Anda di halaman 1dari 25

KETIDAK MERATAAN PEMBANGUNAN DI

INDONESIA

DOSEN PEMBIMBING : IR. SETYANTO, M.T.

DISUSUN OLEH : MUHAMMAD GUSTI JOFA SANJAYA

(1805081013)

D3 TEKNIK SIPIL (ABG)

UNIVERSITAS LAMPUNG (UNILA)

2018/2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu masalah jangka panjang


yang harus dilakukan oleh setiap negara. Dimana sangat
diharapkan terjadinya pertumbuhan ekonomi tersebut.
Pertumbuhan ekonomi yang pesat merupakan fenomena penting
yang dialami dunia semnjak dua abad belakangan ini. Dalam
periode tersebut dunia telah menganalami perubahan yang sangat
nyata apabila dibandingkan dengan periode sebelumnya. Sampai
abad ke 18 kebanyakan masyarakat di berbagai negara masih hidup
pada tahap subsisten dan mata pencarian utama adalah dari mata
pencaharian di sektor pertanian, perikanan dan berburu.
Ditinjau dari sudut ekonomi, perkembangan ekonomi dunia yang
berlaku semenjak dua abad yang lalu menimbulkan dua efek
penting yang sangat menggalakkan yaitu,
•         Kemakmuran atau taraf hidup masyarakat makin meningkat \
•         Masyarakat dapat menciptakan kesempatan kerja yang baru
kepada penduduk yang terus bertambah jumlahnya.
Untuk memahami masalah pertumbuhan ekonomi yang dihadapi
oleh negara negara berkembang terutama negara berkembang
yang masih rendah taraf pembangunan dan kemakmurannya.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang di namakan pembangunan ekonomi...?
2. Apa saja masalah masalah pembangunan ekonomi di
indonesia...?
3. Apa dampak positif dan negatif pembangunan ekonomi..?

BAB II
PEMBAHASAN

Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan


pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan
memperhitungkan adanya pertambahan penduduk dan disertai
dengan perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu
negara dan pemerataan pendapatan bagi penduduk suatu negara.
Pembangunan ekonomi tak dapat lepas dari pertumbuhan ekonomi
(economic growth); pembangunan ekonomi mendorong
pertumbuhan ekonomi, dan sebaliknya, pertumbuhan ekonomi
memperlancar proses pembangunan ekonomi.
Yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi adalah proses
kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan
dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional.
Suatu negara dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi
apabila terjadi peningkatan GNP riil di negara tersebut. Adanya
pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan
pembangunan ekonomi.
Perbedaan antara keduanya adalah pertumbuhan ekonomi
keberhasilannya lebih bersifat kuantitatif, yaitu adanya kenaikan
dalam standar pendapatan dan tingkat output produksi yang
dihasilkan, sedangkan pembangunan ekonomi lebih bersifat
kualitatif, bukan hanya pertambahan produksi, tetapi juga
terdapat perubahan-perubahan dalam struktur produksi dan
alokasi input pada berbagai sektor perekonomian seperti dalam
lembaga, pengetahuan, sosial dan teknik.
Selanjutnya pembangunan ekonomi diartikan sebagai suatu
proses yang menyebabkan pendapatan perkapita penduduk
meningkat dalam jangka panjang. Di sini terdapat tiga elemen
penting yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi.

• Pembangunan sebagai suatu proses


Pembangunan sebagai suatu proses, artinya bahwa
pembangunan merupakan suatu tahap yang harus dijalani
olehsetiap masyarakat atau bangsa. Sebagai contoh, manusia
mulai lahir, tidak langsung menjadi dewasa, tetapi untuk menjadi
dewasa harus melalui tahapan-tahapan pertumbuhan. Demikian
pula, setiap bangsa harus menjalani tahap-tahap perkembangan
untuk menuju kondisi yang adil, makmur, dan sejahtera.

