Anda di halaman 1dari 21

DEMOKRASI

Disusun Oleh:

Abdul Marif Ependi (0220001906501)

Dosen Pengajar:

Gunawan Wibisono

FAKULTAS EKONOMI BISNIS

UNIVERSITAS TRISAKTI

2019
A. LATAR BELAKANG

Hampir semua negara menyatakan dirinya demokratis. Setiap orang tak


terkecuali senantiasa menyatakan bahwa dirinya demokratis.Semua pihak yang
menyelenggarakan pemerintahan juga menyatakan pihaknya sangat demokratis.
Semua rezim permerintah menyebut demokrasi, padahal dalam praktiknya seringkali
menangkap lawan-lawan politiknya tanpa proses hukum. Istilah demokrasi
nampaknya merupakan pernyataan emosional bagi setiap orang, pemimpin nasional
dan lokal, elit partai, lembaga swadaya masyarakat, organisasi massa dan lain
sebagainya sesuai dengan hasrat dan seleranya. Selanjutnya timbul pertanyaan
kira-kira apa kriteria dan ukuran yang bisa dipergunakan untuk menilai demokrasi
yang berlaku secara obyektif dan tidak berdasarkan pada selera politik tertentu.
Demokrasi masih menjadi sebuah agenda penting sistem politik di seluruh dunia.
Manusia dari berbagai bangsa atau negara, dengan berbagai latar belakang agama,
peradaban, dan sejarah, umumnya mengakui demokrasi sebagai sesuatu yang
harus diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat. Demokrasi diagungkan banyak
orang terutama dalam bidang politik (walaupun saat ini nilai demokrasi mulai
dikembangkan di bidang-bidang lain, termasuk dalam masalah agama). Sistem
politik yang tidak sesuai dengan demokrasi dianggap Sistem politik yang kuno, tidak
sesuai dengan perkembangan zaman dan mustahil bisa membawa kemajuan.
Demokrasi telah dianggap sebagai sebuah norma global dunia di era globalisasi,
dan hampir tidak mungkin menolak demokrasi di zaman sekarang. Demokrasi sudah
menjadi semangat dan anak zaman. Menolak demokrasi sama artinya dengan
menolak zaman. Oleh karena itu, pemahaman akan konsep demokrasi secara
komprehensif, ilmiah dan obyektif menjadi sangat signifikan. Pemahaman tersebut
mencakup mengenai konsep-konsep dasar demokrasi, bentuk demokrasi, dan
implementasi demokrasi di Indonesia. Diharapkan melalui pembahasan dan analisis
yang kritis dan reflektif, akan diperoleh gambaran yang utuh mengenai konsep
demokrasi dan dinamikanya di Indonesia, yang pada gilirannya dapat digunakan
untuk memberikan penilaian dan pemikiran yang kritis mengenai bagaimana
seharusnya sistem demokrasi diterapkan di Indonesiadi masa mendatang.

2
B. HAKIKAT DEMOKRASI

1. Pengertian Konseptual

Ditinjau dari asal-usul katanya, istilah demokrasi berasal dari kata Yunani
"demos" yang berarti rakyat, dan "kratia berarti kewenangan untuk mengatur (ule).
Kata "demokrasi dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita
kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep
demokrasi meniada sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hall ini
menjadi wr sebab demokrasi saat ini disebut sebut sebagai indikator perkembangan
politik suatu negara. Secara sederhana demokrasi dapat didefinisikan sebagai
tekuasaan/kewenangan untuk mengatur masyarakat/rakyat (rule of the people).
Konsep demokrasi setbagai "kedaulatan rakyat" bertumpu pada prinsip bahwa
rakyat secara keseluruhan dipandang sebagai pemegang kedaulatan politik. Rakyat
merupakan sumber utama kekuasaan, kewenangan dan kepentingan, sehingga
kesejahteraan rakyat adalah tujuan utama bagi para penguasa politik/pemerintah
(Bahmuller & J.Patrick, 1999, David Beethan, 2005) Istilah "demokrasi" berasal dari
Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut
biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan
dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan
dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan
dengan perkembangan sistem "demokrasi" di banyak negara.

Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya permbagian kekuasaan


dalam suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica)
dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat Juga harus digunakan untuk
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Dalam demokrasi, kekuasaan politik
dianggap sah bila kekuasaan merupakan aspirasi rakyat. Rakyat mempunyai
kewenangan penuh untuk menyetujui atau menolak berbagai kebijakan yang dibuat
oleh penguasa/pemerintah. Bahkan rakyat juga mempunyai kekuasaan untuk
mengawasi semua tindakan dan kebijakan yang dikeluarka oleh pemerintah dan
lembaga-lembaga politik lainnya. Di sisi lain, konsep demokrasi dalam pengertian
yang paling mendasar adalah bahwa masyarakat mayoritas senantiasa ditunjukan
untuk bersikap dan berperilaku menghargai eksistensi masyarakat minoritas, karena
bagaimanapun mereka adalah bagian dari rakyat secara keseluruhan. Karena itu

3
masyarakat minoritas tidak dapat diperlakukan secara diskriminatif atau tidak adil.
Jadi apabila dalam praktiknya terdapat masyarakat minoritas yang masih
diperlakukan tidak adil, maka negara yang bersangkutan belum memenuhi syarat
sebagai penganut sistem demokrasi. Konsep demokrasi di atas merupakan
formulasi yang ideal, walaupun dalam praktiknya belum ada suatu negara pun di
dunia yang secara politik dapat melaksanakannya secara konkrit. Namun demikian
sekurang-kurangnya, konsep ini dapat digunakan sebagai standar untuk menilai,
apakah suatu negara dapat disebut sebaga negara demokratis atau tidak.

