Anda di halaman 1dari 4

Soal no 1.

Kebijakan publik dan sytem politik di Indonesia sejati nya saling melengkapi dan memiliki ciri-ciri khusus
yang bersumber pada kenyataan lazimnya kebijakan itu dipikirkan, didesain, dirumuskan dan diputuskan
oleh mereka yang oleh David Easton (1953:1965) disebut sebagai orang-orang yang memiliki otoritas
dalam system politik. Dalam system politik masyarakat sederhana contohnya, para ketua adat atau
ketua suku. Sedangkan dalam system politik masyarakat yang kompleks dan modern mereka yaitu, para
eksekutif, legislatif dan yudikatif. Mereka inilah, masih menurut Easton kelompok atau orang-orang yang
terlibat langsung dalam urusan-urusan politik dari system politik yang mempunyai kapasitas dan
bertanggung jawab atas kebijakan publik.

Mengingat posisinya yang strategis, mereka dianggap memiliki hak mengambil tindakan-tindakan
tertentu atas nama system politik , sepanjang tindakan tersebut masih terjaga oleh koridor peran dan
kewenangan mereka. Di negara yang menganut paham demokrasi konstitusional , kata Gerston (2002:
3), kebijakan public itu dijalankan dan oleh orang yang telah diberi wewenang untuk bertindak dan
sesuai persetujuan dengan norma norma dan prosedur. Di negara-negara demokratis sperti itu
kebanyakan para pembuat kebijakan publik terdiri dari pejabat-pejabat yang dipilih. Dalam konteks
politik para pejabat terpilih tadi, baik yang menempati posisinya di lembaga legislatif (Dewan Perwakilan
Rakyat) maupun lembaga eksekutif (presiden/wakil presiden), memainkan peran penting dalam proses
pembuatan kebijakan. Oleh sebab itu baik langsung maupun tidak langsung perilaku mereka harus
akuntabel, bertanggung jawab kepada publik.

Di Indonesia sendiri, system politik sangat mempengaruhi kebijakan publik. Output kebijakan publik
merupakan produk dari artikulasi kepentingan pejabat dari lembaga politik. Proses output dalam teori
bola labu Gabriel Almond dan David Easton sangat dipengaruhi oleh system politik di Indonesia. Sistem
politik yang akuntabel dan dan bertanggung jawab mmeberi dampak positif dalam proses pembuatan
kebijakan. Fenomena yang terjadi di Indonesia, kebijakan publik menjadi kompromi politik dari
kelompok-kelompok kepentingan di Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Salah satu contoh dari kebijakan
publik yang output nya mendapatkan kontra lebih banyak seperti undang-undang KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi) no 30 tahun 2002. Sejumlah poin yang dianggap akan dinilai KPK antara lain
keberadaan Dewan Pengawas, jumlah kewenangam KPK terkait penyidikan dan penilaianan, serta
jumlah prosedur yang dianggap merumitkan proses penindakan 1.

Kondisi sistem politik dewasa ini sangat mengkhawatirkan, terutama ketika dimanfaatkan oleh sebagian
(oknum) pemegang atau pelaku dalam pemerintahan yang memegang kendali pemerintahan di
beberapa lini, hanya untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Dari kenyataan tersebut,
terdapat ketimpangan di berbagai aspek dan sektor kehidupan. Akhirnya, jika kondisi seperti ini
dibiarkan secara terus-menerus, kebobrokan dan kehancuran pasti akan terjadi.

1
https://nasional.kompas.com/read/2019/09/25/10382471/ini-26-poin-dari-uu-kpk-hasil-revisi-yang-
berisiko-melemahkan-kpk?page=all.
Soal no 2.

Pengusaha kebijakan (policy entrepreneur) atau pengusaha adalah "individu yang memanfaatkan


peluang untuk mempengaruhi hasil kebijakan untuk mempromosikan tujuan mereka sendiri. Beragam
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sebagai wakil negara hingga kini masih menunjukkan
ketidakberpihakan kepada rakyat. Tindakan, pilihan, strategi, atau keputusan terkait ekonomi yang
seharusnya untuk kebaikan bersama, kini telah disalahgunakan untuk kesejahteraan segelintir orang.
Sehingga, kebijakan tersebut menjadi remeh-temeh, tidak memprioritaskan kepentingan rakyat.

