Bank sentral Amerika Serikat (The Fed) misalnya, sepanjang tahun ini
kenaikannya sebesar 300 basis poin, menjadi 3% - 3,25% dan masih akan
terus berlanjut.
Langkah agresif tersebut dilakukan guna menurunkan inflasi yang saat ini masih berada
di dekat level tertinggi dalam 40 tahun terakhir.
Jika inflasi tidak juga turun, maka stagflasi yang akan terjadi, dan ini lebih buruk
ketimbang resesi.
Tidak seperti resesi yang sering terjadi, stagflasi cukup langka. Istilah stagflasi pertama
kali muncul pada 1970an di Amerika Serikat (AS), dan belum lagi pernah terjadi.
Ketika inflasi tinggi dan produk domestik bruto (PDB) melambat atau stagnan, maka
perlahan-lahan kondisi ekonomi akan semakin memburuk atau 'mati pelan-pelan'.
Saat kondisi perekonomian memburuk, pemutusan hubungan kerja (PHK) akan terjadi
secara masif, dan tingkat pengangguran akan meroket. Inflasi dan tingkat
pengangguran yang tinggi bisa menjadi ciri khas dari stagflasi. Sebab, keduanya
biasanya berkebalikan.
Ekonom Nouriel Roubini, atau yang dikenal dengan Dr. Doom, ketika sukses
memprediksi krisis finansial 2008, kini memproyeksikan resesi akan menghantam
Amerika Serikat di akhir 2022 sebelum menyebar secara global tahun depan.
"Ini tidak akan menjadi resesi yang singkat dan dangkal, ini akan menjadi resesi yang
parah, panjang dan buruk," kata Roubini, sebagaimana dilansir Fortune, Rabu
(21/9/2022).
Ia melihat kondisi ekonomi saat ini mirip dengan 2007/2008, dilihat dari tingginya utang
negara dan korporasi. Menurut Roubini angka rasio jumlah utang swasta dan publik
terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) global yang telah melonjak dari 200% pada
1999 menjadi 350% tahun ini.
Artinya ada risiko resesi yang terjadi gabungan antara 1970an dan 2008, dan ini bisa
sangat mengerikan.
Dalam artikel Majalah Time yang terbit Kamis (13/10/2022), Dr. Doom mengatakan
dunia akan menuju "kebangkrutan besar-besaran dan krisis finansial yang berlarut-
larut".
Reuters pada Juli lalu merangkum beberapa negara yang sudah bangkrut dan memiliki
risiko kebangkrutan dan krisis yang besar.
Sri Lanka juga sedang bernegosiasi dengan IMF mengenai dana bailout senilia US$
2,9 miliar, yang diperkirakan akan cari Desember mendatang. Sri Lanka juga sudah
resmi mengalami kebangkrutan
Argentina kembali menjadi pasien IMF awal tahun ini, untuk menggantikan program
yang gagal pada 2018. IMF menyetujui review kedua dari program fasilitas pembiayaan
tambahan senilai US$44 miliar, tanpa meminta syarat pencairan apapun.
IMF juga sudah menyetujui pencairan senilai US$3.8 miliar, sehingga menambah total
pinjaman sekitar US$17.5 miliar dari plafon.
Tunisia mengalami krisis finansial terburuk akibat pandemi Covid-19 kemudian perang
Rusia-Ukraina. Fitch Rating memprediksi Tunisia akan mengalami defisit transaksi
berjalan hingga 8,4% dari produk domestik bruto (PDB) di tahun ini, lebih tinggi dari
2021 sebesar 6,3%.
Tunisia juga sedang bernegosiasi dengan IMF untuk mendapatkan pinjaman senilai
US$ 2 miliar - US$ 4 miliar untuk menghindari kebangkrutan.
"Besarnya pinjaman masih dalam negosiasi dan saya rasa di kisaran US$ 2 miliar
sampai US$ 4 miliar, kami berharap akan mencapai kesepakatan dalam beberapa
pekan ke depan," kata gubernur bank sentral Tunisia, Marouane Abassi kepada
Reuters pertengahan September lalu.
Ghana memiliki rasio utang terhadap PDB yang sangat tinggi, sekitar 85%. Hal ini
diperburuk dengan jeblonya nilai tukar mata uang cedi sebesar 41% sepanjang tahun
ini, dan inflasi pun meroket hingga 33,9% year-on-year (yoy) pada Agustus lalu.
Pemerintah Ghana pun saat ini tengah berunding dengan IMF agar mendapat paket
batuan untuk men-support perekonomian.
