Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

POLITIK HUKUM DALAM PUTUSAN HAKIM


Sebagai pengajuan tugas mata kuliah Politik Hukum

Dosen Pengampu:

Yusika Riendy, S.H., M.H.

Disusun oleh:

M.Abdul Zalil (231010201879)


Marsya Sari Muzizah (231010200793)
Dewi Sekar Ayu Saftri (231010201805)
Dewi Indriyanti (231010201295)
Devin Arsya Pandya (231010200759)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PAMULANG
BANTEN 2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Karena
rahmat dan hidayah-Nyalah sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah ini
tepat pada waktunya.
Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Politik Hukum
dengan judul “Politik Hukum dalam Putusan Hakim”. Oleh karena itu penulis
ucapkan terima kasih kepada bapak Yusika Riendy, S.H., M.H. sebagai dosen
pengampu mata kuliah Politik Hukum Universitas Pamulang, atas arahan dan
bimbingan nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari, makalah ini masih banyak kekurangan dan oleh karena
itu, masukan dan bimbingan dari dosen diharapkapkan untuk dapat menyelesaikan
tugas serupa selanjutnya bisa lebih baik.

Tangerang, Maret 2024

Penyusun,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................i


DAFTAR ISI................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................................1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan .....................................................................................................1
BAB II TINJAUAN TEORI ............................................................................................2
2.1 Pengertian Politik Hukum dalam tinjauan Historis ...............................................3
2.2 RuangLingkup Dan Jenis-Jenis Politik Hukum .....................................................6
2.3 Jenis-Jenis Politik Hukum Diberbagai Negara ......................................................7
BAB III PEMBAHASAN ...............................................................................................9
3.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Politik Hukum ...........................................9
3.2 Pengaruh Media Massa Dan Opini Publik Terhadap Putusan Hakim ................ 11
3.3 Bentuk Bentuk Politik Hukum Dalam Putusan Hakim ....................................... 12
3.4 Dampak Politik Hukum Dalam Putusan Hakim .................................................. 17
3.5 Etika Dan Batasan Politik Hukum Dalam Putusan Hakim ................................. 19
BAB IV PENUTUP ...................................................................................................... 24
4.1 Kesimpulan ............................................................................................................ 24
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 25

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Hukum merupakan sebuah sistem yang kompleks dan dinamis, yang terus
berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Dalam sistem hukum
tersebut, hakim memiliki peran penting dalam menegakkan hukum dan
memberikan keadilan. Salah satu aspek penting dalam putusan hakim adalah politik
hukum. Politik hukum mengacu pada pertimbangan-pertimbangan non-hukum
yang dapat mempengaruhi putusan hakim. Pertimbangan-pertimbangan ini dapat
berupa nilai-nilai sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang berkembang di
masyarakat.

Pentingnya memahami politik hukum dalam putusan hakim terletak pada


beberapa hal. Pertama, politik hukum dapat membantu kita memahami mengapa
hakim mengambil putusan tertentu. Kedua, politik hukum dapat membantu kita
menilai apakah putusan hakim tersebut adil dan sesuai dengan nilai-nilai yang
berkembang di masyarakat. Ketiga, politik hukum dapat membantu kita
memprediksi bagaimana hakim akan memutus perkara di masa depan.

Makalah ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam memahami


peran politik hukum dalam putusan hakim. Pemahaman ini penting untuk
memastikan bahwa putusan hakim adil dan sesuai dengan nilai-nilai yang
berkembang di masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah


a) Apa saja ruanglingkup politik hukum berdasarkan putusan hakim?
b) Bagaimana Dampak?

1.3 Tujuan Penulisan


Dalam penulisan makalah tentang Politik Hukum dalam Putusan Hakim,
tujuan utama adalah untuk mengkaji dan menganalisis bagaimana faktor politik
mempengaruhi proses pengambilan keputusan dalam sistem peradilan. Makalah ini

1
bertujuan untuk mengeksplorasi hubungan antara politik dan hukum dalam konteks
putusan hakim, dengan fokus pada bagaimana ideologi, kepentingan politik, dan
tekanan sosial memengaruhi interpretasi hukum dan penetapan hukuman. Selain
itu, tujuan penulisan makalah ini juga adalah untuk mempertimbangkan implikasi
dari aspek politik dalam putusan hakim terhadap keadilan, kepastian hukum, dan
integritas sistem peradilan. Dengan menganalisis peran politik dalam proses
peradilan, diharapkan makalah ini dapat memberikan pemahaman yang lebih baik
tentang kompleksitas hubungan antara politik dan hukum serta dampaknya terhadap
keadilan di masyarakat.

BAB II
TINJAUAN TEORI

2
2.1 Pengertian Politik Hukum dalam tinjauan Historis

Meskipun tidak ada kepastian kapan istilah "politik hukum" pertama kali
digunakan oleh para sarjana hukum Indonesia, karya Prof. Soepomo berjudul
"Sejarah Politik Hukum Adat di Indonesia Jilid 1 dan 2" (1950) menjadi bukti tertua
penggunaannya. Buku tersebut mengkaji kebijakan Hindia Belanda terhadap
hukum adat, termasuk hak ulayat, hak guna, dan hak menduduki, dari era VOC
hingga 1848 (amandement Regelingreglement). Jilid 2 membahas reorganisasi
sistem hukum kolonial pasca amandemen Regelingreglement hingga 1945, serta
pengaruh politik hukum Hindia Belanda terhadap hukum adat dan pendidikan
hukum kaum pribumi.

Pemikiran C. Van Vollenhoven, seorang ahli hukum adat terkemuka, yang


menentang upaya kodifikasi dan unifikasi hukum di seluruh wilayah Hindia
Belanda, juga dibahas dalam buku tersebut. Secara ringkas, karya Prof. Soepomo
memberikan wawasan penting tentang sejarah politik hukum di Indonesia,
khususnya terkait kebijakan Hindia Belanda terhadap hukum adat dan pengaruhnya
terhadap perkembangan hukum di Indonesia.

Dalam bahasa Belanda, istilah politik hukum diterjemahkan dari istilah


'rechtpolitiek' yang mulai populer setelah kebangkitan kaum liberal dalam
upayanya mereformasi tatanan hukum liberal pada awal abad ke-20. Kebijakan
ini dikenal dengan sebutan 'bewuste rechtpolitek yang berarti kebijakan untuk
membina tata hukum kolonial secara sadar untuk mengontrol kekuasaan dan
kewenangan raja dan aparat eksekutif atas daerah jajahan, dan di lain pihak ikut
mengupayakan diperolehnya perlindungan hukum yang lebih pasti bagi seluruh
lapisan penduduk yang bermukim dan/atau berusaha di daerah jajahan'
(Wignjosoebroto, 2011).

