Anda di halaman 1dari 10

REFORMASI APARATUR NEGARA GUNA

MENDUKUNG DEMOKRATISASI POLITIK DAN


EKONOMI TERBUKA
Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Reformasi Administrasi
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Sumartono., M.S.

Disusun Oleh :
Annisa Rahma 175030100111055
Rizka Amalia 175030107111034
Seltadheanda Putri Abadi 175030107111035

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI PUBLIK


FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
Pendahuluan

Reformasi birokrasi merupakan salah satu upaya pemerintah menuju


pemerintahan yang lebih baik, terpercaya, andal, perofesional, serta akuntabel. Dalam
sepuluh tahun terakhir, pemerintah terus melakukan upaya terkait reformasi birokrasi
yang memiliki peran penting bagi pembangunan nasional.

Target-target pembangunan nasional seperti pertumbuhan ekonomi,


peningkatan kesejahteraan rakyat, dan peningkatan kualitas pelayanan publik, tidak
mungkin dapat dicapai bila reformasi birokrasi berjalan di tempat atau bahkan
mengalami kemunduran. Untuk mendorong realisasi reformasi birokrasi seperti yang
diharapkan, pemerintah menetapkan UU No. 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara (ASN) demi mewujudkan ASN yang berintegritas, professional, bersih serta
mampu memberikan pelayanan public terbaik.

Tujuan reformasi birokrasi adalah untuk menciptakan birokrasi pemerintah


yang profesional dengan karakteristik, berintegrasi, berkinerja tinggi, bebas dan bersih
KKN, mampu melayani publik, netral, sejahtera, berdedikasi, dan memegang teguh
nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara.

Menurut Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi,


Visi reformasi birokrasi yang tercantum dalam lembaran Grand design Reformasi
Birokrasi Indonesia adalah “terwujudnya pemerintahan kelas dunia”. Visi tersebut
menjadi acuan dalam mewujudkan pemerintahan kelas dunia, yaitu pemerintahan
yang profesional dan berintegritas tinggi yang mampu menyelenggarakan pelayanan
prima kepada masyarakat dan manajemen pemerintahan yang demokratis agar mampu
menghadapi tantangan pada abad ke 21 melalui tata pemerintahan yang baik pada
tahun 2025.

Misi reformasi birokrasi Indonesia Membentuk dan menyempurnakan


peraturan perundang-undangan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan
yang baik. Melakukan penataan dan penguatan organisasi, tatalaksana, manajemen
sumber daya manusia aparatur, pengawasan, akuntabilitas, kualitas pelayanan publik,
mindset, dan cultural set. Mengembangkan mekanisme kontrol yang efektif.

Ironi Reformasi Administrasi

Profesor Gerald Caiden salah seorang pelopor studi Reformasi Administrasi


mengungkapkan ironi yang terjadi di banyak negara, negara maju mau pun negara
berkembang. Dia mengatakan “…reformasi sistem administrasi tidak pernah
mencapai inti permasalahan, karena seringkali hanya sebatas formalitas semata.
Reformasi yang dilakukan pemerintah biasanya tidak cukup luas dan mendalam.
Bahkan cukup banyak negara tidak memberikan perhatian yang memadai pada
reformasi administrasi…”. Barulah setelah terlambat dan kondisi negara sudah amat
buruk pemerintah baru menyadari perlunya reformasi administrasi. Ketika disasari
bahwa sistem administrasi yang bobrok menjadi hambatan utama kemajuan, bahwa
kesalahan yang terjadi adalah amat fundamental, dan meluruskan kembali
administrasi mendapatkan prioritas, pada saat itu angina kencang kebobrokan
administrasi telah berubah menjadi putting beliung.

Indonesia adalah salah satu negara yang kurang memberikan prioritas pada
reformasi administrasi. Pada pemerintahan Orde Baru, reformasi aparatur negara tetap
saja masih berada di posisi pinggiran karena belum menyentuh bagian-bagian yang
paling mendasar dalam sistem administrasi. Dalam praktik, reformasi administrasi
atau reformasi birokrasi telah direduksi hanya sebatas menaikkan gaji sebuah
departemen dan lembaga pengawasan dan mengangkat tenaga honorer sebagai PNS.

