2. Aliran ekonomi politik klasik yang dipelopori oleh Adam Smith, Thomas Malthus, David Ricardo,
Nassau Senior, dan Jean Baptiste Say
3. Aliran ekonomi politik radikal yang dipropagandakan oleh William Godwin, Thomas Paine,
Marquis de Condorcet, dan Karl Marx.
Pendekatan ekonomi politik semakin relevan untuk dipakai karena struktur ekonomi sendiri tidak
semata-mata ditentukan secara teknis. Ia terdiri dari dua bagian yang saling terkait. Pertama,
kekuatan produksi material-pabrik dan perlangkapan (atau modal), sumber-sumber alam, manusia
dengan skill yang ada (tenaga kerja) dan teknologi. Teknologi menentukan hubungan produksi yang
sifatnya teknis, sehingga proporsi bahan mentah, mesin dan tenaga kerja bisa dialokasikan dengan
biaya yang paling minimal. Kedua, relasi reproduksi manusia. Terdapat dua tipe ekonomi politik yang
bisa diterapkan, baik sebagai penasehat otentik bagi partai yang berkuasa, yakni pihak yang melihat
kebijakan sebagai cara untuk memaksimalkan nisbah bagi partai, atau sebagai intelektual yang
menempatkan kebijakan sebagai instrumen untuk memecahkan hambatan ekonomi politik agar bisa
memaksimalkan kesejahteraan sosial sesuai amanat konstitusi. Dalam model kebijakan ekonomi
sendiri, setidaknya dikenal dua perspektif yang digunakan untuk menjelaskan proses pengambilan
keputusan (Pipitone, tt:3-4). Pertama, pendekatan yang berbasis pada maksimalisasi kesejahteraan
konvensional (conventional welfare maximization), berasumsi bahwa pemerintah (negara) bersifat
otonom dan eksogen terhadap sistem ekonomi sehingga setiap kebijakan yang diciptakan selalu
berorientasi kepada kepentingan publik. Di sini pemerintah dianggap aktor serba tahu dan tidak
memiliki kepentingan sendiri (self-interest).
Kegagalan pasar dan efisiensi dalam alokasi sumber daya merupakan pusat dari pendekatan
tersebut, pemerintah diharapkan hadir melalui kebijakan untuk melakukan koreksi pasar. Kedua,
pendekatan yang bersandarkan pada asumsi ekonomi politik dan sering disebut dengan "ekonomi
politik baru" (new political economy) yang berargumentasi bahwa negara sendiri sangat berpotensi
untuk mengalami kegagalan (government failure). Dan memfokuskan kepada alokasi sumber daya
publik dalam pasar politik (political market) dan menekankan kepada perilaku mementingkan diri
sendiri (self-interest-motivated) dari politisi, pemilih (voters), kelompok penekan, dan birokrat.
Pemakaian pendekatan ini diperkuat oleh lima hal yaitu :
1. Penggunaan kerangka kerja ekonomi politik berupaya menerima eksistensi dan validalitas dari
perbedaan budaya politikbaik formal maupun informal.
4. Analisis kebijakan yang berfokus ke Negara berkembang tidak bisa mengadopsi secara penuh
orientasi teoritis statis.
Pendekatan ekonomi politik baru yang menganggap negara/pemerintah, politisi atau birokrat
sebagai agen yang memiliki kepentingan merupakan pemicu lahirnya pendekatan public choice
(Pilihan Publik). Masyarakat pemilih dikategorikan sebagai pembeli barang-barang publik (kolektif)
sekaligus sebagai pemilihan umum untuk memilih calon legislatif dan eksekutifsementara
pemerintah sebagai penyedia barang publik dimana pemerintah yang telah dipilih harus
menyediakan barang publik setalah menang sebagai wujud adanya ekonomi politik berupa
demokrasi. Menurut Knight, 2014;190, aktor-aktor negara memiliki kepentingan sendiri.
