Anda di halaman 1dari 91

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Istilah “governance” sebenarnya sudah dikenal dalam literatur administrasi

dan ilmu politik hampir 120 tahun, sejak Woodrow Wilson, yang kemudian menjadi

Presiden Amerika Serikat ke 27, memperkenalkan bidang studi tersebut kira-kira 125

tahun yang lalu. Tetapi selama itu governance hanya digunakan dalam literatur politik

dengan pengertian yang sempit. Oleh para teoritisi dan praktisi administrasi Negara

Indonesia, istilah “good governance” telah diterjemahkan dalam berbagai istilah,

misalnya, penyelenggaraan pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo), tata

pemerintahan yang baik (UNDP), pengelolaan pemerintahan yang baik dan

bertanggungjawab (LAN) dan ada juga yang mengartikan secara sempit sebagai

pemerintahan yang bersih (clean government).

Perbedaan paling pokok antara konsep “government” dan “governance”

terletak pada bagaimana cara penyelenggaraan otoritas politik, ekonomi dan

administrasi dalam pengelolaan urusan suatu bangsa. Konsep “pemerintahan”

berkonotasi peranan pemerintah yang lebih dominan dalam penyelenggaraan berbagai

otoritas tadi. Sedangkan dalam governance mengandung makna bagaimana cara suatu

bangsa mendistribusikan kekuasaan dan mengelola sumberdaya dan berbagai masalah

yang dihadapi masyarakat. Dengan kata lain, dalam konsep governance terkandung

unsur demokratis, adil, transparan, rule of law, participation dan kemitraan. Mungkin

definisi yang dirumuskan oleh IIAS (International Institute of Administrative

Sciences) adalah yang paling tepat meng-capture makna tersebut yakni “the process

whereby elements in society wield power and authority, and influence and enact

1
policies and decisions concerning public life, economic and social development”.

Terjemahan dalam bahasa kita adalah “proses dimana berbagai unsur dalam

masyarakat menggalang kekuatan dan otoritas, dan mempengaruhi dan mengesahkan

kebijakan dan keputusan tentang kehidupan publik, serta pembangunan ekonomi dan

sosial.

Ada tiga pilar pokok yang mendukung kemampuan suatu bangsa dalam

melaksanakan good governance, yakni: pemerintah, civil society dan dunia usaha.

Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab baru tercapai bila

dalam penerapan otoritas politik, ekonomi dan administrasi ketiga unsur tersebut

memiliki jaringan dan interaksi yang setara dan sinerjik. Interaksi dan kemitraan

seperti itu biasanya baru dapat berkembang subur bila ada kepercayaan (trust),

transparansi, partisipasi, serta tata aturan yang jelas dan pasti, Good Governance yang

sehat juga akan berkembang sehat di bawah kepemimpinan yang berwibawa dan

memiliki visi yang jelas.

Lengsernya rezim orde baru dan munculnya orde reformasi membawa

banyak harapan disertai perubahan terhadap sendi-sendi kehidupan bangsa. Reformasi

muncul sebagai akibat terjadinya peningkatan berbagai aspek kehidupan masyarakat

yang ditandai dengan meningkatnya tingkat pendidikan, terbukanya berbagai isolasi,

kebebasan mengeluarkan pendapat serta kemudahan dalam melakukan akses

informasi. Kondisi ini memberikan dampak terhadap pola perilaku dan pola pikir

masyarakat dalam menyikapi berbagai kebijakan pemerintah dalam hal pengambilan

keputusan. Masyarakat pada saat ini sudah semakin kritis dalam mencermati

penyelenggaraan kekuasaan Negara. Segala sesuatu yang dianggap menyimpang atau

keluar dari jalur yang semestinya, akan cepat mendapat reaksi dari masyarakat baik

2
secara langsung melalui demonstrasi atau unjuk rasa maupun secara tidak langsung

melalui pemberitaan di media massa.

Begitu kritisnya masyarakat pada saat ini dengan berbagai tuntutan

perubahan yang semuanya mengarah pada suatu harapan yaitu terwujudnya kondisi

atau keadaan yang jauh lebih baik, baik kondisi masyarakat maupun penyelenggaraan

pemerintahan. Semakin berkembangnya era globalisasi dan semakin terbukanya arus

informasi telah mengakibatkan terjadinya perubahan paradigma dalam sistem

pemerintahan. Perubahan paradigma pemerintahan dari rule driven ke mission driven

serta terjadinya pergeseran tuntutan pelayanan publik kearah yang lebih transparan,

partisipatif dan akuntabel merupakan fenomena perubahan lingkungan strategis yang

berkembang saat ini. Keinginan untuk perubahan tersebut bermuara dari semakin

meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak dan kewajibannya sebagai

warganegara yang dipicu oleh semakin meningkatnya pendidikan dan pengetahuan

warganegara (learning society).

Selain itu semakin mandirinya mass media yang didukung oleh teknologi

informasi dan komunikasi yang semakin canggih dan terbuka lebar juga memberikan

pengaruh yang cukup besar. Kenyataan membuktikan bahwa kesuksesan

penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan nasional terutama

sangat tergantung dari kesempurnaan aparatur pemerintah, serta dukungan dari

berbagai instansi pemerintah yang dalam tugas dan fungsinya berbeda-beda namun

tetap menjadi satu yaitu menyukseskan pembangunan nasional.

Dalam rangka ikut menyukseskan pelaksanaan pembangunan dan

menciptakan masyarakat yang adil dan merata, maka salah satu upaya yang dilakukan

adalah memperkuat penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui peningkatan

kualitas dan kuantitas pelayanan yang profesional oleh para pegawai yang ada, sebab

3
pelaksanan pembangunan yang merata di seluruh wilayah Negara Indonesia sangat

dipengaruhi oleh penyelenggaraan pemerintahan itu sendiri. Pembangunan pegawai

pemerintah atau dalam hal ini Pegawai Negeri Sipil diarahkan untuk meningkatkan

kualitas kerja pegawai agar lebih memiliki sikap dan perilaku yang berlandaskan

kepada pengabdian, kejujuran, tanggung jawab, disiplin dan keadilan, sehingga dalam

melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pegawai negeri berhasil dengan baik serta

dapat memberikan pelayanan dan pengayoman kepada masyarakat sesuai dengan

tuntunan hati nurani mereka.

Untuk membentuk sosok Pegawai Negeri Sipil sebagaimana yang

disebutkan di atas, maka perlu dilaksanakan pembinaan yang baik dan teratur,

dilakukan secara terus menerus dengan berdasarkan pada perpaduan sistem prestasi

kerja dan sistem karier yang dititikberatkan pada sistem prestasi kerja. Hal ini

dimaksudkan untuk memberi peluang bagi Pegawai Negeri Sipil yang berprestasi

untuk meningkatkan kemampuannya secara profesional dan berkompetensi secara

sehat. Selain itu, untuk meningkatkan profesionalisme dan prestasi kerja atau kinerja

pegawai tersebut harus diperhatikan pula masalah kesejahteraannya, agar pegawai

yang bersangkutan dapat memusatkan perhatian sepenuhnya kepada tugas pokok

sehari-hari. Bentuk kesejahteraan di sini antara lain adalah kelancaran dalam

pemberian gaji atau bentuk lainnya, sehingga setiap pegawai tentunya akan lebih

bergairah dan bersemangat dalam bekerja mengingat kesejahteraannya dapat

terpenuhi dan diterima sesuai dengan haknya.

Dengan adanya berbagai masalah pegawai maka masalah tersebut perlu

ditangani secara khusus, untuk itu perlu adanya bagian yang mengurus segala hal

administrasi kepegawaian, pembinaan pegawai, dan peningkatan kinerja pegawai.

Seiring dengan perubahan paradigma pemerintahan yang mengarah pada

4
pemerintahan demokratis yang berazas pada good governance, diperlukan pula

pembaharuan pada tataran manajemen sumber daya manusia (aparatur pemerintah).

Dengan adanya semangat otonomi daerah, Pemerintah Pusat telah

mengeluarkan berbagai Peraturan Perundang-undangan dalam rangka desentralisasi

kepegawaian, diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang

Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2000 tentang Formasi Pegawai Negeri

Sipil.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri

Sipil.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2000 tentang Kenaikan Pangkat Pegawai

Negeri Sipil.

5. Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai

Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural.

6. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan

Jabatan Pegawai Negeri Sipil.

7. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan,

Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil.

8. Keputusan Presiden Nomor 159 Tahun 2000 tentang Pembentukan Badan

Kepegawaian Daerah.

Keberadaan Peraturan Pemerintah tentang pemberian kewenangan dalam

bidang kepegawaian ini perlu diimbangi dengan penataan manajemen dan

kelembagaan yang mengelola sumber daya aparatur. Selama ini, daerah otonom

hanya memiliki kewenangan terbatas dalam pengelolaan sumber daya aparatur, antara

5
lain menyangkut usulan kenaikan pangkat, usulan mutasi, usulan pengisian jabatan

kerja dan usulan pemberhentian, sedangkan keputusan terakhir tetap berada di tangan

Pemerintah Pusat. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintah Daerah maka harus didorong desentralisasi urusan kepegawaian

kepada daerah. Untuk memberi landasan yang kuat bagi pelaksanaan desentralisasi

kepegawaian tersebut, diperlukan adanya pengaturan kebijakan manajemen Pegawai

Negeri Sipil secara nasional tentang norma, standar, dan prosedur yang sama dan

bersifat nasional dalam setiap unsur manajemen kepegawaian.

Sejalan dengan desentralisasi bidang kepegawaian kepada daerah otonom,

maka unit pengelola sumber daya aparatur dalam hal ini Pegawai Negeri Sipil sudah

selayaknya ditangani oleh sebuah lembaga teknis daerah berbentuk badan atau kantor.

Pembentukan Badan Kepegawaian Daerah di daerah kabupaten/kota maupun provinsi

sejalan dengan bunyi pasal 34 A Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 serta

Keputusan Presiden Nomor 159 Tahun 2000 tentang Pembentukan Badan

Kepegawaian Daerah. Badan Kepegawaian Daerah merupakan Perangkat Pemerintah

Daerah yang berwenang melaksanakan manajemen Pegawai Negeri Sipil Daerah

untuk meningkatkan pelayanan dan kinerja pegawai dalam rangka menunjang tugas

pokok Gubernur, Bupati/Walikota. Kelancaran pelaksanaan tugas organisasi ini

sangat tergantung pada kesempurnaan dari pegawai yang berada didalamnya yang

mampu bekerja secara profesional, efektif dan efisien guna meningkatkan kelancaran

roda pemerintahan.

Penguatan desentralisasi daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota semakin

didorong oleh Pemerintah (pusat) dengan maksud agar setiap daerah semakin lebih

berdaya, semakin rneratanya pembangunan dan kesejahteraan masyarakat daerah.

Langkah nyata yang telah. dilakukan oleh pemerintah antara lain adalah ditetapkannya

6
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Meskipun Undang-undang

Nomor 22 Tahun 1999 sudah diberlakukan selama lima tahun, namun demikian dalam kurun

waktu tersebut, muncul akses yang menyertai penyelenggaraan otonomi daerah, khususnya

dalam penyelenggaraan manajemen sumber daya manusia khususnya Pegawai Negeri

Sipil (PNS) di daerah. Hal tersebut nampak dengan adanya kecenderungan para pejabat

kepegawaian daerah menetapkan keputusan/kebijakan yang kurang selaras dengan

peraturan perundang-undangan kepegawaian yang berlaku secara nasional.

Adanya hambatan (eksklusivitas) terhadap masuknya PNS dalam rangka

pembinaan karier secara nasional dari luar daerah, meskipun daerah setempat

kekurangan pegawai yang kompeten sesuai dengan bidang tugas dan fimgsi yang harus

dilaksanakan. Akibatnya terhambatnya pelayanan publik di daerah karena kurangnya

ketersediaan aparat yang kompeten di bidangnya. Adanya kecenderungan daerah

membentuk unit organisasi yang sama dengan daerah lainnya, tanpa

mempertimbangkan kebutuhan riil dan potensi daerah setempat (latah). Kurang

akuratnya data PNS Daerah yang tersimpan dalam database PNS di tingkat nasional antara lain

dikarenakan tidak tertibnya pengiriman data mutasi PNS dari daerah.

Globalisasi dan revolusi teknologi informasi-komunikasi menjadi tantangan

tersendiri bagi birokrasi dalam upaya menciptakan pemerintahan yang baik, pemerintahan yang

bersih, dan berwibawa. Pemanfaatan teknologi informasi dalam birokrasi secara tepat guna,

dengan didukung kualitas sumber daya manusia yang baik akan mampu meningkatkan efisiensi

dan efektivitas birokrasi untuk meningkatkan kinerjanya. Namun demikian apabila

ketersediaan sarana tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara tepat guna dan tidak didukung

dengan sumber daya manusia yang berkualitas baik, maka hal tersebut hanya akan menciptakan

inefisiensi dan akan menghambat sistem manajemen secara keseluruhan.

7
Permasalahan klasik kepegawaian yang sering timbul berkaitan dengan kurang

berdayanya sistem informasi manajemen kepegawaian adalah :

 Kesalahan data PNS pada surat keputusan mutasi kepegawaian yang ditetapkan oleh

pejabat kepegawaian, hal demikian terjadi (pada umumnya) dikarenakan dalam proses

pembuatan keputusan tersebut tidak didukung dengan data yang akurat dan mutakhir.

 Belum berdayanya sistem informasi kepegawaian untuk menghadirkan data dan

informasi PNS secara cepat, tepat dan akurat, setiap saat diperlukan dalam rangka

pembuatan keputusan-kebijakan kepegawaian nasional.

 Sedangkan pemeliharaan data PNS secara manual kurang dapat mengimbangi percepatan

perubahan dan perkembangan lingkungan yang terjadi.

Dari permasalahan klasik yang selalu terjadi setiap tahunnya tersebut tidak

terlepas dari komitmen para pimpinan di tiap-tiap organisasi publik, terutama dalam

hal ini yang berkaitan dengan fungsi manajemen kepegawaian adalah pimpinan dari

BKD itu sendiri. Untuk itu BKD dibentuk untuk kelancaran pelaksanaan manajemen PNS

Daerah. Sebagai unsur pelaksana tugas kepegawaian daerah, BKD Kabupaten Pati

mempunyai volume tugas dan fungsi yang amat vital mencakup seluruh proses

pengembangan Pegawai Negeri Sipil di Daerah, mulai dari tahap seleksi, pengembangan

serta pensiun pegawai. Makna kesejahteraan bagi PNS adalah dimana penghasilan PNS

dapat memenuhi tingkat hidup layak bagi diri dan keluarganya, yang didukung dengan

sistern penghargaan non materiil yang adil dan rasional, sehingga mampu menumbuhkan

motivasi yang selanjutnya memacu peningkatan kinerja, dan terciptanya aparatur yang

bersih dari KKN.

Keberhasilan suatu organisasi dalam hal ini efektivitas pelaksanaan tugas dan

fungsi Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Pati, tidak terlepas dari adanya dukungan

8
dari kejelasan peran masing-masing anggota organisasi, koordinasi antara pimpinan

dengan seluruh anggota organisasi serta motivasi kerja dari pegawai untuk melaksanakan

tugas pokok dan fungsinya di bidang/bagian masing-masing.

Keberadaan Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Pati sebagai lembaga

teknis daerah berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Pati Nomor 12 Tahun 2008

Tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah dan Satuan Polisi

Pamong Praja. Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Pati mempunyai tugas pokok

membantu Bupati melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah di bidang

kepegawaian (Pasal 7).

Untuk menyelenggarakan tugas pokok, Badan Kepegawaian Daerah

Kabupaten Pati mempunyai fungsi:

a. Penyiapan, penyusunan, peraturan perundang-undangan daerah di bidang

kepegawaian sesuai norma, standar dan prosedur yang ditetapkan pemerintah;

b. Perencanaan dan pengembangan kepegawaian daerah;

c. Penyiapan kebijakan teknis, pengembangan kepegawaian daerah;

d. Penyiapan dan pelaksanaan pengangkatan, kenaikan pangkat, pemindahan dan

pemberhentian Pegawai Negeri Sipil Daerah sesuai norma, standar dan prosedur yang

ditetapkan dengan perundang-undangan;

e. Pelayanan administrasi kepegawaian dalam pengangkatan, pemindahan dan

pemberhentian dalam dan dari jabatan struktural atau fungsional sesuai norma,

standar dan prosedur yang ditetapkan dengan perudang-undangan;

f. Penyiapan dan penetapan pensiun;

g. Penyiapan penetapan gaji, tunjangan dan kesejahteraan Pegawai Negeri Sipil

Daerah;

9
h. Penyelenggaraan administrasi kepegawaian;

i. Pengelolaan Sistem Informasi Kepegawaian Daerah;

j. Penyampaian informasi kepegawaian daerah kepada Kepala Badan Kepegawaian

Nasional;

k. Penyiapan dan pelaksanaan pendidikan dan latihan pegawai;

l. Penyusunan program, pengelolaan dan pelaksanaan, pendidikan dan latihan;

m. Pelaksanaan pembinaan siswa, penyusunan data pribadi siswa dan alumni,

dokumentasi dan perpustakaan pendidikan dan latihan kabupaten;

n. Pelaksanaan pembelajaran dan pelatihan serta bimbingan teknis pendidikan dan

latihan;

o. Evaluasi pelaksanaan pendidikan dan latihan serta pelaporan;

p. Pengelolaan administrasi umum;

q. Pembinaan dan bimbingan kelompok jabatan fungsional.

Sedangkan tujuan dari Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Pati adalah :

1. Memberikan pelayanan di bidang kepegawaian secara prima;

2. Menyiapkan kebijakan teknis pengembangan kepegawaian;

3. Menyiapkan pengelolaan sistem informasi kepegawaian daerah; dan

4. Menyiapkan penyusunan peraturan perundang-undangan kepegawaian.

Kemudian untuk mengetahui persentase rata-rata capaian sasaran yang

telah tertuang dalam Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Badan

Kepegawaian Daerah Kabupaten Pati selama tiga tahun terakhir adalah dapat dilihat

pada tabel sebagai berikut:

TABEL I. 1
TINGKAT CAPAIAN SASARAN DAN PROGRAM
BADAN KEPEGAWAIAN DAERAH

10
KABUPATEN PATI TAHUN 2006
PERSENTASE
NO. SASARAN PROGRAM CAPAIAN
PROGRAM
1. Pelayanan Prima Pelayanan Administrasi
90%
Terhadap Aparatur Perkantoran
Daerah Kabupaten Pati Peningkatan Sarana Dan
70%
Prasarana Aparatur
Peningkatan Disiplin
70%
Aparatur
2. Arah Kebijakan Di Pembinaan Dan 65%
Dalam Administrasi Pengembangan Aparatur
Kepegawaian Dan
Pengembangannya
3. Terlaksananya Sistem Peningkatan Pengembangan 70%
Informasi Sistem Pelaporan Capaian
Kepegawaian Daerah Kinerja Dan Keuangan
Di Lingkungan
Aparatur
4. Pedoman Pelaksanaan Peningkatan Kapasitas 60%
Di Bidang Sumber Daya Aparatur
Administrasi
Kepegawaian Di
Lingkungan
Pemerintah Kabupaten
Pati
PERSENTASE RATA-RATA 72%
Sumber : Sekretariat Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Pati, 2006

Berdasarkan pada tabel di atas, dapat terlihat dengan jelas bahwa dari

keseluruhan program pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Pati selama tahun

2006, capaian program tertinggi yaitu Program Pelayanan Administrasi Perkantoran

yaitu sebesar 90% dan yang terendah pencapaiannya adalah Program Peningkatan

Kapasitas Sumber Daya Aparatur yaitu hanya 60%. Dan dari keseluruhan program

yang ada, belum ada satupun program yang mencapai seratus persen (100%),

sedangkan apabila dicari persentase rata-rata dari keseluruhan program maka dapat

diperoleh hasil sebesar 72%.

