Anda di halaman 1dari 184

KESENJANGAN SOSIAL DI

INDONESIA
 

Disusun oleh : MUHAMMAD GUSTI JOFA


SANJAYA

NPM : 1805081013

PRODI : D3 TEKNIK SIPIL ( ABG )

Dosen Pembimbing : Ir. SETYANTO, M.T.


KATA PENGANTAR

                Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia yang tiada henti-hentinya sehingga penulis masih diberi
kesempatan untuk dapat menyelesaikan makalah Pendidikan Pancasila dengan judul
“Kesenjangan Sosial di Indonesia” yang diberikan oleh Bapak Ir. Setyanto, M.T sesuai
dengan waktu yang telah ditentukan. Shalawat serta salam senantiasa kita curahkan
kepada Nabi Muhammad SAW beserta kerabat dan sahabatnya.

Dalam makalah ini, penulis ingin memaparkan bagaimana kurangnya perhatian


pemerintah terhadap pembangunan di Indonesia. Seperti yang telah kita ketahui bahwa
kurangnya pemerataan pembangunan di Indonesia bukan lagi rahasia pribadi, tetapi
sudah menjadi rahasia bagi khalayak umum.

Makalah ini mungkin masih banyak kekuarangan baik dalam segi penulisan
maupun materi. Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritik atas keterbatasan
makalah ini. Semoga tulisan dari makalah ini dapat memberikan manfaat kepada
pembacanya.

Akhir kata terima kasih penulis mengucapkan kepada semua pihak yang telah
memberikan bantuan berupa dukungan baik secara moril maupun material demi
tersusunnya makalah yang bertemakan Pembangunan dan Budaya di Indonesia ini.

Bandar Lampung, 13 September 2018


Ahmad Ulil Albab

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ………………………………………………………………....… i

Daftar Isi .....................…………………………………………………………… ii

BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah ………………………........................…………….1

1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………………….2

1.3 Tujuan Masalah ……………………………………………………….........2

BAB II

Pembahasan

2.1 Ketidakmerataan Pembangunan ………………………………………........3

2.2 Penyebab Pembangunan di Indonesia Tidak Merata …………………….......4

2.3 Dampak yang ditimbulkan dari Ketidakmerataan Pembangunan………….......4

2.4 Solusi untuk Ketidakmerataan Pembangunan …………………….................5

BAB III

Penutup

3.1 Kesimpulan ………………………………………………..........................6

3.2 Saran ………………………………………………………………….......6

Daftar Pustaka ……………………………………………………….....................7


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

 Indonesia memiliki jumlah penduduk yang tidak sedikit jumlahnya. Hal ini

dikarenakan Indonesia terdiri atas pulau-pulau dan beragam suku dan budayanya.

Jumlah penduduk yang banyak ini tentunya menimbulkan banyak masalah,

antara lain kemiskinan, masalah pendidikan, dan lain-lain. Hal-hal simpel yang

seperti itulah, yang memicu timbulnya kesenjangan sosial di dalam kehidupan

masyarakat. Biasanya orang-orang yang berada di kalangan atas lah yang

membuat jarak dengan         sesama.

Kesenjangan sosial di Indonesia sangatlah terlihat, apalagi antara rakyat

dengan pejabatnya. Kesenjangan sosial memuncak saat pemerintahan Presiden

Soeharto karena TNI yang menguasai pemerintahan. Keadaan rakyat kecil

semakin tertindas dan tidak ada keadilan dalam hal ini. Padahal dalam

pembukaan dan isi Undang-undang Dasar 1945 telah dikatakan bahwa kita harus

berlaku adil terhadap seluruh rakyat Indonesia, bahkan telah memberi amanat

kepada pemerintah untuk memajukan kesejahteraan umum dan

mencerdaskan        kehidupan       bangsa.


Kesenjangan ini dipicu oleh adanya kemiskinan yang merajalela, kurangnya

lapangan pekerjaan serta Pendidikan masyarakat yang masih rendah, akan sangat

sulit bagi negara Indonesia untuk mengurangi permasalahan kesenjangan sosial.

Maka dari itu, pemerintah tidak boleh menyepelekan masalah yang kompleks

seperti ini. Kinerja pemerintah yang cepat dan tepat sangat diperlukan. Dan

dengan bantuan rakyat bersama-sama memberantas kemiskinan untuk       

mencapai         kesejahteraan   sosial.

Kesenjangan sosial yang muncul dalam masyarakat perlunya sebuah

keberanian dalam pengungkapannya, sehingga kesenjangan sosial menjadi topik

yang menarik serta bagus untuk dipaparkan dalam pengambilan judul ini.

Terjadinya tindakan yang sangat mencolok misalnya dalam kasus akhir-akhir ini

tentang bagaimana seorang koruptur besar yang mendapat fasilitas yang sangat

baik dalam tahanan, sedangkan pencuri ayam ditahan dengan tidak layak. Disini

sangatlah kelihatan perbedaannya antara orang kaya atau penguasa dengan orang

miskin atau rakyat kecil.


Indonesia adalah negara yang berdaulat, adil dan makmur, begitulah bunyi

dari sempalan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Adanya hubungan yang

harmonis antara rakyat, wilayah dan pemerintah yang berdaulat akan menjadikan

suatu negara yang solid dan kuat. Selain itu, hal ini juga menjadi suatu

unsur/landasan pokok yang mutlak harus dipenuhi oleh setiap negara di dunia.

Dalam realitanya, di Indonesia banyak peraturan-peraturan pemerintah yang

hanya dijadikan sebagai simbol atau lambang saja, itu semua tidak dijadikan

sebagai landasan atau pedoman yang kuat dalam berperilaku, berbangsa dan

bernegara. Contoh kecilnya adalah ketika seseorang yang miskin melakukan

kesalahan (penyimpangan) maka hukum ditegakan secara sangat adil dan divonis

dengan hukuman yang sesuai, sementara ketika seorang yang kaya melakukan

kesalahan (penyimpangan) maka disini hukum dipermainkan oleh si kaya, para

aparatur penegak keadilan seolah-olah tumpul dan tak mampu menegakkan

hukum dan keadilannya.


            Indonesia adalah Negara dengan sumber daya alam (SDA) yang

melimpah. Namun, sama halnya dengan Negara berkembang lainnya Indonesia

masih memiliki segumpal masalah yang menjadi penghambat kemajuan Negara

ini. Masalah – masalah tersebut dapat dikaji berdasarkan daerah – daerah kecil.

Namun, dibalik kemajuan sektor pariwisatanya, indonesia termasuk negara

dengan tingkat kesenjangan ekonomi tinggi di Dunia bedasarkan berita TEMPO.

Pada tahun 2011, peneliti Dana Moneter Internasional menunjukkan bahwa

kesetaraan pendapatan yang lebih besar—berkurangnya kesenjangan—

meningkatkan durasi pertumbuhan ekonomi sebuah negara dengan lebih cepat

dibandingkan perdagangan bebas, korupsi pemerintah rendah, investasi asing,

atau utang luar negeri rendah. Hal ini nyatanya makin berkembang dan menjadi

masalah utama perekonomian di indonesia itu sendiri. Berdasarkan dampak yang

timbul dari kesenjangan ekonomi di indonesia. Terlihat dengan sangat jelas

sekali perbedaan diantara gambar-gambar di atas. Fasilitas mewah yang dimiliki

negara ataupun orang-orang mampu yang tentu saja sangat berbanding terbalik

dengan keadaan masyarakat yang kurang mampu atau bahkan masyarakat yang

tidak mampu. Di saat pinggiran kota harus bergelap-gelapan karena tidak ada

aliran listrik di kota besar bergelimang cahaya, lampu berkelap-kelip di setiap

sudut kota. Di saat penduduk miskin harus membangun rumah seadanya dan

bahkan tidak layak huni di pinggiran kali, perumahan-perumahan dan kantor

mewah sedang berlomba-lomba dibangun.

Kesenjangan ini berkaitan dengan strategi pembangunan Indonesia yang

bertumpu pada aspek pertumbuhan ekonomi sejak masa orde baru. Sasaran


pembangunan diarahkan untuk pencapaian pertumbuhan ekonomi tinggi,namun

tidak memperhatikan pemerataan pembangunan ekonomi di seluruhwilayah

Indonesia. Walaupun aspek pemerataan sempat mendapatkan perhatian ketika

urutan prioritas trilogi pembangunan diubah dari pertumbuhan, pemerataan, dan

stabilitas pada Pelita II (1974-1979) menjadi pemerataaan, pertumbuhan, dan

stabilitas dari pada Pelita III (1979-1984), namun inti tumpuan

pembangunan Indonesia tetap saja pertumbuhan (growth bukan equity). Dalam

praktiknya, pemerintah hanya menetapkan target tingkat pertumbuhan yang

hendak dicapai, namun tidak menetapkan target mengenai tingkat kemerataan.

(Dumairy, 1996). Tidak teratasinya masalah tersebut menjadi salah satu faktor

penghambat perekonomian daerah dan berpengaruh terhadap aspek – aspek

kehidupan lainnya. Kondisi ini memerlukan perhatian khusus tidak hanya dari

pemerintah namun dari setiap anggota masyarakat yang diharuskan untuk sadar

dengan lingkungan ekonominya. Kinerja pemerintah yang cepat dan tepat sangat

diperlukan. Dan dengan bantuan rakyat bersama-sama memberantas kemiskinan

untuk mencapai kesejahteraan sosial.


Dalam kasus seperti di atas, penulis melihat fenomena yang sangat unik, di

bumi pertiwi ini hubungan antara si kaya dan si miskin sangat jauh.

Ketimpangan/kesenjangan yang terjadi di Inodesia ini, sudah seharusnya menjadi

tanggung jawab pemerintah serta segera diselesaikan dengan cara yang paling

tepat. Selain itu, hal ini juga haruslah menjadi perhatian semuanya mulai dari

masyarakat kelas atas, kelas menengah bahkan kelas bawah itu sendiri.

Melalui makalah ini, penulis akan mebahas mengenai fenomena Kesenjangan

Sosial, mulai dari definisi, sejarah, faktor-faktor yang menyebabkan Kesenjangan

Sosial serta cara terbaik dalam menyelesaikan permasalahan yang sudah tak

lazim ini.
B.     Rumusan Masalah

Dari pemaparan latar belakang di atas timbulah pertanyaan, sebagai berikut :

a)      Apa dimaksud dengan Kesenjangan Sosial ?

b)      Kenapa timbul kesenjangan di indonesia ?

c)      Apa yang menjadi faktor utama terjadinya Kesenjangan Sosial ?

d)     Bagaimana peran pemerintah Indonesia dalam permasalahan kesenajngan

sosial ini ?

e)     Bagaimana pandangan penulis dalam mengatasi dan mencari solusi terbaik

untuk memecahkan permasalahan Kesenjangan Sosial ?

 
C.    Tujuan

Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut :

a)    Mengetahui dan memahami apa yang dimaksud Kesenjangan Sosial secara

mendalam.

b)   Mengetahui dan memahami sejarah timbulnya Kesenjangan Sosial.

c)    Mengetahui apa yang menjadi faktor-faktor atau penyebab utama kenapa

terjadi permasalahan Kesenjangan Sosial.

d)   Mengetahui bagaimana upaya pemerintah dalam mengatasi permasalahan

Kesenjangan Sosial.

e)    Pandangan penulis dalam mengatasi serta mencari solusi terbaik untuk

menyelesaikan permasalahan Kesenjangan Sosial.

