Anda di halaman 1dari 16

TAKHRIJ HADITS

Penulis (Author)

Abstrak
Ilmu takhrij merupakan bagian dari ilmu agama yang harus mendapat perhatian serius
karena didalamnya dibicarakan berbagai kaidah untuk mengetahui sumber hadits itu
berasal.1 Di samping itu, di dalamnya di temukan banyak kegunaan dan hasil yang
diperoleh, khususnya dalam menentukan kualitas sanad hadis. Takhrij hadis adalah
suatu usaha mencari sanad hadis yang terdapat dalam sebuah kitab hadis karya orang
lain menyimpang daripada sanad hadis yang terdapat dalam kitab hadis karya orang lain
tersebut. Umpamanya seseorang mengambil sebuah hadis dari kitab ṣhaḥīḥ bukhārī,
kemudian ia berusaha mencari sanad hadis tersebut yang tidak sama dengan sanad yang
telah ditetapkan oleh bukhārī dalam ṣhaḥīḥnya. Namun sanad yang berbeda itu akhirnya
dapat bertemu dengan sanad bukhārī yang akhir.2 Makalah ini akan mengulas mengenai
pembahasan Takhrij hadis secara rinci dengan metode kualitatif yang dimana
sumbernya berasal dari referensi yang dapat diakui kevalid-annya. Tujuan dari
penulisan ini adalah dimana pembaca dapat menjelaskan secara rinci dan detail
mengenai substansi Takhrij hadis.
Kata Kunci : ilmu takhrij, tahrij hadist, tujuan.
Abstract
The science of takhrij is part of the science of religion that must receive serious
attention because it discusses various rules to find out the source of the hadith. In
addition, in it found many uses and results obtained, especially in determining the
quality of hadith sanad. Takhrij hadith is an attempt to find the hadith sanad contained
in a hadith book by someone else deviating from the hadith sanad contained in someone
else's book of hadith. For example, someone takes a hadith from the book of haḥīḥ
bukhārī, then he tries to find the sanad of that hadith that is not the same as the sanad
that has been determined by bukhārī in his haḥīḥ. But the different sanad finally meet
with the final bukhārī sanad. This paper will review the discussion of Takhrij hadith in
detail with a qualitative method where the source comes from references that can be
recognized as valid. The purpose of this paper is where the reader can explain in detail
and detail about the substance of the Takhrij hadith.
Keywords: knowledge of takhrij, tahrij hadith, goals.

1
https://adoc.pub/queue/takhrij-al-hadits-makalah-disusun-guna-memenuhi-tugas-mata-k.html
2
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, (Bandung: alMa‟arif, 2012), p. 34.
PENDAHULUAN (INTRODUCTION)
A. Latar Belakang
Hadis sebagai elemen utama dalam bangunan syariat Islam selalu saja
menjadi daya tarik bagi siapapun yang ingin mengkaji dan mendiskusikan Islam.
Semua wacana terkait hadis, pada dasarnya dapat digolongkan menjadi dua:
Diskursus seputar otoritas hadis sebagai hujjah dalam syariat Islam, dan kajian
atas keotentikan hadis itu sendiri (shahih atau tidaknya sebuah hadis) (Rahman,
2011, hal. 184–197).3 Sejarah hanya mencatat sedikit sekali polemik yang
mengarah pada penolakan terhadap otoritas hadis dalam hukum dan syariat
Islam. Penolakan beberapa orang terhadap otoritas hadis secara keseluruhan,
sama sekali tidak berpengaruh terhadap eksistensi hadis dan khazanah keilmuan
Islam (Yaqub, 2006, hal. 196).4 Hal ini dikarenakan lemahnya argumentasi yang
digunakan, jika kita tidak mau menyebutnya sebagai sebuah kekonyolan.
Dalam kajian keislaman, yaitu mengenai penjelasan tentang pengertian
tahkrij hadis. Takhrij menurut istilah adalah penunjukan terhadap tempat hadist
didalam sumber aslinya yang dijelaskan sanad dan martabatnya sesuai
keperluan. Ilmu takhrij merupakan bagian dari ilmu agama yang harus mendapat
perhatian serius karena didalamnya dibicarakan berbagai kaidah untuk
mengetahui sumber hadis itu berasal. Di samping itu, di dalamnya ditemukan
banyak kegunaan dan hasil yang diperoleh, khususnya dalam menentukan
kualitas sanad hadis.
Takhrij hadis bertujuan mengetahui sumber asal hadis yang di takhrij.
Tujuan lainnya adalah mengetahui di tolak atau diterimanya hadis-hadis
tersebut. Dengan cara ini, kita akan mengetahui hadis-hadis yang pengutipannya
memerhatikan kaidah-kaidah ulumul hadis yang berlaku sehingga hadis tersebut
menjadi jelas, baik asal-usul maupun kualitasnya. Penguasaan para ulama
dahulu terhadap sumber-sumber hadis begitu luas sehingga jika disebutkan suatu
hadis mereka tidak merasa kesulitan untuk mengetahui sumber hadis tersebut.
Ketika semangat belajar mulai melemah, mereka kesulitan untuk mengetahui
tempat-tempat hadis yang dijadikan . Sebagian ulama bangkit dan