TABEL I. 2
TINGKAT CAPAIAN SASARAN DAN PROGRAM
BADAN KEPEGAWAIAN DAERAH

11
KABUPATEN PATI TAHUN 2007
PERSENTASE
NO. SASARAN PROGRAM CAPAIAN
PROGRAM
1. Pelayanan Prima Pelayanan Administrasi
100%
Terhadap Aparatur Perkantoran
Daerah Kabupaten Peningkatan Sarana Dan
80%
Pati Prasarana Aparatur
Peningkatan Disiplin Aparatur 85%
2. Arah Kebijakan Di Pembinaan Dan 65%
Dalam Administrasi Pengembangan Aparatur
Kepegawaian Dan
Pengembangannya
3. Terlaksananya Peningkatan Pengembangan 80%
Sistem Informasi Sistem Pelaporan Capaian
Kepegawaian Kinerja Dan Keuangan
Daerah Di
Lingkungan
Aparatur
4. Pedoman Peningkatan Kapasitas 70%
Pelaksanaan Di Sumber Daya Aparatur
Bidang Administrasi
Kepegawaian Di
Lingkungan
Pemerintah
Kabupaten Pati

PERSENTASE RATA-RATA 77%


Sumber : Sekretariat Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Pati, 2007

Berdasarkan pada tabel di atas, dapat terlihat dengan jelas bahwa dari

keseluruhan program pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Pati selama tahun

2007, capaian program tertinggi diperoleh oleh Program Pelayanan Administrasi

Perkantoran yaitu sebesar 100% dan yang terendah pencapaiannya adalah Program

Pembinaan dan Pengembangan Aparatur yaitu 65% sedangkan untuk persentase rata-

rata dari keseluruhan program adalah 77%.

TABEL I. 3
TINGKAT CAPAIAN SASARAN DAN PROGRAM
BADAN KEPEGAWAIAN DAERAH

12
KABUPATEN PATI TAHUN 2008
PERSENTASE
NO. SASARAN PROGRAM CAPAIAN
PROGRAM
1. Pelayanan Prima Pelayanan Administrasi
100%
Terhadap Aparatur Perkantoran
Daerah Kabupaten Peningkatan Sarana Dan
80%
Pati Prasarana Aparatur
Peningkatan Disiplin Aparatur 90%
2. Arah Kebijakan Di Pembinaan Dan 70%
Dalam Administrasi Pengembangan Aparatur
Kepegawaian Dan
Pengembangannya
3. Terlaksananya Peningkatan Pengembangan 85%
Sistem Informasi Sistem Pelaporan Capaian
Kepegawaian Kinerja Dan Keuangan
Daerah Di
Lingkungan
Aparatur
4. Pedoman Peningkatan Kapasitas 70%
Pelaksanaan Di Sumber Daya Aparatur
Bidang Administrasi
Kepegawaian Di
Lingkungan
Pemerintah
Kabupaten Pati

PERSENTASE RATA-RATA 80%


Sumber : Sekretariat Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Pati, 2008

Berdasarkan pada tabel di atas, dapat terlihat dengan jelas bahwa dari

keseluruhan program pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Pati selama tahun

2008, capaian program tertinggi diperoleh oleh Program Pelayanan Administrasi

Perkantoran yaitu sebesar 100% dan yang terendah pencapaiannya adalah Program

Pembinaan dan Pengembangan Aparatur dan Program Peningkatan Kapasitas Sumber

Daya Aparatur yaitu 70% sedangkan untuk persentase rata-rata dari keseluruhan

jumlah program adalah diperoleh hasil sebesar 80%.

Hal tersebut di atas disebabkan salah satunya oleh ketidakjelasan peran yang

melekat pada individu organisasi pada BKD Kabupaten Pati, hal ini nampak dari kurang

mampunya pegawai dalam memahami tugas pokok dan fungsinya sesuai dengan

13
bidang tugasnya masing-masing, sehingga program-program yang terdapat dalam

bidang-bidang/bagian sering tidak tercapai secara maksimal dari target yang seharusnya.

Pelaksanaan tugas dan fungsi BKD Kabupaten Pati sangat ditentukan pula oleh

tingkat koordinasi yang dilakukan oleh seluruh anggota organisasi dan terutama antara

pimpinan organisasi dengan para bawahannya. Koordinasi antar bidang maupun antar

pegawai juga masih dirasa kurang baik secara vertikal maupun horisontal, padahal

untuk mencapai suatu organisasi yang efektif dibutuhkan koordinasi yang optimal dari

seluruh anggota organisasi.

Akibat dari capaian program yang belum sesuai dengan target yang

seharusnya berimbas pula pada turunnya semangat kerja bagi para pegawai, hal ini lebih

dikarenakan oleh minimnya dukungan dana yang tersedia untuk menjalankan program-

program yang ada pada tiap bidang/bagian. Selain itu, ada pula pendapat dari seorang

pegawai pada salah satu bidang di BKD Kabupaten Pati yang menyatakan bahwa

kegiatan-kegiatan yang ada merupakan kegiatan rutin yang setiap tahun ada dan alokasi

anggarannya selalu mengalami kenaikan hanya sekitar 5-10% saja. Hal ini membuat

motivasi pegawai menurun karena apabila dari bidang-bidang tersebut mengusulkan

kegiatan baru yang dapat mendukung program pokok tetap saja tidak didukung dengan

alokasi anggaran yang memadai,

Selain itu, dengan adanya beban pekerjaan yang terdapat pada masing-

masing bidang tidak merata maka mengakibatkan adanya pegawai yang terlihat sibuk

bahkan sampai lembur tiap hari dan sebaliknya justru ada pegawai yang "nganggur" atau

baca-baca koran dan melakukan aktivitas di luar kantor yang tidak jelas, hal ini dapat

mernbuat motivasi untuk bekerja semaksimal mungkin sungguh jauh dari harapan.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka sangat penting dilakukan

penelitian mengenai pengaruh kejelasan peran, koordinasi dan motivasi terhadap

14
efektivitas pelaksanaan tugas pokok dan fungsi BKD kabupaten Pati.

B. Identifikasi dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Secara umum dan sekedar manifestasi empiris dari peneliti, yang didasarkan pada

suatu pengamatan dapat dilihat beberapa fakta yang terjadi di lapangan yang membuat

tugas pokok dan fungsi BKD belum efektif adalah sebagai berikut:

a) Belum adanya kejelasan peran dari pimpinan organisasi dan masing-masing

anggota organisasi pada tiap bidang yang dapat dilihat dari job discription-nya;

b) Masih rendahnya kemampuan pegawai dalam hal menjabarkan dan memahami

tugas pokok dan fungsinya;

c) Masih rendahnya tingkat koordinasi yang dilakukan antara pimpinan (top

manager) dengan kepala-kepala bidang (middle manager) dan kepala-kepala sub

bidang (lower manager) serta kepada seluruh staf organisasi;

d) Rendahnya semangat kerja pegawai Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Pati;

2. Perumusan Masalah

Menurut Sugiyono (1998:197), "penelitian berangkat dari adanya permasalahan

yaitu merupakan penyimpangan atau deviasi sesuatu yang standar, atau masalah adalah

kesenjangan antara sebenarnya dan kenyataan. Sebaiknya perumusan masalah dinyatakan

dalam kalimat tanya". Oleh karenanya dapat dikatakan, bahwa dalam penelitian ini

masalah diartikan sebagai kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan apa yang

sebenarnya terjadi.

Berangkat dari pemahaman pendapat tersebut, maka penulis dapat merumuskan

permasalahan yang perlu penulis teliti dan kaji lebih lanjut yaitu :

a) Apakah kejelasan peran mempunyai pengaruh terhadap efektivitas pelaksanaan

15
tugas dan fungsi Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Pati?

b) Apakah koordinasi mempunyai pengaruh terhadap efektivitas pelaksanaan tugas

dan fungsi Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Pati?

c) Apakah motivasi kerja mempunyai pengaruh terhadap efektivitas pelaksanaan tugas

dan fungsi Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Pati?

d) Apakah ada pengaruh antara kejelasan peran, koordinasi dan motivasi kerja secara

bersama-sama terhadap efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi Badan

Kepegawaian Daerah Kabupaten Pati?

C. Tujuan Penelitian

1) Untuk mendeskripsikan efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi Badan

Kepegawaian Daerah Kabupaten Pati;

2) Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kejelasan peran terhadap efektivitas

pelaksanaan tugas dan fungsi Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Pati;

3) Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh koordinasi terhadap efektivitas

pelaksanaan tugas dan fungsi Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Pati;

4) Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh motivasi kerja terhadap efektivitas

pelaksanaan tugas dan fungsi Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Pati;

5) Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kejelasan peran, koordinasi dan

motivasi kerja terhadap efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi Badan

Kepegawaian Daerah Kabupaten Pati.

D. Kegunaan Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan sebagai berikut:

1. Dapat memberikan masukan dan informasi kepada organisasi Badan

16
Kepegawaian Daerah Kabupaten Pati agar dapat melaksanakan tugas dan

fungsinya dengan lebih efektif;

2. Dapat memberikan inspirasi untuk meningkatkan pengetahuan terutama dalam

memahami tentang efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi terutama

pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Pati;

3. Menambah wawasan dan khasanah ilmiah khususnya yang berkaitan dengan

efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten

Pati.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

17
A. Landasan Teori

Guna mengetahui garnbaran secara jelas terhadap topik bahasan dalam

penelitian ini, alangkah baiknya terlebih dulu pada bab tinjauan pustaka ini diuraikan

tentang teori-teori dasar yang relevan atau fakta yang berasal dari pustaka mutakhir

yang memuat teori, proposisi, konsep atau pendekatan terbaru.

1. Efektifitas

Pada dasarnya pengertian efektifitas yang umum menunjukkan pada taraf

tercapainya hasil, sering atau senantiasa dikaitkan dengan pengertian efisien, meskipun

sebenarnya ada perbedaan diantara keduanya. Efektifitas menekankan pada hasil yang

dicapai, sedangkan efisiensi lebih melihat pada bagaimana cara mencapai hasil yang

dicapai itu dengan membandingkan antara input dan outputnya. Istilah efektif (effective)

dan efisien (efficient) merupakan dua istilah yang saling berkaitan dan patut dihayati dalam

upaya untuk mencapai tujuan suatu organisasi.

Tentang arti dari efektif maupun efisien terdapat beberapa pendapat. Menurut

Chester I. Barnard dalam Kebijakan Kinerja Karyawan (Prawirosentono, 1999 : h.27),

menjelaskan bahwa arti efektif dan efisien adalah sebagai berikut:

‘'When a specific desired end is attained we shall say that the action is
effective. When the unsought consequences of the action are more important than
the attainment of the desired end and are dissatisfactory, effective action, we shall
say, it is inefficient. When the unsought consequences are unimportant or trivial,
the action is efficient. Accordingly, we shall say that an action is effective if it
specific objective aim. It is efficient if it satisfies the motives of the aim,
whatever it is effective or trot". (Bila suatu tujuan tertentu akhirnya dapat dicapai,
kita boleh mengatakan bahwa kegiatan tersebut adalah efektif. Tetapi bila akibat-
akibat yang tidak dicari dari kegiatan mempunyai nilai yang lebih penting
dibandingkan dengan hasil yang dicapai, sehingga mengakibatkan
ketidakpuasan walaupun efektif, hal ini disebut tidak efisien. Sebaliknya bila
akibat yang tidak dicari-cari, tidak penting atau remeh, maka kegiatan tersebut
efisien. Sehubungan dengan itu, kita dapat mengatakan sesuatu efektif bila
mencapai tujuan tertentu. Dikatakan efisien bila hal itu memuaskan sebagai
pendorong mencapai tujuan, terlepas apakah efektif atau tidak).

Disamping itu, menurut Chester Barnard, daiam Kebijakan Kinerja Karyawan

18
(Prawirosentono, 1999 : h. 28), pengertian efektif dan efisien dikaitkan dengan system

kerjasama seperti dalam organisasi perusahaan atau lembaga pemerintahan, sebagai

berikut:

"Effectiveness of cooperative effort relates to accomplishment of an objective of the


system and it is determined with a view to the system's requirement. The efficiency
of a cooperative system is the resultant of the efficiency of the individuals
furnishing the constituent effort, that is, as viewed by them". (Efektifitas dari
usaha kerjasama (antar individu) berhubungan dengan pelaksanaan yang dapat
mencapai suatu tujuan dalam suatu system, dan hal itu ditentukan dengan suatu
pandangan dapat memenuhi kebutuhan system itu sendiri. Sedangkan efisiensi
dari suatu kerjasama dalam suatu system (antar individu) adalah hasil gabungan
efisiensi dari upaya yang dipilih masing-masing individu).

Dalam bahasa dan kalimat yang mudah hal tersebut dapat dijelaskan bahwa :

efektifitas dari kelompok (organisasi perusahaan) adalah bila tujuan kelompok tersebut

dapat dicapai sesuai dengan kebutuhan yang direncanakan. Sedangkan efisien berkaitan

dengan jumlah pengorbanan yang dikeluarkan dalam upaya mencapai tujuan. Bila

pengorbanannya dianggap terlalu besar, maka dapat dikatakan tidak efisien.

Menurut Peter Drucker dalam Menuju SDM Berdaya (Kisdarto, 2002 : h.

139), menyatakan : "doing the right things is more important than doing the things right.

Selanjutnya dijelaskan bahwa: "effectiveness is to do the right things : while efficiency is

to do the things right" (efektifitas adalah melakukan hal yag benar : sedangkan

efisiensi adalah melakukan hal secara benar). Atau juga "effectiveness means how far

we achieve the goal and efficiency means how do we mix various resources properly"

(efektifitas berarti sejauhmana kita mencapai sasaran dan efisiensi berarti bagaimana

kita mencampur sumber daya secara cermat).

Efisien tetapi tidak efektif berarti baik dalam memanfaatkan sumberdaya

(input), tetapi tidak mencapai sasaran. Sebaliknya, efektif tetapi tidak efisien berarti dalam

mencapai sasaran menggunakan sumber daya berlebihan atau lazim dikatakan ekonomi

19
hiaya tinggi. Tetapi yang paling parah adalah tidak efisien dan juga tidak efektif, artinya

ada pemborosan sumber daya tanpa mencapai sasaran atau penghambur-hamburan

sumber daya. Efisien harus selalu bersifat kuantitatif dan dapat diukur (mearsurable),

sedangkan efektif mengandung pula pengertian kualitatif. Efektif lebih mengarah ke

pencapaian sasaran. Efisien dalam menggunakan masukan (input) akan menghasilkan

produktifitas yang tinggi, yang merupakan tujuan dari setiap organisasi apapun bidang

kegiatannya.

Hal yang paling rawan adalah apabila efisiensi selalu diartikan sebagai

penghematan, karena bisa mengganggu operasi, sehingga pada gilirannya akan

mempengaruhi hasil akhir, karena sasarannya tidak tercapai dan produktifitasnya akan juga

tidak setinggi yang diharapkan. Penghematan sebenarnya hanya sebagian dari efisiensi.

Persepsi yang tidak tepat mengenai efisiensi dengan menganggap semata-mata sebagai

penghematan sama halnya dengan penghayatan yang tidak tepat mengenai Cost

Reduction Program (Program Pengurangan Biaya), yang sebaliknya dipandang sebagai

Cost Improvement Program (Program Perbaikan Biaya) yang berarti mengefektifkan

biaya.

Efektif dikaitkan dengan kepemimpinan (leadership) yang menentukan hal-hal

apa yang harus dilakukan (what are the things to be accomplished), sedangkan efisien

dikaitkan dengan manajemen, yang mengukur bagaimana sesuatu dapat dilakukan

sebaik-baiknya (how can certain things be best accomplished). Secara sederhana, dapat

dikatakan bahwa efektifitas kerja berarti penyelesaian pekerjaan tepat pada waktu yang

telah ditetapkan. Artinya apakah pelaksanaan sesuatu tugas dinilai baik atau tidak sangat

tergantung pada bilamana tugas itu diselesaikan atau tidak, terutama menjawab pertanyaan

bagaimana cara melaksanakannya dan berapa biaya yang dikeluarkan untuk itu.

2. Kriteria Efektifitas Organisasi

20
Efektifitas organisasi pada dasarnya adalah efektifitas individu para

aggotanya di dalam melaksanakan tugas sesuai dengan kedudukan dan peran mereka

masing-masing dalam organisasi tersebut. Untuk mengukur efektifitas dan efisiensi

organisasi adrninistratif seperti halnya organisasi pemerintah (birokrasi), bukanlah hal yang

mudah. Mungkin jauh lebih mudah untuk mengukur efektifitas dan efisiensi dari organisasi

bisnis, yang tujuan utamanya adalah mencari profit, dimana input maupun output yang

berupa profit usahanya dapat dinilai dengan uang (mated). Tujuan organisasi

adminsitratif pemerintahan adalah sangat luas dan abstrak, yang biasanya dinyatakan

secara implisit untuk melayani kepentingan umum. Ini merupakan suatu pernyataan yang

sangat luas, abstrak dan sangat sukar untuk mengukur seberapa jauhkah sebenarnya

pelayanan yang telah dilakukan, siapa yang melayani, merupakan sederet pertanyaan yang

harus merinci jenis-jenis organisasi yang bagaimanakah yang dimaksud.

Sehubungan dengan hal tersebut, berikut akan diuraikan beberapa pendapat

para pakar mengenai kriteria efektivitas suatu organisasi dan faktor-faktor yang

mempengaruhinya, yakni :

a. Gibson, dkk (1984) menyimpulkan kriteria efektifitas suatu organisasi ke dalam tiga

indikator yang didasarkan pada jangka waktu, yaitu :

1) Efektifitas jangka pendek, meliputi produksi (production), efesiensi

(efficiency), dan kepuasan (satisfaction);

2) Efektifitas jangka menengah, meliputi : kemampuan menyesuaikan diri

(adaptiveness) dan mengembangkan diri (development);

3) Efektifitas jangka panjang : keberlangsungan / hidup terus.

Kemudian Gibson, et.al (1996:30), menyebutkan bahwa "Masing-masing

tingkat efektivitas dapat dipandang sebagai suatu variabel oleh variabel lain (ini

berarti sebab efektivitas)". Lebih lanjut dikatakan bahwa :

21
"Efektivitas setiap organisasi dipengaruhi oleh organisasi, kelompok, dan
individu yang ada. Sedangkan ketiga unsur tersebut pada intinya menekankan
pada sisi manusia, fasilitas, dan lingkungan (budaya). Manusia meliputi
kemampuan, ketrampilan, pengetahuan, sikap, motivasi, stress (psikologi),
teknologi, dan strategi. Sedangkan fasilitas meliputi struktur organisasi yang
bersangkutan. Kemudian lingkungan meliputi keterpaduan, norma dan
budaya".

Hal ini apabila dikaitkan dengan organisasi Badan Kepegawaian Daerah

dalam upaya mencapai tujuan yang telah ditetapkan (tugas dan fungsi) organisasi secara

efektif, maka hendaknya memperhatikan segi manusia yang dapat dilihat dari faktor

motivasi, yaitu bagaimana cara memotivasi anak buah agar mau tems berkreasi dan

inovatif serta menciptakan iklim kerja yang kondusif agar anak buah selalu menyenangi

pekerjaannya tanpa merasa tertekan dan terpaksa dalam bekerja.

Selain itu, segi fasilitas yang meliputi struktur organisasi juga perlu

diperhatikan karena di dalam struktur ini terdapat pula pembagian kerja yang

nantinya akan berpengaruh kepada kejelasan peran yang hams dimainkan oleh

masing-masing anggota organisasi.

b. Franklin G. More dalam Sutarto (1998 : 45) menyebutkan bahwa :

"Faktor-faktor/azas-azas yang berpengaruh terhadap efektivitas organisasi yaitu


sebagai berikut :
1. departemenisasi;
2. rentangan;
3. kontrol;
4. seorang kepada pertanggungjawaban (kepemimpinan);
5. pendelegasian wewenang;
6. ide-ide bawahan;
7. motivasi;
8. spesialisasi".

Apabila teori ini dihubungkan dengan tugas pokok dan fungsi BKD, maka

dalam mencapai keefektivitasannya perlu ditekankan pada aspek seseorang kepada

pertanggungjawaban, dalam hal ini mengandung arti bahwa tiap anggota organisasi

wajib bertanggungjawab atas pekerjaannya masing-masing sesuai dengan tugas

pokok dan fungsinya. Kemudian faktor motivasi juga dirasa penting untuk diperhatikan

22
dalam rangka memacu prestasi kerja anak buah yang nantinya dapat mendukung pula

terhadap pelaksanaan tugas pimpinan.

c. Richart M. Steers (1985 : 9), menyebutkan bahwa, "empat faktor yang

mempengaruhi efektivitas organisasi, yaitu karakteristik organisasi, karakteristik

lingkungan, karakteristik pekerja, dan kebijakan praktek manajemen".

Bilamana hal tersebut dihubungkan dengan upaya untuk mencapai efektivitas

organisasi yang tertuang dalam tugas dan fungsi Kepala BKD, maka harus

memperhatikan faktor karakteristik organisasi yang menyangkut tentang kondisi

internal (struktur dan susunan organisasi) yang didalamnya nanti juga akan

berkaitan dengan kejelasan peran tiap anggota organisasi pada tiap bidang/bagian.

Kemudian faktor karakteristik lingkungan yakni lingkungan baik di dalam organisasi

maupun di luar organisasi yang selalu berubah secara dinamis sangat mempengaruhi

motivasi dalam bekerja.