Goldman Sachs memperkirakan Mesir perlu mendapat paket pinjaman senilai US$ 15
miliar dalam 3 tahun ke depan untuk pendanaan negara, tetapi pemerintahnya
dilaporkan mengajukan angka yang lebih kecil.
Indonesia menjadi salah satu dari sedikit negara yang diperkirakan akan kuat
menghadapi resesi global. Meski demikian, bukan berarti situasinya akan aman-aman
saja. Risiko pelambatan ekonomi sudah pasti sangat tinggi.
IMF mempertahankan proyeksi ekonomi Indonesia untuk tahun ini sebesar 5,3%.
Pelambatan tersebut bisa lebih dalam lagi. Perekonomian Indonesia saat ini masih
diuntungkan dengan tingginya harga komoditas seperti batu bara, minyak sawit mentah,
nikel dan lain-lain.
Neraca perdagangan Indonesia pun sukses mencatat surplus dalam 29 bulan beruntun.
Senin (17/10/2022) lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan neraca perdagangan
Indonesia kembali mencatat surplus Sepember lalu. surplus pada September tercatat sebesar
US$ 4,99 miliar.
Meksi demikian, jika resesi terjadi maka harga komoditas berisiko menurun, 'durian
runtuh' yang di dapan Indonesia akan berakhir.
Belum lagi jika melihat terpuruknya nilai tukar rupiah yang berisoko mengerek inflasi.
Rupiah sepanjang tahun ini merosot lebih dari 9% melawan dolar AS, mengakhiri
perdagangan Jumat (21/10/2022) di Rp 14.630/US$.
Di sektor riil misalnya, beberapa harga barang akan mengalami kenaikan. Tempe dan
tahu, makan yang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia terancam mengalami
kenaikan. Sebab, bahan baku keduanya, yakni kedelai merupakan salah satu
komoditas impor.
Ketika rupiah terpuruk, maka harga kedelai impor tentunya akan naik, dan bisa
diteruskan ke harga tempe tahu.
Selain itu, harga bahan bakar minyak (BBM) khususnya non-subsidi juga bisa kembali
mengalami kenaikan. Maklum saja, sebagai net importir minyak mentah, pelemahan
rupiah tentunya akan berdampak pada membengkaknya beban impor.
Apalagi jika harga minyak mentah terus menanjak, maka harga BBM non-subsidi bisa
naik lagi.
Kenaikan harga artinya inflasi. Dengan inflasi yang semakin tinggi, maka Bank
Indonesia (BI) bertindak dengan mengerek suku bunga. Kemarin Gubernur BI, Perry
Warjiyo dan kolega kembali menaikkan suku bunga 50 basis poin menjadi 4,75%.
Untuk kali pertama dalam sejarah, BI menaikkan suku bunga 50 basis poin dalma 2
bulan beruntun. Total BI sudah 3 kali menaikkan suku bunga sebesar 125 basis poin.
Jika inflasi masih terus menanjak, akibat nilai tukar yang terus melemah, maka BI
kemungkinan akan masih melanjutkan periode kenaikan suku bunga. Pertumbuhan
ekonomi Indonesia pun terancam mengalami pelambatan.
Sebab, suku bunga kredit perbankan akan mengalami kenaikan juga, dan ini bisa
menghambat ekspansi dunia usaha hingga konsumsi rumah tangga.
Sebelum BI menaikkan suku bunga acuannya pada Agustus, suku bunga kredit
perbankan sudah mengalami kenaikan.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan rata-rata suku bunga dasar kredit
KPR sudah naik 4 bps menjadi 8,61% pada Agustus, dari 8,57% pada Juli.
Foto: OJK
Rata-rata suku bunga dasar kredit mikro naik 5 bps menjadi 10,51% pada Agustus.
Rata-rata suku bunga dasar kredit korporasi meningkat 4 bps menjadi 7,94% pada
Agustus.
Pertumbuhan kredit pun sudah mulai mengalami pelambatan di kuartal III-2022. Hal ini
dibuktikan dari Hasil Survei Perbankan Bank Indonesia, di mana nilai Saldo Bersih
Tertimbang (SBT) kredit baru pada kuartal lalu sebesar 88,1%, turun dari 96,9% di
kuartal II-2022.
Jika rupiah terus melemah, inflasi kembali menanjak, BI tentunya akan kembali
menaikkan suku bunga. Pertumbuhan kredit berisiko makin melambat yang akan
berdampak pada penurunan pertumbuhan ekonomi.
KELOMPOK 6 (ARTIKEL)
1. Ade Putra
2. Moh. Yusril
3. Syabila Nisa A.