Anda di halaman 1dari 6

 INFLASI

Inflansi merupakan suatu keadaan perekonomian di suatu negara dimana terjadi


sebuah kecenderungan kenaikan harga – harga barang dan jasa secara umum
dalam kurun waktu yang panjang (kontinu).

Penyebab terjadinya inflansi yaitu naiknya permintaan dan biaya produksi untuk
jenis barang /jasa tertentu. Jika inflasi menunjukan kondisi indeks harga konsumen
yang secara terus menerus mengalami peningkatan, maka sudah dipastikan akan
terjadinya kenaikan harga bahan baku serta upah buruh pada setiap tahunnya yang
dapat membuat biaya produksi semakin membengkak.

Sebenarnya dampak yang dari inflasi bagi poembisnis juga dapat memberikan
keuntungan secara maksimal. Hal ini dikarenakan jumlah pendapatan yang lebih
tinggi jika dibandingkan dengan kenaikan pada biaya produksi. Selain itu inflasi ini
juga dapat meningkatkan perekonomian negara menjadi lebih baik. Tetapi jika inflasi
ini terus menerus meningkat lebih dari 30% atau bahkan menjadi 100%, maka
perekonomian bisnis dapat menjadi kacau.

Hal ini dapat menyebabkan rakyat kecil tidak dapat membeli bahan pangan,
apalagi bagi mereka yang hanya berstatus karyawan dengan jumlah pendapatan
bulanan tetap, tentu saja akan menyulitkan mereka untuk memenuhi kebutuhan
hidup. Sedangkan gaji yang mereka peroleh masih sama padahal keperluan yang
mereka perlukan semakin tinggi harganya.

Jika inflasi ini melebihin dari angka 100%, maka dapat dipastikan bahwa akan
menyebabkan terjadinya penurunan investasi saham, mendorong kenaikan suku
bunga, spekulasi penanaman modal, terhambatnya pertumbuhan ekonomi, defisit
neraca pembayaran, ketidakstabilan ekonomim, hingga dapat menurunkan
kesejahteraan masyarakat.
 DEFIASI

deflasi merupakan suatu keadaan perekonomian di suatu negra dimana


terjadi sebuah kecenderungan penurunan harga yang terus menerus terjadi dalam
satu priode.

penyebab terjadinya deflasi disebabkan oleh peraturan yang dikeluarkan oleh


Bank khusunya di Indonesia jika menjalankan program hemat anggaran tetapi malah
mengakibatkan terjadinya deflasi. Selain itu, dengan adanya pemerintah tidak
mengadakan pajak atas barang ataupun jasa juga dapat menyebabkan terjadinya
deflasi. Dengan adanya keterbatasan uang yang beredar di masyarakat
atau defisit rupiah juga dapat mengakibatkan penurunan jumlah permintaan
terhadap barang ataupun jasa.

Dengan adanya deflasi dapat menyebabkan para pembisnis berlomba –


lomba untuk menekan harga jual mereka demi menarik minat konsumen. Tetapi jika
kondisi ini terus menerus dibiarkan maka akan menyebabkan merosotnya
keuntungan bisnis yang diperoleh dan jika kondisi ini tidak ditangani maka akan
mengakibatkan banyaknya pembinsnis yang akan gulung tikar karena tidak adanya
biaya produksi setra tidak adanya gaji untuk membayar karyawan.

Tetapi dari dampak negatif yang dapat dirasakan oleh para pembisnis ada juga
dampak positif yang dapat dirasakan, jika kondisi deflasi ini tidak melebihi angka
10% pada tiap tahunnya, maka kondisi perekonomian negara dapat dikatakan
membaik. Hal ini dikarenakan, deflasi mampu menguatkan nilai tukar mata uang
pada suatu negara. Dengan begitu masyarakat dapat menyadari betapa pentingnya
menabung untuk memenuhi kebutuhan di masa depan sehingga tidak terlalu
khawatir saat manghadapi kondisi seperti ini.

