Anda di halaman 1dari 17

Makna dan Hakikat Demokrasi

Dalam demokrasi, rakyat diberikan kesempatan melakukan aktivitas politik untuk ikut berpartisipasi
pada kebijakan di negaranya. Demokrasi dipandang sebagai sistem bernegara yang mengutamakan
kepentingan rakyat.

Menurut Abraham Lincoln, Presiden AS ke-16 dan peletak konsep dasar demokrasi, demokrasi
adalah suatu sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Definisi tersebut menjelaskan bahwa dalam negara demokrasi terjadi kebebasan bagi rakyat dalam
melakukan semua aktivitas kehidupan. Di dalamnya termasuk kehidupan untuk melakukan aktivitas
politik tanpa mendapat tekanan dari pihak mana pun.

Selain itu, dalam hakikat demokrasi, rakyatlah yang bekuasa demi menjalankan kepentingan
bersama. Dalam Jurnal Tapis Volume 12 Nomor 1 (2016) disebutkan negara demokrasi adalah
negara yang menganut mekanisme sistem pemerintahan dengan mewujudkan kedaulatan rakyat
atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara itu.

Demokrasi tidak hanya memperhatikan hak sipil dan politik rakayat, tetapi juga menjamin rakyat
pada hak-hak ekonomi dan sosial budaya. Dalam negara demokrasi, rakyat juga memiliki andil besar
untuk menentukan atau memutuskan berbagai hal mengenai kehidupan bersama sebuah bangsa
dan negara. Sebagai sebuah konsep politik, demokrasi menjadi landasan untuk menata sistem
pemerintahan negara yang berproses menuju kebaikan.

Salah satu pilar demokrasi adalah trias politica), trias politica akan membagi kekuasaan negara ke
dalam tiga jenis lembaga negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) sehingga tidak terjadi kekuasaan
satu pihak yang absolut. Kekuasaan absolut menjadi biang dari terjadinya kesewenang-wenangan
terhadap rakyat. Wujud perbuatan demokrasi cukup kental dilakukan oleh masyarakat Indonesia.
Misalnya mengadakan musyawarah untuk mufakat, pemilihan presiden dan wakil rakyat secara
langsung, dan sebagainya. Masyarakat juga diberikan kebebasan dalam berpendapat di muka umum.
Klasifikasi Demokrasi Sementara itu, meski demokrasi dianut oleh berbagai negara dunia, namun
pelaksanaannya berbeda dari sudut pandang masing-masing negara. Varian demokrasi ini lantas
membuat demokrasi memiliki berbagai bentuk menurut sudut pandang tertentu. Berikut ini
klasifikasinya:

1. Berdasarkan titik berat perhatiannya Demokrasi formal.


 Demokrasi formal merupakan demokrasi yang menjunjung tinggi persamaan pada
bidang politik, tanpa menurangi atau menghilangkan kesenjangan dalam ekonomi.
Penganutnya adalah negaranegara liberal.
 Demokrasi material. Demokrasi material adalah demokrasi yang berfokus pada
upaya menghilangkan perbedaan dari bidang ekonomi, namun kurang
memperhatikan persamaan pada bidang politik. Demokrasi semacam ini dianut
negara-negara komunis yang bahkan kadang menghilangkan persamaan di bidang
politik bagi warganya.
 Demokrasi gabungan. Dalam demokrasi ini mengambil kebaikan dan membuang
keburukan dari demokrasi formal dan material. Penganutnya yaitu negara-negara
non-blok.
2. Berdasarkan ideologi
 Demokrasi konstitusional atau demokrasi liberal. Demokrasi ini didasarkan pada
kebebasan atau individualisme. Kekuasaan pemerintah terbatas oleh konstitusi.
 Demokrasi rakyat atau demokrasi proletar. Demokrasi ini didasarkan pada paham
marxisme-komunisme yang mencita-citakan kehidupan tanpa mengenal kelas sosial.
3. Berdasarkan proses penyaluran kehendak rakyat
 Demokrasi langsung. Demokrasi ini mengikutsertakan setiap warga negara dalam
permusyawaratan demi menentukan kebijaksanaan umu negara atau undang-
undang secara langsung.
 Demokrasi tidak langsung. Demokrasi in menganut paham sistem perwakilan.
Demokrasi perwakilan biasanya dilaksanakan melalui pemilihan umum.

Baca selengkapnya di artikel "Hakikat Demokrasi: Makna dan


Klasifikasinya", https://tirto.id/gdTG

NORMA, NILAI, DAN PILAR DEMOKRASI

NORMA DEMOKRASI
Menjadi demokratis membutuhkan norma dan rujukkan praktis secara teoritis dari
masyarakat yang telah maju dalam berdemokrasi. Setidaknya ada enam norma atau
unsur pokok yang dibutuhkan oleh tatanan masyarakat yang berdemokratis. Keenam
norma ini yaitu:
Pertama, kesadaran akan pluralisme. Kesadaran akan kemajemukan tidak
sekadar pengakuan pasif akan kenyataan masyarakat yang majemuk. Kesadaran atas
kemajemukan menghendaki tanggapan dan sikap positif terhadap kemajemukan itu
sendiri secara aktif. Pengakuan akan kenyataan perbedaan harus diwujudkan dalam
sikap dan perilaku menghargai dan mengakomodasi beragam pandangan dan sikap
orang dan kelompok lain, sebagai bagian dari kewajiban warga Negara dan Negara
untuk menjaga dan melindungi hak orang lain untuk diakui keberadaannya. Jika norma
ini dijalankan secara sadar dan konsekuen diharapkan dapat mencegah munculnya
sikap dan pandangan hegemoni mayoritas dan tirani minoritas. Dalam konteks
Indonesia, kenyataan alamiah kemajemukan Indonesia bisa dijadikan sebagai modal
potensial bagi masa depan demokrasi Indonesia.
Kedua, musyawarah. Makna dan semangat musyawarah ialah mengharuskan
adanya keinsyafan dan kedewasaan warga negara untuk secara tulus menerima
kemungkinan untuk melakukan negosiasi dan kompromi-kompromi sosial dan politik
secara damai dan bebas dalam setiap keputusan bersama. Semangat musyawarah
menuntut agar setiap orang menerima kemungkinan terjadinya partial functioning of
ideals, yaitu pandangan dasar bahwa belum tentu, dan tak harus, seluruh keinginan atau
pikiran seseorang atau kelompok akan diterima dan dilaksanakan sepenuhnya.
Konsekuensi dari prinsip ini adalah kesediaan setiap orang maupun kelompok untuk
menerima pandangan yang berbeda dari orang atau kelompok lain dalam bentuk-bentuk
kompromi melalui jalan musyawarah yang berjalan secara seimbang dan aman.
Ketiga, cara haruslah sejalan dengan tujuan,. Norma ini menekankan bahwa
hidup demokratis mewajibkan adanya keyakinan bahwa cara haruslah sejalan dengan
tujuan. Dengan ungkapan lain, demokrasi pada hakikatnya tidak hanya sebatas
pelaksanaan prosedur-prosedur demokrasi (pemilu, suksesi kepemimpinan, dan
aturan mainnya), tetapi harus dilakukan secara santun dan beradab, yakni melalui
proses demokrasi yang dilakukan tanpa paksaan, tekanan dan ancamandari, dan oleh
siapapun, tetapi dilakukan secara sukarela, dialogis, dan saling menguntungkan. Unsur-
unsur inilah yang melahirkan demokrasi yang substansial.
Keempat, norma kejujuran dan kemufakatan. Suasana masyarakat demokratis
dituntut untuk menguasaidan menjalankan seni permusyawaratan yang jujur dan sehat
untuk mencapai kesepakatanyang memberi keuntungan semua pihak. Karena itu, faktor
ketulusan dalam usaha bersama mewujudkan tatanan sosial yang baik untuk semua
warga Negara merupakan hal yang sangat penting dalam membangun tradisi demokrasi.
Prinsip erat ini kaitannya dengan paham musyawarah seperti telah dikemukakan
sebelumnya. Musyawarah yang benar dan baik hanya akan berlangsung jika masing-
masing pribadi atau kelompok memiliki pandangan positif terhadap perbedaan pendapat
orang lain.
Kelima, kebebasan nurani, persamaan hak, dan kewajiban. Pengakuan akan
kebebasan nurani (freedom of conscience), persamaan hak dan kewajiban bagi semua
(egalitarianisme) merupakan norma demokrasi yang harus diintregasikan dengan sikap
percaya pada iktikad baik orang dan kelompok lain (trust attitude). Norma ini akan
berkembang dengan baik jika ditopang oleh pandangan positif dan optimis tehadap
manusia. Sebaliknya, pandangan negative dan pesimis terhadap manusia dengan
mudah akan melahirkan sikap dan perilaku curiga dan tidak percaya kepada orang lain.
Sikap dan perilaku ini akan sangat berpotensi melahirkan sikap enggan untuk saling
terbuka, saling berbagi untuk kemaslahatan bersama atau untuk melakukan kompromi
dengan pihak-pihak yang berbeda.
Keenam, trial and error (percobaan dan salah) dalam berdemokrasi. Demokrasi
bukanlah sesuatu yang telah selesai dan siap saji, tetapi ia merupakan sebuah proses
tanpa henti. Dalam kerangka ini,demokrasi membutuhkan percobaan-percobaan dan
kesediaan semua pihak untuk menerima kemungkinan ketidaktepatan atau kesalahan
dalam praktik berdemokrasi.