Namun, hal yang amat disayangkan dari karya Soepomo tersebut adalah tidak
adanya definisi konseptual, atau kerangka teoritik dari istilah politik hukum yang
ia gunakan. Yang bisa dijadikan acuan untuk menginterpretasikan istilah politik

3
hukum dari karya Soepomo adalah substansi yang dibahas, yaitu sikap politik
Pemerintah Hindia Belanda terhadap hukum adat yang kemudian dituangkan
dalam peraturan hukum. Dengan demikian, Soepomo mendefinisikan politik
hukum sebagai sikap politik tertentu dari lembaga atau institusi yang berwenang
terhadap permasalahan tertentu yang direpresentasikan dalam produk hukum.
Penggunaan istilah ‘rechtpolitiek’ juga digunakan oleh Moh. Natsir dalam
mengkritik kebijakan ekonomi kabinet Wilopo tahun 1953. Ia menyatakan bahwa
“tindakan Pemerintah dan partai yang mendukungnya bukanlah menjalankan
suatu rechtpolitiek yang berdasarkan hukum dan asas-asas demokrasi, melainkan
suatu machtpolitiek yang tidak menghiraukan asas-asas susila dan moral dan
hanya berdasarkan oportunisme semata (Natsir, tanpa tahun). Dengan demikian
yang dimaksud oleh Natsir dengan rechtpolitiek adalah suatu tindakan politik
Pemerintah melalui hukum yang di dasarkan pada prinsip negara hukum dan asas
demokrasi.
Masa rezim Orde Baru, istilah politik hukum sering digunakan oleh beberapa
sarjana hukum seperti Satjipto Rahardjo, Mochtar Kusumaatmadja, dan Todung
M. Lubis untuk menyebut tujuan tertentu dari suatu produk hukum. Mocthar
misalnya, melalui pengalamannya yang tidak sedikit pada masa Orde Baru baik
sebagai pejabat pemerintahan maupun sebagai seorang pengajar di Universitas
Padjajaran mengakui bahwa unsur politik berpengaruh sangat kuat terhadap
pembentukan maupun pelaksanaan hukum. Menurut Shidarta, kedudukan
Mochtar Kusuma-Atmadja sebagai Menteri Kehakiman (1974 - 1978), Menteri
Luar Negeri (1978 - 1988) dan yang paling penting sebagai ketua Badan
Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) memiliki pengaruh penting dalam
mengontrol kurikulum pendidikan tinggi ilmu hukum. Mochtar membedakan dua
jenis pendidikan hukum yaitu pendidikan hukum untuk tujuan praktis dan
profesional dan pendidikan hukum untuk tujuan politis pembangunan. Kurikulum
ilmu hukum di bawah BPHN dipengaruhi oleh paradigma “hukum sebagai alat
kontrol sosial” yang diperkenalkan oleh Mochtar berdasarkan pendidikan
sociological jurisprudence-nya di Amerika Serikat. Menurut Mochtar, untuk
kepentingan pembangunan, ilmu hukum harus bersinergi dengan ilmu politik,

4
mengingat dalam ilmu politik pokok persoalan yang dikaji adalah persoalan
otoritas dan pengawasannya (Shidarta, 2012).
Bagi Mochtar, hukum harus memiliki fungsi yang nyata bagi negara
berkembang untuk menjamin pembangunan yang benar-benar berjalan. Oleh
karena itu, fungsi instrumental hukum sebagai sarana pembangunan akan sangat
menonjol jika kita melihat Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan
Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) sebagai dasar politik hukum
nasional. Jika dikontekstualisasikan dalam rezim Pemerintahan Orde Baru, teori
hukum pembangunan yang diusung oleh Mochtar akan lebih menonjolkan
dimensi politik hukum yang menempatkan hukum sebagai subordinasi dari
ideologi pembangunan itu sendiri (Shidarta, 2012).

Tumbuhnya asumsi bahwa hukum adalah produk politik tidak dapat


dilepaskan dari fakta bahwa politik merupakan sumber daya utama pembentukan
dan penegakan hukum. Hukum tanpa politik adalah lumpuh, sedangkan
kekuasaan politik tanpa hukum adalah kekuasaan lalim. Sebagaimana dinyatakan
oleh Arbi Sanit bahwa hukum merupakan produk dari proses politik tanpa perlu
membedakan apakah proses tersebut diolah oleh para pemeran politik yang
memiliki kekuatan berimbang atau dijalankan melalui dominasi suatu pihak
(Sanit, 1986). Contoh yang cukup gamblang diajukan oleh Todung M. Lubis
tentang bagaimana pilihan-pilihan politik sangat berpengaruh terhadap politik
hukum negara, khususnya dalam hal menempatkan keadilan sebagai tujuan utama
hukum positif. Sudah menjadi kecenderungan umum di negara-negara dunia
ketiga bahwa hukum positif yang dibentuk oleh negara tidak dengan sendirinya
memiliki politik hukum yang bertujuan untuk memenuhi kepentingan rakyat.
Oleh karena itu, menurut Todung, dalam banyak hal, hukum akan tetap menjadi
hadiah atau pemaksaan dari atas (top-down approach) di mana rakyat diharapkan
sebagai penerima yang pasif (Lubis, 1982).
Pembangunan hukum yang lamban turut berpengaruh pada pembentukan
politik hukum negara yang represif. Kasus Indonesia menjadi contoh yang relevan;
tuntutan konstitusional untuk menjadi negara hukum seringkali bertabrakan dengan

5
kenyataan bahwa tidak semua hukum mampu dengan cepat menyediakan landasan
yang memadai untuk berbagai aspek kehidupan. Sebagai akibatnya, negara
cenderung mengandalkan hukum kolonial untuk mengisi kekosongan hukum
tersebut, dalam upaya mencegah kebingungan dan ketidakpastian. Namun, hukum
kolonial sendiri biasanya hanya bertujuan untuk melindungi kepentingan kekuasaan
kolonial semata, seringkali mengabaikan kebutuhan dan kepentingan rakyat.
Kekurangan lainnya adalah bahwa hukum kolonial jarang memperhatikan pranata
sosial dan kesadaran hukum yang berkembang di kalangan rakyat setempat. Oleh
karena itu, ketika hukum kolonial tetap diterapkan dalam negara yang telah
merdeka, hal tersebut cenderung menimbulkan resistensi dan ketidakpuasan dari
masyarakat (Lubis, 1982).