3
Rahman, A. (2011). Arus UtamaDiskursus Hadis: Kajian Atas Otentisitas dan Otoritasnya
Sebagai Sebuah Hujjah. Al-Burhan, 16(1).
4
Yaqub, A. M. (2006). Haji Pengabdi Setan. Jakarta: Pustaka Firdaus.
memperlihatkan hadis-hadis yang ada pada sebagian kitab dan menjelaskan
sumbernya dari kitab hadis yang asli, menjelaskan metodenya, dan menerangkan
kualitasnya, apakah hadis tersebut shahih atau dhaif, lalu muncullah apa yang
dinamakan dengan kutub at-takhrij.
Para muhaditsin mengartikan tahkrij hadist sebagai Mengemukakan
hadis pada orang banyak dengan menyebutkan para periwayatnya dalam sanad
yang telah menyampaikan hadis itu dengan metode periwayatan yang mereka
tempuh. Ulama mengemukakan berbagai hadis yang telah dikemukakan oleh
para guru hadis, atau berbagai kitab lain yang susunannya dikemukakan
berdasarkan riwayat sendiri, atau para gurunya, siapa periwayatnya dari para
penyusun kitab atau karya tulis yang dijadikan sumber pengambilan.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis akan mengulas dalam bahasan akan beberapa
rumusan masalah seperti :
a. Bagaimanakah pemaparan mengenai Takhrij Hadits ?
b. Apakah yang dimaksud dengan Takhrij Hadits ?
c. Apakah Tujuan Dan Faedah Takhrij Hadits ?
d. Bagaimana Sejarah Takhrij Hadits ?
e. Apa saja Kitab Kitab Yang Diperlukan dalam Takhrij Hadits ?
C. Tujuan
Dalam makalah ini penulis mengemukakan tujuan makalah ini adalah
agar pembaca dapat memahami mengenai :
a. Bagaimanakah pemaparan mengenai Takhrij Hadits.
b. Apakah yang dimaksud dengan Takhrij Hadits.
c. Apakah Tujuan Dan Faedah Takhrij Hadits.
d. Bagaimana Sejarah Takhrij Hadits.
e. Apa saja Kitab Kitab Yang Diperlukan dalam Takhrij Hadits.
PENELITIAN TERDAHULU
(LITERATURE REVIEW)
Penelitian terdahulu adalah upaya peneliti untuk mencari perbandingan dan
selanjutnya untuk menemukan inspirasi baru untuk peneltiain selanjutnya di samping itu
kajian terdahulu membantu penelitian dapat memposisikan penelitian serta menujukkan
orsinalitas dari penelitian. Pada bagaian ini peneliti mencamtumkan berbagai hasil
penelitian terdahulu terkait dengan penelitian yang hendak dilakukan, kemudian
membuat ringkasannya, baik penelitian yang sudah terpublikasikan atau belum
terpublikasikan. Berikut merupakan penelitian terdahulu yang masih terkait dengan
tema yang penulis kaji.
Penelitian yang diteliti oleh Andi Rahman tahun 2016 dengan judul “Pengenalan
Atas Takhrij Hadis” yang menghasilkan hasil mengenai beberapa manfaat yang dapat
diperoleh lewat takhrij hadis: (1) Diketahui letak hadis yang dikaji pada sumber-sumber
primer, (2) Diketahui apakah asosiasi ungkapan atau perbuatan yang dinyatakan sebagai
sebuah hadisitu benar-benar merupakan sebuah hadis atau bukan, (3) Diketahui kualitas
hadis. (4) Dengan membandingkan riwayat-riwayat yang ada, akan diketahui arti kata
yang asing atau gharîbah, kondisi yang melatarbelakangi disabdakannya hadis (asbâb
wurûd), kondisi para perawi hadis, adanya kemungkinan hadis itu direvisi atau merevisi
hadis lain (nâsikh wa mansûkh), mendapat ketersambungan pada sanad yang terjadi
keterputusan (inqithâ’), meningkatkan kualitas sanad dengan adanya dukungan berupa
sanad-sanad lainnya, mendapat kejelasan identitas dan kualitas perawi yang mubham
dan majhûl, menghilangkan akibat yang muncul dari tadlîs, mengidentifikasi dan
mengetahui adanya penambahan sanad yang berasal dari perawi (mudraj dan ziyâdah al-
tsiqât), mendapati matan secara lengkap dan utuh dari hadis yang diringkas,
mengidentifikasi dan mengetahui mana matan yang diriwayatkan secara redaksional dan
mana yang secara substantif, mendapatkan informasi tambahan seputar tempat dan
waktu terjadinya hadis.
METODOLOGI PENULISAN
Metode penulisan adalah cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan
dapat dideskripsikan, dibuktikan, dikembangkan dan ditemukan pengetahuan, teori,
tindakan dan produk tertentu sehingga dapat digunakan untuk memahami, memecahkan
dan mengantisipasi masalah dalam kehidupan manusia. Penulisan makalah ini
menggunakan pendekatan kualitatif, dimana penulisan kualitatif, dimana penulisan
kualitatif merupakan suatu pendekatan dalam melakukan penulisan yang bertujuan
untuk menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data
sedalam-dalamnya.5
Penulisan kualitatif mengungkap situasi sosial tertentu dengan mendeskripsikan
kenyataan secara benar, dibentuk oleh kata-kata berdasarkan teknik pengumpulan dan
analisis yang relevan dan diperoleh dari situasi yang alami. Dengan demikian, penulisan
kualitatif tidak hanya sebagai upaya mendeskripsikan data, tetapi deskripsi tersebut
hasil dari pengumpulan data yang sah yang dipersyaratkan kualitatif.6 Pada penulisan ini
menggunakan jenis deskriptif, jenis riset ini bertujuan membuat deskripsi secara
sistematis,faktual dan akurat tentang fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau objek
tertentu.
Dalam penulisan ini, sumber data sangat ditentukan oleh metodologi. Riset
Kualitatif adalah observasi dari beberapa sumber :
1. Data Primer
Data primer adalah data yang dikumpulkan penulis langsung dari buku.
Data primer merupakan data penulisan berupa informasi-informasi penulisan
yang diperoleh secara lansung dari informan melalui observasi literature
langsung.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua atau
sumber sekunder.Data sekunder dalam penulisan ini adalah data yang bersumber
dari internet.

