NIM : 210502089
Alamat website :
https://www.google.com/amp/s/www.cnbcindonesia.com/opini/20221231135619-14-
401724/mengupas-kebijakan-moneter-ketat/amp
Kebijakan moneter
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) tanggal 22 Desember 2022 kembali mengambil
kebijakan moneter yang searah dengan kebanyakan Bank Sentral di dunia saat ini. Suku bunga acuan BI
7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) diputuskan naik 25 bps menjadi 5,50%. Data statistik menunjukkan
sejak lima bulan terakhir, BI telah memompa suku bunga acuannya dari 3,5% menjadi 5,5%.
Kecepatan kenaikan suku bunga acuan tersebut terbilang fantastis dan menjadi rekor kenaikan suku
bunga paling agresif yang diambil BI dalam rentang 17 tahun terakhir. Kita pernah mengalami masa suku
bunga acuan tinggi di kisaran 12 persenan (2005-2006), yang kemudian perlahan turun hingga mencapai
suku bunga acuan terendah dalam sejarah moneter Indonesia, yaitu 3,5% (awal tahun 2021 hingga
pertengahan tahun 2022). Sekarang, suku bunga acuan kembali merangkak naik di tengah
Apakah kebijakan moneter ketat tersebut hanya dilakukan Indonesia? Jawabannya tentu tidak. Sebagai
pembanding, misalnya, paska meletusnya perang Rusia-Ukraina, Bank Sentral Amerika (The Fed)
perlahan mulai mengetatkan moneternya. Kurang dari satu tahun terakhir ini, The Fed telah menaikkan
suku bunga acuannya (Fed Funds Rate) hingga 425 bps (menjadi 4,25% - 4,5%). Ini juga merupakan rekor
kenaikan paling agresif yang diambil The Fed dalam rentang 15 tahun terakhir. Meskipun makin
melandai, The Fed diprediksi akan tetap manaikkan Fed Funds Rate hingga di atas 5% pada tahun 2023.
Mengapa Bank Sentral di dunia saat ini ramai-ramai menaikkan suku bunga? Ada apa dengan ekonomi
dunia dan Indonesia? Konsekuansi apa yang akan dituai pasca pengetatan moneter tersebut?
Bagaimana tantangannya di tahun 2023? Beberapa pertanyaan tersebut sering penulis jumpai dalam
forum diskusi. Artikel ini membahas beberapa isu fundamental tersebut melalui kacamata moneter dan
Moneter Ketat
Kebijakan moneter diartikan sebagai kebijakan Bank Sentral untuk mengendalikan kondisi
perekonomian suatu negara dengan cara memengaruhi penawaran uang dan suku bunga. Kebijakan
moneter dapat bersifat ekspansif (kebijakan uang longgar/easy money policy) dan kontraktif (kebijakan
Kebijakan Ekspansif (moneter longgar) dilakukan dengan menambah jumlah uang beredar pada kondisi
negara yang sedang resesi atau depresi. Sementara itu, kebijakan Kontraktif (moneter ketat) dilakukan
untuk mengurangi jumlah uang beredar pada kondisi negara yang sedang mengalami inflasi dengan cara
meningkatkan suku bunga, menaikkan cadangan kas, menjual surat berharga, dan memperketat syarat
kredit.
Kebijakan moneter ketat diharapkan mampu menekan laju inflasi, akan tetapi, inflasi saat ini agak
berbeda karena sebagian besar dipicu oleh masalah geoekonomi dan geopolitik global. Ketimpangan
rantai pasok global yang mengakibatkan keterbatasan bahan baku, krisis pangan, dan krisis energi paska
Pandemi Covid-19, meletusnya perang Rusia-Ukraina, ketegangan Rusia dan NATO, serta kebijakan zero-
covid di China semakin memperburuk perekonomian global dan mendorong laju inflasi di banyak
negara.