D.    Manfaat
Adapun manfaat dari makalah ini adalah sebagai berikut :

a)   Menjadi rujukan yang utama mengenai pembahasan dan pemahaman

Kesenjajngan Sosial yang ada di Indonesia.

b)    Menjadi sumber informasi mengenai definisi, sejarah, mengenai Kesenjangan

Sosial di Indonesia khususnya mahasiswa-mahasiswi dalam menyelesaikan

studi di Universitas Lampung.

c)   Menarik perhatian pemerintah, agar dapat melihat, menyelesaikan dan

memahami permasalahan Kesenjangan Sosial.

E.     Metode dan Teknik Penulisan

Metode dan teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah

metode studi pustaka dan deskriptif. Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan data

dan informasi yang bersifat teoritis yang kemudian data tersebut akan dijadikan dasar

atau pedoman untuk melihat adanya ketidaksesuaian antara teori dengan kenyataan

sebagai penyebab dari permasalahan yang dibahas dalam makalah ini. Sumber-sumber

yang dijadikan sebagai rujukan untuk studi pustaka dan deskriptif diperoleh dari

berbagai sumber bacaan baik itu buku, koran, artikel maupun situs – situs yang ada di

internet.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Kesenjangan Sosial

Kesenjangan Sosial diartikan sebagai kesenjangan (ketimpangan) atau

ketidaksamaan akses untuk mendapatkan atau memanfaatkan sumber daya yang

tersedia. Sumber daya bisa berupa kebutuhan primer, seperti pendidikan,

kesehatan, perumahan, peluang berusaha dan kerja, dapat berupa kebutuhan

sekunder, seperti sarana pengembangan usaha, sarana perjuangan hak azasi, sarana

saluran politik, pemenuhan pengembangan karir, dan lain-lain. Kesenjangan Sosial

adalah suatu keadaan ketidak seimbangan sosial yang ada di masyarakat yang

menjadikan suatu perbedaan yang sangat mencolok.


Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) kesenjangan berasal dari

kata “senjang” yang berarti tidak simetris, tidak sama bagian yang di kiri dan yang

di kanan, genjang,berlainan sekali, berbeda,ada (terdapat) jurang pemisah.

Menurut Abad Badruzaman (2009;284) Kesenjangan Sosial adalah suatu

ketidakseimbangan sosial yang ada di masyarakat sehingga menjadikan suatu

perbedaan yang sangat mecolok. Atau dapat juga diartikan suatu keadaan dimana

orang kaya mempunyai kedudukan lebih tinggi dan lebih berkuasa dari pada orang

miskin.

Kesenjangan sosial adalah sebuah fenomena yang terjadi pada masyarakat

Indonesia dan masyarakat di dunia yang disebabkan oleh perbedaan dalam hal

kualitas hidup yang sangat mencolok. Fenomena ini dapat terjadi pada negara

manapun. Dalam hal kesenjangan sosial sangatlah mencolok dari berbagai aspek

misalnya dalam aspek keadilanpun bisa terjadi. Antara orang kaya dan miskin

sangatlah dibedaan dalam aspek apapun, orang desa yang merantau dikotapun ikut

terkena dampak dari hal ini,memang benar kalau dikatakan bahwa “Yang kaya

makin kaya,yang miskin makin miskin”.


Adanya ketidak pedulian terhadap sesama ini dikarenakan adanya kesenjangan

yang terlalu mencolok antara yang “kaya” dan yang “miskin”. Banyak orang kaya

yang memandang rendah kepada golongan bawah,apalagi  jika  ia miskin dan juga

kotor,jangankan menolong,sekedar melihatpun mereka enggan.

Disaat banyak orang-orang miskin kedinginan karena pakaian yang tidak layak

mereka pakai,namun banyak orang kaya yang berlebihan membeli pakaian bahkan

tak jarang yang memesan baju dari para designer seharga 250.000 juta, dengan

harga sebanyak itu seharusnya sudah dapat memberi makan orang-orang miskin

yang kelaparan.

Pemerintah harusnya lebih memperhatikan masalah yang seperti ini, dalam

pembukaan UUD 1945 bahkan telah memberi amanat kepada pemerintah untuk

memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan bangsa,harusnya orang-orang

yang berada di pemerintahan lebih serius untuk memikirkan kepentingan bangsa

yang memang sudah menjadi tanggung jawab mereka,tapi dari kasus-kasus yang

sekarang ini tentang para anggota pemerintahan yang melakukan korupsi dapat

menunjukan bahwa tidak sedkit dari mereka masih memikirkan kepentingannya

masing-masing,uang dan biaya yang seharusnya untuk kemakmuran masyarakat

dimakan oleh mereka sendiri.


Kalaupun pada akhirnya mereka mendapatkan hukuman itu bukanlah

“hukuman” yang sebenarnya,banyak dari mereka masih tetap hidup mewah

walaupun mereka dalam kurungan penjara yang seharusnya memebuat mereka

jera.

Dalam hal Kesenjangan Sosial sangatlah mencolok dari berbagai aspek

misalnya dalam aspek keadilanpun bisa terjadi. Antara orang kaya dan miskin

sangatlah dibedakan dalam aspek apapun, orang desa yang merantau dikotapun

ikut terkena dampak dari hal ini, memang benar kalau dikatakan bahwa “yang

kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”. Adanya ketidak pedulian terhadap

sesama ini dikarenakan adanya kesenjangan yang terlalu mencolok antara yang

“kaya” dan yang “miskin”. Banyak orang kaya yang memandang rendah kepada

golongan bawah, apalagi jika ia miskin dan juga kotor, jangankan menolong,

sekedar melihatpun mereka enggan.


Permasalahan Utama Perekonomian Indonesia Dewasa ini.

Salah satu permasalahan di negri ini adalah kesejahteraan yang tidak merata.

Capaian pertumbuhan ekonomi beberapa tahun terkahir hanya dirasakan kalangan

atas. Sebaliknya, permasalahan perekonomian di negri ini dirasakan oleh rakyat –

rakyat kecil. Hal yang sama yang terjadi di Indonesia ini. Didukung dengan data

jumlah penduduk miskin yang mencapai setengah juta jiwa menambah

kemungkinan terjadinya kesenjangan ekonomi.

Kesenjangan ekonomi merupakan permashlahan yang akan terus berkembang

jika tidak diatasi. Kesenjangan ekonomi juga berakibat berkepanjangan karena

kesenjangan pendapatan dan pemusatan kekayaan mampu menghambat

pertumbuhan jangka panjang. Jika hal ini tidak segera diatasi akan berpengaruh ke

aspek kehidupan lainnya.

      Kondisi Ind saat ini dapat dibilang tenang dan tidak terlihat kemungkinan

akan ada terjadinya masalah sosial. Budaya Jawa yang masih tertanam berupa

sabar dan ikhlas menerima semuanya, memberikan efek baik ditengah – tengah

kesenjangan ekonomi yang belum muncul ke permukaan. Namun, seiring

berkembangnya kesenjangan ekonomi tersebut tanpa ada solusi yang

terealisasikan, lama – lama akan menumpuk dan menimbulkan masalah baru yang

dapat menghambat perkembangan perekonomian Indonesia.


Ekonomi mengkaji kesenjangan ekonmi dalam beberapa teori. Joseph E.

Stiglitz dalam bukunya The Great Devide: Unequal Societies and What We Can

Do About Them menyimpulkan bahwa sesungguhnya kesenjangan ekonomi

adalah sebuah “choices” (pilihan-pilihan). Peraih Nobel Ekonomi tahun 2011 ini,

menyebut kesenjangan ekonomi sebagai gejala sadar yang dibentuk para elite

yang sekaligus penerima manfaat paling besar dari tatanan ekonomi. Jadi, secara

singkat dapat dikatakan bila kesenjangan ekonomi adalah “produk” dari proses

politik yang berulang dan menjadi struktur, sehingga akibatnya sulit diubah.

Pemahaman secara mendalam tentang pola konsumsi sangat penting. Sebab, lewat

pengenalan pola konsumsi, para pembuat kebijakan bisa meluncurkan produk

kebijakan yang tepat sehingga konsumen tidak dirugikan alias tidak menjadi

miskin. Deaton telah banyak menginspirasi banyak peneliti dan periset tentang

dahsyatnya efek (pola-pola) konsumsi terhadap perekonomian. Sedangkan

menurut Teori Deaton aTerlebih karena konsumsi merupakan penyumbang

terbesar pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) yang erat berkaitan dengan

pendapatan perkapita (kesejahteraan) masyarakat. Penerapan analisis Deaton,

contohnya terjadi pada dampak kebijakan pajak pertambahan nilai terhadap

produk makanan. Pemberlakuan pajak pada makanan ini jelas mempengaruhi

konsumsi. Namun, pengaruh pajak ini sangat berbeda pada setiap individu. Warga

miskin akan mudah tertimpa beban sehingga mengurangi konsumsi, sedangkan

warga mapan relatif tidak begitu terpengaruh.


Dapat diartikan dari teori tersebut bahwa kemungkinan menghilangkan

kesenjangan ekonomi di Indonesia terbilang sulit.

Yang pertama dikarenakan kondisi masyarakat kebudayaan Indonesia yang

menerima semua apa adanya, menimbulkan rasa tidak kepedulian terhadap

lingkungan perekonomian luar disekitarnya, dan apalagi pertumbuhan

perkonomian.

Yang kedua adalah kurangnya lapangan pekerjaan, seperti data yang dilansir

di BPS Indonesia Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di D.I Indonesia dari

Agustus 2014- Agustus 2016 berada dalam kisaran 2,7 – 4,1 persen dan fluktuatif

cenderung menurun. Pada Agustus 2016 TPT D.I. Indonesia mencapai 2,72

persen, mengalami penurunan 1,35 poin dibanding TPT Agustus 2015 sebesar

4,07 persen. Angka ini lebih rendah dibanding TPT Nasional sebesar 5,49 persen

pada Agustus 2016. Berdasarkan data tersebut bisa dilihat bahwa tingkat

pengangguran masih terbilang tinggi. Lapangan pekerjaan memiliki pengaruh

yang sangat besar dalam perekonomian masyarakat, sedangkan perekonomian

menjadi faktor terjadinya kesenjangan sosial. Sempitnya lapangan pekerjaan di

Indonesia menjadikan pengangguran yang sangat besar di Indonesia dan

menyebabkan perekonomian masyarakat bawah semakin rapuh. Salah satu

karakteristik tenaga kerja di Indonesia adalah laju pertumbuhan tenaga kerja lebih

tinggi ketimbang laju pertumbuhan lapangan kerja. Berbeda dengan negara-negara

di Eropa dan Amerika, dimana lapangan pekerjaan masih berlebih.


Yang ketiga adalah rendahnya tingkat penggunaan program KB di Indonesia.

Keinginan masyarakat untuk memiliki anak lebih dari dua dengan berbagai

macam alasan/ perspektif lama yaitu “Banyak anak banyak rejeki”. Apalagi hal itu

tumbuh dikalangan menengah ke bawah, dimana untuk menghidupi kebutuhan

pokok saja belum memenuhi.

Yang keempat adalah angka kemiskinan yang terbilang tinggi. Mengutip

Badan Pusat Statistik (BPS) 2016, dari enam provinsi di Pulau Jawa, tiga di

antaranya memiliki angka kemiskinan di atas ratarata nasional, yakni Yogyakarta

13,20 persen, Jawa Tengah (13,15 persen) dan Jawa Timur (12 persen).

Sedangkan, tiga provinsi lain tingkat kemiskinannya di bawah ratarata nasional,

yakni Jawa Barat (9,50 persen), Banten (7 persen), dan DKI Jakarta (3,5 persen)
Keterkaitan dengan Aspek Kehidupan Lainnya

Kesenjangan ekonomi yanh terbilang tinggi akan sangat mempengaruhi

aspek kehidupan lainnya.

