PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara berkembang menganut sistem perekonomian terbuka,
dimana perdagangan internasional berperan penting dalam menggerakkan roda
perekonomian negara. Pada awal tahun 2020, dunia dikejutkan dengan kemuculan virus
baru . Virus ini secara internasional oleh Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO diberi
nama COVID-19 atau Corona Virus Disease 19 yang ditetapkan oleh negara Indonesia
sebagai pandemi pada tanggal 2 Maret 2020. Merebaknya pandemi ini tidak hanya
berdampak pada kesehatan, tetapi juga memberikan pengaruh yang besar bagi ekonomi
Indonesia yang sangat mengkhawatirkan dan menyebabkan kepanikan baik di kalangan
pemerintah, masyarakat, maupun dunia usaha.
Dalam era globalisasi sekarang ini dimana kegiatan perekonomian suatu negara
juga dipengaruhi oleh kegiatan perekonomian negara lain sehingga pemerintah dalam
menetapkan kebijakan, baik kebijakan fiskal maupun kebijakan moneter akan
dipengaruhi oleh faktor eksternal. Moneter merupakan bagian yang sangat penting
dalam sebuah perekonomian, pertumbuhan ekonomi tidak akan bisa dianalisis tanpa
melibatkan persoalan moneter (Cioran, 2014). Terdapat beberapa indikator ekonomi
domestik yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia, antara lain
nilai tukar (kurs), Suku bunga, dan inflasi.
kurs (Nilai tukar)ndonesia bergantung pada kondisi ekonomi negara, sehingga
terus berfluktuasi setiap tahunnya. Penelitian terdahulu yang mengkaji mengenai
pengaruh Covid-19 terhadap fluktuasi Rupiah diantaranya adalah Haryanto (2020)
dimana dalam penelitian tersebut dapat diperoleh kesimpulan bahwa penambahan kasus
Covid-19 berpengaruh signifikan terhadap fluktuasi nilai tukar Rupiah. Hubungan kasus
Covid-19 dan fluktuasi nilai tukar rupiah berpengaruh positif, artinya saat kasus Covid-
19 bertambah nilai tukar rupiah akan ikut melemah. Fluktuasi nilai tukar rupiah ini juga
dipengaruhi oleh fluktuasi saham di Indonesia yang melemah karena banyak investor
global yang melepaskan asetnya. Di Indonesia, lembaga yang mendapat tanggung
jawab sebagai bank sentral adalah Bank Indonesia sebagaimana amanat Pasal 23
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Kedudukan Bank Indonesia sebagai bank sentral,
mempunyai tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
Oleh karena itu Bank Indonesia (BI) terus menjaga nilai tukar Rupiah agar tetap
stabil. Bahkan, bisa menguat di tengah wabah Virus Covid-19 ini. Demi menjaga
stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar USD serta menurunkan defisit neraca berjalan
yang semakin melebar. Pemerintah Pusat bersama dengan Bank Indonesia (BI), Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) dan beberapa instansi yang terkait terus berusaha bersama
membuat kebijakan.
Di jalur suku bunga, Bank Indonesia dapat memperketat kebijakan
moneter dengan menaikkan suku bunga, yang akan mempengaruhi permintaan
agregat sehingga mengurangi tekanan inflasi. Penetapan suku bunga rendah
sejalan dengan mulai pulihnya perekonomian global, yang diindikasikan oleh
membaiknya pertumbuhan ekonomi triwulan II 2021 di berbagai negara. Namun,
pemulihan ini masih dibayangi oleh risiko penyebaran varian baru Covid-19 yang
meluas. Selain itu, suku bunga rendah dipertahankan seiring dengan perkiraan inflasi
yang relatif lemah. Pada Juli 2021, inflasi tercatat hanya sebesar 0,08 persen (mtm) atau
1,52 persen (yoy). Bank Indonesia pada 17-18 Maret 2021 memutuskan untuk
mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,50%, suku bunga
Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%.