2. Prinsip-Prinsip Demokrasi

Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu


negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara)
atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Salah satu pilar
demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik
negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga
negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar
satu sama lain.

3. Teori dan Bentuk Demokrasi

Secara teoritis, keberadaan demokrasi tidak dapat dipisahkan dengan pilihan


individu. Ini karena demokrasi merupakan bentuk hasil pilihan individu, kelompok,
dan masyarakat atau rakyat secara keseluruhan. Dalam konteks teori demokrasi,
pilihan individu dapat dipandang sebagai landasan dalam berdemokrasi, dan
masyarakat atau rakyat secara keseluruhan dipandang sebagai titik tolak
implementasi sistem demokrasi (Bahmueller & J. Patrick 1999, David Beetham,
2005). Dengan memberikan penekanan pada status individu dan masyarakat atau
rakyat secara keseluruhan, maka sistem demokrasi dapat dikategorikan, sebagai
berikut:

a. Demokrasi Langsung dan Demokrasi Perwakilan. Dalam demokrasi langsung,


warganegara memegang kedaulatannya secara langsung dan biasanya
dilakukan oleh majelis rakyat. Majelis rakyat ini berwenang merancang,
membuat, mengesahkan, dan mengawasi pelaksanaan semua kebijakan
politik yang ditetapkan. Sistem demokrasi ini hanya mungkin diterapkan
dalam sebuah negara yang jumlah penduduk dan wilayahnya relatif kecil.

4
Sedangkan dalam sistem demokrasi perwakilan, setiap warganegara
diberikan hak untuk memilih seorang wakil yang akan duduk dalam suatu
pemerintahan. Sistem demokrasi perwakilan banyak diterapkan di negara-
negara yang mayoritas berpenduduk relatif besar dan heterogen.

b. Demokrasi Konsosiasional, yaitu sistem demokrasi, di mana hukum tidak


dapat disahkan tanpa mendapat persetujuan dan kesepakatan baik oleh
mayoritas mutlak maupun oleh badan legislatif yang mewakili kepentingan
kelompok masyarakat. Dalam sistem demokrasi konsosiasional, semua
aturan atau produk hukum harus mendapatkan pengesahan oleh sebuah
lembaga yang dianggap mewakili masyarakat. Bahkan dalam praktiknya,
produk hukum yang akan diterapkan harus melalui judicial review oleh
sebuah lembaga independen atau lembaga yang mewakili kepentingan
publik. Di Indonesia, lembaga tersebut adalah Mahkamah Konstitusi. Produk
hukum yang telah disahkan harus dipatuhi oleh seluruh rakyat di negara yang
bersangkutan tanpa membeda-bedakan kelompok atau pun golongannya.

c. Demokrasi Kompetitif, yaitu demokrasi di mana proses keputusan masalah


politik dirancang untuk mengakomodasi setiap aspirasi polítik, yang di
dalamnya mencerminkan kepentingan dan tujuan yang beragam. Dalam
demokrasi kompetitif, kepentingan dan tujuan yang beragam dari berbagai
kelompok atau golongan masyarakat diuji melalui referendum atau voting oleh
sebuah lembaga yang independen, dan biasanya menghasilkan siapa yang
menang dan siapa yang kalah. Keputusan politik yang mendapat dukungan
terbanyak biasanya dianggap yang terbaik untuk diimplementasikan.

d. Demokrasi Konsensus, yaitu demokrasi yang dalam proses pengambilan


keputusan politik, biasanya dirancang untuk mencapai harmoni atau
keselarasan dari berbagai kepentingan dan tujuan yang beragam kedalam
persetujuan yang dapat diterima oleh seluruh warganegara. Demokrasi ini
lebih menekankan pada toleransi dan kebersamaan, sehingga setiap konflik
yang muncul selalu dapat diminimalkan melal musyawarah atau lobi-lobi
politik.

e. Demokrasi Sentralisasi, yaitu demokrasi di mana peran pemerintah pusat


sangat dominan dalam mengendalikan semua kepentingan/aspirasi

5
rakyatnya. Rakyat harus tunduk dan terhadap semua keputusan pemerintah,
meskipun seringkali kebijakan itu merugikan/mengorbankan kepentingan
rakyat. Hubungan pemerintah dengan rakyatnya relatif jauh, karena peran
pemerintah yang menonjol dan cenderung otoriter.

f. Demokrasi Desentralisasi, yaitu demokrasi yang antara pemerintah pusat dan


pemerintah daerah memiliki peran dan kedudukan yang hampir sama. Semua
kewenangan pemerintah pusat diserahkan kepada pemerintah daerah untuk
mengelola dan mengurusnya. Biasanya hanya bidang-bidang tertentu yang
dikuasai oleh pusat, misalnya sistem moneter, hubungan luar negeri,
pertahanan keamanan dan lain sebagainya.

C. PERKEMBANGAN PRAKTIK DEMOKRASI

Dalam perkembangan sekarang, sistem demokrasi tidak bisa kita identifikasi


sebagai sebuah sistem politik belaka. Demokrasi tidak hanya dapat diidentifikasi
dengan kebebasan berpolitik. Di masa depan demokrasi harus mampu masuk ke
dalam semua bidang, misalnya ekonomi, sosial, dan budaya. Walaupun Barat
berusaha memaksakan warna demokrasi pada bangsa-bangsa lain, tampaknya
demokrasi liberal tidak bisa diterima secara utuh oleh setiap bangsa. Seperti yang
dikemukakan oleh Presiden RI, Soeharto; "Demokrasi bisa diperjuangkan tanpa
perlu mengikuti bentuk yang diperagakan di Barat dan lebih mencerminkan nilai-nilai
setempat. Yang terpenting adalah bahwa setiap anggota masyarakat berhak
berpartisipasi dan memiliki keterlibatan bebas dalam proses pengambilan kebijakan
yang menyangkut dirinya. Karena itu landasan umumnya tetap keharusan
mempraktekkan pemilikan umum yang bebas dan adil untuk menyeleksi pemimpin-
pemimpin politik "