Kompleksitas permasalahan inflasi tersebut menambah rumitnya penerapan kebijakan moneter ketat di
berbagai negara. Hal ini dikarenakan banyak negara di dunia saat ini sedang menghadapi tekanan
Tentunya "pengetatan moneter" di tengah potensi perlunya "pelonggaran moneter" adalah pilihan yang
amat sangat sulit bagi sebagian negara di dunia karena jika tidak dikelola dengan hati-hati akan berakhir
dengan resesi.
Konsekuensi
Pengetatan moneter digunakan sebagai salah satu kebijakan untuk menekan laju inflasi yang tinggi atau
di luar batas toleransi inflasi yang ditetapkan Bank Sentral suatu negara. Inflasi merupakan kenaikan
harga barang dan jasa secara umum dan menyeluruh, bahkan terus-menerus dalam jangka waktu yang
relatif lama. Seperti yang kita ketahui, inflasi di dunia saat ini sedang tinggi-tingginya.
Akibatnya, daya beli dan nilai mata uang domestik merosot sehingga kemampuan masyarakat untuk
mencukupi kebutuhan hidupnya menjadi semakin sulit. Kondisi ini akan memperburuk tingkat
Singkatnya, penurunan daya beli menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi industri tidak/kurang
laku, akibatnya industri akan menurunkan produksi dan memangkas beban operasional dengan
mengurangi jumlah karyawan. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akan meningkat, yang artinya
Naiknya pengangguran akan menyulitkan sebagian masyarakat untuk mencukupi kebutuhan hidup
karena mereka yang terkena PHK tidak lagi memiliki penghasilan. Sementara itu, jumlah lapangan kerja
kian menciut pada saat resesi, yang artinya semakin sulit bagi angkatan kerja untuk mendapatkan
pekerjaan.
Secara teori, untuk menghadapi peningkatan laju inflasi, kebijakan suku bunga tinggi dapat diterapkan.
Namun, kenyataan yang dihadapi saat ini tidak sesederhana itu mengingat berbagai kompleksitas
pemicu inflasi. Peningkatan suku bunga di tengah ekonomi yang sedang tertekan akan semakin
Hal ini menyebabkan pemulihan ekonomi akan semakin sulit, dan potensi kontraksi (penurunan)
ekonomi dalam periode waktu yang relatif lama (resesi) akan terjadi. Dengan demikian, sulit bagi banyak
negara di dunia, terutama di Amerika dan Eropa untuk menghindari resesi ekonomi di tahun 2023.
Kelesuan ekonomi, PHK di beberapa sektor industri, dan ketatnya persaingan di pasar tenaga kerja
Data makro Indonesia saat ini memang masih relatif baik. Beberapa indikator seperti Pertumbuhan
Ekonomi pada kuartal tiga 2022 (YoY) berada pada kisaran 5,7%. Sementara itu, inflasi bulan November
(YoY) juga masih di bawah 6 persen, tepatnya 5,42%. Data kinerja ekspor, surplus transaksi berjalan dan
surplus Neraca Pembayaran Indonesia pada kuartal tiga 2022 (YoY) menambah deretan informasi positif.
Cadangan devisa pada bulan November 2022 juga menunjukkan angka yang cukup stabil, berada pada
kisaran USD 134 miliar (ekuivalen untuk pembiayaan impor selama 5,9 bulan). Beberapa indikator makro
tersebut menunjukkan fundamental makro ekonomi Indonesia masih relatif stabil hingga kuartal tiga
2022.
Bagaimana tantangan peningkatan laju inflasi Indonesia? Dari sisi eksternal, inflasi barang impor
(imported inflation) akibat tekanan geopolitik dan geoekonomi menjadi salah satu pemicu laju inflasi
kita. Dalam konteks ini, masalah energi dan ketimpangan rantai pasok global memiliki andil yang besar.
Dari sisi internal, liburan akhir tahun, hari raya Natal, hingga peningkatan konsumsi masyarakat pada
bulan puasa dan lebaran Idul Fitri di kuartal pertama 2023 menjadi tantangan tersendiri. Peningkatan
harga diyakini akan terus terjadi hingga periode tersebut. Tantangan berikutnya, Indonesia tak lama lagi
memasuki tahun politik 2024 yang gemuruhnya akan mulai terasa di tahun 2023.