Keputusan ini sejalan dengan perlunya menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah dari
meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global, di tengah prakiraan inflasi yang
tetap rendah, untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional lebih lanjut. Disisi lain,
Pertumbuhan Ekonomi juga tidak terlepas dari pengaruh tingkat inflasi yang tinggi serta
menurunnya nilai mata uang rupiah, Pengendalian inflasi merupakan sasaran akhir
dari kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Ditengah masa
pandemi, inflasi Indonesia relatif terkendali dibandingkan dengan beberapa negara yang
terus mengalami peningkatan inflasi akibat supply-demand imbalance dan krisis energi.
Di tengah tekanan inflasi di berbagai negara maju tersebut, laju inflasi Indonesia pada
tahun 2021 masih terkendali pada level yang rendah dan stabile, serta berada di bawah
kisaran target sebesar 3,1% (yoy) yang telah ditetapkan. Realisasi inflasi pada tahun
2021 tercatat sebesar 1,87% (yoy) atau naik dari realisasi tahun 2020 yang sebesar
1,68% (yoy). Hasil pengendalian ini tidak terlepas dari koordinasi yang kuat antara
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas
harga.
Dalam hal kebijakan moneter, bank sentral di dunia menurunkan suku bunga,
injeksi likuiditas dan langkah-langkah untuk mengurangi beban sektor ekonomi dan
keuangan.Bank Indonesia (BI) dinilai mampu menstabilkan nilai tukar rupiah setelah
sempat terjatuh saat periode awal merebaknya Covid-19 di Tanah Air pada 2020 lalu.
Tak hanya berhasil melewati krisis Covid-19, BI juga berhasil meningkatkan cadangan
devisa ke rekor tertinggi pada Januari 2021. Pandemic Covid-19 ini tidak sekadar
mempengaruhi sisi kesehatan warga dunia. Wabah ini ikut memperburuk perekonomian
global dan merembet hingga ke Indonesia. Selain berimbas kepada nilai tukar, Covid-19
juga berdampak kepada penurunan Indeks Harga Saham Gabungan yang akhirnya terjun
bebas. Semua berada di luar prediksi dan bukan hal yang mudah untuk dikendalikan.
Sementara itu, Nilai tukar rupiah melemah tipis 0,07% melawan dolar Amerika Serikat
(AS) ke Rp 14.375/US$, Penyebaran virus corona varian Omicron masih menjadi
penyebab utama pelemahan rupiah. Faktor yang sama masih akan mempengaruhi
pergerakan rupiah pada perdagangan, tetapi rupiah punya peluang untuk menguat
melihat indeks dolar AS yang melemah.
Maka Dalam hal ini kebijakan moneter, bank sentral di dunia menurunkan suku
bunga, injeksi likuiditas dan langkah-langkah untuk mengurangi beban sektor ekonomi
dan keuangan.. Oleh sebab itu otoritas moneter harus dapat menjaga nilai tukar rupiah,
menurunkan suku bunga serta mengendalikan inflasi ,untuk itu cukup menarik untuk
dilakukan penelitian secara mendalam dampak pandemic covid-19 terhadap kebijakan
moneter .
TINJAUAN PUSTAKA
● Landasan Teori
1. Dampak COVID-19
COVID-19 adalah penyakit menular yang disebabkan oleh jenis
coronavirus yang baru ditemukan (WHO, 2020). Virus baru ini ditemukan
pertama kali di Wuhan, Cina pada bulan Desember 2019. Wabah ini telah
dikategorikan sebagai pandemi oleh World Health Organization (WHO) atau
badan kesehatan dunia karena peningkatan infeksi dari manusia ke manusia
telah menyebar secara luas di dunia (Qiu, Rutherford, Mao, & Chu, 2017).
WHO mendeklarasikan secara resmi COVID-19 sebagai pandemi pada
tanggal 9 Maret 2020. Kasus COVID-19 pertama di Indonesia diumumkan
oleh Presiden Joko Widodo pada 2 Maret 2020 (Ihsanudin, 2020).
