Anda di halaman 1dari 5

Norma dan Pilar Demokrasi Demokrasi tidak datang dengan tiba-tiba dari langit.

Ia merupakan proses panjang melalui pembiasaan, pembelajaran, dan penghayatan. Untuk tujuan ini dukungan sosial dan lingkungan demokratis adalah mutlak dibutuhkan. Keberhasilan demokrasi ditunjukkan oleh sejauh mana demokrasi sebagai prinsip dan acuan hidup bersama antarwarga negara dan antara warga negara dengan negara dijalankan dan dipatuhi oleh kedua belah pihak. Menjadi demokratis membutuhkan norma dan rujukan praktis serta teoritis dari masyarakat yang telah maju dalam berdemokrasi. Menurut cendikiawan Muslim Murcholish Madjid, pandangan hidup demokratis dapat bersandar pada bahan-bahan yang telah berkembang, baik secara teoritis maupun pengalaman praktis di negara-negara yang demokrasinya sudah mapan. Setidaknya ada enam norma atau unsur pokok yang dibutuhkan oleh tatanan masyarakat yang demokratis. Keenam norma ini ialah:
1. Kesadaran akan pluralisme. Kesadaran akan kemajemukan tidak sekedar

pengakauan pasif akan kenyataan masyarakat yang majemuk. Kesadaran atas kemajemukan menghendaki tanggapan dan sikap positif terhadap kemajemukan itu sendiri secara aktif. Pengakuan akan kenyataan perbedaan harus diwujudkan dalam sikap dan perilaku menghargai dan mengakomodasi beragam pandangan dan sikap orang dan kelompok lain, sebagai bagian dari kewajiban warga negara untuk menjaga dan melindungi hak orang lain untuk diakui keberadaannya. Jika norma ini dijalankan secara sadar dan konsekuen diharapkan dapat mencegah munculnya sikap dan pandangan hegemoni mayoritas dan tirani minoritas. Dalam konteks Indonesia, kenyataan alamiah kemajemukan Indonesia bisa dijadikan sebagai modal potensial bagi masa depan demokrasi Indonesia.
2. Musyawarah. Makna dan semangat musyawarah ialah mengharuskan

adanya keinsafan dan kedewasaan warga negara untuk secarra tulus menerima kemungkinan untuk melakukan negosiasai dan kompromi-kopromi

sosial dan politik secara damai dan bebas dalam keputusan bersama. Semangat musyawarah menutut agar setap orang menerima kemungkinan terjadinya partial functioning of ideals, yaitu pandangan dasar bahwa belum tentu, dan tak harus, seluruh keinginan atau pikiran seseorang atau kelompok akan diterima atau dilaksanakan sepenuhnya. Konsekuensi dari prinsip ini adalah kesedian setiap orang maupun kelommpok untuk menerima pandangan yang berbeda dari orang atau kelompok lain dalam bentuk bentuk kompromi melalui jalan musyawah yang berjalan secara seimbang atau aman.
3. Cara haruslah sejalan dengan tujuan. Norma ini melakukan bahwa hidup

demokratis mewajibkan adanya keyakinan bahwa cara haruslah sejalan dengan tujuan. Dengan ungkapan lain, demokrasi pada hakikatnya tidak hanya sebatas pelaksanan prosedur-prosedur demokrasi (pemilu, suksesi kepemimpinan, dan aturan mainnya), tetapi harus dilakukan secara santun dan beradab, yakni melalui proses demokrasi yang dilakukan tanpa paksaan, tekanan, dan ancaman dari, dan oleh siapapun, tetpi dilakukan secara sukarela, dialogis, dan saling menguntunngan. Unsur-unsur inilah yang melahirkan demokrasi yang subsatansial.
4. Norma kejujuan dalam pemufakatan. Suasana masyarakat demokratis

dituntun untuk menguasai dan menjalankan seni permusyawaratan yang jujur dan sehat untuk mencapai kesepakatan yang memberi keuntungan semua pihak. Karena itu, faktor ketulusan dalam usaha bersama mewujudkan tatanan sosial yang baik untuk semua warga, negara mrupakan hal yang sangat penting dalam membangun tradisi demokrasi. Prinsip ini erat kaitannya dengan paham musyawarah seperti telah dikemukakan sebelumnya. Musyawarah yang benar dan baik hanya akan berlangsung jika masing masing pribadi atau kelompok memiliki pandangan positif terhadap perbedaan pendapat dan orang lain.
5. Kebebasan nurani, persamaan hak, dan kewajiban. Pengakuan akan

kebebasan nurani (freedom of conscience), persamaan hak dan kewajiban bagi

semua

(egalitarianisme)

