Anda di halaman 1dari 9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anestesi
Anestesi umum adalah kondisi yang dikendalikan dengan ketidaksadaran
reversible dan diperoleh melalui penggunaan obat – obatan yang ditandai dengan
hilangnya respon rasa nyeri (analgesia), hilangnya ingatan (amnesia), hilangnya
respon terhadap rangsangan atau reflek dan hilangnya gerak spontan (immobility)
serta hilangnya kesadaran (unconsciousness) (Mckelvey dan Hollingshead.,
2003). Anestesi umum akan melewati beberapa tahapan dan tahapan tersebut
tergantung pada dosis yang digunakan. Tahapan teranestesi umum secara ideal
dimulai dari keadaan terjaga atau sadar kemudian terjadi kelemahan dan
mengantuk (sedasi), hilangnya respon nyeri (analgesik), tidak bergerak dan
relaksasi (immobility), tidak sadar (unconsciousness), dan kematian pada dosis
berlebih. (Tranquilly et al.,2007; Miller, 2010).

2.1.1 Sedasi
Sedasi adalah keadaan hilangnya kesadaran dengan menggunakan agen
farmakologik. Efek ini timbul karena agen farmakologik dapat berikatan dengan
reseptor GABA sehingga menyebabkan hiperpolarisasi dan menurunnya eksitasi.
Selain itu dapat menyebabkan relaksasi otot dan mengurangi aktivitas syaraf
motorik serta menekan aktivitas lokomotor hewan (Sinta dan Handoko., 2001).
Berdasarkan penggunaannya sedasi dapat didefinisikan menjadi tiga yaitu:
Sedasi minimal, sedasi sedang, dan sedasi dalam. Sedasi minimal yaitu keadaan
dimana selama terinduksi obat pasien berespon normal terhadap perintah verbal,
tetapi fungsi kardiovaskuler dan respirasi tidak dipengaruhi. Sedasi sedang (sadar)
yaitu suatu keadaan depresi kesadaran setelah terinduksi obat dimana pasien dapat
berespon terhadap perintah verbal. Fungsi kardiovaskuler biasanya dijaga. Sedasi
dalam yaitu suatu keadaan dimana selama terinduksi obat, pasien sulit
dibangunkan tetapi akan berespon terhadap rangsangan sakit. Fungsi
kardiovaskuler terjaga. Obat-obat sedatif dapat menghasilkan efek anestesi jika
diberikan dalam dosis besar (Flecknell., 1987).

4

5

2.1.2 Analgesik
Analgesik adalah kata yang berarti hilangnya atau bebas dari nyeri. Istilah
ini pada masa kini menunjukkan makna ganda. Pertama, untuk menunjukkan
proses penderita bebas dari nyeri tanpa kehilangan kesadaran. Kedua,
dipergunakan oleh beberapa pakar dalam kaitannya dengan anestesi lokal atau
regional. Obat analgesik dibagi dalam dua kelompok, yaitu obat golongan NSAID
dan golongan opioid, yang bekerja di perifer atau sentral, sedangkan obat untuk
melakukan analgesik lokal adalah kelompok obat anestesi lokal, seperti prokain,
lidokain, dan bupivakain (Morgan et al.,2002)
Analgesia atau obat penghilang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi atau
menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran (perbedaan dengan
anestetika umum). Atas dasar kerja farmakologisnya, analgesia dibagi menjadi
dua kelompok besar, yaitu:
a. Analgesia perifer (non-narkotika), yang terdiri dari obat-obat yang tidak
bersifat narkotika dan tidak bekerja sentral. Analgesia antiradang termasuk
kelompok ini.
b. Analgesia narkotika khusus digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat,
seperti pada fraktur dan kanker.
Secara kimiawi analgesia perifer dapat dibagi dalam beberapa kelompok
yaitu, parasetamol, salisilat: asetosal, salisilamida, dan benorilat, Penghambat
prostaglandin (NSAID): ibuprofen (Tjay dan Kirana, 2007).

2.1.3 Relaksasi
Relaksasi merupakan hilangnya respon terhadap rangsangan atau reflek
dan hilangnya gerak spontan (immobility) (Adams, 2001). Relaksasi terjadi pada
otot lurik dan dapat membantu untuk melawan efek buruk dari respon obat
(Morgan et al., 2002). Semua reflek tertekan secara total dan terjadi relaksasi otot
secara sempurna serta reflek rahang bawah yang sangat kendor. Durasi dan lama
kerja anastetikum dan kualitas anestesi dapat dilihat dari pengamatan perubahan
fisiologi selama stadium teranestesi (Mckelvey dan Hollinghead 2003).