Sementara itu, Chan Heng Chee, Direktur Institute of Southeast Asian


Studies, mengemukakan hasil pengamatannya terhadap "demokrasi Asia". Yakni
suatu bentuk demokrasi yang merupakanbentuk akomodasi demokrasi dengan nilai-
nilai tradisional Asia. Ia mengatakan bahwa demokrasi khas Asia ini memiliki empat
karakteristik, yaitu:

1. Adanya rasa komunitarian yang memberikan tekanan besar kepada kebaikan


bersama,

6
2. Adanya penerimaan yang luas dan penghargaan kepada otoritas dan hirarki,

3. Adanya suatu partai dominan yang harus berkuasa selama dua atau tiga
dekade lebih,

4. Adanya birokrasi yang tersentralisasi dan negara yang kuat.

Empat ciri yang dikemukakan ini semuanya berbeda dengan ciri demokrasi
liberal. Nuansa komunitarian jelas berbeda dengan warna kebebasan individu.
Karena hal itu pula masyarakat Asia tidak alergi terhadap adanya partai dominan
dalam jangka waktu yang lama Dirokrasi yang tersentralisasi dan negara yang kuat
(dominan). Semua hal ini tidak dipandang membahayakan di Asia. Sedangkan pada
masyarakat Barat, semua hal ini dipandang harus ditiadakan karena akan
mengancam kepentingan individu. Masyarakat Barat memandang kepentingan
masyarakat akan terwujud dengar terwujudnya kepentingan individu. Dengan
demikian kepentingan individulah yang harus dijamin terealisasi.

Demokrasi harus mampu menjawab mengenai pemenuhan kebutuhan


manusia, yang berupa pekerjaan, penghidupan yang layak jaminan sosial, dan
jaminan keamanan dari tindak kekerasan Demokrasi harus mampu menjawab pula
bagaimana agar menanggulangi kapitalisme yang jahat, dengan mensejahterakan
masyarakat. Demokrasi harus mampu menjawab metode penyeimbangan antara
kelompok kaya dan masyarakat miskin. Demokrasi harus mampu pula menjawab
bagaimana memajukan ilmu pengetahuan, dan mencerdaskan manusia lewat
pendidikan. Dan tentu masih sangat banyak pertanyaan yang harus bisa dijawab
oleh demokrasi.

Menurut Robert A. Dahl (1985), sebagai ajaran universal, demokrasi paling


tidak ditunjukkan oleh lima nilai utama. Pertama, adanya hak yang sama dan tidak
diperdebatkan antara rakyat yang satu dengan rakyat yang lainnya. Hak tersebut
diatur dalam suatu undang-undang dan peraturan-peraturan yang dapat
dipertanggungjawabkan dan diterima semua pihak (legitimate). Kedua, partisipasi
efektif yang menunjukkan adanya proses dan kesempatan yang sama bagi rakyat
untuk mengekspresikan prefensinya dalam pengambilan keputusan. Untuk itu, harus
ada ruang yang memperkenalkan publik untuk mengekspresikan aspirasinya.

7
D. INDIKATOR PELAKSANAAN SISTEM DEMOKRASI

Dalam tataran politik, demokrasi dapat diukur denganmenggunakan dua


dimensi, yaitu (1) seberapa tinggi tingkat konstelasi kompetisi, atau oposisi yang
dimungkinkan, dan (2) seberapa banyakwarga negara memperoleh kesempatan
berpartisipasi dalam kompetisi politik itu. Bertolak dari gagasan ini, demokrasi
didefinisikan sebagai suatu sistem pemerintahan yang memenuhi tiga syarat pokok:

Pertama, kompetisi yang sungguh-sungguh dan meluas di antara individu-


individu dan kelompok-kelompok organisasi (terutama partai politik) untuk
memperebutkan jabatan-jabatan dalam pemerintahan.

Kedua, partisipasi politik yang melibatkan sebanyak mungkin warga negara


dalam pemilihan pemimpin atau kebijakan, paling tidak melalui Pemilu yang
diselenggarakan secara regular dan adil.

Ketiga, setiap warga negara dewasa memiliki kebebasan berbicara,


kebebasan pers, kebebasan untuk membentuk dan bergabung ke dalam organisasi
yang cukup menjamin integritas kompetisi dan partisipasi politik. Sistem demokrasi
mencerminkan mekanisme politik yang dianggap bisa menjamin adanya pemerintah
yang tanggap terhadap preferensi dan keinginan warga negaranya. Untuk itu, rakyat
harus diberi kesempatan untuk merumuskan preferensinya atau kepentingannya
sendiri, memberitahukan preferensinya kepada warga negara dan kepada
pemerintah melalui tindakan individual maupun kolektif, dan mengusahakan agar
kepentingan itu dipertimbangkan secara setara dalam proses pembuatan keputusan
pemerintah. Kesempatan (bagi rakyat) hanya mungkin tersedia kalau lembaga-
lembaga dalam masyarakat menjamin adanya delapan kondisi, yaitu:

1) Kebebasan untuk membentuk dan bergabung dalam organisasi,

2) Kebebasan mengungkapkan pendapat;

3) Hak untuk memilih dalam pemilihan umum;

4) Hak untuk menduduki jabatan politik;

5) Hak para pemimpin untuk bersaing memperoleh dukungan suara;

6) Tersedianya sumber-sumber informasi alternatif;

8
7) Terselenggaranya pemilihan umum yang bebas dan jujur,

8) Adanya lembaga-lembaga yang menjamin agar kebijakan publik

Menurut paradigma definisi sosial realitas sosial bergantung pada definisi


situasi yang bersifat subyektif yang dirumuskan olelh individu, atau realitas sosial itu
pada dasarnya juga dibangun secara sosial (socially constructed). Pada tataran
masyarakat, demokrasi adalah "sistem pengambilan keputusan" di dalam
masyarakat yang mengacu pada:

1) Tersedianya banyak pilihan;

2) Dilindunginya kebebasan memilih pilihan-pilihan;

3) Dihargainya perbedaan-perbedaan pendapat dan pilihan;

4) Dilaksanakannya asas satu orang satu suara (one man one vote dan
dihargainya kesepakatan bersama).