2.2 RuangLingkup Dan Jenis-Jenis Politik Hukum


Dalam mempelajari politik hukum, pertanyaan yang pertama kali muncul
umumnya adalah apakah kajian politik hukum merupakan bagian dari ilmu hukum.
Jika demikian, hal yang menjadi fokus adalah objek kajian dan ruang lingkup
politik hukum. Menurut Abdul Latif dan Hasbi Ali (2010), pertanyaan ini dapat
dijawab baik dari sudut pandang teoritis maupun filosofis. Politik hukum adalah
cabang dari ilmu pengetahuan hukum yang mengkaji perubahan yang diperlukan
dalam hukum yang berlaku agar dapat memenuhi tuntutan kehidupan masyarakat.
Dengan demikian, politik hukum membahas arah perkembangan suatu tata hukum,
serta membangun ius constitutendum dari ius constitutum (Latif, 2010).
Secara filosofis, hukum dibentuk untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Oleh karena itu, proses antara cara untuk mencapai tujuan dan melihat tujuan yang
diinginkan akan menghasilkan politik hukum. Sebagai disiplin hukum, politik
hukum memberikan dasar akademis untuk proses pembentukan dan penemuan
hukum yang lebih sesuai dengan konteks sejarah, situasi dan kondisi, serta nilai-
nilai yang berkembang dalam masyarakat. Hal ini juga memperhatikan kebutuhan
masyarakat terhadap hukum itu sendiri (Syaukani, 2015).
Dalam diskursus politik hukum, para analis seringkali memulai kajiannya
dengan menyusun kerangka epistemologis yang menguraikan relasi antara politik
dan hukum. Hubungan antara politik dan hukum, menurut pandangan para analis

6
politik hukum, memiliki kemungkinan untuk diperluas ke berbagai bidang lain
karena keduanya saling mempengaruhi satu sama lain (interdeterminan).
Dalam pengantar buku Daniel S. Lev, Mahfud MD menjelaskan tiga pola
hubungan politik dan hukum (Daniel, 2013). Pertama adalah pola politik dan
hukum dassollen, yang berangkat dari premis bahwa politik menentukan hukum.
Pola ini meletakkan hukum (ius constitutum) sebagai dasar bagi pelaksanaan
politik. Dengan kata lain, hukum dipandang lebih dulu daripada politik. Banyak
kaum positivis mendukung pandangan das-sollen karena mereka melihat bahwa
realitas politik harus sesuai dengan apa yang diharuskan oleh hukum.
Kedua, ada pandangan yang berdasarkan das-sein. Premis dari pandangan
ini mengakui bahwa hukum menentukan politik. Seperti yang diungkapkan oleh
Mahfud MD, hukum merupakan hasil kristalisasi, formalisasi, atau legalisasi dari
persaingan kehendak politik, baik melalui kompromi atau dominasi oleh kekuatan
politik yang kuat (Daniel, 2013).
2.3 Jenis-Jenis Politik Hukum Diberbagai Negara
a. Law and Politics Amerika Serikat
Kajian politik hukum di Amerika Serikat dikenal dengan istilah studi hukum
dan politik seperti yang dilakukan di Harvard University dan Cornell University.
Salah satu tokoh terkemuka dalam kajian tentang Indonesia di Amerika Serikat,
Daniel S. Lev, secara khusus telah menyoroti bagaimana hukum di Indonesia tidak
pernah berdiri sendiri, melainkan selalu dipengaruhi oleh berbagai faktor di luar
ranah hukum, termasuk faktor politik. Meskipun Daniel S. Lev tidak secara
eksplisit mengembangkan teori law and politics, kontribusinya dalam memahami
dinamika antara politik dan hukum, khususnya dalam konteks Indonesia, sangatlah
signifikan dan tidak dapat diabaikan. Menurut pandangan Daniel S. Lev, hubungan
antara hukum dan politik dapat dilihat melalui proses hukum yang ia definisikan
sebagai "konsepsi dan struktur kekuasaan politik," di mana hukum selalu menjadi
alat politik dalam berbagai tingkatannya, dan dinamika antara kedua entitas tersebut
dipengaruhi oleh sejumlah faktor seperti keseimbangan politik, definisi kekuasaan,
evolusi ideologi politik, aspek ekonomi, sosial, dan sebagainya. Oleh karena itu,
untuk memahami hubungan yang kompleks antara politik dan hukum di berbagai

7
negara, penting untuk mempertimbangkan latar belakang budaya, kondisi ekonomi,
kekuatan politik dalam masyarakat, struktur lembaga negara, dan juga dinamika
sosial, selain dari institusi hukumnya sendiri (Daniel, 2013).
b. Law And Politics Di Eropa
Dalam tradisi ilmu hukum Eropa, kajian politik hukum juga menggunakan
istilah law and politics, meskipun ada perbedaan di beberapa negara seperti Belanda
dan Jerman yang menggunakan istilah rechtpolitiek. Para analis law and politics
Eropa juga mengadopsi asumsi politik hukum yang sama dengan para sarjana
Indonesia maupun Amerika Serikat, yaitu bahwa hukum adalah produk politik.
Sebagai contoh, Miro Cerar, seorang sarjana hukum Slovenia, menyatakan bahwa
‘law is never a pure form through which political content would be realized, since
it is in the very nature of law to be relatively autonomous or independent’(Cerar,
2009). Ia menyatakan bahwa politik tidak dapat eksis tanpa hukum, karena hukum
yang membentuk dan mempertahankan, dalam batasan tertentu mampu
mengarahkan seluruh ide keadilan dan tatanan sosial kepada arah tertentu.
Sebaliknya, hukum tidak dapat eksis tanpa politik, ‘since politics gives law its
driving force and its rough content or substance, which law then adapts to
autonomous framework and develops its final form, expressing it in a specific
normative manner (Cerar, 2009).
Menurut pandangan Miro Cerar, kebijakan politik (political policy) sama
dengan kebijakan hukum (legal policy) karena ia menganggap bahwa hukum dan
politik merupakan satu kesatuan. Politik adalah ius constituendum karena
merupakan keinginan dari pembentuk hukum untuk membentuk hukum, sedangkan
hukum itu sendiri atau dalam hal ini adalah hukum positif merupakan ius
constitutum. Politik beroperasi dalam dimensi kelembagaan, sedangkan hukum
berfungsi dalam ranah normatif. Pengaturan lembaga diatur oleh kerangka hukum.
Sedangkan dimensi normatif diartikulasikan melalui kebijakan yang bertujuan
untuk menetapkan nilai dan tujuan masyarakat, dengan tujuan akhir realisasi
praktis. Pada dasarnya, lembaga-lembaga hukum mencerminkan keputusan-
keputusan politik yang dibuat baik secara individu maupun kolektif dalam konteks

8
waktu dan lingkungan tertentu, yang kemudian memperoleh karakter hukum.
(Cerar, 2009).