Selanjutnya faktor kebijakan praktek manajemen lebih mengarah pada

fungsi-fungsi seorang manajer termasuk fungsi koordinasi yang merupakan faktor

penting dalam organisasi yang harus dijalankan oleh Kepala BKD yakni

mengkoordinasikan seluruh kegiatan organisasi.

d. Menurut Duncan dalam Perilaku Organisasi (Indrawijaja : 1982 : h. 230), teknik

penilaian efektifitas organisasi haruslah mencerminkan adanya interaksi dari

"the formal task - oriented objectives of the organization, the interpersonal-humanistic


social goals of the people who work in the organization, and the environmental
changes that are taking place constantly and may influence the other elements
because their relationship to survival".
Untuk menjelaskan pendapat tersebut, Duncan dalam Perilaku Organisasi

(Indrawijaja : 1982 : h. 230), menggambarkan beberapa unsur penting efektifitas

organisasi, sebagai berikut :

Gambar 2.1
Unsur-Unsur Dari Efektivitas Organisasi

23
Efisiensi (jumlah dan mutu
dari hasil organisasi
sebanding dengan masukan
(sumber))

Keseimbangan dalam
HASIL EFEKTIVITAS
subsistem sosial dan antar
ORGANISASI ORGANISASI
personal

Antisipasi dan persiapan


untuk menghadapi
perubahan

Sumber : W. Jack, Duncan, Organizational Behavior, Hougthon Mifflin, Boston, Edisi


ke-2, 1981, hal : 370.

Berdasarkan gambar di atas, kemudian Duncan menyusun model efektivitas

organisasi, seperti gambar berikut ini :

Gambar 2. 2
Model Efektifitas Organisasi

Proses Organisasi

24
Kebutuhan dan EFEKTIVITAS
aspirasi Struktur pekerjaan ORGANISASI
perorangan dan susunan
organisasi

Sumber : W. Jack, Duncan, Organizational Behavior, Hongthon Mifflin, Boston, Edisike 2,


1981, hal: 371.

Berdasarkan gambar model efektivitas organisasi yang dikemukakan oleh

Duncan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa efektivitas suatu organisasi

dipengaruhi oleh kebutuhan dan aspirasi perorangan, hal ini apabila dikaitkan

dengan tugas pokok dan fungsi BKD agar dapat tercapai secara efektif juga harus

memperhatikan unsur. yang menjadi kebutuhan anak buahnya selain itu juga

aspirasi dari anggota organisasi harus mendapat prioritas yang utama, hal ini untuk

mendukung konsep gaya kepemimpinan yang bottom up.

Selanjutnya dalam prosesnya untuk mencapai keefektifan dalam tugas

pokok dan fimgsi BKD, struktur pekerjaan dan susunan organisasi harus ditetapkan

dengan jelas karena hal ini akan berpengaruh terhadap peran yang akan dimainkan oleh

setiap anggota organisasi sehingga tidak akan terjadi over lapping dalam pelaksanaan

tugas pokok dan fungsi pada tiap bidang/bagian.

Setiap orang memasuki suatu organisasi, karena ia berkeyakinan kebutuhan

dan harapannya dapat terpenuhi. Faktor lingkungan, selain dapat merupakan unsur

pendorong terhadap kebutuhan dan harapan seseorang, juga dapat merupakan faktor

yang mempengaruhi organisasi secara keseluruhan. Seberapa jauh seseorang dapat

memenuhi kebutuhan dan harapannya, sangat tergantung kepada bagaimana suatu

pekerjaan dirancang dan bagaimana suatu proses terjadi dalam organisasi. Hal ini

dikemukakan oleh Hackman dan Lawler, sebagaimana dikutip oleh Duncan dalam

Perilaku Organisasi (Indrawijaja : 1989 : h. 231), sebagai berikut:

25
"The supporters of job enrichment argue that need satisfication and self-
actualization are more likely occur when individual perform natural elements
of work and maintan reasonable amounts of control over the task" (Para
pendukung dari job enrichment berpendapat, bahwa kepuasan akan kebutuhan
dan self actualization akan lebih mungkin tercapai bila orang-orang tersebut
dapat melaksanakan unsur-unsur hakiki dari suatu pekerjaan dan dapat
mengendalikan pekerjaan tersebut).
Perencanaan tugas dan pekerjaan merupakan bagian dari proses penyusunan

organisasi secara keseluruhan. Dalam organisasi birokrat, perencanaan tugas dan

pekerjaan dilakukan atas dasar prinsip rasionalitas dan realitas yang tinggi, disertai

standarisasi dan spesialisasi, memang tidak dapat dipungkiri bahwa pelaksanaan prinsip-

prinsip tadi memang dapat menimbulkan efisiensi. Tetapi pelaksanaannya secara ketat

dapat menimbulkan terjadinya kelambatan komunikasi dan informasi, keengganan untuk

berubah, atau menonjolnya bidang pekerjaan tertentu.

Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan di atas, dapat

disimpulkan bahwa untuk membuat organisasi yang efektif melalui tugas pokok dan

fungsi BKD, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah karakteristik organisasi yang

dijabarkan ke dalam bentuk struktur dan susunan organisasi sehingga nantinya akan

mendukung dalam kejelasan peran masing-masing anggota organisasi, kemudian

karakteristik lingkungan dapat dijabarkan ke dalam bentuk motivasi dan yang terakhir

adalah karakteristik kebijakan praktek manajemen yang dituangkan dalam bentuk fungsi

koordinasi antara pimpinan dengan bawahan dan antar pegawai itu sendiri.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli yang telah dikemukakan di

muka, maka dapat disimpulkan bahwa efektivitas dalam penelitian ini adalah suatu

keadaan yang menunjukkan tingkat keberhasilan atau kegagalan suatu organisasi

(BKD) dalam mencapai tujuan dan sasaran organisasi yang dituangkan ke dalam bentuk

tugas pokok dan fungsi BKD. Sedangkan untuk mengetahui efektif atau tidaknya tugas

dan fungsi BKD, maka indikator yang dijadikan pedoman adalah tingkat keberhasilan

tiap-tiap bidang/bagian dalam menyelesaikan permasalahan yang ada menurut bidang

26
tugasnya masing-masing.

Berangkat dari teori-teori efektivitas sebagaimana telah diuraikan di muka,

maka dapat digambarkan secara rinci mengenai keterkaitan antara efektivitas dengan

kejelasan peran, koordinasi dan motivasi dalam bentuk bagan kerangka teori berikut ini :

BAGAN 1. KERANGKA TEORI EFEKTIVITAS


Richart M Steers :
Karakteristik organisasi
Karakteristik lingkungan
Karakteristik pekerja
Kebijakan praktek manajemen

Gibson et. al :
Kemampuan
Keterampilan
Pengetahuan Kejelasan
Sikap Peran
Motivasi
Stress

Franklin G. More :
Desentralisasi
Rentang kendali
Kontrol Koordinasi Efektivitas
Kepemimpinan
Pendelegasian
Ide-ide bawahan
Motivasi
Spesifikasi

Motivasi
Duncan :
Kebutuhan
Aspirasi perorangan
Struktur Pekerjaan
Susunan organisasi
3. Kejelasan Peran

Ada empat perspektif dalam psikologi sosial yaitu seperangkat asumsi

dasar tentang hal paling penting yang bisa dipertimbangkan sebagai sesuatu yang bisa

digunakan untuk memahami perilaku sosial, yaitu : perilaku (behavioral

perspectives) , kognitif (cognitive perspectives), stuktural (structural perspectives),

27
dan interaksionis (interactionist perspectives).

Perspektif perilaku dan kognitif lebih banyak digunakan oleh para

psikolog sosial yang berakar pada psikologi. Mereka sering menawarkan jawaban

yang berbeda atas sebuah pertanyaan : "Seberapa besar perhatian yang seharusnya

diberikan oleh para psikolog sosial pada kegiatan mental dalam upayanya memahami

perilaku sosial?". Perspektif perilaku menekankan, bahwa untuk dapat lebih

memahami perilaku seseorang, seyogianya kita mengabaikan informasi tentang apa

yang dipikirkan oleh seseorang. Lebih baik kita memfokuskan pada perilaku

seseorang yang dapat diuji oleh pengamatan kita sendiri. Dengan mempertimbangkan

proses mental seseorang, kita tidak terbantu memahami perilaku orang tersebut,

karena seringkali proses mental tidak reliabel untuk memprediksi perilaku. Misalnya

tidak semua orang yang berpikiran negatif tentang sesuatu, akan juga berperilaku

negatif. Orang yang bersikap negatif terhadap bangsa A misalnya, belum tentu dia

tidak mau melakukan hubungan dengan bangsa A tersebut. Intinya pikiran, perasaan,

sikap (proses mental) bukan sesuatu yang bisa menjelaskan perilaku seseorang.

Sebaliknya, perspektif kognitif menekankan pada pandangan bahwa kita

tidak bisa memahami perilaku seseorang tanpa mempelajari proses mental mereka.

Manusia tidak menanggapi lingkungannya secara otomatis. Perilaku mereka

tergantung pada bagaimana mereka berpikir dan mempersepsi lingkungannya. Jadi

untuk memperoleh informasi yang bisa dipercaya maka proses mental seseorang

merupakan hal utama yang bisa menjelaskan perilaku sosial seseorang.

Perspektif struktural dan interaksionis lebih sering digunakan oleh para

psikolog sosial yang berasal dari disiplin sosiologi. Pertanyaan yang umumnya

diajukan adalah : "Sejauhmana kegiatan-kegiatan individual membentuk interaksi

sosial?". Perspektif struktural menekankan bahwa perilaku seseorang dapat

28
dimengerti dengan sangat baik jika diketahui peran sosialnya. Hal ini terjadi karena

perilaku seseorang merupakan reaksi terhadap harapan orang-orang lain. Seorang

mahasiswa rajin belajar, karena masyarakat mengharapkan agar yang namanya

mahasiswa senantiasa rajin belajar. Seorang ayah rajin bekerja mencari nafkah guna

menghidupi keluarganya. Mengapa? Karena masyarakat mengharapkan dia

berperilaku seperti itu, jika tidak maka dia tidak pantas disebut sebagai "seorang

ayah". Perspektif interaksionis lebih menekankan bahwa manusia merupakan agen

yang aktif dalam menetapkan perilakunya sendiri, dan mereka yang membangun

harapan-harapan sosial. Manusia bernegosiasi satu sama lainnya untuk membentuk

interaksi dan harapannya. Berikut ini akan penulis jelaskan lebih lanjut akan tetapi

dalam hal ini akan penulis batasi hanya pada perspektif Struktural dan perspektif

Interaksionis saja mengingat penulisan tesis ini termasuk ke dalam ranah disiplin ilmu

sosiologi.

1. Perspektif Struktural

Telah kita catat bahwa telah terjadi perdebatan di antara para ilmuwan

sosial dalam hal menjelaskan perilaku sosial seseorang. Untuk menjelaskan perilaku

sosial seseorang dapat dikaji sebagai sesuatu proses yang (1) instinktif, (2) karena

kebiasaan, dan (3) juga yang bersumber dari proses mental. Mereka semua tertarik,

dan dengan cara sebaik mungkin lalu menguraikan hubungan antara masyarakat

dengan individu. William James dan John Dewey menekankan pada penjelasan

kebiasaan individual, tetapi mereka juga mencatat bahwa kebiasaan individu

mencerminkan kebiasaan kelompok - yaitu adat-istiadat masyarakat - atau strutur

sosial . Para sosiolog yakin bahwa struktur sosial terdiri atas jalinan interaksi antar

manusia dengan cara yang relatif stabil. Kita mewarisi struktur sosial dalam satu pola

perilaku yang diturunkan oleh satu generasi ke generasi berikutnya, melalui proses

29
sosialisasi. Disebabkan oleh struktur sosial, kita mengalami kehidupan sosial yang

telah terpolakan. James menguraikan pentingnya dampak struktur sosial atas "diri"

(self) - perasaan kita terhadap diri kita sendiri. Masyarakat mempengaruhi diri - self.

Sosiolog lain Robert Park dari Universitas Chicago memandang bahwa

masyarakat mengorganisasikan, mengintegrasikan, dan mengarahkan kekuatan-

kekuatan individu- individu ke dalam berbagai macam peran (roles). Melalui peran

inilah kita menjadi tahu siapa diri kita. Kita adalah seorang anak, orang tua, guru,

mahasiswa, laki-laki, perempuan, Islam, Kristen. Konsep kita tentang diri kita

tergantung pada peran yang kita lakukan dalam masyarakat. Beberapa teori yang

melandasi persektif strukturan adalah Teori Peran (Role Theory), Teori Pernyataan-

Harapan (Expectation-States Theory), dan Posmodernisme (Postmodernism).

a. Teori Peran (Role Theory)

Walau Park menjelaskan dampak masyarakat atas perilaku kita dalam

hubungannya dengan peran, namun jauh sebelumnya Robert Linton (1936), seorang

antropolog, telah mengembangkan Teori Peran. Teori Peran menggambarkan

interaksi sosial dalam terminologi aktor-aktor yang bermain sesuai dengan apa-apa

yang ditetapkan oleh budaya. Sesuai dengan teori ini, harapan-harapan peran

merupakan pemahaman bersama yang menuntun kita untuk berperilaku dalam

kehidupan sehari-hari. Menurut teori ini, seseorang yang mempunyai peran tertentu

misalnya sebagai dokter, mahasiswa, orang tua, wanita, dan lain sebagainya,

diharapkan agar seseorang tadi berperilaku sesuai dengan peran tersebut. Mengapa

seseorang mengobati orang lain, karena dia adalah seorang dokter. Jadi karena

statusnya adalah dokter maka dia harus mengobati pasien yang datang kepadanya.

Perilaku ditentukan oleh peran sosial

Kemudian, sosiolog yang bernama Glen Elder (1975) membantu

30
memperluas penggunaan teori peran. Pendekatannya yang dinamakan “life-course”

memaknakan bahwa setiap masyarakat mempunyai harapan kepada setiap anggotanya

untuk mempunyai perilaku tertentu sesuai dengan kategori-kategori usia yang berlaku

dalam masyarakat tersebut. Contohnya, sebagian besar warga Amerika Serikat akan

menjadi murid sekolah ketika berusia empat atau lima tahun, menjadi peserta pemilu

pada usia delapan belas tahun, bekerja pada usia tujuh belah tahun, mempunyai

istri/suami pada usia dua puluh tujuh, pensiun pada usia enam puluh tahun. Di

Indonesia berbeda. Usia sekolah dimulai sejak tujuh tahun, punya pasangan hidup

sudah bisa usia tujuh belas tahun, pensiun usia lima puluh lima tahun. Urutan tadi

dinamakan “tahapan usia” (age grading). Dalam masyarakat kontemporer kehidupan

kita dibagi ke dalam masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, dan masa tua, di

mana setiap masa mempunyai bermacam-macam pembagian lagi.

b. Teori Pernyataan Harapan (Expectation-States Theory)

Teori ini diperkenalkan oleh Joseph Berger dan rekan-rekannya di

Universitas Stanford pada tahun 1972. Jika pada teori peran lebih mengkaji pada skala

makro, yaitu peran yang ditetapkan oleh masyarakat, maka pada teori ini berfokus

pada kelompok kerja yang lebih kecil lagi. Menurut teori ini, anggota-anggota

kelompok membentuk harapan-harapan atas dirinya sendiri dan diri anggota lain,

sesuai dengan tugas-tugas yang relevan dengan kemampuan mereka, dan harapan-

harapan tersebut mempengaruhi gaya interaksi di antara anggota-anggota kelompok

tadi. Sudah tentu atribut yang paling berpengaruh terhadap munculnya kinerja yang

diharapkan adalah yang berkaitan dengan ketrampilan kerjanya. Anggota-anggota

kelompok dituntut memiliki motivasi dan ketrampilan yang diperlukan untuk

menyelesaikan tugas-tugas kelompok yang diharapkan bisa ditampilkan sebaik

mungkin.

31
Bagaimanapun juga, kita sering kekurangan informasi tentang kemampuan

yang berkaitan dengan tugas yang relevan, dan bahkan ketika kita memiliki informasi,

yang muncul adalah bahwa kita juga harus mendasarkan harapan kita pada atribut

pribadi dan kelompok seperti : jenis kelamin, ras, dan usia. Dalam beberapa

masyarakat tertentu, beberapa atribut pribadi dinilai lebih penting daripada atribut

lainnya. Untuk menjadi pemimpin, jenis kelamin kadang lebih diprioritaskan

ketimbang kemampuan. Di Indonesia, untuk menjadi presiden, ras merupakan syarat

pertama yang harus dipenuhi. Berger menyebut gejala tersebut sebagai “difusi

karakteristik status”; karakteristik status mempengaruhi harapan kelompok kerja.

Status laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan dalam soal menjadi pemimpin,

warganegara pribumi asli lebih diberi tempat menduduki jabatan presiden. Difusi

karakteristik status tersebut ( jenis kelamin, ras, usia, dan lainnya) dengan demikian,

mempunyai pengaruh yang kuat terhadap interaksi sosial.

c. Posmodernisme (Postmodernism)

Baik teori peran maupun teori pernyataan-harapan, keduanya menjelaskan

perilaku sosial dalam kaitannya dengan harapan peran dalam masyarakat

kontemporer. Beberapa psikolog lainnya justru melangkah lebih jauh lagi. Pada

dasarnya teori posmodernisme atau dikenal dengan singkatan “POSMO” merupakan

reaksi keras terhadap dunia modern. Teori Posmodernisme, contohnya, menyatakan

bahwa dalam masyarakat modern, secara gradual seseorang akan kehilangan

individualitas-nya – kemandiriannya, konsep diri, atau jati diri. (Denzin, 1986;

Murphy, 1989; Dowd, 1991; Gergen, 1991) . Dalam pandangan teori ini upaya kita

untuk memenuhi peran yang dirancangkan untuk kita oleh masyarakat, menyebabkan

individualitas kita digantikan oleh kumpulan citra diri yang kita pakai sementara

dan kemudian kita campakkan..

32
Berdasarkan pandangan posmodernisme, erosi gradual individualitas

muncul bersamaan dengan terbitnya kapitalisme dan rasionalitas. Faktor-faktor ini

mereduksi pentingnya hubungan pribadi dan menekankan aspek nonpersonal.

Kapitalisme atau modernisme, menurut teori ini, menyebabkan manusia dipandang

sebagai barang yang bisa diperdagangkan – nilainya (harganya) ditentukan oleh

seberapa besar yang bisa dihasilkannya.

Setelah Perang Dunia II, manusia makin dipandang sebagai konsumen dan

juga sebagai produsen. Industri periklanan dan masmedia menciptakan citra komersial

yang mampu mengurangi keanekaragaman individualitas. Kepribadian menjadi

gaya hidup. Manusia lalu dinilai bukan oleh kepribadiannya tetapi oleh seberapa besar

kemampuannya mencontoh gaya hidup. Apa yang kita pertimbangkan sebagai “

pilihan kita sendiri” dalam hal musik, makanan, dan lain-lainnya, sesungguhnya

merupakan seperangkat kegemaran yang diperoleh dari kebudayaan yang cocok

dengan tempat kita dalam struktur ekonomi masyarakat kita. Misalnya, kesukaan

remaja Indonesia terhadap musik “rap” tidak lain adalah disebabkan karena setiap

saat telinga mereka dijejali oleh musik tersebut melalui radio, televisi, film, CD, dan

lain sebagainya. Gemar musik “rap” menjadi gaya hidup remaja. Lalu kalau mereka

tidak menyukai musik “rap”, dia bukan remaja. Perilaku seseorang ditentukan oleh

gaya hidup orang-orang lain yang ada di sekelilingnya , bukan oleh dirinya sendiri.

Kepribadiannya hilang individualitasnya lenyap. Itulah manusia modern, demikian

menurut pandangan penganut “posmo”.

Intinya, teori peran, pernyataan-harapan, dan posmodernisme memberikan

ilustrasi perspektif struktural dalam hal bagaimana harapan-harapan masyarakat

mempengaruhi perilaku sosial individu. Sesuai dengan perspektif ini, struktur sosial –

pola interaksi yang sedang terjadi dalam masyarakat – sebagian besarnya pembentuk

33
dan sekaligus juga penghambat perilaku individual. Dalam pandangan ini, individu

mempunyai peran yang pasif dalam menentukan perilakunya. Individu bertindak

karena ada kekuatan struktur sosial yang menekannya.