Dari apa yang disampaikan oleh beberapa pakar ilmu politi tentang
demokrasi, pada intinya terdapat dua macam pemahaman demokrasi. Pertama,
pemahaman normatif yakni apa yang termu dalam konstitusi; dan kedua,
pemahaman secara empiris yakni realist politik suatu negara. Affan Gaffar (2000)
memberikan kesimpulan dibeberapa pemikiran tentang political order yang
merupakan sistem yang demokrasi atau tidak yakni sebagai berikut:

1) Akuntabilitas dalam demokrasi. Setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh


rakyat harus dapat mempertanggungjawabka kebijaksanaan yang hendak
dan telah ditempuhnya. Selain harus dapat mempertanggungjawabkan
ucapan atau kata katanya, dan perilaku dalam kehidupan yang pernah,
sedang bahkan akan dijalaninya. Pertanggungjawaban tersebut tidak hanya
menyangkut dirinya, tetapi juga menyangkut keluarganya dalam arti luas

2) Rotasi Kekuasaan. Dalam demokrasi, peluang akan terjadinya peralihan


kekuasaan harus ada, dan dilakukan secara teratur dan damai. Artinya, tidak
hanya satu orang yang selalu memegang jabatan, sedangkan peluang orang
lain tertutup sama sekali. Biasanya, partai-partai politik yang menang pada
suatu pemilu akan diberi kesempatan untuk membentuk eksekutif yang
mengendalikan pemerintahan sampai pada pemilihan berikutnya. Dalam

9
suatu negara yang tingkat demokrasinya masih rendah, peralihan
kekuasaannya biasanya rendah pula. Bahkan, peluang untuk itu sangat
terbatas, kalaupun ada, hal itu hanya akan dilakukan dalam lingkungan yang
terbatas di kalangan elit politik.

3) Rekruitmen politik secara terbuka. Untuk memungkinkan terjadinya peralihan


kekuasaan, diperlukan suatu sistem rekruitmen politik yang terbuka, artinya
setiap orang yang memenuhi syarat untuk mengisi suatu jabatan politik yang
dipilih oleh rakyat mempunyai peluang yang sama dalam melakukan
kompetisi untuk mengisi jabatan tersebut. Dalam negara yang tidak
demokratis, rekruitmen politik biasanya dilakukan secara tertutup, artinya
peluang untuk mengisi jabatan politik hanya dimiliki oleh beberapa orang.

4) Pemilihan umum. Dalam suatu negara demokrasi, Pemilu dilaksanakan


secara teratur. Setiap warga negara yang sudah dewasa mempunyai hak
untuk memilih dan dipilih dan bebas menggunakan haknya tersebut sesuai
dengan kehendak hati nuraninya. Dia bebas untuk menentukan partai atau
calon mana yang akan didukungnya, tanpa ada rasa takut atau paksaan dari
orang lain. Pemilih juga bebas mengikuti segala kampanye dan menyaksikan
perhitungan suara.

5) Menjunjung tinggi hak asasi manusia. Dasar suatu negara yang demokratis,
setiap warga masyarakat dapat menjunjung tinggi hak-hak dasar mereka
secara bebas, termasuk di dalamnya adalah hak untuk menyatakan pendapat
(freedom of expression) dan hak untuk berkumpul dan berserikat (freedom of
assembly), dan hak untuk menikmati pers yang bebas (freedom of the press).

Beberapa kriteria bagi proses demokrasi, sebagai berikut:

1) Hak suara yang merata. Kaidah untuk memutuskan setiap kebijakan negara
yang strategis, harus mempertimbangkan dan memperhitungkan secara adil
aspirasi warganegara.

2) Partisipasi aktif seluruh warganegara. Sepanjang proses pembuatan


keputusan-keputusan kolektif yang mengikat seluruh warga negara, maka
masing-masing warga negara harus memiliki peluang yang sama untuk
menyatakan suatu pendapat (preferensi) terhadap hasil akhir kebijakan yang

10
akan ditetapkan. Warganegara harus berpartisipasi aktif dalam proses
pengaturardan pengelolaan negara, sehingga kebaikan ataupun keburukan
kebijakan negara menjadi tanggungjawab seluruh warganegara.

3) Pemahaman yang memadai dalam memperoleh akses informasi Untuk


membuat kebijakan tepat, masing-masing warganegara harus mempunyai
peluang yang sama. Setiap warganegara harus memperoleh informasi yang
memadai tentang kebijakan yakni akan diambil oleh pemerintah, sehingga
masyarakat dapat memberikan masukan atau kritikan terhadap keputusan
atau kebijakan yang akan ditetapkan. Pemerintah harus memberikan waktu
yang cukup dalam mensosialisasikan kebijakan atau peraturan yang hendak
ditetapkan.

4) Keputusan akhir terhadap setiap kebijakan negara berada di tangan


masyarakat (rakyat). Dalam hal ini masyarakat mempunyai peluang yang
menentukan (eksklusif), terutama dalam membuat proses pembuatan
keputusan/peraturan negara. Warganegara berhak menyetujui atau bahkan
menolak terhadap setiap keputusan/peraturan yang dibuat oleh pemerintah.
Dengan demikian kedaulatan sepenuhnya di tangan warganegara atau
rakyat.