Kepentingan itu termasuk tawar-menawar (bargaining), baik kepentingan langsung (direct interest)
memicu aktor mengabaikan pelayanan eksternal maupun kepentingan tidak langsung (indirect
interest) mengakibatkan ketidaksempurnaan distribusi dari kelembagaan formal dalam menyusun
kebijakan jangka panjang. Asumsi yang digunakan dalam teori pilihan publik (Streeton dan Orchard,
1994:123) diantarannya:
2. Motif kecukupan tersebut lebih mudah dipahami dengan teori ekonomi neoklasik
Dalam pengaplikasiannya terdapat kendala yang dihadapi dalam memasukkan pendekatan pilihan
publik kedalam sektor publik diantarannya:
2. Kegagalan politik
3. Kegagalan birokrasi
Dimana secara administratif aparat dan organ birokrasi tidak sanggup mengimplementasikan
kebijakan sesuai tujuan semula.
Teori Rent-Seeking
Teori rent seeking pertama kali di perkenalkan oleh Anne O. Krueger pada tahun 1974. Pada saat itu
Krueger membahas tentang praktik untuk memperoleh kuota impor, dimana kuota impor sendiri
dimaknai sebagai perbedaan perbedaan antara harga batas dan harga domestik. Dimana
menganalisis peran pemerintah sebagai penentu strategi ekonomi yang menarik pihak-pihak
tertentu untuk menjalin hubungan dengan pemerintah demi mencari keuntungan. Secara empiris,
pihak-pihak yang mencari keuntungan tersebut lazim disebut sebagai pemburu rente (rent-seekers)
yang pada dasarnya mencari peluang untuk menjadi penerima rente dari pemerintah dengan
menyerahkan sumber daya, menawarkan proteksi, atau memberikan wewenang untuk jenis-jenis
kegiatan tertentu yang diaturnya, dimana semakin besar perluasan pemerintah menentukan alokasi
kesejahteraan, maka kian besar kesempatan bagi munculnya para pencari rente (Little, 2002;128).
Perilaku mencari rente dianggap sebagai pengeluaran sumber daya untuk mengubah kebijakan
ekonomi, atau menikung kebijakan tersebut agar dapat menguntungkan bagi para pencari rente,
baik dengan melakukan lobi akan dipakai untuk mengapai keuntungan tersebut. Dimana lobi-lobi
tersebut akan membuat pemerintah menjadi lambat dalam mengambil atau memutuskan suatu
kebijakan. Hal ini berdampak pada tertinggalnya kebijakan dengan fakta yang terjadi di lapangan.
Nicholson (1999) mengatakan bahwa yang dimaksud sewa ekonomi atau rente suatu produksi
tertentu adalah kelebihan pembayaran atas biaya minimum yang diperlukan untuk tetap
mengonsumsi faktor produk tersebut. Rente dapat diartikan juga adalah sebuah kegiatan untuk
mendapatkan pendapatan dengan cara monopoli, lisensi, dan penggunaan modal kekuasaan di
dalam bisnis. Dimana semakin besarnya perluasan pemerintah menentukan alokasi kesejahteraan,
maka semakin besar kesempatan bagi munculnya para pemburu rente
Menurut Yustika, A. Erani (2012:110), ada tiga penjelasan mengenai rent seeking behavior. Pertama,
masyarakat akan mengalokasi sumber daya untuk menangkap peluang hak milik yang ditawarkan
oleh pemerintah. Pada titik ini, munculnya perilaku mencari rente sangat besar. Kedua, setiap
kelompok atau individu pasti akan berupaya mempertahankan posisi mereka yang menguntungkan.
Implikasinya, keseimbangan ekonomi tidak akan dapat tercapai dalam jangka panjang karena adanya
kelompok-kelompok penekan yang mencoba mendapatkan fasilitas. Ketiga, dalam pemerintahan
sendiri terdapat kepentingan-kepentingan yang berbeda. Dengan kata lain, kepentingan pemerintah
tidak tunggal. Sementara dalam teori ekonomi klasik teori rent-seeking ini tidak dimaknai secara
negatif sebagai kegiatan ekonomi yang menimbulkan kerugian, bahkan juga berarti positif karena
dapat memacu kegiatan ekonomi secara simultan, seperti halnya seseorang yang ingin mendapatkan
laba maupun upah (Erani, 2013;107). Satu gagasan yang di ungkapkan oleh Buchanan untuk
mencegah munculnya pemburuan rente adalah dengan membuat regulasi yang memungkinkan
pasar berjalan secara sempurna, yakni melalui peniadaan halangan masuk bagi pelaku ekonomi dan
peningkatan persaingan (Erani, 2013;110).