Kongkalikong antara pelaku ekonomi dan aktor politik serta penguasa tak luput telah melahirkan
tatanan ekonomi yang hanya menguntungkan kepentingan diri dan kelompok, tanpa memperdulikan
kepentingan rakyat banyak. Inilah banalitas kebijakan ekonomi yang masih mengganggu kemajuan
bangsa Indonesia yang musti mendapat perhatian serius dari kita semua.   

Contoh kebijakan ekonomi pemerintah yang lebih menguntungkan pengusaha dan merugikan rakyat
banyak bisa dilihat dari hasil penelitian Donny Tjahja Rimba dalam bentuk disertasi berjudul “Hubungan
Negara dan Pengusaha di Era Reformasi. Studi Kasus: Bisnis Grup Bakrie (2004-2012)”. Dia mengatakan,
kelompok Bisnis Bakrie dibuktikan telah mempengaruhi kebijakan negara setidaknya dalam dua kasus.
Pertama, persoalan divestasi saham Newmont. Kasus kedua, bencana  lumpur Lapindo.

Pada kasus pertama, pengusaha mempergunakan pemerintah daerah sebagai instrumen kekuasaan
untuk membeli saham divestasi dengan harga yang lebih murah dibanding dengan harga pasar dan
mendapat hak pertama untuk membeli.

Pada kasus kedua, pemerintah daerah melepaskan tanggung jawab dalam menangani dampak bencana
pada pemerintah pusat. Pengusaha mempergunakan instrumen politik negara melalui kebijakan
Presiden berupa Keppres dan Perpes agar melakukan kebijakan yang tidak merugikan pengusaha. Dan
pembenaran atas kebijakan Presiden ini dikuatkan oleh DPR, pengadilan, hingga kepolisian.

Menurut saya, proses pengambilan keputusan negara hingga kini masih menjadi permainan kekuasaan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif serta pengusaha. Proyek-proyek siluman yang melibatkan anggota DPR
dan pemilik perusahaan besar yang belakangan ini banyak disorot media massa adalah satu contoh.
Dalam kondisi tersebut, hubungan negara dan pengusaha lebih mementingkan bisnis, ketimbang
kepentingan rakyat. Akibat fatalnya, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat tidak terurus.  

Tampaknya, reformasi politik yang digelorakan anak-anak bangsa beberapa tahun yang lalu, belum
menghadirkan reformasi ekonomi yang berkeadilan bagi semua kalangan dan pihak. Pengerukan
sumber-sumber daya ekonomi, misalnya pertambangan minyak dan gas (migas) oleh pelaku bisnis atau
investor asing kini semakin menyebabkan kerusakan lingkungan terjadi konflik sosial. Ini semakin
sempurna manakala para penguasa negeri ini ikut “mengamini” dengan memberikan keistimewaan
berupa peraturan atau undang-undang. Di sinilah kita menyaksikan absennya negara dalam upaya
mensejahterahkan rakyat.  

Beragam kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sebagai wakil negara hingga kini masih
menunjukkan ketidakberpihakan kepada rakyat. Tindakan, pilihan, strategi, atau keputusan terkait
ekonomi yang seharusnya untuk kebaikan bersama, kini telah disalahgunakan untuk kesejahteraan
segelintir orang. Sehingga, kebijakan tersebut menjadi remeh-temeh, tidak memprioritaskan
kepentingan rakyat.

Kongkalikong antara pelaku ekonomi dan aktor politik serta penguasa tak luput telah melahirkan
tatanan ekonomi yang hanya menguntungkan kepentingan diri dan kelompok, tanpa memperdulikan
kepentingan rakyat banyak. Inilah banalitas kebijakan ekonomi yang masih mengganggu kemajuan
bangsa Indonesia yang musti mendapat perhatian serius dari kita semua.   

Contoh kebijakan ekonomi pemerintah yang lebih menguntungkan pengusaha dan merugikan rakyat
banyak bisa dilihat dari hasil penelitian Donny Tjahja Rimba dalam bentuk disertasi berjudul “Hubungan
Negara dan Pengusaha di Era Reformasi. Studi Kasus: Bisnis Grup Bakrie (2004-2012)”. Dia mengatakan,
kelompok Bisnis Bakrie dibuktikan telah mempengaruhi kebijakan negara setidaknya dalam dua kasus.
Pertama, persoalan divestasi saham Newmont. Kasus kedua, bencana  lumpur Lapindo.

Pada kasus pertama, pengusaha mempergunakan pemerintah daerah sebagai instrumen kekuasaan
untuk membeli saham divestasi dengan harga yang lebih murah dibanding dengan harga pasar dan
mendapat hak pertama untuk membeli.

