Anda di halaman 1dari 7

CNBC Indonesia Research

Resesi 2023: "Kebangkrutan Besar & Krisis


Finansial Berlarut"
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
MARKET 24 October 2022 07:45

1. Resesi 2023: "Kebangkrutan Besar & Krisis Finansial Berlarut"

Foto: Arie Pratama

Jakarta, CNBC Indonesia Isu resesi dunia berhembus semakin kencang


belakangan ini. Inflasi tinggi melanda berbagai negara membuat bank
sentralnya agresif menaikkan suku bunga.

Bank sentral Amerika Serikat (The Fed) misalnya, sepanjang tahun ini
kenaikannya sebesar 300 basis poin, menjadi 3% - 3,25% dan masih akan
terus berlanjut.

Pada November nanti, bank sentral paling powerful di dunia ini diperkirakan


akan menaikkan lagi sebesar 75 basis poin menjadi 3,75% - 4%. Tidak
cukup sampai di situ, kenaikan masih akan terus dilakukan hingga awal
tahun depan.

Berdasarkan data dari perangkat FedWatch milik CME Group, pasar


melihat suku bunga The Fed berada di level 4,75% - 5% pada Februari
2023.
Foto: CME Group

Langkah agresif tersebut dilakukan guna menurunkan inflasi yang saat ini masih berada
di dekat level tertinggi dalam 40 tahun terakhir.

Jika inflasi tidak juga turun, maka stagflasi yang akan terjadi, dan ini lebih buruk
ketimbang resesi.

Tidak seperti resesi yang sering terjadi, stagflasi cukup langka. Istilah stagflasi pertama
kali muncul pada 1970an di Amerika Serikat (AS), dan belum lagi pernah terjadi.

Stagflasi merupakan periode pelambatan atau stagnannya perekonomian disertai


dengan inflasi yang tinggi. Sementara resesi merupakan kontraksi pertumbuhan
ekonomi setidaknya dalam dua kuartal beruntun.

Efek keduanya sama-sama buruk bagi perekonomian maupun masyarakat, tetapi


stagflasi bisa lebih parah.

Ketika inflasi tinggi dan produk domestik bruto (PDB) melambat atau stagnan, maka
perlahan-lahan kondisi ekonomi akan semakin memburuk atau 'mati pelan-pelan'.

Saat kondisi perekonomian memburuk, pemutusan hubungan kerja (PHK) akan terjadi
secara masif, dan tingkat pengangguran akan meroket. Inflasi dan tingkat
pengangguran yang tinggi bisa menjadi ciri khas dari stagflasi. Sebab, keduanya
biasanya berkebalikan.

Ekonom Nouriel Roubini, atau yang dikenal dengan Dr. Doom, ketika sukses
memprediksi krisis finansial 2008, kini memproyeksikan resesi akan menghantam
Amerika Serikat di akhir 2022 sebelum menyebar secara global tahun depan.

"Ini tidak akan menjadi resesi yang singkat dan dangkal, ini akan menjadi resesi yang
parah, panjang dan buruk," kata Roubini, sebagaimana dilansir Fortune, Rabu
(21/9/2022).

Ia melihat kondisi ekonomi saat ini mirip dengan 2007/2008, dilihat dari tingginya utang
negara dan korporasi. Menurut Roubini angka rasio jumlah utang swasta dan publik
terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) global yang telah melonjak dari 200% pada
1999 menjadi 350% tahun ini.

Artinya ada risiko resesi yang terjadi gabungan antara 1970an dan 2008, dan ini bisa
sangat mengerikan.

Dalam artikel Majalah Time yang terbit Kamis (13/10/2022), Dr. Doom mengatakan
dunia akan menuju "kebangkrutan besar-besaran dan krisis finansial yang berlarut-
larut".

2. Deretan Negara Yang Terancam Bangkrut

Foto: AP/Eranga Jayawardena

Reuters pada Juli lalu merangkum beberapa negara yang sudah bangkrut dan memiliki
risiko kebangkrutan dan krisis yang besar.

Lebanon sudah resmi mengalami kebangkrutan. September lalu dikabarkan sudah


setuju melakukan 10 poin reformasi guna mendapat bantuan dari Dana Moneter
International (IMF) senilai US$ 3 miliar.