Pengambilan kebijakan (pemerintah) lebih memberikan tekanan kepada kegiatan menyaring dan
memilah nilai kelompok kepentingan khusus, yang dianggap tepat dan mengalihkan sumber daya
kepada kelompok bersangkutan melalui saluran hukum. Dimana pemberian perlakuan istimewah
atau pengampunan pajak, menurunkan harga, memberikan perlindungan permanen dan kelompok
pekerja tertentu sehingga mereka tidak dapat dipecat, atau memberikan hak khusus pada bidang
usaha tertentu yang menciptakan biaya dan manfaat yang melenyapkan rangsangan peluang bagi
pihak pihak lain (de Soto1992). Pesaingan memperoleh hak khusus ini, yang berjalan melauli proses
pembuatan aturan, mengakibatkan masyarakat masuk ke permainan politik, terlebih berbagai
peraturan yang menimbulkan berbagai biaya bagi sektor informal dan sektor formal adalah akibat
langsung dari persaingan ini.
Menurut rachbini (1996), dalam pola redistributic combines berasal dari sumber ekonomi aset
produktif, dan modal didistribusikan secara terahap hanya di lingkungan segelintir orang.
Berlakungan pola tersebut terjadi akibat sistem politik yang buruk karena dilindungi sistem hukum
yang kabur dan ketidakadaan rule of law di bidang ekonomi. Selanjutnya John Rawl yang
membangun teori kedailan mengkosptualisasikan teori keadilan bertolak dari prinsip :Setiap orang
harus mempunyai hak yang sama terhadap skema kebebasan dasar yang sejajar dan kompatibel
dengan skema kebebasan yang dimiliki orang lain. Ketimpangan sosial dan ekonomi harus
ditangani. Keadilan sosial yang dikonsepkan oleh Rawls diarahkan kepada penyiapan nilai terhadap
sebuah standar aspek distribusi dari struktur standar masyarakat, dalam kaintannya dengan pasar
bebas, teori keadilan Rawls merupakan kritik terhadap sistem keadilan Adam Smith. Ia melihat
mekanisme pasar bebas gagal berfungsi secara baik karena justru menimbulkan ketidakadilan, sebab
peluang yang sama didalam pasar tidak diiringi dengan kemampuan yang sama dari semua pelaku
ekonomi di pasar sehingga hanya akan menguntungkan beberapa pihak saja yang berkemampuan
dalam persaingan tersebut.
Daftar pustaka
Clark, Barry. 1998. Political Economy: A Comperative Approach. Second Edition. London:
Wesport – Connecticut.
Erani Yustika, Ahmad. 2013. Ekonomi Kelembagaan (Paradigma, Teori, dan Kebijakan).
Erlangga,Jakarta.
BAB II
PEMBAHASAN
Kebijakan publik mempunyai banyak pemahaman teoritis. Harold Laswell dan Abraham Kaplan
mendefinisikan sebagai suatu program yang diproyeksikan dengan tujuan-tujuan tertentu, nilai-nilai
tertentu, dan praktik-praktik tertentu. David Easton mendefinisikannya sebagai akibat dari aktivitas
pemerintah.[1]
Dari pemahaman tersebut, kita dapat merumuskan definisi sebagai berikut: “kebijakan publik adalah
keputusan yang dibuat oleh Negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan
tujuan dari Negara yang bersangkutan. Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantar
masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju kepada
masyarakat yang dicita-citakan.”[3]
Kebijakan publik adalah sebuah fakta strategis daripada fakta politisi ataupun fakta teknis. Sebagai
sebuah strategi, dalam kebijakan publik sudah terangkum preferensi-preferensi politis dari para
aktor yang terlibat dalam proses kebijakan, khususnya pada proses perumusan. Sebagai sebuah
strategi, kebijakan publik tidak saja bersifat positif, namun juga negatif, dalam arti pilihan keputusan
selalu bersifat menerima salah satu dan menolak yang lain.