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Politik Hukum


Faktor-faktor yang memengaruhi politik hukum dalam putusan hakim
melibatkan beragam aspek, baik internal maupun eksternal. Faktor internal,

9
seperti yang disebutkan, mencakup nilai-nilai pribadi hakim, latar belakang, dan
ideologi.

a. Faktor Internal
1) Nilai-nilai Pribadi Hakim
Setiap hakim membawa dengan mereka seperangkat nilai-nilai pribadi
yang memengaruhi pandangan mereka tentang keadilan, etika, dan
bagaimana hukum seharusnya diterapkan dalam kasus-kasus tertentu. Nilai-
nilai ini bisa mencakup keadilan, konservatisme, progresivisme, atau
pandangan moral tertentu.
2) Latar Belakang
Latar belakang sosial, ekonomi, pendidikan, dan profesional hakim dapat
memengaruhi cara mereka memahami dan menafsirkan hukum. Misalnya,
pengalaman pribadi mereka atau pengalaman dalam profesi sebelumnya
dapat membentuk pandangan mereka terhadap masalah-masalah hukum
tertentu.
3) Ideologi
Ideologi politik dan hukum yang dimiliki oleh hakim juga memiliki
peran penting dalam pengambilan keputusan. Ideologi ini bisa mencakup
liberalisme, konservatisme, feminisme, atau aliran pemikiran hukum
tertentu yang memengaruhi cara hakim melihat hukum dan keadilan.
b. Faktor Eskternal
1. Tekanan Politik
Hakim seringkali menghadapi tekanan dari pemerintah, politisi, atau
kelompok kepentingan tertentu untuk mengambil keputusan yang sesuai
dengan agenda politik mereka. Hal ini dapat mempengaruhi independensi
hakim dan keputusan yang diambil.
2. Opini Publik
Reaksi publik terhadap suatu kasus atau isu tertentu dapat memengaruhi
hakim dalam membuat keputusan. Hakim mungkin merasa terdorong untuk
mengambil keputusan yang mendapatkan dukungan luas dari masyarakat
atau untuk menghindari kemarahan publik.

10
3. Norma Sosial
Norma-norma sosial dan budaya yang ada dalam masyarakat juga dapat
memengaruhi cara hakim memahami dan menafsirkan hukum. Hal ini bisa
mencakup perubahan dalam pandangan masyarakat terhadap isu-isu seperti
hak asasi manusia, kesetaraan gender, atau hak-hak minoritas.
Dengan mempertimbangkan faktor-faktor ini, menjadi penting untuk
memahami bahwa putusan hakim tidak hanya didasarkan pada pertimbangan
hukum semata, tetapi juga dipengaruhi oleh dinamika politik dan sosial yang
kompleks.

3.2 Pengaruh Media Massa Dan Opini Publik Terhadap Putusan Hakim
Pengaruh media massa dan opini publik terhadap putusan hakim merupakan
aspek yang penting dalam konteks sistem peradilan yang demokratis. Berikut
adalah analisis tentang bagaimana media massa dan opini publik dapat
memengaruhi putusan hakim:

a. Pemberitaan Media Massa


 Media massa memiliki kekuatan untuk mengatur isu-isu hukum dan
kasus-kasus tertentu dalam suatu kerangka atau framing tertentu. Cara
sebuah kasus dipresentasikan oleh media bisa memengaruhi persepsi
publik terhadap keadilan dan mempengaruhi pandangan hakim.
 Media massa cenderung memilih fakta-fakta yang mendukung narasi
tertentu, yang dapat mempengaruhi persepsi publik tentang kebenaran dan
keadilan dalam suatu kasus. Hal ini dapat menciptakan tekanan pada
hakim untuk membuat keputusan yang konsisten dengan narasi yang telah
dibangun oleh media.
 Pemberitaan yang emosional dapat membangkitkan reaksi kuat dari
masyarakat, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi persepsi hakim
terhadap pentingnya suatu kasus dan dampak potensial dari keputusan
mereka.
b. Opini Publik

11
 Pengaruh Terhadap Independensi Hakim: Opini publik yang kuat terhadap
suatu kasus atau isu hukum tertentu dapat menciptakan tekanan pada
hakim untuk mengambil keputusan yang populer atau sesuai dengan
keinginan masyarakat, bahkan jika itu bertentangan dengan keputusan
yang mungkin diambil secara independen berdasarkan hukum.
 Pengaruh Pemilihan Hakim: Dalam sistem peradilan yang melibatkan
pemilihan hakim secara langsung atau tidak langsung oleh pemilih, opini
publik dapat menjadi faktor yang mempengaruhi pemilihan hakim dan,
akibatnya, pandangan dan keputusan hakim.
 Pengaruh dalam Persidangan: Opini publik yang kuat tentang suatu kasus
dapat memengaruhi atmosfer dalam persidangan, termasuk sikap juri dan
pengacara. Ini bisa memengaruhi cara kasus dipresentasikan dan
dipertimbangkan oleh hakim.

Pentingnya memahami pengaruh media massa dan opini publik terhadap


putusan hakim menimbulkan pertanyaan tentang keberadaan dan kepatuhan
terhadap prinsip-prinsip independensi dan objektivitas dalam sistem peradilan.
Sementara hakim diharapkan untuk membuat keputusan berdasarkan hukum dan
bukti-bukti yang ada, realitas politik dan sosial seringkali membuat pengaruh
eksternal sulit dihindari sepenuhnya. Oleh karena itu, penting bagi sistem peradilan
untuk memiliki mekanisme yang memastikan independensi hakim dan menjaga
integritas proses peradilan, bahkan di tengah tekanan dari media massa dan opini
publik.