Reformasi aparatur negara yang diperlukan untuk menciptakan sistem


administrasi yang berkemampuan untuk melaksanakan pemerintahan demokratis dan
globalisasi perdagangan tidak bisa tidak komperhensif. Reformasi harus mencakup
antara lain, penetapan peraturan dasar tentang sistem pemerintahan negara yang
sesuai dengan kemajuan bangsa Indonesia, peningkatan kemampuan birokrasi
pemerintah khususnya sistem kepegawaian, desentralisasi pemerintahan dan upaya
pemberantasan korupsi.

Reformasi Sistem Pemerintahan Negara

Kinerja pemerintahan yang emakin buruk terasa pada pemerintahan di bawah


pimpinan Presiden Abdurahman Wahid atau Gus Dur. Penyebab utamanya adalah
gaya kepemimpinan Gus Dur yang kurang sabaran dan erratic kerena bisa
mengadakan perubahan-perubahan secara tidak terencana. Pada pemerintahan ini
menimbulkan simpang siur birokrasi yang membingungkan public dan para pembantu
Presiden. Reshuffle cabinet dilakukan beberapa kali, dan intervensi Presiden yang
sangat besar dalam penunjukkan jabatan teras pada birokrasi pusat dan daerah.

Sayangnya, pada pemerintahan hasil pemilu 2004 terjadi lagi penurunan


kinjera pemerintah karena didorong oleh dua faktor penyebab: Pertama, UUD hasil
amandemen telah menghasilkan sistem demokrasi meyoritas yang tidak cocok dengan
masyarakat Indonesia yang majemuk. Kedua, sistem presidensial yang yang
diterapkan pada sistem multi-partai tidak menciptakan stabilitas pemerintahan negara
yang sangat diperlukan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi serta keadilan sosial.

Yang banyak dibahas dalam berbagai fora adalah capaian berupa indeks tata
kepemerintahan yang baik, yang dihasilkan oleh rangkaian Governance Assesment
Survey dengan dukungan dari Bank Dunia. Pada Human Development Report 2007
yang dikeluarkan UNDP, Indonesia menduduki peringkat 107 dari 117 negara yang di
evaluasi.

Faktor kedua yang merupakan akar permasalahan pokok yang besar


pengaruhnya pada kinerja pemerintah adaah amandemen UUD. Amandemen
sebanyak 4 kali selama kurun waktu 1999 sampe 2004, telah menciptakan
pemerintahan parlementer semu. UUD hasil amandemen telah merubah secara
mendasar sistem demokrasi permusyawaratan-perwakilan menjadi demokrasi
mayoritas dan sistem pemerintahan negara diubah menjadi sistem presidensial,
padahal masyarakat oindonesia yang majemuk memiliki sistem multi-partai,
berlandaskan paham kekeluargaan dalam menciptakan keadilan sosial.

Dalam literature ilmu politik sistem pemerintahan tersebut ditahbiskan


pertama kali oleh ilmuwan politik Prancis, sebagai sistem pemerintahan semi-
presidesial. Sistem itu dipilih karena dipandang akan mampu mengatasi kelemahan-
kelemahan sistem parlementer yang dipandang tidak mengenal pemisahan antara
kekuasaan eksekutif dan legislative, karena yang memegang portofolio penting dalam
eksekutif adalah anggota legislative, sehingga tidak menjamin tumbuhnya check-and-
balances yang merupakan prasyarat dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
Sistem Presidensial tidak dipilih oleh para penyusun konstitusi karena memperkirakan
pada sistem tersebut terbuka lebar peluang terjadinya ‘political gridlocks’ apabila
presiden terpilih berasal dari partai minoritas sedangkan berkuasa di lembaga
legislatif adalah partai mayoritas. Hubungan yang kurang serasi antara eksekutif dan
legislative pada tahun pertama pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu merupakan
salah satu contoh fenomena Kemacetan politik yang dikhaatirkan oleh para pendahulu
kita. Political gridlock yang kita alami sejak KIB terbentuk karena dalam sistem
parlementer semu Presiden bukan saja kendala dari DPR, tetapi juga karena para
menteri dalam kabinetnya lebih loyal kepada politik partai masing-masing.

Selain harus menghadapi ancaman instabilitas politik, Persoaaln itu adalah


adanya ‘tekanan’ masyarakat internasional yang sedang mengalami pergeseran
pandangan tentang misi dan sistem pemerintah dalam pembangunan negara-negara
berkembang.