merupakan

norma

demokrasi

yang

harus

diintegrasikan dengan sikap percaya pada iktikad baik orang dan kelompok lain (trust attitude). Norma ini akan berkembang dengan baikjika ditopang dengan pandangan positif dan optimis terhadap manusia. Sebaliknya, pandangan negatif dan pesimis terhadap manusia dengan mudah akan melahirkan sikap dan perilaku curiga dan tidak percaya kepada orang lain. Sikap dan perilaku ini akan sangat berpotensi melahirkan sikap enggan untuk saling terbuka, saling berbagi untuk kemaslahatan bersama atau untuk melakukan kompromi dengan pihak pihak yang berbeda.
6. Trial and Error (Percobaan Salah) dalam berdemokrasi. Demokrasi

bukanlah sesuatu yang telah selesai dan siap saji, tetapi ia merupakan sebuah proses tanpa henti. Dalam kerangka ini, demokrasi membutuhkan percobaan percobaan dan kesediaan semua pihak untuk menerima kemungkinan ketidaktepatan atau kesalah dalam praktik dalam berdemokrasi. Dalam praktik pemerintahan yang dibangun berdasarkan prinsip demokrasi, terdapat beberapa pilar pilar demokrasi demokrasi sebagai indikator umum sebuah pemerintahan demokrasi konstitusional. Pakar politik J. Kristiadi menyebutkan sepuluh pilar demokrasi, sebagai berikut:
1. Kedaulatan rakyat; 2. Pemerintahan berdasarkan persetujuan yang diperintah; 3. Kekuasaan mayoritas (hasil pemilu); 4. Jaminan hak hak minoritas; 5. Jaminan hak hak asasi manusia; 6. Persamaan didepan hukum; 7. Proses hukum yang berkeadilan; 8. Pembatasan kekuasaan pemerintahan melalui konstitusi;

9. Pluralism sosial, ekonomi, dan politik; 10. Dikembangkannya nilai nilai toleransi, pragnatisme, kerjasama dan

mufakat. Dalam pelaksanaan norma dan pilar demokrasi tersebut peran negara dan partisipasi masyarakat multak dibutuhkan. Sebagai negara yang masih tergolong baru dalam pengalaman berdemokrasi, Indonesian masih membutuhkan pembiasaan pembiasaan berdemokrasi. Kesabaran semua pihak untuk melewati proses proses demokrasi indonesia dimasa yang akan datang. Demokrasi sebagai sebuah sitem pemerintahan paling baik dari sejumlah sistem yang pernah ada didunia ini, merupakan agenda strategis yang diusung oleh gerakan reformasi yang banyak menjanjikan hal hal positif bagi indonesia yang majemuk. Namun demikian, pelaksanaan kehidupan bermasyarakat yang demokratis juga membutuhkan peran serta pemerintah dan warga negara dan para wakilnya di parlemen. Negara atau pemerintah tidak boleh berpangku tangan dalam hal menjaga berlangsungnya prinsip dan pilar demokrasi agar tetap berjalan. Demikian juga warga negara dan organisasi masyarakat sipil lainnya dituntut untuk berperan aktif mejaga kebebasan sipil (civil liberties), sehingga demokrasi tidak disalahgunakan oleh keberadaan lembaga parlemen sekalipun lembaga perwakilan rakyat ini dibenntuk melalui cara demokratis. Peran organisasi masyarakat begitu penting tidak hanya menjaga dalam hal demokrasi dari manipulasi lembaga negara, tetapi juga ketika demokrasi disalahartikan dan disalahgunakan oleh kelompok masyarakat lainnya. Dengan alasan mayoritas, misalnya dan umumnya terjadi, suatu kelompok masyarakat memaksa penerapan aturan maupun hukum yang diyakininya terhadap kelompok lain yang minoritas. Pemahaman demokrasi yang menyimpang ini harus diluruskan oleh negara dan juga masyarakat sipil demi tegaknya jaminan mayoritas hasil pemilu atas hak-hak minoritas yang dijamin oleh konstitusi. Hal ini tidak semata demi tegaknya prinsip-prinsip demokrasi, tetapi juga demi terpeiharanya wibawa negara dimata warga negara.

Demi tegaknya prinsip demokrasi, keterlibatan warga negara sangatlah penting, lebih-lebih ketika negara tidak tegas atau cenderung membiarkan pelanggaran-pelanggaran atas konstitusi warga negara lainnya baik dilakukan oleh pemerintah maupun kelompok warga negara atas kelompok lainnya. Namun demikian, dalam upaya menjaga prinsip dan pilar demokrasi harus dilakukan dengan cara-acar tidak anarkis. Dalam menjaga tertib umum, misalnya, sebagai bagian dari kehidupan demokrasi, menjaga ketertiban umum hanya boleh dilakukan oleh aparat keamanan negara (polisi) dan lembaga keamanan bentukan pemerintah daerah yang sah secaraundang-undang.

Anda mungkin juga menyukai