Sri Lanka juga sedang bernegosiasi dengan IMF mengenai dana bailout senilia US$
2,9 miliar, yang diperkirakan akan cari Desember mendatang. Sri Lanka juga sudah
resmi mengalami kebangkrutan

Argentina kembali menjadi pasien IMF awal tahun ini, untuk menggantikan program
yang gagal pada 2018. IMF menyetujui review kedua dari program fasilitas pembiayaan
tambahan senilai US$44 miliar, tanpa meminta syarat pencairan apapun.
IMF juga sudah menyetujui pencairan senilai US$3.8 miliar, sehingga menambah total
pinjaman sekitar US$17.5 miliar dari plafon.
Tunisia mengalami krisis finansial terburuk akibat pandemi Covid-19 kemudian perang
Rusia-Ukraina. Fitch Rating memprediksi Tunisia akan mengalami defisit transaksi
berjalan hingga 8,4% dari produk domestik bruto (PDB) di tahun ini, lebih tinggi dari
2021 sebesar 6,3%.
Tunisia juga sedang bernegosiasi dengan IMF untuk mendapatkan pinjaman senilai
US$ 2 miliar - US$ 4 miliar untuk menghindari kebangkrutan.

"Besarnya pinjaman masih dalam negosiasi dan saya rasa di kisaran US$ 2 miliar
sampai US$ 4 miliar, kami berharap akan mencapai kesepakatan dalam beberapa
pekan ke depan," kata gubernur bank sentral Tunisia, Marouane Abassi kepada
Reuters pertengahan September lalu.

Ghana memiliki rasio utang terhadap PDB yang sangat tinggi, sekitar 85%. Hal ini
diperburuk dengan jeblonya nilai tukar mata uang cedi sebesar 41% sepanjang tahun
ini, dan inflasi pun meroket hingga 33,9% year-on-year (yoy) pada Agustus lalu.
Pemerintah Ghana pun saat ini tengah berunding dengan IMF agar mendapat paket
batuan untuk men-support perekonomian.

Mesir dilanda capital  outflow yang hingga US$ 20 miliar di tahun ini, berdasarkan


estimasi JPMorgan. Rasio utang juga mencapai 95% dari PDB, FIM Partners
memperkirakan Mesir harus membayar utang dalam bentuk hard currency senilai US$
100 miliar dalam 5 tahun ke depan, termasuk US$ 3,3 miiliar dalam bentuk obligasi di
2024.
Pada Maret lalu, Mesir sudah mengajukan pinjaman baru, tetapi pada Juli lalu IMF
mengatakan negara tersebut perlu membuat "kemajuan yang menentukan" dalam
reformasi fiskal dan struktural.

Goldman Sachs memperkirakan Mesir perlu mendapat paket pinjaman senilai US$ 15
miliar dalam 3 tahun ke depan untuk pendanaan negara, tetapi pemerintahnya
dilaporkan mengajukan angka yang lebih kecil.

Kenya harus membayar bunga pinjaman senilai 30% dari total pendapatannya.


Kemudian nilai obligasinya anjlok hingga lebih dari 50%, dan jatuh tempo senilia US$ 2
miliar di 2024.
Rasio utang Kenya mencapai 70% dari PDB, dan juga mengajukan pinjaman lagi
kepada IMF. Pada Juli lalu IMF sudah mencairkan pinjaman senilai US$ 235.6 juta.

Selain negara-negara tersebut, dalam masih ada Etiopia, El Savador, Pakistan,


Belarusia, Nigeria hingga Ukraina yang masuk dalam rangkuman Reuters yang berada
dalam risiko kebangkrutan.

3. Indonesia Juga Bisa Terseret


Foto: Peresmian Pembukaan Trade Expo Indonesia Ke-37 Tahun 2022,
Kabupaten Tangerang, 19 Okt 2022

Indonesia menjadi salah satu dari sedikit negara yang diperkirakan akan kuat
menghadapi resesi global. Meski demikian, bukan berarti situasinya akan aman-aman
saja. Risiko pelambatan ekonomi sudah pasti sangat tinggi.

IMF mempertahankan proyeksi ekonomi Indonesia untuk tahun ini sebesar 5,3%.

Namun, lembaga moneter internasional ini ternyata kembali memangkas proyeksi


pertumbuhan ekonomi dari 5,2% menjadi 5% pada 2023.

Pelambatan tersebut bisa lebih dalam lagi. Perekonomian Indonesia saat ini masih
diuntungkan dengan tingginya harga komoditas seperti batu bara, minyak sawit mentah,
nikel dan lain-lain.