2.2 Tahap-tahap Anestesi


Menurut The American Society of Anesthesiologists (2009). Stadium
anestesi dibagi dalam 4 yaitu: Stadium I (stadium induksi atau eksitasi volunter),
dimulai dari pemberian agen anestesi sampai menimbulkan hilangnya kesadaran.
Rasa takut dapat meningkatkan frekuensi nafas dan pulsus, dilatasi pupil, dapat
terjadi urinasi dan defekasi. Stadium II (stadium eksitasi involunter), dimulai dari
hilangnya kesadaran sampai permulaan stadium pembedahan. Pada stadium II
terjadi eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak, pernafasan tidak teratur,
inkontinensia urin, muntah, midriasis, hipertensi, dan takikardia. Stadium III
(pembedahan/operasi), terbagi dalam 3 bagian yaitu: Plane I yang ditandai dengan
pernafasan yang teratur dan terhentinyaanggota gerak. Tipe pernafasan thoraco-
abdominal, refleks pedal masih ada, bolamata bergerak-gerak, palpebra, conjuctiva
dan kornea terdepresi. Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan
bola mata ventro medial semua ototmengalami relaksasi kecuali otot perut. Plane
III, ditandai dengan respirasi regular dan abdominal, bola mata kembali ke tengah
dan otot perut relaksasi. Stadium IV (paralisis medulla oblongata atau overdosis),
ditandai dengan paralisis otot dada, pulsus cepat dan pupil dilatasi. Bola mata
menunjukkan gambaran seperti mata ikan karena terhentinya sekresi air mata.
Tabel 2.1. Tahap Anestesi
Tahap Stadium Keterangan
1 Analgesia Dimulai dengan keadaan sadar dan diakhiri dengan
hilangnya kesadaran. Sulit untuk bicara; indra penciuman
dan rasa nyeri hilang. Mimpi serta halusinasi
pendengaran dan penglihatan mungkin terjadi. Tahap ini
dikenal juga sebagai tahap induksi
2 Eksitasi Terjadi kehilangan kesadaran akibat penekananan
atau korteks serebri. Kekacauan mental, eksitasi, atau
Delirium delirium dapat terjadi. Waktu induksi singkat.
3 Surgical Prosedur pembedahan biasanya dilakukan pada tahap ini.

4 Paralisis Tahap toksik dari anestesi. Pernapasan hilang dan terjadi


medular kolaps sirkular. Perlu diberikan bantuan ventilasi.

2.3 Tanaman Kecubung


Tanaman ini tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian 800 meter di
atas permukaan laut. Tumbuh di tempat - tempat terbuka, tanah yang mengandung
pasir dan tidak begitu lembab, dengan iklim yang kering, selain itu kecubung juga
sering ditanam di kebun seperti di halaman rumah sebagai tanaman pagar atau
tanaman hias yang dimanfaatkan sebagai tanaman obat (Sayyed dan Shah, 2014).
Kecubung termasuk tumbuhan jenis perdu yang mempunyai pokok batang,
kayu dan tebal, bercabang banyak, tumbuh dengan tinggi kurang dari 2 meter.
Daun kecubung berwarna hijau berbentuk bulat telur, tunggal, tipis, dan pada
bagian tepinya berlekuk-lekuk tajam dan letaknya berhadap-hadapan. Ujung dan
pangkal daun meruncing dan pertulangannya menyirip. Bunga tunggal
menyerupai terompet dan berwarna putih atau lembayung, panjangbunga lebih
kurang 12-18 cm, bunga bergerigi 5-6 dan pendek 3-5 cm. Tangkai bunga sekitar
1-3 cm, kelopak bunga bertajuk 5 dengan tajuk runcing. Tabung mahkota
berbentuk corong, rusuk kuat, dan tepian bertajuk 5, tajuk di mahkota oleh suatu
runcingan. Benang sari tertancap pada ujung dari tabung mahkota dan sebagai
bingkai berambut mengecil ke bawah (Shagal et al., 2012).
Tanaman kecubung yang dijumpai orang, yaitu yang berbunga putih, ada
pula yang berwarna putih dengan tepian mahkota berwarna ungu dan bunga
berwarna ungu. Ada juga kecubung kecil (Datura stramonium L.) yang berbunga
kecil dan berduri hitam pada buahnya. Kecubung yang berbunga putih sering
dianggap paling beracun dibanding jenis kecubung lainnya yang juga
mengandung zat alkaloida (Shagal et al., 2012).

Menurut Tjitrosoepomo (1994), kedudukan taksonomi tanaman kecubung


adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Sub kelas : Sympet alae
Ordo : Solanales
Famili : Solanaceae
Genus : Datura
Gambar 1. Bunga kecubung
Spesies : Datura metel L.