5) Akomodatif dan tidak diskriminatif. Pemerintah harus memasukkan semua


warganegara yang telah dewasa (cukup umur) untuk ikut serta dalam proses
penyelenggaraan negara. Sedangkan khusus untuk warganegara yang cacat,
minoritas atau marjinal harus diberikan perlindungan yang optimal oleh
negara. Mereka harus memperoleh hak kesejahteraan yang memadai dari
pemerintah/negara.

Kelima kriteria tersebut menspesifikasikan sepenuhnya prosesdemokrasi, dan


sekaligus menspesifikasikan pula persamaan politik. Hal ini karena setiap
warganegara mempunyai hak politik yang sama sebagaimana ditentukan dalam
kriteria tersebut di atas. Sepanjang kriteria itu dipenuhi oleh negara, maka sistem
demokrasi dapat dikatakan berjalan efektif. Sebaliknya, bila salah satu kriteria itu
tidak dapat dijalankan secara baik, maka sulit bagi negara yang bersangkutan untuk
dianggap sebagai negara demokrasi.

11
PENYELENGGARAAN PEMILU SEBAGAI PRAKTEK DEMOKRASI

Pemilihan Umum (Pemilu) adalah suatu proses di mana para pemilih memilih
orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan yang
diisi beraneka-ragam, mulai dari Presiden, wakil rakyat di pelbagai tingkat
pemerintahan, sampai kepala desa. Pada konteks yang lebih luas, Pemilu dapat
juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan seperti ketua kelas, ketuasenat
mahasiswa walaupun untuk ini kata 'pemilihan' lebih sering digunakan. Untuk
pemilihan kepala daerah, seperti gubernur, bupati, dan walikota, dinamakan pilkada.

Para pemilih dalan Pemilu juga disebut konstituen, dan kepada merekalah
para kandidat Pemilu menawarkan visi program- programnya pada masa kampanye.
Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang hari
pemungutan suara. Setelah pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan
dimulai. Pemenang Pemilu ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan
pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan
disosialisasikan ke para pemilih. Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam
sistem pemilihan umum dengan berbagai variasinya, akan tetapi umumnya berkisar
pada dua prinsip pokok. Pertama, single member constituenty (satu daerah
pemilihan memilih satu wakil dan biasanya disebut sistem distrik). Kedua, muti
member constituenty (satu daerah pernilihan memilih beberapa wakil dan biasanya
dinamakan sistem perwakilan berimbang atau sistem proporsional) (Surbakti, 1999;
Trubus Rahardiansah, 2007).

1. Sistem distrik

Dalam sistem distrik satu wilayah kecil memilih satu wakil tunggal atas dasar
pluralitas. Dalam sistem proporsional, satu wilayah besar memilih beberapa wakil
yang jumlahnya ditentukan atas dasar suatu perimbangan, misalnya satu wakil untuk
400.000 penduduk. Sistem distrik merupakan sistem pemilihan yang paling tua dan
didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis mempunyai satu
wakil dalam parlemen. Untuk keperluan itu negara dibagi dalam sejumlah besar
distrik pemilihan yang kira-kira sama jumlah penduduknya. Karena satu distrik hanya
berhak atas satu wakil, maka calon yang memperoleh suara pluralitas (suara
terbanyak) dalam distriknya menang. Hal ini dinamakan the first past the post.
Dalam sistem proporsional, suatu kesatuan administratif ditentukan sebagai daerah

12
pemilihan. Jumlah suara yang diperoleh oleh setiap partai dari masyarakat
menentukan jumlah kursinya di parlemen, artinya prosentase perolehan suara setiap
partai samadengan prosentase perolehan kursi dalam parlemen. Sistem distrik
mempunyai beberapa keuntungan, antara lain sebagai berikut:

1) Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat dikenal oleh penduduk
distrik, sehingga hubungannya dengan penduduk distrik lebih erat. Dengan
demikian dia akan lebih condong untuk memperjuangkan kepentingan distrik.
Lagi pula kedudukannyaterhadap partainya akan lebih independen oleh
karena dalam pemilihan semacam ini faktor kepribadian seseorang
merupakan faktor yang penting.

2) Sistem ini lebih mendorong ke arah integrasi partai-partai politik karena kursi
yang diperebutkan dalan setiap distrik permilihan hanya atu Hal ini akan
mendorong partai-partai untuk mengesampingkan ;erbedaan-perbedaan yang
ada dan mengadakan kerjasama, sekurang-kurangnya menjelang pemilihan
umum melalui stembus accord (penggabungan jumlah suara)

3) Ada kemungkinan seorang wakil yang terpilih cenderung untuk lebih


memperhatikan kepentingan distrik serta warga distriknya daripada
kepentingan nasional.

4) Pada umumnya dianggap bahwa sistem distrik kurang efektif untuk negara
yang masyarakatnya bersifat heterogen/majemuk karena terbagi dalam
kelompok etnis, agama, dan ideoloi Sebagai akibatnya, menimbulkan
anggapan bahwa suatu kebudayaan nasional yang terpadu secara ideologis
dan etnis mungkin merupakan prasyarat bagi suksesnya sistem ini.