Dirangsang oleh pemikiran Osborne ,Gabler, serta Plastrik, berkembanglah


pemikiran yangcukup berpengarih di lingkungan lembaga-lembaga keuangan
internaisional bahwa pemerintah yang baik adalah pemerintah yang ramping.
Lembaga-lembaga multilateral maupun bilateral dengan cepat meenrima pandangan
tersebut dan menerapkannya dalam program bantuan mereka dan menjadikannya
bagian dari paket program oengembangan good governance, yang secara sempit
diartikan sama dengan small government atau clean government.

Program-program reformasi ekonomi yang dilaksanakan oleh lembaga-


lembaga internasional di Indonesia tidak terlepas dari pemikiran ini. Padalah dalam
kenyataannya, peran Pemerintah Indonesia, diukur dari anggaran pemerintah
sebenarnya cukup kecil. Demikian juga bila diukur dari rasio penduduk per pegawai,
Indonesia berada dibawah rasio di negara-negara maju. Dalam keadaan organisasi
pemerintah terlalu kecil untuk mampu melaksanakan dari luar untuk melakkan
debirokratisasi dan deregulasi.

Dari perbandingan tersebut dapat disimpulkan bahwa arah kebijakan reformasi


kelembagaan atau reformasi aparatur negara – deregulasi – di negara-negara maju
yang tujuannya mengurangi peranan negara dalam pembangunan ekonomi memang
tidak sepenuhnya dapat diterapkan di Indonesia. Kalau arah kebijakan seperti itu tetap
dipaksakan oleh kekuatan luar terhadap Indonesia, maka itu akan membuat entrofi
pemerintahan akan semakin berlanjut dan Indonesia akan betul-betul menjadi negara
gagal yang tidak mampu lagi melakukan tugas-tugas untuk mecapai cita-cita bangsa.

Reformasi Aparatur Negara

Reformasi politik yang berlangsung dengan cepat sejak 1998 ternyata


menimbulkan dampak yang besar pada sistem pendukung penyelenggaraan negara
yang kalau tidak diperbaiki akan berkembang menjadi bencana yang dapat
menghancurkan sistem administrasi. Bencana yang akan merontokkan sendi-sendi
aparatur negara yang professional yang menerapkan sistem manajemen aparatur
negara yang meritokratik sudah muncul di horizon dalam dengan tanda-tanda sebagai
berikut:

Landasan hokum untuk sistem kepegawaian meritokratik yang bertujuan untuk


menajmin agar birrokrasi pemerintah bersih dari intervensi politik sebenarnya sudah
ada yaitu UU No.43 tahun 1999. UU tersebut memperkenalkan konsep kelembagaan
independen sebagai pembantu Presiden untuk merumuskan kebijakan-kebijakan
kepegawaian negri yang harus dilaksanakan oleh berbagai instansi pemerintah pusat.

Pasal 13 Ayat 3 UU No.43 tahun 1999 tentag perubahan terhadap UU No.8


Tahun 1974 tentang pokok-pokok Kepegawaian Negara menetapkan adanya komisi
independen tersebut yaitu Komisi Kepegawaian Negara yang terdiri dari 5 anggota
yang mewakili stakeholders penting yang belum dibentuk oleh Pemerintah. Bentuk
lembaga independen seperti ini makin banyak digunakan di berbagai negara karena
dipandang sebagai bentuk kelembagaan yang lebih cocok untuk mewadahi proses
perumusan kebijakan yang lebih demokratis.

Kerangka pemikiran yang mendasari pengusulan Komisi Kepegawaian adalah


sekitar tahun 1998-1999 para perumus memperkirakan setelah pemilu 1999 akan
terjadi perubahan yang cukup mendasar dalam sistem pemerintahan dan kepegawaian
Indonesia. Jumlah partai yang ikut dalam Pemilu meningkat secara drastic dan
mencapai lebih dari 100 partai. Sistem pemerintahan akan mengalami perubahan yang
sangat fundamental, dari sistem satu pertain yang stabil menjadi sistem multi-partai
yang relative kurang stabil. Dari perubahan sistem politik, sistem pemerintahan
negara pun berubah dari sistem semi-presidensial menjadi sistem presidensial.namun,
secara empiris sistem presidensial tidak berfungsi efektif dalam sistem multi-partai.

Kedua perubahan mendasar ini memerlukan sistem kepegawaian yang lebih


terstandarisasi, lebih berorientasi stratejik serta lebih desentralis implementasinya.
Agar dapat melaksanakan fungsi dan tugas yang baru ii sebagian besar beban
operasional, baik departemen, lembaga non-departemen maupun pemerintah daerah.
Otoritas kepegawaian nasional seharusnya lebih memusatkan pada perumusan
standard an norma kepegawaian nasional, termasuk menyusun kebijakan penggajian,
kesejahteraan dan evaluasi kinerja PNS. Singkatnya, otoritas kepegawaian akan lebih
bersifat regulating daripada implementing.