• Pembangunan sebagai suatu usaha untuk meningkatkan


pendapatan perkapita
Sebagai suatu usaha, pembangunan merupakan tindakan aktif
yang harus dilakukan oleh suatu negara dalam rangka
meningkatkan pendapatan perkapita. Dengan demikian, sangat
dibutuhkan peran serta masyarakat, pemerintah, dan semua
elemen yang terdapat dalam suatu negara untuk berpartisipasi
aktif dalam proses pembangunan. Hal ini dilakukan karena
kenaikan pendapatan perkapita mencerminkan perbaikan dalam
kesejahteraan masyarakat.
• Peningkatan pendapatan perkapita harus berlangsung dalam
jangka panjang
Suatu perekonomian dapat dinyatakan dalam keadaan
berkembang apabila pendapatan perkapita dalam jangka panjang
cenderung meningkat. Hal ini tidak berarti bahwa pendapatan
perkapita harus mengalami kenaikanterus menerus. Misalnya,
suatu negara terjadi musibah bencana alam ataupunkekacauan
politik, maka mengakibatkan perekonomian negara tersebut
mengalami kemunduran. Namun, kondisi tersebut hanyalah
bersifat sementara yang terpenting bagi negara tersebut kegiatan
ekonominya secara rata-rata meningkat dari tahun ke tahun.
Adapun definisi masalah masalah pembangunan ekonomi
adalahmasalah bagaimana mengelola dan membangun kekayaan
pada suatu negara untukkesejahteraan penghuninya

Adapun masalah masalah Pembangunan ekonmi di indonesia


sebagai berikut;

1. Kemiskinan dan Kesenjangan Ekonomi.


Menurut catatan statistik pada tahun 1991/92, diperkirakan
lebih dari 100 juta orang Indonesia yang masih berada di bawah
garis kemiskinan. Kalau dianggap tidak ada perbedaan garis
kemiskinan antara kota dan desa, dan diambil angka Rp.1000
pengeluaran sehari seorang (atau Rp. 30,000 sebulan seorang)
sebagai garis kemiskinan, maka di bawah garis tersebut ada 120
juta yang masih miskin, yaitu di kota 20 juta dan di desa 100 juta
orang. Kalau diambil garis kemiskinan yang lebih rendah, yaitu Rp.
500 sehari seorang (atau Rp. 15,000 sebulan seorang), maka akan
terdapat 28 juta orang miskin, yaitu 2 juta di kota dan 26 juta di
desa.
Pengeluaran ini belum termasuk untuk pendidikan dan
kesehatan. Belum lagi, kalau diperhitungkan untuk suatu keluarga
yang terdiri dari 4 orang. Tentu pengeluarannya sehari jauh lebih
besar daripada sekedar 4 kali Rp. 30,000. Keadaan sekarang
diperkirakan tidak berbeda jauh dari itu. Data bisnis juga
menunjukkan kesenjangan ekonomi yang sangat besar antara
mereka yang miskin di atas dengan yang kaya raya. Grup-grup
perusahaan yang tergabung dalam 200 konglomerat Indonesia
menghasilkan omset (nilai penjualan) sebesar ekivalen dengan 80
persen dari pendapatan nasional (Produk Domestik Bruto, sekitar
Rp. 250 trilyun pada 1992/93).

Kesenjangan pendapatan juga terjadi antara sektor pertanian-


pedesaan dan sektor industri-perkotaan. Kesenjangan yang
sangat tajam juga terjadi antara Jawa dan Luar Jawa, dan antara
Kawasan Indonesia Timur dan Kawasan Indonesia Barat. Masalah
kemiskinan dan kesenjangan ini bisa menimbulkan friksi-friksi
sosial yang bisa merusak hasil pembangunan selama ini.