2.3.1 Kandungan Kimia Tanaman Kecubung (Datura metel L.)


Tanaman kecubung mengandung zat alkaloid yang diketahui merupakan
bahan yang dapat digunakan untuk membius dan juga dapat digunakan sebagai
obat (Kartasapoetra, 1988). Semua bagian tumbuhan kecubung dari akar, tangkai,
daun, buah, bunga dan biji mengandung senyawa alkaloid yang sudah dikenal
sebagai obat bius (Dharma, 1985).
Alkaloid dalam tumbuhan kecubung terbanyak terdapat di dalam akar dan
biji dengan kadar antara 0,4 - 0,9%, sedangkan dalam daun dan bunga hanya 0,2-
0,3% (Sastrapradja, 1978). Menurut Heyne (1987), kandungan alkaloid tanaman
kecubung dalam masing – masing organ bervariasi, pada daun muda 0,813 %,
daun tua 0,038 % dan bunga 0,2 %. Alkaloid merupakan senyawa bersifat basa
yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan
sebagai bagian dari sistem siklik yang bentuknya bermacam-macam (Heyne,
1987). Sebagian besar alkaloid merupakan kristal putih yang agak larut dalam air.
Alkaloid sering kali beracun bagi manusia dengan bahaya yang mempunyai
aktivitas fisiologi yang menonjol sehingga digunakan secara luas dalam
pengobatan. Alkaloid dalam tumbuhan kecubung terdiri dari antropin, hiosiamin
dan skopolamin (Salisbury dan Ross, 1995).
Antropin bekerja pada sistem saraf perifer, senyawa ini mempunyai kerja
merangsang dan menghambat sistem saraf pusat. Gejala keracunan yang

ditimbulkan pada pemakaian antropin adalah mulut kering, kesulitan buang air,
sakit mata dan sensitif pada cahaya (Rani et al., 2015). Menurut Wijayakusuma
(1992), alkaloid antropin merupakan zat yang dapat menimbulkan efek bius bila
masuk ke dalam darah melalui saluran pernafasan. Dalam ekstrak, antropin tetap
dalam bentuk padat.
Skopolamin (hyoscin) merupakan ∫-hiosiamin yang teroksidasi (atom O
membentuk segitiga dengan atom C) pada tropanol. Secara farmakologi kegunaan
skopolamin berbeda dengan antropin, bahwa senyawa ini hanya bekerja menekan
sistem saraf pusat (Sastrapradja, 1978). Efek perifer skopolamin dan antropin
secara kualitatif memang sama tetapi dilihat dari segi kuantitatif terdapat
perbedaan yang cukup besar, yaitu efek menghambat sekresi dari skopolamin
lebih kuat sedangkan efek menaikkan frekuensi jantung lebih lemah dari pada
antropin (Mutschler, 1991).
Menurut (Rani et al., 2015), skopolamin sering digunakan sebagai obat
mabuk laut, selain itu dapat berfungsi sebagai analgesik (tahan sakit) dan saporific
(obat tidur). Hasil penelitiannya tentang kandungan alkaloid yang terkandung
dalam biji kecubung wulung dengan metode Stass–Otto (kromatografi
miskroskopik) dan Egon Stahl (kromatografi miskroskopik). Hasil yang didapat
pada metode Stass–Otto diperoleh kadar alkaloida sebanyak 3,67 dan 3,81%,
sedangkan metode Egon Stahl diperoleh kadar alkaloida sebanyak 3,94 dan
3,98%. Hasil analisis gas kromatografi dapat diketahui kadar hiosiamina yang
diekstrasi menurut Stass–Otto sebesar 0,14% dan inctoda Egon Stahl sebesar
0,18% (Sardjana dan Kusumawati, 2004).
Menurut Ariens (1996) rancangan kimia langsung yang terjadi pada
jaringan disebabkan oleh adanya zat yang mudah bereaksi dengan berbagai
jaringan. Zat tersebut akan bereaksi langsung pada tempat jaringan pertama yang
dilewati, salah satu jaringan tersebut adalah jaringan epitel. Pemberian zat kimia
yang reaktif secara oral dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan maupun
organ. Kerusakan oleh bahan kimia secara langsung sering disertai dengan
rangsangan lokal, pengikisan atau nekrosis tergantung pada kualitas dari zat kimia
(Waluyo, 2004). Senyawa alkaloid ini banyak terkandung dalam tumbuhan dan
tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuhan. Secara organoleptik, daun – daunan



10

yang berasa sepat dan pahit, biasanya teridentifikasi mengandung alkaloid. Selain
daun–daunan senyawa alkaloid dapat ditemukan pada akar, biji, ranting, dan kulit
kayu. Seperti tanaman kecubung yang mengandung alkaloid pada akar, daun,
buah, biji dan bunganya (Dalimartha, 1999).