METODOLOGI PENELITIAN
Adapun langkah-langkah atau teknik analisis data yang akan peneliti gunakan
dalam penelitian ini yaitu: pertama, pengumpulan data. Dalam penelitian ini, proses
pengumpulan data tidak memliki segmen dan waktu tersendiri, melainkan sepanjang
penelitian yang dilakukan proses pengumpulan data dapat dilakukan yaitu dengan
tujuan penelitian. Kedua, Reduksi data. Reduksi data merupakan proses penggabungan
dan penyeragaman segala bentuk data yang diperoleh menjadi satu bentuk tulisan
(script) yang akan dianalisis. Hasil dari studi dokumentasi diubah menjadi bentuk
tulisan sesuai dengan formatnya masing-masing. Ketiga, kesimpulan atau verifikasi
tahap akhir merupakan penarikan kesimpulan dan/atau verifikasi. Kesimpulan dalam
analisis data kualitatif menjurus pada jawaban dari pertanyaan penilitian yang diajukan
sebelumnya dan mengungkap “what” dari temuan penelitian tersebut.
HASIL PENELITIAN
Gambaran Umum Bank Indonesia
Alat pembayaran atau alat tukar merupakan segala sesuatu yang dapat digunakan
untuk membeli dan menjual barang atau jasa. Alat tukar yang paling umum dalam
perekonomian modern adalah uang. Namun, komoditas lain jugadapat digunakan dan
bertindak sebagai alat pembayar dalam transaksi barter. Emas juga dahulu digunakan
sebagai alat tukar. Fungsi uang yang paling penting adalah sebagai alat tukar untuk
memfasilitasi transaksi. Uang secara efektif menghilangkan persyaratan keinginan
ganda sebagaimana dalam transaksi barter.
Bank sentral adalah suatu institusi nasional yang bertanggung jawab untuk
menjaga stabilitas harga atau nilai suatu mata uang yang berlaku di suatu negara. Di
Indonesia sendiri, Bank Sentral dikenal dengan nama Bank Indonesia (BI). Berdasarkan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2003 tentang Perubahan atas
Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia
adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,
bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain. Dalam Pasal 7 UU tersebut,
tujuan didirikannya Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah. Untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia melaksanakan kebijakan
moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan
kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.
Hasil penelitian
Dari tabel tersebut menunjukkan bahwa pada Berdasarkan tabel diatas nilai tukar
rupiah terhadap dolar di awal tahun 2017 berada di level Rp 13.4 10, 00 dan di bulan
Februari mengalami kenaikan dan berada di level Rp 13. 414, 00. Namun, pada bulan
April sampai bulan Agustus, nilai tukar rupiah terhadap dolar mengalami fluktuasi dan
berada di level Rp 13.418,00. Pada bulan September dan Oktober, nilai tukar rupiah
terhadap dolar mengalami kenaikan hingga Rp 13.640,00. Namun di akhir tahun, nilai
tukar rupiah terhadap dolar melemah hingga mencapai level Rp 13.616,00.
Pada tahun 2018, nilai tukar rupiah memiliki tekanan yang yang terbilang tinggi
dan itu hampir terjadi selama satu periode. Hal tersebut, diakibatkan oleh meningkatnya
ketidakpastian global akibat kenaikan federal funds rate serta ketidakpastian pasar
keuangan global yang tinggi. Pada bulan Oktober sampai dengan merupakan puncak
dari melemahnya rupiah terhadap dolar dan terjun di level Rp 15,303,00. Dalam kurun
November sampai dengan Desember tahun 2018, seiring dengan respon antisipatif
kebijakan moneter dalam melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah sehingga tekanan
terhadap rupiah cenderung menurun dan di akhir tahun nilai tukar rupiah ditutup pada
level 14.553,00.