Neraca perdagangan Indonesia pun sukses mencatat surplus dalam 29 bulan beruntun.

Senin (17/10/2022) lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan neraca perdagangan
Indonesia kembali mencatat surplus Sepember lalu. surplus pada September tercatat sebesar
US$ 4,99 miliar.
Meksi demikian, jika resesi terjadi maka harga komoditas berisiko menurun, 'durian
runtuh' yang di dapan Indonesia akan berakhir.

Belum lagi jika melihat terpuruknya nilai tukar rupiah yang berisoko mengerek inflasi.
Rupiah sepanjang tahun ini merosot lebih dari 9% melawan dolar AS, mengakhiri
perdagangan Jumat (21/10/2022) di Rp 14.630/US$.

Dengan jebloknya rupiah, anggaran belanja pemerintah, tentunya akan mengalami


pembengkakan. Untuk diketahui, asumsi makro rupiah di tahun ini di Rp 14.300/US$ -
Rp 14.700/US$.
Posisi rupiah saat ini sudah cukup jauh dari asumsi makro tersebut, yang artinya
belanja negara, khususnya subsidi energi berisiko membengkak. Hal ini bisa berlanjut
di 2023, sebab asumsi makro rupiah berada di Rp 14.800/US$.

Di sektor riil misalnya, beberapa harga barang akan mengalami kenaikan. Tempe dan
tahu, makan yang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia terancam mengalami
kenaikan. Sebab, bahan baku keduanya, yakni kedelai merupakan salah satu
komoditas impor.

Ketika rupiah terpuruk, maka harga kedelai impor tentunya akan naik, dan bisa
diteruskan ke harga tempe tahu.

Selain itu, harga bahan bakar minyak (BBM) khususnya non-subsidi juga bisa kembali
mengalami kenaikan. Maklum saja, sebagai net importir minyak mentah, pelemahan
rupiah tentunya akan berdampak pada membengkaknya beban impor.

Apalagi jika harga minyak mentah terus menanjak, maka harga BBM non-subsidi bisa
naik lagi.

Kenaikan harga artinya inflasi. Dengan inflasi yang semakin tinggi, maka Bank
Indonesia (BI) bertindak dengan mengerek suku bunga. Kemarin Gubernur BI, Perry
Warjiyo dan kolega kembali menaikkan suku bunga 50 basis poin menjadi 4,75%.

Untuk kali pertama dalam sejarah, BI menaikkan suku bunga 50 basis poin dalma 2
bulan beruntun. Total BI sudah 3 kali menaikkan suku bunga sebesar 125 basis poin.

Jika inflasi masih terus menanjak, akibat nilai tukar yang terus melemah, maka BI
kemungkinan akan masih melanjutkan periode kenaikan suku bunga. Pertumbuhan
ekonomi Indonesia pun terancam mengalami pelambatan.

Sebab, suku bunga kredit perbankan akan mengalami kenaikan juga, dan ini bisa
menghambat ekspansi dunia usaha hingga konsumsi rumah tangga.

Sebelum BI menaikkan suku bunga acuannya pada Agustus, suku bunga kredit
perbankan sudah mengalami kenaikan.

Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan rata-rata suku bunga dasar kredit
KPR sudah naik 4 bps menjadi 8,61% pada Agustus, dari 8,57% pada Juli.
Foto: OJK

Rata-rata suku bunga dasar kredit mikro naik 5 bps menjadi 10,51% pada Agustus.
Rata-rata suku bunga dasar kredit korporasi meningkat 4 bps menjadi 7,94% pada
Agustus.

Pertumbuhan kredit pun sudah mulai mengalami pelambatan di kuartal III-2022. Hal ini
dibuktikan dari Hasil Survei Perbankan Bank Indonesia, di mana nilai Saldo Bersih
Tertimbang (SBT) kredit baru pada kuartal lalu sebesar 88,1%, turun dari 96,9% di
kuartal II-2022.

Berdasarkan survei tersebut, pelambatan pertumbuhan terjadi di semua jenis kredit,


modal kerja, investasi dan konsumsi.

Jika rupiah terus melemah, inflasi kembali menanjak, BI tentunya akan kembali
menaikkan suku bunga. Pertumbuhan kredit berisiko makin melambat yang akan
berdampak pada penurunan pertumbuhan ekonomi.

KELOMPOK 6 (ARTIKEL)

1. Ade Putra
2. Moh. Yusril
3. Syabila Nisa A.

Anda mungkin juga menyukai