Jika terjadinya inflasi dan deflasi dalam sistem perekonomian pada suatu
negara maka tidak boleh dianggap remeh. Bukan hanya perekonomian saja tetapi
keuangan negara juga berpengaruh secara langsung dalam kehidupan bisnis serta
kebutuhan masyarakat secara umum. Ada beberapa cara untuk mengatasi inflasi
dan deflasi yaitu:

1. Kebijakan moneter kontraktif, merupakan kebijakan moneter yang dapat


digunakan untuk mengurangi jumlah mata uang yang beredar dan dapat
mengatasi terjadinya inflasi.

2. Kebijakan moneter ekspansif, merupakan kebijakan yang diambil untuk


meningkatkan jumlah uang yang beredar. Tujuan dari kebijakan ini yaitu
untuk mengatasi penganggutan dan meningkatkan daya beli masyarakat.

3. Kebijakan fiskal kontraktif, bertujuan untuk mengurangi output


perekonomian.

4. Kebijakan fiskal ekspansif, bertujuan untuk meningkatkan output


perekonomian.

 STAGFLASI DAN STAGNASI

Istilah stagflasi pertama kali diperkenalkan oleh Iain MacLeod, Menteri Keuangan
Inggris pada 1965. Istilah ini untuk menggambarkan kondisi perekonomian Inggris yang
sedang berada pada kondisi tidak ideal. Stagflasi merujuk pada dua kondisi ekonomi ekstrem
yang terjadi secara bersamaan, yaitu stagnasi pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang
menggerus daya beli masyarakat. Kondisi stagflasi merupakan kondisi yang paling ditakuti
oleh seluruh pelaku ekonomi di seluruh negara.

Stagflasi merupakan perwujudan dari krisis ekonomi yang menghancurkan seluruh


sendi perekonomian dari dua sisi sekaligus, yaitu sisi penawaran dan permintaan. Oleh karena
itu, salah satu langkah realistis pemerintah ketika kondisi ekonomi mulai masuk ke dalam
pusaran krisis ekonomi adalah dengan menjaga agar roda dan aktivitas perekonomian tidak
terseret ke dalam kondisi stagflasi. Pandemi Covid-19 sepertinya sudah mulai memunculkan
potensi stagflasi, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Pandemi ini telah
menimbulkan guncangan ekonomi yang sangat luas dan berdampak pada seluruh sektor
ekonomi. Selain menggoncang sisi penawaran dan permintaan sekaligus, wabah ini juga ikut
mengguncang rantai pasok global, sehingga berdampak ke hampir seluruh lapangan usaha.
Pada awal 2020 pertumbuhan ekonomi nasional turun signifikan, padahal Indonesia baru
tercatat secara resmi terjangkiti virus Covid-19 pada awal Maret 2020.

Oleh karena itu, efek pandemi terhadap perekonomian Indonesia pada awal 2020
diyakini belum mencapai titik optimalnya. Namun, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada
triwulan I/2020 tercatat hanya 2,97% (year-on-year/ yoy), jauh dari target sebelumnya yaitu
4%-5%. Memasuki kuartal II/2020, Menteri Keuangan Sri Mulyani memperkirakan
pertumbuhan ekonomi Indonesia akan semakin terkontraksi menyentuh angka -3,8%. Bahkan
Badan Pusat Statistik memperkirakan kontraksi pertumbuhan pada kuartal II/2020 berada
pada tingkat yang lebih dalam, berkisar -4,8% sampai -7%. Di sisi lain, World Bank
memperkirakan sampai dengan akhir 2020 perekonomian Indonesia akan tumbuh -3,5%.
Besarnya koreksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada awal 2020 bisa menjadi pertanda
bahwa potensi stagflasi ekonomi kian nyata. Lingkaran episentrum guncangan ekonomi yang
diakibatkan pandemi Covid-19 diyakini semakin membesar.

