Anda di halaman 1dari 3

Nama : Damita Damayanti

NPM : 160404020091
Kelas : A-2
Matkul : Akuntansi Sektor
Publik

Masalah Yang Dihadapi Dalam Pengimplementasian Regulasi Di Indonesia

Salah satu kecenderungan yang bisa dilihat dari perkembangan perundang-undangan di


Indonesia adalah banyaknya persoalan yang ingin diatur dalam undang-undang. Seolah-olah
undang-undang menjadi obat yang paling ampuh untuk mengatasi persoalan yang ada. Sebagai
contoh, untuk mengatasi permasalahan hubungan antar umat beragama, muncul usulan untuk
membentuk undang-undang yang mengatur kerukunan antar umat beragama. Contoh lain,
merespon aksi terorisme belakangan, pemerintah menggagas revisi undang-undang
antiterorisme. Beberapa contoh lainnya dapat dicermati dari daftar RUU yang masuk dalam
program legislasi nasional 2015-2019. Pertanyaannya, apakah materi-materi tersebut layak diatur
dalam undang-undang dan apakah membentuk undang-undang menjadi solusi tepat mengatasi
persoalan masyarakat?

 Undang-Undang, Upaya Mencari Legitimasi


Ann Seydman dalam bukunya Penyusunan Rancangan Undang-Undang Dalam
Perubahan Masyarakat yang Demokratis menuliskan ada dua alasan urgensi pengaturan
dalam bentuk undang-undang. Pertama, alasan kebutuhan untuk memerintah. Bagi
pemerintah kedudukan undang-undang berguna untuk menjalankan roda pemerintahan.
Kedua, alasan tuntutan legitimasi. Kebijakan pemerintah yang diformulasikan dalam bentuk
undang-undang memberikan pemerintah suatu legitimasi. Alasan yang dikemukakan oleh
Ann Seydman tersebut melihat dari kelanjutan perumusan kebijakan. Pemerintah untuk
mengefektifkan kebijakannya perlu mengubah bentuknya menjadi undang-undang yang
dapat mengikat secara umum baik masyarakat maupun aparatur pemerintah sendiri.
Legitimasi ini dibutuhkan pemerintah dan aparaturnya untuk menguatkan posisi
kebijakannya ketika berhadapan dengan publik.

 Memperlemah Sistem Hukum


Pakar perundang-undangan yang kini menjadi hakim konstitusi, Maria Farida,
menerangkan bahwa saat ini banyak materi muatan yang seharusnya cukup diatur lewat
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang justru dipaksakan diatur dengan
undang-undang. Padahal seandainya diatur dengan peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang, pelaksanaannya menjadi lebih sederhana dan anggaran yang dibutuhkan
relatif kecil.
Adanya kecenderungan pendapat bahwa setiap persoalan perlu diatur dalam undang-
undang, keinginan memperoleh legitimasi melalui undang-undang, keyakinan bahwa
undang-undang menjadi alternatif solusi menyelesaikan masalah sosial akan menyebabkan
tingginya produksi undang-undang. Jumlah undang-undang akan semakin membengkak.
Indonesia masuk dalam situasi hiper regulasi. Banyak hal yang diatur dengan undang-
undang. Permasalahan ini juga akan berdampak pada pemborosan anggaran negara.
Pembahasan undang-undang melalui proses yang panjang dengan tuntutan ketersediaan
alokasi anggaran yang tidak sedikit. Ditambah lagi dengan alokasi anggaran yang tidak
relevan misalnya studi banding. Permasalahan lain terkait dengan ongkos sosial yang
muncul dari pembahasan undang-undang yang menimbulkan pro kontra yang ekstrem di
masyarakat. Padahal belum tentu undang-undang yang diperdebatkan tersebut akan dapat
diimplementasikan secara efektif dan memberi manfaat bagi masyarakat luas.
Montesquieu berpendapat bahwa perubahan-perubahan yang tidak penting dalam
undang-undang yang ada, undang-undang yang sulit dilaksanakan, dan undang-undang yang
benar-benar tidak diperlukan, harus dihindari karena hukum-hukum seperti itu akan
memperlemah otoritas hukum secara umum. Jadi membengkaknya undang-undang justru
akan berdampak negatif bagi keberadaan hukum itu sendiri. Undang-undang hanya akan
menjadi dokumen tertulis yang tidak berpengaruh bagi perubahan masyarakat. Bahkan dapat
berpengaruh pada kepercayaan masyarakat terhadap hukum.

Membicarakan masalah penegakan hukum tidak dapat dilepaskan dari pengertian tentang
sistem hukum itu sendiri, dimana di dalamnya selalu tercakup tiga komponen yang tidak
terpisahkan satu dengan yang lain, yaitu komponen struktur, substansi, dan kultur. Sehingga
dalam rangka menegakkan hukum secara maksimal haruslah selalu diperhatikan ketiga
komponen yang ada.
Sedangkan pengertian penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan
keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan-keinginan
hukum di sini tidak lain adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan
dalam peraturan-peraturan hukum itu. Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan
dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan.
Namun dalam kenyataannya, perubahan sosial yang diharapkan oleh pembuat hukum
tetap tidak dapat tercapai. Hal ini disebabkan adanya faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
berlangsungnya perubahan sosial, yaitu faktor yang mendorong dan faktor yang menghambat.
Faktor yang mendorong, misalnya terjadinya kontak dengan kebudayaan lain, sistem pendidikan
yang maju, toleransi terhadap perilaku yang menyimpang, stratifikasi yang terbuka, penduduk
yang heterogen, dan ketidakpuasan terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu. Sedangkan
faktor yang menghambat, misalnya kurangnya atau tidak adanya hubungan dengan masyarakat
lain, perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat, sikap masyarakat yang terlalu
tradisionalistis, adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat sekali, rasa
takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan, prasangka terhadap hal-hal yang
baru, hambatan-hambatan yang bersifat ideologis, dan mungkin juga adat istiadat yang telah
melembaga dengan kuat (B. Bettelheim dan M. Janowtz: 1964).

Anda mungkin juga menyukai