Yang pertama adalah adanya kaitan antara faktor-faktor ekonomi dengan

kesehatan masyarakat. Makin banyak penelitian  menunjukkan bahwa

ketimpangan ekonomi yang makin lebar memiliki pengaruh merugikan terhadap

kesehatan perseorangan maupun kesehatan masyarakat. Ketimpangan ekonomi

adalah determinan sosial kesehatan yang terlalu penting untuk tidak mendapat

perhatian serius. Dalam laporan berjudul “Does Income Inequality Cause Health

and Social Problems?” (2011), Karen Rowlingson melakukan review terhadap

hasil-hasil penelitian yang menelaah hubungan kesenjangan ekonomi dan kondisi

kesehatan. Ia tegas menyimpulkan bahwa meskipun tidak bersifat kausal, sulit

diingkari adanya korelasi antara keduanya. Review Rowlingson di atas dilakukan

terutama sebagai tindak lanjut debat antara para peneliti yang dipicu terbitnya

tulisan-tulisan penting mengenai pengaruh kesenjangan ekonomi terhadap kondisi

kesehatan yang ditulis Wilkinson dan Picket berjudul “The Spirit Level: Why

More Equal Society  Almost Always Do Better” (2009a) dan “Income Inequality

and Social Disfunction” (2009b). Wilkinson dan Picket menunjukkan indikator-

indikator kesehatan dan sosial seperti usia harapan hidup, angka kematian ibu dan

anak, angka kesakitan,  ataupun indikator-indikator seperti angka kejadian depresi

dan gangguan mental, tingkat ketergantungan pada alkohol dan


narkotika (beserta segala dampaknya), kehamilan remaja  dan angka

kekerasan (termasuk pembunuhan) yang hampir selalu lebih baik di daerah dan

masyarakat yang lebih setara atau yang rendah tingkat kesenjangan ekonominya.

Contohnya Angka Kematian Bayi. Pada Tahun 2013 angka kematian bayi sebesar

11,8 per 1000 kelahiran hidup dan meningkat menjadi 14,19 per 1000 kelahiran

hidup pada Tahun 2014 . Namun demikian apabila dibandingkan dengan target

MDGS sebesar 23 / 1000 kelahiran hidup pada tahun 2015 Kota Indonesia sudah

dapat mencapainya. Peningkatan angka kematian bayi merupakan gambaran

bahwa upaya menurunkan jumlah kematian bayi belum menunjukkan hasil yang

optimal. Penyebab kematian bayi sangat komplek , tidak hanya disebabkan dari

faktor medis atau faktor pelayanan kesehatan saja akan tetapi juga sangat di

pengaruhi oleh faktor sosial ekonomi kultural dan religious , sehingga sangat di

perlukan peningkatan peran lintas sektor dalam upaya penurunan kematian bayi di

Kota Indonesia. Menurut data yang dilansir oleh MetroTV News (30/12/2015).

Yang kedua dalam segi kriminalitas banyak rakyat miskin yang terpaksa

menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang, seperti mencopet, mencuri,

judi, dll. Tingkat kriminalitas menrurut data BPS di DI Indonesia meningkat 16,55

persen pada 2015 ketimbang setahun lalu. Polda INDONESIA mencatat 6.619

kasus kriminalitas terjadi sepanjang 2015. Sementara pada 2014, angka

kriminalitas mencapai 5.679 kasus.


Yang ketiga adalah kesenjangan sosial yang pasti muncul dikalangan

masyarakat. Ketika melihat perbedaan yang sangat jauh antara masyarakat

menengah kebawah dan keatas dilingkungan masyarakat seperti sekolah dan

lingkungan pekerjaan. Hal ini juga didukung dengan kurangnya kepedulian di

kalangan masyarakat atas. Kalangan menengah bawah juga rasanya hanya

menerima saja dengan keadaan yang ada disini. Contohnya adalah di lingkungan

sekolah sendiri, jika salah seorang teman melihat fasilitas yang digunakan

mayoritas temannya, hal ini akan menimbulkan ketidak percaya dirian individu

tesebut. Sama halnya yang akan terjadi di situasi masyarakat lainnya.

Yang keempat adalah tingkat kemiskinan yang jika tidak segera diberikan

solusi akan terus meningkat setiap tahunnya. Seperti yang dilansir dari data Badan

Pusat Statistik (BPS) Daerah Istimewa Indonesia (Indonesia), angka kemiskinan di

Indonesia hingga Maret 2015 mengalami kenaikan dibanding tahun sebelumnya.

Jika pada Maret 2014, angka kemiskinan berada pada 544,9 ribu jiwa, maka pada

Maret 2015 tercatat sebanyak 550,23 ribu jiwa atau naik 7,16 persen.

Yang kelima hal ini juga secara kasat mata menyebabkan pengaruh besar

terhadapa pendidikan. Akan terjadi banyak anak yang putus sekolah dikarenakan

masalah biaya dan sosialnya yang tidak menerima keadaan mereka. Menurut data

Badan Pusat Statistik dalam Data Strategis Indonesia 2015 menunjukkan, rerata

lama sekolah di Indonesia naik dari tahun ke tahun, namun masihlah jauh dari

target Wajib
Belajar 12 Tahun. Rerata lama sekolah pada 2013 adalah 8,72 tahun, naik

dari tahun sebelumnya, yakni 8,63 tahun. Kemudian pada 2014 rerata lama

sekolah naik menjadi 8,84 tahun. Menurut kabupaten/kota, rerata lama sekolah

terendah pada 2014 masih Kabupaten Gunungkidul (6,45 tahun) disusul kemudian

Kabupaten Kulon Progo (8,20 tahun). Alih-alih mengurangi beban ekonomi orang

tua dengan tidak meneruskan sekolah, hal ini justru menjerat anak dalam lingkaran

kemiskinan. Ini jelas merupakan kerugian baik bagi anak, orang tua, masyarakat

maupun bangsa. Untuk itu, diperlukan penanganan yang holistik atau menyeluruh

di antara pemerintah, lingkungan, dan siswa.

Pertumbuhan yang tinggi diperlukan untuk memberikan lapangan kerja serta

menurunkan jumlah orang miskin dan mengatasi kesenjangan kemakmuran yang

semakin melebar. Keadilan antara orang miskin dengan orang kaya dalam hal

memanfaatkan sumber daya yang ada harus ditegakkan .Hal – hal tersebutlah yang

menyebabkan kesenjangan ekonomi memperhambat pertumbuhan perekonomian

Indonesia. Tidak hanya dari segi ekonomi, namun sosialpun memberikan

pengaruh yang besar (Kesenjangan Sosial).


Pentingnya Peran Generasi Muda

Setelah mengetahui beberapa hal yang dapat dibilang sudah mendesak,

masyarakat seharusnya memiliki tingkat kesadaran yang tinggi untuk

berpartisispasi dalam memperbaiki kondisi perkonomian Indonesia ini. Ada

banyak hal yang bisa dikembangkan dari banyak sektor khususnya pariwisata dan

perdagangan, dimana Indonesia memiliki peluang yang besar dalam bidang

tersebut.

Generasi muda adalah penerus bangsa dimasa yang akan mendatang. Ada

baiknya jika masalah yang sudah terlanjur terjadi dapat diselesaikan. Maka peran

generasi muda sangatlah dibutuhkan untuk masa depan. Fungsi pendidikan

seharusnya lebih menanamkan nilai – nilai yang akan mereka gunakan di  masa

depan agar bisa menjadi berguna untuk bangsa maupun Negara.

Kesenjangan sosial semakin hari semakin memprihatinkan, khususnya di

lingkungan perkotaan. Memang benar jika dikatakan bahwa yang kaya semakin

kaya dan yang miskin semakin miskin. Hal ini jelas-jelas mencederai rasa keadilan

serta bertolak belakang dengan kebersamaan dan kesetaraan sosial. 10 Selain itu,

kesenjangan sosial tidak sesuai dengan pancasila sila kelima yang berbunyi

“Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Inilah tugas dan peran dari

generasi muda di masa depan yang harus terus belajar mengenai perekonomian

khususnya generasi muda di Yoggyakarta ini yang memiliki peluang besar

menjadi penerus – penerus


pemerintahan Indonesia untuk menyelesaikan masalah – maslah yang sangat

berkemungkinan terjadi di masa depan dan menuntaskan maslah yang terjadi masa

lalu.

Generasi muda saat ini harus mengetahui terlebih dahulu mengenai

perekonomian Indonesia yang terkecil dan perekonomian Negara yang terbesar.

Hal ini akan menjadi bekal mereka untuk menghadpai segala macam persoalan

yang ada. Masa depan bergantung sekali terhadap bibit generasi masa sekarang.

Hal ini dilakukan agar keadilan, dan kesejahteraan bisa terwujud yaitu sebagai

tanggung jawab kita bersama maka mulailah dengan diri kita sendiri yang peduli

dengan sesama.

 
B.     Faktor-Faktor Kesenjangan Sosial

Kesenjangan Sosial dapat disebabkan oleh adanya faktor-faktor penghambat

sehingga mencegah dan menghalangi seseorang untuk memanfaatkan akses atau

kesempatan-kesempatan yang tersedia. Secara teoritis sekurang kurangnya ada

dua faktor yang dapat menghambat.

Pertama, faktor-faktor yang berasal dari dalam diri seseorang (faktor

internal), terdiri dari :

 rendahnya kualitas sumberdaya manusia karena tingkat pendidikan yang

rendah (keterampilan),

 tingkat kesehatan rendah

 dan adanya hambatan budaya kemiskinan.

Kesenjangan Sosial dapat muncul sebagai akibat dari nilai-nilai kebudayaan yang

dianut oleh sekelompok orang itu sendiri. Akibatnya, nilai-nilai luas, seperti

apatis, cenderung menyerah pada nasib, tidak mempunyai daya juang, dan tidak

mempunyai orientasi kehidupan masa depan. Dalam penjelasan Lewis (1969),

Kesenjangan Sosial tipe ini muncul karena masyarakat itu terkungkung dalam

kebudayaan kemiskinan.
Kedua, faktor-faktor yang berasal dari luar kemampuan seseorang

(eksternal). Hal ini dapat terjadi karena birokrasi atau ada peraturan-peraturan

resmi (kebijakan), sehingga dapat membatasi atau memperkecil akses seseorang

untuk memanfaatkan kesempatan dan peluang yang tersedia. Dengan kata lain,

Kesenjangan Sosial bukan terjadi karena seseorang malas bekerja atau tidak

mempunyai kemampuan sebagai akibat keterbatasan atau rendahnya kualitas

sumberdaya manusia, tetapi karena ada hambatan-hambatan atau tekanan-

tekanan struktural. Kesenjangan Sosial ini merupakan salah satu penyebab

munculnya kemiskinan structural.

Alfian, Melly G. Tan dan Selo Sumarjan (1980:5) mengatakan, bahwa

yang dimaksud dengan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita

oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat

ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi

mereka. Kemiskinan struktural meliputi kekurangan fasilitas pemukiman,

kekurangan pendidikan, kekurangan komunikatif, kekurangan fasilitas untuk

mengembangkan usaha dan mendapatkan peluang kerja dan kekurangan

perlindungan hukum.
 