2. Masalah Hutang Luar Negeri.


Hutang luar negeri telah meningkat sangat besar. Pada saat ini
Indonesia telah menjadi negara penghutang terbesar nomor tiga
sesudah Brazil dan Meksiko, yaitu dengan hutang mencapai lebih
dari USD 100 miliar. Lebih dari 60 persen di antaranya adalah
hutang dari pemerintah, selebihnya hutang swasta. Dibanding
dengan hutang asing yang dibuat pada rezim Bung Karno, yang
mencapai USD 2.14 miliar, hutang asing sekarang merupakan
peningkatan 50 kali; padahal pendapatan nasional hanya naik
tidak lebih dari 15 kali.
Dengan kemajuan-kemajuan ekonomi yang dicapai di sektor
pemerintah, mungkin Indonesia tidak terlalu sulit di dalam
membayar kembali hutang asing tersebut sebesar USD 9-10
setiap tahun. Akan tetapi untuk mencapai target pertumbuhan
sebesar 5-6 persen setahun, Indonesia terpaksa harus meminjam
lagi hutang asing baru sebesar minimum USD 5 milyar setiap
tahun. Hutang baru sebesar itu pun terpaksa harus dibuat melihat
sisi neraca pembayaran yang tidak seimbang, karena
ketidakmampuan ekonomi (industri) menghasilkan cukup devisa.
Dengan demikian, ekonomi Indonesia telah seakan-akan
“terperangkap” atau“kecanduan” (addicted) dengan hutang
asing. Persoalan yang tidak pernah bisa dijawab tentang hutang
luar negeri ini adalah kapan hutang asing itu semakin mengecil
dan bisa habis terlunasi. Kecuali, kalau hutang baru sangat
dikurangi atau dihentikan samasekali, dan dicari sumber-sumber
dari dalam negeri sebagai penggantinya. Persoalan hutang asing
ini menjadi semakin besar apabila dikaitkan dengan Yendaka
(apresiasi Yen), di mana Yen mempunyai porsi besar dalam
hutang-hutang Indonesia.

3. Defisit Neraca Pembayaran dan Ketidakmampuan Industrial.

Defisit yang memperlihatkan kecenderungan yang meningkat


ini ditunjukkan oleh transaksi lancar (current account) dalam
neraca pembayaran. Untuk periode tahun anggaran 1995/1996
ini diperkirakan defisit akan mencapai lebih-kurang USD 5 milyar.
Defisit ini sendiri mengakibatkan penurunan nilai Rupiah yang
terus-menerus yang selanjutnya ketidakpastian ekonomi.
Depresiasi Rupiah sendiri tidak secara langsung meningkatkan
ekspor, karena ketakmampuan ekspor tidak sekedar karena
Rupiah yang overvalued. Sebab utama dari penurunan nilai
Rupiah adalah ketidakmampuan industri Indonesia menghasilkan
cukup devisa sesuai dengan permintaan. Selain itu, sektor riil
penghasil barang ini sangat tergantung pada ekonomi dan
teknologi asing. Setiap kali kenaikan ekspor terjadi, setiap kali
pula harus didahului dengan kenaikan impor yang tinggi atas
bahan-bahan baku industri, barang-barang penunjang atau
komponen, dan barang-barang modal.

Dengan demikian industri Indonesia justru boros devisa


daripada menjadi penghasil devisa. Sekarang ini, ekspor bersih
Indonesia baru akan bergerak ke arah USD 10 milyar dengan laju
pertumbuhan yang menurun. Selain itu, ekonomi Indonesia juga
masih dibebani dengan impor atas jasa-jasa, seperti pembayaran
bunga pinjaman serta jasa-jasa lain khususnya yang berkaitan
dengan kemampuan sumberdaya manusia dan penguasaan
teknologi, yang jumlahnya bergerak ke arah USD 15 milyar.
Sebagai akibatnya, terjadilah defisit transaksi lancar yang cukup
besar. Ketidakmampuan dalam teknologi mengakibatkan industri
Indonesia juga tidak cukup efisien, dan bahkan menjadi sumber
dari highcost, sehingga tidak mampu bersaing di pasar dunia
menghasilkan devisa. Industri juga menjadi bersifat kaku
terhadap rangsangan moneter dan menjadi sumber terjadinya
inflasi.
Industri Indonesia ini masih sangat menggantungkan diri pada
proteksi dan berbagai fasilitas dari pemerintah. Industri-industri
inilah yang justru dikuasai dan sangat menguntungkan para
konglomerat dan monopolis-oligopolis. Mereka lebih banyak
tergantung pada pasar domestik yang sempit dan mahal daripada
bersaing di pasar dunia.