B.     PILAR DEMOKRASI
1)      Kedaulatan rakyat.
2)      Pemerintahan berdasarkan persetujuan yang di perintah.
3)      Kekuasaan mayoritas (hasil pemilu).
4)      Jaminan hak-hak minoritas.
5)      Jaminan hak-hak asasi manusia.
6)      Persamaan didepan hukum.
7)      Proses hukum yang berkeadilan.
8)      Pembatasan kekuasaan pemerintah melalui konstitusi.
9)      Pluralism sosial, ekonomi, dan politik.
10)  Dikembangkannya nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerjasama, dan mufakat.

Islam dan Demokrasi

A. ISLAM DAN DEMOKRASI


A. Definisi Demokrasi

Demokrasi adalan sebuah tatanan Negara pemerintahan yang bersumber dari rakyat, oleh
rakyat, untuk rakyat. (benyamin Franklin).

MEMAHAMI DEMOKRASI DALAM MEMILIH PEMIMPIN :

System memilih penguasa/ kepala negara hal tersebut masih dapat didiskusikan dan bersifat
furu' (cabang).

Alasan : Rasul tidak pernah menentukan secara jelas bagaimanakah teknis memilih
khalifah/pemimpin negara. Begitu juga peralihan kekuasaan dari satu khalifah ke khalifah yang
lain semasa banyak sahabat masih hidup, sehingga menjadi ljma' shahabat bahwa boleh
menggunakan beberapa uslub untuk memilih khalifah atau kepala negara. Dengan demikian
dalam memilih siapakah calon kepala negara/Khalifah boleh dengan banyak teknis dalam hal ini
mengambil suara mayoritas juga dapat dilakukan dan menggunakan Ahlul hali wal aqli
(parlemen) juga dapat dilakukan . Jadi untuk memilih calon kepala negara (khalifah) dalam Islam
bisa dicari dengan uslub (teknis) pemilihan umum.

B. Persamaan dan Perbedaan Islam dan Demokrast

Persamaan Islam & Demokrasi

Dr. Dhiyauddin ar Rais mengatakan, Ada beberapa persamaan yang mempertemukan Islam dan
demokrasi:

1.Jika demokrasi diartikan sebagai sistem yang diikuti asas pemisahan kekuasaan, itu pun sudah
ada di dalam Islam. Kekuasaan legislatif sebagai sistem terpenting dalam sistem demokrasi
diberikan penuh kepada rakyat sebagai satu kesatuan dan terpisah dari kekuas aan Imam atau
Presiden. Pembuatan Undang-Undang atau hukum didasarkan pada al-Quran dan Hadist, ijma,
atau ijtihad. Dengan demikian, pembuatan UU terpisah dari lmam, bahkan kedudukannya lebıh
tinggi dari Imam. Adapun limam harus menaatinya dan terikat UU. Pada hakikatnya, Imamah
(kepemimpinan) ada di kekuasaan eksekutif yang memiliki kewenangan independen karena
pengambilan keputusan tidak boleh didasarkan pada pendapat atau keputusan penguasa atau
presiden, melainkan berdasarka pada hukum-hukum syariat atau perintah Allah Swt.

2. Demokrasi seperti definisi Abraham Lincoln: dari rakyat dan untuk rakyat pengertian itu pun
ada di dalam sistem negara Islam dengan pengecualian bahwa rakyat harus memahami Islam
secara komprehensif.

3. Demokrasi adalah adanya dasar-dasar politik atau sosial tertentu (misalnya, asas persamaan di
hadapan undang-undang. kebebasan berpikir dan berkeyakinan realisasi keadilan sosial, atau
memberikan jaminan hak-hak tertentu, seperti hak hidup dan bebas mendapat pekerjaan).
Semua hak tersebut dijamin dalam Islam.

Perbedaan Islam & Demokrasi:

1. Demokrasi yang sudah populer di Barat, definisi bangsa atau umat dibatasi batas wilayah,
iklim, darah, suku-bangsa, bahasa dan adat-adat yang mengkristal. Dengan kata lain, demokrasi
selalu diiringi pemikiran nasionalisme atau rasialisme yang digiring tendensi fanatisme. Adapun
menurut Islam, umat tidak terikat batas wilayah atau batasan lainnya. Ikatan yang hakiki di
dalam Islam adalah ikatan akidah, pemikiran dan perasaan. Siapa pun yang mengikuti Islam, ia
masuk salah satu Negara. Islam terlepas dari jenis, warna kulit, negara, bahasa atau batasan lain.
Dengan demikian, pandangan Islam sangat manusiawi dan bersifat internasional

2.tujuan-tujuan demokrasi modern Barat atau demokrasi yang ada pada tiap masa adalah
tujuan-tujuan yang bersifat duniawi dan material. Jadi, demokrasi ditujukan hanya untuk
kesejahteraan umat (rakyat) atau bangsa dengan upaya pemenuhan kebutuhan dunia yang
ditempuh melalui pembangunan, peningkatan kekayaan atau gaji. Adapun demokrasi Islam
selain mencakup pemenuhan kebutuhan duniawi (materi) mempunyai tujuan spiritual yang lebih
utama dan fundamental.