4. Perspektif Interaksionis (Interactionist Perspective)

Seorang sosiolog yang bernama George Herbert Mead (1934) yang

mengajar psiokologi sosial pada departemen filsafat Universitas Chicago,

mengembangkan teori ini. Mead percaya bahwa keanggotaan kita dalam suatu

kelompok sosial menghasilkan perilaku bersama yang kita kenal dengan nama

budaya. Dalam waktu yang bersamaan, dia juga mengakui bahwa individu-individu

yang memegang posisi berbeda dalam suatu kelompok, mempunyai peran yang

berbeda pula, sehingga memunculkan perilaku yang juga berbeda. Misalnya, perilaku

pemimpin berbeda dengan pengikutnya. Dalam kasus ini, Mead tampak juga seorang

strukturis. Namun dia juga menentang pandangan bahwa perilaku kita melulu

dipengaruhi oleh lingkungan sosial atau struktur sosial. Sebaliknya Mead percaya

bahwa kita sebagai bagian dari lingkungan sosial tersebut juga telah membantu

menciptakan lingkungan tersebut. Lebih jauh lagi, dia memberi catatan bahwa walau

kita sadar akan adanya sikap bersama dalam suatu kelompok/masyarakat, namun hal

tersebut tidaklah berarti bahwa kita senantiasa berkompromi dengannya.

Mead juga tidak setuju pada pandangan yang mengatakan bahwa untuk

bisa memahami perilaku sosial, maka yang harus dikaji adalah hanya aspek eksternal

(perilaku yang teramati) saja. Dia menyarankan agar aspek internal (mental) sama

pentingnya dengan aspek eksternal untuk dipelajari. Karena dia tertarik pada aspek

internal dan eksternal atas dua atau lebih individu yang berinteraksi, maka dia

menyebut aliran perilakunya dengan nama “social behaviorism”. Dalam perspektif

34
interaksionis ada beberapa teori yang layak untuk dibahas yaitu Teori Interaksi

Simbolis (Symbolic Interaction Theory), dan Teori Identitas (Identity Theory).

a. Teori Interaksi Simbolis (Symbolic Interaction Theory)

Walau Mead menyarankan agar aspek internal juga dikaji untuk bisa

memahami perilaku sosial, namun hal tersebut bukanlah merupakan minat khususnya.

Justru dia lebih tertarik pada interaksi, di mana hubungan di antara gerak-isyarat

(gesture) tertentu dan maknanya, mempengaruhi pikiran pihak-pihak yang sedang

berinteraksi. Dalam terminologi Mead, gerak-isyarat yang maknanya diberi bersama

oleh semua pihak yang terlibat dalam interaksi adalah merupakan “satu bentuk simbol

yang mempunyai arti penting” ( a significant symbol”). Kata-kata dan suara-lainnya,

gerakan-gerakan fisik, bahasa tubuh (body langguage), baju, status, kesemuanya

merupakan simbol yang bermakna.

Mead tertarik mengkaji interaksi sosial, di mana dua atau lebih individu

berpotensi mengeluarkan simbol yang bermakna. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh

simbol yang dikeluarkan orang lain, demikian pula perilaku orang lain tersebut.

Melalui pemberian isyarat berupa simbol, kita mengutarakan perasaan, pikiran,

maksud, dan sebaliknya dengan cara membaca simbol yang ditampilkan orang lain,

kita menangkap pikiran, perasaan orang lain tersebut. Teori ini mirip dengan teori

pertukaran sosial.

Interaksi di antara beberapa pihak tersebut akan tetap berjalan lancar tanpa

gangguan apa pun manakala simbol yang dikeluarkan oleh masing-masing pihak

dimaknakan bersama sehingga semua pihak mampu mengartikannya dengan baik. Hal

ini mungkin terjadi karena individu-individu yang terlibat dalam interaksi tersebut

berasal dari budaya yang sama, atau sebelumnya telah berhasil memecahkan

perbedaan makna di antara mereka. Namun tidak selamanya interaksi berjalan mulus.

35
Ada pihak-pihak tertentu yang menggunakan simbol yang tidak signifikan – simbol

yang tidak bermakna bagi pihak lain. Akibatnya orang-orang tersebut harus secara

terus menerus mencocokan makna dan merencanakan cara tindakan mereka.

Banyak kualitas perilaku manusia yang belum pasti dan senantiasa

berkembang : orang-orang membuat peta, menguji, merencanakan, menunda, dan

memperbaiki tindakan-tindakan mereka, dalam upaya menanggapi tindakan-tindakan

pihak lain. Sesuai dengan pandangan ini, individu-individu menegosiasikan

perilakunya agar cocok dengan perilaku orang lain.

b. Teori Identitas (Identity Theory)

Teori Indentitas dikemukakan oleh Sheldon Stryker (1980). Teori ini

memusatkan perhatiannya pada hubungan saling mempengaruhi di antara individu

dengan struktur sosial yang lebih besar lagi (masyarakat). Individu dan masyarakat

dipandang sebagai dua sisi dari satu mata uang. Seseorang dibentuk oleh interaksi,

namun struktur sosial membentuk interaksi. Dalam hal ini Stryker tampaknya setuju

dengan perspektif struktural, khususnya teori peran. Namun dia juga memberi sedikit

kritik terhadap teori peran yang menurutnya terlampau tidak peka terhadap kreativitas

individu.

Teori Stryker mengkombinasikan konsep peran (dari teori peran) dan

konsep diri/self (dari teori interaksi simbolis). Bagi setiap peran yang kita tampilkan

dalam berinteraksi dengan orang lain, kita mempunyai definisi tentang diri kita

sendiri yang berbeda dengan diri orang lain, yang oleh Stryker dinamakan

“identitas”. Jika kita memiliki banyak peran, maka kita memiliki banyak identitas.

Perilaku kita dalam suatu bentuk interaksi, dipengaruhi oleh harapan peran dan

identitas diri kita, begitu juga perilaku pihak yang berinteraksi dengan kita.

Intinya, teori interaksi simbolis dan identitas mendudukan individu

36
sebagai pihak yang aktif dalam menetapkan perilakunya dan membangun harapan-

harapan sosial. Perspektif iteraksionis tidak menyangkal adanya pengaruh struktur

sosial, namun jika hanya struktur sosial saja yang dilihat untuk menjelaskan perilaku

sosial, maka hal tersebut kurang memadai.

Peran merupakan suatu istilah sehari-hari dan semua orang pasti sudah tahu

makna dan fungsinya. Semisal, anak berperan sebagai anak, orang tua berperan sebagai orang

tua, pemerintah berperan sebagai pemerintah, masyarakat berperan sebagai masyarakat,

pemimpin berperan sebagai pemimpin. Jadi semua manusia mempunyai peran, yakni

bertingkah laku sesuai dengan yang diharapkan darinya oleh masyarakat, oleh norma-norma,

oleh orang-orang lain, oleh keluarga dan lain-lain.

Adapun makna dari kata "peran" dapat dijelaskan lewat beberapa cara :

Pertama, suatu penjelasan historis menyebutkan, konsep peran semula dipinjam dari keluarga

drama atau teater yang hidup subur pada jaman Yunani Kuno (Romawi). Dalam arti ini,

peran menunjuk pada karakteristik yang disandang untuk dibawakan oleh seseorang aktor

dalam sebuah pentas drama.

Kedua, suatu penjelasan yang menunjuk pada konotasi ilmu sosial, yang mengartikan peran

sebagai suatu fungsi yang dibawakan seseorang ketika menduduki suatu karakteristik

(posisi) dalam struktur sosial.

Ketiga, suatu penjelasan yang lebih bersifat operasional, menyebutkan bahwa peran seorang

aktor adalah suatu batasan yang dirancang oleh aktor lain, yang kebetulan sama-sama berada

dalam satu "penampilan/unjuk peran (role performance). "

Tidak dapat dipungkiri bahwa perilaku seseorang sangat diwarnai oleh

banyak faktor, serta persepsinya tentang faktor-faktor tersebut. Persepsi yang dimiliki itu

pulalah yang turut menentukan benruk sifat dan intensitas peranannya dalam

37
kehidupan organisasional. Tidak dapat disangkal pula, bahwa manusia sangat berbeda-

beda, seorang dengan yang lainnya, baik dalam arti kebutuhannya (bagi kategori

umum) maupun dalam niatnya yang kesemuanya tercermin dalam kepribadian masing-

masing. Keanekaragaman kepribadian itulah, justru yang menjadi salah satu tantangan

yang paling berat untuk dihadapi oleh setiap pimpinan dan kemampuan menghadapi

tantangan itu pulalah salah satu indikator terpenting, bukan saja daripada efektifitas

kepemimpinan seseorang akan tetapi juga mengenai ketangguhan organisasi yang

dipimpinnya.

Karena demikian eratnya kaitan antara persepsi seseorang dengan kepribadian

dan perilakunya, maka mutlak perlu bagi pimpinan organisasi untuk memahami dan

mendalami persepsi para bawahannya, baik yang menyangkut peranan bawahan tersebut

dalam usaha pencapaian tujuan organisasi maupun mengenai berlangsungnya seluruh

proses administrasi dan manajemen dalam organisasi yang bersangkutan.

3.1 Peranan Pemimpin : Antara Dongeng (folklore) dan Kenyataan.

Istilah peran merupakan terjemahan dari kata "function", "job", atau "work".

Stogdill dalam Gaya Kepemimpinan - Pendekatan Bakat Situasional (Rustandi ; 1985 :

h. 46) menyimpulkan bahwa peran pemimpin menurut teori klasik, meliputi : a.

Perencanaan b. Pengorganisasian c. Pengendalian. Dalam implementasinya kadang-

kadang ditambahkan dengan koordinasi, supervisi, dan motivasi, tetapi tambahan itu

sesunggguhnya hanya merupakan perincian dari peran pengendalian.

Para penganut behaviorisme, berdasarkan pada penelitian yang dilakukannya

menyimpulkan bahwa peran pemimpin adalah : a. Menetapkan tujuan dan menegaskan

arah untuk mencapai tujuan. b. Melengkapi sarana untuk mencapai tujuan. c. Melengkapi

dan menegaskan tatanan organisasi. d. Memberikan fasilitas untuk melaksanakan kegiatan

dan mengadakan hubungan antar kegiatan. e. Memberikan fasilitas kepada kelompok dalam

38
melaksanakan tugasnya.

Menarik sekali sebuah artikel yang ditulis oleh Henry Mintzberg yang

berjudul "The Manager's Job : Folklore and Fad" (Rustandi : 1985 : h. 47). Adalah Fayol

yang untuk pertama kalinya menyatakan, bahwa peran pemimpin meliputi

perencanaan, pengorganisasian, dan pengendalian. Mintzberg dalam Gaya

Kepemimpinan - Pendekatan Bakat Situasional (Rustandi ; 1985 : h. 47), dengan

artikelnya hendak membuktikan bahwa pendapat Fayol itu hanya dongeng belaka, yang

tidak sesuai dengan kenyataan. Empat mitos yang selama ini dipercayai sebagai kebenaran,

dengan sengit dipertanyakan oleh Mintzberg, yaitu :

1. Benarkah pemimpin itu seorang perencana yang reflektif dan sistematik ?

2. Benarkah pemimpin yang efektif tidak mempunyai tugas regular untuk

dikerjakannya sendiri ?

3. Benarkah pemimpin tingkat tinggi memerlukan informasi menyeluruh ; yang

diolah dan disajikan oleh system informasi managemen formal ?

4. Benarkah manajemen adalah ilmu dan profesi, setidak-tidaknya dalam waktu yang

tidak terlalu lama?.

Berdasarkan hasil penelitiannya, yang dilakukan dengan jalan pengamatan dan

memeriksa catatan harian, mulai dari presiden sampai pemimpin gang yang

dilakukannya di Amerika Serikat, Kanada, Swedia dan Inggris. Mintzberg, membuktikan

ketidakbenaran keempat mitos yang dipertanyakannya itu, dengan argumen sebagai

berikut :

Pertama, tidak tepat jika dikatakan, bahwa pemimpin adalah perencana yang

reflektif dan sistematik. Penelitiannya membuktikan, bahwa pemimpin tidak menyukai

cara berpikir yang reflektif (merenungkan dan mengendapkan dulu). Mereka lebih

menyukai menanggapi langsung setiap stimullns yang dihadapinya. lapun bukan

39
perencana yang sistematik. Kegiatan perencanaan rata-rata kurang dari 1 % dari seluruh

kegiatan yang dilakukannya. Kegiatannya lebih banyak bersifat rutin, bermacam-macam

dan tidak sinambung.

Kedua, tidak benar pendapat yang menyatakan, bahwa pemimpin tidak

mempunyai tugas regular. Teori klasik menggambarkan pemimpin menggunakan

sebagian besar waktunya untuk tugas perencanaan. la tidak melakukan sendiri tugas rutin

tertentu dan melimpahkan tugas itu kepada anak buahnya. la ibarat konduktor orkestra

yang merupakan jantung organisasi, yang cukup mengendalikan semua alat musik dengan

santai. Kenyataan membuktikan, pemimpin mempunyai berbagai tugas rutin, termasuk

tugas-tugas seremonial, membuat perundangan-perundangan dan memproses informasi

yang menghubungkan organisasi dengan pihak luar.

Ketiga, tidak benar pemimpin selalu mendasarkan keputusannya kepada

system informasi manajemen formal. MIS (Management Information System) seringkali

tidak dimanfaatkan oleh pemimpin. Peralatan komputer kadangkadang dipenuhi debu,

karena data-data yang terkumpul di sana tidak pernah digunakan. Di Amerika Serikat

lebih dari 78 % dan di Inggris sekitar 80 % waktu yang dimiliki pemimpin digunakan

untuk mengadakan komunikasi langsung dan lisan, melalui pertemuan, pengamatan atau

pembicaraan telpon. MIS hanya dapat menyimpan data keras (hard data) yang melukiskan

kenyataan, jumlah dan angka-angka, sedangkan hubungan langsung dapat memberikan

data lunak (soft data) yang menyangkut perasaan, emosi, tingkat kepuasan dan proses

berjalannya pengaruh dalam organisasi.

Keempat, adalah bukti pernyataan yang berbunyi, bahwa manajemen (baca

kepemimpinan) adalah ilmu yang profesi. Kenyataan membuktikan bahwa kegiatan

pemimpin untuk menjadwalkan waktu, mengolah informasi dan membuat keputusan tetap

berada di dalam otaknya. la bertindak lebih berdasarkan intuisinya daripada ilmu

40
kepemimpinan. Telah diketahui, bahwa kepribadian seseorang sering tercermin dalam sikap

dan perilakunya, baik secara individual maupun pada tingkat organisasional. Hal

tersebut memperlihatkan keterkaitan yang erat antara persepsi peranan dengan sikap,

serta perilaku seseorang.

Akhirnya, persepsi seseorang tentang peranan yang diharapkan daripadanya

dalam kehidupan organisasional, serta perilaku dan kepribadian yang terdapat dalam

dirinya akan mempunyai arti yang amat penting dalam usaha membuat berfungsinya

pendekatan kesisteman dalam menjalankan roda organisasi secara lancar. Peranan

menjawab pertanyaan "apa yang sebenarnya dilakukan oleh seorang manajer di.dalam

menjalankan kewajiban-kewajibannya."

Istilah peranan, kita pinjam dari panggung sandiwara untuk mencoba

menjelaskan apa saja yang bisa dimainkan oleh seorang aktor. Manajer adalah seperti aktor

panggung teater, ia bisa memainkan peranannya sebagai kewajiban yang tidak boleh tidak

harus dimainkan. Suatu peranan dirumuskan sebagai suatu rangkaian perilaku yang

teratur, yang ditimbulkan karena jabatan tertentu, atau karena adanya suatu kantor yang

mudah dikenal. Kepribadian seseorang barangkali juga amat mempengaruhi bagaimana

peranan harus dijalankan. Peranan timbul karena seorang manajer memahami bahwa ia

bekerja tidak sendirian. Dia mempunyai lingkungan yang setiap saat ia perlukan untuk

berinteraksi. Lingkungan itu luas dan beraneka macamnya dan masing-masing manajer

akan mempunyai lingkungan yang berlainan. Tetapi peranan yang hams dimainkan pada

hakikatnya tidak ada perbedaan. Baik manajer tingkat atas, tengah, maupun bawah,

akan mempunyai jenis peranan yang sama, hanya berbeda lingkungan yang akhirnya

membuat bobot peranan sedikit berbeda.

Seorang manajer atas (pucuk pimpinan) melihat lingkungannya, selain

stafnya, maka akan nampak beberapa pesaing (competitors), rekanan (suppliers),

41
pejabat pemerintah (bureaucrats), dan lain-lain. Kepala Bagian/Bidang atau manajer

tingkat tengah, melihat lingkungannya akan terdiri dari beberapa kelompok pegawainya,

kepala-kepala bagian lainnya, mungkin rekanan yang berada di luar struktur

organisasinya, dan lain sebagainya. Manajer tingkat bawah barangkali melihat

lingkungannya yang terdiri dari para kepala sub bagian/bidang yang lain dan mungkin

juga rekanan selevel di struktur organisasi yang lain. Semuanya itu, baik manajer atas,

tengah, dan bawah haruslah mengatur dan menjalankan organisasinya di dalam suatu

kompleksitas lingkungan. Jika organisasi yang dipimpinnya bisa berjalan secara efektif,

maka ada empat peranan manajemen yang harus dilakukan oleh manajer.

Empat peranan itu menurut Ichak Adizes dalam Perilaku Organisasi

(Nimran : 1999 : h. 62), yakni : memproduksi, melaksanakan, melakukan informasi, dan

memadukan (integrating). Sedangkan, Mintzberg dalam Gaya Kepemimpinan (Rustandi

: 1985 ; h. 49), mengemukakan berbagai macam peran pemimpin, seperti yang

digambarkan dalam bagan berikut ini:

Gambar 2.3
Peran Pemimpin

Kewenangan dan
status formal

Peran pembuat keputusan :


1. Wiraswastawan
2. Penanggulangan
gangguan
42 3. Pembagi sumber
daya
4. Pembuat
Peran antar manusia : Peran informatif :
1. Tokoh 1. Pencatat
2. Pemimpin 2. Penyebar
3. Penghubung 3. Juru
bicara

Sumber : Rustandi, Achmad, Gaya Kepemimpinan, 1985 : h. 49


Dari gambar di atas, dapat dijelaskan bahwa kewenangan dan status formal yang

didapat dari organisasi melahirkan tiga macam peran antar manusia. Peran antar manusia

melahirkan tiga macam peran informatif. Selanjutnya peran informatif melahirkan empat

macam peran pembuat keputusan, berikut penjabaran dari masing-masing peran pemimpin.

1) Peran Antar Manusia atau Peranan Hubungan Antar Pribadi (Interpersonal Role).

a. Peran sebagai tokoh (figurehead role), karena posisinya selaku kepala

dalam organisasi setiap pemimpin mempunyai kewajiban untuk melakukan

kegiatan yang bersifat seremonial atau dalam persoalan yang timbul secara formal.

b. Peran sebagai pemimpin (leader role), dalam peranan ini manajer

bertindak sebagai pemimpin. Karena jabatannya, pemimpin bertanggungjawab

atas segala sesuatu yang dikerjakan anak buahnya. Misalnya, pemimpin

bertanggungjawab atas penggajian dan latihan kerja anak buahnya. Selain itu

merupakan tugasnya yang tidak langsung untuk memotivasi dan meningkatkan

semangat kerja anak buahnya, serta harus berusaha menyelaraskan kebutuhan anak

buahnya dengan kepentingan organisasi. Organisasi secara formal hanya

menyediakan sejumlah kewenangan, kepemimpinanlah yang menentukan

sejauhmana kekuasaan yang tersedia akan dimanfaatkan.

c. Peran sebagai pejabat perantara/penghubung (liaison role), ialah

kegiatan pemimpin untuk melakukan hubungan selain hubungan ke atas menurut

jalur komando, juga melakukan peranan yang berinteraksi dengan teman sejawat,

staf, orang-orang lain yang berada di luar organisasinya.

43
2) Peran Informatif atau Peran yang berhubungan dengan informasi (Informational Role)

Mengalir dari peran hubungan antar manusia yang dimainkannya, baik

dengan anak buah maupun dengan jaringan kerja yang dihadapinya, pemimpin dapat

diibaratkan pusat syaraf organisasi. Mereka tidak perlu mengetahui segalanya, tetapi dia

pasti lebih mengerti dari setiap anggota stafnya. Hal ini dapat dipahami, karena selaku

orang yang memiliki wewenang formal, mereka memiliki akses yang memudahkan

untuk mengadakan hubungan baik dengan anak buahnya, maupun dengan pihak ketiga.

Peran informatif terbagi atas tiga peran, yaitu :

a. Peran selaku pencatat (monitor role). Karena jaringan kontak pribadinya

demikian luas, pemimpin dapat mengumpulkan informasi dari berbagai pihak.