C.    Penyebab Utama Kesenjangan Sosial

Disaat banyak anak-anak jalanan yang tak punya tempat tinggal dan tidur

dijalanan, namun masih banyak orang yang berleha-leha tidur di hotel berbintang,

banyak orang diluar sana yang kelaparan dan tidak bisa memberi makan untuk

anak-anaknya tapi lebih bnyak pula orang kaya sedang asyik menyantap berbagai

makanan enak yang harganya selangit. Disaat banyak orang-orang miskin

kedinginan karena pakaian yang tidak layak mereka pakai, namun banyak orang

kaya yang berlebihan membeli pakaian bahkan tak jarang yang memesan baju dari

para designer seharga 250.000 juta, dengan harga sebnyak itu seharusnya sudah

dapat memberi makan orang-orang miskin yang kelaparan.


1. Kemiskinan

“Kemiskinan” mungkin hal ini yang menjadi penyebab utama dari

permasalahan Kesenjangan Sosial di Indonesia. Kemiskian memang bukan hanya

menjadi masalah di Negara Indonesia, bahkan negara majupun masih sibuk

mengentaskan masalah yang satu ini. Kemiskinan memang selayaknya tidak

diperdebatkan tetapi diselesaikan. Akan tetapi penulis yakin : “du chocs des

opinion jaillit la verite”. “ Dengan benturan sebuah opini maka akan munculah

suatu kebenaran “. Dengan kebenaran maka keadilan ditegakkan, dan apabila

keadilan ditegakkan kesejateraan bukan lagi menjadi sebuah impian akan tetapi

akan menjadi sebuah kenyataan.

Menurut Robert Chambers bahwa inti kemiskinan terletak pada kondisi yang

disebut deprivation trap atau perangkap kemiskinan.

Perangkap itu terdiri dari :

a.    Kemiskinan itu sendiri

b.    Kelemahan fisik

c.    Keterasingan atau kadar isolasi

d.   Kerentaan

e.    Ketidakberdayaan

 
Menurut Lewis (1983), budaya kemiskinan dapat terwujud dalam berbagai

konteks sejarah, namun lebih cendrung untuk tumbuh dan berkembang di dalam

masyarakat yang memiliki seperangkat kondisi:

a)    Sistem ekonomi uang, buruh upahan dan sistem produksi untuk

keuntungan

b)   Tingginya tingkat pengangguran dan setengah pengangguran bagi tenaga

tak terampil

c)    Rendahnya upah buruh

d)   Tidak berhasilnya golongan berpenghasilan rendah meningkatkan

organisiasi sosial, ekonomi dan politiknya secara sukarela maupun atas

prakarsa pemerintah

e)    Sistem keluarga bilateral lebih menonjol daripada sistem unilateral, dan

f)    Kuatnya seperangkat nilai-nilai pada kelas yang berkuasa yang

menekankan penumpukan harta kekayaan dan adanya kemungkinan

mobilitas vertical, dan sikap hemat, serta adanya anggapan bahwa rendahnya

status ekonomi sebagai hasil ketidak sanggupan pribadi atau memang

pada dasarnya sudah rendah kedudukannya.


Budaya kemiskinan bukanlah hanya merupakan adaptasi terhadap seperangkat

syarat-syarat obyektif dari masyarakat yang lebih luas, sekali budaya tersebut

sudah tumbuh, ia cendrung melanggengkan dirinya dari generasi ke generasi

melaui pengaruhnya terhadap anak-anak. Budaya kemiskinan cendrung

berkembang bila sistem-sistem ekonomi dan sosial yang berlapis-lapis rusak atau

berganti, seperti masa pergantian feodalis ke kapitalis atau pada masa pesatnya

perubahan teknologi. Budaya kemiskinan juga merupakan akibat penjajahan yakni

struktur ekonomi dan sosial pribumi diobrak, sedangkan atatus golongan pribumi

tetap dipertahankan rendah, juga dapat tumbuh dalam proses penghapusan suku.

Budaya kemiskinan cendrung dimiliki oleh masyarakat strata sosial yang lebih

rendah, masyarakat terasing, dan warga urban yang berasal dari buruh tani yang

tidak memiliki tanah.


Kemiskinan menjadi faktor terbesar kesengjangan sosial yang menjadi momok

dalam kehidupan masyarakat. Saat melihat berita pagi ini tentang kemewahan

sebuah penjara para pejabat dan koruptor-koruptor, serta orang-orang memiliki

banyak uang, sungguh membuat saya cukup terkejut. Bagaimana tidak? Penjara

yang seharusnya menjadi tempat hukuman bagi mereka yang bersalah, serta

menjadi tempat untuk merenungi kesalahannya, dijadikan tempat tinggal yang

mewah, layaknya sebuah hotel berbintang 5 atau bahkan sebuah apartemen

mewah. Hal ini sungguh ironi. Disaat rakyat negeri ini masih berjuang agar

kemiskinan di negeri kita bisa lebih menyusut, para lakon di atas malahan hidup

bermewah-mewahan di dalam penjara. Sebagai contoh, seorang pencuri ayam atau

jemuran akan mendapatkan hukuman dari masyarakat, yaitu dengan dipukuli

beramai-ramai, sementara saat masuk penjara, mereka juga mendapatkan siksaan

dari para sipir penjara. Namun, seorang koruptor yang mencuri miliaran rupiah

uang negara, bisa hidup bermewah-mewahan serta mendapatkan pelayanan khusus

yang cukup istimewa dari pihak penjara tersebut. Apalagi kalau bukan uang yang

menjadi hal yang paling utama? Bagi mereka, uang bisa membeli apapun. Bahkan

bisa membeli hukum sekalipun. Namun, bagi rakyat kecil yang tidak memiliki

uang, mereka hanya bisa pasrah menerima hukuman          yang    diterimanya.

Kesenjangan sosial seperti inilah yang selalu menjadi momok dan juga penyakit di

negara kita ini.


Menurut Parker Seymour dan Robert J. Kleiner (1983), formulasi

kebudayaan kemiskinan mencakup pengertian bahwa semua orang yang terlibat

dalam situasi tersebut memiliki aspirasi-aspirasi yang rendah sebagai salah satu

bentuk adaptasi yang realistis. Beberapa ciri kebudyaan kemiskinan adalah :

a)    fatalisme,

b)   rendahnya tingkat aspirasi,

c)    rendahnya kemauan mengejar sasaran,

d)   kurang melihat kemajuan pribadi ,

e)    perasaan ketidak berdayaan/ketidakmampuan,

f)    perasaan untuk selalu gagal,

g)   perasaan menilai diri sendiri negatif,

h)   pilihan sebagai posisi pekerja kasar, dan

i)     tingkat kompromis yang menyedihkan.


Berkaitan dengan budaya sebagai fungsi adaptasi, maka suatu usaha yang

sungguh-sungguh untuk mengubah nilai-nilai yang tidak diinginkan ini menuju ke

arah yang sesuai dengan nilai-nilai golongan kelas menengah, dengan

menggunakan metode-metodre psikiater kesejahteraan sosial-pendidikan tanpa

lebih dahulu (ataupun secara bersamaan) berusaha untuk secara berarti mengubah

kenyataan kenyataan struktur sosial (pendapatan, pekerjaan, perumahan, dan pola-

pola kebudayaan membatasi lingkup partisipasi sosial dan peyaluran kekuatan

sosial) akan cendrung gagal. Budaya kemiskinan bukannya berasal dari

kebodohan, melainkan justru berfungsi bagi penyesuaian diri.

 
Kemiskinan struktural menurut Selo Sumarjan (1980) adalah kemiskinan

yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat

itu tidak dapat ikut menggunakan sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia

bagi mereka.

Kemiskinan struktural adalah suasana kemiskinan yang dialami oleh suatu

masyarakat yang penyebab utamanya bersumber pada struktur sosial, dan oleh

karena itu dapat dicari pada struktur sosial yang berlaku dalam masyarakat itu

sendiri. Golongan kaum miskin ini terdiri dari :

a)      Para petani yang tidak memiliki tanah sendiri,

b)      Petani yang tanah miliknya begitu kecil sehingga hasilnya tidak cukup untuk

memberi makan kepada dirinya sendiri dan keluargamnya,

c)      Kaum buruh yang tidak terpelajar dan tidak terlatih (unskilled labourerds),

dan

d)     Para pengusaha tanpa modal dan tanpa fasilitas dari pemerintah (golongan

ekonomi lemah).

Kemiskinan struktural tidak sekedar terwujud dengan kekurangan sandang dan

pangan saja, kemiskinan juga meliputi kekurangan fasilitas pemukiman yang

sehat, kekurangan pendidikan, kekurangan komunikasi dengan dunia sekitarnya,

sosial yang mantap.

 
Beberapa ciri kemiskinan struktural, menurut Alpian (1980) adalah

a)    Tidak ada atau lambannya mobilitas sosial (yang miskin akan tetap hidup

dengan kemelaratanya dan yang kaya akan tetap menikmati

kemewahannya),

b)   Mereka terletak dalam kungkungan struktur sosial yang menyebabkan

mereka kekurangan hasrat untuk meningkatkan taraf hidupnya, dan

c)    Struktur sosial yang berlaku telah melahirkan berbagai corak rintangan

yang menghalangi mereka untuk maju. Pemecahan permasalahan

kemiskinan akan bisa dilakukan bilamana struktur sosial yang berlaku itu

dirubah secara mendasar.


Soedjatmoko (1984) memberikan contoh kemiskinan structural;

a) Pola stratifikasi (seperti dasar pemilikan dan penguasaan tanah) di desa

mengurangi atau merusak pola kerukukan dan ikatan timbal-balik

tradisional,

b) Struktur desa nelayan, yang sangat tergantung pada juragan di desanya

sebagai pemilik kapal, dan

c) Golongan pengrajin di kota kecil atau pedesaan yang tergantung pada

orang kota yang menguasai bahan dan pasarnya.

Hal-hal tersebut memiliki implikasi tentang kemiskinan structural :

a) Kebijakan ekonomi saja tidak mencukupi dalam usaha mengatasi

ketimpangan

ketimpangan struktural, dimensi struktural perlu dihadapi juga terutama di

pedesaan; dan

b) Perlunya pola organisasi institusi masyarakat pedesan yang disesuaikan

dengan keperluannya, sebaga sarana untuk mengurangi

ketimpangan dan meningkatkan bargaining power, dan perlunya

proses Sosial learning yang spesifik dengan kondisi setempat.

 
Adam Malik (1980) mengemukakan bahwa untuk mencari jalan agar struktur

masyarakat Indonesia dapat diubah sedemikian rupa sehingga tidak terdapat lagi

di dalamnya kemelaratan structural. Bantuan yang terpenting bagi golongan

masyarakat yang menderita kemiskinan struktural adalah bantuan agar mereka

kemudian mampu membantu dirinya sendiri. Bagaimanapun kegiatan

pembangunan yang berorientasi pertumbuhan maupun pemerataan tidak dapat

mengihilangkan adanya kemiskinan struktural.

Pada hakekatnya perbedaan antara si kaya dengan si miskin tetap akan ada,

dalam sistem sosial ekonomi manapun. Yang lebih diperlukan adalah bagaimana

lebih memperkecil kesenjangan sehingga lebih mendekati perasaan keadilan

sosial.

 
Sudjatmoko (1984) berpendapat bahwa, pembangunan yang semata-mata

mengutamakan pertumbuhan ekonomi akan melanggengkan ketimpangan

struktural.

Pola netes ke bawah memungkinkan berkembangnya perbedaan ekonomi, dan

prilaku pola mencari nafkah dari pertanian ke non pertanian, tetapi proses ini akan

lamban dan harus diikuti dengan pertumbuhan yang tinggi. Kemiskinan tidak

dapat diatasi hanya dengan membantu golongan miskin saja, tanpa menghadapi

dimensi-dimensi struktural seperti ketergntungan, dan eksploitasi.

