill, Int. Edition, New York,
1994.
Departemen Kehakiman, Rancangan KUHP (Baru), 1993
Department of State, USA, “International Strategy Against Corruption”,
1999.
Dias, Clarence J. and Gilles, David, “Human Rights, Democracy, and
Development”, ICHRDD, National Library of Canada, Montreal,
1993.
Draft Resolution XVth, International Congress of Penal Law: “Crimes
Againts the Environment-Application of the General Part”, Rio de
Janeiro, Brazil 9-10 September 1994.
Drucker, Peter F, “Managing in Turbulent Times”, Harper Business,
New York, 1991.
Endeshaw, Assafa, “Internet and E-Commerce Law, With a Focus on
Asia Pacific”, Prentice Hall, Montreal, 2001.
Estrin, David and Swaigen, John, “Environment on Trial, Handbook of
Ontario Environmental Law”, Revise Edition, Toronto 1988.
Ghai, Yash, “Human Rights and Governance: The Asia Debate”, dalam
buku: The Australian Year Book of International Law, Vol. 15,
The ANU, Sydney, 1994.
Girasa, Roy J, “Cyberlaw, National and International Prerspectives”,
Prentice Hall, New Jersey, 2002.
314
Goldstein, Joseph, “Criminal Justice, Law and Politics” (George Cole),
1976.
Goldwin, Robert A, Schambra, William A, “How Does the Constitution
Secure Rights?”, American Enterprise Inst. for Public Policy
Research, Washington DC, 1985.
Graham, John, “Crime Prevention Strategies in Europe and North
America”, Heuni, Helsinki 1996.
Hagan, Frank E, “Political Crime, Ideology and Criminality” , Allyn a
Bacon, Singapore, 1997.
Hagan, Frank E, “Political Crime”, Allyn and Bacon, Singapore, 1997
Hagan, Frank E., “Political Crime, Ideology & Criminality”, Allyn and
Bacon, Boston, 1997.
Handelman, “Confronting Cross Border Crime, Time Europe”, Vol 1 No.
16, 2000.
Heise, Lori L. dkk, “Violence Against Woman, Hidden Health Burden”,
World Bank Discussion paper, WB. Washington DC, 1994.
Helmut EPP, “Crime by Government”, Association Internationale de
Droit Penal, 1994.
Hendriks, LEM en Woretshofer, J, Milieustrafrecht, “WEJ Tjeenk
Willink Zwolle“, 1995.
Holms & Burke, “Terrorism, Today’s Biggest Threat to Freedom”,
Kensington Publ. Corp., New York, 1994
Hoogers h.g. and Warmelink h.g., “The Compatibility of
Rechtsstaatprinciples”, 1999.
http://www.eur.nl/frg/iacl/papers/warmhoog.html, hal. 13.
International Criminal Court, “Rome Statute, Rome, 1988.
International Review of Penal Law, 3’ et 4’ trimestres 1994, “Crimes
Againts Environment, General Part Preparatory Colloqium”, Sction
1, Ottawa (Canada), November 2-6, 1992.
Ishikawa, Hiroshi, “Characteristic Aspect of Jaspanese Criminal Justice
System- A Successful of Example of Integrated Approach”, Jakarta,
1984.
315
Jorgensen, Nina H.B., “The Responsibility of States for International
Crimes”, Oxford University Press, London, 2000
Kaiser, G dkk., “Victims and Criminal Justice” Kriminologische
Forschungsberichte, Part I, Max-Planck Institute, Freiburg, 1991.
Kelompok Kerja Convention Watch, Laporan Seminar: Implementasi
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Wanita Dalam Dunia Kerja Serta Usaha Mengantisipasi Situasi
Kerja Pada Era Pasar Bebas, Jakarta, 1995
Klip, Andre and Sluiter, Goran, “Annotated Leading Cases of
International Criminal Tribunals” (ICTY 1993-1998), Hart Publ.
Vienna, 1999.
Komnas HAM, “Laporan Lokakarya Kejahatan terhadap Kemanusiaan”,
Jakarta, 2002.
Kumpulan makalah pada Seminar “Calling for Change: International
Strategies to End Violence Againt Woman”, tanggal 6-9 Juni 1993,
Den Haag.
Lessig, Lawrence, “Code and Other Laws of Cyberspace”, Basic Books
New York, 1999.
Naisbitt, John, “Global Paradox”, Avon Books, New York, 1995.
Nilson, Hans, G, “Future Corruption Control in Europe” , Fifth
International Anti 12. Corruption Conference, Amsterdam, 1992.
Ohmae, Kenichi, “The End of the Nation State”, The Free Press,
Singapore, 1955.
Hoogers h.g. and Warmelink h.g., “The Compability of Rechstaatprinciples”.
Pompe, S. van Hoeij Schiltouwer, “the Indonesian Supreme Court, Fifty
Years of Judicial Development”, 1996.
The Universal Declaration of Human Rights, Art. 10 dan the International
Covenant on Civil and Political Rights, Art. 14(1).
Pollock, Joycelyn M, “Aethics, Crime and Justice”, Wadsworth Publ.
Company, Washington, 1998.
Robertson, Geoffrey, “Crimes Against Humanity”, Penguin Books, New
Delhi, 1999.
316
RUU KUHP, DEPKUMDANG, 1999-2000.
RUU tentang KUHP (1999-2000) DEPKUMDANG
Schabas, William A, “An Introduction to the International Criminal Court”,
Cambridge University Press, 2001.
Schaffmeiter S dkk, “Hukum Pidana”, diterjemahkan oleh JE Sahetapy,
Konsorsium Ilmu Hukum Dep. P&K, 1995
Schiltz, Michael E., “Ethics and Standards in Institutional Research”,
Jossey-Bass Publ., 1992.