3.3 Bentuk Bentuk Politik Hukum Dalam Putusan Hakim


Bentuk politik hukum dalam putusan hakim dapat mencakup beberapa hal, di
antaranya:

1. Pendekatan Ideologi
Hakim dapat memilih pendekatan atau interpretasi hukum yang sejalan dengan
ideologi politik tertentu. Misalnya, hakim yang memiliki pandangan konservatif
cenderung memberikan putusan yang mendukung nilai-nilai konservatif,

12
sedangkan hakim yang memiliki pandangan liberal cenderung memberikan putusan
yang mendukung nilai-nilai liberal.
2. Pertimbangan Kepentingan Publik
Hakim dapat mempertimbangkan kepentingan publik dalam memberikan
putusan. Misalnya, hakim dapat mempertimbangkan dampak sosial, ekonomi, atau
politik dari putusan yang akan diambil.
3. Pertimbangan Politik
Hakim juga dapat mempertimbangkan faktor politik dalam memberikan
putusan. Misalnya, hakim dapat mempertimbangkan implikasi politik dari
putusannya terhadap pemerintah, partai politik, atau kelompok kepentingan
tertentu.
4. Pemilihan Hukum yang Digunakan
Hakim dapat memilih hukum atau aturan yang akan digunakan sebagai dasar
putusan. Pemilihan hukum ini juga dapat dipengaruhi oleh pertimbangan politik,
misalnya dalam hal apakah hukum tersebut sesuai dengan kebijakan pemerintah
atau kepentingan politik tertentu.
5. Ketidaknetralan
Meskipun seharusnya hakim bersikap netral dan independen dalam
menjalankan tugasnya, namun faktor politik kadang-kadang dapat mempengaruhi
putusan hakim. Hal ini dapat terjadi dalam konteks politisasi peradilan atau tekanan
politik yang diterima oleh hakim.
Dalam prakteknya, hakim seharusnya tetap menjaga independensi dan
netralitasnya dalam memberikan putusan, tanpa terpengaruh oleh faktor-faktor
politik. Namun, realitasnya seringkali menunjukkan bahwa faktor politik dapat
memengaruhi proses pengambilan keputusan hakim. Oleh karena itu, penting bagi
sistem peradilan untuk terus memperkuat independensi dan integritas hakim agar
putusan yang diambil lebih didasarkan pada hukum dan keadilan, bukan pada
pertimbangan politik.

A. Interpretasi Hukum Dan Bagaimana Hakim Memilih Interpretasi

13
Interpretasi hukum adalah proses penafsiran terhadap suatu peraturan hukum
atau norma hukum untuk menentukan makna dan ruang lingkupnya. Interpretasi
hukum menjadi penting karena seringkali terdapat ketidakjelasan atau kekosongan
dalam teks hukum yang memerlukan penjelasan lebih lanjut. Hakim memiliki peran
sentral dalam melakukan interpretasi hukum, terutama dalam konteks pengadilan
di mana mereka harus mengambil keputusan berdasarkan hukum yang berlaku.

Dalam memilih interpretasi yang disukai, hakim dapat menggunakan beberapa


pendekatan, antara lain:

1. Pendekatan tekstual
Hakim dapat memilih interpretasi yang didasarkan secara langsung pada
teks hukum yang ada. Pendekatan ini menekankan pada kata-kata yang
digunakan dalam peraturan hukum dan mencoba untuk
menginterpretasikannya sesuai dengan makna kata tersebut.
2. Pendekatan historis
Hakim dapat melihat konteks sejarah dan tujuan dibuatnya peraturan hukum
tersebut. Dengan memahami latar belakang pembentukan hukum, hakim
dapat memilih interpretasi yang sesuai dengan niat legislator saat membuat
aturan tersebut.
3. Pendekatan sistematis
Hakim dapat melihat hubungan antara peraturan hukum yang sedang
diinterpretasikan dengan peraturan hukum lainnya dalam sistem hukum
yang lebih luas. Dengan melihat keseluruhan sistem hukum, hakim dapat
memilih interpretasi yang konsisten dengan prinsip-prinsip hukum yang
berlaku.
4. Pendekatan teleologis
Hakim dapat memilih interpretasi yang didasarkan pada tujuan atau
maksud dari peraturan hukum tersebut. Dengan memahami tujuan legislator
dalam membuat aturan tersebut, hakim dapat memilih interpretasi yang
mendukung pencapaian tujuan tersebut.

14
Dalam praktiknya, hakim seringkali menggunakan kombinasi dari berbagai
pendekatan di atas untuk mencapai interpretasi yang paling tepat dan adil dalam
kasus yang dihadapi. Hakim juga harus mempertimbangkan faktor-faktor lain
seperti prinsip keadilan, kepastian hukum, dan konsistensi dalam pengambilan
keputusan. Oleh karena itu, proses interpretasi hukum merupakan aspek penting
dalam penegakan hukum yang memerlukan kecermatan, kehati-hatian, dan
keadilan dari pihak hakim.

B. Bahas Penemuan Hukum Menciptakan Hukum Baru Dalam Putusan


Penemuan hukum (legal discovery) adalah proses di mana hakim mencari
dan menemukan hukum yang relevan untuk menyelesaikan kasus yang sedang
dihadapinya. Hakim melakukan penemuan hukum dengan cara mengidentifikasi,
menganalisis, dan menerapkan hukum yang berlaku untuk kasus yang sedang
diputuskan.

Sementara itu, penciptaan hukum (legal creation) adalah proses di mana


hakim menciptakan hukum baru atau mengembangkan interpretasi hukum yang
belum ada sebelumnya dalam keputusan yang diambilnya. Penciptaan hukum baru
ini sering kali terjadi ketika kasus yang dihadapi hakim tidak memiliki preseden
atau aturan yang jelas dalam hukum yang berlaku.

Hakim dapat menciptakan hukum baru dalam keputusan dengan beberapa cara,
antara lain:

1. Analogi
Hakim dapat menggunakan analogi atau perbandingan dengan kasus serupa
yang telah diputus sebelumnya untuk menciptakan hukum baru. Dengan
cara ini, hakim dapat mengadaptasi prinsip-prinsip hukum yang telah ada
untuk mengatasi kasus yang unik.
2. Pengembangan Interpretasi Hukum
Hakim dapat mengembangkan interpretasi hukum yang lebih luas atau
mendalam dari aturan yang sudah ada untuk menyesuaikan dengan
perkembangan zaman atau konteks sosial tertentu. Dengan cara ini, hakim

15
dapat menciptakan hukum baru tanpa harus mengubah undang-undang yang
ada.
3. Pemilihan Hukum Asing
Hakim juga dapat memilih untuk menggunakan hukum dari negara lain
sebagai referensi dalam menciptakan hukum baru. Dengan cara ini, hakim
dapat memperkaya interpretasi hukum yang ada dengan perspektif dari
negara lain.
4. Pemberian Interpretasi yang Kreatif
Hakim dapat memberikan interpretasi yang kreatif terhadap hukum yang
berlaku untuk menemukan solusi yang adil dan berkeadilan dalam kasus
yang dihadapi.

Penciptaan hukum baru oleh hakim merupakan hal yang penting dalam
perkembangan sistem hukum karena dapat membantu menyesuaikan hukum
dengan perkembangan masyarakat dan teknologi. Namun, perlu diingat bahwa
hakim seharusnya tetap mempertimbangkan prinsip-prinsip keadilan, kepastian
hukum, dan konsistensi dalam menciptakan hukum baru agar tidak menimbulkan
ketidakpastian atau ketidakadilan dalam sistem hukum.