3.kedaulatan umat (rakyat) menurut demokrasi Barat adalah sebuah kemutlakan.Jadi, rakyat
adalah pemegang kekuasaan tertinggi tanpa peduli kebodohan, kezaliman atau kemaksiatannya.
Namun dalam Islam, kedaulatan rakyat tidak mutlak, melainkan terikat dengan ketentuan-
ketentuan syariat sehinga rakyat tidak dapat bertindak melebihi batasan-batasan syariat, al-
Quran dan as-sunnah tanpa mendapat sanksi

C. Pandangan Ulama tentang demokrasi

1. Yusuf al-gardhawi

Menurut beliau, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal.
Misalnya:

-Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkkan banyak orang untuk mengangkat seorang
kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak
boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam
menolak seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai oleh makmum di belakangnya.

- Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran Juga sejalan dengan lslam.Bahkan
amar makruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpın adalah bagian dari
ajaran Islam.

-Pemilhan umum temasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak
menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan
suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenamya tidak layak, berarti ia telah menyalahi
perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.

-Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip
Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai
kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah
berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh.
Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari
luar mereka. Yaitu Abdullah ibn Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama
dalam masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak
bertentangan dengan nash syariat secara tegas.Juga kebebasan pers dan kebebasan
mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi
yang sejalan dengan Islam.

2. salim Ali al-Bahnasawi


Menurutnya, demokrasi mengandung sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan islam dan
memuat sisi negatif yang bertentangan dengan Islam. Sisi baik demokrasi adalah adanya
kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah
penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan yang
haram. Karena itu, ia menawarkan adanya islamisasi sebagai berikut:

 Menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah. Wakil rakyat harus
berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas-tugas lainnya.
 Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam
Alquran dan Sunnah (al-Nisa: 59) dan (al-Ahzab: 36).
 Komitmen terhadap islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yang
bermoral yang duduk di parlemen.

D. Banyak ilmuwan yang mengatakan bahwa islam cenderung akan menolak istilah dan penerapan
demokrasi. Diantaranya adalah:

1.Samuel P. Huntington "bila orang Islam berusaha memperkenalkan demokrasi ke dalam


masyarakat mereka, usaha itu cenderung akan gagal karena Islam, yang sangat berpengaruh dalam
kehidupan mereka, tidak mendukung demokrasi. Kegagalan demokrasi dinegara-negara muslim
antara lain disebabkan oleh watak budaya dan masyarakat Islam yang tidak ramah terhadap konsep-
konsep liberalisme Barat."

2.Elie Kedourie: "ajaran, norma, kecenderungan, pengalaman keseharian orang Islam telah
membentuk pandangan politik kaum Muslimin yang khas dan jauh dari modern."

E. Istilah demokrasi dipahami melalui dua cara, yaitu:

1.Sebagai sebuah konsep budaya politik: demokrasi mencakup unsur-unsur saling percaya antar
sesama warga (interpersonal trust),jaringan keterlibatan kewargaan (networks of civic engagement),
toleransi,

keterlibatan politik, kepercayaan pada institusi politik, kepuasan terhadap kinerja demokrasi,
dukungan terhadap prinsip-prinsip demokrasi, dan dukungan terhadap masyarakat politik modern.

2.Sebagai partisipasi politik: demokrasi merupakan seperangkat aksi politik yang bersifat sukarela
mulai dari voting hingga protes oleh warga negara yang biasa dengan tujuan mempengaruhi
kebijakan publik."

F. Demokrasi islam adalah ideologi politik yang berusaha menerapkan prinsip- prinsip islam ke
dalam kebijakan publik dalam kerangka demokrasi.

Teori politik islam menyebutkan tiga ciri dasar demokrasi islam, antara lain:

1.Pemimpin harus dipilih oleh rakyat

2.Tunduk pada syariah

3.Bekomitmen untuk mempraktekan "syura" sebuah bentuk konsultasi khusus yang dilakukan oleh
Nabi Muhammad SAW. Negara negara yang memenuhi 3 prinsip dasar tersebut Afghanistan, Iran,
Malaysia.

G. MANFAAT DAN TUJUAN

 MANFAAT:
a.Mengetahui dan mendalami sejarah masuknya Islam di Indonesia dan upaya-upaya untuk
menjalankan Islam dalam sendi kehidupan.

b.Menyegarkan kembali kepada kita, peristiwa sejarah di Indonesia sehingga Demokrasi menjadi
sistem Pemerintahan saat ini.

c.Mengetahui sejarah Demokrasi dan Islam/ sistem Islam di Indonesia.

 TUJUAN

a. Mendapatkan pemahaman yang benar untuk menempatkan posisi Demokrasi dan Islam
sebagaimana mestinya.

b. Melihat dan mengetahui dari sisi-sisi yang berbeda tentang Islam Demokrasi atas sejarah,
pengertian, dan konsep sistem dari masing-masing.

H. Perbandingan Islam dan Demokrasi (dari sisi prinsip ldeologinya)

Sebagai dua hal yang berbeda, tentunya terdapat ciri khas masing-masing dari Islam dan Demokrasi.
Ini menarik sekali sebagai bahan perbandingan dan kajian dalam setiap pembahasan, karena ada
upaya dan pendapat untuk menyamakan Islam dengan Demokrasi.

PRINSIP ISLAM DEMOKRASI


Pemilik Kedaulatan Syara’ (hukum islam) Rakyat
Pemilik Kekuasaan Rakyat Rakyat
Penyampaian Aspirasi Majelis Ummat Parlemen
Sumber Hukum Syara’ (hukum islam) Akal(hokum positif dari
pemiran manusia/rakyat)
Kebebasan Rakyat Diatur dalam Syara’ Liberte,Egalite dan Fraternite
Standar Kebenaran Syara’ (hukum islam) Pendapat Mayoritas

B. Makna dan hakikat demokrasi


Makna Demokrasi
Makna demokrasi yakni sebagai dasar hidup dalam bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Makna ini mempunyai arti bahwa rakyat yang menentukan sebuah keputusan
dan permasalahan yang menghipnotis kehidupannya. Hal ini meliputi kebijakan negara
alasannya yakni intinya kebijakan yang dibentuk pemerintah akan menghipnotis kehidupan
rakyat. Sama halnya dengan sebuah negara yang menganut sistem pemerintahan
demokrasi yakni Negara diselenggarakan berdasarkan kehendak rakyat, dilakukan oleh
rakyat, dan untuk rakyat. Singkatnya tanpa rakyat maka tidak akan ada pemerintah.

Hakikat Demokrasi
Dari pegertian dan makna demokrasi di atas sanggup diterik kesimpulan bahwa hakikat
demokrasi sanggup dikatakan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat.

Pemerintahan dari rakyat mempunyai arti bahwa sebuah sistem pemerintahan yang sah dan
diakui oleh rakyat. Diakui dan sah mempunyai arti bahwa tanggung jawab pemerintahan
diberikan oleh rakyat. Sebaliknya pemerintah yang tidak diakui yakni pemerintah yang tidak
mendapat tunjangan dan persetujuan dari rakyat. Rakyat memegang kendali penuh atas
pemilihan pemerintahan berdasarkan persamaan pandangan dan politik tanpa ada unsur
paksaan.

