Anda di halaman 1dari 6

REVOLUSI MENTAL

TUNTUTAN SEBUAH TINDAKAN NYATA, BUKAN HANYA JARGON !


Oleh : Angelo Emanuel Flavio Seac

1. Makna Kata 'Revolusi' dan 'Mental'


Agar lebih jelas, mari kita simak makna kata revolusi dan mental. Mengutip
Wikipedia, “Revolusi adalah perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung
secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat. Di
dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat direncanakan atau tanpa direncanakan
terlebih dahulu dan dapat dijalankan tanpa kekerasan atau melalui kekerasan”.
Memaknai hal diatas, Revolusi adalah perubahan dari sosial maupun budaya
yang berlangsung cepat dan melibatkan poin utama dari dasar atau kehidupan
masyarakat. Dalam revolusi, perubahan dapat direncanakan atau tidak direncanakan
terlebih dahulu dan dapat dijalankan tanpa kekerasan atau melalui kekerasan.
Ukuran dari perubahan kecepatan relatif sebenarnya karena revolusi juga dapat
memakan waktu yang lama.
Dialektika revolusi mengatakan bahwa revolusi adalah upaya untuk
mengubah kepentingan rakyat yang didukung oleh berbagai faktor, bukan hanya
pemimpin tetapi juga dari semua unsur materi dan perjuangan mereka. Logika
revolusi adalah bagaimana revolusi dapat dilakukan berdasarkan perhitungan yang
ditetapkan, bahwa revolusi tidak bisa dipercepat atau diperlambat, ia akan datang
pada waktunya.
Sementara itu pengertian “mental” secara definitif belum ada kepastian
definisi yang jelas dari para ahli kejiwaan. Secara etimologi kata “mental” berasal
dari bahasa Yunani, yang mempunyai pengertian sama dengan pengertian psyche,
artinya psikis, jiwa atau kejiwaan. James Draver memaknai mental yaitu “revering
to the mind” maksudnya adalah sesuatu yang berhubungan dengan pikiran atau
pikiran itu sendiri. Secara sederhana mental dapat dipahami sebagai sesuatu yang
berhubungan dengan batin dan watak atau karakter, tidak bersifat jasmani (badan).
Bila kata revolusi mental dimaknai, pengertian yang paling dekat adalah
sebuah gerakan masif atau perubahan radikal yang berkaitan dengan mental. Apa
maksudnya? Apakah yang dimaksud adalah membuat program-program yang
radikal yang menuntut perubahan mental? Bila demikian, program-program apa
yang harus dibuat sehingga bisa menghasilkan perubahan mental? Apakah
program-program yang berorientasi materi menjadi 'driving force' untuk perubahan
mental?

2. Revolusi Mental Dalam Perspektif Sejarah


Tentu Revolusi Mental bisa terjadi dalam diri seseorang. Ketika seseorang
mendengar sebuah ide atau inspirasi, perubahan mental yang radikal dapat terjadi.
Sejarah telah mengungkap hal ini. Orang-orang suci pernah mengalami
perubahan radikal seperti ini. Paulus ( Tokoh agama Kristen dan Katolik ) misalnya,
setelah mendengar suara dari langit, ia mengalami perubahan mental yang radikal
dalam hitungan jam. Wawasannya berubah total sampai ia menganggap pencapaian
lahiriah sebagai sampah.
Pernah juga terjadi revolusi mental di sebuah kota di Amerika Serikat pada
abad 18. Belasan ribu orang mengalami pertobatan. Banyak yang mengalami
perubahan mental yang positif. Di kota Niniweh, 120 ribu orang mengalami
perubahan mental secara massal setelah mendengar pidato yang mentransformasi
pikiran.
Sekalipun fakta-fakta sejarah telah mengungkap kisah-kisah perubahan
dramatis, tidak dapat dipungkiri bahwa kekuatan yang merusak selalu bekerja
secara evolusi maupun radikal dalam diri setiap orang. Kekuatan ini menunggu
saat-saat yang paling tepat bahkan pelan-pelan dapat menyelinap ke dalam pikiran
orang-orang yang dianggap mampu menguasai pikiran sekalipun.
Pikiran begitu dinamis; pikiran begitu lincah dan kreatif. Saat ini pikiran
memikirkan sesuatu, dalam hitungan detik pikiran bisa memikirkan yang lain.
Dalam pikiran, bisa muncul loncatan ide dari yang satu ke ide yang lain dan bukan
tidak mungkin pikiran-pikiran yang revolusioner yang bersifat merusak muncul.
Tentu perubahan radikal yang positiflah yang diharapkan dari Program
Revolusi Mental. Namun, tidak dapat diabaikan bahwa mental tidak dapat dirubah
dengan program-program phisik semata. Karl Marx keliru. Ia berteori bahwa
manusia dapat dirubah dengan materi. Sejarah bergerak, menurut Marx, karena
materi. Ia mengabaikan bahwa manusia merupakan kesatuan antara jiwa dan tubuh;
keduanya tidak dapat dipisahkan. Alam atau sebut saja proyek-proyek
pembangunan phisik memang merupakan panggung untuk melatih kemampuan
seseorang. Itu merupakan sarana untuk mengasah dan melatih kemampuan jiwa dan
tubuh. Namun, agar jiwa dan tubuh memberikan kinerja yang baik atau lebih, sangat
dibutuhkan pelatihan pikiran dan tubuh. Pikiran harus diisi dengan informasi-
informasi bermutu. Itu sebabnya, pelatihan pikiran atau mental merupakan pra-
syarat kalau kita berharap 'Revolusi Mental' atau Transformasi Mental terwujud.

