Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Penegakan hukum ditujukan guna meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum
dalam masyarakat. Hal ini dilakukan antara lain dengan menertibkan fungsi, tugas
dan wewenang lembaga-lembaga yang bertugas menegakkan hukum menurut
proporsi ruang lingkup masing-masing, serta didasarkan atas sistem kerjasama yang
baik dan mendukung tujuan yang hendak dicapai. Tingkat perkembangan masyarakat
tempat hukum diberlakukan mempengaruhi pola penegakan hukum, karena dalam
masyarakat modern yang bersifat rasional dan memiliki tingkat spesialisasi dan
differensiasi yang tinggi pengorganisasian penegak hukumnya juga semakin
kompleks dan sangat birokratis.
Dalam teori Friedman sistem hukum terdiri atas tiga komponen, yaitu: struktur
(legal structur), substansi (legal substance), dan budaya hukum (legal culture).
Hukum yang baik akan terpenuhi apabila tiga hal tersebut bisa berjalan dengan baik.
Penegakan hukum di Indonesia dapat dikatakan belum efektif dikarenakan dalam segi
struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum dalam penegakan hukum itu
sendiri belum berjalan dengan baik sehingga menyebabkan hukum tidak dapat
melaksanakan fungsinya sebagaimana mestinya.
Kita pun sering mendengar istilah, “hukum kita timpang sebelah atau dalam
arti lain tumpul ke atas, tajam ke bawah.” Artinya, bahwa pada kenyataan yang
terjadi di Indonesia, keadilan lebih tajam dalam menghukum masyarakat kelas bawah
dibandingkan masyarakat kelas atas. Secara umum hal ini mungkin dapat diakibatkan
karena beberapa hal:
1. Kepentingan pribdi dari pelaksana hukum
2. Tekanan dari penguasa/ orang yang berpengaruh
3. Kepentingan politik
4. Kesadaran masyarakat yang masih kurang. Masyarakat yang memanfaatkan celah
atau mempengaruhi keputusan hukum (suap, kolusi, nepotisme).

1
Di Indonesia sendiri, banyaknya oknum yang terlibat dalam kasus korupsi, suap
atau pun penyalahgunaan wewenang sangat menghambat berjalannya hukum.
Beberapa peraturan atau pembuat undang-undang pun sangat minim dalam
melibatkan partisipasi rakyat, peraturan yang multitafsir, tidak efektif, ataupun yang
hanya menguntungkan beberapa pihak tertentu. Masyarakat pun dalam hal ini
tampaknya tergolong awam terhadap hukum. Adanya tingkat perkembangan
kesadaran masyarakat dalam suatu tempat di mana hukum berlaku mempengaruhi
pola penegakan hukum. Apabila secara umum masyarakat tahu, maka tidak ada
proses penegakan yang terjadi di luar SOP akibat saling berbentur antara aparat dan
masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah


Dari makalah ini, dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa itu sistem penegakan hukum?
2. Bagaimana sistem penegakan hukum di Indonesia menurut teori Lawrence M.
Friedman?

1.3 Manfaat Makalah


Dari makalah ini kita dapat mengetahui apa itu penegakan hukum dan sistem
penegakan hukum di Indonesia menurut teori Lawrence M. Friedman.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sistem Penegakan Hukum


Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu
lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh
subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh
subjek dalam arti yang terbatas atau sempit.
Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum
dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada
norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan
hukum.
Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya
diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan
memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam
memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu
diperkenankan untuk menggunakan daya paksa (Penegakan Hukum. Asshiddiqie,
Jimly).
Keadilan merupakan hal yang selalu diharapkan oleh setiap manusia. Keadilan
menurut Prof. Satjipto Rahardjo adalah ukuran yang dipakai dalam memberikan
perlakuan terhadap objek yang ada di luar kita. Oleh karena itu ukuran tersebut tidak
dapat dilepaskan dari arti yang kita berikan kepada manusia atau kemanusiaan,
tentang konsep kita mengenai manusia (Rahardjo, 2012:175).
Keadilan dapat diwujudkan melalui hukum. Sesuai dengan pendapat
Aristoteles, bahwa tujuan dari hukum adalah untuk mencapai keadilan. Hukum
merupakan seperangkat aturan yang bersifat memaksa yang dibuat oleh penguasa dan
memiliki sanksi bagi yang melanggarnya. Kehadiran hukum adalah untuk