4. Ketidakmampuan Pengembangan SDM dan Penguasaan Iptek.

Ketidakmampuan pengembangan SDM dan penguasaan ilmu


pengetahuan dan teknologi (Iptek) adalah inti dari semua
persoalan ekonomi di Indonesia. Selama pembangunan jangka
panjang 25 tahun yang pertama, Indonesia hampir samasekali
melupakan pentingnya pengembangan SDM dan penguasaan
Iptek. Dari 140 juta angkatan kerja (umur 10 tahun ke atas)
Indonesia, hampir 80 persen daripadanya berpendidikan
setingkat sekolah dasar (SD), yaitu 45 juta tamat, 43 juta drop-
out, dan 20 juta samasekali tidak pernah sekolah. Jumlah sarjana
hanya sekitar 2 juta, dan sisanya 30 juta adalah dari SLTP dan
SLTA, tamat atau tidak tamat. Dengan kemampuan dan
produktivitas yang rendah itu, maka tenaga kerja Indonesia
menjadi sangat mahal dalam proses produksi. Sebagai akibatnya
lemah pula industrialisasi Indonesia.
Akibat selanjutnya adalah munculnya produk-produk yang
tidak mampu bersaing di pasar dunia, yang tidak mampu
menghasilkan devisa. Struktur industri Indonesia juga tidak
didasarkan pada comparative advantange sesuai dengan
kekayaan alam Indonesia, sehingga pada akhirnya produk-
produknya tidak mampu berkompetisi di pasar dunia. Hal ini
mengakibatkan pilihan teknologi yang salah, yang mahal karena
tidak sesuai dengan kemampuan domestik. Seharusnya
dikembangkan pula jenis teknologi murah dan madya, yang
mampu menyerap banyak tenaga kerja dan yang mampu
mengatasi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Pengangguran angkatan kerja di Indonesia juga cukup tinggi.
Bahkan, pengangguran telah pula melanda mereka yang
berpendidikan sarjana. Dikabarkan oleh Menteri Tenaga Kerja
pada awal tahun ini, bahwa dari 150 ribu sarjana yang dihasilkan
setahun, hanya maksimal sekitar 60 ribu yang memperoleh
pekerjaan. Pilihan teknologi yang terlalu padat modal, dan yang
menjurus ke tingkat menengah (medium technology)-atas dan
tingkat tinggi (high technology) juga menjadi salahsatu sebab
terjadinya pengangguran yang besar dan berbagai inefisiensi
dalam industri. Broad-base technology lah yang mestinya
dikembangkan di Indonesia, yaitu yang mengutamakan
penggunaan jenis-jenis teknologi yang rendah (low technology)
hingga menengah-bawah, yang murah, dan yang mudah
disediakan, diadopsi dan dikuasai oleh masyarakat banyak.

5. Penyempitan Infrastruktur.

Tidak ada pembangunan yang tidak dimulai dengan


pembangunan infrastruktur, seperti jalan, jembatan, pelabuhan,
listrik, air bersih, telepon, dll. Selain ketidakmampuan SDM dan
penguasaan Iptek yang disebutkan di atas, juga ketidakmampuan
menyediakan dana dan alokasinya yang tak sesuai mempengaruhi
pula perkembangan pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Secara umum, penyempitan infrastruktur (infrastructure
bottleneck) telah terjadi di Indonesia. Dibanding dengan
permintaan yang begitu besar terhadap investasi, maka jalan-
jalan di Indonesia terasa sempit, dan tenaga listrik serta air bersih
terasa sangat kurang. Pada gilirannya, penyempitan infrastruktur
ini akan mengakibatkan menyusutnya penanaman modal di
Indonesia, khususnya di sektor industri. Selain itu perlu
diperhatikan, bahwa penyempitan infrastruktur bisa menjadi
sumber inflasi yang sangat tinggi (hyper-inflation).
Oleh sebab itu, masalah penyempitan infrastruktur ini juga
harus diatasi segera. Investasi yang terus-menerus di tanah Jawa
akan diikuti dengan permintaan infrastruktur yang semakin
meningkat, sesuatu yang semakin sulit dipenuhi oleh tanah Jawa
yang semakin terbatas. Kesulitan air bersih di Jawa dan semakin
sempitnya lahan untuk industri dan perumahan (yang juga
mempersempit lahan pertanian subur) adalah contoh semakin
sempitnya infrastruktur di Jawa. Penyempitan infrastruktur juga
terjadi di luar Jawa, khususnya Kawasan Indonesia Timur.
Keadaan ini tentu mengakibatkan
terhambatnya pembangunan wilayah. Pembangunan
infrastruktur di luar Jawa sudah harus diperhatikan, untuk mulai
menggali sumber- sumber kemakmuran untuk meningkatkan
pendapatan wilayah di sana dan mengurangi tekanan-tekanan di
Jawa.