2.4 Tikus Putih


Tikus merupakan hewan mamalia yang paling umum digunakan sebagai
hewan percobaan pada laboratorium, dikarenakan banyak keunggulan yang
dimiliki oleh tikus sebagai hewan percobaan, yaitu memiliki kesamaan fisiologis
dengan manusia, siklus hidup yang relatif pendek, jumlah anak per kelahiran
banyak, variasi sifat-sifatnya tinggi dan mudah dalam penanganan (Moriwaki et
al., 1994). Tikus (Rattus norvegicus) memiliki beberapa galur yang merupakan
hasil persilangan sesama jenis, namun demikian galur yang akan digunakan untuk
penelitian ini adalah Rattus norvegicus. Adapun taksonomi tikus menurut
(Besselsen, 2004) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mammalia
Ordo : Rodentia
Sub-ordo : Odontoceti
Famili : Muridae
Genus : Rattus
Gambar 2. Tikus putih Spesies : Rattus Norvegicus

Pemilihan hewan uji didasarkan pada kenyataan bahwa penelitian


menggunakan hewan uji tersebut sudah lama dilakukan sehingga data atau
informasi yang diperlukan mudah diperoleh dan hewan uji juga mudah didapat.
Pemilihan uji menurut (Adekomi et al., 2010) didasarkan atas kedekatan ciri atau
sifat tertentu dengan sistem metabolisme manusia, diantaranya:



11

a. Mekanisme proses absorbsi, metabolisme, dan eliminasi obat yang mirip


dengan mekanisme yang terjadi pada manusia.
b. Transmisi obat dan metabolitnya melalui plasenta.
c. Tahap perkembangan embrio maupun fetus mirip dengan manusia.
Hewan-hewan percobaan yang paling banyak digunakan dalam uji
toksikologi atau farmakologi adalah tikus putih (Rattus norvegicus), tikus (Rattus
rattus), dan kelinci (Lepus sp) (Adekomi et al., 2010). Kisaran dosis yang
diseleksi untuk kelompok-kelompok perlakuan harus sedemikian rupa sehingga
dosis paling tinggi tidak berakibat toksik hebat bagi hewan percobaan dan dosis
paling rendah tanpa efek yang berarti pada hewan percobaan.

2.5 Kerangka Konsep


Anestesi umum (general anestesi) atau pembiusan total disebut juga
dengan nama narkose umum (NU). Anestesi umum adalah meniadakan nyeri
secara sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel (Miharja,
2009). Cara kerja anestesi umum selain menghilangkan rasa nyeri, menghilangkan
kesadaran, dan membuat amnesia, juga merelaksasi seluruh otot.
Tanaman kecubung mengandung zat alkaloid yang diketahui merupakan
bahan yang dapat digunakan untuk membius. Semua bagian tumbuhan kecubung
dari akar, tangkai, daun, buah, bunga dan biji mengandung senyawa alkaloid yang
sudah dikenal sebagai obat bius. Bunga kecubung menyerupai terompet dengan
warna putih dan ungu. Kecubung hias bisa mempunyai warna yang beraneka
ragam. Kecubung berbunga putih selain memiliki efek sebagai obat bius juga
mempunyai efek toksik yang paling kuat dibandingkan dengan jenis lain yang
mengandung zat alkaloid. Alkaloid dalam tumbuhan kecubung terdiri dari atropin,
hiosiamin dan skopolamin (Salisbury dan Ross, 1995)
Untuk memanfaatkan potensi dari bunga kecubung sebagai anestesi
umum, perlu dilakukan pengujian terhadap respon analgesia, sedasi, dan relaksasi
sehingga dapat memenuhi kriteria sebagai obat anestesi umum yang ideal yaitu
mempunyai sifat-sifat antara lain: pada dosis yang aman mempunyai daya
analgesik dan relaksasi otot yang cukup, cara pemberian mudah, mulai kerja obat
yang cepat dan tidak mempunyai efek samping yang merugikan. Selain itu obat



12

tersebut harus tidak toksik, mudah dinetralkan, mempunyai batas keamanan yang
luas, tidak dipengaruhi oleh variasi umur dan kondisi pasien (Norsworhy, 1993).
Sebelum bisa diaplikasikan bunga kecubung harus diekstraksi terlebih
dahulu untuk mendapatkan zat aktif yang nantinya bisa diberikan secara
intraperitoneal sebagai anestesi. Pemberian secara intraperitoneal merupakan cara
yang mudah dilakukan tanpa keterampilan khusus. Berdasarkan hal tersebut perlu
dilakukan penelitian tentang respon-respon analgesia, sedasi, dan relaksasi ekstrak
bunga kecubung yang diberikan secara intraperitoneal pada tikus putih.

2.6 Hipotesis
Ekstrak bunga kecubung (Datura metel L.) mengandung zat alkaloid yang
dapat menimbulkan respon analgesia, sedasi, dan relaksasi pada tikus percobaan.

Anda mungkin juga menyukai