Selain itu pula, dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang
ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau
berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh rakyat.[4]
Meskipun terdapat ruang bagi win-win solution dimana sebuah tuntutan dapat diakomodasi, namun
pada akhirnya ruang bagi win-win solution sangat terbatas, sehingga kebijakan publik lebih banyak
pada ranah zero-sum-game, yaitu menerima yang ini, dan menolak yang lain. Dalam pemahaman ini,
istilah “keputusan” termasuk juga etika Pemerintah memutuskan untuk “tidak mengurus” isu terkait.
Dengan demikian, pemahaman disini mengacu kepada pemahaman Dye, bahwa kebijakan publik
adalah segala seuatu yang dikerjakan dan yang tidak dikerjakan oleh pemerintah.[5]
Berbagai definisi dan pengertian kebijakan publik seperti dijelaskan di atas, memberikan implikasi
sebagai berikut:
1. Kebijakan negara selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang
berorientasi kepada tujuan.
4. Bersifat positif dalam artian merupakan beberapa bentuk tindakan yang dilakukan pemerintah
mengenai sesuatu masalah tertentu. Demikian juga dapat bersifat negatif dalam arti merupakan
keputusan pejabat pemeritah untuk tidak melakukan sesuatu.
Hakikat suatu kebijakan negara sebagai tindakan yang mengarah pada suatu tujuan, akan dapat
dipahami dengan baik dengan memerinci ke dalam lima kategori, menurut Hagwood dan Gunn,
yaitu:
Di dalam sistem politik, proses formulasi suatu kebijakan negara, merupakan berbagai desakan atau
tuntutan dari para aktor pemerintah maupun swasta kepada pejabat pemerintah untuk melakukan
ataupun tidak melakukan tindakan terhadap suatu masalah tertentu. Tentunya, desakan ataupun
tuntutan ini bervariasi, dalam arti dari yang bersifat umum sampai kepada usulan untuk mengambil
tindakan konkrit tertentu terhadap sesuatu masalah yang terjadi dalam masyarakat.
Merupakan keputusan-keputusan yang dibuat oleh para pejabat pemeritah, dengan maksud untuk
memberikan keabsahan, kewenangan atau memberikan arah terhadap pelaksanaan kebijakan
negara.
Merupakan pernyataan resmi atau artikulasi (penjelasan) mengenai kebijakan negara tertentu.
Apabila dicermati secara mendalam, pernyaataan kebijakan dari seorang pejabat dengan pejabat
lainnya, seringkali bertentangan dengan satu dengan lainnya. Disini, diperlukan adanya koordinasi
agar pernyataan kebijakan dimaksud menjadi sinkron. Hal ini dipandang perlu, mengingat
masyarakatlah yang terkena dampaknya.
Setelah suatu kebijakan selesai diimplementasikan terdapat hasil akhir kebijakan, yaitu berupa
akibat-akibat atau dampak yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat, baik yang diharapkan
maupun yang tidak diharapkan sebagai konsekuensi dari adanya tindakan ataupun adanya tindakan
pemerintah dalam bidang-bidang atau masalah-masalah tertentu.[7]
Proses analisis kebijakan publik adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses
kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politis tersebut nampak dalam serangkaian kegiatan yang
mencakup penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan
penilaian kebijakan. Sedangkan aktivitas perumusan masalah, forecasting, rekomendasi kebijakan,
monitoring, dan evaluasi kebijakan adalah aktivitas yang lebih bersifat intelektual.[8]
Proses pembuatan kebijakan publik merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak
proses maupun variabel yang harus dikaji. Memang, tidaklah mudah membuat kebijakan publik yang
baik dan benar, namun bukannya tidak mungkin.[9]
Model yang dikembangkan oleh para ilmuwan kebijakan publik mempunyai satu kesamaan, yaitu
bahwa proses kebijakan berjalan dari formulasi menuju implementasi, untuk mencapai kinerja
kebijakan. Namun demikian, ada satu pola yang sama bahwa model formal proses kebijakan adalah
dari “gagasan kebijakan”, “formalisasi dan legalisasi” kebijakan”, “implementasu”, baru kemudian
menuju pada kinerja atau mencapai prestasi yang diharapkan –yang didapatkan setelah dilakukan
evaluasi kinerja kebijakan –seperti yang disampaikan pada gambar berikut ini.[10]
Proses Kebijakan
Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Sebelumnya
masalah-masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk dapat masuk ke dalam agenda kebijakan.