6. Masalah Pangan dan Beras.

Usaha besar-besaran telah dilakukan oleh Indonesia untuk


berswasembada beras. Pada masa lalu, pada saat infrastruktur
bendungan, sawah dan irigasi rusak, sehingga Indonesia tidak
mampu menyediakan cukup beras, Indonesia menjadi negara
pengimpor beras terbesar dunia, yang mengakibatkan
terkurasnya deviusa. Sejak awal 1980-an, Indonesia telah berhasil
berswasembada beras. Tetapi swasembada beras ini, kini,
terancam bahaya. Tahun ini diperkirakan Indonesia harus
mengimpor sekitar 2 juta ton beras. Terjadinya paceklik pada
beberapa tahun terakhir ini, antara lain karena banjir dan
kemarau yang panjang, mengakibatkan terjadinya penurunan
produksi beras. Apabila pola konsumsi beras tidak diperbaiki,
penduduk semakin bertambah (sekitar 10 juta setiap 5 tahun),
maka kesulitan beras yang terjadi pada masa yang silam akan bisa
terulang kembali.
Patut pula dicatat, bahwa investasi dan pembangunan industri
di Jawa yang subur telah semakin mempersempit lahan
pertaniannya “dimakan” oleh areal industri dan perumahan.
Banyak sawah-sawah dengan irigasi teknis yang dikonversikan
menjadi kawasan industri dan perumahan. Demikian pula
tiadanya penambahan areal sawah baru, khususnya di luar Jawa,
akan lebih menyulitkan penambahan produksi beras di masa
mendatang. Selain itu juga perlu difahami,
bahwa untuk meningkatkan produksi beras pada masa lalu, segala
dana dan daya dicurahkan “habis-habisan” untuk meningkatkan
produksi beras ini. Sebagai akibatnya, meskipun ada peningkatan
produksi beras secara substansial, tetapi hal itu diikuti pula
dengan menurunnya produksi-produksi lain, khususnya tanaman-
tanaman pangan lain.

7. Masalah Pertanahan dan Hak Atas Tanah.

Patut dicatat, bahwa tidak ada pembangunan yang tanpa


dimulai dengan pengendalian penggunaan tanah dan hak atas
tanah, atau land reform. Land reform tidak saja mengatur alokasi
penggunaan tanah, tetapi juga hak kepemilikan dan penggunaan
atas tanah, baik untuk individu atau kelompok, menetapkan hak
maksimum dan minimum, serta lamanya memegang hak
tersebut. Selain berdampak sosial, karena pertanahan ini
berkaitan pula dengan kebutuhan tanah untuk investasi, maka
persoalan pertanahan sangat mungkin mengakibatkan
terhambatnya banyak sektor dalam pembangunan. Di Indonesia
masalah pertanahan dan hak atas tanah tersebut belum
diatur dengan baik. Sebetulnya sudah ada UU Pokok Agraria
(1960), akan tetapi UU tersebut pada kenyataannya tidak berjalan
atau sengaja tidak dijalankan sepenuhnya. Sebagai akibatnya,
muncullah masalah pertanahan yang meliputi berbagai kasus
penggusuran atas hak memiliki dan menggunakan lahan,
pengalihan fungsi lahan, dan banyak masalah lainnya.
Di samping ada penggusuran atas hak minimum individu, ada
pula kasus tentang penguasaan lahan yang tak terbatas. Tentu
saja hal tersebut mengakibatkan persoalan-persoalan baru yang
berkaitan dengan kemiskinan dan kesenjangan sosial. Pengalihan
fungsi lahan meliputi penggusuran daerah kumuh yang padat
hunian dan pengalihan fungsi sawah atau lahan pertanian untuk
tujuan-tujuan pembangunan, termasuk perumahan dan kawasan
industri, telah menjadi persoalan pembangunan yang serius.
Masalah pertanahan juga muncul dalam kasus-kasus yang
berkaitan dengan transmigrasi, relokasi penduduk, serta
pembukaan lahan baru dan pembangunan wilayah untuk tujuan-
tujuan produktif.