Pada suatu sistem pemerintahan yang demokratis, manajemen kepegawaian


sebaiknya dilaksanakan secara terdesentralisasi sedangkan fungsi regulasi dan
pengawasan diselenggarakan oleh Komisi Aparatur Negara (Civil Service
Commission).Indonesia pada awal-awal kemerdekaan telah menggunakan bentuk
komisi dan membentuk Dewan Urusan Pegawai. Pada tahun 1974 bentuk komisi
diganti menjadi Badan Administrasi Kepegawaian Negara yang menjalankan fungsi
regulasi, implementasi, dan pengawasan.

Menurut penulis, Komisi Kepegawaian harus mempunyai kemandirian dalam


menjalankan tugas dan fungsinya, karena itu komisi tidak perlu dipimpin langsung
oleh presiden. Dengan adanya Komisi Kepegawaian, peranan Kementrian
Pendayagunaan Aparatur Negara harus diredifinisi dan lebih diarahkan pada
koordinasi perumusan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan good governance. Saat ini
kebijakan good governance yang dijalankan oleh Pemerintah mencakup beberapa
bidang pokok antara penataan sistem pemerintahan, desentralisasi pemerintahan atau
otonomi daerah, penataan sistem keuangan negara, serta penegakan hokum dan
pemberantasan korupsi.

Desentralisasi Pemerintahan

Kebijakan desentralisasi pemerintah yang dilaksanakan oleh Pemerintahan


Indonesia sejak awal reformasi telah menunjukkan hasil-hasil yang cukup
menggembirakan dilihat dari cakupan layanan publk, penyediaan infrastruktur dan
partisipasi politik daerah.
Indonesia yang memiliki 33 provinsi dan 485 kabupaten dalam pelaksanaan
desentralisasi pemerintahan terdapat variasi dalam kinerja provinsi dan
kabupaten/kota menyelenggarakan pemerintahan daerah, dalam kemampuan
melakukan adjustment dengan tanggung-jawab sebagai daerah otonom.

Kebijakan untuk meletakkan otonomi daerah pada kabupaten dan kota


ternyata telah mendorong proliferasi pemekaran daerah otonom.Pada tingkat provinsi,
masalah terbesar yang dihadapi dalam implementasi kebijakan otonomi daerah adalah
besarnya variasi kemampuan daerah otonom dalam melaksanakan desentralisasi
pemerintahan. Ketergantungan kepada Pemerintah masih sangat besar seperti
diungkapkan oleh Survei Tata Kepemerintahan dan Desentralisasi.

Sebenarnya kriteria-kriteria ekonomi seperti potensi daerah, dan daya saing


daerah dalam menghadapi persaingan nasional dan global, telah menjadi
pertimbangan dalam UU Nomor 32/2004.Provinsi yang secara empiris telah
menunjukkan kemampuan melaksanakan tata kepemerintahan yang bai katas dasar
evaluasi dengan 6 indikator adalah Gorontalo, Sumatera Barat, Jatim, DIY Jogjakarta
dan Kepulauan Bangka Belitung. Ternyata keberhasilan pelaksanaan tata
kepemerintahan yang baik tidak berhubungan langsung dengan besarnya sumber
keuangan daerah. Nyatanya 3 provinsi yang memiliki sumber keuangan yang besar,
provinsi NAD, Papua dan Riau, memiliki kinerja yang lebih rendah dibandingkan
provinsi yang relative lebih miskin.

Desentralisasi pemerintahan memang merupakan jalan yang tepat untuk


membangun kesatuan bangsa, menciptakan kesejahteraan social dan untuk
meningkatkan daya saing daerah.Tetapi agar tujuan tersebut tercapai, desentralisasi
pemerintahan atau otonomi daerah harus didukung oleh stabilitas politik nasional dan
daerah yang baik serta kepastian hukum.

Pemberantasan KKN

Pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme adalah bagian terpenting


reformasi tata pemerintahan yang telah dilakukan oleh Pemerintah. Mulai terbukanya
berbagai skandal korupsi yang menyangkut bank-bank pemerintah, komisi-komisi
independent, Lembaga eksekutif, Lembaga legislative, komisi independent dan
Lembaga judikatif mungkin dapat menajadi penunjuk betapa serius pemerintah
berusaha membrantas korupsi yang telah sangat mencemarkan nama bangsa ini di
lingkungan masyarakat internasional.