Keputusan RDG BI dengan menaikkan suku bunga acuan ke angka 5,5% diyakini telah
Dengan mengendalikan uang beredar melalui peningkatan suku bunga, stabilitas nilai tukar IDR
diharapkan mampu terjaga sehingga inflasi barang impor lebih terkendali. Namun harus diakui, efek
rambatan dari apresiasi USD di hampir semua mata uang dunia saat ini akibat ketatnya kebijakan
moneter The Fed menjadi tantangan besar. Keuangan dunia sedang menghadapi tekanan volatilitas
yang tinggi.
Respon Kebijakan
Dari sisi moneter, berbagai tekanan global tersebut direspon BI dengan mengembangkan sejumlah
bauran kebijakan untuk menjaga stabilitas (pro-stability) dan mendorong pertumbuhan (pro-growth).
Tujuannya jelas, mempercepat pemulihan ekonomi. Intervensi moneter di pasar valas melalui transaksi
spot, domestic non deliverable forward (DNDF), dan jual beli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar
sekunder menjadi upaya konkrit yang tampaknya ditujukan untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah
Tantangan perlambatan ekonomi dunia tahun 2023 disikapi dengan mengembangkan sejumlah
kebijakan yang akomodatif. Beberapa potensi yang terus dioptimalkan seperti memaksimalkan Devisa
Hasil Ekspor (DHE) Sumberdaya Alam untuk mendukung stabilitas nilai tukar Rupiah, penguatan
kebijakan Makroprudensial yang inklusif dan berkelanjutan untuk kredit perbankan melalui insentif giro
wajib minimum (GWM), khususnya pembiayaan pada sektor-sektor yang belum pulih paska Pandemi
Covid-19.
Selain itu, dari sisi sistem pembayaran, kebijakan untuk memperpanjang pemberlakuan Merchant
Discount Rate (MDR) QRIS pada Usaha Mikro sebesar 0% hingga 30 Juni 2023 tampaknya akan
Ekonomi global diprediksi Bank Dunia akan turun dari 3,0% (tahun 2022) menjadi 2,6% di tahun 2023.
Namun, dengan fundamental makro yang relatif stabil hingga kuartal tiga 2022 dan pertumbuhan
ekonomi domestik yang baik, cukup optimis bagi kita bahwa pengetatan moneter saat ini, yang
didukung bauran kebijakan yang pro-stability dan pro-growth berpotensi kecil membawa Indonesia ke
jurang resesi. Dampak pengetatan moneter di Indonesia kemungkinan akan sedikit berbeda dengan
Akan tetapi, satu hal yang perlu digarisbawahi yaitu perlambatan ekonomi Indonesia tahun 2023 akan
cukup terasa, apalagi saat ini China sedang mengalami masalah ekonomi paska kebijakan zero-covid
dengan terus mengunci (lockdown) pusat-pusat perekonomian yang penduduknya terdeteksi Covid-19.
Perlambatan ekonomi China berkontribusi pada perlambatan ekonomi dunia, termasuk Indonesia
karena China merupakan salah satu pasar sasaran ekspor komoditas kita.
Terakhir, Inflasi global yang sedikit melandai akhir-akhir ini bukanlah cerminan utuh dari pemulihan
ekonomi global, melainkan dipengaruhi oleh pengetatan moneter yang dilakukan banyak Bank Sentral di
dunia. Potensi guncangan ekonomi domestik sangat terbuka di tahun 2023. Sinergi Moneter-Fiskal
dengan sejumlah otoritas terkait sangat diperlukan. Sejumlah kebijakan akomodatif di bidang moneter
menunjukkan bahwa Indonesia menyadari dan memahami berbagai konsekuensi ke depan, sehingga
terus mengantisipasinya dengan kebijakan yang pro-stability dan pro-growth. Kita berharap ekonomi
Indonesia mampu tumbuh di atas rata-rata ekonomi dunia pada tahun 2023. Moneter yang ketat
memang berpotensi membuat ekonomi melambat, namun setidaknya jangan sampai tersumbat.