5
Rahmat Kriyantono, “Teknik Praktis Riset Komunikasi”, (Jakarta: Kencana, 2006), 56.
6
M. Djunaidi Ghony & Fauzan Almanshur, “ Metodologi Penulisan Kualitatif”, (Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2004), 26.
KONSEP DASAR
PEMBAHASAN DAN DISKUSI
A. Takhrij Hadits
Sebagai sumber ajaran Agama setelah al-Quran, hadismemiliki
kedudukan yang sangat penting dalam Islam. Namun tidak seperti al-Qurân yang
mendapat penjagaan langsung dari Tuhan (QS. Al-Hijr ayat 9), hadismemang
menghadapi dilema seputar keotentikannya. Pasalnya, fakta sejarah
membuktikan bahwa semenjak era pertama Islam, sudah banyak didapati hadis-
hadispalsu. Sadar akan pentingnya hadis dalam Islam, para ulama klasik bahkan
sejak zaman sebelum pengkodifikasian hadissecara massal, telah melakukan
penyeleksian hadisdengan intensif. Mereka berupaya merumuskan konsep yang
dapat dijadikan pedoman dalam menyeleksi hadis. Dengan rumusan itu yang
kemudian kita kenal sebagai ’UlumulHadis(ilmu-ilmu hadis) para pengaji
hadisdapat menentukan hadisyang benar-benar otentik dari Rasulullah dan
hadisyang validasi asosiasinya lemah (dha’if) atau yang tidak valid sama sekali
(mawdhu’).
Saat seseorang mengatakan ”hadis”, maka yang terlintas dalam benak
adalah gabungan antara sanad dan matan. Dalam beberapa literatur hadis kita
dapati ungkapan hadis yang hanya berupa matan tanpa sanadnya. Hal ini lumrah
dilakukan guna menyingkat dan mempermudah penyampaian hadis, bukan
karena adanya anggapan bahwa hadis adalah matan saja tanpa sanad. Sanad
adalah mata rantai atau silsilah keguruan yang menghubungkan seseorang
dengan gurunya hingga sampai kepada Rasulullah (atau dalam kasus hadis
mawqufsisilah itu berhenti pada sahabat, dan pada hadismaqthu’ silsilah itu
terhenti pada tabi’in) yang menjadi pengantar bagi matan hadis. Sementara
matan adalah isi atau kandungan hadis (al-Thahhân, 1979, hal. 157–158).
Sanad sering dianggap sebagai anugerah agung yang hanya dimiliki oleh
umat Rasulullah dan tidak dimiliki umat agama lain. Dengan sanad, otentitas
kitab suci al-Quran dan hadis dapat dijaga. Di waktu yang sama kitab suci
agama lain ternodai oleh oknum-oknum pimpinan agamanya yang menyisipkan
banyak tambahan, dan mengurangi banyak keterangan dalam kitab suci mereka.
Ketiadaan sanad membuat mustahil penelusuran untuk mengetahui mana
”matan” yang otentik dan mana ”matan” yang palsu dalam kitab suci mereka.
Ibn al-Mubarak menilai sanad sebagai bagian dari Agama. Tanpa sanad, tiap
orang akan berkata-kata semaunya dan kemudian mengklaim bahwa perkataan
itu adalah hadis (al-Thahhân, 1979, hal. 158). Muhammad bin Sirin, al-Dhahhak
bin Muzahim, dan Malik bin Anas juga menyatakan bahwa hadis adalah bagian
dari Agama, dan kita harus melihat dari siapa Agama ini kita ambil (Al-Muhdi,
n.d., hal. 9–0). Meneliti dari mana ”Agama” diambil, sama dengan meneliti
pembawa Agama itu sendiri. Kajian atas pembawa kabar adalah istilah
sederhana dari kajian sanad.
’Umar bin al-Khattab bergantian dengan tetangganya dalam mengikuti
pengajian yang diberikan Rasulullah. Suatu saat tetangganya itu mengetuk pintu
rumahnya dengan keras, dan menyatakan bahwa ada kejadian yang luar biasa.
’Umar mengira ada ada tentara negeri Ghassan yang menyerang kaum muslimin.
Namun tetangganya menyatakan bahwa ada hal yang lebih besar dari pada itu,
yaitu bahwa Rasulullah telah menceraikan istri-istrinya. Mendengar kabar ini,
segera ’Umar berangkat menghadap Rasulullah untuk mengkonfirmasi
kebenaran berita itu. Rasulullah kemudian menjelaskan bahwa beliau hanya
meng-îlâ (tidak menggauli istri) selama satu bulan (Bukhari, 1987, hal. 872–
873). Kemudian dengan seiring perjalanan waktu, kajian atas sanad dan matan
hadis semakin berkembang dan matang secara epistemologis. Hal ini sebagai
jawaban atas banyaknya hadis-hadis palsu yang beredar. Keprihatinan yang
mendalam di kalangan ulama terhadap upaya pemalsuan hadis mendorong
mereka membakukan standar keshahihan hadis yang kemudian berlanjut kepada
proses atau tradisi penakhrîjan hadis.
B. Pengertian Takhrij Hadits
Secara etimologi berrasal dari bahasa arab yaitu kharraja yang berarti
tampak atau jelas. “Berkumpulnya dua hal yang saling bertentangan dalam satu
masalah”. Sedangkan secara terminologi takhrij berarti : “Menunjukkan letak
hadits dari sumber aslinya atau kemudian di terangkan rangkaian sanadnya, dan
dinilai derajat haditsnya jika diperlukan. Jadi ada dua hal yang dikaji dalam
takhrij hadits, yang pertama menunjukkan letak hadits dalam kitab-kitab primer,
yang kedua menilai deajat hadits jika diperlukan. Hakikat dari takhrij hadits
adalah penelusuran atau pencarian hadits sebagai sumbernya yang asli yang
didalamnya dikemukakan secara lengkap matan dan sanadnya. Secara
sederhananya, takhrij hadits adalah usaha mempertemukan matan hadits dengan
sanadnya.
Takhrij menurut lughat berasal dari kata , yang berarti ‘tampak’
atau ‘jelas’. Takhrij secara bahasa berarti juga berkumpulnya dua perkara yang
saling berlawanan dalam satu persoalan, namun secara mutlak, ia diartikan pleh
para ahli bahasa dengan arti ‘mengeluarkan’ (al-istinbath), ‘melatih’ atau
‘membiasakan’ (at-tadrib). dan ‘menghadapkan’ (at-taujih).7 Takhrij menurut
istilah adalah penunjukan terhadap tempat hadist didalam sumber aslinya yang
dijelaskan sanad dan martabatnya sesuai keperluan.8
Para muhaditsin mengartikan tahkrij hadist sebagai berikut :9
1. Mengemukakan hadis pada orang banyak dengan menyebutkan para
periwayatnya dalam sanad yang telah menyampaikan hadis itu dengan
metode periwayatan yang mereka tempuh.
2. Ulama mengemukakan berbagai hadis yang telah dikemukakan oleh para
guru hadis, atau berbagai kitab lain yang susunannya dikemukakan
berdasarkan riwayat sendiri, atau para gurunya, siapa periwayatnya dari para
penyusun kitab atau karya tulis yang dijadikan sumber pengambilan.
3. ‘Mengeluarkan’, yaitu mengeluarkan hadis dari dalam kitab dan
meriwayatkannya. Al-sakhawy mengatakan dalam kitab fathul mughits
sebagai berikut, “takhrij adalah seorang muhadits mengeluarkan hadis-hadis
dari dalam ajza’, al-masikhat, atau kitab-kitab lainnya. Kemudian, hadis
tersebut disusun gurunya atau teman-temannya dan sebagainya, dan
dibicarakan kemudian disandarkan kepada pengarang atau penyusun kitab
itu”.
4. Dalalah, yaitu menunujukan pada sumber hadis asli dan menyandarkan
hadist tersebut pada kitab sumber asli dengan menyebutkan perawi
penyusunnya.