C. Analisi Putusan Hakim Yang Kontrovesial


Analisis putusan hakim yang kontroversial seringkali melibatkan
pertimbangan etika, keadilan, dan kebijakan hukum yang kompleks. Beberapa
contoh putusan hakim kontroversial yang telah menimbulkan perdebatan adalah
putusan hakim terkait dengan hak asuh anak dalam kasus perceraian, putusan hakim
terkait dengan hak-hak LGBT, atau putusan hakim terkait dengan isu-isu
lingkungan.

Politik hukum dapat termanifestasi dalam putusan hakim kontroversial melalui


beberapa cara, antara lain:

1. Pertimbangan Ideologi
Hakim seringkali memiliki latar belakang ideologis atau politik yang
memengaruhi pandangan mereka terhadap hukum. Hal ini dapat tercermin

16
dalam putusan hakim yang cenderung mendukung nilai-nilai politik
tertentu, seperti konservatif atau progresif.
2. Pengaruh Kelompok Kepentingan
Kelompok-kelompok kepentingan politik, seperti kelompok advokasi atau
perusahaan besar, dapat mempengaruhi proses peradilan melalui pengaruh
politik yang mereka miliki. Hal ini dapat memengaruhi putusan hakim yang
diambil dalam kasus-kasus yang melibatkan kepentingan kelompok
tersebut.
3. Pengaruh Opini Publik
Opini publik juga dapat memengaruhi putusan hakim dalam kasus-kasus
yang kontroversial. Hakim mungkin merasa tekanan untuk mengambil
keputusan yang sejalan dengan opini mayoritas masyarakat, meskipun hal
ini seharusnya tidak menjadi faktor utama dalam proses peradilan.
4. Pertimbangan Politik
Hakim juga dapat dipengaruhi oleh pertimbangan politik dalam mengambil
keputusan. Misalnya, hakim dapat mempertimbangkan dampak politik dari
putusannya terhadap hubungan antara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan
yudikatif.

Dalam analisis putusan hakim yang kontroversial, penting untuk


mempertimbangkan berbagai faktor yang memengaruhi proses pengambilan
keputusan hakim. Penting juga untuk memastikan bahwa putusan hakim didasarkan
pada hukum yang berlaku dan prinsip-prinsip keadilan, bukan semata-mata
dipengaruhi oleh faktor politik. Oleh karena itu, transparansi, akuntabilitas, dan
independensi lembaga peradilan sangat penting untuk menjaga integritas sistem
peradilan dan mencegah politisasi hukum.

3.4 Dampak Politik Hukum Dalam Putusan Hakim


Keputusan hakim sering kali tidak fair karena adanya keterkaitan dengan
politik, oleh karena itu hukuman terhadap tersangka bisa menjadi lebih ringan atau
lebih berat dan menimbulkan ketidakadilan.

A. Dampak Putusan Hakim Terhadap Masyarakat Dan Penegak Hukum

17
Pada dasarnya setiap putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan harus
mewakili suara hati masyarakat pencari keadilan. Putusan hakim diperlukan guna
memeriksa, menyelesaikan, memutus perkara yang diajukan ke pengadilan.
Putusan tersebut jangan sampai memperkeruh masalah atau bahkan menimbulkan
kontroversi bagi masyarakat ataupun praktisi hukum lainnya. Hal yang mungkin
dapat menyebabkan kontroversi pada putusan hakim tersebut karena hakim kurang
menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan yang saat ini berkembang pesat
seiring perubahan zaman serta kurang telitinya hakim dalam memproses suatu
perkara.

B. Putusan Hakim Hakim Yang Baik Mengandung Beberapa Unsur


 Putusan hakim merupakan gambaran proses kehidupan sosial sebagai
bagian dari kontrol sosial.
 Putusan hakim merupakan penjelmaan dari hukum yang berlaku dan
berguna bagi setiap individu, kelompok maupun negara.
 Putusan hakim merupakan keseimbangan antara ketentuan hukum
dengan kenyataan yang ada di lapangan.
 Putusan hakim merupakan gambaran kesadaran yang ideal antara
hukum dan perubahan sosial.
 Putusan hakim harus memberikan manfaat bagi setiap orang yang
berperkara.
 Putusan hakim semestinya tidak menimbulkan konflik baru bagi para
pihak berperkara dan masyarakat.

C. Alasan Politik Hukum Dapat Menciptakan Ketidakadilan Dan


Disparitas Hukum

Politik juga selalu dikaitkan dengan kekuasaan, karena memang konsep


politik itu tak lepas dari mempertahankan kekuasaan. Menurut W.A Robson politik
adalah ilmu yang mempelajari kekuasaan dalam masyarakat. Ramlan Surbakti juga

18
memiliki pendapat yang sama bahwa politik merupakan segala kegiatan yang
diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat.

Pergulatan antara politik dan hukum terus menerus kita alami di Indonesia
saat ini, bangsa kita telah mengalami yang namanya politik hukum tidak sehat, bisa
katakan tidak sehat sebab kepentingan individu atau kelompok lebih diutamakan
dibandingkan kepentingan rakyat, amanahkan konstitusi tak dihiraukan dengan
cermat dan sehat, bahkan tak sedikit melanggar atau mengelabui hukum agar
kekuasaan dan kepentingan selamat. Dan tak sedikit juga hukum yang dibuat sangat
sarat kepentingan (politik) sehingga merugikan rakyat. Ini mendakan bahwa politik
memang memiliki power lebih kuat dibandingkan hukum, sehingga produk
hukumpun tak pro rakyat.

3.5 Etika Dan Batasan Politik Hukum Dalam Putusan Hakim


Kode Etik Hakim diatur dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah
Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor: 047/KMA/SKB/IV/2009 atau
02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Prinsip-
prinsip dasar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim diimplementasikan ke dalam
10 aturan sebagai berikut:
1. Berperilaku Adil
Adil bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan
yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama
kedudukannya di depan hukum. Dengan demikian, tuntutan yang paling mendasar
dari keadilan adalah memberikan perlakuan dan memberi kesempatan yang sama
(equality and fairness) terhadap setiap orang. Oleh karenanya, seseorang yang
melaksanakan tugas atau profesi di bidang peradilan yang memikul tanggung jawab
menegakkan hukum yang adil dan benar harus selalu berlaku adil dengan tidak
membeda-bedakan orang.
2. Berperilaku Jujur
Kejujuran bermakna dapat dan berani menyatakan bahwa yang benar adalah
benar dan yang salah adalah salah. Kejujuran mendorong terbentuknya pribadi yang
kuat dan membangkitkan kesadaran akan hakekat yang hak dan yang batil. Dengan