Informasi itu didapatkannya secara langsung, termasuk yang berupa desas-

desus, kabar angin atau spekulasi. Informasi ini dapat berupa informasi lunak yang

berguna bagi kepentingan organisasi. Selain itu dalam peran ini

mengidentifikasikan seorang manajer sebagai penerima dan pengumpul informasi,

agar ia mampu untuk mengembangkan suatu pengertian yang baik dari organisasi

yang dipimpinnya dan mempunyai pemahaman yang komplit tentang

lingkungannya.

b. Peran selaku penyebar (disseminator role). Informasi yang berhasil didapatkannya

berdasarkan hubungan pribadinya, boleh jadi ada yang perlu diketahui oleh anak

buahnya. Pemimpin dapat memberikan informasi yang diperlukan itu secara

langsung. Mungkin pemimpin menjadi penghubung antara anak buah yang

saling membutuhkan, jika diantara mereka secara formal tidak ada jalur

informasi satu sarna lain. Peran ini melibatkan manajer untuk menangani proses

44
transmisi dari informasi-informasi ke dalam organisasi yang dipimpinnya.

c. Peran selaku juru bicara (spokesman role). Peran selaku juru bicara adalah

kegiatan pemimpin untuk memberikan keterangan tentang organisasinya kepada

pihak luar. Semisal, seorang Direktur perusahaan raksasa kadang-kadang harus

menggunakan sebagian besar waktunya untuk memberikan keterangan tentang

perusahaannya kepada para wartawan. Peran ini dimainkan manajer untuk

penyampaian informasi keluar lingkungan organisasinya.

3) Peran Pembuat Keputusan (decision making role) Informasi

Tentu saja bukan akhir dari segala kegiatannya. Informasi merupakan

masukan dasar untuk membuat keputusan. Pemimpin memainkan peran utama dalam

proses pembuatan keputusan. Karena wewenang formalnya dan kedudukannya sebagai

pusat syaraf organisasi, hanya dialah yang bisa mengambil keputusan yang bersifat

strategis. Peran pembuat keputusan diperinci menjadi:

a. Peran sebagai wiraswastawan (entrepreneur role). Pemimpin

bertanggungjawab untuk memajukan dan menyesuaikan organisasinya dengan

perkembangan lingkungan. Perannya selaku pengumpul informasi, suatu

ketika mungkin menemukan gagasan-gagasan baru. Gagasan-gagasan baru ini kalau

dianggapnya baik, dapat diterapkan di dalam organisasi yang

dipimpinnya. Manajer bertindak sebagai pemrakarsa dan perancang dari

banyak perubahan-perubahan yang terkendali dalam organisasinya.

b. Peran sebagai penghalau/penanggulangan gangguan (disturbande handler

role). Tidak ada suatu organisasi yang selalu berjalan mulus. Suatu saat pasti akan

mengalami gangguan tertentu yang disebabkan perkembangan keadaan. Gangguan

itu bukan saja disebabkan keterbatasan pemimpin untuk mengenali situasi, tetapi

juga karena pemimpin yang terbaikpun tidak mungkin meramalkan akibat

45
dari seluruh tindakannya. Pendek kata gangguan itu datang dari suatu hal yang di

luar jangkauannya. Selaku pemimpin, ia harus mampu mengatasinya. Jika

perannya selaku wiraswastawan berupa inisiatif untuk mengadakan

penanggulangan dengan sukarela, perannya selaku penanggulangan

gangguan merupakan seharusnya yang mesti dilakukan. Dimana manajer

bertanggungjawab terhadap organisasi ketika organisasinya terancam bahaya,

misalnya : akan dibubarkan, terkena gossip, isu-isu kurang baik, dan lain

sebagainya.

c. Peran sebagai pembagi sumber daya (resources allocator of role), peran

pemimpin selaku pembagi sumber daya adalah tanggung jawab pemimpin

dalam menentukan "siapa akan dapat apa", dalam organisasi yang dipimpinnya.

Sumber daya yang paling penting untuk diatur pembagiannya adalah waktu yang

dimiliki. Selanjutnya pemimpin dibebani tugas untuk mengatur pola hubungan

formal yang mengatur bagaimana pekerjaan dibagi dan dikoordinasikan. Dalam

peran ini manajer memainkan peranan untuk memutuskan kemana sumber dana

akan didistribusikan ke bagian-bagian dari organisasinya.

d. Peran sebagai perunding (negotiator role), penelitian membuktikan bahwa

pemimpin menggunakan waktunya yang tidak sedikit untuk mengadakan

perjanjian demi perjanjian. Penutupan perjanjian ini nampaknya telah merupakan

tugasnya yang rutin, yang mengalir dari kedudukannya sebagai pusat syaraf

organisasi dan kewenangan yang dimilikinya dalam organisasi. Dalam peran ini

seorang manajer untuk aktif berpartisipasi dalam arena negosiasi.

Dalam akhir tulisannya, Mintzberg Mintzberg dalam Gaya Kepemimpinan

(Rustandi : 1985 ; h. 51), mengingatkan bahwa kesepuluh peran pemimpin itu

merupakan suatu "geslalt", yaitu keterpaduan dari keseluruhan yang tidak mudah

46
dipisahkan, tidak ada satu peranpun yang bisa berdiri sendiri. Semisal, pemimpin tanpa

peran selaku penghubung, akan kehilangan kontaknya dengan informasi dari luar.

Akibatnya mereka akan kehilangan perannya, baik selaku penyebar keterangan maupun

selaku pembuat keputusan yang cukup mencerminkan kondisi yang berkembang di

sekelilingnya.

3. 2 Peranan Staf

Menurut Ralph C. Davis, dalam Dasar-Dasar Organisasi (Sutarto : 1998 : h.

203), menjabarkan enam kewajiban staf, yakni :

a. Investigation (penelitian).

b. Analysis of facts and information (analisis fakta dan informasi),

c. Interpretation (interprestasi),

d. Recommendation, including planning (rekomendasi termasuk perencanaan),

e. Coordination, assisting in control (koordinasi, membantu pengontrolan),

f. Facilitation, assisting in organizing and executing (memperlancar, membantu

penyusunan dan pelaksanaan).

Selain itu pendapat Livingstone, dalam Dasar-Dasar Organisasi (Sutarto :

1998 : h. 203), ada empat macam fungsi staf, yaitu : a. Control (pengonlrolan), b. Sennce

(pelayanan), c. Advisory, investigative, and interpretative (nasehat, penelitian, dan

interpretasi) ; dan d. Coordinative (koordinasi).

Sedangkan menurut William R. Spriegel, dalam Dasar-Dasar Organisasi

(Sutarto : 1998 : h. 204), dinyatakan bahwa ada empat macam tugas staff, yakni: a. Control

(pengontrolan), b. Service (pelayanan), c. Coordinative (koordinasi), d. Advisory (nasehat).

Dari ketiga macam pendapat tersebut di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa tugas staf adalah penelitian, analisis fakta dan informasi, interprestasi,

rekomendasi - termasuk perencanaan, pengontrolan, koordinasi, pelayanan, dan nasehat.

47
Selain itu, dikenal adanya "completed staff work" atau kerja staf lengkap, yaitu staf

yang bertugas memberikan nasehat kepada pimpinan secara lengkap, matang, dan

obyektif, sehingga pimpinan tinggal menerima atau menolak.

Tentang hal ini, menurut George R. Terry dalam Dasar-Dasar Organisasi

(Sutarto : 1998 : h. 205), ada lima butir doktrin kerja staf lengkap dalam organisasi,

sebagai berikut:

1) Sebagai anggota staf penasehat, pelajari masalahmu, siapkan jawabanmu, dan

tunjukkan hal itu dalam bentuk yang lengkap, sehingga atasanmu yang

memerlukan tinggal menyetujui atau menolak tindakan lengkapmu;

2) Bentuk lengkap berarti sempurna, tidak ada bagian yang ketinggalan dengan

segala detail yang diperlukan telah termasuk di dalamnya;

3) Jangan memberikan rekomendasi sedikit demi sedikit atau menanyakan kepada

atasanmu "apa yang dia ingin kerjakan". Ini adalah tugasmu untuk

menyumbang apa yang atasanmu akan melakukan dengan masalah yang

dihadapi, memberikan jawaban, jangan mengajukan pertanyaanpertanyaan;

4) Kebutuhan bentuk penunjuk akhir tidak perlu diikuti dalam penyajianmu yang

pertama, selembar salinan cukup, tetapi rapi dan lengkap. Kebutuhan-kebutuhan

bentuk penutup, jenis kertas, dan banyaknya salinan dapat dibuat setelah putusan

atasanmu direkomendasikan;

5) Pengajuan bentuk lengkap hanya sesudah kamu dapat menjawab "ya" atau

pertanyaan ini: " Apakah sebagai pimpinan saya depat menerima atau menolak

rekomendasi ini sebagai disajikan dalam laporan ini ? Dari adanya doktrin

tersebut, akhirnya dapat disimpulkan secara mudah bahwa kerja staf lengkap

adalah staf yang bertugas memberikan nasehat kepada pimpinan secara

lengkap, matang, obyektif, dan dirinya yakin benar akan kebenaran isi nasehat itu,

48
sehingga apabila diserahi, berani memikul tanggung jawab akan keberhasilan

pelaksanaannya dengan jaminan kariernya.

Dari uraian yang disajikan di atas, maka dapat dipertegas bahwa kejelasan

peran pada dasarnya dipengaruhi oleh dua paham yakni paham strukturisasi, yang akan

dilihat dari pemahaman terhadap tugas dan tanggung jawab, serta pemahaman mengenai

batas wewenang dan hak-hak dalam pekerjaan. Sedangkan paham interaksionis, akan

dilihat dari penerimaan tugas yang sesuai dengan latar belakang dan pengalaman, serta

hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas.

4. Koordinasi

Kaitannya dengan pengembangan organisasi, koordinasi merapakan unsur yang

sangat penting sebagai salah satu fungsi manajemen yang perlu diterapkan guna menjamin

arah pelaksanaan tugas sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Dapat dikatakan

bahwasannya penerapan fungsi koordinasi secara baik dan tepat akan berdampak pada

efisiensi dan efektivitas organisasi, hal ini dikarenakan dalam fungsi koordinasi terdapat

integrasi berbagai kepentingan untuk mencapai satu tujuan setelah melalui proses

komunikasi dan penyamaan persepsi.

Pemahaman tersebut dikuatkan dengan pendapatnya Hendayaningrat (1996:93)

yang menyebutkan bahwa :

"Pentingnya koordinasi adalah sebagai berikut:


1. Koordinasi yang baik mempunyai efek adanya efisiensi terhadap
organisasi, karena itu maka koordinasi adalah memberikan sumbangan
(kontribusi) guna tercapainya efisiensi terhadap tugas-tugas yang lebih
khusus, sebab kegiatan organisasi itu adalah dilakukan secara
spesialisasi, bila tidak akan terjadi pemborosan yaitu pemborosan
uang, tenaga dan alat-alat;
2. Koordinasi mempunyai efek terhadap moral daripada organisasi itu,
terutama yang berhubungan dengan peranan kepemimpinan (leadership),
kalau kepemimpinan kurang baik, maka ia kurang melakukan
koordinasi yang baik. Oleh karena itu koordinasi
menentukan/mempengaruhi terhadap keberhasilan daripada

49
kepemimpinan;
3. Koordinasi mempunyai efek terhadap perkembangan daripada personal
di dalam organisasi itu, artinya bahwa unsur pengendalian personal
dalam koordinasi itu harusnya selalu ada. Orang tidak selalu dibebaskan
begitu saja tetapi harus diperhatikan pekerjaannya dan akan merasa
senang bila mendapat pengharrgaan dari hasil kerjanya, sebab kalau
terjadi kekeliruan biasanya yang sealu disalahkan adalah bawahannya,
padahal seharusnya adalah tanggug jawab pimpinan yang antara lain
kuang mengadakan koordinasi".

Selanjutnya menurut Winardi (1990:348), disebutkan bahwa :

"Suatu kegiatan yang dilakukan oleh unit-unit yang saling berhubungan satu
sama lain mempunyai keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan, maka untuk
dapat tercapai tindakan yang tepat, berhasil guna, dan berdaya guna perlu
penarapan koordinasi. Bagaimanapun juga penerapan koordinasi akan
memberikan manfaat yang baik terhadap pencapaian tujuan".

Berangkat dari kedua pendapat tersebut di atas, dapat dikatakan bahwasannya

koordinasi sangat ditekankan dalam suatu organisasi, khususnya bagi para pimpinan baik

di level top manajer maupun middle atau low manajer, sehingga wajar manakala

penerapan fungsi koordinasi harus mendapatkan prioritas dari semua level pimpinan guna

merealisasikan tujuan organisasi.

Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa koordinasi merupakan penyesuaian diri

(adjustment) dari masing-masing bagian dan usaha untuk menggerakkan serta

mengoperasikan bagian-bagian pada waktu yang cocok (parts in time) sehingga dengan

demikian masing-masing bagian dapat memberikan sumbangan terbanyak pada keseluruhan

hasil. Sedangkan menurut pendapatnya Hardjito untuk melaksanakan koordinasi secara

efektif ada 2 (dua) pendekatan :

a. Pendekatan potensi koordinasi

Dimana potensi koordinasi dikaitkan dengan pendapat yang menyatakan bahwa kunci

koordinasi yang efektif meliputi :

1) Sistem informal verbal : informasi yang dapat diurutkan ke atas dank e bawah jenjang

organisasi;

50
2) Sistem informal lateral : system informasi yang memungkinkan adanya pertukaran

informasi yang dibutuhkan yang dapat dipertanggungjawabkan;

3) Sistem informasi manajer penghubung : manajer penghubung yang mempunyai

wewenang formal di semua unit dimanfaatkan apabila koordinasi tidak berjalan

efektif.

b. Pendekatan struktural

Pendekatan struktural ini dilakukan apabila perusahaan merasakan iklim yang tidak sehat

ketika unit-unit ada penumpukan kegiatan. Handoko (1995:195) menyebutkan, bahwa

“koordinasi adalah proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada

satuan-satuan yang terpisah (departemen atau bidang-bidang fungsional)”. Oleh

karenanya tanpa koordinasi sangat sulit bagi organisasi untuk mencapai tujuannya, hal ini

dikarenakan pegawai dan atau departemen/bagian akan kehilangan pegangan atas peranan

mereka dalam organisasi. Terdapat tiga pendekatan sebagai prasyarat agar koordinasi

yang dilakukan dapat efektif yakni :

a. Menggunakan teknik manajemen dasar, yakni hirarki manajerial, rencana dan tujuan

sebagai pengarah umum kegiatan-kegiatan serta aturan-aturan dan prosedur-prosedur.

Pendekatan ini umumnya dilakukan oleh organisasi yang bersifat sederhana.

Hirarki manajerial merupakan rantai perintah, aliran informasi dan kerja,

wewenang formal, hubungan tanggung jawab dan akuntabilitas yang jelas sehingga

dapat menumbuhkan integrasi bila dirumuskan secara jelas serta dilaksanakan dengan

pengarahan yang tepat. Sedangkan aturan dan prosedur merupakan keputusan-

keputusan manajerial yang dibuat untuk menangani kejadian-kejadian rutin, sehingga

dapat juga menjadi peralatan yang efisien untuk koordinasi dan pengawasan rutin.

Adapun rencana dan penetapan tujuan merupakan pengembangan yang

digunakan untuk pengkoordinasian melalui pengarahan kepada seluruh satuan

51
organisasi kaitannya dengan sasaran-sasaran yang sama. Hal ini diperlukan bila aturan

dan prosedur tidak mampu lagi memproses seluruh informasi yang diperlukan untuk

mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan satuan/unit kerja organisasi.

b. Meningkatkan koordinasi potensial, yakni menerapkan investasi dalam sistem

informasi vertikal, dan menciptakan hubungan-hubungan ke samping (antar

departemen/bagian).

Koordinasi potensial dapat ditingkatkan melalui 2 (dua) cara yaitu :

1) Sistem informasi vertikal, penyaluran data dengan melewati tingkatan-

tingkatan organisasi. Dalam proses ini, komunikasi dapat terjadi di dalam atau

di luar rantai perintah ini.

2) Hubungan lateral (horizontal), yakni dapat dilakukan melalui pemotongan

rantai perintah, penukaran informasi dan pengambilan keputusan pada tingkat

dimana informasi dibutuhkan.

c. Mengurangi kebutuhan akan koordinasi, yakni menciptakan sumber daya

tambahan dan tugas-tugas yang dapat berdiri sendiri.

Penciptaan sumber daya dilakukan untuk memberikan kelonggaran bagi

satuan-satuan kerja karena tugas menjadi terbagi-bagi sehingga ada kesempatan untuk

lebih memfokuskan pada tugas yang diemban. Sedangkan penciptaan tugas yang

berdiri sendiri dimaksudkan untuk mengurangi kebutuhan koordinasi dengan

mengubah karakter satuan-satuan kerja melalui pembentukan kelompok tugas yang

diserahi suatu tanggung jawab (Handoko, 1995:199).

Bertolak dari pemahaman sebagaimana telah diuraikan di atas, dapat diambil

suatu kesimpulan bahwa batasan koordinasi dalam penelitian ini adalah cara untuk

menyinkronkan sesuatu dengan menggunakan persepsi serta mengintegrasikan

beberapa tugas agar antara tujuan yang satu dengan tujuan yang lainnya dalam

52
organisasi dapat berjalan bersama untuk menghasilkan tujuan yang telah ditetapkan.

Sedangkan guna mengetahui tingkat koordinasi pada Badan Kepegawaian Daerah

Kabupaten Pati, indikator yang digunakan adalah cara dan tingkat koordinasi Kepala

BKD Kabupaten Pati dengan Kepala Bidang, cara dan tingkat koordinasi Kepala

Bidang dengan Kepala Sub Bidang serta cara dan tingkat koordinasi antar pegawai

BKD Kabupaten Pati.

5. Motivasi

Untuk lebih jauh memahami pengertian dan hakikat motivasi, bisa

dilakukan pengamatan secara cermat dalam kehidupan berorganisasi diantaranya

adalah :

a. Proses interaksi kerja sama antar pimpinan dan dengan bawahan, kolega

maupun dengan atasan pimpinan itu sendiri.

b. Dalam proses interaksi itu terjadi perilaku bawahan (orang lain) yang

diperhatikan, diarahkan, dibina, dikembangkan, tetapi kemungkinan juga

dipaksakan agar perilaku tersebut sesuai dengan keinginan yang diharapkan

oleh pimpinan.

c. Berbagai perilaku yang terjadi dan ditampilkan oleh para bawahan

mempunyai latar belakang dorongan yang berbeda-beda.

d. Dorongan berperilaku yang berbeda-beda dapat terjadi karena keinginan

dalam rangka pemenuhan kebutuhan yang berbeda-beda.

Jadi motivasi merupakan suatu proses psikologis yang mencerminkan

interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi dan keputusan yang terjadi pada diri

seseorang. Motivasi sebagai proses psikologis timbul diakibatkan oleh faktor di

dalam diri seseorang itu sendiri yang disebut intrinsik atau faktor di luar diri yang

disebut faktor ekstrinsik.

53
Faktor di dalam diri seseorang dapat berupa kepribadian, sikap,

pengalaman dan pendidikan atau berbagai harapan, cita-cita yang menjangkau ke

masa depan. Sedang faktor dari luar diri, dapat ditimbulkan oleh berbagai sumber,

bisa karena pengaruh pemimpin, kolega atau faktor-faktor lain yang sangat kompleks.

Tetapi baik faktor intrinsik maupun faktor luar motivasi timbul karena adanya

rangsangan.

Berikut adalah pengertian tentang motivasi sebagaimana telah

dikemukakan oleh beberapa ahli, yakni :

a. Flippo (Hasibuan, 2001:43) menyebutkan bahwa “motivasi sebagai suatu

keahlian dalam mengarahkan pegawai dan organisasi agar mau bekerja secara

berhasil, sehingga keinginan para pegawai dan tujuan organisasi sekaligus

tercapai.

b. Kemudian Robbins (2002:55), mendefinisikan sebagai “keinginan untuk

melakukan sesuatu dan menentukan kemampuan bertindak untuk memuaskan

individu”. Selanjutnya ia menyebutkan bahwa “motivasi sebagai kesediaan

untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi kea rah tujuan-tujuan

organisasi yang memenuhi sesuatu kebutuhan yang individual dari 3 (tiga)

unsure adalah organisasi, upaya dan tujuan”.

c. Adapun Gibson (1996:185) mengartikan sebagai “kekuatan yang mendorong

seorang karyawan untuk menimbulkan dan mengarahkan suatu perilaku yang

dikehendaki”.