3. Perlunya Revolusi Mental di Indonesia


Dalam pembangunan bangsa, saat ini kita cenderung menerapkan prinsip-
prinsip paham liberalisme yang jelas tidak sesuai dan kontradiktif dengan nilai,
budaya, dan karakter bangsa Indonesia. Sudah saatnya Indonesia melakukan
tindakan korektif, tidak dengan menghentikan proses reformasi yang sudah
berjalan, tetapi dengan mencanangkan revolusi mental menciptakan paradigma,
budaya politik, dan pendekatan nation building baru yang lebih manusiawi, sesuai
dengan budaya Nusantara, bersahaja, dan berkesinambungan.
Penggunaan istilah ”revolusi” tidak berlebihan. Sebab, Indonesia
memerlukan suatu terobosan budaya politik untuk memberantas setuntas-tuntasnya
segala praktik-praktik yang buruk yang sudah terlalu lama dibiarkan tumbuh
kembang sejak zaman Orde Baru sampai sekarang. Revolusi mental beda dengan
revolusi fisik karena ia tidak memerlukan pertumpahan darah. Namun, usaha ini
tetap memerlukan dukungan moril dan spiritual serta komitmen dalam diri seorang
pemimpin dan selayaknya setiap revolusi diperlukan pengorbanan oleh masyarakat.
Dalam melaksanakan revolusi mental, kita dapat menggunakan konsep
Trisakti yang pernah diutarakan Bung Karno dalam pidatonya tahun 1963 dengan
tiga pilarnya, ”Indonesia yang berdaulat secara politik”, ”Indonesia yang mandiri
secara ekonomi”, dan ”Indonesia yang berkepribadian secara sosial-budaya”. Terus
terang kita banyak mendapat masukan dari diskusi dengan berbagai tokoh nasional
tentang relevansi dan kontektualisasi konsep Trisakti Bung Karno ini.
Kedaulatan rakyat sesuai dengan amanat sila keempat Pancasila haruslah
ditegakkan di Bumi kita ini. Negara dan pemerintahan yang terpilih melalui
pemilihan yang demokratis harus benar-benar bekerja bagi rakyat dan bukan bagi
segelintir golongan kecil. Kita harus menciptakan sebuah sistem politik yang
akuntabel, bersih dari praktik korupsi dan tindakan intimidasi.
Semaraknya politik uang dalam proses pemilu sedikit banyak memengaruhi
kualitas dan integritas dari mereka yang dipilih sebagai wakil rakyat. Kita perlu
memperbaiki cara kita merekrut pemain politik, yang lebih mengandalkan
keterampilan dan rekam jejak ketimbang kekayaan atau kedekatan mereka dengan
pengambil keputusan.
Di bidang ekonomi, Indonesia harus berusaha melepaskan diri dari
ketergantungan yang mendalam pada investasi/modal/bantuan dan teknologi luar
negeri dan juga pemenuhan kebutuhan makanan dan bahan pokok lainnya dari
impor. Kebijakan ekonomi liberal yang sekadar mengedepankan kekuatan pasar
telah menjebak Indonesia sehingga menggantung pada modal asing. Sementara
sumber daya alam dikuras oleh perusahaan multinasional bersama para
”komprador” Indonesia-nya.
Reformasi 16 tahun tidak banyak membawa perubahan dalam cara kita
mengelola ekonomi. Pemerintah dengan gampang membuka keran impor untuk
bahan makanan dan kebutuhan lain. Banyak elite politik kita terjebak menjadi
pemburu rente sebagai jalan pintas yang diambil yang tidak memikirkan
konsekuensi terhadap petani di Indonesia. Ironis kalau Indonesia dengan kekayaan
alamnya masih mengandalkan impor pangan. Indonesia secara ekonomi seharusnya
dapat berdiri di atas kaki sendiri, sesuai dengan amanat Trisakti. Ketahanan pangan
dan ketahanan energi merupakan dua hal yang sudah tidak dapat ditawar lagi.
Indonesia harus segera mengarah ke sana dengan program dan jadwal yang jelas
dan terukur. Di luar kedua sektor ini, Indonesia tetap akan mengandalkan kegiatan
ekspor dan impor untuk menggerakkan roda ekonomi.
Kita juga perlu meneliti ulang kebijakan investasi luar negeri yang angkanya
mencapai tingkat rekor beberapa tahun terakhir ini karena ternyata sebagian besar
investasi diarahkan ke sektor ekstraktif yang padat modal, tidak menciptakan
banyak lapangan kerja, tetapi mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya.
Pilar ketiga Trisakti adalah membangun kepribadian sosial dan budaya
Indonesia. Sifat ke-Indonesia-an semakin pudar karena derasnya tarikan arus