Schwartau, Winn, Cybershock, “Surviving Hackers, Phreackers, Identity
Thieves, Internet Terrorist and Weapons of Mass Disruption” ,
Thunder’s Mouth Press, New York, 2000.
Sheley, F. Joseph, “Exploring Crime”, Wadsworth Publ.Coy. California,
1987.
Shrode, Wiliam A and Voich, Jr, “Organization and Management: Basic
System Concepts”, Irwin Book Company, Malaysia, 1994.
Smith, JC and Hogan, Brian, “Criminal Law”, Fifth Edition,
Butterworths, 1997
Statuta ICTY, 1993.
Statuta ICTR, 1994.
Statuta Roma, 1998.
Steiner, Henry J, and Alston Philip, “International Human Rights in
Context, Law Politics Morals”, Clarendon Press Oxford, 1996
Sterling, Bruce, “The Hacker Crackdown, Law, Disorder on the Electronic
Frontier”, Bantam, Auckland, 1992.
The Portland Draft, “Proposed Model for a Domestic Law or Crimes Againts
the Environment”, Oregon, USA March 23, 1994.
Triffterer, Otto, “Commentary on the Rome Statute of the International
Criminal Court”, Baden 999.
UN Convention Against Terrorism.
UN Convention Against Transnational Organized Crimes, United Nations,
2000.
317
UN Decade Against Drug Abuse, Political Declaration and Global Program
of Action, 1991-2000.
UN Ministerial Meeting, “Conference on Organized Transnational Looking
at the Present to prepare for the Future”, Napels, 1994.
UN, “Human Rights and Law Enforcement”, Profesional Training Series
No. 5, Geneve, 1997.
UNIFEM, “CEDAW and Women’s Rights”, 1995.
UNIFEM, “Women’s Rights and Children Rights”, 1995.
United Nations, “A Compilation of international Instruments, Human
Rights”, Volume I (first part), New York, 1993.
United Nations, “A Compilation of International Instruments, Volume I
and II (Second Part)”, New York, 1993.
United Nations, “Instruments related to the Prevention and Suppression
of International Terrorism”, New York, 2001.
United Nations, “Preliminary Report : Environmental crime sectioning
strategies and sustainable development”, commission on Crime
Prevention and Criminal Justice, Vienna, 21-30 April 1992 (Doc.
E/CN 15/1992/CRP4).
United Nations, “Report of the Fourth World Conference on Woman”,
Doc. A/CONF.177/20, 17 Oktober 1995.
United Nations, “Report of the Ninth United Nation Congress on the
Prevention of Crime and the Treatment of Offenders”, Cairo, 29 April
– 8 May 1995, (Doc. A/CONF. 169 16, 12 May 1995).
United Nations, “UN Convention Against Transnational Organized
Crime”, 2000.
United Nations, “World Conference on Human Rights” , Vienna
Declaration and Programme of Action, 1993.
United Nations, Ecosoc, “Human Rights and the Environment”, Doc.
E/CN.4/Sub.2 1994 9, 6 July 1994.
Universitas Mercu Buana, “Aktualisasi Pengamalan Pancasila dan
UUD 1945 Dalam Era Globalisasi”, Jakarta 1995.
UU No. 26 Th. 2000.
318
Van Bemmeien, “Hukum Pidana I, Hukum Pidana Material Bagian
umum”, (terjemahan), Binacipta, 1984
Van Dijk, Jan JM, “Victim Rights: A Right to Better Service or A Right to
The Active Participation”, Criminal Law in Action, Gouda Quint
bv, Arnhem, 1986.
Walker, Clive and Starmer, Keir, “Miscarriage of Justice”, Blackstone
Press Limited, London, 1999.
Wallington, Peter & Lee, Robert G., “Statutes on Public Law and Human
Rights”, 2001-2002, 11 th Edition, Blackstone’s Press.
Work Programme to Implement he Asean Plan of Action to Combat
International Crime, Asean Secretariat, 2001.
Yates, Gayle kondusif Graham, “What Woman Want”, The Ideas of
the Movement, Harvard University Press, London, 1977.
319
Tentang Penulis
Saat ini, selain menjabat sebagai Ketua Dewan Pengurus The Habibie
Center dan Ketua Dewan Penasehat Indonesian Police Watch, ia juga
menjadi Dosen Pasca Sarjana di beberapa Perguruan Tinggi (UNDIP,
UNILA, UNSRI, UNISBA, UNPAD, STHM, UNISULA, UBAYA,
PTIK). Selain itu, Muladi juga aktif mengikuti pelbagai kegiatan ilmiah
(dalam dan luar negri) baik sebagai peserta maupun sebagai
narasumber. Beberapa buku yang ditulisnya antara lain:
Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana; Hak Asasi
Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana; dan Kapita Selekta
Sistem Peradilan Pidana, dan lain-lain.
320
Prof. Dr. Muladi, S.H.
Bahwa hukum – baik secara substantif, kelembagaan,
maupun kultural – sangat dipengaruhi oleh corak sebuah
sistem kekuasaan yang melingkupinya, menyerupai
aksioma yang hampir tak terbantah. Maka ketika sistem
kekuasaan otoriter rezim Orde Baru runtuh, dan sebuah
cita-cita sosial baru yang lebih demokratis, berkeadilan
dan menghargai hak-hak asasi manusia hendak
ditegakkan, tak bisa dihindari bidang hukum harus pula
segera direformasi secara mendasar dan terpadu
mengingat kerusakannya yang telah demikian sistemik.