2. Sistem Proporsional

Sistem ini dimaksudkan untuk menghilangkan beberapa kelemahan dari


sistem distrik. Gagasan pokoknya, bahwa jumlah kursi yang diperoleh oleh suatu
golongan atau partai adalah sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya dari
masyarakat. Negara dianggapse bagai satu daerah pemilihan yang besar akan
tetapi untuk keperluan teknis administratif dibagi dalam beberapa daerah pemilihan
yang besar, di mana setiap daerah pemilihan memilih sejumlah wakil sesuai dengan

13
banyaknya penduduk dalam daerah pemilihan. Sistem proporsional mempunyai
beberapa keuntungan, antara lainsebagai berikut:

1) Sistem proporsional dianggap lebih demokratis dalam arti lebih egalitarian


karena asas one man one vote dilaksanakan secara penuh, sehingga praktis
tanpa ada suara yang hilang Sebagai akibatnya, semua golongan dalam
masyarakat, termasuk yang minoritas, mempunyai peluang untuk
menampilkan wakilnya dalam parlemen. Dengan demikian, hal ini memenuhi
rasa adil (sense of justice). Sistem ini dianggap representatif, karena jumlah
kursi partai dalam parlemen sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya
dari masyarakat dalam pemilu. Tidak ada distorsi jumlah suara yang masuk
dengan jumlah pemilih yang terdaftar. Sebagaimana dalam sistem distrik,
dalam sistem proporsional selain terdapat segi-segi positif atau keuntungan
diatas, dalam praktiknya dijumpai sejumlah kelemahan, yaitu:

 Kelemahan yang paling besar adalah bahwa sistem ini mempermudah


fragmentasi/perpecahan partai. Jika timbul konflik dalam suatu partai,
anggotanya cenderung memisahkan diri dan mendirikan partai baru.
Biasanya dengan memperhitungkan bahwa terdapat peluang besar bagi
partai baru itu untuk memperoleh beberapa kursi dalam parlemen melalui
pemilu. Jadi dianggap kurang menggalang kekompakkan dalam tubuh
partai.

2) Sistem ini kurang mendorong partai-partai untuk berintegrasi atau kerjasama


satu sama lain dan mencarikan serta memanfaatkan persamaan-persamaan
yang ada, tetapi sebaliknya cenderung mempertajam perbedaan-perbedaan.
Umumnya dianggap sistem ini mempunyai akibat munculnya banyak jumlah
partai. Sistem proporsional memberikan kedudukan yang kuat pada pimpinan
partai melalui sistem daftar, karena pimpinan partaimenentukan calon daftar.

3) Wakil yang terpilih kemungkinan renggang ikatannya dengan warga


masyarakat yang telah memilihnya. Pertama, karena Wilayahnya lebilh besar
sehingga sukar untuk dikenal banyak orang. Kedua, karena dalam pemilihan
semacam ini peran parta lebih menonjol ketimbang kepribadian seseorang,
sehingoa seorang wakil alkan lebih terdorong untuk memperhatikan

14
kepentingan partai serta masalah-masalah umum atau nasionalketimbang
kepentingan distrik serta warganya.

4) Karena banyaknya partai yang bersaing, maka sulit bagi satu partai untuk
meraih mayoritas dalam parlemen. Padahal partai mayoritas sangat
diperlukan untuk membentuk permerintah. Satu keuntungan dari sistem
proporsional seperti yang diterapkan di Indonesia ialah bahwa rasa adil
masyarakat terpenuhi karena semua orsospol termasuk yang kecil, dapat
menghadirkan wakilnya di DPR.

Hal ini merupakan hasil dari cara menghitung suara berdasarkan sistem
proporsional. Lagi pula, suasana politik relatif kompetitif, sehingga setiap parpol
berpeluang untuk meningkatkan jumlah kursinya dalam setiap pemilu. Dengan
demikian, sistem ini dianggap representatif dalam arti bahwa setiap parpol,
berdasarkan cara menghitung suara dengan sistem propoional, mempunyai jumlah
wakil di DPR yang sesuai dengan persentase suara yang diperolehnya dari
masyarakat secara nasional.

F. PELAKSANAAN DEMOKRASI DI INDONESIA

Secara garis besar demokrasi yang pernah berkembang di Indonesia, dapat


dibedakan sebagai berikut :

1. Implementasi Awal Demokrasi di Indonesia (1949-1959)

Eksperimentasi demokrasi yang menonjol sejak Republik Indonesia


memproklamasikan kernerdekaannya, tanggal 17 Agustus 1945,adalah sistem
demokrasi liberal atau sistem parlernenter. Sistern inisebenarnya tidak kita temukan
dalam UUD 1945. Dalam UUD 1945hanva mengenal sistem presidensial. Lalu,
mengapa demokrasi liberal atau sistem parlementer muncul dalam ketatanegaraan
kita? Jalan bagi terbentuknya pemerintahan parlementer terbuka sejak
dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No.X tahun 1945. Maklumat tersebut di
antaranya memuat keputusan tentang Tugas Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP) menjadi badan legislatif yang bertugas menetapkan Garis-garis Besar
Haluan Negara sebelum terbentuk DPR/MPR. Selain adanya perubahan tugas KNIP
yang sernula hanya sebagai pembantu presiden, juga terjadi perubahan lain yakni
perubahan sistem kabinet presidensiil ke parlementer, melalui keluarnya Maklumat

15
14 November 1945, setelah mendengar usul Badan Pekerja Komite Nasional
Indonesia Pusat (BP-KNIP). Dengan demikian, sistem presidensial hanya
berlangsung selama tiga bulan hingga akhirnya terbentuk kabinet parlementer
dengan Sjahrir sebagai Perdana Menteri, tanpa harus dilakukan perubahan UUD
1945 (Budihardjo 2008). Jalan kearah terbentuknya kabinet parlementer dipengaruhi
olehbeberapa hal, antara lain sebagai berikut:

Pertama, ketidaksetujuan beberapa tokoh pergerakan terhadap usul perlunya


memberntuk partai tunggal, dengan nama Partai Nasional Indonesia. Ide ini
menimbulkan banyak pertentangan karena kekhawatiran timbulnya fasisme dan
totalitarianisme. Sebaliknya kehadiran partai-partai politik dipandang tepat untuk
membangum bangsa Indonesia yang baru merdeka. Sebagai tindak lanjutnya,
dalam bulan November 194 dikeluarkan Maklumat Wakil Presiden No. X, 3
November 1945 yang membuka pintu seluas-luasnya bagi partai-partai politik,
Maklumat yang dikeluarkan setelah mempertimbangkan usul Badan Pekeria Komite
Nasional Indonesia Pusat menetapkan tiga hal. Pertama, pembentukan partai
tunggal bertentangan dengan asas demokrasi Kedua, dianjurkan pembentukan
partai-partai politik untuk mudah dapat mengukur kekuatan perjuangan. Ketiga,
pembentukan partai dan organisasi politik memudahkan permerintah untuk minta
tanggung jawab kepada pemimpin-pemimpin barisan perjuangan. Inilah yang
mendasari pembentukan partai-partai politik yang mewakili berbagai corak dan aliran
yang hidup dalam masyarakat. Kedua, perubahan ke sistem parlementer yang
liberal semula didorong oleh kelompok muda revolusioner yang merasa kurang
setuju dengan kekuasaan negara di bawah pimpinan Presiden Sukarno. Ketiga,
untuk memberi kesan kepada dunia internasional bahwa negara Indonesia adalah
negara demokrasi, bukan negara boneka yang diberi oleh permerintah Jepang.
Sistem parlementer yang sepintas kelihatan seperti tindakan taktis atau ad hoc
ternyata berlangsung terus hingga masa pasca revolusi, lama setelah Indonesia
memperoleh pengakuan internasional sebagai negara merdeka dan berdaulat.
Berlangsungnya sistem demokrasi parlementer selama lebih dari satu dasawarsa
tersebut juga meniliki implikasi yang sangat luas, terutama perjalanan demokrasi
Indonesia berikutnya. Sejak awal kemerdekaan, dalam sidang-sidang Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) para tokoh kemerdekaan sudah mulai
membicarakan mengenai perlunya asas perwakilan politik melalui partai-partai dan

16
golongan-golongan politik. Dalam sidang-sidang PPKI Sementara 1950 sekaligus
menetapkan berlakunya sistem parlementer. Beberapa faktor internal yang
berpengaruh terhadap kelangsungan demokrasi liberal (Budihardjo, 2008), adalah:

Pertama, ketidakstabilan politik yang dipacu oleh pertentangan internal partai


politik. Selain karena pemilu 1955 yang tidak menghasilkan mayoritas diparlemen.
Akibatnya pemerintahan koalisi yang terbentuk tidak berjalan lancar dan mantap.
Kabinet-kabinet yang terbentuk umumnya tidak berusia lama, yakni rata-rata
mencapai delapan bulan. Setidaknya terdapat delapan kali kabinet yang memerintah
antara tahun 1945 dan 1959.

Kedua, kegiatan partisipasi politik di masa ini berjalan dengan semarak,


terutama melalui saluran partai politik yang mengakomodasikan berbagai ideologi
dan nilai-nilai promordialisme yang tumbuh di tengah masyarakat. Kompetisi antar
kekuatan dan kepentingan politik mengalami masa keleluasaan, yang ditandai oleh
tarik-menarik antar partai di dalam lingkaran kekuasaan dengan kekuatan politik di
luar lingkaran kekuasaan.

Ketiga, dalam masa demokrasi parlementer dicirikan oleh distribusi


kekuasaan yang khas. Dalam demokrasi parlementer menempatkan Presiden
Soekarno dan militer pada posisi yang kurang menguntungkan terhadap pembagian
peran politik. Presiden Soekarno ditempatkan sebagai pemilik kekuasaan simbolik
dan seremonial, sermentara kekuasaan pemerintahan yang riil dimiliki oleh perdana
menteri, kabinet, dan parlemen. Dalam hal ini partai politik memainkan peranan
sentral dalam kehidupan politik dan proses pemerintahan. Kondisi ini telah
mendorong kekecewaan Presiden Soekarno sehingga berinisiatif untuk menghapus
partai-partai politik dan memperkenalkan sistem demokrasi terpimpin.

Keempat, hasil pemilihan umum yang dilaksanakan tahun 1955 belum


mampu menciptakan stabilitas. Ini karena masa 1945-1959 ditandai oleh
tersentralisasinya kekuasaan pada tangan elit-elit partai dan masyarakat berada
dalam keadaan terasingkan dari proses politik. Hal ini kemudahan menimbulkan
masalah krusial yang tidak lebih gawat, yakni terjadinya kekecewaan pemerintah
daerah terhadap pemerintah pusat. Kekecewaan itu kemudian melahirkan sejumlah
pemberontakan seperti PRRI/Permesta pada tahun 1956

17
2. Implementasi Demokrasi Terpimpin (1959-1965) Masa Demokrasi Terpimpin
mencakup tahun 1959 1965, yaitu seiak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959,
dan dimulainya kabinet pimpinan Ir. Juanda pada 9 April 1957. Era ini disebut
sebagai Demokrasi Terpimpin, dan dipandang sebagai upaya untuk mencari ialan
keluar dari kemacetan politik melalui pembentukan kepemimpinan nasional yang
kuat. Tidak dapat dipungkiri bahwa kestabilan politik merupakan hal yang sangat
penting dalam pengelolaan sistem politik. Hal ini lah vang tidak terjadi dalam sistem
demokrasi parlementer terbukti dari kegagalan partai-partai politik dalam
menciptakan kestabilan politik dan pemerintahan, sehingga mengharuskan Presiden
Soekarno untuk mengambil inisiatif perlunya penciutan jumlah parpol dengan kendali
pemerintah yang kuat. Persepsi Demokrasi Terpimpin sebagaimana dikemukakan
oleh Presiden Soekarno terdiri atas beberapa pokok, yaitu:

Pertama, ada rasa tidak puas terhadap hasil-hasil yang dicapai sejak tahun
1945 karena belum mendekati cita-cita dan tujuan proklamasi, seperti masalah
kemakmuran dan pemerataan keadilan yang tidak terbina, belum utuhnya wilayah RI
karena masih ada wilayah Yang diijajah Belanda, instabilitas nasional yang ditandai
oleh jatuh bangunnya kabinet sampai tujuh kali, serta pemberontakan daerah.