Namun, walaupun kerangka dan strategi pemberantasan korupsi yang cukum


komprensif telah tersusun, mulai dari reformasi hukum, pembentukan jaringan
pengawasan masyarakat dan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi dan
berbagai Lembaga penyelidikan tindak korupsi, harus dipahami bahwa kemajuan
yang cukup berarti dalam upaya pemberantasan korupsi perlu wakty. Karena itu
upaya pemberantasan korupsi di Indonesia haruslah lebih diarahkan kepada penataan
system hukum, system ekonomi, system pemerintahan dan system administrasi yang
tidak memungkinkan terjadinya praktik korupsi.

Langkah-langkah pemberantasan praktik KKN yang telah dilakukan oleh


pemerintah melalui KPK sudah mulai menunjukkan tanda-tanda keberhasilan.
Dari segi finansial, jumlah uang negara yang diselamatkan mungkin masih kecil,
tetapi penindakan tegas terhadap para pencoleng uang negara sudah mulai
menimbulkan deterrent effect yang cukup luas. Namun, setiap tindakan selalu
menimbulkan unintended effect yang sama-sama tidak diharapkan. Karena definisi
korupsi yang diterapkan di Indonesia cukup melebar dan mencakup penyimpangan
dari prosedur dan tata-cara pengelolaan keuangan negara, realisasi anggaran belanja
negara, baik pusat maupun daerah, menjadi sangat terhambat.

Misalnya sampai bulan Juli 2008 rerata realisasi anggaran berbagai instansi
pemerintah hanya mencapai di bawah 10 persen. Di tingkat daerah pun gejala seperti
tersebut terjadi. Pada 2007 lebih kurang Rp 98 triliyun dana Pemda diparkir dalam
bentuk SBI, bukan dibelanjakan sehingga dapat mengaktifkan ekonomi daerah.
Melihat kenyataan ini, nampaknya pengawasan internal perlu juga menyoroti
lambannya pembelanjaan pemerintah karena pengaruhnya yang besar terhadap
ekonomi nasional dan daerah.

Langkah Maju Reformasi Birokrasi

Reformasi aparatur negara adalah prasyarat mutlak yang diperlukan untuk


menjamin berlangsungnya pengelolaan pemerintahan yang demokratis serta system
ekonomi yang dapat menciptakan keadilan social bagi semua.

Sayangnya model yang berhasil diterapkan suatu negara tidak dapat


diterapkan begitu saja di Indonesia, karena belum tentu model yang cocok untuk suatu
bangsa juga akan cocok untuk Indonesia. Karena itu Indonesia harus berani mencari
system pemerintahan dan system ekonomi yang sosio-demokratis yang dianggap
paling sesuai dengan budaya bangsanya. Para pendiri negara menganggap corak
bangsa Indonesia – gotong royong atau kekluargaan seharusnya merupakan landasan
dasar dalam pemikiran tentang kedua system tersebut.

Sayangnya, strategi dan kebijakan penataan kelembagaan yang ditempuh oleh


pemerintah selama ini, terutama selama 1 tahun pemerintahan KIB belum menjadikan
budaya bangsa tersebut sebagai landasan dalam reformasi kelembagaan. Akibatnya,
reformasi kelembagaan yang telah dilakukan bukannya menciptakan landasan
kelembagaan yang semakin mantap untuk melaksanakan pemerintahan untuk
mencapai cita-cita bangsa. Bahkan sebaliknya, komplikasi baru timbul yaitu ancaman
entrofi pemerintahan Nampak semakin nyata dan semakin mengancam kelangsungan
pemerintahan KIB.

Sebagai bagian integral dan reformasi aparatur negara, perlu dilakukan


overhaul besar-besaran pada birokrasi pemerintah, yang mencakup penerapan model
manajemen baru, system kepegawaian baru termasuk penerapan system penggajian
dan jaminan social yang lebih rasional, serta penerapan aplikasi teknologi informasi
modern dalam manajemen pemerintahan. Tanpa reformasi yang komprehensif
tersebut, sukar mengharapkan akan terjadi peningkatan kinerja birokrasi secara
mendasar.