Berdasarkan beberapa pendapat para pakar di atas, dapat ditarik

kesimpulan bahwasannya motivasi merupakan suatu ruh dari terbentuknya suatu

keinginan untuk mengerahkan segenap potensinya atau bisa juga disebut sebagai

“ghiroh” yang mampu memberikan adrenalin kepada seseorang untuk berkeinginan

54
lebih atau menjadi mampu menyelesaikan pekerjaannya.

Jadi jelas bahwa perilaku yang timbul pada diri seseorang atau bawahan

dalam kerangka motivasi sebagai konsep manajemen, didorong adanya kebutuhan.

Dan kebutuhan yang ada pada diri sendiri mendorong seseorang berperilaku. Dan

sikap perilaku seseorang, selalu berorientasi pada tujuan, ialah terpenuhinya

kebutuhan yang diinginkan atau berbuat sesuatu. Dan setiap perilaku yang

ditampilkan seseorang dalam kehidupan organisasi, tidak bisa tidak dalam rangka

terwujudnya suatu kepuasan.

Apapun yang dilakukan oleh seorang pimpinan dalam menggerakkan

bawahan untuk mencapai tujuan, pada akhirnya harus dapat memberikan kepuasan

kepada bawahan. Kepuasan itu sendiri dapat terwujud apabila kebutuhan yang ada

dalam diri setiap bawahan dapat terpenuhi.

Orang-orang yang berjasa besar dalam merumuskan kebutuhan-kebutuhan

manusia, antara lain adalah Abraham Maslow, Frederick Herzberg, David McChelland,

dan Victor Vroom. Maslow dan Herzberg berusaha membuat teori-teori motivasi secara

keseluruhan. Sedangkan Me Clelland memberikan sumbangan paling banyak pada

identifikasi kebutuhan tertentu, hasil kerja dan kebutuhan yang sangat penting bagi

perkembangan perusahaan dan industri.

a. Teori Pemenuhan Kebutuhan (Satisfaction of Needs Theory), teori ini

dikemukakan oleh ahli ilmu jiwa Abraham Maslow. Studi-studi yang lalu

menunjukkan keanekaragaman kebutuhan para karyawan, ternyata bahwa mereka

sebenarnya tidak tahu apa yang mereka inginkan. Namun, seorang ahli

psikologi/jiwa, Maslow telah menyusun "tingkatan kebutuhan manusia", yang

pada pokoknya didasarkan pada prinsip, bahwa :

1) Manusia adalah " binatang yang berkeinginan";

55
2) Segera setelah salah satu kebutuhannya terpenuhi, kebutuhan lainnya akan

muncul;

3) Kebutuhan-kebutuhan manusia nampak diorganisir ke dalam kebutuhan yang

bertingkat-tingkat;

4) Segera setelah kebutuhan itu terpenuhi, maka mereka tidak mempunyai

pengaruh yang dominan, dan kebutuhan lain yang lebih meningkat mulai

mendominasi.

Dalam bukunya "Motivation and Personality", lima jenjang kebutuhan pokok

manusia tersebut, dijelaskan sebagai berikut :

1. Kebutuhan mempertahankan hidup (Physiological Needs). Manifestasi

kebutuhan ini tampak pada tiga hal yaitu sandang, pangan, dan papan.

Kebutuhan ini merupakan kebutuhan primer untuk memenuhi kebutuhan

psikologis dan biologis.

2. Kebutuhan rasa aman (Safety Needs). Manifestasi kebutuhan ini antara

lain adalah kebutuhan akan keamanan jiwa, di mana manusia berada,

kebutuhan keamanan harta, perlakuan yang adil, pensiun, dan jaminan hari tua.

3. Kebutuhan social (Social Needs). Manifestasi kebutuhan ini antara lain

tampak pada kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain (sense of

belonging), kebutuhan untuk maju dan tidak gagal (sense of achievement),

kekuatan ikut serta (sense of participation).

4. Kebutuhan akan penghargaan/prestise (esteem needs), semakin tinggi

status, semakin tinggi pula prestisenya. Prestise dan status ini dimanifestasikan

dalam banyak hal, misalnya tongkat komando, mobil mercy, kamar kerja

yang fall AC, danlain-lain.

5. Kebutuhan mempertinggi kapasitas kerja (self actualization), kebutuhan

56
ini manifestasinya tampak pada keinginan mengembangkan kapasitas mental

dan kapasitas kerja, melalui on the job training, of the job training,

seminar, konperensi, pendidikan akademis, dan lain-lain.

Hirarkhi kebutuhan Maslow tidak dimaksud sebagai suatu kerangka yang

dapat dipakai setiap saat, tetapi lebih merupakan satu kerangka yang mungkin

berguna dalam meramalkan tingkah laku berdasarkan kemungkinan yang tinggi atau

rendah. Apabila dikatakan bahwa timbulnya perilaku seseorang pada saat tertentu

ditentukan oleh kebutuhan yang memiliki kekuatan tinggi, maka penting bagi setiap unsur

pimpinan untuk memiliki pengertian tentang kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan

penting bagi bawahan.

Suatu kenyataan bahwa kebutuhan seseorang adalah berbeda-beda. Kebutuhan

yang berbeda-beda itu disebabkan oleh berbagai faktor yang berpengaruh antara lain :

latar belakang pendidikan, tinggi rendahnya kedudukan, berbagai pengalaman masa

lampau, cita-cita atau harapan masa depan, serta pandangan hidup seseorang sangat

berpengaruh terhadap berbagai macam kebutuhan tersebut, sehingga jenjang kebutuhan

yang dikemukakan oleh Maslow akan berbeda dalam kehidupan seseorang.

b. Teori Pemeliharaan Motivasi (Motivation Maintenance Theory), teori ini dikemukakan

oleh Frederick Herzberg. Berdasarkan penelitian Herzberg dalam Kepemimpinan dan

Motivasi (Wahjosumidjo : 1987 : h. 181 -192), ada dua macam situasi yang berpengaruh

terhadap setiap individu/bawahan terhadap pekerjaannya, yaitu :

1) Kelompok Satisfiers atau motivation, ialah faktor-faktor atau situasi yang

merupakan sumber kepuasan kerja, yang terdiri dari achievement, recognition, work

it self, responsibility, dan advancement. Tetapi ketidakpenuhan faktor-faktor ini

tidaklah terlalu mengakibatkan ketidakpuasan.

2) Kelompok Dissatisfiers atau hygiene factors, ialah faktor-faktor yang menjadi

57
sumber ketidakpuasan yang terdiri dari : company policy administration,

supervision technical, job security, dan status. Perbaikan terhadap kondisi ini akan

menghilangkan atau mengurangi ketidakpuasan, tetapi tidak menimbulkan

kepuasan, dan memang bukan sumber kepuasan.

Secara singkat teori Herzberg dapat disimpulkan :

1) Perbaikan gaji dan kondisi kerja tidak akan menimbulkan kepuasan, melainkan

sekedar mengurangi ketidakpuasan.

2) Kelompok satisfiers dapat memacu bekerja dengan baik.

3) Satisfiers disebut pula intrinsic factors, job content, motivator, sedangkan

dissatisfiers disebut pula extrinsix factors, job content, hygiene factors.

4) Dalam perkembangan selanjutnya, apabila dibandingkan dengan teori Maslow,

adalah sebagai berikut :

a. Satisfiers berhubungan dengan higher order needs (social needs and self

actualization needs).

b. Dissatisfiers disebutkan sebagai tempat pemenuhan lower order needs

(physiological needs, safety and security needs, serta sebagian social

needs).

Penelitian Herzberg membuktikan bahwa jawaban orang-orang yang merasa

pekerjaannya baik, berbeda sekali dengan orang-orang yang merasa pekerjaannya kurang

baik. Maksudnya bahwa jawaban seseorang sangat tergantung pada kepuasan kerja

seseorang. Faktor-faktor intrinsik seperti keberhasilan, pengakuan, tanggungjawab dan

pengembangan mempunyai kaitan erat dengan kepuasan kerja. Sebaliknya faktor-

faktor ekstrinsik seperti kebijaksanaan kantor, administrasi, supervise, hubungan

antarpribadi, kondisi kerja, dan gaji mempunyai kaitan erat dengan ketidakpuasan kerja.

Dalam Teori Herzberg, dijelaskan bahwa keberhasilan, pengakuan,

58
pengembangan, dan tanggung jawab mempunyai kaitan erat dengan perasaan puas

(high feelings). Sebaliknya administrasi dan kebijaksanaan kantor, supervise, hubungan

dengan pimpinan, kondisi kerja, dan kehidupan orang yang bersangkutan berkaitan erat

dengan perasaan tidak puas (low feelings). Berdasarkan hasil penelitian ini, Herzberg

berpendapat bahwa administrasi dan kebijaksanaan kantor, kondisi kerja, dan lain-lain

merupakan faktor ketahanan (penyehat), sedangkan keberhasilan, tanggungjawab, dan

lain-lain merupakan faktor motivasi.

Seperti halnya kelompok penganut psikologi modern, Skinner mengadakan

pendekatan behavioristik untuk menerangkan tingkah laku. Pada tahun 1938, Skinner

menerbitkan bukunya yang berjudul The Behavior of Organism. Dalam

perkembangan psikologi belajar, ia mengemukakan teori operant conditioning. Buku

itu menjadi inspirasi diadakannya konferensi tahunan yang dimulai tahun 1946 dalam

masalah “The Experimental an Analysis of Behavior”. Hasil konferensi dimuat dalam

jurnal berjudul Journal of the Experimental Behaviors yang disponsori oleh Asosiasi

Psikologi di Amerika (Sahakian,1970)

B.F. Skinner berkebangsaan Amerika dikenal sebagai tokoh behavioris

dengan pendekatan model instruksi langsung dan meyakini bahwa perilaku dikontrol

melalui proses operant conditioning. Di mana seorang dapat mengontrol tingkah laku

organisme melalui pemberian reinforcement yang bijaksana dalam lingkungan relatif

besar. Dalam beberapa hal, pelaksanaannya jauh lebih fleksibel daripada conditioning

klasik.

Menajemen Kelas menurut Skinner adalah berupa usaha untuk

memodifikasi perilaku antara lain dengan proses penguatan yaitu memberi

penghargaan pada perilaku yang diinginkan dan tidak memberi imbalan apapun pada

perilaku yanag tidak tepat. Operant Conditioning adalah suatu proses perilaku operant

59
( penguatan positif atau negatif) yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat

berulang kembali atau menghilang sesuai dengan keinginan.

Beberapa prinsip Skinner antara lain :

a. Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan,

jika bebar diberi penguat.

b. Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.

c. Materi pelajaran, digunakan sistem modul.

d. Dalam proses pembelajaran, tidak digunkan hukuman. Untuk itu lingkungan

perlu diubah, untukmenghindari adanya hukuman.

e. dalam proses pembelajaran, lebih dipentingkan aktifitas sendiri.

f. Tingkah laku yang diinginkan pendidik, diberi hadiah, dan sebaiknya hadiah

diberikan dengan digunakannya jadwal variabel Rasio rein forcer.

g. Dalam pembelajaran digunakan shaping.

Mengacu pada beberapa argumen dan konsep di atas, dapat disimpulkan

bahwa motivasi dalam penelitian ini merupakan kesediaan untuk mengeluarkan atau

mengerahkan segenap kemampuan yang dimiliki untuk mencapai tujuan BKD

Kabupaten Pati atau kebutuhan pegawai. Guna melihat tingkat motivasi pegawai

BKD Kabupaten Pati dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, maka

digunakan indikator tingkat terpenuhinya kebutuhan fisik dan tingkat terpenuhinya

kebutuhan non fisik.

6. Hubungan Antar Variabel

Berdasarkan penguraian faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas

organisasi sebagaimana telah dipaparkan di muka, guna mempermudah proses berpikir

kaitannya dengan pemecahan masalah yang terjadi, berikut akan digambarkan kerangka

berpikir yang menghubungkan permasalahan-permasalahan yang dianggap krusial, yakni :

60
BAGAN 2. HUBUNGAN ANTAR VARIABEL

KEJELASAN
PERAN

KOORDINASI EFEKTIVITAS

MOTIVASI

Berdasarkan bagan tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwasannya kejelasan

peran merupakan penjabaran dari job inscription masing-masing pegawai pada tiap-tiap

bidangnya sebagai rmcian atas pengelompokan segala aktivitas yang sejenis kemudian

erat hubungannya dengan posisi jabatan tertentu ke dalam beberapa bidang kemudian

koordinasi sebagai bentuk proses kerjasama yang menjembatani bag! teroptimalnya

input sehingga tujuan organisasi tercapai serta motivasi untuk terus bekerja dengan

lebih baik dan berkreasi sernaksimal mungkin, diperkirakan akan sangat mempengaruhi

efektivitas pelaksanaan tugas dan fimgsi Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Pati

dalam upaya untuk mencapai tujuan organisasi secara keseluruhan.

a. Hubungan antara Kejelasan Peran dengan Efektivitas

Seseorang hanya mungkin dapat melaksanakan pekerjaannya secara efektif,

jika mereka telah mengetahui secara pasti tentang perannya di dalam sebuah organisasi

tempat kerjanya. Didalam kehidupan sehari-hari, istilah peran mengandung pengertian

adanya sekumpulan perilaku yang harus atau "sepantasnya" atau "diharapkan" dilakukan

oleh seseorang yang menduduki suatu posisi tertentu, baik posisi sosial maupun

organisasional. Miftah Thoha (1983), merumuskan peran sebagai berikut:

"Suatu rangkaian perilaku yang teratur yang ditimbulkan karena adanya


suatu kantor yang sudah dikenal, oleh karena peran yang dimaksud di sini
menyangkut suatu jabatan dan jabatan ini berisikan seperangkat tugas,

61
wewenang, hak, kewajiban dan tanggung jawab yang lazimnya dalam suatu
organisasi formil semua ini tersimpul dalam suatu uraian pekerjaan (job
discriptions), maka setiap organisasi formil pada umumnya berusaha
mengembangkan suatu job disciriptiom untuk menjelaskan secara lebih
terperinci tentang tugas, wewenang, hak dan tanggung jawab kepada
masing-masing orang yang telah ditentukan untuk menduduki jabatan
tersebut".

Job description adalah salah satu upaya untuk menjelaskan peran seseorang

dari luar orang itu, yaitu organisasi. Sedangkan dari dalam yaitu dari setiap orang yang

berada pada peran yang telah ditentukan dituntut pula adanya kemampuan dan kemauan

untuk mengerti akan peran yang didudukinya. Kemampuan mengerti berarti kemampuan

untuk memahami atau mengetahui isi dari job discriptions yang telah ditetapkan oleh

organisasi, sedangkan kemauan mengerti artinya secara mental seseorang mau menerima

perannya itu, yaitu adanya kecocokan antara harapan pribadinya terhadap peran yang

diberikan kepadanya. Seseorang yang dapat memahami perannya dan menerima perannya,

tentu akan secara konsekuen melaksanakan semua tugas yang melekat pada perannya itu

dengan sebaik-baiknya. Tugas bukan dipandang sebagai beban yang memberatkan atau

menjemukan, melainkan merupakan suatu tantangan yang menarik untuk diselesaikan dan

mungkin akan menimbulkan suatu kepuasan diri jika dapat menyelesaikannya.

Bahwasannya berdasarkan pendapatnya Richart M Steers, Franklin G.

More dan Duncan dapat diketahui bagaimana karakteristik organisasi yang di

dalamnya mencakup struktur pekerjaan, susunan organisasi dan spesifikasi yang mana hal

ini kemudian akan menjelaskan lebih lanjut mengenai kedudukan dan peran seseorang

dalam pekerjaan sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing sehingga hal ini dapat

menentukan terciptanya efektivitas tugas dan fungsi dalam suatu organisasi.

b. Hubungan Antara Koordinasi Dengan Efektivitas

Berdasarkan pendapatnya Franklin G. More dan Richart M Steers,

bahwasannya salah satu faktor yang mempengaruhi terciptanya efektivitas adalah

62
koordinasi. Sebagaimana penerapan fungsi-fungsi manajemen bahwa koordinasi

merupakan salah satu fungsi yang diperlukan untuk tetap menjamin adanya pengintegralan

berbagai kepentingan ke arah satu tujuan yang sebelumnya melalui proses komunikasi

dan komitmen terlebih dahulu.

Jadi agar pelaksanaan pekerjaan kita tercapai secara efektif, maka sangat

diperlukan adanya fungsi koordinasi yang dilakukan oleh atasan maupun bawahan serta

antar bidang yang satu dengan yang lain. Koordinasi ini dilakukan juga agar tercipta

suatu kontrol dari pimpinan kepada bawahannya agar segala sesuatu yang dikerjakan

tidak menyimpang jauh dari tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang telah ada. Sehingga

semakin memantapkan bahwa fungsi koordinasi adalah mutlak harus diterapkan secara

tepat kalau ingin tujuan organisasi tercapai secara efektif.

c. Hubungan antara Motivasi dengan Efektivitas

Berdasarkan pendapat dari keempat ahli yaitu Richart M Steers, Gibson, et.al,

Franklin G More dan Duncan bahwa motivasi merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi efektivitas. Hal ini berarti bahwa dalam menunjang keefektivitasan tugas

dan fungsi BKD dalam upaya mencapai tujuan organisasi, maka pimpinan organisasi

harus memperhatikan segala kebutuhan bawahannya, karena dengan cara inilah para

bawahan akan merasa diperhatikan oleh pimpinan sehingga dapat timbul rasa percaya diri

dan motivasi yang tinggi untuk bekerja sebaik mungkin.

Apabila diinginkan konsep motivasi untuk hasil kerja yang efektif untuk

menunjukkan jumlah prestasi yang dihubungkan dengan tugas yang dilakukan oleh

seseorang, maka diperlukan formulasi yang lebih kompleks. Ahli-ahli ilmu jiwa

perusahaan telah lama menaruh minat pada kondisi-kondisi yang menjadikan seorang

pekerja efektif dalam pekerjaannya. Suatu perbandingan penting daripada riset dalam

bidang ini berhubungan dengan menjelaskan perbedaan-perbedaan individu dalam hasil

63
kerja, dan banyak metode yang dipergunakan oleh ahli-ahli ilmu jiwa perusahaan

profesional ditujukan kepada peningkatan tingkat hasil kerja para karyawan/pekerja.

Ahli-ahli ilmu jiwa perusahaan menyarankan agar hasil dari seorang pekerja dalam

suatu tugas atau pekerjaan tidak hanya dipahami, dipandang dari sudut faktor-faktor

motivasi, akan tetapi juga dari sudut kemampuannya untuk melaksanakan pekerjaan.

Untuk mencapai tujuan organisasi dengan efektif diperlukan pemaduan

antara kebutuhan organisasi dengan kebutuhan anak buah sedemikian rupa, sehingga tidak

terjadi ketegangan (conflict). Dalam beberapa teori telah disinggung beberapa sarana

untuk memotivasi anak buah. Efektifitas setiap sarana dalam memotivasi anak buah bersifat

situasional, artinya tergantung pada jenis pekerjaan, tingkat kebutuhan dan kematangan

anak buah. Sarana untuk memotivasi anak buah, antara lain :

a. Uang
b. Pujian
c. Perhatian sunguh-sungguh terhadap anak buah selaku pribadi.
d. Persaingan.
e. Kebanggaan.
f. Pelimpahan tanggung ja'wab.

B. Hipotesis

1. Hipotesis Minor :

1. Ada pengaruh yang positif dan signifikan antara kejelasan peran dengan

efektivitas pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Badan Kepegawaian Daerah

Kabupaten Pati;

2. Ada pengaruh yang positif dan signifikan antara koordinasi dengan efektivitas

pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Pati;

3. Ada pengaruh yang positif dan signifikan antara, motivasi kerja dengan

efektivitas pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Badan Kepegawaian Daerah

64
Kabupaten Pati;

Hipotesis sebagaimana tersebut di atas, apabila digambarkan akan tampak

sebagai berikut:

BAGAN 3. HIPOTESIS MINOR

KEJELASAN
PERAN

KOORDINASI EFEKTIVITAS

MOTIVASI

2. Hipotesis Mayor:

Efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Pati
mempunyai hubungan yang positif dan signifikan dengan kejetasan peran, koordinasi
dan motivasi kerja pegawai pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Pati. Adapun
apabila diuraikan dalam bentuk gambar sebagaimana terlihat pada bagan berikut ini:

BAGAN 4. HIPOTESIS MAYOR

KEJELASAN
PERAN

KOORDINASI EFEKTIVITAS

MOTIVASI

65
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Proses penelitian agar berjalan sesuai dengan yang diharapkan, memerlukan

suatu desain penelitian yang harus disesuaikan dengan kondisi di lapangan dan

seimbang dengan dalam maupun dangkalnya penelitian yang akan dilakukan.