8. Korupsi dan Inefisiensi Ekonomi.

Masalah korupsi dan inefisiensi ekonomi meliputi berbagai


macam kebocoran dalam ekonomi dan pembangunan. Selain
korupsi yang murni, ada korupsi tidak langsung yang dilakukan
melalui praktek- praktek mark-up dalam pelaksanaan
pembangunan proyek. Berbagai kebocoran ini menunjukkan
pemakaian dana yang tidak produktif, termasuk pemilihan
proyek-proyek yang tak bermanfaat. Praktek korupsi melibatkan
dana negara, dan terjadi akibat kolusi antara birokrat dan
pengusaha berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang. Ini
semua menimbulkan keadaan high-cost dalam ekonomi. Selain
itu, ada pula kebocoran-kebocoran ekonomi yang bermuara pada
kebijakan-kebijakan pembangunan yang mengakibatkan
inefisiensi ekonomi, seperti monopolisme-oligopolisme,
pemberian fasilitas keagenan dan proteksi dalam industri dan
perdagangan, serta berbagai kemudahan secara sembarangan
bagi sekelompok kecil masyarakat.
Menurut Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, kebocoran
ekonomi Indonesia dikabarkan mencapai paling sedikit 30 persen,
yaitu dikaitkan dengan angka ICOR (incremental capital-output
ratio) yang terlalu tinggi (5). Apabila ICOR bisa dipertahankan
rendah (3,5), maka pertumbuhan ekonomi, dengan dana yang
ada, dapat mencapai 8,5 persen per tahun sekalipun tanpa
hutang asing. Sedang kalau hutang asing tetap dibuat, maka
pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 9,5 persen. Padahal untuk
mencapai angka pertumbuhan 6-7 persen saja sulit sekarang ini.
Satu bukti lagi tentang inefisiensi pembangunan di Indonesia
ditunjukkan dari penelitian oleh Dr. Jeffrey A. Winters, dimana
Indonesia (1973/74-1989/90) disebutkan membutuhkan dana
sebesar USD 166,5 milyar, yang 20 kali lebih besar dari yang
dibutuhkan Korea Selatan (1959-1975) dalam periode 17 tahun
konsolidasi ekonomi. Padahal jumlah penduduk Indonesia hanya
sekitar 5 kali lipat penduduk Korea Selatan. Dan agaknya, 15
tahun dari sekarang tidak mungkin ekonomi Indonesia akan
mencapai pendapatan perkapita 10 kali dari yang sekarang untuk
menyamai Korea Selatan yang telah mencapai USD 7000.

9. Sentralisasi Pembangunan dan Tiadanya Otonomi Daerah.

Salah satu sumber inefisiensi pembangunan Indonesia adalah


sistim pemerintahan yang sangat sentralistis. Indonesia adalah
negara kepulauan yang sangat luas, dan beragam dalam suku,
adat istiadat, bahasa dan kebudayaannya. Meskipun begitu,
semangat persatuan dan kesatuan di antara berbagai keragaman
itu justru tumbuh secara alamiah sejak beratus tahun yang
lampau. Negara yang begitu luas dan beragam ini tidak mungkin
akan dibangun secara baik dengan sistim yang sentralistis.

Meskipun berbentuk negara kesatuan, tetapi otonomi


pemerintahan di daerah-daerah (provinsi) sangat diperhatikan
oleh para pemimpin kemerdekaan. Sehingga, otonomi daerah
dinyatakan dalam pasal khusus dalam Konstitusi, yaitu Pasal-18
UUD-1945. Dalam prakteknya sekarang, otonomi daerah
sebagaimana dituntut oleh negara seluas dan seberagam
Indonesia ini tidak berlangsung. Sstim pembangunan yang
sentralistis tanpa otonomi daerah akan menghasilkan
pembangunan yang timpang. Ketimpangan seperti ini sudah
sangat terlihat manakala pembangunan di Jawa dibandingkan
dengan luar Jawa atau antara Kawasan Indonesia Barat dan
Timur. Bahkan antara Jakarta (Jabotabek) dan daerah-daerah lain.
Kesenjangan-kesenjangan tersebut akan memicu konflik-konflik
sosial yang bisa menghambat laju pembangunan, dan
kemungkinan perpecahan, sebagaimana terjadi di Soviet Uni dan
Jerman Timur. Dengan otonomi daerah dan desentralisasi
pembangunan, pemerintah pusat menyerahkan sebagian
pekerjaan administrasi pemerintahan kepada daerah-daerah.
Misalnya, urusan produksi dan industri, perdagangan, pendidikan,
keamanan daerah dan banyak hal lain. Dengan otonomi daerah
dan desentralisasi pembangunan tersebut, daerah memperoleh
kewenangan pula untuk mengidentifikasi sendiri kemampuan,
kekayaan dan keunggulan komparatif daerahnya untuk
dikembangkan dalam suatu konsep pembangunan daerah yang
diselenggarakan oleh putra-putra daerah sendiri. Pemerintah
pusat hanya sekedar menetapkan garis-garis besar
pembangunan, khususnya dalam upaya membuat keseimbangan
pembangunan antar daerah.