7 Abu Muhammad Al-Mahdi Ibn Abd Al-Qadir Al-Hadi. Darul Ikhtisham: Thariqu Takhrij Hadits Rasullulah ‘Alaihi wasallam, t.t. hlm.6

8 Mahmud Ath-Thahhan. Ushul At-Takhrij wa Dirasah As-Sanid. Riyad:Maktabah Rosyad.t.t.hlm.12

9 Syuhudi Ismail.Metode Penelitian Sanad Hadis.Jakarta:Bulan Bintang.1992.hlm.41-42.


5. Menunjukan atau mengemukaka letak asal hadis pada sumbernya yang asli,
yakni kitab yang didalamnya dikemukakan secara lengkap dengan sanadnya
masing-masing, lalu untuk kepentingan penelitian, dijelaskan kualitas sanad
hadis tersebut.
Dari uraian definisi diatas, tahkrij dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Mengemukakan hadis pada orang banyak dengan menyebutkan para rawinya
yang ada dalam sanad hadis itu.
2. Mengemukakan asal- usul hadis sambil dijelaskan sumber pengambilannya
dari berbagai kitab hadis, yang rangkaian sanadnya berdasarkan riwayat
yang telah diterimanya sendiri atau berdasarkan riwayat yang telah
diterimanya sendiri atau berdasarkan rangkaian sanad gurunya, dan yang
lainnya.
3. Mengemukakan hadis-hadis berdasarkan sumber pengambilannya dari kitab-
kitab yang di dalamnya dijelaskan metode periwayatannya dan sanad hadis-
hadis tersebut, dengan metode dan kualitas para rawi sekaligus hadisnya.
Dengan demikian, pentahkrij-an hadis penelusuran atau pencarian hadis
dalam berbagai kitab hadis (sebagai sumber asli dari hadis yang
bersangkutan), baik menyangkut materi atau isi (matan), maupun jalur
periwayatan (sanad) hadis yang dikemukakan.
C. Tujuan Dan Faedah Takhrij Hadits
Ilmu takhrij merupakan bagian dari ilmu agama yang harus mendapat
perhatian serius karena didalamnya dibicarakan berbagai kaidah untuk
mengetahui sumber hadis itu berasal. Di samping itu, di dalamnya ditemukan
banyak kegunaan dan hasil yang diperoleh, khususnya dalam menentukan
kualitas sanad hadis.10
Takhrij hadis bertujuan mengetahui sumber asal hadis yang di takhrij.
Tujuan lainnya adalah mengetahui di tolak atau diterimanya hadis-hadis
tersebut. Dengan cara ini, kita akan mengetahui hadis-hadis yang pengutipannya
memerhatikan kaidah-kaidah ulumul hadis yang berlaku sehingga hadis tersebut
menjadi jelas, baik asal-usul maupun kualitasnya.
Adapun faedah takhrij hadis ini antara lain :
a. Dapat diketahui banyak – sedikitnya jalur periwayatan suatu hadis yang
sedang menjadi topik kajian.
b. Dapat diketahui kuat dan tidaknya periwayatan akan menambah kekuatan
riwayat. Sebaliknya, tanpa dukungan periwayatan lain, kekuatan periwayatan
tidak bertambah.
c. Dapat ditemukan status hadis Shahih li dzatih atau shahih li ghairih, hasan li
dzatih, atau hasan li ghairih. Demikian juga, akan dapat diketahui istilah
hadis mutawatir, masyhur, aziz, dan gharib-nya.11