Permasalahannya adalah dimensi-dimensi struktural manakah yang mempengarhui

secara langsung terjadinya kemiskinan, bagaimana ketepatan dimensi untuk

kondisi sosial budaya setempat.


 

2. Kurangnya Lapangan Kerja

Lapangan pekerjaan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam

perekonomian masyarakat, sedangkan perekonomian menjadi faktor terjadinya

kesenjangan sosial. Sempitnya lapangan pekerjaan di Indonesia menjadikan

pengangguran yang sangat besar di Indonesia dan menyebabkan perekonomian

masyarakat bawah semakin rapuh. Salah satu karakteristik tenaga kerja di

Indonesia adalah laju pertumbuhan tenaga kerja lebih tinggi ketimbang laju

pertumbuhan lapangan kerja. Berbeda dengan negara-negara di Eropa dan

Amerika, dimana lapangan pekerjaan masih berlebih.

Faktor-faktor penyebab pengangguran di Indonesia:

a. Kurangnya sumber daya manusia pencipta lapangan kerja

b. Kelebihan penduduk/pencari kerja

c. Kurangnya jalinan komunikasi antara si pencari kerja dengan pengusaha

d. Kurangnya pendidikan untuk pewirausaha

     
 

   Kesenjangan sosial semakin hari semakin memprihatinkan, khususnya di

lingkungan perkotaan. Memang benar jika dikatakan bahwa yang kaya semakin

kaya dan yang miskin semakin miskin. Hal ini jelas-jelas mencederai rasa keadilan

serta bertolak belakang dengan kebersamaan dan kesetaraan sosial. 

Akibat dari semakin kurangnya lapangan pekerjaan  adalah:

A. Melemahnya wirausaha

Kesenjangan sosial menjadi penghancur minat ingin memulai usaha,

penghancur keinginan untuk terus mempertahankan usaha, bahkan penghancur

semangat untuk mengembangkan usaha untuk lebih maju. Hali ini dikarenakan

seorang wirausaha selalu di anggap remeh.

B. Terjadi kriminalitas

Karena masalah kesenjangan sosial banyak rakyat miskin yang terpaksa

menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang, seperti mencopet, mencuri,

judi, dll.

C. Banyaknya pengemis atau peminta-minta.

Karena sudah tidak adanya lapangan pekerjaan sehingga makin

menjamurnya para pengemis dan peminta-minta di jalanan maupun di


persimpangan jalan karena cara ini dianggap sangat praktis, cepat dapat

uang dan tidak menanggung resiko.

3. Lemahnya Pendidikan

Sistem pendidikan yang selalu berubah-ubah, kurikulum yang selalu berubah

dan kebijakan-kebijakan membuat status pendidikan di Indonesia belum juga

meningkat, hal tersebut justru dapat memicu adanya kesenjangan sosial.

Kesenjangan sosial merupakan suatu ketidak adilan yang dirasakan dalam

masyarakat dan timbul akibat adanya perbedaan. Kini, kesenjangan sosial terjadi

dalam penyelenggaraan kurikulum di sekolah.

Kurikulum memiliki kontribusi dalam menciptakan reproduksi kesenjangan

sosial dalam masyarakat. Kesenjangan sosial dalam lingkup ini sangat dipengaruhi

oleh faktor demografi, ekonomi, dan faktor pendidikan sendiri. Faktor demografi

terlihat pada jumlah penduduk dalam piramida muda. Faktor ekonomi tergambar

jelas bahwa tidak meratanya perekonomian di Indonesia, dimana yang kaya

semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Sedangkan faktor pendidikan

sendiri diantaranya  meliputi subjek dan objek dalam pendidikan.


Pendidikan berhubungan dengan perkembangan dan perubahan perilaku anak

didik dengan adanya transmisi pengetahuan, sikap, kepercayaan, keterampilan,

dan aspek kelakuan lainnya. Masyarakat menganggap bahwa dengan pendidikan

sekolah maka semua orang memiliki kesempatan yang sama di dalam pendidikan.

Pada dasarnya eksistensi sekolah tidak bisa terlepas dari pengaruh penikmatnya,

yaitu pengajar, anak didik, dan orang tua.

Karena, seorang siswa datang ke sekolah dengan pribadinya masing-masing

dan membawa kebudayaan lingkungannya masing-masing dengan corak tertentu

yang bergantungan pada status sosial nya. Dengan begitu, mereka akan bergaul

dengann orang-orang atas golongan sosial mereka berasal. Oleh karena itu,

sekolah tidak bisa terlepas dari budaya lingkungan sosial tersebut dan dapat

mengakibatkan kesenjangan sosial.

Sejak masih berada di sekolah dasar, peserta didik sudah dituntut untuk

berprestasi agar masuk dalam ranking di kelas. Sehingga sejak dini mereka mulai

berlomba untuk memperebutkan tempat di setiap jenjang pendidikan karena

menjanjikan posisi sosial di depan. Hal ini terjadi karena adanya sebuah

kesenjangan pada suatu lembaga pendidikan sekolah. Hal inilah yang menjadi

penyebab adanya kesenjangan sosial dan menjadikan masyaakat berkelas-kelas,

khusunya dalam lingkup pendidikan sekolah.


Kesenjangan sosial dalam hal ini cukup beragam, antara lain adanya kelas

unggulan dalam sekolahan, peserta didik dibeda-bedakan secara prestasi dalam

pembagian kelas. Hal tersebut justru menjadi ajang diskriminasi antara siswa satu

dengan siswa lain, dan akan menimbulkan rasa tidak percaya diri. Kasus lain,

berhubungan dengan masalah ekonomi yaitu adanya sekolah-sekolah elit yang

hanya bisa dihuni oleh siswa-siswa dari keluarga golongan menengah keatas, atau

dahulu seperti adanya program sekolah bertaraf internasional, sekolah bertaraf

nasional, dan sekolah bertaraf regular.

Dengan adanya program-program tersebut, maka secara tidak langsung akan

menjadi sebuah alat seleksi sosial bagi siswa karena ada kualifikasi atau syarat

yang harus dipenuhi untuk mendapatkan program tersebut. Kesenjangan sosial

juga terlihat dari lengkapnya fasilitas pembelajaran pada sekolah. Penggunaan

kurikulum 2013 di sekolah-sekolah membutuhkan fasilitas pembelajaran yang

lengkap dan memadai seperti LCD-proyektor, laptop, dan lain-lain, tentu hal

tersebut belum tersedia dengan baik di seluruh sekolah.

Lebih kompleks lagi permasalahan kesenjangan sosial  dalam perguruan

tinggi. Perguruan tinggi identik dengan kebebasan, mereka (mahasiswa) akan

datang ke kampus dengan kepribadiannya masing-masing sesuai dengan budaya,

selera, dan pergaulannya dalam kehidupan sosial mereka.


Dengan adanya kesenjangan sosial tersebut maka akan mengakibatkan output

dalam peserta didik yang tidak merata dan tidak sesuai dengan apa yang

diharapkan serta tidak sesuai dengan kebutuhan dari masyarakat. Jika hal

semacam itu terus terjadi dan berlangsung dalam pembelajaran, maka

penyelenggaraan pendidikan akan membawa ancaman besar bagi peserta didik.

Pendidikan adalah  usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

belajar dan  proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan

potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,

kepribadian, kecerdasan,akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,

masyarakat, bangsa dan negara.

 (UU RI No.  20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 1)


Dalam gambar ini dapat kita simpulkan ; banyaknya kesenjangan pendidikan

yang terjadi di seluruh indonesia dimana terdapat perbedaan tempat suasana

pendidikan dan fasilitas yang digunakan antara sekolah yang bertaraf orang kaya

dan masyarakat yang kurang mampu dan sekolah yng terletak di kota dan di

pelosok negeri, sehingga tidak sesuai dengan UU RI No.  20 Tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional, pasal 1 tentang suasana belajar dan proses

pembelajaran.
Edukasi

Jika dilihat dari segi edukasi ataupun latar belakang pendidikan dalam

contoh yang paling mendasar dapat dengan mudah kita temui realita di sekitar

kehidupan lingkungan kita, pada umumnya anak pusat perkotaan akan memiliki

keunggulan mutu baik dari segi ketersediaan bahan penunjang materi ajar,

ketersediaan tenaga ajar yang memadai serta berbagai fasilitas pendidikan lain

yang maksimal namun biasanya kendala mereka justeru terbentur pada mentalitas

anak didik yang kurang dapat memanfaatkan fasilitas yang ada dan pendidikan

justru tak jarang sering terkalahkan dengan berbagai hiburan hedon khas pusat

kota yang mengganggu fokus anak didik tersebut.

Sedangkan saat kita menilik pada kehidupan daerah yang umumnya

pinggiran, dengan tentu saja materi ajar serja guru pengajar dan fasilitas

pendidikan yang umumnya terbelakang namun kita jumpai semangat anak didik

yang begitu menyala demi mendapat pendidikan di sekolah-sekolah, tak mereka

hiraukan betapa sulit kemungkinan medan dan juga seberapa jauhpun jarak yang

musti mereka tempuh demi dapat menuntut ilmu di sekolah dan bertemu dengan

kawan dan guru untuk belajar bersama demi harapan masa depan yang semakin

gemilang.
Faktor yang mempengaruhi yang harus diperbaiki dalam pendidikan menurut

Hasbullah (2001) adalah sebagai berikut :

1. Ideologi 

Semua manusia dilahirkan ke dunia mempunyai hak yang sama khususnya

hak

untuk mendapatkan pendidikan dan peningkatan pengetahuan dan

pendidikan.

2. Sosial Ekonomi 

Semakin tinggi tingkat sosial ekonomi memungkinkan seseorang

mencapai

tingkat pendidikan yang lebih tinggi.

3. Sosial Budaya 

Masih banyak orang tua yang kurang menyadari akan pentingnya

pendidikan

formal bagi anak-anaknya.

4. Perkembangan IPTEK 

Perkembangan IPTEK menuntut untuk selalu memperbaharui pengetahuan

dan

keterampilan agar tidak kalah dengan negara maju.

5. Psikologi 

Konseptual pendidikan merupakan alat untuk mengembangkan

kepribadian individu agar lebih bernilai.


            
           

4. Perbedaan Sumber Daya Alam

Kalau dilihat dari sumber daya alam di Indonesia sangatlah kaya hampir

merata memiliki sumber daya alam yang berlimpah seperti Papua (tambang emas),

Kalimantan (batu bara), Sumatera (Gas), dll. Sumber daya alam sarat akan kaya

dari sumber daya hayati dan non-hayati. Tidaklah bisa dipungkiri pula bahwa

sumber daya alam sangat berhubungan erat dengan tingkat perekonomian suatu

daerah. Hal ini disebabkan oleh cara pemanfaatan sumber daya alam yang dengan

baik akan menghasilkan perekonomian yang baik namun kalau pemanfaatanya

tidak baik maka akan terjadi perusakan lingkungan dan merugikan masyarakat

setempat. Namun sering terjadi malah pemanfaat sumber daya daerah dilakukan

oleh perusahaan asing yang tidak memihak pada pendapatan daerah. Hal

demikianlah yang rentan akan terjadi ketimpangan dalam pengelolaan sumebr

daya alam daerah.