Pada tahun 2019, nilai tukar rupiah terhadap dolar arti stabil dan beranjak
menguat meskipun hanya bertahan di level 14.000,00 selama 11 bulan. Namun di akhir
tahun 2019, rupiah ditutup menguat pada level Rp 13.970,00. Hal tersebut merupakan
dampak dari aliran masuk modal asing ke dalam Indonesia dan kondisi perekonomian
domestik yang yang tergolong kondusif sehingga ikut mendorong stabilitas nilai tukar
rupiah. Tidak hanya itu, Bank Indonesia menerapkan kebijakan suku bunga yang
didukung kebijakan nilai tukar, penguatan devisa, pengelolaan arus modal dan
penguatan operasi moneter serta mendukung upaya dalam pengembangan pasar
keuangan.
Pada awal tahun 2020 nilai tukar rupiah masih tergolong bagus karena berada di
angka Rp 13.730,31. Namun di bulan Maret rupiah terpuruk sehingga berada di level
16.448,00. Hal tersebut disebabkan oleh virus covid-19 yang mulai menyerang.
Ketidakpastian pasar keuangan global mendorong penyesuaian penempatan investasi
portofolio global dan penanaman modal di negara berkembang menurun termasuk di
Indonesia. Namun di sisi lain, di akhir tahun 2020 nilai tukar rupiah terhadap Dollar
menguat dan berada di angka Rp 14.175,53.
Pada tahun 2021, nilai tukar rupiah dibuka pada angka Rp 14.154,42. Tahun ini
merupakan tahun kedua covid-19 berada di Indonesia. Sehingga di tahun 2021, nilai
tukar rupiah cenderung stabil di angka 14.000,00. Pada akhir tahun nilai tukar rupiah
ditutup pada level 14.340,35.
Pembahasan
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 18-19 Januari 2017
memutuskan untuk mempertahankan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI 7-day RR Rate)
tetap sebesar 4,75%, dengan suku bunga Deposit Facility tetap sebesar 4,00% dan
LendingFacility tetap sebesar 5,50%, berlaku efektif sejak 20 Januari 2017. Keputusan
tersebut sejalan dengan upaya Bank Indonesia menjaga stabilitas makroekonomi dan
sistem keuangan dengan tetap mengoptimalkan pemulihan ekonomi domestik di tengah
ketidakpastian pasar keuangan global.
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 14 dan 16 Februari 2017
memutuskan untuk mempertahankan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI 7-day RR Rate)
tetap sebesar 4,75%, dengan suku bunga Deposit Facility tetap sebesar 4,00% dan
Lending Facility tetap sebesar 5,50%. Keputusan tersebut konsisten dengan upaya Bank
Indonesia menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan dengan tetap
mendukung momentum pemulihan ekonomi domestik. Sejalan dengan membaiknya
perekonomian global, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan membaik dengan
stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan yang tetap terjaga. Meskipun demikian,
Bank Indonesia tetap mewaspadai sejumlah risiko, baik yang bersumber dari global
terutama terkait arah kebijakan AS dan risiko geopolitik di Eropa, maupun dari dalam
negeri terutama terkait dengan dampak penyesuaian administered prices terhadap
inflasi. Inflasi tetap terkendali, meskipun mengalami tekanan yang meningkat di awal
tahun 2017. Inflasi IHK Januari 2017 tercatat sebesar 0,97% (mtm), lebih tinggi dari
bulan sebelumnya sebesar 0,42% (mtm). Kenaikan inflasi tersebut terutama disumbang
oleh kelompok administered prices dan kelompok inti. Sementara itu, inflasi volatile
food relatif terkendali dan tercatat rendah sejalan dengan koreksi harga beberapa
komoditas pangan. Inflasi administered prices meningkat dari bulan sebelumnya
terutama didorong oleh kenaikan biaya administrasi perpanjangan STNK, tarif listrik,
dan Bahan Bakar Khusus (BBK). Inflasi inti mengalami peningkatan namun masih
terkendali yaitu sebesar 0,56% (mtm) atau 3,35% (yoy).