Pada akhirnya, beberapa masalah masuk ke agenda kebiajakan para perumus kebijakan. Pada tahap
ini suatu masalah mungkin tidak disentuh sama sekali, sementara masalah yang lain ditetapkan
menjadi fokus pembahasan, atau ada pula masalah karena alasan-alasan tertentu di tundaa waktu
yang lama.[11]
Dalam penyusunan agenda kebijakan ada tiga kegiatan yang perlu dilakukan, yakni;
3. Memobilisasi dukungan agar masalah tersebut dapat masuk dalam agenda pemerintah.
Memobilisasi dukungan ini dapat dilakukan dengan cara mengorganisir kelompok-kelompok yang
ada dalam masyarakat, dan kekuatan-kekuatan politik, publikasi melalui media masa dan
sebagainya.[12]
Proses masuknya isu ke dalam agenda kebijakan lebih cenderung bersifat politis dari pada rasional.
Ada empat faktor yang berpengaruh pada proses penyusunan agenda kebijakan, yaitu 1)
perkembangan sistem pemerintahan yang demokratis, 2) sikap pemerintah dalam proses
penyusunan agenda kebijakan, 3) partisipasi masyarakat, dan 4) realitas pemerintahan daerah.[13]
Menurut Cobb dan Elder, agenda dapat diklasifikasikan ke dalam dua tipe. Pertama, agenda yang
bersifat sistematis yaitu agenda yang mencakup seluruh isu yang umumnya diakui dan mendapat
perhatian publik serta termasuk persoalan yang masuk di dalam yurisdiksi legitimasi pemerintah,
contohnya persoalan pendidikan. Kedua, agenda institusional yang mencakup seluruh isu-isu dimana
para pembuat keputusan yang memang memiliki kewenangan secara eksplisit, aktif dan serius
mempertimbangkan sebuah isu untuk diagendakan. Misalnya menjadi agenda legislatif atau
eksekutif.[14]
2. Tahap Formulasi Kebijakan
Masalah yang sudah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan.
Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudia dicari pemecahana masalah terbaik. Dalam
tahapan ini masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil
untuk memecahkan masalah.
Pada tahap formulasi dan legimitasi kebijakan, analisis kebijakan perlu mengumpulkan dan
menganalisa informasi yang berhubungan dengan masalah yang bersangkut, kemudian berusaha
mengembangkan alternatif-alternatif kebijakan, membangun dukungan dan melakukan negoisasi,
sehingga sampai pada sebuah kebijakan yang dipilih.[15]
Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit, jika program tersebut tidak
diimplementasikan. Oleh karena itu, keputusan program kebijakan yang telah diambil sebagai
alternatif pemecahan masalah harus diimplemetasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan
administrasi maupu agen-agen pemerintahan di tingkat bawah. Pada tahap implementasi ini
berbagai kepentingan akan saling bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan
para pelaksana (implementors), namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh para
pelaksana.[16]
Pada tahap ini kebijakan yang telah dilakukan akan dinilai atau dievaluasi, untuk melihat sejauh
mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah. Kebijakan publik pada dasarnya
dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan. Dalam hal ini, memecahkan masalah yang dihadapi
masyarakat. Oleh karena itu, ditetukanlah ukuran-ukuran atau kriteria-kriteria yang menjadi dasar
untuk menilai apakah kebijakan publik telah meraih dampak yang diinginkan (hasil kinerja/prestasi
yang diharapkan).[17]
BAB III
KESIMPULAN
Kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat oleh Negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi
untuk merealisasikan tujuan dari Negara yang bersangkutan. Kebijakan publik adalah strategi untuk
mengantar masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju
kepada masyarakat yang dicita-citakan.
Kebijakan publik adalah sebuah fakta strategis daripada fakta politisi ataupun fakta teknis. Sebagai
sebuah strategi, dalam kebijakan publik sudah terangkum preferensi-preferensi politis dari para
aktor yang terlibat dalam proses kebijakan, khususnya pada proses perumusan. Sebagai sebuah
strategi, kebijakan publik tidak saja bersifat positif, namun juga negatif, dalam arti pilihan keputusan
selalu bersifat menerima salah satu dan menolak yang lain.