10. Masalah Demokrasi dan Hak-hak Asasi Manusia.

Prestasi pembangunan, seringkali dilupakan orang, banyak


dipengaruhi oleh sistim pemerintahan demokratis. Demokrasi,
pada hakekatnya, telah menjadi tuntutan setiap masyarakat di
setiap negara. Tidak ada negara satupun di dunia ini yang tidak
pro kepada demokrasi. Demikian pula Konstitusi UUD-1945
memberi amanat, agar Republik ini diselenggarakan secara
demokratis dalam semua sektor, ekonomi, politik, sosial, dan
budaya. Meskipun tidak sendiri, ternyata Indonesia juga belum
menyelenggarakan demokrasi sebagaimana dituntut oleh
Konstitusinya. Banyak kasus yang terjadi di Indonesia yang
memperlihatkan, betapa demokrasi masih belum dijalankan
secara benar dan sepenuhnya. Salahsatunya adalah dominasi dari
pemerintah (eksekutif) di atas lembaga perwakilan rakyat
(legislatif) dan lembaga peradilan (yudikatif). Dengan dominasi
tersebut seakan-akan semua keputusan pemerintah hendak
dipaksakan agar diterima oleh parlemen dan seluruh rakyat.
Dengan keadaan seperti itu, tidak lagi ada alternatif kebijakan
yang cukup untuk digali, dan dipilih yang terbaik di antaranya.
Pemerintah Orde Baru telah menetapkan tentang pentingnya
stabilitas pembangunan. Stabilitas ini dimaksudkan untuk
mengamankan segala keputusan pemerintah di depan parlemen.
Demikian pula stabilitas harus bisa diciptakan di lingkungan
masyarakat.
Untuk mempertahankan stabilitas tersebut, digunakanlah
pendekatan, a.l. pendekatan keamanan yang dirasakan sangat
berlebihan. Pendekatan ini, selain sangat kontras dengan
pendekatan kesejahteraan rakyat, juga menempatkan eksekutif
pada kedudukan yang adikuasa yang bertentangan sendiri dengan
prinsip kedaulatan rakyat. Memang dengan pendekatan tersebut
stabilitas bisa dijamin, tetapi kemungkinan besar bersifat semu.
Stabilitas permanen dan dinamis hanya bisa tercipta kalau rakyat
berdaulat. Salahsatu dimensi utama dalam demokrasi adalah hak-
hak asasi manusia, yang juga tidak berjalan sebagaimana telah
diamanatkan oleh Konstitusi. Hak untuk berbeda pendapat,
khususnya dengan pemerintah, hampir selalu diartikan sebagai
upaya menentang dan memusuhi pemerintah. Seringkali
dilupakan, bahwa kecendekiaan, intelektualisme, penguasaan
Iptek, dan pengembangan SDM lainnya hanya bisa berlangsung
dan mencapai puncaknya dalam alam kemerdekaan bersikap dan
berpendapat yang penuh, yang hanya bisa dibatasi oleh ilmu
pengetahuan itu sendiri, akhlak mulia, hukum dan Konstitusi.
Demokrasi juga meliputi hak untuk membangun, untuk hidup
sejahtera, untuk berbudaya, untuk menikmati sumber-sumber
kemakmuran dari bumi, air dan kekayaan alam di dalamnya.
Pembangunan adalah masalah alternatif, di mana rakyat harus
diberi peluang untuk mengemukakan pilihannya yang terbaik.
Berbagai kasus pencekalan hak berbicara, berserikat dan
berkumpul, penyiksaan dan pembunuhan serta pelanggaran
hukum dan hak-hak asasi lainnya yang dijamin oleh Konstitusi,
dengan alasan keamanan, sampai sekarang, juga masih terjadi.
Masyarakat, pada hakekatnya, dihantui oleh rasa takut terhadap
penguasa. Kesewenang-wenangan berlangsung, dan hukum
seakan-akan selalu berpihak kepada kekuasaan. Padahal
demokrasi adalah alat menjalankan negara, bukan produk
kekuasaan.