Sebagaimana yang diungkapkan Surachman (Nazir, 1988:99), "Desain penelitian adalah

semua proses yang diperlukan dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian". Sehingga

dapat disimpulkan desain penelitian merupakan semua proses kegiatan yang dilakukan

oleh peneliti dalam rangka melaksanakan penelitian mulai dari perencanaan sampai

dengan pelaksanaannya.

Penulis dalam melakukan penelitian ini, menggunakan metode penelitian

kuantitatif. Dengan penelitian ini diharapkan dapat diketahui ada tidaknya pengaruh

kejelasan peran, koordinasi dan motivasi terhadap efektivitas pelaksanaan tugas

pokok dan fungsi Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Pati. Berdasarkan dengan tujuan

yang akan dicapai dalam penelitian ini yaitu ingin menjelaskan tentang pengaruh

beberapa variabel yang telah ditetapkan, maka rancangan penelitian ini termasuk dalam

kategori penelitian eksplanatory, yakni merupakan rancangan penelitian yang menguji

hipotesis tentang hubungan dan sebab akibat antar variabel yang akan diteliti dengan

mengacu pada hipotesis yang telah ditentukan. Hal ini sesuai dengan pendapat

Manasse Malo (1990 : 28), yang menyebutkan bahwa penelitian eksplanasi adalah :

"Penelitian yang bermaksud tidak hanya sekedar memberikan gambaran


mengenai suatu gejala sosial tertentu yang menjadi fokus, tetapi juga
tentang bagaimana hubungan antara gejala dengan gejala sosial lain, dan
mengapa hubungannya seperti itu. Misalnya penelitian yang mengungkap
mengapa dan bagaimana sampai timbul kecenderungan tindakan kriminal
dalam suatu masyarakat".

66
Adapun dalam penelitian ini penulis akan menguji pengaruh yang

ditimbulkan oleh adanya kejelasan peran, koordinasi dan motivasi kerja terhadap

tercapainya efektivitas pelaksanaan tugas pokok dan fUngsi Badan Kepegawaian

Daerah Kabupaten Pati.

B. Ruang Lingkup

Penentuan focus penelitian dimaksudkan guna memperjelas ruang lingkup

pembahasan penelitian ini, sehingga terhindar dan tidak terjebak oleh pengumpulan data

pada bidang yang sangat umum dan luas atau kurang relevan dengan tujuan penelitian.

Berdasarkan rumusan penelitian ini, maka yang menjadi fokus penelitian

adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengaruh kejelasan peran terhadap efektivitas pelaksanaan tugas

pokok dan fungsi Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Pati;

2. Untuk mengetahui pengaruh koordinasi terhadap efektivitas pelaksanaan tugas

pokok dan fungsi Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Pati;

3. Untuk mengetahui pengaruh motivasi kerja terhadap efektivitas pelaksanaan tugas

pokok dan fungsi Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Pati;

4. Untuk mengetahui pengaruh kejelasan peran, koordinasi dan motivasi kerja

terhadap efektivitas pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Badan Kepegawaian

Daerah Kabupaten Pati.

C. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Pati.

D. Variabel Penelitian

1. Klasifikasi Variabel

Dalam kegiatan penelitian ini agar mendapatkan hasil yang valid sesuai

dengan tujuan penelitian harus diikuti dengan penentuan variabel dari konsep yang

67
diangkat kemudian diikuti dengan identiflkasi dan klasifikasi atau dengan kata lain harus

dikonkritisasi sedetail mungkin. Sehingga indikator-indikator yang ditentukan untuk

mengukur variabel dan konsep mempunyai keakuratan dan kesahihan.

Berangkat dari permasalahan yang ingin diteliti, maka variabel dalam tesis ini

dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Variabel Bebas

Variabel bebas dalam tesis ini meliputi kejelasan peran, koordinasi dan

motivasi yang secara rinci dapat diuraikan sebagai berikut:

1) X1. Kejelasan Peran

Adalah alat ukur untuk mengetahui dan menjelaskan tinggi rendahnya nilai

tentang pernyataan kejelasan peran seluruh pegawai yang ada di BKD dikaitkan

dengan kriteria terukur sesuai dengan job discription-nya masing-masing pada tiap

bidang terhadap efektifitas tugas pokok dan fungsi BKD dalam upaya mencapai tujuan

dan sasaran organisasi.

2) X2. Koordinasi

Koordinasi sebagai salah satu fungsi manajemen merupakan suatu faktor pendukung

yang tidak boleh diabaikan, mengingat sebagai unsur proses kaitannya dengan teori

sistem, koordinasi memegang peranan penting terhadap sinkronisasi dan harmonisasi

dalam hal perencanaan dan pelaksanaan program kegiatan organisasi serta sebagai

fungsi kontrol pimpinan terhadap bawahannya.

3) X3. Motivasi

Merupakan alat ukur yang akan digunakan untuk mengetahui dan

menjelaskan tinggi rendahnya nilai tentang motivasi kerja para pegawai BKD

terhadap efektifitas tugas pokok dan fungsi BKD.

Motivasi juga dapat sebagai salah satu fungsi manajemen yang berperan

68
sebagai unsur proses, yang ditujukan untuk memompa adrenalin para pegawai untuk

bersedia mengerahkan segenap kemampuannya sehingga tujuan yang telah ditetapkan

dapat tercapai sesuai dengan rencana semula.

b. Variabel Terikat (Y)

Variabel terikat dalam tesis ini adalah efektivitas pelaksanaan tugas dan

fungsi Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Pati yang merupakan output dari

pemrosesan input-input yang ada. Yakni bagaimana suatu organisasi (BKD)

Kabupaten Pati mampu melaksanakan tugas-tugas dan fungsinya secara efektif dalam

rangka untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi yang dijabarkan kemudian ke

dalam program-program kerja yang kemudian secara eksplisit termanifestasi di dalam

rincian tugas masing-masing bidang/bagian.

2. Definisi Konseptual

a. Efektivitas (Y)

Suatu keadaan yang menunjukkan tingkat keberhasilan atau kegagalan suatu

organisasi dalam usahanya mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan

terlebih dahulu (Rencana Strategis Tahun 2007-2012).

b. Kejelasan Peran (X1)

Suatu keadaan dimana seluruh anggota organisasi yakni Badan Kepegawaian

Daerah Kabupaten Pati mempunyai informasi yang cukup tentang apa yang

menjadi tugas, batas-batas wewenangnya, tanggung jawabnya, hak-haknya, serta

sifat pekerjaannya.

c. Koordinasi (X2)

Cara untuk menyinkronkan dengan menggunakan persepsi yang ada pada seluruh

anggota organisasi serta mengintegrasikan beberapa tugas dari tiap-tiap bidang agar

hasil pekerjaan yang telah diperoleh dapat mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan.

69
d. Motivasi Kerja (X3)

Kesediaan untuk mengeluarkan atau mengerahkan segenap kemampuan yang

dimiliki untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi atau kebutuhan yang bersifat

individual.

3. Definisi Operasional

a. Efektivitas (Y)

Tingkat keberhasilan organisasi dalam hal ini Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten

Pati dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan :

a) Kemampuan pegawai BKD Kabupaten Pati dalam melaksanakan pelayanan

administrasi perkantoran;

b) Kemampuan pegawai BKD Kabupaten Pati dalam melaksanakan peningkatan

sarana dan prasarana aparatur;

c) Kemampuan pegawai BKD Kabupaten Pati dalam melaksanakan peningkatan

disiplin aparatur;

d) Kemampuan pegawai BKD Kabupaten Pati dalam melaksanakan pembinaan dan

pengembangan aparatur;

e) Kemampuan pegawai BKD Kabupaten Pati dalam melaksanakan peningkatan

pengembangan sistem pelaporan capaian kinerja dan keuangan;

f) Kemampuan pegawai BKD Kabupaten Pati dalam melaksanakan peningkatan

kapasitas sumber daya aparatur.

b. Kejelasan Peran (X1)

1) Dimensi strukturalis, dengan mengukur gejalanya,

melalui :

a. Pemahaman terhadap tugas dan tanggung jawab.

b. Pemahaman mengenai batas wewenang dan hak-hak dalam pekerjaan.

70
2) Dimensi interaksional, dengan mengukur gejalanya

melalui:

a. Penerimaan tugas yang sesuai dengan latar belakang pendidikan

dan pengalaman.

b. Hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas.

c. Koordinasi (X2)

1) Cara dan tingkat koordinasi antara Kepala BKD dengan Kepala

Bidang :

a. Tingkat frekuensi koordinasi antara Kepala BKD

dengan Kepala Bidang

b. Tingkat frekuensi koordinasi secara lisan

c. Tingkat frekuensi koordinasi secara tertulis

2) Cara dan tingkat koordinasi antara Kepala Bidang dengan Kepala

Sub Bidang:

a. Tingkat frekuensi koordinasi antara Kepala Bidang dengan Kepala Sub Bidang

b. Tingkat frekuensi koordinasi secara lisan

c. Tingkat frekuensi koordinasi secara tertulis

3) Cara dan tingkat koordinasi antar pegawai BKD Kabupaten Pati :

a. Tingkat frekuensi koordinasi antar pegawai BKD

b. Tingkat frekuensi koordinasi secara lisan

c. Tingkat frekuensi koordinasi secara tertulis

d. Motivasi (X3)

1) Tingkat terpenuhinya kebutuhan fisik :

a) Peluang untuk mengembangkan karir

b) Tingkat penghargaan secara materi terhadap pegawai yang

71
berprestasi

c) Tingkat terpenuhinya kebutuhan ekonomi pegawai

2) Tingkat terpenuhinya kebutuhan non fisik :

a) Kepastian hukum bagi pegawai yang mangkir tugas

b) Jaminan keamanan dalam melaksanakan tugas kedinasan

c) Tingkat penghargaan secara sosial bagi pegawai yang

berprestasi

TABEL III. 1
OPERASIONAL VARIABEL
NO. VARIABEL INDIKATOR SUB INDIKATOR
(1) (2) (3) (4)
1. Efektivitas Tingkat keberhasilan a. Tingkat kemampuan
BKD Kabupaten Pati pegawai pada tiap bidang
dalam mencapai tujuan dalam melaksanakan
dan sasaran organisasi pelayanan administrasi
melalui program- perkantoran
program kerja. b. Tingkat kemampuan
pegawai pada tiap bidang
dalam melaksanakan
peningkatan sarana dan
prasarana aparatur
c. Tingkat kemampuan
pegawai pada tiap bidang
dalam melaksanakan
peningkatan disiplin
aparatur
d. Tingkat kemampuan
pegawai pada tiap bidang
dalam melaksanakan
pembinaan dan
pengembangan aparatur
e. Tingkat kemampuan
pegawai pada tiap bidang
dalam melaksanakan
peningkatan pengembangan
sistem pelaporan capaian
kinerja dan keuangan
f. Tingkat kemampuan
pegawai pada tiap bidang
dalam melaksanakan
peningkatan kapasitas
sumber daya aparatur

72
NO. VARIABEL INDIKATOR SUB INDIKATOR
(1) (2) (3) (4)
2. Kejelasan Peran 1. Dimensi strukturalis a. Pemahaman terhadap
tugas dan tanggung
jawab (job
description).
b. Pemahaman mengenai
batas wewenang dan
hak-hak dalam
pekerjaan.
2. Dimensi interaksional a. Penerimaa
n tugas yang sesuai
dengan latar belakang
pendidikan dan
pengalaman.
b. Hambatan
yang dihadapi dalam
pelaksanaan tugas.

3. Koordinasi 1. Cara dan tingkat a. Tingkat frekuensi koordinasi


koordinasi antara antara Kepala BKD dengan
Kepala BKD dengan Kepala Bidang
Kepala Bidang b. Tingkat
frekuensi koordinasi secara
lisan
c. Tingkat
frekuensi koordinasi secara
tertulis

2. Cara dan tingkat a. Tingkat frekuensi koordinasi


koordinasi antara antara Kepala BKD dengan
Kepala Bidang Kepala Bidang
dengan Kepala Sub b. Tingkat frekuensi koordinasi
Bidang secara lisan
c. Tingkat frekuensi koordinasi
secara tertulis

73
3. Cara dan tingkat a. Tingkat frekuensi koordinasi
koordinasi antar antara Kepala BKD dengan
pegawai BKD Kepala Bidang
b. Tingkat frekuensi koordinasi
secara lisan
c. Tingkat frekuensi koordinasi
secara tertulis

NO. VARIABEL INDIKATOR SUB INDIKATOR


(1) (2) (3) (4)
4. Motivasi 1. Tingkat a. Peluang untuk
terpenuhinya mengembangkan karier
kebutuhan fisik b. Tingkat penghargaan
secara materi terhadap
pegawai yang berprestasi
c. Tingkat terpenuhinya
ekonomi pegawai
2. Tingkat a. Kepastian hukum bagi
terpenuhinya pegawai yang mangkir
kebutuhan non fisik tugas
b. Jaminan keamanan dalam
melaksanakan tugas
kedinasan
c. Tingkat penghargaan
secara sosial bagi pegawai
yang berprestasi

E. Jenis dan Sumber Data

1. Jenis Data

Adapun dalam penelitian ini jenis data yang digunakan adalah data

kuantitatif, yakni data yang berupa angka-angka yang dalam penyimpulan atau

penganalisissannya dengan menggunakan teknik statistik, yang dalam penelitian ini

dengan menggunakan SPSS.

2. Sumber Data

74
Penulisan tesis pada penelitian ini menggunakan sumber data yang terdiri dari

person, yakni para pegawai di Lingkungan Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten

Pati dan data paper, yakni arsip-arsip dan datum yang berhubungan dengan efektivitas

pelaksanaan tugas dan fungsi Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Pati, sedangkan

place dalam penelitian ini adalah Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Pati.

Selanjutnya dalam penelitian ini dapat diperinci dalam 2 (dua) hal yakni:

a. Data Primer

Secara umum merupakan perolehan data melalui aktiyitas penulis secara langsung di

tempat penelitian untuk mendapatkan data yang lengkap dan sesuai dengan

permasalahan yang diteliti. Data primer juga dapat diartikan sebagai pendapat-

pendapat dari responden yang merupakan persepsi pribadi dan disampaikan

langsung.

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh melalui sumber-sumber tertulis

berupa surat-surat, arsip-arsip, dokumen-dokumen, laporan tertulis atau data

obyektif yang teruji dan terukur, biasanya diperoleh dari suatu organisasi, dapat

berasal dari pihak yang telah mengumpulkan dan mengolahnya. Sumber data

sekunder yang diambil penulis dalam penelitian ini adalah berupa dokumen-

dokumen pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Pati.

F. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian eksplanatori ini adalah :

1. Daftar pertanyaan dengan pilihan jawaban

(kuesioner/angket).

2. Pertanyaan terbuka sebagai interview guide untuk

melakukan wawancara secara mendalam.

75
3. Dokumentasi, yakni digunakan untuk

mengumpulkan data-data sekunder dalam bentuk tulisan maupun gambar.

G. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel

1. Populasi

Penelitian ini yang menjadi populasi yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS) di

Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Pati sebanyak 65 orang yang dibagi menjadi 5 bidang

atau bagian dan seorang Kepala BKD seperti dalam tabel di bawah ini :

TABEL III. 2
POPULASI
JUMLAH
NO. BIDANG/BAGIAN
(ORANG)
1. KEPALA BKD 1
2. SEKRETARIAT 16
3. BIDANG INFORMASI DAN DATA 12
4. BIDANG PEMBINAAN DAN KESEJAHTERAAN 10
5. BIDANG MUTASI 15
6. BIDANG PENGEMBANGAN SDM 11
JUMLAH 65
Sumber : Sekretariat BKD Kabupaten Pati, 2009

2. Teknik Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel di penelitian ini menggunakan tabel Krejcie (Soegiyono,


1998 : 65) sebagai dasar penentuan sampel. Dimana mempunyai asumsi tingkat keandalan
95% terhadap populasi karena menggunakan nilai χ2 = 3,841 yang artinya memakai
α=0,05 pada derajat bebas 1. Asumsi keragaman populasi yang dimasukkan dalam
perhitungan adalah P(1-P), dimana P=0,5. Dan asumsi nilai galat pendugaan 5%
(d=0,05).
Berdasarkan tabel Krejcie maka dari 65 orang anggota populasi yang menjadi
sampel sebanyak 56 orang yang dibagi menjadi 5 (lima) bidang atau bagian dan 1 (satu)
orang Kepala BKD Kabupaten Pati. Penarikan sampel penelitian ini menggunakan teknik

76
Simple Random Sampling dengan cara teknik undian sehingga setiap anggota populasi dapat
menjadi sampel dalam penelitian ini.

Dari jumlah populasi 65 orang, bila kesalahan 5% maka jumlah sampelnya 56


orang. Karena populasinya per bagian atau bidang maka sampelnya juga per bagian atau
bidang. Dengan demikian masing-masing sampel untuk per bagian atau bidang harus
proporsional sesuai dengan populasi.

Krejcie dan Morgan (1970) dalam Uma Sekaran (1992) membuat daftar
yang bisa dipakai untuk menentukan jumlah sampel sebagai berikut :

TABEL III. 3
TABEL KREJCIE
Populasi Sampel Populasi Sampel Populasi Sampel
(N) (n) (N) (n) (N) (n)
10 10 220 140 1200 291
15 14 230 144 1300 297
20 19 240 148 1400 302
25 24 250 152 1500 306
30 28 260 155 1600 310
35 32 270 159 1700 313
40 36 280 162 1800 317
45 40 290 165 1900 320
50 44 300 169 2000 322
55 48 320 175 2200 327
60 52 340 181 2400 331
65 56 360 186 2600 335
70 59 380 191 2800 338
75 63 400 196 3000 341
80 66 420 201 3500 346
85 70 440 205 4000 351
90 73 460 210 4500 354
95 76 480 214 5000 357
100 80 500 217 6000 361
110 86 550 226 7000 364
120 92 600 234 8000 367
130 97 650 242 9000 368
140 103 700 248 10000 370
150 108 750 254 15000 375
160 113 800 260 20000 377
170 118 850 265 30000 379
180 123 900 269 40000 380

77
190 127 950 274 50000 381
200 132 1000 278 75000 382
210 136 1100 285 1000000 384
Sumber : www.google.com

Sehingga jumlah sampel untuk masing-masing bidang/bagian adalah sebagai

berikut :

1. Kepala BKD : 1/65 x 56 = 0,86 = 1 orang

2. Bagian Sekretariat : 16/65 x 56 = 13,78 = 14 orang

3. Bidang Informasi Dan Data : 12/65 x 56 = 10,33 = 10 orang

4. Bidang Pembinaan Dan Kesejahteraan : 10/65 x 56 = 8,61 = 9 orang

5. Bidang Mutasi : 15/65 x 56 = 12,92 = 13 orang

6. Bidang Pengembangan SDM : 11/65 x 56 = 9,47 = 9 orang

Jadi jumlah sampel adalah 56 orang.

H. Teknik Pengumpulan Data

1. Kuesioner

Penyebaran kuesioner dalam penelitian ini dilakukan dengan memberikan daftar

pertanyaan yang sudah disediakan atau ditentukan pilihan jawabannya. Pengumpulan

data yang dilakukan melalui pertanyaan-pertanyaan kepada responden untuk

mendapatkan informasi yang mendasar pada lapangan tentang diri sendiri (Asjari,

1983:94).

2. Wawancara (Interview)

Wawancara secara umum diartikan sebagai usaha mengumpulkan informasi

78
dengan mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan dan dijawab secara lisan pula.

Penulis mengadakan wawancara untuk mendapatkan data, keterangan dari pribadi,

pendirian atau pandangan pribadi serta individu yang diwawancarai untuk

memperdalam atau sebagai pembanding dengan pendapat lainnya agar mendapatkan

kebenaran yang lebih valid. Wawancara ini ditujukan kepada pejabat eselon II (Kepala

BKD) dan eselon III para Kepala Bidang dan sekretaris.

3. Dokumentasi

Pengumpulan data sekunder berupa arsip-arsip laporan yang berkaitan langsung

dengan efektivitas pelaksanaan tugas pokok dan fungsi BKD Kabupaten Pati.

I. Rencana Analisis Data

Langkah-langkah yang dilakukan dalam mengolah data adalah sebagai berikut:

1. Teknik Pengolahan Data, terdiri dari :

a. Editing

Data yang diperoleh di lapangan harus diteliti kembali, sehingga akan

terkumpul data yang benar-benar akurat dan sesuai dengan tujuan penelitian.

b. Klasifikasi

Data yang diperoleh di lapangan kemudian dipisah dan diklasifikasikan

berdasarkan tujuan yang ingin dicapai.

c. Tabulasi

Kegiatan tabulasi secara umum diartikan sebagai penyusunan data ke bentuk tabel.