Pertumbuhan ekonomi global 2017 diperkirakan lebih kuat dibandingkan 2016
dengan sumber pertumbuhan yang lebih merata, baik dari negara maju maupun negara
berkembang. Pertumbuhan PDB AS membaik ditopang investasi yang meningkat dan
konsumsi yang stabil. Pertumbuhan ekonomi 2017 diperkirakan sekitar 5,10% (yoy),
dibandingkan 5,02% (yoy) pada 2016. Pertumbuhan ekonomi didukung oleh
peningkatan ekspor komoditas yang selanjutnya mendorong peningkatan investasi
nonbangunan, khususnya pada korporasi yang berbasis komoditas. Stimulus fiskal oleh
pemerintah terkait pembangunan proyek infrastruktur juga mendorong investasi
bangunan.
Pertumbuhan kredit Oktober 2017 tercatat masih sebesar 8,16% (yoy), meski
membaik dibandingkan September sebesar 7,86% (yoy). Namun demikian, pembiayaan
ekonomi melalui pasar keuangan, seperti penerbitan saham, obligasi, dan medium term
notes (MTN), terus tumbuh tinggi hingga mencapai 45,5% (yoy) pada Oktober 2017.
Sementara itu, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada Oktober 2017 tercatat
11,0% (yoy), menurun dibandingkan bulan sebelumnya 11,7% (yoy). Untuk
keseluruhan 2017, DPK dan kredit diperkirakan tumbuh masing-masing sekitar 9,0%
(yoy) dan 8,0% (yoy).
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 17-18 Januari 2018
memutuskan untuk mempertahankan BI 7-day Reverse Repo Rate tetap sebesar 4,25%,
dengan suku bunga Deposit Facility tetap sebesar 3,50% dan Lending Facility tetap
sebesar 5,00%, berlaku efektif sejak 19 Januari 2018. Kebijakan tersebut konsisten
dengan terjaganya stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan serta turut mendukung
pemulihan ekonomi domestik.
Di samping keputusan suku bunga tersebut, RDG juga memutuskan untuk
mempercepat implementasi Giro Wajib Minimum (GWM) Rata-rata sebagai kelanjutan
dari reformasi kerangka operasional kebijakan moneter dalam rangka meningkatkan
efektivitas transmisi kebijakan moneter, mendukung fleksibilitas manajemen likuiditas
perbankan, dan sekaligus mempercepat pendalaman pasar keuangan (Lampiran 1). Dari
total GWM Rupiah bank umum konvensional sebesar 6,5% dari Dana Pihak Ketiga
(DPK), porsi GWM Rata-rata diperlonggar dari 1,5% menjadi 2% dari DPK.
Sementara, dari total GWM Valas bank umum konvensional sebesar 8% dari DPK,
porsi GWM Rata- rata mulai diberlakukan sebesar 2% dari DPK. Untuk bank umum
syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS), dari total GWM Rupiah sebesar 5% dari DPK,
porsi GWM Rata-rata mulai diberlakukan sebesar 2% dari DPK.
Pertumbuhan ekonomi global 2018 diperkirakan meningkat, meski terdapat
beberapa risiko yang perlu dicermati. Peningkatan pertumbuhan ekonomi global
bersumber dari perbaikan ekonomi negara maju dan negara berkembang yang terus
berlanjut. Di negara maju, pertumbuhan ekonomi AS pada 2018 diprakirakan lebih
tinggi ditopang oleh investasi dan konsumsi yang menguat seiring dampak stimulus
fiskal. Kenaikan suku bunga FFR sebesar 25 bps pada 21 Maret 2018 sesuai dengan
perkiraan Bank Indonesia.