Pemerintahan oleh rakyat mempunyai pengertian bahwa pemerintah menjalankan


kekuasaannya bukan atas dorongan atau tujuan pribadinya melainkan didasari oleh harapan
rakyat. Segala sesuatu yang dilakukan oleh pemerintah akan dikaji, dinilai dan diawasi oleh
rakyat baik secara pribadi maupun melalui forum rakyat (DPR, MPR). Maka dari itu
pemerintah harus tunduk pada pengawasan rakyat.

Pemerintahan untuk rakyat mempunyai arti bahwa segala kuasa yang dilimpahkan kepada
pemerintah dibentuk untuk kepentingan rakyat. Maka dari itu kepentingan rakyat sudah
seharusnya didahulukan sebelum kepentingan pemerintah. Dalam menciptakan suatu
putusan pemerintah juga harus mempertimbangkan aspirasi rakyat alasannya yakni baik
buruknya putusan yang dibentuk oleh pemerintah juga akan menghipnotis nasib rakyat.

Sumber:

https://id.scribd.com/presentation/451418949/DEMOKRASI-DAN-ISLAM-2
https://id.scribd.com/document/465222980/Makalah-Demokrasi-dalam-pandangan-Islam

https://lincahmatematika.blogspot.com/2020/06/demokrasi-pengertian-makna-dan-hakikat.html?
m=1

Pengertian Demokrasi

Ada banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli tentang demokrasi, di antaranya
seperti yang dikutip  Hamidah1 adalah sebagaimana di bawah ini: Menurut Joseph A.
Schumpeter, demokrasi adalah suatu perencanaan institusional untuk mencapai
keputusan politik  di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan 
cara perjuangan kompetitif  atas suatu rakyat. Sidney Hook dalam Encyclopaedia
Americana mendefinisikan demokrasi sebagai suatu bentuk pemerintahan  di mana
keputusan-keputusan  pemerintah yang penting secara langsung maupun tidak
langsung  didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari
rakyat dewasa2. Menurut Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl, demokrasi adalah
suatu sistem  pemerintahan dimana pemerintah dimintai pertanggungjawaban atas
tindakan-tindakan mereka pada wilayah publik oleh warga negara yang bertindak secara
tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan wakil mereka yang terpilih3.
Dari tiga definisi tersebut di atas jelaslah bagi kita bahwa demokrasi mengandung nilai-
nilai, yaitu adanya unsur keperacayaan yang diberikan oleh pemerintah kepada rakyat,
adanya pertanggungjawaban bagi seorang pemimpin. Sementara menurut
Abdurrahman Wahid, demokrasi mengandung dua nilai, yaitu nilai yang bersifat pokok
dan yang bersifat derivasi. Menurut Abdurrahman Wahid, nilai pokok demokrasi adalah
kebebasan, persamaan, musayawarah dan keadilan. Kebebasan artinya kebebasan
individu di hadapan kekuasaan negara dan adanya keseimbangan antara hak-hak
individu warga negara dan hak kolektif dari masyarakat.4 Nurcholish Majid, seperti yang
dikutip Nasaruddin5 mengatakan, bahwa suatu negara disebut demokratis sejauhmana
negara tersebut menjamin hak asasi manusia (HAM), antara lain: kebebasan
menyatakan pendapat, hak berserikat dan berkumpul. Karena demokrasi
menolak6 dektatorianisme, feodalisme dan otoritarianisme. Dalam negara demokrasi,
hubungan antara penguasa dan rakyat bukanlah hubungan kekuasaan melainkan
berdasarkan hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM).

Demokrasi Dalam Al-Qur’an

Di dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang terkait dengan prinsip-prinsip utama
demokrasi, antara lain QS. Ali Imran: 159 dan al-Syura: 38 (yang berbicara tentang
musyawarah); al-Maidah: 8; al-Syura: 15 (tentang keadilan); al-Hujurat: 13 (tentang
persamaan); al-Nisa’: 58 (tentang amanah); Ali Imran: 104 (tentang kebebasan
mengkritik); al-Nisa’: 59, 83 dan al-Syuro: 38 (tentang kebebasan berpendapat)
dst. 6 Jika dilihat basis empiriknya, menurut Aswab Mahasin7, agama dan demokrasi
memang berbeda. Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari
pergumulan pemikiran manusia. Dengan demikian agama memiliki dialeketikanya
sendiri. Namun begitu menurut Mahasin, tidak ada halangan bagi agama untuk
berdampingan dengan demokrasi. Sebagaimana dijelaskan di depan, bahwa elemen-
elemen pokok demokrasi dalam perspektif Islam meliputi: as-syura, al-musawah,
al-‘adalah, al-amanah, al-masuliyyah dan al-hurriyyah. Kemudian apakah makna
masing-masing dari elemen tersebut? 1. as-Syura Syura merupakan suatu prinsip
tentang cara pengambilan keputusan yang secara eksplisit ditegaskan dalam al-Qur’an.
Misalnya saja disebut dalam QS. As-Syura: 38:
            “Dan urusan mereka diselesaikan secara musyawarah di antara mereka”. Dalam
surat Ali Imran:159 dinyatakan:   “Dan bermusayawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu”. Dalam praktik kehidupan umat Islam, lembaga yang paling dikenal sebagai
pelaksana syura adalah ahl halli wa-l‘aqdi pada zaman khulafaurrasyidin. Lembaga ini
lebih menyerupai tim formatur yang bertugas memilih kepala negara atau
khalifah8 Jelaslah bahwa musyawarah sangat diperlukan sebagai bahan pertimbanagan
dan tanggung jawab bersama di dalam setiap mengeluarkan sebuah keputusan.
Dengan begitu, maka setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah akan menjadi
tanggung jawab bersama. Sikap musyawarah juga merupakan bentuk dari pemberian
penghargaan terhadap orang lain karena pendapat-pendapat yang disampaikan menjadi
pertimbangan bersama. Begitu pentingnya arti musyawarah dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara, sehingga Nabi sendiri juga
menyerahkan musyawarah kepada umatnya.