10 Utang Ranuwijaya.Ilmu Hadis.Jakarta:Gaya Media Pratama.1996

11 Ahmad ZarkasyiChumaidy.Takhrij Al-Hadis:Mengkaji dan Meneliti Al-Hadis. Bandung:IAIN sunan gunung Djati.1990 hlm.7
d. Memberikan kemudahan bagi orang yang hendak mengamalkan setelah
mengetahui bahwa hadis tersebut adalah makbul ( dapat diterima).
Sebaliknya, orang tidak akan mengamalkannya apabila mengetahui bahwa
hadis tersebut mardud (ditolak).
e. Menguatkan keyakinan bahwa suatu hadis adalah benar-benar berasal dari
Rasullullah SAW. Yang harus diikuti karena adanya bukti-bukti yang kuat
tentang kebenaran hadis tersebut, baik dari segi sanad maupun matan.
D. Sejarah Takhrij Hadits
Takhrij merupakan derivasi dari kata ”kharaja” yang berarti ”keluar”
atau kebalikan dari kata ”dukhul” yang bermakna ”masuk” (Ibn Manzhur, n.d.,
hal. 249). Kata ”kharaja” bersifat lâzim (intransitif), dan ketika ’ainfi’il-nya
digandakan (tasydid), ia menjadi muta’addî (transitif) yang dengan sendirinya
mengubah arti (Alî, n.d., hal. 14–15). Takhrij menurut etimologis bermakna
”mengeluarkan”. Sementara hadis, dalam terminologi yang populer dinyatakan
sebagai segala sesuatu yang disandarkan (diasosiasikan) kepada Rasulullah, baik
penyandaran itu valid (hadisshahih dan hasan) ataupun tidak valid (dan da’if dan
mawdu’). Dalam prakteknya, hadisjuga berlaku pada asosiasi ucapan dan
perbuatan kepada sahabat (hadis mawquf) dan tabi’in (hadis maqtû’).
Kita perlu menggarisbawahi ungkapan ”segala sesuatu yang disandarkan
(diasosiasikan)” sebagaimana disebutkan dalam definisi hadis di atas. Sebagai
sebuah asosiasi, kita tidak mengaji dan meneliti isi, substansi, dan materi dari
ungkapan, perbuatan dan penetapan Rasulullah. Tetapi apakah ”sesuatu” yang
diasosiasikan kepada Rasulullah itu benar-benar dikatakan, atau dilakukan, atau
ditetapkan oleh beliau. Yang menjadi aksioma kita, adalah bahwa tidak semua
asosiasi itu valid. Bukan semata dalam kajian hadis, dalam keseharian pun kita
dapati adanya ungkapan atau sekedar klaim asosiasi sesuatu kepada seseorang
yang ternyata hanya palsu semata. Kajian hadis dan takhrij Hadis dilakukan
untuk menguji validitas asosiasi ini. Mahmud al-Thahhan (1979, hal. 12)
mendefinisikan takhrij sebagai penelusuran atas lokasi hadisdalam sumber-
sumbernya yang asli yang menyebutkan hadisbeserta sanadnya, untuk kemudian
dikaji kualitas hadisnya. Definisi yang ditawarkan al-Tahhân ini berlaku pasca
kodifikasi hadis (Al-Muhdi, n.d., hal. 11).
Sebagai sebuah disiplin ilmu, takhrijhadistumbuh dan berkembang
belakangan dibandingkan ilmu-ilmu hadislainnya seperti tarâjum al-ruwât
(kajian biografi para perawi) dan nâsikh wa mansûkh. Namun, sebenarnya
praktek takhrijhadissudah dilakukan pada awal perkembangan ’ulûm al-hadis.
Pada awalnya, takhrij dilakukan sebatas untuk mengetahui letak sebuah hadis
pada sebuah kitab atau literatur. Sementara kegiatan lanjutannya berupa
penelitian kualitas hadisdilakukan jika dirasa perlu. Dalam artian sebenarnya
takhrijhadisterhenti pada saat kita sudah mengetahui sumber berupa kitab atau
hadis yang menyebutkan hadis itu beserta sanadnya. Misalnya ketika kita sudah
mengetahui bahwa hadis yang sedang ditakhrij diriwayatkan oleh Muslim atau
Abû Dâwud, maka selesai sudah proses takhrij itu. Namun, penelusuran lokasi
hadis menjadi kurang sempurna jika tanpa penilaian atas sanad hadis. Karena
tujuan dari kajian hadis adalah untuk diamalkan, setelah diketahui terlebih
dahulu kualitasnya berdasarkan penilaian atas sanadnya.
Penelusuran yang dilakukan dalam proses takhrijhadis, bermuara kepada
kitab atau literatur yang menyebutkan hadis beserta sanadnya yang dimiliki
sendiri oleh penulis kitab atau literatur tersebut, yang tersambung sampai
Rasulullah. Kitabatauliteraturinidisebutsebagaikitabsumberasli (al-mashâdir al-
ashliyah). Lumrahnya, sumber asli adalah kitab hadis. Namun terkadang juga
ada literatur yang bukan kitab hadis namun dapat dikategorikan sebagai sumber
asli, seperti Tarikh al-Thabarî dan al-Umm karya al-Syafi’î. Literatur non hadis
dapat dikategorikan sebagai sumber asli ketika ia menyebutkan hadis beserta