Sumber daya alam berhubungan erat dengan tingkat perekonomian suatu

daerah. Apabila dapat memanfaatkan suber daya alam dengan baik, laju

perekonomian suatu daerah akan meningkat, begitu juga sebaliknya, tingkat

perekonomian suatu daerah rendah apabila masyarakat tidak dapat memanfaatkan

sumber daya alam secara maksimal


5. Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah dapat menyebabkan kesejahteraan sosial dan bisa pula

menjadi ketimpangan sosial. Jika kebijakan memihak pada masyarakat semua

kalangan baik atas maupun bawah maka akan terjadi keadilan dan menuju

kemakmuran, namun sebaliknya kalau memihak pada kalangan atas maka akan

terjadi ketimpangan. Bisa diambil permisalan kebijakan menentukan harga BBM

sangat mempengaruhi kehidupan dua belah pihak atau kalangan.

Terkadang kebijakan pemerintah dapat menyebabkan kesenjangan sosial.

misalnya kebijakan tentang program transmigrasi. Ketika warga pendatang lebih

cepat maju dibandingkan dengan warga asli, ketimpangan sosial dapat terjadi.

Ketimpangan tersebut terjadi karena ada ketidak setaraan antar dua kelompok

yang seharusnya dapat berkembang bersama-sama.


Sistem peradilan yang diperbaiki mencakup mekanisme pelaksanaan

sistem peradilan. Dengan sistem peradilan yang baik, akan menjamin persamaan

hukum bagi seluruh anggota masyarakat. Hasilnya tidak ada lagi perbedaan

hukum karena perbedaan status sosial dan ekonomi seseorang. Sistem peradilan

yang baik juga meniadakan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang berujung pada

kesenjangan sosial
6. Pengaruh Globalisasi

Globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku)

sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah. Dengan

adanya globalisasi inilah membawa masyarakat pada sikap materialisme.

Masyarakat yang mampu menyikapi globalisasi secara tepat akan mampu

memanfaatkan globalisasi untuk mencapai kemajuan. Sementara itu, masyarakat

yang tidak mampu memnafaatkan globalisasi secara tepat tidak akan mampu

mengambil kesempatan yang ditawarkan globalisasi. bahkan mengalami

ketertinggalan.
Masyarakat yang mampu menyikapi dan memanfaatkan globalisasi secara

tepat akan mencapai kemajuan. Sementara itu, masyarakat yang tidak mampu

memanfaatkan globalisasi secara tepat tidak akan mampu mengambil kesempatan

yang ditawarkan globalisasi. Globalisasi juga mampu menjadikan suatu keadaan

yang timpang, misalnya perkotaan lebih dipenuhi industrialisasi dengan

beragamnya atau terspesialisaniya pekerjaan sedangkan pedesaan hanya

dimanfaatkan sumber daya alamnya saja. 


Apa yang menyebabkan hal tersebut? Hal tersebut juga disebabkan oleh

adanya pengaruh globalisasi . Globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu

(benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi

oleh wilayah. Dengan adanya globalisasi inilah yang membawa masyarakat pada

sikap materialisme. 

  Sikap materialisme dapat diartikan sebagai pandangan hidup yang

mencari dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di dalam alam

kebendaan semata, dengan mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam

indra. Sementara itu, orang-orang yang hidupnya berorientasi kepada materi

disebut sebagai materialistis.

Sikap materialisme mempunyai ciri antara lain, yaitu:

a. Diskriminatif adalah sikap seseorang yang membeda-bedakan atau

meninggirendahkan orang lain berdasarkan keadaan ekonomi, suku, dan

biologis. 

b. Pelit atau kikir adalah sikap seseorang yang tidak mau rugi atau sulit

untuk mengeluarkan atau memberi sesuatu kepada sesamanya yang

membutuhkan tanpa alasan yang jelas.

c. Mudah merendahkan atau meremehkan segala yang bersifat keagamaan

atau moralitas dalam ucapan dan tindakan nyata.

d. Mengukur reladi atau pergaulan hanya dari sisi untung dan rugi, tanpa mau

berkorban bagi orang lain. 


            

     Dengan adanya sikap materialisme inilah yang dapat memicu terjadinya

kesenjangan sosial yang ada di Indonesia.beberapa usaha untuk menghindari dan

mengatasi sikap materialism ini, yaitu:

a. Mengetahui pemahaman mengenai materialisme dan dampak negatifnya

Jauhkan rasa iri terhadap harta milik orang lain.

b. Bersyukur atas segala hal yang kita dapat dan kita miliki dalam hidup kita,

meskipun apa yang kita dapatkan tersebut belum memenuhi

keinginan/harapan kita. 

c. Memperdalam ajaran agama untuk menguatkan iman dan hati nurani.

d. Menerima diri apa adanya. Selain cara untuk menghindari diri sikap

materialisme.
7. Pengaruh Globalisasi

Kondisi demografis dapat mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi,

sistem sosial, struktur kependudukan, perbedaan kondisi ketenaga kerjaan, tingkat

pendidikan, tingkat kesehatan, dan segala hal yang berkaitan dengan penduduk.

Perbedaan kondisi demografis suatu daerah acap kali menjadi penyebab terjadinya

ketimpangan sosial karena perbedaan produktivitas kerja masyarakat pada setiap

daerah berbeda-beda tergantung pada kualitas demografisnya.

Kondisi Demografis menunjukan tingkat pertumbuhan dan struktur

kependudukan, tingkat pendidikan, tingkat kesehatan, perbedaan kondisi ketenaga

kerjaan, serta segala hal yang berkaitan dengan penduduk.  Perbedaan kondisi

demografis suatu daerah dapat menyebabkan terjadinya ketimpangan sosial karena

perbedaan produktivitas kerja masyarakat pada setiap daerah.


Berikut ini adalah beberapa klasifikasi dalam bidang demografi yang

utamanya berpengaruh langsung dalam menimbulkan ketimpangan sosial antar

masyarakat pada suatu lingkungan:

 Jumlah

Keterkaitan antara jumlah penduduk dengan ketimpangan sosial dalam

bermasyarakat bisa dilihat dari perbedaan penduduk padat dengan wilayah sempit

dan penduduk yang masih jarang dan luas wilayahnya. Wilayah padat

penduduk cenderung akan memicu semakin tingginya tingkat kompetisi

sedangkan dalam wilayah jarang penduduk kehidupan yang lamban karena masih

banyak yang bisa dikelola membuat penduduknya memiliki sikap santai.

 Komposisi

Lebih lanjut mengenai seberapa fokus kependudukan berpengaruh terhadap

ketimpangan sosial maka kali ini kita akan membahas tentang komposisi

penduduk yang mendiami suatu wilayah lingkungan bermasyarakat, semisal saja

yakni interaksi sosial antara satu wilayah lingkungan dengan rata-rata pekerja

lapangan dengan pekerja kantoran pastilah akan jauh berbeda, kehidupan di

lapangan akan memicu lebih banyak interaksi antar beragam masyarakat yang

berbeda setiap pergantian waktunya, sedangkan masyarakat kantoran cenderung

lebih cuek dengan sekitar dan pastinya fokus mereka lebih kepada tumpukan

kerjaan di atas meja yang tiada habisnya.


 Persebaran

Sedangkan masalah yang meliputi tentang persebaran penduduk yakni

hampir tak berbeda jauh dengan masalah jumlah kependudukan, akan tetapi

biasanya daerah dengan persebaran penduduk tidak merata akan semakin

memperparah tingkat ketimpangan sosial dalam masyarakat, wilayah pusat dengan

peminat yang tinggi dari berbagai daerah bisa memicu berbagai macam

peningkatan tingkat kriminalitas sedangkan pada daerah terpencil tanpa penduduk

padat maka seringkali tingkat produktifitas sumber daya kurang dapat

dimaksimalkan, dan ini menjadi suatu jurang pemisah yang amat nyata bagi

perbedaan diantara kedua jenis lingkungan bermasyarakat tersebut.


8. Letak dan Kondisi Geografis

Letak dan kondisi geografis Indonesia mempengaruhi tingkat pembangunan

suatu masyarakat. Masyarakat yang tinggal di dataran rendah umumnya lebih

mudah membangun berbagai infrastruktur, sementara masyarakat yang tinggal

dataran tinggi membutuhkan waktu dan proses panjang dalam pembangunan

karena terkendala kondisi alam yang menanjak dan tidak merata.Menurunnya

pendapatan per kapita.

 Ketidak merataan pembangunan antar daerah.

 Rendahnya mobilitas sosial.

 Pencemaran Lingkungan Alam


D.    Bentuk-bentuk Ketimpangan Sosial

1.      Ketimpangan di bidang Gender

Ketimpangan gender adalah kondisi di mana terdapat ketidaksetaraan antara

laki-laki dan perempuan dalam kehidupan keluarga, bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara. Di berbagai sektor kehidupan banyak indikator menunjukan perempuan

tertinggal dibandingkan laki-laki dalam hal memperoleh kesempatan, peluang dan

hasil-hasil pembangunan. Terlihat dari banyaknya perempuan hanya dipekerjakan

sebagai tenaga kerja wanita yang dikirim keluar negeri. Selain itu, saat ini wanita

masih dianggap sebagai manusia kedua yang hanya bekerja di sumur, kasur, dan

dapur saja. Hal ini diperkuat oleh pandangan masyarakat yang tradisional dengan

berpegang teguh pada pandangan wanita tidak ada guna untuk disekolahkan

setinggi-tingginya.

Kecenderungan laki-laki diorientasikan kebidang publik dan wanita kebidang

domestik telah memproduksi ketimpangan kekuasaan antara kedua jenis kelamin.

Wanita lebih bertanggung jawab terhadap keluarga dan segala kegiatan yang

berkaitan dengan rumah tangga, seperti pengasuhan anak. Laki-laki terlibat

langsung dalam bidang ekonomi dan politik (sebagai kegiatan publik) yang

dianggap sebagai institusi utama dalam masyarakat modern.


Dalam proses sosialisasi wanita cenderung dihubungkan dengan kegiatan

domestik tersebut, yang dianggap sebagai kegiatan yang “kurang” penting dalam

perkembangan masyarakat modern yang bertumpu pada proses produksi dan

birokrasi. Asosiasi semacam ini telah mereproduksi ketimpangan gender yang

terus menerus, karena dalam proses sosialisasi wanita disosialisasikan ke dalam

suatu nilai dan ukuran sosial budaya yang kemudian pilihan-pilihannya ditentukan

oleh laki-laki atau dalam kerangka struktural yang patriarkal.

Kedudukan wanita karenanya dibingkai oleh tatanan yang terpusat pada laki-

laki yang ditegaskan oleh lembaga-lembaga pendukung. Mitos-mitos telah

dibangun untuk menyatakan bahwa tempat laki-laki adalah di duia kerja dalam

perjuangannya untuk hidup, sementara tempat wanita di rumah, mengatur rumah

tangga dan merawat anak. Dalam kerangka inilah definisi siapa itu wanita dan

bagaimana “menjadi wanita” dirumuskan. Enggawati Tedjasukmana menulis :


Ketika saya masih kecil, tertanam pendidikan dari orang tua yang

menyebabkan anak-anak wanita tidak terlalu berambisi menjadi wanita karier.

Tidak ada pilihan hidup bagi gadis-gadis selain menjadi istri dan ibu bagi suami

dan anak-anaknya kemudian. Banyak keluarga yang mengejek anak perempuan

yang menjadi juara kelas tapi tidak dapat menanak nasi. Keluarga yang mempuyai

banyak pembantu pun tetap mengharuskan gadisnya membereskan kamar sendiri

dan mempelajari soal dapur. Para ibu yang mempunyai gadis sangat khawatir

apabila anak-anaknya tidak mendapatkan jodoh. Rupanya prestasi tertinggi

nilainya bagi seorang wanita adalah apabila ia berhasil menikah dan mempunyai

anak.