Reformasi aparatur negara belum mampu meningkatkan kapasitas aparatur


negara untuk menerapkan tata kepemerintahan daerah yang baik dan kurang mampu
menghasilkan kinerja yang tinggi dalam mencapai tujuan desentralisasi pemerintahan.
Terbatasnya keberhasilan reformasi aparatur negara karena 3 faktor:

1. Belum tersedianya kerangka hukum yang mantap tentang manajemen


kepegawaian berbasis keahlian atau isu kerangka hukum
2. Belum terintegrasinya perencanaan kelembagaan dengan manajemen
kepegawaian pada aparatur negara, atau isu manajemen
3. Fungsi regulasi dan pengawasan, dan fungsi manajemen aparatur negara
belum dilaksanakan secara terpisah sesuai prinsip manajemen modern, atau isu
kekaburan fungsi.

Reformasi system aparatur negara diperlukan untuk mengintegrasikan


perencanaan organisasi aparatur negara, perencanaan kepegawaian dan penempatan
pegawai, system remunerasi, penerapan merit-based-personnel management, system
Pendidikan dan pelatihan, dan penerapan system klasifikasi jabatan, dan pusat
penilaian kompetensi pegawai. Untuk mempertegas penerapan tersebut perlu
diadakan perubahan pada UU/43/1999 tentang pokok-pokok kepegawaian Negara
pada Bab IV Bagian Sembilan dan Bab V UU No. 32/2004 sebagai berikut:

1. Penerapan pendekatan kelembagaan yang memandang aparatur negara secara


integrative memerlukan penggabungan ketentuan tentang Perangkat Daerah
dan ketentuan tentang Kepegawaian Daerah. Sejalan dengan prinsip
melindungi aparatur negara dari intervensi politik.
2. Penerapan prinsip merit-based-personnel management system untuk
menciptakan profesionalisme aparatur negara diterapkan pada setiap tahap
manajemen pegawai aparatur negara dengan mendasarkan keputusan tentang
penerimaan, penempatan, dan pengangkatan, dan promosi pegawai atas dasar
keahlian yang diukur dari kesesuaian antara kualifikasi calon pegawai dengan
persyaratan kompetensi jabatan.
3. Agar profesionalisme dapat tumbuh dan aparatur negara bebas dari intervensi
politik, perlu diadakan pemisah tegas antara jabatan politik dan jabatan
professional dalam aparatur negara.
4. Sejalan dengan pokok pikiran tentang profesionalitas dan netralitas aparatur
negara, kewenangan penerapan norma, standar, dan prosedur nasional aparatur
negara termasuk penetapan skala penggajian dilaksanakan oleh setiap instansi
dilakukan oleh Komisi Aparatur Negara atas nama Presiden.
5. System remunerasi adalah bagian yang kurang mendapatkan perhatian dalam
manajemen aparatur negara di tingkat nasional. Untuk itu sebagai pelaksanaan
dari otonomi daerah harus diberikan kewenangan untuk mengatur system
remunerasi pegawai daerah sebagai dasar hukum untuk melakukan reformasi
system penggajian dan pensiun.
6. Perlu ditetapkan
a. Komisi Kepegawaian Negara sebagai pemegang kekuasaan regulasi
dan pengawasan aparatur negara
b. Fungsi pelaksanaan manajemen kepegawaian oleh BKN dan BKD.

Kesimpulan

Reformasi birokrasi merupakan salah satu upaya pemerintah menuju


pemerintahan yang lebih baik, terpercaya, andal, perofesional, serta akuntabel. Dalam
sepuluh tahun terakhir, pemerintah terus melakukan upaya terkait reformasi birokrasi
yang memiliki peran penting bagi pembangunan nasional.Tujuan reformasi birokrasi
adalah untuk menciptakan birokrasi pemerintah yang profesional dengan
karakteristik, berintegrasi, berkinerja tinggi, bebas dan bersih KKN, mampu melayani
publik, netral, sejahtera, berdedikasi, dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode
etik aparatur negara.

Reformasi aparatur negara adalah prasyarat mutlak yang diperlukan untuk


menjamin berlangsungnya pengelolaan pemerintahan yang demokratis serta system
ekonomi yang dapat menciptakan keadilan social bagi semua. Misi reformasi
birokrasi Indonesia Membentuk dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan
dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Melakukan penataan
dan penguatan organisasi, tatalaksana, manajemen sumber daya manusia aparatur,
pengawasan, akuntabilitas, kualitas pelayanan publik, mindset, dan cultural set.
Mengembangkan mekanisme kontrol yang efektif.

Anda mungkin juga menyukai