sanadnya yang dimiliki sendiri oleh penulisnya.
Sementara literatur hadis yang menyebutkan hadis tanpa sanad yang
dimiliki oleh penulisnya, atau menyebutkan hadis dengan merujuk kepada kitab
hadis lain, tidak dapat dikategorikan sebagai sumber asli. Literatur yang bukan
sumber asli tidak bisa dijadikan bahan takhrij. Kitab-kitab semacam Bulûgh al-
Marâm karya Ibn Hajar, al-Jâmi’ al-Shaghir karya al-Suyuthi, dan Riyâdhal-
Shalihin termasuk buku yang bukan sumber asli, karena ketiganya tidak
memiliki sanad yang menjadi bahan pokok kajian takhrij. Sumber asli adalah
kitab atau literatur yang dikutip oleh ketiga buku ini. Ulama pada masa klasik,
dimulai pada masa sahabat hingga abad kelima hijriyah belum mengenal takhrij,
dengan terminologi yang kita kenal sekarang, sebagai alat bantu mengaji hadis.
Hal ini dikarenakan banyaknya hafalan dan luasnya wawasan mereka akan
hadis. Pembacaan mereka terhadap kitab-kitab hadis sangat banyak dan intens.
Yang perlu diingat adalah bahwa tingkat kedabitan para muhadditsin pada saat
itu sangatlah tinggi, sehingga setiap kali menyatakan sebuah pendapat, dengan
mudah mereka menyebutkan hadis yang ada sebagai dasar dan argumentasinya.
Para ulama klasik mampu menyebutkan hadis berdasarkan hafalan yang
mereka miliki atau dengan merujuk kitab hadis yang ada. Saat merujuk ke kitab,
mereka bahkan dapat dengan mudah menyebutkan letak hadis itu di kitab apa,
jilid berapa, dan mungkin juga pada halaman ke berapa. Mereka mengetahui
dengan baik metodologi penulisan yang digunakan para kolektor hadis, sehingga
dapat dengan mudah memperkirakan letak hadis dalam sebuah kitab, atau dalam
menentukan kitab apa yang diduga memuat hadis itu. Seiring perjalanan waktu,
kajian Hadis semakin surut dan penguasaan para ulama terhadap hadis juga
berkurang. Para ulama yang memiliki hafalan hadis semakin berkurang, dan
hafalan yang mereka milikipun relatif lebih sedikit. Di waktu yang sama, ketika
merujuk kitab-kitab hadis, mereka mendapati sedikit kesulitan.
Para pengarang kitab dalam disiplin non hadis seperti fiqh dan tafsir,
seringkali menyebutkan hadis tanpa menyebutkan sanad atau mukharrijnya.
Sehingga dengan sendirinya, kualitas hadis yang disebutkan juga tidak dapat
dipastikan. Hal ini mengundang keprihatinan beberapa ulama untuk melakukan
kajian lanjutan terhadap hadis-hadis itu, dan mereka mulai menulis karya yang
kita sebut ”kitab-kitab takhrij”. Mahmûd al-Thahhân menyebutkan bahwa kitab
takhrij yang pertama kali ditulis oleh al-Khatîb al-Baghdâdî (w. 463 H). Di
antara karya al-Khatîb dalam kajian takhrij adalah Takhrij al-Fawâid al-
Muntakhabah al-Shihâh wa alGharâib karya Abû al-Qâsim al-Husaynî, dan
Takhrij al-Fawâid al-Muntakhabah alShihâh wa al-Garâib karya Abû al-Qâsim
al-Mahrawânî. Kedua kitab ini, menurut al-Thahhân, masih dalam bentuk
manuscript (al-Thahhân, 1979, hal. 16).
Belakangan, banyak ulama yang melakukan kajian takhrij terhadap
kitabkitab yang telah beredar di masyarakat, yang tidak menjelaskan kualitas
hadis yang dicantumkannya. Keadaan ini berlanjut hingga sekarang. Bahkan
takhrijhadis kemudian menjadi integral dengan proses penahqîqan terhadap
sebuah karya. Baik karya ulama klasik dan telah diterbitkan sebelumnya,
maupun karya yang baru diterbitkan. Ulama yang pertama kali melakukan
takhrij menurut mahmud Ath-Thahhan adalah Al-Khathtib Al-Baghdadi (w. 436
H). Kemudian, dilakukan pula oleh Muhammad bin Musa Al-Hazimi (w.584 H)
dengan karyanya yang berjudul Takhrij Ahadits Al-Muhadzdzab. Ia men-takhrij
kitab fiqh syafi’ah karya Abu Iahaq Asy-Syirazi. Ada juga ulama lainnya,
seperti Abu Al-Qasimi Al-Husaini dan Abu Al-Qasim Al-Mahrawani. Karya
kedua ulama ini hanya beberapa mahthuthah (manuskrip) saja. Pada
perkembangan selanjutnya, cukup banyak kemunculan kitab yang berupaya
men-takhrij kitab-kitab dalam berbagai ilmu agama.12
E. Kitab Kitab Yang Diperlukan
Dalam melakukan Takhrij hadis, kita memerlukan kitab-kitab yang
berkaitan dengan takhrij hadis ini. Adapun kitab-kitab tersebut antara lain
sebagai berikut.

