Anda di halaman 1dari 3

Sistem Politik dan Wabah Korupsi1

Oleh

Aay Moh. Furkon2

Bagi masyarakat yang sudah lama terjangkiti budaya korupsi, sistem demokrasi liberal seperti
bensin menyiram api. Di jaman Orde Lama kasus korupsi yang dilakukan oleh para pejabat
Negara nyaris tak ada yang terungkap di ruang publik. Selanjutnya di jaman Orde Baru korupsi
semakin menjangkiti para pejabat Negara. Kasus korupsi di awal Orde Baru yang paling
fenomenal adalah kasus korupsi di Pertamina yang dilakukan Ibnu Sutowo. Di masa Orde Baru
kasus korupsi para pejabat Negara nyaris tidak ada yang dibawa ke meja hijau. Saat itu, system
otoritarian sangat dominan, sehingga siapapun yang melakukan korupsi dan dekat dengan
keluarga cendana dijamin ‘aman’.

Perubahan yang drastis dari sistem otoritarian ke sistem demokrasi mengejutkan hampir semua
lapisan masyarakat. Dalam sistem demokrasi yang sangat liberal, lebih liberal dari Amerika
sekalipun, korupsi menjadi semakin tumbuh subur. Kini, aksi korupsi tidak hanya dilakukan
para pejabat baik eksekutif maupun legislative, namun juga dilakukan oleh masyarakat awam.
Masyarakat yang pada awalnya tak mengenal uang sebagai alat untuk meraih kekuasaan, kini
masyarakat sangat paham bagaimana uang memainkan perannya untuk meraih kekuasaan.

Selain ada persoalan budaya, sistem politik juga memberikan kontribusi yang sangat besar bagi
tumbuh suburnya korupsi di Negara yang mayoritas muslim ini. Makalah ini akan menyoroti
bagaimana kaitannya sistem politik dan korupsi.

Pemilihan Umum (Pemilu) legislatif merupakan ajang demokrasi dimana masyarakat benar-
benar menentukan pilihannya pada seseorang yang dikenalnya, tanpa harus ada rayuan dan
paksaan. Dengan kata lain, ketokohan seseorang calon yang akan maju menjadi faktor dominan
bagi masyarakat dalam menentukan pilihannya.

1
Judul di atas disampaikan dalam acara diskusi yang diselenggarakan PP. HIMA Persis, di Viaduct, Bandung, 8
Desember 2010.
2
Mantan Ketua I PP Pemuda Persis, 2005-2010, peneliti Reform Institute.

1
Sistem pemilu yang kita miliki sekarang sungguh sangat mahal. Biaya yang harus dikeluarkan
membuat seorang calon harus berani menjual aset hartanya. Jika aset harta habis, maka
berhutang kepada siapapun tidak jadi masalah. Pertanyaannya adalah apa yang membuat biaya
pemilu bagi seorang calon begitu mahal ?

Komponen biaya yang harus dikeluarkan diantaranya adalah:


1. Di internal partai untuk menentukan Dapil mana yang diinginkan, selain itu nomer urut
yang diinginkan. Dalam hal ini kedekatan dengan ‘elit’ partai sangat menentukan, untuk
dekat dengan elit partai, tidak ada yang gratisan.
2. Sosialisasi dan kampanye, inilah diantara biaya yang sangat mahal. Kita lihat pada setiap
pemilu hampir tidak ada sebatang pohonpun dan satu tihang listrikpun baik di kota
maupun di desa yang tidak bergambar. Karena ingin mudah dan cepat dikenal, maka
stiker, pamflet sampai baliho dibuat sebaik dan sebanyak mungkin. Pada Pemilu yang
lalu sosialisasi dibuat selama enam bulan. Bagi sebagian besar anggota DPR, sosialisasi
menjadi sesuatu yang sangat menyiksa. Selain itu, biaya kampanye tidak kalah besarnya,
setelah merasa dikenal melalui stiker, pamflet dan baliho, maka calon harus meyakinkan
konstituen dengan fasilitas konsumsi, transportasi tim sekaligus melakukan serangan
gelap.
3. Setelah hari pencoblosan para caleg juga masih sibuk, kali ini ‘permainan’ tingkat tinggi.
Biaya yang harus dikeluarkan untuk saksi juga KPU mulai dari pusat hingga tingkat
kecamatan. Lagi-lagi ini juga memerlukan dana yang tidak sedikit.

Beberapa anggota DPR RI yang sempat berdiskusi dengan penulis menyampaikan bahwa biaya
yang dikeluarkan dalam kampanye memang beragam mulai dari Rp.500 juta hingga Rp. 5
milyar. Secara common sense mudah diduga, apa yang akan dilakukan oleh seseorang jika
berhasil menjadi anggota Dewan yang terhormat ? Jelas harus mengembalikan modal berikut
bunganya.

Cara mengembalikannya dengan cara ‘main mata’ dengan pihak eksekutif dan pihak ketiga.
Makalah ini tidak akan membahasa bagaimana modus ‘main mata’ antar pejabat Negara, namun
makalah ini coba mendekonstruksi sistem pemilu yang ada.

2
Dalam hemat penulis sistem politik khususnya pemilu legislatif harus dilakukan perombakan
yang sangat signifikan, jika tidak sehebat apapun ancaman terhadap koruptor, maka itu hanya
akan menjadi macan kertas belaka. Dalam hemat penulis, sistem pemilu harus dirubah pada hal-
hal berikut;
1. Tidak lagi menggunakan nomer urut, tapi menggunakan huruf abjad.
2. Seorang Caleg harus berasal dari daerah Dapil bersangkutan.
3. Sosialisasi dilakukan selama lima tahun, tanpa atribut, namun laporan kerja sepanjang
lima tahun
4. Selama kampanye, atribut kampanye hanya boleh dipasang pada radius 100 meter dari
lapangan kampanye.
5. Sistem pencoblosan atau pencontrengan dilakukan dengan komputerisasi, system ini
dapat di akses secara langsung oleh publik (TV, Radio dan media cetak) melalui KPU,
KPUD Provinsi dan KPUD Kabupaten/Kota.
Dengan semakin murahnya biaya politik, serta transparan, paling tidak dapat mengurangi wabah
korupsi yang kini sedang melanda negeri tercinta Republik Indonesia. Allahu’alam

Anda mungkin juga menyukai