Dengan demikian data lapangan akan lebih ringkas dan mempermudah peneliti

menghitung data yang masuk secara keseluruhan.

d. Interpretasi

Tahap akhir dalam menganalisis data adalah kegiatan interpretasi, yakni untuk

mencari arti lebih luas dan mendalam dari jawaban yang diperoleh. Dalam

79
menganalisis data kuesioner, penulis menggunakan langkah-langkah sebagai

berikut:

1) Penentuan kualitas jawaban

Data tersebut diolah dengan menggunakan perhitungan skala Likert, yaitu :

Alternatif Jawaban Nilai

Tidak Mendukung : 1

Kurang Mendukung : 2

Mendukung : 3

Sangat Mendukung : 4

2) Penentuan skor

Skor rata-rata dari jawaban tersebut ditentukan dengan rumus :

Skor = Frekuensi jawaban (f) x Nilai skor

3) Penentuan Persentase

Persentase ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:


Persentase (%) = Frekuensi (f)
X 100%
Jumlah responden (n)
Keterangan :

Frekuensi (f) = frekuensi banyaknya jawaban dari responden dalam

bentuk kuesioner.

2. Teknik Analisis Data

Adapun analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik-teknik :

a. Analisis Kuantitatif, digunakan untuk data yang berbentuk angka. Biasanya

apabila data yang dikumpulkan dalam jumlah besar dan mudah

diklasifikasikan ke dalam kategori angka. Dalam penelitian ini digunakan

skala pengukuran Likert dengan ukuran ordinal, dimana jawaban responden

yang semakin positif (mendukung) atas pertanyaan yang diajukan dalam

80
kuesioner.

b. Analisis Kualitatif, yaitu analisis yang digunakan terhadap data yang

bersifat/menggunakan kata-kata dan kalimat, sehingga hasilnya nanti merupakan

interpretasi dari datum yang terkumpul yang disusun dalam bentuk narasi. Hal ini

dimaksudkan untuk memperdalam dan mempertajam hasil analisis kuantitatif

yang telah dilakukan.

c. Teknik Pengujian Hipotesis

Teknik pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan Koefisien

Rank Kendall, yakni pada dasarnya digunakan untuk menguji hipotesis yang

telah dikemukakan sebelumnya. Mengingat dalam penelitian ini, penulis akan

melihat hubungan yang terjadi antara satu variabel dengan variabel lainnya

dengan disertai analisis kualitatif secara mendalam, sehingga perlu dicari dan

diketahui terlebih dahulu mengenai derajat hubungan yang terjadi yang

selanjutnya dinamakan korelasi.

Adapun kaitannya dengan derajat hubungan, apabila terdapat satu

variabel yang mempunyai nilai naik, sedangkan yang lainnya turun atau

sebaliknya, maka kedua variabel tersebut mempunyai korelasi negatif. Sedangkan

apabila salah kedua (semua) variabel mempunyai nilai yang sifatnya sama

(naik semua atau turun semua), maka kedua variabel tersebut mempunyai

korelasi positif.

81
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku
Arikunto, Suharsimi, 1998, "Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek", Rieneka
Cipta, Jakarta.

Asyari, Sapari Imam, 1983, "Metodologi Penelitian Sosial Suatu Petunjuk Ringkas", Usaha
Nasional, Surabaya.

Bambang Yudoyono, 2000, "Otonomi Daerah, Desentralisasi, dan Pengembangan


SDM Aparatur Pemda dan Anggota DPRD", Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Gibson, L. Jannes, Ivan Cevid, M John, Jr. Donelly, H. Jones, 1996, "Organisasi,
Perilaku, Proses", Binarupa Aksara, Jakarta.

Hasibuan, SP, Malayu, 2001, Cetakan Kedua, "Organisasi dan Motivasi Dasar
Peningkatan Produktivitas", Bumi Aksara, Jakarta.

Indrawijaya, 2000, Cetakan Keenam, "Perilaku Organisasi", Sinar Baru, Algasindo,


Bandung.

Mardalis, 1989, "Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal", Rieneka Cipta,


Jakarta.

Nasution, S., 1996, “Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif”, Tarsito, Bandung.

Nazir, 1988, "Metode Penelitian”, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Richard M. Steers, 1985, "Efektivitas Organisasi", Erlangga, Jakarta.

Robbins, Stephen, 2002, "Perilaku Organisasi Konsep, Kontroversi, Aplikasi",

82
Prenhalindo, Jakarta.

Sedarmayanti, 2003, “Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik Dalam Rangka


Otonomi Daerah)”, CV Mandar Maju, Bandung.

----------------, 2004, “Good Governance (Kepemerintahan Yang Baik, Membangun Sistem


Manajemen Menuju Good Governance)”, CV Mandar Maju, Bandung.

Siagian, SP, 2003, "Teori Motivasi dan Aplikasinya", Rieneka Cipta, Jakarta.

Sigit Suhardi, 2003, “Perilaku Organisasi”, Universitas Sarjanawiyata Taman Siswa,


Yogyakarta.

Simamora, Henry, 1999, Cetakan Kedua, "Manajemen Sumber Daya Manusia", STIE
YKPN, Yogyakarta.

Singarimbun Masri, Sofian Efendi, 1989, “Metode Penelitian Survey”, PT LP3ES, Jakarta.

Sugiyono, 1994, "Metode Penelitian Administrasi", Alfabeta, Bandung.

-------------, 1999, “Statistik Untuk Penelitian”, Alfabeta, Bandung.

Sunarto, 2003, “Perilaku Organisasi”, AMUS, Yogyakarta.

Sutarto, 1998, “Dasar-Dasar Organisasi”, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

T. Hani Handoko, 1995, “Manajemen Sumber Daya Manusia”, BPFE, Yogyakarta.

Terry, R. George, 1977, “Principles of Management”, Richard D. Irwin Inc Homewood


Illions.

Thoha, Miftah, 1993, "Kepemimpinan Dalam Manajemen, Suatu Pendekatan


Perilaku", Grapindo, Jakarta.

---------------, 2004, “Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya”, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta.

Winardi, 1982, “Organisasi Perkantoran dan Motivasi”, Alumni, Bandung.

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang "Pemerintahan Daerah"

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang "Pemerintahan Daerah"

Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang


Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.

83
Keputusan Presiden Nomor 159 Tahun 2000 tentang Pembentukan Badan
Kepegawaian Daerah.

Peraturan Daerah Kabupaten Pati Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Organisasi dan Tata
Kerja Lembaga Teknis Daerah dan Satuan Polisi Pamong Praja.

Lampiran 1

DAFTAR PERTANYAAN KUESIONER

PENGARUH KEJELASAN PERAN, KOORDINASI DAN MOTIVASI TERHADAP


EFEKTIVITAS PELAKSANAAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI
BADAN KEPEGAWAIAN DAERAH KABUPATEN PATI

Identitas Responden
Jabatan :
Jenis kelamin :
Umur :
Pendidikan terakhir :
Pangkat/Golongan :

Petunjuk Pengisian Kuesioner


1. Dimohon untuk memberikan jawaban atas pertanyaan di bawah
ini, dengan sebenar-benarnya sesuai hati nurani anda;
2. Hasil jawaban dari pertanyaan ini akan digunakan untuk
penelitian sebagaimana judul di atas;
3. Berilah tanda silang (X) pada jawaban yang Bapak/Ibu/Saudara
anggap paling benar dan tepat;
4. Kerahasiaan identitas Bapak/Ibu/Saudara aman dan akan
senantiasa terjaga;
5. Atas bantuan dan partisipasi dari Bapak/Ibu/Saudara diucapkan
terima kasih.

A. EFEKTIVITAS

84
Tingkat Keberhasilan BKD Kabupaten Pati Dalam Mencapai Tujuan Dan Sasaran
Organisasi

1. Apakah Bapak/Ibu/Sdr selalu menggunakan peralatan kantor dengan tepat dan benar
dalam melaksanakan pelayanan administrasi perkantoran?
1. Tidak pernah 3. Sering
2. Kadang 4. Selalu
2. Apakah menurut Bapak/Ibu/Sdr sarana di BKD Kabupaten Pati mendukung dalam
pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing?
1. Tidak mendukung 3. Mendukung
2. Cukup mendukung 4. Sangat mendukung
3. Apakah menurut Bapak/Ibu/Sdr bahwa kebijakan dalam hal kedisiplinan yang dibuat
oleh Kepala BKD mendukung dalam peningkatan disiplin pegawai di BKD?
1. Tidak mendukung 3. Mendukung
2. Cukup mendukung 4. Sangat mendukung
4. Apakah Bapak/Ibu/Sdr dalam mengerjakan tugas selalu optimal terutama yang
berkaitan dengan hal pembinaan dan pengembangan aparatur?
1. Tidak pernah 3. Sering
2. Kadang 4. Selalu
5. Apakah Bapak/Ibu/Sdr selalu membuat laporan perkembangan kegiatan setiap
bulannya?
1. Tidak pernah 3. Sering
2. Kadang 4. Selalu
6. Apakah Bapak/Ibu/Sdr selalu membuat laporan keuangan triwulanan?
1. Tidak pernah 3. Sering
2. Kadang 4. Selalu
7. Apakah Bapak/Ibu/Sdr selalu membuat laporan bulanan kepegawaian secara tepat
waktu?
1. Tidak pernah tepat waktu 3. Sering tepat waktu
2. Kadang tepat waktu 4. Selalu tepat waktu
8. Apakah Bapak/Ibu/Sdr pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan baik struktural
maupun fungsional yang diadakan oleh BKD?
1. Tidak pernah 3. Sering
2. Kadang 4. Selalu
9. Apakah menurut Bapak/Ibu/Sdr, pendidikan dan pelatihan baik struktural maupun

85
fungsional yang diadakan oleh BKD dapat mendukung dalam peningkatan kapasitas
sumber daya aparatur?
1. Tidak dapat mendukung 3. Dapat mendukung
2. Cukup dapat mendukung 4. Sangat dapat mendukung
10. Apakah menurut Bapak/Ibu/Sdr, BKD dalam mengadakan pendidikan dan pelatihan
bagi pegawai daerah Kabupaten Pati didukung dengan dana yang memadai?
1. Tidak didukung 3. Didukung
2. Cukup didukung 4. Sangat didukung

B. KEJELASAN PERAN
Dimensi Strukturalis
11. Apakah Bapak/Ibu/Sdr sampai saat ini paham dengan jelas tentang tanggung
jawab atas hasil kerja yang harus diperoleh?
1. Tidak paham 3. Paham
2. Cukup paham 4. Sangat paham
12. Apakah Bapak/Ibu/Sdr mengetahui dengan jelas apa yang harus dikerjakan
terhadap lingkungan kerja dan tanggung jawab kepada orang lain?
1. Tidak mengetahui 3. Mengetahui
2. Cukup mengetahui 4. Sangat mengetahui
13. Apakah Bapak/Ibu/Sdr paham dengan jelas tentang hak dan kewajiban
masing-masing?
1. Tidak paham 3. Paham
2. Cukup paham 4. Sangat paham
14. Apakah Bapak/Ibu/Sdr mengetahui dengan jelas hal-hal yang dilakukan organisasi
(BKD) untuk mendorong agar mampu mengelola tugas-tugas yang menjadi
tanggung jawab dengan menggunakan wewenang dan hak masing-masing?
1. Tidak mengetahui 3. Mengetahui
2. Cukup mengetahui 4. Sangat mengetahui
15. Apakah Bapak/Ibu/Sdr sampai saat ini mengerti dengan jelas mengenai wewenang
dan hak-hak Bapak/Ibu dalam mengambil keputusan terhadap tindakan tertentu?
1. Tidak mengerti 3. Mengerti
2. Cukup mengerti 4. Sangat mengerti
16. Apakah Bapak/Ibu/Sdr selalu diberi wewenang yang cukup untuk mengambil
keputusan tanpa harus tergantung kepada pimpinan?

86
1. Tidak pernah 3. Sering
2. Kadang 4. Selalu
17. Apakah Bapak/Ibu/Sdr sampai saat ini mengerti dengan jelas tentang
sejauhmana batasan wewenang yang Bapak/Ibu/Sdr miliki di BKD?
1. Tidak mengerti 3. Mengerti
2. Cukup mengerti 4. Sangat mengerti
18. Apakah Bapak/Ibu/Sdr selalu diberi pekerjaan dan kepercayaan yang cukup
besar oleh atasan langsung Bapak/Ibu/Sdr untuk mempertanggungjawabkan tugas-
tugas yang menjadi wewenang dan hak-hak Bapak/Ibu/Sdr dalam organisasi?
1. Tidak pernah 3. Sering
2. Kadang 4. Selalu
19. Apakah tugas dan tanggung jawab yang diberikan sesuai dengan latar
belakang pendidikan dan pengalaman Bapak/Ibu/Sdr?
1. Tidak sesuai 3. Sesuai
2. Cukup sesuai 4. Sangat sesuai
Dimensi Interaksional
20. Apakah menurut Bapak/Ibu/Sdr, pimpinan organisasi selalu mendorong untuk
menemukan cara-cara baru yang lebih baik dalam menyelesaikan pekerjaan?
1. Tidak pernah 3. Sering
2. Kadang 4. Selalu
21. Apakah menurut Bapak/Ibu/Sdr, pimpinan organisasi selalu mendorong agar
mampu memfokuskan kepada hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas
berdasarkan pendidikan dan pengalaman yang Bapak/Ibu/Sdr miliki?
1. Tidak pernah 3. Sering
2. Kadang 4. Selalu
22. Apakah Bapak/Ibu/Sdr selalu menerapkan hasil pendidikan formal dan
pengalaman dalam menyelesaikan tugas dan pekerjaan?
1. Tidak pernah 3. Sering
2. Kadang 4. Selalu
23. Apakah Bapak/Ibu/Sdr sampai saat ini selalu dapat melaksanakan setiap
pekerjaan dengan baik disertai dengan penyelesaian hambatan pekerjaan secara
baik?
1. Tidak pernah 3. Sering
2. Kadang 4. Selalu

87
24. Apakah Bapak/Ibu/Sdr selalu mendapatkan supervisi dan masukan dari
pimpinan dalam menghadapi hambatan dalam pelaksanaan tugas?
1. Tidak pernah 3. Sering
2. Kadang 4. Selalu
25. Apakah Bapak/Ibu/Sdr pernah mendapatkan bantuan dari teman sejawat ketika
menghadapi hambatan dalam pelaksanaan tugas?
1. Tidak pernah 3. Sering
2. Kadang 4. Selalu

C. KOORDINASI
Cara Dan Tingkat Koordinasi Antara Kepala BKD Dengan Kepala Bidang
26. Apakah menurut Bapak/Ibu/Sdr, dalam melaksanakan tugas, Kepala BKD
sering melakukan koordinasi dengan Kepala Bidang?
1. Tidak pernah 3. Sering
2. Kadang 4. Selalu

27. Apakah menurut Bapak/Ibu/Sdr, Kepala BKD sering melakukan koordinasi


secara tertulis dengan Kepala Bidang dalam melaksanakan tugas?
1. Tidak pernah 3. Sering
2. Kadang 4. Selalu
28. Apakah menurut Bapak/Ibu/Sdr, Kepala BKD sering melakukan koordinasi
secara lisan dengan Kepala Bidang dalam melaksanakan tugas?
1. Tidak pernah 3. Sering
2. Kadang 4. Selalu

Cara Dan Tingkat Koordinasi Antara Kepala Bidang Dengan Kepala Sub
Bidang
29. Apakah menurut Bapak/Ibu/Sdr, Kepala Bidang sering melakukan koordinasi
dengan Kepala Sub Bidang dalam melaksanakan tugas?
1. Tidak pernah 3. Sering
2. Kadang 4. Selalu
30. Apakah menurut Bapak/Ibu/Sdr, Kepala Bidang sering melakukan koordinasi
secara tertulis dengan Kepala Sub Bidang dalam melaksanakan tugas?
1. Tidak pernah 3. Sering

88
2. Kadang 4. Selalu
31. Apakah menurut Bapak/Ibu/Sdr, Kepala Bidang sering melakukan koordinasi
secara lisan dengan Kepala Sub Bidang dalam melaksanakan tugas?
1. Tidak pernah 3. Sering
2. Kadang 4. Selalu

Cara Dan Tingkat Koordinasi Antar Pegawai BKD


32. Apakah menurut Bapak/Ibu/Sdr, antar pegawai BKD sering melakukan
koordinasi dalam melaksanakan tugasnya?
1. Tidak pernah 3. Sering
2. Kadang 4. Selalu
33. Apakah menurut Bapak/Ibu/Sdr, antar pegawai BKD sering melakukan
koordinasi secara tertulis dalam melaksanakan tugasnya?
1. Tidak pernah 3. Sering
2. Kadang 4. Selalu
34. Apakah menurut Bapak/Ibu/Sdr, antar pegawai BKD sering melakukan
koordinasi secara lisan dalam melaksanakan tugasnya?
1. Tidak pernah 3. Sering
2. Kadang 4. Selalu

D. MOTIVASI
Tingkat Terpenuhinya Kebutuhan Fisik
35. Apakah Bapak/Ibu/Sdr mempunyai peluang dalam pengembangan karir?
1. Tidak berpeluang 3. Berpeluang
2. Cukup berpeluang 4. Sangat berpeluang
36. Apakah Bapak/Ibu/Sdr yang berprestasi selalu mendapatkan penghargaan
secara materi baik oleh internal organisasi maupun oleh luar organisasi?
1. Tidak pernah 3. Sering
2. Kadang 4. Selalu
37. Apakah penghasilan kerja yang diterima oleh Bapak/Ibu/Sdr sebagai PNS di
BKD dapat mencukupi kebutuhan ekonomi secara layak?
1. Tidak dapat mencukupi 3. Dapat mencukupi
2. Cukup dapat mencukupi 4. Sangat dapat mencukupi

89
Tingkat Terpenuhinya Kebutuhan Non Fisik
38. Apakah menurut Bapak/Ibu/Sdr penegakan hukum khususnya bagi pegawai
yang mangkir tugas sudah terlaksana?
1. Tidak terlaksana 3. Terlaksana
2. Cukup terlaksana 4. Sangat terlaksana
39. Apakah menurut Bapak/Ibu/Sdr, setiap kesalahan yang dilakukan oleh
pegawai dalam melaksanakan pekerjaannya, mendapat perlindungan dari
atasannya?
1. Tidak dilindungi 3. Dilindungi
2. Cukup dilindungi 4. Sangat dilindungi
40. Apakah Bapak/Ibu/Sdr yang berprestasi selalu mendapat penghargaan secara
sosial?
1. Tidak pernah 3. Sering
2. Kadang 4. Selalu

Lampiran 2

DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA

PENGARUH KEJELASAN PERAN, KOORDINASI DAN MOTIVASI TERHADAP


EFEKTIVITAS PELAKSANAAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI
BADAN KEPEGAWAIAN DAERAH KABUPATEN PATI

1. Efektivitas
a. Bagaimanakah menurut pendapat Bapak/Ibu tentang pelaksanaan program-
program yang ada di BKD sampai saat ini?
b. Menurut Bapak/Ibu, apakah tiap-tiap bidang yang ada di BKD telah mampu
melaksanakan tugas pokok dan fungsinya masing-masing dalam rangka pelaksanaan
seluruh program di BKD?
c. Menurut Bapak/Ibu, bagaimanakah kinerja pegawai BKD sampai saat ini
terutama dalam pelaksanaan program-program BKD guna mendukung tercapainya
tujuan dan sasaran BKD?
d. Menurut Bapak/Ibu, kendala apa saja yang membuat pencapaian program-
program di BKD kurang maksimal?

90
2. Kejelasan Peran
a. Menurut Bapak/Ibu, bagaimanakah peran dari tiap pegawai BKD selama ini
dalam melaksanakan program-program BKD, apakah telah sesuai dengan tugas
pokok dan fungsinya masing-masing?
b. Menurut pendapat Bapak/Ibu, masih adakah terdapat pegawai BKD yang
belum memahami dengan jelas mengenai perannya di BKD dan mengapa?
c. Menurut Bapak/Ibu, apakah pembagian kerja di BKD telah dibagi habis ke
dalam tiap-tiap bidang secara proporsional?

3. Koordinasi
Apakah menurut Bapak/Ibu koordinasi itu perlu dilakukan, mengapa?

4. Motivasi
a. Menurut Bapak/Ibu bagaimanakah tingkat motivasi pegawai BKD dalam
melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya, kemudian apa sajakah yang diperkirakan
dapat mempengaruhi tingkat motivasi pegawai BKD?
b. Menurut Bapak/Ibu apa yang seharusnya dilakukan agar pegawai BKD
termotivasi untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya secara optimal?

91

Anda mungkin juga menyukai