1. Hidayatul bari’ila tartibi Ahadisil Bukhari


Penyusun kitab ini adalah Abdur Rahman Ambar Al-Misri At-Tahtawi.
Kitab ini disusun khusus untuk mencari hadis-hadis yang termuat dalam
Shahih Al-Bukhari. Lafazh hadis disusun menurut aturan urutan huruf abjad
Arab. Namun, hadis-hadis yang dikemukakan secara berulang dalam Shahih
Bukhari tidak dimuat secara berulang dalam kamus di atas. Dengan
demikian, perbedaan lafazh dalam matan hadis riwayat Al-Bukhari tidak
dapat diketahui melalui kamus tersebut.
2. Mu’jam Al-fadzi wala Siyyama Al-Gariibu Minha atau Fuhris litartibi
Ahaditsi Shahihi Muslim.
Kitab tersebut merupakan salah satu juz, yakni juz ke-5 dari kitab Shahih
Muslim yang di sunting oleh Muhammad Abdul Baqi. Juz ke-5 ini
merupakan kamus terhadap juz ke-1-4 yang bertisi :
a. Daftar urusan judul kitab, nomor hadis, dan juz yang memuatnya.
b. Daftar nama para sahabat Nabi yang meriwayatkan hadis yang
termuat dalam Shahih Muslim.