Dampak Positif Pembangunan Ekonomi

1. Melalui pembangunan ekonomi, pelaksanaan kegiatan


perekonomian akan berjalan lebih lancar dan mampu
mempercepat proses pertumbuhan ekonomi.
2. Adanya pembangunan ekonomi dimungkinkan terciptanya
lapangan pekerjaan yang dibutuhkan  oleh masyarakat, dengan
demikian akan mengurangi pengangguran.

3. Terciptanya lapangan pekerjaan akibat adanya pembangunan


ekonomi secara langsung bisa memperbaiki tingkat pendapatan
nasional.

4. Melalui pembangunan ekonomi dimungkinkan adanya


perubahan struktur perekonomian dari struktur ekonomi agraris
menjadi struktur ekonomi industri, sehingga kegiatan ekonomi
yang dilaksanakan oleh negara akan semakin beragam dan
dinamis.

5. Pembangunan ekonomi menuntut peningkatan kualitas SDM


sehingga dalam hal ini,       dimungkinkan ilmu pengetahuan dan
teknologi akan berkembang dengan pesat. Dengan demikian,
akan makin meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Dampak Negatif Pembangunan Ekonomi

1. Adanya pembangunan ekonomi yang tidak terencana dengan


baik mengakibatkan adanya kerusakan lingkungan hidup.

2. Industrialisasi mengakibatkan berkurangnya lahan pertanian.


3. hilangnya habitat alam baik hayati atau hewani

BAB III
PENUTUP

A. K ESIMPULAN

Indonesia adalah bagian dari masyarakat dunia. Berbagai


persoalan yang dihadapi oleh ekonomi Indonesia harus mulai
terbuka bagi dunia. Bagaimanapun juga Indonesia, sebagaimana
negara-negara berkembang lainnya, tidak mungkin melaksanakan
pembangunanya sendiri. Oleh karena itulah didirikan berbagai
lembaga internasional, seperti PBB, Bank Dunia, CGI (atau IGGI) dan
lain-lain sebagai milik masyarakat internasional, yang selama ini
telah memberikan kontribusinya yang besar bagi Indonesia.
Kesulitan yang dihadapi dunia juga bisa berdampak terhadap
Indonesia, dan sebaliknya. Indonesia tidak ingin mengalami hal
seperti yang terjadi di Meksiko baru-baru ini, misalnya, yang tiba-
tiba saja mengalami krisis moneter yang menjadi persoalan bagi
dunia.
Dunia perlu tahu apa yang terjadi dan yang menjadi persoalan
ekonomi dan pembangunan Indonesia, kesemuanya menjadi
tantangan untuk dipecahkan di masa mendatang. Dalam hubungan
tersebut, sangat patut diperhatikan Sila Kedua Pancasila, yaitu
internasionalisme atau kemanusiaan yang adil dan beradab
(humanisme). Nasionalisme tanpa internasionalisme tidak akan
membawa Indonesia kemana-mana.
Meskipun ada unsur-unsur kultural yang kuat sebagaimana
terkandung dalam prinsip nasionalisme, tetapi dengan
internasionalisme itu, semakin jelaslah bahwa Indonesia tidak bisa
mengabaikan dasar hak-hak asasi manusia sebagai hak-hak yang
bersifat universal yang harus dijunjung tinggi oleh semua bangsa di
dunia

B. SARAN
      Makalah ini jauh dari kesempurnaan, mohon saran dari
pendengar atau  guru pengajar, agar bisa lebih di sempurnakan
untuk masa yang akan datang.

Anda mungkin juga menyukai