Inflasi pada Februari 2018 tetap terkendali dalam kisaran sasaran. Inflasi
IHK Februari 2018 tercatat 0,17% (mtm), menurun dibandingkan dengan inflasi bulan
sebelumnya sebesar 0,62% (mtm). Secara tahunan, inflasi IHK tercatat 3,18% (yoy)
atau berada dalam kisaran sasaran inflasi 2018 sebesar 3,5±1% (yoy). Terkendalinya
inflasi dipengaruhi oleh inflasi inti yang menurun seiring dengan ekspektasi inflasi yang
terjaga. Nilai tukar Rupiah bergerak sesuai dengan mekanisme pasar dan konsisten
mendukung penyesuaian sektor eksternal. Rupiah pada November 2018 menguat
sebesar 6,29% secara point to point dibandingkan level bulan sebelumnya, dipengaruhi
aliran masuk modal asing yang cukup besar akibat dampak positif perekonomian
domestik yang tetap kondusif dan eskalasi ketegangan hubungan dagang AS-Tiongkok
yang sempat mereda. Pada Desember 2018, Rupiah mendapat tekanan dipengaruhi
kembali meningkatnya ketidakpastian global serta meningkatnya permintaan valuta
asing musiman untuk kebutuhan akhir tahun. Ke depan, Bank Indonesia terus
mewaspadai risiko ketidakpastian pasar keuangan global dengan tetap melakukan
langkah-langkah stabilisasi nilai tukar sesuai nilai fundamentalnya, dengan tetap
mendorong berjalannya mekanisme pasar dan mendukung upaya-upaya pengembangan
pasar keuangan.
Inflasi tetap rendah dan stabil berada dalam sasaran inflasi 2018 sebesar 3,5±1%.
Inflasi IHK pada November 2018 tercatat 0,27% (mtm) atau 3,23% (yoy), tidak banyak
berbeda dibandingkan dengan inflasi bulan Oktober 2018 sebesar 0,28%
(mtm) atau 3,16% (yoy). Inflasi yang terkendali dipengaruhi inflasi inti sebesar 3,03%
(yoy), relatif
stabil dibandingkan dengan inflasi bulan sebelumnya ditopang konsistensi kebijakan
Bank Indonesia dalam mengarahkan ekspektasi inflasi, termasuk dalam menjaga
pergerakan nilai tukar sesuai fundamentalnya.
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 16-17 Januari 2019
memutuskan untuk mempertahankan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar
6,00%, suku bunga Deposit Facility sebesar 5,25%, dan suku bunga Lending Facility
sebesar 6,75%. Keputusan tersebut konsisten dengan upaya menurunkan defisit
transaksi berjalan ke dalam batas yang aman dan mempertahankan daya tarik aset
keuangan domestik. Bank Indonesia juga terus menempuh strategi operasi moneter
untuk menjaga kecukupan likuiditas baik di pasar Rupiah maupun pasar valas sehingga
dapat mendukung stabilitas moneter dan sistem keuangan.
Nilai tukar Rupiah dalam tren menguat sehingga mendukung stabilitas harga.
Rupiah pada Desember 2018 secara rerata menguat sebesar 1,16%, meskipun secara
point to point sedikit melemah sebesar 0,54%. Tren penguatan Rupiah berlanjut pada
Januari 2019. Penguatan Rupiah antara lain dipengaruhi aliran masuk modal asing
akibat perekonomian domestik yang kondusif dan imbal hasil domestik yang tetap
menarik, serta ketidakpastian pasar keuangan global yang sedikit mereda. Dengan
perkembangan yang cenderung menguat menjelang akhir tahun 2018, Rupiah secara
rerata keseluruhan tahun 2018 tercatat mengalami depresiasi sebesar 6,05%, atau secara
point to point sebesar 5,65% dibandingkan dengan level tahun sebelumnya.
Nilai tukar Rupiah menguat didukung kinerja Neraca Pembayaran Indonesia
yang membaik. Pada 18 Desember 2019, Rupiah menguat 0,93% (ptp) dibandingkan
dengan level November 2019 sehingga sejak awal tahun menguat 2,90% (ytd).
Penguatan Rupiah didukung oleh pasokan valas dari para eksportir dan aliran masuk
modal asing yang tetap berlanjut sejalan prospek ekonomi Indonesia yang tetap terjaga,
daya tarik pasar keuangan domestik yang tetap besar, serta ketidakpastian pasar
keuangan global yang mereda.