Proses sosialisasi semacam ini telah membatasi pilihan-pilihan hidup wanita.

Sesuatu yang berada di luar dapur, anak, rumah tangga, diangagp bukan sebagai

tempat yang sesuai bagi wanita.

Keluarga, sekolah, bacaan, dan televisi telah menjadi sumber pengetahuan

tentang bagaimana menjadi wanita yang ideal, yang sesuai dengan tatanan sosial.

Yang sangat penting adalah institusi ini telah menegaskan suatu bentuk hubungan

laki-laki dan wanita dalam berbagai praktik kehidupan. Proses internalisasi

mengakar dalam institusi tersebut yang telah menjadi dasar dari gambaran

keterlibatan wanita dalam berbagai proses sosial di mana laki-laki tetap

ditonjolkan. Proses semacam ini merupakan konstuksi yang secara terus menerus

menegaskan suatu realitas objektif yang memiliki daya paksa. Apa yang diajarkan

dalam keluarga dan institusi lain dapat berarti sesuatu yang memang dihasilkan
oleh keluarga itu sendiri dan pada saat yang sama juga merupakan artikulasi dari

nilai dan norma yang berlaku secara sosial. Perbedaan domestik dan publik

ditentukan oleh proses pemaknaan yang bersumber dari dunia makna (univers of

meaning) yang merupakan pedoman kehidupan.

Pengaruh akar sosial budaya dalam mengasosiasikan wanita sebagai kelompok

orang yang memiliki ciri tertentu telah memberi warna dalam keterlibatan

ekonomi wanita. Pemaknaan keterlibatan ekonomi wanita ditentukan oleh sistem

ideologi yang memberi kemungkinan dan batas. Ideologi ini terwujud dalam etos

kerja yang mempengaruhi keterlibatan wanita karena ia kemudian membentuk

etika kehidupan yang bersifat evaluatis. Ukuran-ukuran nilai dan keterlibatan

wanita ditentukan oleh etika-etika tersebut. Proses sosialisasi wanita yang

cenderung mengasosiasikan wanita dengan kegiatan domestik dan sifat

kewanitaan, menyebabkan tejadinya proses indentifikasi pekerjaan-pekerjaan

publik yang sesuai dengan sifat wanita. Dapat dilihat kecenderungan bahwa

wanita bahwa wanita ternyata terlibat dalam sektor-sektor yang sudah terpola dan

terpusat pada pekerjaan-pekerjaan yang bersifat “menerima perintah”, seperti

sekretaris, resepsiois, waiterss, atau pembantu rumah tangga. Perbedaan wanita

dengan laki-laki yang telah disosialisasikan dalam keluarga kemudian terrefleksi

dalam kecenderungan “menerima perintah” dan “memberi perintah”. Orang yang

memberi perintah (laki-laki) mengidentifikasikan dirinya dengan cita-cita

organisasi dan memiliki posisi formal. Sebaliknya, orang yang menerima perintah

(wanita) adalah orang yang terasing dari cita-cita organisasi dan teridentifikasi

dengan hubungan-hubungan informal. Wanita sebagai penerima perintah, di dalam


suatu struktur kekuasaan, berada pada pisisi yang lemah dan terlibat secara

mendalam dengan hubungan-hubungan personal yang mempengaruhi ukuran-

ukura kedudukan dan kesempatan.

Kalaulah pilihan-pilihan pekerjaan yang diambil wanita itu dapat dikatakan

sebagai pekerjaan marginal, maka proses marginalisasi itu merupakan proses yang

dimulai dalam keluarga, di sekolah, terdapat dalam bacaan, dipelajari melalui

televisi, dan dikuatkan secara sosial pada saat kedudukan marginal itu merupakan

realitas objektif. Realitas ini disahkan oleh nilai-nilai dan norma-norma yang

merupakan etika-etika kehidupan yang tersusun dengan kokoh sejalan dengan

proses pembentukan identitas masyarakat, yang dipengaruhi oleh pertemuan

masyarakat tersebut dengan berbagai sistem ideologi. Subordinasi wanita karena

itu merupakan pilihan-pilihan yang dilakukan oleh wanita sendiri, sebagai hasil

dari interaksi dan negosiasi antara kepentingan-kepentingan wanita dan

kepentingan umum dalam suatu masyarakat.


2.      Ketimpangan di bidang Pendidikan

Randal Collins dalam The Credential Society : An Historical Sociologi of

Education and Stratification, mengemukakan bahwa pendidikan formal

merupakan awal dari proses stratifikasi sosial itu sendiri. Di Indonesia hal ini

didukung oleh adanya pola perjalanan sekolah anak yang berbeda dari kalangan

keluarga mampu dan miskin.

Dengan adanya ketimpangan sosial ini banyak sekolah yang tidak berkualitas,

sehingga lulusannya pun kemampuannya tidak sebagus dengan sekolah yang

berkualitas baik. Upaya untuk mengatasi ketimpangan sosial dalam bidang

pendidikan ini harus dimulai dari lembaga pendidikan itu sendiri.

Pendidikan adalah suatu usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik agar

berperan aktif dan positif dalam hidupnya sekarang dan yang akan datang, dan

pendidikan nasional Indonesia adalah pendidikan yang berakar pada pencapaian

tujuan pembangunan nasional Indonesia.

Pendidikan menjadi hal yang paling sering menjadi sorotan, karena lewat

pendidikanlah sesuatu perubahan dimulai. Penciptaan generasi muda yang

memiliki kemampuan ilmu pengetahuan yang dengan ilmu pengetahuan itu dapat

melakukan pembangunan di segala bidang merupakan alasan umum mengapa

pendidikan menjadi begitu penting. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi


yang disertai dengan semakin kencangnya arus globalisasi dunia membawa

dampak tersendiri bagi dunia

pendidikan dikarenakan pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan tidak

terlepas dari pengaruh globalisasi.

Seorang pemerhati pendidikan Prof. Eko Budihardjo, ironi yang justru terjadi

dengan pendidikan di negara yang begitu luas ini adalah pendidikan yang tidak

meluas merata ke seluruh penjuru nusantara. Di era pembangunan yang sedang

gencar-gencarnya ini, kesenjangan masih dirasakan oleh wilayah-wilayah

Indonesia yang berada jauh dari jangkauan pemerintah pusat. Bukan hanya antar

daerah, tetapi antar kota pun terdapat kesenjangan pendidikan yang sebenarnya

juga terlihat timpang, (dalam www.mediaindonesia.com)

Jika dilihat dari segi edukasi ataupun latar belakang pendidikan dalam contoh

yang paling mendasar dapat dengan mudah kita temui realita di sekitar kehidupan

lingkungan kita, pada umumnya anak pusat perkotaan akan memiliki keunggulan

mutu baik dari segi ketersediaan bahan penunjang materi ajar, ketersediaan tenaga

ajar yang memadai serta berbagai fasilitas pendidikan lain yang maksimal namun

biasanya kendala mereka justeru terbentur pada mentalitas anak didik yang kurang

dapat memanfaatkan fasilitas yang ada dan pendidikan justru tak jarang sering

terkalahkan dengan berbagai hiburan hedon khas pusat kota yang mengganggu

fokus anak didik tersebut.


Sedangkan saat kita menilik pada kehidupan daerah yang umumnya pinggiran,

dengan tentu saja materi ajar serja guru pengajar dan fasilitas pendidikan yang

umumnya terbelakang namun kita jumpai semangat anak didik yang begitu

menyala demi mendapat pendidikan di sekolah-sekolah, tak mereka hiraukan

betapa sulit kemungkinan medan dan juga seberapa jauhpun jarak yang musti

mereka tempuh demi dapat menuntut ilmu di sekolah dan bertemu dengan kawan

dan guru untuk belajar bersama demi harapan masa depan yang semakin

gemilang.
3.      Ketimpangan di bidang Kesehatan

Hal yang tidak begitu jauh berbeda pula terjadi pada kondisi kesehatan

masyarakat yang senantiasa berbeda dan timpang yang pada umumnya dapat

dibandingkan dengan wilayah pusat dan pinggiran kota, wilayah pusat dengan

beragam alat kesehatan memadai segala penyakit dapat diatasi sejak dini namun

umumnya segala keluhan penyakit datang dari beragam makanan instan kurang

sehat yang menjadi konsumsi utama masyarakat kota dengan tingkat kesibukan

yang luar biasa.

Sedangkan dalam wilayah pinggiran tentulah berbagai tenaga serta alat medis

masih sangat terbatas demi memberi pertolongan pada terjadinya beragam keluhan

penyakit, pada umumnya konsumsi makanan dengan bahan berbahaya dari segi

kimia masih dapat dikendalikan namun fokus utama pencetus penyakit pada

kalangan pinggiran yakni dikarenakan betapa minimnya kesadaran masyarakat

akan kebersihan pribadi dan lingkungan yang masih sulit diusahakan demi

tercapainya kesehatan yang maksimal, hal ini juga memicu beragam macam

penyakit berbeda yang menjadi ciri khas dari wilayah yang berbeda.
Ketimpangan sosial di bidang kesehatan dapat muncul, dikarenakan

penyebaran fasilitas kesehatan yang  tidak merata di setiap daerah, jangkauan

kesehatan yang kurang, pelayanan kesehatan yang kurang memadai maupun faktor

lainnya dapat menyebabkan tingkat kesejahteraan antara masyarakat satu dengan

yang lainnya berbeda.


Ketika kita berbicara tentang ketimpangan, korban yang umumnya kita

bayangkan adalah warga miskin. Namun kenyataannya, ketimpangan berdampak

buruk pada semua bagian masyarakat, termasuk warga kelas menengah dan kelas

atas.

Oxfam dan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID)

awal tahun ini mengeluarkan laporan tentang ketimpangan yang mengungkapkan

bahwa dalam dua dasawarsa terakhir jurang antara si kaya dan selebihnya orang

Indonesia semakin lebar dibanding negara tetangga di Asia Tenggara. “Empat

orang terkaya di Indonesia sekarang memiliki lebih banyak harta dibandingkan

100 juta warga termiskin,” laporan itu menyebutkan.

Ketimpangan di Indonesia, diukur dengan indeks Gini, naik dari 0,30 pada

tahun 2000 ke 0,41 tahun 2015. Gini, dikembangkan oleh Corrado Gini dari Italia

pada 1912, mengukur pemerataan penghasilan dari skala nol hingga satu. Nol

artinya pemerataan sempurna dan satu artinya seluruh penghasilan di negara itu

dikuasai oleh satu orang saja.


Melebarnya ketimpangan di Indonesia akan meningkatkan risiko kesehatan

masyarakat, seperti rentannya warga terhadap penyakit-penyakit yang menyerang

fisik dan mental, serta meningkatnya kekerasan yang berdampak pada seluruh

masyarakat.

Ketidakadilan itu beracun, membuat kita tidak bahagia

Ketimpangan memecah belah dan menggerus kehidupan bermasyarakat.

Banyak riset menunjukkan semakin lebar ketimpangan antara yang kaya dan

miskin, maka semakin buruk masalah sosial dan kesehatan di masyarakat tersebut.

Masalah kesehatan dan sosial yang lebih buruk artinya ada lebih banyak orang

dengan penyakit fisik dan mental, lebih banyak orang yang melakukan kekerasan,

dan rasa saling percaya yang rendah di masyarakat. Situasi ini memberi peluang

pada penyalahgunaan obat-obatan dan narkotika, lebih banyaknya orang yang

masuk penjara, maupun kehamilan di kalangan remaja.