3
menciptakan keteraturan di masyarakat dengan cara melindungi hak-hak setiap warga
negara.
Syarat agar hukum dapat berjalan dengan efektif adalah dengan melihat
undang-undangnya yang berlaku dimasyarakat, adanya pelaksanan hukum, kondisi
sosio-ekonomi masyarakat, Undang-undang yang dibuat harus dirancang dengan baik
dan substansinya yang meliputi isi dari peraturan tersebut harus bersifat melarang,
mengandung sanksinya dan mengandung moralitas. Pelaksanan hukum adalah aparat
yang melaksanakan hukum itu sendiri, seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.

2.2 Problematika Penegakan Hukum di Indonesia


Menurut Lawrence M. Friedman, bekerjanya suatu hukum dapat ditentukan oleh
1. Struktur hukum (Legal Structure)
Struktur diibaratkan sebagai mesin yang di dalamnya ada institusi-institusi
pembuat dan penegakan hukum, Dalam teori Lawrence M. Friedman hal ini disebut
sebagai sistem struktural yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu
dilaksanakan dengan baik. Struktur hukum berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981
meliputi; kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Badan Pelaksana Pidana (Lapas).
Banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya mentalitas aparat penegak hukum,
di antaranya yaitu lemahnya pemahaman agama, ekonomi, dan sebagainya. Sehingga
dapat dipertegas bahwa faktor penegak hukum memainkan peran penting dalam
memfungsikan hukum. Kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas penegak hukum
rendah, maka akan ada masalah. Demikian juga, apabila peraturaannya buruk
sedangkan kuallitas penegak hukum baik, kemungkinan munculnya masalah masih
terbuka.
Di Indonesia sendiri, masih menjadi PR besar bagi negara ini untuk memperbaiki
struktur hukum yang ada. Banyaknya oknum yang terlibat dalam kasus korupsi
sangat menghambat berjalannya hukum di Indonesia. Mulai dari jajaran penegak
hukum, hingga pemerintah legislatif maupun eksekutif sering terjerat kasus korupsi.
Dengan kondisi struktur hukum yang memprihatinkan tersebut, hukum akan sulit
ditegakkan dan keadilan akan sulit dicapai.

4
2. Substansi Hukum (Legal Subtance)
Substansi adalah apa yang dikerjakan dan dihasilkan oleh legislator, yang berupa
putusan dan ketetapan, peraturan perundang-undangan, dan juga mencakup aturan
yang diluar kitab undang undang. Adanya keterlibatan masyarakat dalam
pembentukan suatu undang-undang akan memberikan dampak terhadap efektivitas
pemberlakuan dari undang-undang tersebut.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Yuliandri, bahwa tidak ada gunanya suatu
undang-undang yang tidak dapat dilaksanakan atau ditegakkan, mengingat
pengalaman yang terjadi di indonesia menunjukan banyaknya undang-undang yang
telah dinyatakan berlaku dan diundangkan tetapi tidak dapat dilaksanakan. Namun
seringkali yang terjadi adalah pembuat undang-undang sangat minim dalam
melibatkan partisipasi rakyat seperti halnya dalam pembentukan Undang-Undang
Cipta Kerja, Undang-Undang Minerba, dan masih banyak lagi.
Permasalahan lain yang sering terjadi yaitu adanya hyper regulasi, peraturan
yang saling bertentangan (conflicting), tumpang tindih (overlapping),
multitafsir (multi Interpretation), tidak taat asas (inconsistency), tidak efektif,
menciptakan beban yang tidak perlu (unnecessary Burden), dan menciptakan
ekonomi biaya tinggi (High-Cost Economy). (Direktorat Analisa Peraturan
Perundang-undangan-Bappenas, 2012).