19
demikian, akan terwujud sikap pribadi yang tidak berpihak terhadap setiap orang,
baik di dalam persidangan maupun di luar persidangan.
3. Berperilaku Arif Dan Bijaksana
Arif dan bijaksana bermakna mampu bertindak sesuai dengan norma-norma
yang hidup dalam masyarakat, baik norma-norma hukum, norma-norma
keagamaan, kebiasaan-kebiasaan maupun kesusilaan dengan memperhatikan
kondisi dan situasi pada saat itu, serta mampu memperhitungkan akibat dari
tindakannya. Perilaku yang arif dan bijaksana mendorong terbentuknya pribadi
yang berwawasan luas, mempunyai tenggang rasa yang tinggi, bersikap hati-hati,
sabar, dan santun.
4. Bersikap Mandiri
Mandiri bermakna mampu bertindak sendiri tanpa bantuan pihak lain, bebas
dari campur tangan siapapun dan bebas dari pengaruh apapun. Sikap mandiri
mendorong terbentuknya perilaku hakim yang tangguh, berpegang teguh pada
prinsip dan keyakinan atas kebenaran sesuai tuntutan moral dan ketentuan hukum
yang berlaku.
5. Berintegritas Tinggi
Integritas bermakna sikap dan kepribadian yang utuh, berwibawa, jujur, dan
tidak tergoyahkan. Integritas tinggi pada hakekatnya terwujud pada sikap setia dan
tangguh berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam
melaksanakan tugas. Integritas tinggi akan mendoroong terbentuknya pribadi yang
berani menolak godaan dan segala bentuk intervensi, dengan mengedepankan
tuntutan hati nurani untuk menegakkan kebenaran dan keadilan serta selalu
berusaha melakukan tugas dengan cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan terbaik.

6. Bertanggung Jawab
Bertanggung jawab bermakna kesediaan untuk melaksanakan sebaik-
baiknya segala sesuatu yang menjadi wewenang dan tugasnya, serta memiliki
keberanian untuk menanggung segala akibat atas pelaksanaan wewenang dan
tugasnya tersebut.
7. Menjunjung Tinggi Harga Diri

20
Harga diri bermakna bahwa pada diri manusia melekat martabat dan
kehormatan yang harus dipertahankan dan dijunjung tinggi oleh setiap orang.
Prinsip menjunjung tinggi harga diri, khususnya hakim, akan mendorong dan
membentuk pribadi yang kuat dan tangguh, sehingga terbentuk pribadi yang
senantiasa menjaga kehormatan dan martabat sebagai aparatur Peradilan.
8. Berdisiplin Tinggi
Disiplin bermakna ketaatan pada norma-norma atau kaidah-kaidah yang
diyakini sebagai panggilan luhur untuk mengemban amanah serta kepercayaan
masyarakat pencari keadilan. Disiplin tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi
yang tertib di dalam melaksanakan tugas, ikhlas dalam pengabdian, dan berusaha
untuk menjadi teladan dalam lingkungannya, serta tidak menyalahgunakan amanah
yang dipercayakan kepadanya.
9. Berperilaku Rendah Hati
Rendah hati bermakna kesadaran akan keterbatasan kemampuan diri, jauh
dari kesempurnaan dan terhindar dari setiap bentuk keangkuhan. Rendah hati akan
mendorong terbentuknya sikap realistis, mau membuka diri untuk terus belajar,
menghargai pendapat orang lain, menumbuhkembangkan sikap tenggang rasa, serta
mewujudkan kesederhanaan, penuh rasa syukur, dan ikhlas dalam mengemban
tugas.
10. Bersikap Profesional
Profesional bermakna suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk
melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh
keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan, dan wawasan luas. Sikap
profesional akan mendorong terbentuknya pribadi yang senantiasa menjaga dan
mempertahankan mutu pekerjaan, serta berusaha untuk meningkatkan pengetahuan
dan kinerja, sehingga tercapai setinggi-tingginya mutu hasil pekerjaan, efektif, dan
efisien.
Batasan politik hukum dalam putusan hakim mengacu pada prinsip bahwa
hakim harus menjatuhkan putusannya semata-mata berdasarkan fakta dan hukum
yang berlaku, terlepas dari pertimbangan politik atau tekanan dari pihak manapun.
Hal ini penting untuk menjaga independensi peradilan, yang merupakan pilar utama

21
negara hukum. Independensi peradilan sangat penting untuk menjamin keadilan
dan kepastian hukum. Jika hakim tunduk pada intervensi politik atau kepentingan
kelompok tertentu, maka putusan mereka bisa menjadi tidak adil dan tidak
berdasarkan hukum yang berlaku. Ini dapat mengganggu kepercayaan masyarakat
terhadap sistem peradilan dan menyebabkan erosi negara hukum.

Personifikasi politik hukum dalam putusan hakim dapat terlihat dalam dua hal,
yaitu:
1. Menentukan alasan pembenar dari suatu putusan
2. Menentukan muatan keadilan yang terkandung di dalam putusan.
Sebagai contoh politik hukum dalam putusan hakim, dapat dilihat pada beberapa
putusan sebagai berikut:
A. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 058-059-060-083/PUU-II/2004 dan
008/PUU-III/2005 tentang judicial review terhadap Undang-undang
Sumber Daya Air (UUSDA). Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa
UUSDA tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945, namun putusan ini
memiliki sifat conditionally constitusional atau konstitusional bersyarat,
yang berarti pelaksanaan UUSDA tidak boleh ditafsirkan lain seperti yang
dikehendaki oleh MK dalam pertimbangan putusannya.
B. Putusan PTUN Jakarta dalam kasus majalah Tempo. Majelis Hakim PTUN
Jakarta memenangkan majalah tersebut. Majelis Hakim dalam
pertimbangannya menyatakan bahwa sesuai dengan prinsip negara hukum,
maka setiap peraturan perundang-undangan di Indonesia harus bersumber
pada peraturan yang lebih tinggi. Dengan demikian Majelis hakim
berwenang mengesampingkan sebuah peraturan yang dinilainya
bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Majelis mempertimbangkan
bahwa penerbitan pers akan dilarang, bila bertentangan dengan Pancasila.
Independensi kekuasaan kehakiman dalam konteks mewujudkan peradilan
yang mandiri bertujuan untuk memandirikan hakim dan lembaga kehakiman.
Secara organisatoris, lembaga kekuasaan kehakiman harus dimandirikan dan
dilepaskan dari segala intervensi dan pengaruh kekuasaan negara lainnya. Dalam