globalisasi dan dampak dari revolusi teknologi komunikasi selama 20 tahun
terakhir. Indonesia tidak boleh membiarkan bangsanya larut dengan arus budaya
yang belum tentu sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa kita.
Sistem pendidikan harus diarahkan untuk membantu membangun identitas
bangsa Indonesia yang berbudaya dan beradab, yang menjunjung tinggi nilai-nilai
moral agama yang hidup di negara ini. Akses ke pendidikan dan layanan kesehatan
masyarakat yang terprogram, terarah, dan tepat sasaran oleh negara dapat
membantu kita membangun kepribadian sosial dan budaya Indonesia.
4. Program Revolusi Mental di Indonesia Oleh Presiden Jokowi
Salah satu program yang dilakukan oleh Presiden Jokowi dalam masa
pemerintahannya adalah Revolusi (Transformasi) Mental, yang tertuang dalam
butir ke-8 dalam 'Nawa Cita." Bila dikutip, isinya kira-kira begini: "Melakukan
revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan
nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, yang
menempatkan secara proporsional aspek pendidikan, seperti pengajaran sejarah
pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta Tanah Air, semangat bela
negara dan budi pekerti di dalam kurikulum pendidikan Indonesia."
Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 12 Tahun 2016 tentang Gerakan
Nasional Revolusi Mental (GNRM), yang telah ditandatangani oleh Presiden Joko
Widodo pada 6 Desember 2016, ada tugas khusus yang dibebankan kepada Menko
bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Puan Maharani,
sebagaimana tertuang dalam butir kelima Inpres tersebut. Seperti dikutip dari laman
Sekretariat Kabinet pada Rabu (11/1/2016), tugas khusus Menko PMK itu adalah
melakukan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pelaksanaan Gerakan
Nasional Revolusi Mental. Kemudian, penyusunan dan penetapan Peta Jalan dan
Pedoman Umum Gerakan Nasional Revolusi Mental.
Tentu akan sangat panjang jika harus membaca dan menjelaskan tentang
Inpres dan peta jalan (road map) dan pedoman umum GNRM, tapi kemudian,
berdasarkan koordinasi tim yang dibentuk oleh Puan Maharani yang beranggotakan
dari semua lapisan masyarakat dari berbagai profesi, tersusunlah 5 gerakan yang
dapat diimplementasikan secara teknis dengan penanggung jawab masing-masing.
Secara lebih teknis, seluruh Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, dan
segenap masyarakat diajak untuk aktif mengimplementasikan 5 (lima) gerakan
Revolusi Mental melalui wujud perubahan nyata dalam konteks :
a. Indonesia Melayani (dikoordinir oleh Kemenpan RB),
b. Indonesia Bersih (dikoordinir oleh Menko Kemaritiman),
c. Indonesia Tertib (dikoordinir oleh Menko Polhukam),
d. Indonesia Mandiri (dikoordinir oleh Menko Bidang Perekonomian), dan
e. Indonesia Bersatu (dikoordinir oleh Mendagri).
Hasil dari koordinasi tim yang dibentuk oleh Puan Maharani ini pun
menyadari, bahwa sebagai sebuah gerakan, revolusi mental harus menjadi gaya
hidup yang terinternalisasi dalam diri, karena revolusi mental adalah bagian tak
terpisahkan dari pembangunan yang digadang-gadang Presiden untuk merubah
pola, kebiasan, mindset, dan perilaku setiap orang menjadi lebih baik dan terarah.
Sederhananya, revolusi mental bisa dilakukan dengan disiplin dan tepat waktu,
tidak malas, jujur, membawa perubahan, tidak mudah mengeluh, tidak suka
membuat rusuh, menjadi pengguna media dan pembaca yang bijak, dan hal-hal
sederhana lainnya. Sehingga, bangsa Indonesia diharapkan mempunyai mental
yang lebih baik dalam mengawal proses pembangunan seutuhnya.
Alhasil, dalam konteks kebijakan terkait revolusi mental, telah
dilakukannya peningkatan 75 pelayanan publik seperti kesehatan, lingkungan,
administrasi, pendidikan, sosial, perempuan dan anak, industri, dan lain sebagainya.
Pelaksanaan kuliah kerja nyata (KKN) di 48 perguruan tinggi dengan tema revolusi
mental. Termasuk juga pelaksanaan Jambore Nasional Revolusi Mental.
5. Kesimpulan