1. 2.      al-‘Adalah

al-‘adalah adalah keadilan, artinya dalam menegakkan hukum termasuk rekrutmen


dalam berbagai jabatan pemerintahan harus dilakukan secara adil dan bijaksana. Tidak
boleh kolusi dan nepotis. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah
pemerintahan ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain
dalam surat an-Nahl: 90:     “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan
berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang berbuat keji,
kemungkaran dan permusuhan”. (Lihat pula, QS. as-Syura:15; al-Maidah:8; An-Nisa’:58
dst.). Ajaran tentang keharusan mutlak melaksanakan hukum dengan adil tanpa
pandang bulu ini, banyak ditegaskan  dalam al-Qur’an, bahkan disebutkan sekali pun
harus menimpa kedua orang tua sendiri dan karib kerabat. Nabi juga menegaskan, ,
bahwa kehancuran bangsa-bangsa terdahulu ialah karena jika “orang kecil” melanggar
pasti dihukum, sementara bila yang melanggar itu “orang besar” maka dibiarkan
berlalu9. Betapa prinsip keadilan dalam sebuah negara sangat diperlukan, sehingga ada
ungkapan yang “ekstrem”  berbunyi: “Negara yang berkeadilan akan lestari kendati ia
negara kafir, sebaliknya negara yang zalim akan hancur meski ia negara (yang
mengatasnamakan) Islam” 10  
3. al-Musawah al-Musawah adalah kesejajaran, egaliter, artinya tidak ada pihak yang
merasa lebih tinggi dari yang lain sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Penguasa
tidak bisa memaksakan kehendaknya terhadap rakyat, berlaku otoriter dan eksploitatif.
Kesejajaran ini penting dalam suatu pemerintahan demi menghindari dari hegemoni
penguasa atas rakyat. Dalam perspektif  Islam, pemerintah adalah orang atau institusi 
yang diberi wewenang dan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan
adil untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan dan undang-undang yang telah
dibuat. Oleh sebab itu pemerintah memiliki tanggung jawab besar di hadapan rakyat
demikian juga kepada Tuhan. Dengan begitu pemerintah harus amanah, memiliki sikap
dan perilaku yang dapat dipercaya, jujur dan adil. Sebagian ulama’ memahami 11 al-
musawah ini sebagai konsekuensi logis dari prinsip al-syura dan al-‘adalah. Diantara
dalil al-Qur’an yang sering digunakan dalam hal ini adalah surat al-Hujurat:13,
sementara dalil Sunnah-nya cukup banyak antara lain tercakup dalam
khutbah wada’ dan sabda Nabi  kepada keluarga Bani Hasyim. Dalam hal ini Nabi
pernah berpesan kepada keluarga Bani Hasyim sebagaimana sabdanya: “Wahai Bani
Hasyim, jangan sampai orang lain datang kepadaku membawa prestasi amal,
sementara kalian datang hanya membawa pertalian nasab. Kemuliaan kamu di sisi Allah
adalah ditentukan oleh kualitas takwanya”. 4.  al-Amanah             al-Amanah adalah
sikap pemenuhan kepercayaan yang diberikan seseorang kepada orang lain. Oleh
sebab itu kepercayaan atau amanah tersebut harus dijaga dengan baik. Dalam konteks
kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang diberikan kepercayaan oleh rakyat harus
mampu melaksanakan kepercayaan tersebut dengan penuh rasa tanggung jawab.
Persoalan amanah ini terkait dengan sikap adil. Sehingga Allah SWT. menegaskan
dalam surat an-Nisa’: 58:   “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu supaya
menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu)
apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil”.  
Karena jabatan pemerintahan adalah amanah, maka jabatan tersebut tidak bisa diminta,
dan orang yang menerima jabatan seharusnya merasa prihatin bukan malah bersyukur
atas jabatan tersebut. Inilah etika Islam. 5.  al-Masuliyyah al-Masuliyyah adalah
tanggung jawab. Sebagaimana kita ketahui, bahwa kekuasaan dan jabatan itu
adalah amanah yang harus diwaspadai, bukan nikmat yang harus disyukuri, maka rasa
tanggung jawab bagi seorang pemimpin atau penguasa harus dipenuhi.  Dan kekuasaan
sebagai amanah ini memiliki dua pengertian, yaitu amanah yang harus
dipertanggungjawabkan di depan rakyat dan juga amanah yang harus
dipertenggungjawabkan di depan Tuhan. Sebagaimana Sabda Nabi:   Setiap kamu
adalah pemimpin dan setiap pemimpin dimintai pertanggung jawabannya. Seperti yang
diakatakn oleh Ibn Taimiyyah12, bahwa penguasa merupakan wakil Tuhan dalam
mengurus  umat manusia dan sekaligus wakil umat manusia dalam mengatur dirinya.
Dengan dihayatinya prinsip pertanggungjawaban (al-masuliyyah) ini diharapkan masing-
masing orang berusaha untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi masyarakat luas.
Dengan demikian, pemimpin/ penguasa tidak ditempatkan pada posisi sebagai sayyid
al-ummah (penguasa umat), melainkan sebagai khadim al-ummah (pelayan umat). Dus
dengan demikian, kemaslahatan umat wajib senantiasa menjadi pertimbangan dalam
setiap pengambilan keputusan oleh para penguasa, bukan sebaliknya rakyat atau umat
ditinggalkan. 6.  al-Hurriyyah al-Hurriyyah adalah kebebasan, artinya bahwa setiap
orang, setiap warga masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk mengeksperesikan
pendapatnya. Sepanjang hal itu dilakukan dengan cara yang bijak dan
memperhatikan al-akhlaq al-karimah dan dalam rangka al-amr bi-‘l-ma’ruf  wa an-nahy
‘an al-‘munkar, maka  tidak ada alasan bagi penguasa untuk mencegahnya. Bahkan
yang harus diwaspadai adalah adanya kemungkinan tidak adanya lagi pihak yang berani
melakukan kritik dan kontrol sosial bagi tegaknya keadilan. Jika sudah tidak ada lagi
kontrol  dalam suatu masyarakat, maka kezaliman akan semakin merajalela. Patut
disimak sabda Nabi yang berbunyi:   “Barang siapa yang melihat kemunkaran, maka
hendaklah diluruskan dengan tindakan, jika tidak mampu, maka dengan lisan dan jika
tidak mampu maka dengan hati, meski yang terakhir ini termasuk selemah-lemah iman”.
Jika suatu negara konsisten dengan penegakan prinsip-prinsip atau elemen-elemen
demokrasi di atas, maka pemerintahan akan mendapat legitimasi dari rakyat. Dus
dengan demikian maka roda pemerintahan akan berjalan dengan stabil.