22
kerangka itu, hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman tidak boleh
menundukkan diri pada visi dan kepentingan politik tertentu. Secara politik,
kekuasaan kehakiman harus dipisahkan secara tegas dari cabang kekuasaan negara
yang lain, yaitu eksekutif dan legislatif, agar tercipta adanya hubungan yang saling
menyeimbangkan (checks and balance) dalam sistem politik.
Hakim Agung Kamar Pidana Mahkamah Agung (MA), Dwiarso Budi
Santiarto, mengatakan independensi hakim dijamin Pasal 24 UUD Tahun 1945 dan
Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman.
Menurutnya, negara yang berdasarkan hukum harus ada independensi kekuasaan
kehakiman, “Independensi hakim ini prasyarat mutlak bagi tegaknya hukum dan
keadilan,”
Beberapa aspek pentingnya menjaga independensi peradilan:
1. Memastikan putusan hakim objektif dan tidak bias
2. Melindungi hak-hak individu dan kelompok dari penyalahgunaan
kekuasaan
3. Menjaga checks and balances dalam sistem pemerintahan
4. Memperkuat supremasi hukum dan ketertiban hukum
5. Meningkatkan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan
Dalam memutuskan suatu perkara, hakim dihadapkan pada tantangan untuk
menyeimbangkan antara keadilan berdasarkan hukum yang berlaku (keadilan
legal), pertimbangan politik hukum (tujuan yang ingin dicapai hukum), dan nilai-
nilai etika/moral yang hidup di masyarakat. Berikut beberapa cara yang dapat
dilakukan hakim dalam mencapai keseimbangan tersebut:
1. Menafsirkan hukum secara progresif dan respons
Hakim tidak sekedar menjadi corong undang-undang, tetapi juga harus
menafsirkan hukum secara kontekstual disesuaikan dengan perkembangan zaman
dan kebutuhan masyarakat. Penafsiran progresif memungkinkan hukum tetap
relevan dan mampu mewujudkan keadilan substantif.
2. Menerapkan prinsip-prinsip hukum all inclusive
Dalam memutus perkara, hakim dapat merujuk pada prinsip-prinsip hukum
widespread seperti keadilan, kesamaan di depan hukum, kepastian hukum, dan

23
perlindungan HAM. Prinsip-prinsip ini menjadi pedoman untuk mensinergikan
antara kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
3. Mempertimbangkan nilai-nilai etika dan moralitas
Hakim perlu menjadikan nilai-nilai etika dan moralitas yang hidup di
masyarakat sebagai bahan pertimbangan dalam putusannya. Hal ini untuk
memastikan bahwa putusan tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat.
4. Melakukan penalaran/konstruksi hukum
Dalam kasus-kasus tertentu dimana hukum positif terasa tidak adil atau
tidak mengakomodir situasi baru, hakim dapat melakukan konstruksi hukum
dengan menggali nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat (living law).
5. Mempertimbangkan dampak putusan
Hakim perlu mempertimbangkan dampak sosial, politik, ekonomi dari
putusannya terhadap masyarakat luas. Putusan yang mengabaikan konteks ini dapat
memicu gejolak atau resistensi di masyarakat.
Dengan menerapkan cara-cara tersebut, diharapkan putusan hakim tidak
hanya menjamin kepastian hukum, tetapi juga mewujudkan keadilan, kemanfaatan,
dan mempertimbangkan nilai-nilai etika yang hidup di masyarakat. Hakim berperan
penting dalam mengharmonisasikan antara kepastian hukum dan penerimaan
publik melalui putusan yang komprehensif.

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Kesimpulan mengenai Politik Hukum dalam Putusan Hakim adalah
pentingnya memahami peran politik yang terjadi di dalam proses pengambilan

24
keputusan hukum. Pertama, putusan hakim seringkali mencerminkan interaksi
kompleks antara nilai-nilai politik, kekuasaan, dan interpretasi hukum. Hal ini
menunjukkan bahwa keputusan hukum tidak selalu bersifat netral, tetapi dapat
dipengaruhi oleh faktor-faktor politik yang ada di dalamnya. Kedua, politik hukum
juga mencakup bagaimana kebijakan dan regulasi dibentuk, diterapkan, dan
diinterpretasikan oleh hakim dalam konteks penyelesaian kasus. Hal ini
menegaskan bahwa putusan hakim tidak hanya didasarkan pada pertimbangan
hukum semata, tetapi juga terpengaruh oleh pertimbangan politik yang ada. Ketiga,
pemahaman yang mendalam terhadap politik hukum dalam putusan hakim penting
untuk memastikan keadilan dan keberlanjutan sistem hukum. Dengan menyadari
peran politik dalam proses peradilan, dapat diharapkan bahwa keputusan hukum
dapat lebih memperhatikan kepentingan masyarakat secara keseluruhan serta
memperkuat kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.

DAFTAR PUSTAKA

Alkostar, Artidjo, dan M. Sholeh Amin. 1986. Pembangunan Hukum dalam


Perspektif Politik Hukum Nasional. Yogyakarta: LBH Yogyakarta dan
Rajawali Jakarta.

25
Bayles, Michael. Law and Politics. Tersedia di:
https://archivos.juridicas.unam.mx/www/bjv/libros/3/1014/14.pdf
Cerar, Miro. 2009. "The Relationship Between Law and Politics," dalam Jurnal
Annual Survey of International & Comparative Law.
Latif, Abdul, dan Hasbi Ali. 2010. Politik Hukum. Jakarta: Pena Grafika.
Lev, Daniel S. 2013. Hukum dan Politik di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Lubis, Todung M. 1982. Politik Hukum di Dunia Ketiga Studi Kasus Indonesia.
Jurnal Prisma Edisi Negara dan Pembangunan.
Mahfud, MD., 1995. "Konfigurasi Politik dan Karakter Produk Hukum." Jurnal
Prisma.
Mahfud, MD., 2007. "Perdebatan Hukum Tata Negara." Jakarta. LP3ES.
Mahfud, MD., 2012. "Politik Hukum di Indonesia." Yogyakarta. Rajawali Press.
Martin, Andrew. 2011. "What Political Science Can Contribute the Study of
Law." Paper, the Past and the Future of Interdisciplinary Legal Studies.
Natsir, Mohammad. "Capita Selecta 1." Jakarta. Bulan Bintang.
Nonet, Philippe dan Philip Selznick. 2007. "Law and Society in Transition:
Toward Responsive Law," diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien. "Hukum
Responsif." Bandung. Penerbit Nusamedia.
Rosadi, Otong dan Andi Desmon. 2013. "Studi Politik Hukum Suatu Optik Ilmu
Hukum." Yogyakarta. Penerbit Thafa Media.

26

Anda mungkin juga menyukai