Revolusi Mental Membutuhkan suatu tindakan Nyata bukan hanya


Jargon tentu hal tersebut senada dengan apa yang Presiden Joko Widodo
tegaskan bahwa revolusi mental yang ia gagas saat memulai pemerintahan pada
2014 bukan hanya sekadar jargon kampanye. "Revolusi mental orang
senangnya masih seperti dulu jargon-jargon, 'ndak' lah kita ini memberi contoh,
apa sih yang namanya kerja keras itu apa? Yang namanya mengontrol sebuah
pekerjaan agar berkualitas seperti apa? Ini kan mengubah 'mindset' yang kita
perlukan," kata Presiden Joko Widodo dalam wawancara khusus dengan LKBN
Antara menyambut tiga tahun Pemerintahan Jokowi-JK di Istana Merdeka.
Kalau bisa disepakati bahwa Indonesia perlu melakukan revolusi
mental, pertanyaan berikutnya adalah dari mana kita harus memulainya.
Jawabannya dari masing-masing kita sendiri, dimulai dengan lingkungan
keluarga dan lingkungan tempat tinggal serta lingkungan kerja dan kemudian
meluas menjadi lingkungan kota dan lingkungan negara.
Lalu apa dampaknya? Tentu saja ini merupakan proses untuk perubahan
yang lebih baik. Revolusi mental adalah jalan dan pilihan. Kalau ternyata
Indonesia masih banyak korupsi, masih banyak ditemukan perselisihan, masih
sering ugal-ugalan, masih suka main pukul dan penghakiman jalanan, maka
jangan katakan ini bentuk kegagalan revolusi mental. Tidak bisa disimplifikasi
sesederhana itu, sebab revolusi mental tidak bisa merubah segalanya
sedemikian cepat. Ini bukan kerja membuat patung seribu candi. Semuanya
butuh proses. “Kepahitan” yang dimiliki oleh bangsa ini sudah sedimikian
mengakar dan membudaya, maka biarkan revolusi mental berjalan sesuai garis
edarnya.
Revolusi mental harus menjadi sebuah gerakan nasional. Usaha kita
bersama untuk mengubah nasib Indonesia menjadi bangsa yang benar-benar
merdeka, adil, dan makmur. Kita harus berani mengendalikan masa depan
bangsa kita sendiri dengan restu Tuhan YME. Sebab, sesungguhnya Tuhan
tidak mengubah nasib suatu bangsa kecuali bangsa itu mengubah apa yang ada
pada diri mereka.
Perilaku Masyarakat Yang Hendak Dirubah

Mengacu pada pertanyaan “apa hal – hal yang perlu diubah di masyarakat”? maka akan
menimbulkan beragam jawaban yang intinya hanya satu yaitu kebaikan itu sendiri. Namun
disini tanpa perlu yang muluk – muluk, secara pribadi saya mengaitkan perilaku masyarakat
dengan nilai – nilai yang terkandung dalam Pancasila.
1. Masyarakat perlu diedukasi untuk menghilangan sifat radikalisme dalam ber agama dan
memberikan toleransi kepada setiap umat beragama dalam menjalankan ibadahnya.
2. Masyarakat juga perlu diedukasi dengan tidak main hakim sendiri dalam menyikapi
setiap pelaku pelanggar aturan.
3. Masyarakat diedukasi agar tidak menjadi masyarakat konsumtif saja di era sekarang,
tapi juga dapat menjadi masyarakat produktif dengan semangat gotong royong.

Anda mungkin juga menyukai