3. Budaya Hukum (Legal Culture)


Budaya hukum merupakan bagian dari budaya umum- kebiasaan, opini, cara
bekerja dan berpikir- yang mengikat masyarakat untuk mendekat atau menjauh dari
hukum dengan cara khusus.Dalam kerangka pikir yang demikian, Friedman
memandang bahwa dari ketiga komponen di atas, budaya hukum merupakan
komponen yang paling penting.
Budaya hukum dipandang sangat menentukan kapan, mengapa dan di mana
orang menggunakan hukum, lembaga hukum atau proses hukum atau kapan mereka
menggunakan lembaga lain atau tanpa melakukan upaya hukum. Dengan kata lain,
faktor budaya merupakan ramuan penting untuk mengubah struktur statis dan koleksi

5
norma statis menjadi badan hukum yang hidup. Menambahkan budya hukum ke
dalam gambar ibarat memutar jam atau menyalakan mesin. Budaya hukum membuat
segalanya bergerak.
Budaya hukum dapat berubah setiap saat sebagai akibat dari semakin
berkembangnya kesadaran hukum. Perubahan ini tertanam dalam kenyataan bahwa
nilai-nilai atau sikap tertentu terhadap hukum menjadi tidak sesuai lagi bagi
masyarakat. Hal ini terjadi ketika suatu masyarakat berkembang kesadarannya
berkaitan dengan hak indvidu dan demokrasi dan meninggalkann gagasan lama
seperti status dan sistem patriarchal. Hal ini dipelopori oleh kelas kecil elit hukum
yang menerapkan budaya hukum internal. Sebaliknya, ketika budaya hukum berubah,
masyarakat akan lebih terbuka terhadap perubahan-perubahan dalam lembaga hukum
dan hukum itu sendiri. Dalam situasi seperti ini, hukum asing dapat dengan mudah
diadaptasi dan diimplementasikan.
Budaya hukum adalah hubungan antara perilaku sosial dan kaitannya dengan
hukum. Untuk itu diperlukan upaya untuk membentuk suatu karakter masyarakat
yang baik agar dapat melaksanakan prinsip-prinsip maupun nilai-nilai yang
terkandung didalam suatu peraturan perundang-undangan (norma hukum). Terkait
dengan hal tersebut, maka pemanfaatan norma-norma lain diluar norma hukum
menjadi salah satu alternatif untuk menunjang imeplementasinya norma hukum
dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Namun keadaan saat ini tampaknya budaya hukum di Indonesia masih tergolong
belum baik dikarenakan masih banyak masyarkat yang awam terhadap hukum.
Meskipun sudah ada asas fictie hukum, namun pencerdasan hukum di masyarakat
penting untuk dilakukan. Banyaknya kasus main hakim sendiri juga harus segera
diminimalisir guna mencapai keadilan.

Ketiga unsur yang dikemukakan oleh Friedman tersebut ditentukan oleh suatu
negara. Menurut Plato, semakin merosotnya keadaan suatu negara, baik dalam wujud
oligarki maupun tirani, maka tidak mungkin adanya partisipasi semua orang dalam
keadilan. Dengan adanya ketiga unsur yang dikemukakan oleh Lawrence Friedman

6
tersebut, maka dapat menjadi pedoman sebuah negara bagaimana seharusnya hukum
dijalankan. Dari sisi apa sajakah hukum perlu untuk diperbaiki.
Apabila ketiga unsur tersebut terus mengalami perubahan yang semakin baik,
maka hukum dapat bekerja dengan baik pula dan dapat mencapai tujuan utamanya,
yaitu keadilan.

7
BAB III
KESEIMPULAN

Prinsip keadilan ini merupakan patokan dari apa yang benar, baik, dan tepat
dalam hidup, dan karenanya mengikat semua orang. Sejatinya keadilan harus
diwujudkan kepada setiap orang agar masyarakat mampu menjalani hidupnya dengan
baik dan tenteram. Perwujudan keadilan ini menggunakan suatu alat yang bernama
hukum.
Dalam teori Friedman sistem hukum terdiri atas tiga komponen, yaitu: struktur
(legal structur), substansi (legal substance), dan budaya hukum (legal culture).
Hukum yang baik akan terpenuhi apabila tiga hal tersebut bisa berjalan dengan baik.
Penegakan hukum atau implementasinya di Indonesia dapat dikatakan belum terlalu
efektif, dikarenakan baik dari segi struktur, substansi dan budaya hukum belum
berjalan sebagaimana seharusnya. Hal ini diakibatkan oleh oknum-oknum yang tidak
bertanggungjawab sehingga menyebabkan hukum tidak dapat melaksanakan
fungsinya.

Anda mungkin juga menyukai