Proses analisis kebijakan publik adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses
kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politis tersebut nampak dalam serangkaian kegiatan yang
mencakup penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan
penilaian kebijakan. Sedangkan aktivitas perumusan masalah, forecasting, rekomendasi kebijakan,
monitoring, dan evaluasi kebijakan adalah aktivitas yang lebih bersifat intelektual.
Model yang dikembangkan oleh para ilmuwan kebijakan publik mempunyai satu kesamaan, yaitu
bahwa proses kebijakan berjalan dari formulasi menuju implementasi, untuk mencapai kinerja
kebijakan. Namun demikian, ada satu pola yang sama bahwa model formal proses kebijakan adalah
dari “gagasan kebijakan”, “formalisasi dan legalisasi” kebijakan”, “implementasu”, baru kemudian
menuju pada kinerja atau mencapai prestasi yang diharapkan –yang didapatkan setelah dilakukan
evaluasi kinerja kebijakan –seperti yang disampaikan pada gambar berikut ini.
DAFTAR PUSTAKA
Madani, Muhlis. 2011. Dimensi Interaksi Aktor dalam Proses Perumusan Kebijakan Publik.
Subarsono, AG. 2009. Analisi Kebijakan Publik; Konsep, Teori dan Apilkasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Tilaar, H.A.R & Riant Nugroho. 2012. Kebijakan Pendidikan; Pengantar untuk Memahami
Winarno, Budi. 2008. Kebijakan Publik; Teori & Proses. Yogyakarta: Media Pressindo.
TEORI-TEORI KEBIJAKAN PUBLIK: TEORI PROSES KEBIJAKAN
Disusun Oleh:
AFIF ALFIYANTO
NIM. 1520410060
Dosen Pengampu:
Mata Kuliah:
Analisis Kebijakan Pendidikan Islam
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Pendefinisian mengenai kebijakan diperlukan agar kita dapat menjaga kejelasan pemikiran kita
dalam pembahasan selanjutnya. Kebijakan adalah salah satu konsep dalam ilmu politik. Kebijakan
(policy) adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik,
dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan itu. Pada prinsipnya, pihak yang
membuat kebijakan-kebijakan itu mempunyai kekuasaan untuk melaksanakan. Proses pembuatan
kebijakan publik merupakan suatu konsep yang komplek karena melibatkan banyak alur proses.
Tahap penilaian kebijakan seperti yang tercantum dalam bagan ini, bukan termasuk proses akhir dari
kebijakan publik, sebab masih ada satu tahap lagi, yakni tahap perubahan kebijakan dan terminasi
atau penghentian kebijakan. Di dalam setiap proses terdapat tahap-tahap kebijakan publik.
Pendefinisian mengenai kebijakan diperlukan agar kita dapat menjaga kejelasan pemikiran kita
dalam pembahasan selanjutnya. Kebijakan adalah salah satu konsep dalam ilmu politik.1 Kebijakan
(policy) adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik,
dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan itu. Pada prinsipnya, pihak yang
membuat kebijakan-kebijakan itu mempunyai kekuasaan untuk melaksanakan. Proses pembuatan
kebijakan publik merupakan suatu konsep yang komplek karena melibatkan banyak alur proses.
Tahap penilaian kebijakan seperti yang tercantum dalam bagan ini, bukan termasuk proses akhir dari
kebijakan publik, sebab masih ada satu tahap lagi, yakni tahap perubahan kebijakan dan terminasi
atau penghentian kebijakan. Di dalam setiap proses terdapat tahap-tahap kebijakan publik.
B. Rumusan Masalah
[2] Riant Nugroho, Public Policy, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2009), hlm. 83.
[3] H.A.R Tilaar & Riant Nugroho, Op. Cit., hlm. 184.
[4] Muhlis Madani, Dimensi Interaksi Aktor dalam Proses Perumusan Kebijakan Publik¸(Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2011), hlm. 20.
[5] H.A.R Tilaar & Riant Nugroho, Op. Cit., hlm. 185.
[8] AG. Subarsono, Analisis Kebijakan Publik; Konsep, Teori, dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu,
2008),cet.ii., hlm. 8.
[11] Budi Winarno, Kebijakan Publik; Teori & Proses, (Yogyakarta: MedPress, 2008),cet.ii., hlm. 33.