Inflasi tetap terkendali pada level yang rendah dan stabil. Inflasi IHK pada
November 2019 tercatat 0,14% (mtm) sehingga secara tahunan tercatat 3,00% (yoy),
menurun dibandingkan dengan level Oktober 2019 sebesar 3,13% (yoy). Meskipun
lebih tinggi dari bulan November 2019, inflasi IHK pada bulan Desember 2019
diperkirakan akan lebih rendah dari pola historisnya.
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 22-23 Januari 2020
memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar
5,00%, suku bunga Deposit Facility sebesar 4,25%, dan suku bunga Lending Facility
sebesar 5,75%. Kebijakan moneter tetap akomodatif dan konsisten dengan prakiraan
inflasi yang terkendali dalam kisaran sasaran, stabilitas eksternal yang terjaga, serta
upaya untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi domestik. Strategi operasi
moneter terus ditujukan untuk menjaga kecukupan likuiditas dan mendukung transmisi
bauran kebijakan yang akomodatif. Sementara itu, kebijakan makroprudensial yang
akomodatif
ditempuh untuk mendorong pembiayaan ekonomi sejalan dengan siklus finansial yang
di bawah optimal dengan tetap memerhatikan prinsip kehati-hatian. Kebijakan sistem
pembayaran dan kebijakan pendalaman pasar keuangan terus diperkuat guna
mendukung pertumbuhan ekonomi.
Nilai tukar Rupiah terjaga didukung langkah-langkah stabilisasi Bank Indonesia
dan berlanjutnya aliran masuk modal asing ke pasar keuangan domestik. Nilai tukar
Rupiah pada 16 Desember menguat 0,63% secara rerata, meskipun melemah terbatas
0,04% secara point to point dibandingkan dengan level November 2020. Perkembangan
nilai tukar Rupiah yang terjaga didorong peningkatan aliran masuk modal asing ke
pasar keuangan domestik seiring dengan menurunnya ketidakpastian pasar keuangan
global dan persepsi positif investor terhadap prospek perbaikan perekonomian
domestik. Dengan perkembangan ini, Rupiah sampai dengan 16 Desember 2020
mencatat depresiasi sekitar 1,72% (ytd) dibandingkan dengan level akhir 2019.
Inflasi tercatat rendah sejalan permintaan yang belum kuat dan pasokan yang
memadai. Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) pada November 2020 tercatat 0,28%
(mtm), sehingga secara tahunan inflasi mencapai 1,59% (yoy). Inflasi inti tetap rendah
sejalan dengan pengaruh permintaan domestik yang belum kuat, konsistensi kebijakan
Bank Indonesia dalam mengarahkan ekspektasi inflasi pada kisaran target, dan stabilitas
nilai tukar yang terjaga.
Ketahanan sistem keuangan tetap terjaga, meskipun risiko dari berlanjutnya
dampak covid-19 terhadap stabilitas sistem keuangan terus dicermati. Rasio kecukupan
modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) perbankan Oktober 2020 tetap tinggi yakni
23,70%, dan rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) tetap rendah yakni
3,15% (bruto) dan 1,03% (neto). Namun demikian, fungsi intermediasi dari sektor
keuangan masih lemah tercermin dari pertumbuhan kredit pada November 2020 yang
masih terkontraksi 1,39% (yoy), sedangkan DPK tumbuh 11,55% (yoy).
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 20-21 Januari 2021
memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar
3,75%, suku bunga Deposit Facility sebesar 3,00%, dan suku bunga Lending Facility
sebesar 4,50%. Keputusan ini konsisten dengan prakiraan inflasi yang tetap rendah dan
stabilitas eksternal yang terjaga, serta upaya untuk mendukung pemulihan ekonomi.
Ekonomi global tumbuh sesuai prakiraan pada 2021 dan berlanjut pada 2022,
meski masih dibayangi gangguan rantai pasok dan kenaikan kasus Covid-19.