Penutupan pusat-pusat produksi dan perbelanjaan yang sudah dimulai sejak


pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan New Normal sudah menciptakan
gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). Menurut catatan Kamar Dagang dan Industri
(Kadin) Indonesia, terdapat 6 juta tenaga kerja yang terkena PHK dan dirumahkan sebagai
dampak pandemi. Munculnya 6 juta pengangguran baru ini akan menekan daya beli
masyarakat secara agregat dan mendorong tingkat inflasi riil menjadi lebih tinggi. Di sisi lain,
penghentian aktivitas produksi untuk sektor-sektor non-primer akan semakin menekan
aktivitas produksi yang berimplikasi pada penurunan produk domestik bruto (PDB) dalam
skala nasional. Potensi menurunnya PDB ini akan semakin besar seiring dengan capital
outflow di sektor keuangan. Berdasarkan data settlement Bank Indonesia (BI) sepanjang 2020
(year-to-date/ytd), nonresiden di pasar keuangan domestik mencatatkan aksi jual neto sebesar
Rp162,18 triliun. Untuk menekan dampak negatif pandemi terhadap kondisi perekonomian
nasional, pemerintah telah membuat berbagai kebijakan, baik dari sisi moneter maupun
fiskal.

Dari sisi fiskal, ada beberapa paket insentif fiskal seperti relaksasi pajak dan bantuan
permodalan untuk UMKM yang bersumber dari APBN. Dari sisi moneter, pemerintah
bersama Bank Indonesia (BI) mengeluarkan kebijakan yang dapat menurunkan tingkat suku
bunga seperti subsidi suku bunga, penurunan suku bunga acuan, peningkatan peran BI, dan
relaksasi kredit. Namun sejauh ini kebijakan tersebut dinilai masih belum efektif dalam
meredam efek negatif pandemi. Oleh karena itu, pemerintah harus terbuka terhadap berbagai
masukan kebijakan dalam menekan efek negatif pandemi terhadap perekonomian, terutama
terhadap potensi munculnya stagflasi ekonomi. Stagnansi pertumbuhan ekonomi harus
didorong oleh kebijakan fiskal dan moneter yang ekspansioner.

Kebijakan yang memerlukan biaya yang sangat mahal tetapi diperlukan untuk
menahan efek negatif yang jauh lebih besar. Insentif untuk sektor-sektor primer harus
diperbesar dengan bantuan pembukaan akses pasar yang lebih masif, terutama untuk
kelompok UMKM. Di sisi lain, daya beli masyarakat harus tetap dijaga. Kebijakan moneter
harus dibuat seirama dengan kebijakan fiskal, sehingga keterkaitan antara sektor keuangan
dan sektor riil makin kuat. Pasar keuangan harus ‘diperdalam’ untuk meminimalisasi capital
outflow. Semua kebijakan moneter tersebut harus tetap berpegang pada asas kehati-hatian.

 RESESI

resesi atau kemerosotan adalah kondisi ketika produk domestik bruto (GDP)
menurun atau ketika pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama
dua kuartal atau lebih dalam satu tahun. Resesi dapat juga diartikan sebagai
penurunan aktivitas ekonomi yang signifikan, berlangsung selama berbulan-bulan
atau bertahun-tahun. Resesi dapat mengakibatkan penurunan secara simultan pada
seluruh aktivitas ekonomi seperti lapangan kerja, investasi, dan keuntungan
perusahaan.

Resesi sering diasosiasikan dengan turunnya harga-harga (deflasi), atau,


kebalikannya, meningkatnya harga-harga secara tajam (inflasi) dalam proses yang
dikenal sebagai stagflasi. Resesi ekonomi yang berlangsung lama disebut depresi
ekonomi, yaitu suatu keadaan terjadi penurunan aktivitas ekonomi yang parah dan
berkepanjangan. Penurunan drastis tingkat ekonomi (biasanya akibat depresi parah,
atau akibat hiperinflasi) disebut kebangkrutan ekonomi (economy collapse).

Anda mungkin juga menyukai