Kedua, kegagalan tersebut disebabkan menipisnya ranasionalisme,


pemilihan demokrasi liberal tanpa pimpinan tanpa suatu demokrasi yang tidak cocok
dengan kepribadian Indonesia, senasistem multipartai berdasarkan pada Maklumat
Pemerintah 3 November 1945 yang ternyata partai-partai itu digunakan sebagai alat
perebutan kekuasaan dan bukan alat pengabdi rakyat.

Ketiga, suatu koreksi untuk segera kembali pada cita-cita dan tujuan semula
harus dilakukan dengan cara meninjau kembali sistem politik. Harus diciptakan
sistem demokrasi yang menuntut untuk mengabdi kepada negara dan bangsa yang
beranggotakan orang- daerah.

Keempat, cara yang harus ditempuh untuk melaksanakan koreksitersebut


adalah:

(1) Mengganti sistem free fight liberalism dengan demokrasi terpimpin


yang lebih sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.

18
(2) Dewan Perancang Nasional (Depernas) akan membuat blue print
masyarakat yang adil dan makmur.

(3) Hendaknya Konstituante tidak menjadi tempat berdebat yang berlarut-


larut dan segera menyelesaikan pekerjaannya agar blue print yang
dibuat Depernas dapat didasarkan pada konstitusi baru yang dibuat
Konstituante.

(4) Hendaknya Konstituante meninjau dan memutuskan masalahma-salah


demokrasi terpimpin dan masalah kepartaian.

(5) Perlu penyederhanaan sistem kepartaian dengan mencabut Maklumat


Pemerintah tanggal 3 November 1945 yang telah memberi jalan
sistem multi partai dan menggantinya dengan undang-undang
kepartaian serta undang-undang pemilu.

3. Implementasi Demokrasi Pancasila Era Orde Baru (1966)

Konfigurasi kehidupan demokrasi pada masa Orde lama sebenarnya bersifat


paradoks dan ambigu. Dalam tataran konwy tampaknya Pemerintah Presiden
Soeharto menyelenggaran pemerintahan yang demokratis. Akan tetapi bila dilihat eo
empiris, dalam praktiknya sistem pemerintahan Orde Baru beet totaliter yang
bertentangan dengan nilai-nilai universal demokratis Sistem politik yang kuat dan
bersifat militeristik telah mampumenopang pembangunan ekonomi dan nation
building selama dari 30 tahun. Melalui pemfungsian dwifungsi inilah TNi

1. Menjadi basis dan sekaligus penopang kekuasaan Ord Baru, selain Golkar;

2. Pembangunan ekonomi dan stabilitas nasional;

3. Stabilitas dan integrasi nasional;

4. Kebijakan politik korporasi

5. Birokrasi patrimonialisme;

G. DEMOKRASI INDONESIA DI MASA DEPAN

Seperti telah disinggung pada bagian sebelumnya, dengan Gagalnya


pelaksanaan demokrasi konstitusional yang prematur, Demokrasi Terpimpin dan
Demokrasi Pancasila, maka masyarakat Indonesia perlu mengkaji ulang

19
pengalaman-pengalaman tersebut untuk dapat menumbuhkembangkan demokrasi
yang sesungguhnya. Pada masa mendatang, UUD 1945 cukup strategis menjadi
landasan demokrasi asalkan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dan jiwa yang
terdapat dalam UUD 1945. Selama ini UUD 1945 hanya dijadikan konstitusi yang
semantik (formal). Ketentuan yang mengatur demokrasi sengaja tidak dilaksanakan
atau dikesampingkan, tetapi yang menguntungkan penguasa dikedepankan.

Adapun pilar-pilar demokrasi yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1) Kedaulatan rakyat

2) Pemerintahan yang mewujudkan good governance Kekuasaan mayoritas

3) Terjaminnya hak-hak minoritas

4) Jaminan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM)

5) Pemilihan umum yang bebas, jujur, dan adil

6) Persamaan hak di depan hukum (supremasi hukum)

7) Peradilan yang bebas dan tidak memihak

8) Pembatasan kekuasaan pemerintah secara konstitusional melalui


pengawasan yang akuntabel (accountability)

9) Kemajemukan sosial, ekonomi, dan politik

10)Nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerjasama dan mufakat.

11) Terwujudnya masyarakat adab (civil society)

UUD 1945 menurut ketentuan dan jiwa yang dianutnya dapat dikatakan
umumnya mengakomodasikan semua pilar-pilar demokrasi tersebut di atas, karena
itu masih mampu dijadikan dasar dalam pengembangan demokrasi Indonesia
menuju Indonesia yang lebih baik. Upaya menerapkan pilar-pilar demokrasi tersebut
di atas dalam menumbuhkembangkan demokrasi di Indonesia bukanlah suatu
impian (yang mengada-ada). Perlu diketahui bahwa pilar-pilar tersebut telah
dijadikan pedoman untuk menerapkan sistem demokrasi, bukan hanya bagi negara-
negara maju, tetapi juga bagi negara-negara dunia ketiga yang tidak mau lagi
menerapkan negara otoritarian modern, seperti Filipina, India, Afrika Selatan dan
beberapa negera Eropa Timur bekas penganut komunisme, seperti Ceko, Polandia,
20
Hongaria, Slovakia, dalam mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih
(good governance).

21

Anda mungkin juga menyukai