Realitas Demokrasi Di Negara Muslim


Watak ajaran Islam sebagaimana banyak dipahami orang adalah inklusif dan
demokratis. Oleh sebab itu doktrin ajaran ini memerlukan aktualisasi dalam kehidupan
kongkret di masyarakat. Pertanyaannya kemudian, bagaimana realitas demokrasi di
dunia Islam dalam sejarahnya? Dalam realitas sejarah Islam memang ada pemerintahan
otoriter yang dibungkus dengan baju Islam seperti pada praktik-praktik yang dilakukan
oleh sebagian penguasa Bani ‘Abbasiyyah dan Umayyah.  Tetapi  itu bukan alasan
untuk melegitimasi  bahwa Islam agama yang tidak demokratis. Karena sebelum itu juga
ada eksperimen demokratisasi dalam sejarah Islam, yaitu pada masa Nabi dan
khulafaurrasyidin.             Adalah merupakan dalil sosial, bahwa dalam setiap
masyarakat terdapat pemimpin dan yang dipimpin, penguasa dan rakyat, serta muncul
stratifikasi sosial yang berbeda. Demikian pula pada zaman  pra-Islam (Jahiliyyah)
muncul kelas sosial yang timpang, yaitu kelas elit-penguasa dan  kelas bawah yang
tertindas. Kelas bawah ini seringkali menjadi ajang penindasan dari kelompok elit. Pada
masa jahiliyah kekuasaan dan konsep kebenaran milik penguasa. Konsentrasi
kekuasaan dan kebenaran di tangan penguasa tersebut mengakibatkan terjadinya
manipulasi nilai untuk memperkuat dan memperkokoh posisi mereka sekaligus
menindas yang lemah. Proses seperti ini berlangsung cukup lama tanpa ada perubahan
yang berarti. Dalam kondisi seperti itu, terdapat dua stratifikasi sosial yang berbeda,
yaitu maysarakat kelas atas (elit) yang hegemonik, baik sosial maupun ekonomi bahkan
kekerasan fisik sekalipun, dan kelas bawah (subordinate) yang tak berdaya.
Demikianlah setting sosial-politik yang terjadi pada masyarakat Arab (Makkah-Madinah) 
pra-Islam. Dan seperti kata Guillaume13, komunitas Yahudilah yang telah mendominasi
kekuasaan politik dan ekonomi saat itu, hingga kemudian nabi Muhammad datang
merombak struktur masyarakat yang korup tersebut. Nabi hadir membawa sistem
kepercayaan alternatif yang egaliter dan membebaskan. Karena ajaran  yang
disampaikan nabi membawa pesan bahwa segala ketundukan dan kepatuhan hanya
diberikan kepada Allah, bukan kepada manusia. Karena kebenaran datang dari Allah,
maka kekuasaan yang sebenarnya juga berada pada kekuasaan-Nya, bukan kepada
raja. Secara empirik kemudian Nabi melakukan gerakan reformasi dengan
mengembalikan kekuasaan dari tangan raja (kelompok elit) kepada kekuasaan Allah
melalui sistem musyawarah. Kehadiran Nabi tersebut membawa angin segar bagi
“masyarakat baru” yang mendambakan sebuah kondisi sosial masyarakat yang adil dan
beradab. Karena apa yang dibawa Nabi sebetulnya sistem ajaran yang menegakkan
nilai-nilai sosial: persamaan hak, persamaan derajat di antara sesama manusia,
kejujuran dan keadilan (akhlaq hasanah). Selain itu, sesuai posisinya sebagai pembawa 
rahmat, Nabi terus berjuang merombak masyarakat pagan-jahiliyah menuju masyarakat
yang beradab, atau dalam bahasa al-Qur’an disebut min-’l-Dhulumat ila-’l-Nur (lihat
QS. Al-Baqarah:257, al-Maidah:15, al-Hadid: 9, al-Thalaq:10-11 dan al-Ahzab:41-43).
Masyarakat Arab sebelum Islam (Jahiliyah) terdiri dari kabilah-kabilah, setiap kabilah
mengembangkan fanatisme (‘ashabiyyat) kabilahnya, sehingga diantara mereka
terjerumus dalam pertentangan, kekecauan politik dan sosial. Diantara mereka tidak
mengenal persamaan, tetapi bersaing dan saling mengunggulkan keleompoknya dan
terjadi diskriminasi. Kondsisi seperti ini kemudian menggugah Nabi Muhammad untuk
merubahnya dan mengarahkan kepada persamaan dan kesetaraan antar mereka.
Sebab persamaan tersebut sejalan dengan kemaslahatan umum yang menjamin hak-
hak istemewa diantara mereka,  sebab prinsip persamaan dalam Islam adalah
pengakuan hak-hak yang sama antara kaum muslimin dan bukan muslim14 Selama
kurang lebih 10 tahun (di Madinah) Nabi telah melakukan reformasi secara gradual
untuk menegakkan Islam, sebagai sebuah agama yang memiliki perhatian besar
terhadap tatanan masyarakat yang ideal. Dan masyarakat yang dibangun Nabi saat itu
adalah masyarakat pluralistik yang terdiri dari berbagai suku, agama dan kepercayaan.
Masyarakat seperti yang dikehendaki dalam rumusan piagam Madinah adalah
masyarakat yang memiliki kesatuan kolektif dan ingin menciptakan masyarakat muslim
yang berperadaban tinggi, baik dalam konteks relasi antar manusia maupun dengan
Tuhan. Sebagai seorang pemimpin, Nabi memiliki kekuatan moral yang tinggi. Kasih
sayang terhadap golongan  yang lemah seperti kaum feminis, para janda dan anak-anak
yatim menunjukkan komitmen moralnya sebagai seoarang pemimpin umat yang plural.
Dalam kesempatan pidato terakhirnya di padang Arafah misalnya,  beliau berpesan
kepada para pengikutnya supaya memperlakukan kaum wanita dengan baik dan
bersikap ramah terhadap mereka. “Surga di bawah telapak kaki ibu”, jawab nabi ketika
salah seorang sahabat bertanya tentang jalan pintas masuk  surga. Kalimat tersebut
diulang sampai tiga kali. Salah satu sifat pemaaf dan toleransi nabi yang luar biasa
adalah tampak pada kasus Hindun, salah seorang musuh Islam yang dengan dendam
kusumatnya tega memakan hati Hamzah, seoarng paman nabi sendiri dan pahlawan
perang yang terhormat. Kala itu orang hampir dapat memastikan bahwa nabi tidak akan
pernah memaafkan seorang Hindun yang keras kepala itu. Ternyata tak diduga-duga
ketika kota Makkah berhasil dikuasai oleh orang Islam dan Hindun yang menjadi
tawanan perang itu pada akhirnya dimaafkan. Melihat sikap nabi yang begitu mulia
tersebut dengan serta merta Hindun sadar dan menyatakan masuk Islam seraya
menyatakan, bahwa Muhammad memang seorang rasul, bukan manusia
biasa.             Tidak hanya itu saja, sikap politik nabi yang sangat sulit untuk ditiru
oleh seorang pemimpin modern adalah, pemberian amnesti kepada semua orang yang
telah berbuat kesalahan besar dan berlaku kasar kepadanya. Tetapi dengan sikap nabi
yang legowo dan lemah lembut itu  justru membuat mereka tertarik dengan Islam,
sebagai agama rahmatan lil-’alamin. Seperti yang dicatat oleh  Akbar S. Ahmed 15
seorang penulis sejarah Islam kenamaan dari Pakistan, bahwa penaklukan Makkah oleh
nabi yang hanya menelan korban  kurang dari 30 jiwa manusia itu merupakan
kemenangan perang yang paling sedikit menelan  korban jiwa di dunia dibanding
dengan kemenangan beberapa revolusi besar lainnya seperti Perancis, Rusia, Cina dan
seterusnya. Hal ini bisa dipahami karena perang dalam perspektif Islam bukan identik
dengan penindasan, pembunuhan dan penjarahan, seperti yang dituduhkan sebagian
kaum orientalis selama ini, melainkan lebih bersifat mempertahankan diri. Oleh sebab itu
secara tegas nabi pernah menyatakan: “Harta rampasan perang tidak lebih baik dari
pada daging bangkai”. Demikian juga larangannya untuk tidak membunuh kaum
perempuan, anak-anak dan mereka yang menyerah kalah. Nilai-nilai islami yang
tercermin dalam figur nabi yang melampaui batas ikatan primordialisme dan
sektarianisme memberikan rasa aman dan terlindung bagi masyarakat yang pluralistik.
Perkawinan nabi dengan seorang istri dari luar rumpun keluarga, kecintaannya terhadap
Bilal, seorang budak kulit hitam yang menjadi muazzin pertama Islam dan pidatonya
pada kesempatan haji wada’ di Arafah yang menentang pertikaian suku dan kasta telah
membuktikan sikap arif dan bijak kepemimpinannya. Pengalaman demokrasi telah
dipraktikkan Nabi dalam memimpin masyarakat Madinah. Dalam hal keteguhan
berpegang kepada aturan hukum misalnya, masyarakat Madinah yang dipimpin Nabi
telah memberi teladan yang sebaik-baiknya. Sejalan dengan perintah Allah kepada
siapa pun agar menunaikan amanah yang diterima dan menjalankan hukum dan tata
aturan manusia dengan tingkat kepastian yang sangat tinggi. Dimana dengan kepastian
hukum tersebut melahirkan rasa aman pada masyarakat, sehingga masing-masing
warga dapat menjalankan tugasnya dengan tenang dan mantap. Karena seperti ungkap
Nurcholis Majid16 kepastian hukum itu pangkal dari paham yang amat teguh, bahwa
semua orang adalah sama (sawasiyyat) dalam kewajiban dan hak dalam mahkamah,
dan keadilan tegak karena hukum dilaksanakan tanpa membedakan siapa terhukum itu,
satu dari yang lain. Kebijakan-kebijakan Nabi dalam memimpin umat di Madinah
tertuang dalam Piagam Madinah, yang mengatur kehidupan bermasyarakat dan
berbangsa. Piagam Madinah menjadi dasar kehidupan bermasyarakat yang mengatur
berbagai persoalan umat, meliputi: persatuan dan persaudaraan, hubungan antar umat
beragama, perdamaian, persamaan, toleransi, kebebasan dst. Prinsip-prinsip tersbut
telah diterapkan Nabi dan berhasil dengan baik, sehingga tercipta suasana kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan berbegara dengan aman dan penuh kedamaian dalam
masyarakat yang majmuk, baik ditinjaua dari aspek, agama, etnis maupun budaya.
Sampai pada masa khulafaurrasyidin, praktik demokrasi itu masih berlangsung dengan
baik, meski ada beberapa kekurangan. Kenyataan ini menunjukkan, bahkwa
demokratisasi pernah terwujud dalam pemerintahan Islam. Memang harus diakui, pasca
Nabi dan khulafaurrasyidin --karena kepentingan  dan untuk melanggengkan status
quo raja-raja Islam-- demokrasi sering dijadikan tumbal. Seperti pengamatan
Mahasin17, bahwa di beberapa bagian negara Arab misalnya, Islam seolah-olah
mengesankan pemerintahan raja-raja yang korup dan otoriter. Tetapi realitas seperti itu
ternyata juga dialami oleh pemeluk agama lain. Gereja Katolik misalnya, bersikap acuh-
takacuh ketika terjadi revolusi Perancis. Karena sikap tersebut, kemudian agama Katolik
disebut sebagai tidak demokratis. Hal yang sama ternyata juga dialami oleh agama
Kristen Protestan, dimana pada awal munculnya, dengan reformasi Martin Luther,
Kristen memihak elit ekonomi, sehingga merugikan posisi kaum tani dan buruh. Tak
mengherankan kalau Kristen pun disebut tidak demokratis. Melihat kenyataan sejarah
yang dialami oleh elit agama-agama di atas, maka tesis Huntington dan Fukuyama yang
mengatakan, “bahwa realitas empirik masyarakat Islam tidak kompatibel dengan
demokrasi” adalah tidak sepenuhnya benar. Bahkan Huntington mengidentikkan
demokrasi dengan The Western Christian Connection 18 Mengikuti perspektif  Akbar
S. Ahmed19, dengan menggunakan paradigama tipologi, maka dalam sejarah Islam
terdapat dua tipe: ideal dan non-ideal. Tipe ideal bersumber dari kitab suci dan
kehidupan Nabi (sirah Nabawiyah, sunnah). Tipe ideal adalah tipe yang paling abadi dan
taat azaz (konsisten). Sejarah Islam (sosial umat Islam) mengandung banyak bukti yang
menunjukkan adanya hubungan dinamis antara masyarakat dengan upaya para ulama’
dan para intelektual Muslim untuk mencapai model ideal. Wawasan dan tipe ideal
tersebut membuka peluang timbulnya dinamika dalam masyarakat Muslim. Ketika dalam
proses pergumulan sejarahnya inilah umat Islam menghadapi tantangan yang berat dan
kerapkali jauh dari wilayah yang ideal tadi. Itulah maka ada term Islam ideal dan Islam
historis. Dengan demikian, betapa sulitnya menegakkan demokrasi, yang  di  dalamnya
menyangkut soal: persamaan hak, pemberian kebebasan bersuara, penegakan
musyawarah, keadilan, amanah dan tanggung jawab. Sulitnya menegakkan praktik
demokratisasi dalam suatu negara oleh penguasa di atas, seiring dengan kompleksitas
problem dan tantangan yang dihadapinya, dan lebih dari itu adalah menyangkut
komitmen dan moralitas sang penguasa itu sendiri. Dengan demikian, memperhatikan
relasi antara agama dan demokrasi dalam sebuah  komunitas sosial menyangkut 
banyak variabel, termasuk variabel  independen non-agama. Sementara itu Bahtiar
Effendy20 menegaskan, bahwa kurangnya pengalaman demokrasi di sebagian besar
negara Islam tidak ada hubungannya dengan dimensi “interior” ajaran Islam. Secara
teologis menurut Effendy, bahwa kegagalan banyak negara Islam untuk
mengembangkan mekanisme politik yang demokratis antara lain karena adanya
pandangan yang legalistik dan formalistik dalam melihat hubungan antara Islam dan
politik. Oleh karenanya menurut Effendy perlu pendekatan substansialistik  terhadap
ajaran Islam  agar dapat mendorong terciptanya sebuah sintesa yang memungkinkan
antara Islam dan demokrasi.

Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa secara normatif doktriner, dalam
ajaran Islam terdapat prinsip-prinsip dan elemen dalam demokrasi, meskipun secara
generik, global. Prinsip dan elemen-elemen demokrasi dalam ajara Islam itu adalah: as-
syura, al-‘adalah, al-amanah, al-masuliyyah dan al-hurriyyah. Realitas demokrasi dalam
sebuah negara pernah diterapkan pada masa Nabi Muhammad dan khulafaurrasyidin.
Tetapi setelah itu,  pada sebagian besar negara-negara Islam tidak mewarisi nilai-nilai
demokrasi tersebut. Realitas ini tidak hanya terjadi pada negara-negara Islam saja,
tetapi juga negara non-Islam (Barat). Inilah problem yang dihadapi oleh banyak negara.
Secara umum nilai-nilai agama memang belum banyak dipraktikkan dalam ikut
memberikan kontribusi pada banyak negara, apalagi negara sekular. Oleh sebab
itu statement Fukuyama maupun Huntington, yang mengatakan bahwa secara empirik
Islam tidak compatible dengan demokrasi tidak sepenuhnya benar. Sebab di negara
non-Muslim pun demokrasi juga tidak sepenuhnya diterapkan.                                

 
PENERAPAN DEMOKRASI DI INDONESIA
terdapat 4 macam sistem demokrasi yang pernah diterapkan dalam kehidupan
ketatanegaraan Indonesia.