Pertumbuhan ekonomi global diprakirakan akan berlangsung lebih seimbang, tidak
hanya bertumpu pada pemulihan ekonomi Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, namun
juga disertai dengan perbaikan ekonomi Eropa, Jepang, dan India. Perkembangan
tersebut didorong oleh akselerasi tingkat vaksinasi, stimulus kebijakan, dan pemulihan
kegiatan usaha secara bertahap. Berbagai indikator ekonomi pada November 2021,
antara lain Purchasing Managers’ Index (PMI), keyakinan konsumen, dan penjualan
ritel, menunjukkan pemulihan yang terus berlangsung, di tengah indikator waktu
transportasi (PMI Suppliers’ Delivery Times Index) barang global yang masih tertahan.
Dengan perkembangan tersebut, Bank Indonesia memprakirakan ekonomi dunia
tumbuh sesuai proyeksi sekitar 5,7% pada 2021 dan 4,4% pada 2022.
Proses pemulihan ekonomi domestik diprakirakan terus berlanjut dan akan
meningkat lebih tinggi pada 2022. Pertumbuhan ekonomi diprakirakan membaik pada
triwulan IV 2021 sejalan dengan meningkatnya mobilitas pasca langkah-langkah
penanganan yang ditempuh Pemerintah dalam pengendalian Covid-19 varian Delta.
Kinerja konsumsi swasta, investasi, serta konsumsi Pemerintah diprakirakan terus
meningkat, di tengah tetap terjaganya kinerja ekspor. Pertumbuhan ekonomi juga
didukung oleh kinerja Lapangan Usaha utama, antara lain Industri Pengolahan,
Perdagangan, dan Pertambangan yang diprakirakan tetap baik. Sejumlah indikator
hingga Desember 2021 menunjukkan proses pemulihan yang berlanjut, seperti
peningkatan
mobilitas masyarakat di berbagai daerah, kenaikan penjualan eceran, penguatan
keyakinan konsumen, serta ekspansi PMI Manufaktur.
Nilai tukar Rupiah terjaga didukung oleh ketahanan sektor eksternal Indonesia
dan langkah-langkah stabilisasi Bank Indonesia, di tengah ketidakpastian di pasar
keuangan global yang meningkat. Nilai tukar Rupiah pada 15 Desember 2021 melemah
terbatas 0,07% secara point to point dan 0,70% secara rerata dibandingkan dengan level
November 2021. Perkembangan nilai tukar Rupiah tersebut disebabkan oleh aliran
modal keluar dari negara berkembang di tengah terjaganya pasokan valas domestik dan
persepsi positif terhadap prospek perekonomian domestik. Dengan perkembangan ini,
Rupiah sampai dengan 15 Desember 2021 mencatat depresiasi sekitar 1,97% (ytd)
dibandingkan dengan level akhir 2020, lebih rendah dibandingkan depresiasi mata uang
sejumlah negara berkembang lainnya, seperti India (3,93%, ytd), Filipina (4,51%, ytd),
dan Malaysia (4,94%, ytd). Bank Indonesia terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai
tukar Rupiah sesuai dengan fundamentalnya dan bekerjanya mekanisme pasar, melalui
efektivitas operasi moneter dan ketersediaan likuiditas di pasar.
Inflasi tetap rendah dan mendukung stabilitas perekonomian. Indeks Harga
Konsumen (IHK) pada November 2021 tercatat inflasi 0,37% (mtm) sehingga inflasi
IHK sampai November 2021 mencapai 1,30% (ytd). Secara tahunan, inflasi IHK
tercatat 1,75% (yoy), meningkat dari inflasi Oktober 2021 sebesar 1,66% (yoy). Inflasi
inti tetap rendah sebesar 1,44% (yoy) di tengah permintaan domestik yang mulai
meningkat, didukung oleh pasokan yang terkendali, nilai tukar yang stabil, dan
ekspektasi inflasi yang terjaga. Inflasi kelompok volatile food melambat didukung
pasokan barang yang memadai.
https://journal.bappenas.go.id/index.php/jpp/article/download/114/8
https://www.bi.go.id
https://www.bi.go.id/id/fungsi-utama/moneter/bi-7day-rr/default.aspx