12
Ranuwijaya.Op.cit.hlm.115
c. Daftar awal matan hadis dalam bentuk sabda yang tersusun menurut
abjad serta menerangkan nomor-nomor hadis yang di riwayatkan
oleh Bukhari bila kebetulan hadis tersebut juga diriwayatkan oleh
Bukhari.
3. Miftahus Sahihain
Kitab ini disusn oleh Muhammad Syarif bin Mustafa Al-Tauqiah. Kitab
ini dapat digunakan untu mencari hadis-hadis yang diriwayatkan oleh
Muslim. Akan tetapi, hadis-hadis yang dimuat dalam kitab ini hanyalah
hadis-hadis yang berupa sabda (qauliyah) saja. Hadis tersebut disusun
menurut abjad dari awal lafazh matan hadis.
4. Al-Bugyatu fi Tartibi Ahaditsi Al-Hilyah
Kitab ini disusun oleh Sayyid Abdul Aziz bin Al-Sayyid Muhammad bin
Sayyid Siddiq Al-Qammari. Kitab hadis tersebut memuat dan menerangkan
hadis-hadis yang tercantum dalam kitab yang disusun Abu Nuaim Al-
Asabuni (w.430 H) yang berjudul Hilyatul Auliyai wathabaqatul Asfiyai.
Sejenis dengan kitab tersebut adalah kitab Miftahut Tartibi li Ahaditsi
Tarikhil Khatib yang disusun oleh sayyid Ahmad bin sayyid Muhammad bin
sayyid As-Siddiq Al-Qammari yang memuat dan menerangkan hadis-hadis
yang tercantum dalam kitab sejarah yang disusun oleh Abu Bakar bin Ali bin
Subit bin Ahmad Al-Bagdadi yang dikenal dengan Al-kitab Al-Bagdadi
(w.463 H). Kitabnya diberi judul Tarikhu Bagdadi yang terdiri atas 4 jilid.
5. Al-Jami’us Shagir
Kitab ini disusun oleh imam Jalaludin Abdurahman As-Suyuthi (w.91
H). Kitab kamus hadis ini membuat hadis-hadis yang terhimpun dalam kitab
himpunan kutipan hadis yang disusun oleh As-Suyuthi juga, yakni Jam’ul
Jawami’i.
Hadis yang dimuat dalam kitab ini disusun berdasarkan urutan abjad dari
awal lafazh matan hadis. Sebagian dari hadis-hadis itu ada yang ditulis
secara lengkap dan adapula yang ditulis sebagian-sebagian saja, namun telah
megandung pengertian yang cukup.
Kitab hadis tersebut juga menerangkan nama-nama sahabat nabi yang
meriwayatkan hadis yang bersangkutan dan nama-nama mukharij-nya
(periwayat hadis yang menghimpun hadis dalam kitabnya). Selain itu,
hampir setiap hadis yang dikutip dijelaskan kualitasnya menurut penelitian
yang dilakukan atau disetujui oleh As-suyuthi.
6. Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfadzil Hadis Nabawi
Penyusunan kitab ini adalah sebuah tim dari kalangan orientalis. Di
antara anggota tim yang paling aktif dalam kegiatan proses penyusunan
adalah Dr.Arnold John Wensinck (w.939 M), seorang profesor bahasa –
bahasa semit, termasuk bahasa Arab di Universitas Leiden, negri Belanda.
Kitab ini dimasukkan untk mencari hadis berdasarkan petunjuk lafazh
matan hadis. Berbagai lafazh yang disajikan tidak dibatasi hanya lafazh-
lafazh yang berada ditengah dan bagian-bagian lain dari matan hadis.
Dengan demikian, kitab Mu’jam mampu memberikan informasi kepada
pencari matan dan sanad hadis selama sebagian dari lafazh matan yang
dicarinya itu telah diketahuinya.
Kitab Mu’jam ini terdiri dari tujuh juz dan dapat digunakan untuk
mencari hadis-hadis yang terdapat dalam sembilan kitab hadis, yakni Shahih
Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Tirmidzi, sunan Nasa’I,
sunan Majah , sunan Darimi, Mutawatta Malik, dan Musnad Ahmad
Kesimpulan
1. Takhrij hadis bertujuan mengetahui sumber asal hadis yang di takhrij. Tujuan
lainnya adalah mengetahui di tolak atau diterimanya hadis-hadis tersebut.
Dengan cara ini, kita akan mengetahui hadis-hadis yang pengutipannya
memerhatikan kaidah-kaidah ulumul hadis yang berlaku sehingga hadis tersebut
menjadi jelas, baik asal-usul maupun kualitasnya.
2. Takhrij menurut istilah adalah penunjukan terhadap tempat hadist didalam
sumber aslinya yang dijelaskan sanad dan martabatnya sesuai keperluan
3. Dapat diketahui banyak – sedikitnya jalur periwayatan suatu hadis yang sedang
menjadi topik kajian.
4. Dapat diketahui kuat dan tidaknya periwayatan akan menambah kekuatan
riwayat. Sebaliknya, tanpa dukungan periwayatan lain, kekuatan periwayatan
tidak bertambah.
5. Dapat ditemukan status hadis Shahih li dzatih atau shahih li ghairih, hasan li
dzatih, atau hasan li ghairih. Demikian juga, akan dapat diketahui istilah hadis
mutawatir, masyhur, aziz, dan gharib-nya
Daftar Pustaka
Abu Muhammad Al-Mahdi Ibn Abd Al-Qadir Al-Hadi. Darul Ikhtisham: Thariqu
Takhrij Hadits Rasullulah ‘Alaihi wasallam, t.t. hlm.6
Ahmad Zarkasyi Chumaidy.Takhrij Al-Hadis:Mengkaji dan Meneliti Al-Hadis.
Bandung:IAIN sunan gunung Djati.1990 hlm.7
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, (Bandung: alMa‟arif, 2012), p. 34.
https://adoc.pub/queue/takhrij-al-hadits-makalah-disusun-guna-memenuhi-tugas-mata-
k.html
M. Djunaidi Ghony & Fauzan Almanshur, “ Metodologi Penulisan Kualitatif”,
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2004), 26.
Mahmud Ath-Thahhan. Ushul At-Takhrij wa Dirasah As-Sanid. Riyad:Maktabah
Rosyad.t.t.hlm.12
Rahman, A. (2011). Arus UtamaDiskursus Hadis: Kajian Atas Otentisitas dan
Otoritasnya Sebagai Sebuah Hujjah. Al-Burhan, 16(1).
Rahmat Kriyantono, “Teknik Praktis Riset Komunikasi”, (Jakarta: Kencana, 2006), 56.
Syuhudi Ismail.Metode Penelitian Sanad Hadis.Jakarta:Bulan Bintang.1992.hlm.41-42.
Utang Ranuwijaya.Ilmu Hadis.Jakarta:Gaya Media Pratama.1996
Yaqub, A. M. (2006). Haji Pengabdi Setan. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Anda mungkin juga menyukai