DEMOKRASI PARLEMENTER (LIBERAL)

Diberlakukannya UUD 1945 pada periode pertama yaitu tahun 1945-1949, adalah
awal mula dipraktikannya demokrasi ini. Namun, demokrasi parlementer ini tidak
berjalan dengan baik. Kehidupan politik dan pemerintahan pada masa itu tidak stabil,
akibatnya program-program yang dibuat pemerintah tidak bisa dijalankan dengan
baik dan berkesinambungan. Akhirnya demokrasi ini berakhir secara yuridis pada 5
Juli 1959, bersamaan dengan pemberlakuan kembali UUD 1945.

DEMOKRASI TERPIMPIN

Pada tanggal 22 April 1959, Presiden Soekarno memberikan amanat kepada


konstituante tentang pokok-pokok demokrasi terpimpin. Ada 5 pokok demokrasi
terpimpin, di antaranya:

1. Demokrasi terpimpin bukanlah diktator.


2. Demokrasi terpimpin cocok dengan kepribadian dan dasar hidup bangsa Indonesia.
3. Demokrasi terpimpin berarti demokrasi di segala persoalan kenegaraan dan
kemasyarakatan, meliputi politik, sosial, dan ekonomi.
4. Inti daripada pimpinan dalam demokrasi terpimpin adalah permusyawaratan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan.
5. Pada demokrasi terpimpin, oposisi diharuskan dapat melahirkan pendapat yang sehat
dan membangun.

Kalau dilihat dari beberapa poin di atas, demokrasi terpimpin tidaklah bertentangan
dengan Pancasila dan UUD 1945. Akan tetapi, konsep-konsep tersebut tidak
direalisasikan sebagaimana mestinya. Sehingga demokrasi terpimpin seringkali
menyimpang dari nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, dan budaya bangsa.

DEMOKRASI PANCASILA PADA ERA ORDE BARU

Demokrasi pancasila lahir atas berbagai bentuk permasalahan yang dialami bangsa
Indonesia selama berlakunya demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin.
Demokrasi Pancasila itu pangkalnya adalah kekeluargaan dan gotong royong. Kalau
kamu main ke sebuah desa kamu pasti akan melihat semangat kekeluargaan yang
ada pada masyarakat desa, dan itu sudah lama dianut oleh mereka.

Jadi, hal paling penting dalam demokrasi Pancasila adalah nilai-nilai yang
menjunjung tinggi kemanusiaan sesuai dengan martabat dan harkat manusia,
menjamin persatuan dan kesatuan bangsa, mengutamakan musyawarah, rasa
tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa menurut agama dan kepercayaan
masing-masing, dan mewujudkan keadilan sosial.

Akan tetapi, dalam praktiknya, demokrasi Pancasila pada masa Orde Baru ini banyak
menyimpang dari prinsip demokrasi pancasila itu sendiri.

Kelahiran Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar)

Di kemudian hari, Supersemar diketahui memiliki beberapa versi. Gambar ini merupakan Supersemar versi
Presiden.

Orde Baru lahir dari diterbitkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada tahun
1966, yang kemudian menjadi dasar legalitasnya. [3] Orde Baru bertujuan meletakkan kembali
tatanan seluruh kehidupan rakyat, bangsa, dan negara pada kemurnian pelaksanaan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945. [3]
Kelahiran Supersemar terjadi dalam serangkaian peristiwa pada tanggal 11 Maret 1966. Saat
itu, Sidang Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang dipimpin oleh Presiden Soekarno sedang
berlangsung.[6] Di tengah-tengah acara, ajudan presiden melaporkan bahwa di sekitar istana
terdapat pasukan yang tidak dikenal.[3] Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Presiden
Soekarno menyerahkan pimpinan sidang kepada Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II Dr.
Johannes Leimena dan berangkat menuju Istana Bogor, didampingi oleh Waperdam I Dr
Subandrio, dan Waperdam III Chaerul Saleh.[6] Leimena sendiri menyusul presiden segera
setelah sidang berakhir.[6]

Pelanggaran Demokrasi Era Orde Baru

1. Penyelenggaraan pemilu yang tidak jujur dan tidak adil


2. Kurangnya jaminan kebebasan mengemukakan pendapat
3. Pembredelan sejumlah media yang mengkritik pemerintah
4. Kriminalisasi terhadap individu maupun kelompok yang tidak sependapat dengan
pemerintah
5. Maraknya praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme
6. Pengekangan diskusi-diskusi kampus
7. Sistem kepartaian yang berat sebelah dan tidak otonom
8. Penculikan dan penghilangan paksa sejumlah aktivis

DEMOKRASI PANCASILA PADA ERA REFORMASI

Perbedaan demokrasi Pancasila pada era reformasi dengan era orde baru terletak
pada aturan pelaksanaannya. Kalau kita lihat pada peraturan perundang-undangan
dan praktik pelaksanaannya, banyak lho perubahan yang terjadi. Kebanyakan,
perubahannya itu terletak pada perbaikan kebijakan-kebijakan yang dirasa kurang
sejalan dengan konsep demokrasi.

Nah beberapa perubahannya itu seperti:

1. Pemilihan umum yang lebih demokratis


2. Lembaga demokrasi lebih berfungsi
3. Mewujudkan kehidupan yang lebih demokratis. Seperti halnya peraturan-peraturan
yang dijalankan serta hukum.
4. Memaknai demokrasi pancasila sebagai nilai-nilai budaya politik yang memengaruhi
sikap hidup politik pendukungnya
5. Partai-partai politik kini lebih dapat mandiri

Pelaksanaan Demokrasi Masa Revolusi

Tahun 1945-1950 Indonesia masih berjuang mengghadapi belanda yang ingin kembali ke
Indonesia.Pada masa itu penyelenggaraan pemerintah dan demokrasi Indonesia belum berjalan
baik.Hal itu disebabkan masih adanya revolusi fisik. Berdasarkan pada konstitusi Negara , yaitu UUD
1945, Indonesia adalah Negara demokrasi yang berkedaulatan rakyat. Masa pemerintahan tahun
1945- 1950 mengindikasikan keinginan kuat dari para pemimpin Negara untuk membentuk
pemerintahan demokratis.

Untuk menghindari kesan bahwa Negara Indonesia adalah Negara absolute maka dilakukan
serangkaiaan Kebijakan untuk menciptakan pemerintahan demokratis. Kebijakan tersebut adalah
sebagai berikut

a. Maklumat pemerintah No. X tanggal 16 oktober 1945 tentang perubahan fungsi KNIP menjadi
Fungsi parlemen.

b. Maklumat pemerintah tanggal 3 November 1945 Mengenai pembentukan partai politik.

c. Maklumat pemerintah tanggal 14 N0vember 1945 mengenai perubahan cabinet ke cabinet


parlementer. Dengan kebijakan tersebut terjadi perubahan dalam sistem pemerintahan di
Indonesia.Sistem pemerintahan berubah menjadi system pemerintahan parlementer.Cita-cita dan
proses demokrasi masa itu trhambat oleh revolusi fisik menghadapi belanda dan pemberontakan PKI
madiun tahun 1948.

Anda mungkin juga menyukai