Pada kasus kedua, pemerintah daerah melepaskan tanggung jawab dalam menangani dampak bencana
pada pemerintah pusat. Pengusaha mempergunakan instrumen politik negara melalui kebijakan
Presiden berupa Keppres dan Perpes agar melakukan kebijakan yang tidak merugikan pengusaha. Dan
pembenaran atas kebijakan Presiden ini dikuatkan oleh DPR, pengadilan, hingga kepolisian.

Menurut saya, proses pengambilan keputusan negara hingga kini masih menjadi permainan kekuasaan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif serta pengusaha. Proyek-proyek siluman yang melibatkan anggota DPR
dan pemilik perusahaan besar yang belakangan ini banyak disorot media massa adalah satu contoh.
Dalam kondisi tersebut, hubungan negara dan pengusaha lebih mementingkan bisnis, ketimbang
kepentingan rakyat. Akibat fatalnya, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat tidak terurus.  

Tampaknya, reformasi politik yang digelorakan anak-anak bangsa beberapa tahun yang lalu, belum
menghadirkan reformasi ekonomi yang berkeadilan bagi semua kalangan dan pihak. Pengerukan
sumber-sumber daya ekonomi, misalnya pertambangan minyak dan gas (migas) oleh pelaku bisnis atau
investor asing kini semakin menyebabkan kerusakan lingkungan terjadi konflik sosial. Ini semakin
sempurna manakala para penguasa negeri ini ikut “mengamini” dengan memberikan keistimewaan
berupa peraturan atau undang-undang. Di sinilah kita menyaksikan absennya negara dalam upaya
mensejahterahkan rakyat.  

Persoalan hubungan pengusaha dan penguasa yang tidak banyak menguntungkan masyarakat kecil ini
sebenarnya sudah diawali sejak era Orde Baru. Penguasa sedemikian rupa mengondisikan jejaring
kekuasaan (the web of power) menjadi tempat bergantung kalangan pengusaha. Dan pada
kenyataannya, di era reformasi justru relasi itu semakin lengket, mesra, dan semakin mengakar.

Padahal, perkawinan antara pengusaha dan penguasa akan melahirkan kebijakan-kebijakan pemerintah
yang cenderung berpihak pada pengusaha. Pengusaha akan mempengaruhi keputusan-keputusan
pemerintah. Bahkan, mereka rela mengeluarkan dana besar untuk mempengaruhi penyusunan
kebijakan agar kepentingan mereka terakomodasi dengan modus-modus yang canggih, bahkan bisa
menjurus manipulatif.
Soal no 4.

Issue kebijakan muncul karena telah terjadi konflik atau perbedaan persepsional diantara para aktor
atau suatu problematic yang dihadapi masyarakat pada suatu waktu tertentu. Issue kebijakan bersifat
subyektif, karena dipengaruhi oleh persepsi. Adanya persepsi mempengaruhi status peringkat dari suatu
issue kebijakan. Menurut (Dunn, 2003) issue kebijakan dapat dibagi menjadi 4 (empat) kategori besar
yaitu, issue utama, sekunder, fungsional dan minor.

Issue minor ditemukan paling sering pada tingkat proyek-proyek yang spesifik. Isunya meliputi personal
seperti permasalahan umum yang ada dimasyarakat dan menjadi bahan pembicaraan tapi tidak
membawa dampak yang besar bagi stabilitas negara. Seperti issue libur atau cuti bersama dalam rangka
hari raya keagamaan.

Issue fungsional terletak diantara tingkat program dan proyek. Issue ini berkaitan dengan anggaran,
keuangan dan usaha untuk memperolehnya. Pembahasan RAPBN (Rancangan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara) menjadi issue dalam tahap ini.

Issue Sekunder, terletak pada tingkat instansi pelaksana program di mana berisi prioritas-prioritas
program dan mempunyai tujuan sasaran dan penerima dampak. Misal, bagaimana mendefinisikan
kemiskinan keluarga.

Issue utama ditemui pada tingkat pemerintah tertinggi. Meliputi tentang pertanyaan mengenai sifat dan
tujuan organisasi pemerintah. Misal, apakah departemen kesehatan harus berusaha menghilangkan
kondisi yang menimbulkan kemiskinan.

Kesimpulan issue bisa tampil dalam agenda pemerintah bila dinilai penting dan membawa dampak yang
besar pada banyak orang. Kemudian issue itu mendapatkan perhatian dari policy maker dan issue
tersebut sesuai dengan program politik pemerintah.

Anda mungkin juga menyukai