Kesejahteraan anak terancam sehingga besar kemungkinan prestasi anak-anak

tersebut di bidang matematika dan membaca rendah, sehingga memperkecil

kesempatan mereka mendapatkan kehidupan yang lebih baik daripada orang tua

mereka.

Penelitian-penelitian baru menyarankan bahwa mengurangi ketimpangan

antara yang kaya dan miskin bisa membantu mengatasi masalah kesehatan dan
sosial tersebut. Mereka menyimpulkan ketimpangan dan ketidakadilan meracuni

kesehatan dan kesejahteraan kita.

4.      Ketimpangan di bidang Pendapatan

Paling erat kaitannya dengan finansial yakni mengenai ketersediaan sumber

daya baik dari segi alam maupun manusia yang mampu menopang pergerakan

suatu roda perekonomian, pada umumnya wilayah pusat perkotaan adalah suatu

wilayah penguasa ekonomi dikarenakan potensi mereka dalam mengelola bahan

yang ada lebih besar ketimbang apa yang bisa diusahakan oleh para penduduk dari

wilayah pinggiran, tentunya hal ini juga tak terlepas dari kucuran modal yang

dipunya serta beragam latar belakang pendidikan yang dienyam.


5.      Ketimpangan di bidang Ekonomi

Adanya globalisasi menyebabkan perekonomian hanya tumbuh di

beberapa wilayah, ditambah dengan praktik ekonomi kaptalisme yang

menyebabkan si kaya menjadi semakin miskin. Hal tersebut membawa dampak

negatif karena memunculkan ketimpangan sosial.

Penyebab kemiskinan menurut Kuncoro (2000: 107) adalah sebagai berikut :

1.      Secara makro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola

kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan timpang,

penduduk miskin anya memiliki sumber daya dalam jumlah yang terbatas dan

kualitasnya rendah

2.      Kemiskinan muncul akibat perbedaan kualitas sumber daya manusia karena

kualitas sumber daya manusia yang rendah berarti produktivitas juga rendah,

upahnya pun rendah

3.      Kemiskinan muncul sebab perbedaan akses dan modal.

Pada masyarakat modern yang rumit kemiskinan menjadi suatu masalah  sosial

karena sikap mereka yang membenci kemiskinan tadi, seseorang bukan

merasa  dirinya miskin karena kurang makan, pakaian atau perumahan, tetapi

karena harta  miliknya dianggap tidak cukup untuk memenuhi taraf kehidupan
yang ada. Persoalan menjadi lain bagi mereka yang turut dalam arus urbanisasi

tetapi gagal mencari pekerjaan bagi mereka. Pokok persoalan kemiskinan

disebabkan tidak

mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer sehingga timbul tuna karya,

tuna susila, tuna wisma, dan sebagainya. Secara sosiologis sebab-sebab

timbulnya masalah ini adalah karena salah satu lembaga kemasyarakatan tidak

berfungsi dengan baik yaitu lembaga kemasyarakatan di bidang ekonomi

(Soekanto, 2009:320). Kemiskinan juga merupakan masalah sosial yang ada

dalam setiap masyarakat di negara manapun, termasuk Jepang. Kemiskinan

umumnya ditandai dengan ketimpangan suatu kesenjangan, antara lain

kepemilikan sumber daya, kesempatan berusaha, ketrampilan, dan faktor lain

yang menyebabkan perolehan pendapatan tidak seimbang dan mengakibatkan

struktur sosial yang timpang.

Di pedesaan terjadi kesenjangan antara petani pemilik dan penggarap

dengan burh tani. Fasilitas yang diberikan pemerintah yang dikemas dalam

bentuk bermacam-macam program sesungguhnya lebih banyak mengalir pada

kalangan para petani pemilik dan penggarap. Kredit usaha tani misalnya terutama

diberikan kepada petani pemilik dan penggarap, dan bukan kepada buruh tani,

keran menurut ketentuan yang berlaku dana itu dikucurkan dengan sistim

agunan. Fasilitas-fasilitas lain seperti subsidi pupuk dan obat-obatan serta

penyuluhan peningkatan usaha tani juga lebih ditunjukan kepada petani pemilik

dan penggarap, dan bukan kepada buruh tani. Di samping itu, keanggotaan
kelompok tani dan koperasi pertanian juga lebih diprioritaskan untuk para petani

pemilik dan penggarap daripada buruh tani. Karena itu, mereka hanya

memperoleh fasilitas yang disubsidi pemerintah, tetapi juga mendapatkan lebih

banyak informasi mengenai inovasi pertanian.

Fasilitas dari pemerintah (modal, pupuk, obat-obatan dan penyuluhan)

terutama disalurkan melalui pemimpin formal pedesaan. Dalam konteks ini,

mereka diperankan sebagai agen utama pembanguna pertanian di tingkat desa,

terutama berfungsi sebagai pembawa pesan dan penterjemah kemauan

pemerintah. Karena itu posisi mereka benar-benar berada pada puncak strata, dan

sangat dominan dan determinan mempengaruhi proses pengambilan keputusan

yang terkait dengan introduksi program-program pembangunan pertanian.

Kesenjangan sosial lain terjadi antara petani pemilik atau penggarap yang

mempunyai yang mempunyai akses dengan pemimpin formal pedesaan dan

petani pemilik atau penggarap yang tidak mempunyai akses. Mereka yang

mempunyai akses kerapkali justru menjadi biang keladi pelbagai bentuk

manipulasi dan keterpurukan usahatani akibat dari kolusi yang mereka lakukan

dengan pemimpin formal pedesaan. Mereka mampu menuai keuntungan besar

meskipun dengan cara menekan dan merugikan pihak lain.


Sementara itu, di kalangan petani pemilik dan penggarap yang tidak

mempunyai akses dengan pemimpin formal pedesaan sedikitnya berkembang

tiga macam strategi survival, yaitu:

1.        Melakukan perlawanan dengan cara menentang (baik secara terbuka

maupun tersembunyi) pelbagai bentuk program pembangunan pertanian

yang diintroduksi pemerintah. Tidak sedikit di antara mereka yang

kemudian dikucilkan atau memperoleh predikat sebagai kelompok radikal

yang harus diawasi,bahkan kemudian ditekan dengan berbagai macam

cara.

2.        Mengikuti saja arus pembangunan pertanian, meskipun dilakukan hanya

dengan setengah hati. Mereka sangat sadar bahwa mengikuti kemauan

pemerintah dan tetap bertahan berkecimpung pada sektor pertanian akan

terus menerus merugi. Tetapi mereka tidak memiliki alternatif lain, karena

itu kerugian yang diderita dipahami sebagai pengorbanan yang harus

dibayar demi pembangunan.

3.        Mengadu nasib ke daerah lain, terutama mengisi sektor informal di

perkotaan sebagai pedagang kaki lima atau buruh bangunan. Mereka

memilih sebagai commuter (setiap hari pulang-balik) atau boro (beberapa


bulan meninggalkan desa dan pulang setelah mempunyai tabungan). Beban

sosial ekonomi yang mereka hadapi di perkotaan ketika berkecimpung

dalam sektor in-formal sesunggguhnya tidak ringan karena menghadapi

pungutan preman dan

penggusuran. Tetapi bagi mereka pilihan itu masih dianggap lebih baik

dibandingkan tetap bertahan di sektor pertanian.

Keterpurukan sektor perekonomian juga pernah dicoba diimbangin dengan

pengembangan industri kecil pedesaan. Sayang usaha ini juga kurang

membuahkan hasil seperti diharapkan, karena banyak petani yang kurang berani

mengambil resiko akibat modal dan akses mereka terbatas. Kerugian bukan

hanya membuat usaha mereka bangkrut, tetapi hidup dan kehidupan bisa semakin

carut-marut. Karena itu mereka tidak mudah didorong melakukan reinvestasi.

Hambatan lain adalah tiadanya organic link antara pengusaha besar dan

pengusaha kecil pedesaaan. Mereka seperti berjalan sendiri-sendiri. Di beberapa

daerah memang telah terjalin kegiatan kolaboratif, tetapi di banyak daerah

mereka justru berkompetisi, dan kurang melembagakan kerjasama dalam

meningkatkan proses produksi. Malah ketika para pemilik modal besar

menanamkan investasinya di desa, yang berkembang adalah bukan industri

pedesaan, tetapi industri kapital intensif yang berada di desa.


Kegagalan pembangunan pertanian selama ini juga ditengarai karena

program-program yang dicanangkan hanya memberi tekanan pada perencanaan

dan implementasi proyek saja. Program-program tersebut kurang memperhatikan

keterkaitan antara letak proyek dengan ruang pengembangan ekonomi yang lebih

luas terutama dengan kota. Infrastruktur dan fasilitas terkesan dibangun semata-

mata hanya untuk kepentingan proyek itu sendiri, tanpa memperhatikan jarak

ideal dengan kota dalam fungsinya sebagai pasar atau saluran distribusi hasil

produksi. Masalah itu sebenarnya juga pernah dijawab dengan strategi pusat

pertumbuhan berbentuk pengembangan pasar yang tidak terlalu jauh dengan

kawasan industri pedesaan. Pasar ini diharapkan berfungsi sebagai pusat

penampungan hasil produksi sekaligus sebagai pusat informasi hal-hal yang

berkaitan dengan kehendak konsumen dan yang bisa dipenuhi produsen. Tetapi

strategi pusat pertumbuhan semacam itu ternyata juga kurang begitu efektif.

Karena masyarakat desa setempat ternyata kalah berkompetisi dengan pendatang

(orang kota), padahal mereka terlibat program sejak awal. Implikasi dari strategi

pertumbuhan tersebut justru sebuah reartikulasi pola pemukiman desa, yang

dihuni oleh orang kota dengan latar belakang ekonomi kuat.


Dari uraian yang telah dipaparkan nampak bahwa selama ini petani

sebenarnya telah berkorban besar bagi kepentingan survival negeri ini. Betapa

tidak, biaya mengolah tanah,harga bibit, pupuk serta obat-obatan terus

melambung, biaya tanam dan upah pemeliharaan semakin mahal. Tetapi harga

produksi pertanian (terutama pangan) selalu ditekan dan dikontrol pemerintah

secara ketat. Nilai hasil pertanian semakin tidak imbang dengan biaya produksi,

dan petani terus menerus merugi. Karena itu tidak terlalu berlebihan apabila

dinyatakan bahwa petani tidak pernah henti dieksploitasi, dan tidak pernah

memperoleh santunan yang memadai. Hak asasi petani terabaikan dan tanpa ada

pembelaan yang memadai. Benar memang ada pula petani yang diuntungkan

sehingga kehidupannya agak lebih baik. Tetapi di samping petani dalam kategori

ini jumlahnya tidak begitu banyak, mereka sebenarnya mengambil kesempatan

kerja milik petani miskin. Kegiatan mereka sebagai pemilik traktor, penggilingan

padi, dan penebas ditenggarai menciptakan posisi petani gurem menjadi semakin

marginal.
Rezim penguasa di negeri ini telah berganti beberapa kali, namun satu hal

yang tetap lestari adalah harga produksi pertanian (terutama pangan) terus

ditekan. Bukankan itu berarti bahwa semakin menciptakan ketergantungan

petani? Boleh jadi begitu, tetapi sesungguhnya ada keuntungan politik apabila

pangan dapat dicukupi dan dengan harga yang murah (terjangkau). Pertama,

kepercayaan rakyat kepada pemerintah menguat. Bagi masyarakat kita yang

sebagian besar tergolong miskin, kecukupan dan keterjangkauan pangan

dianggap sebagai indikasi bahwa pemerintah mampu mencukupi kebutuhan dasar

mereka. Kepercayaan semacam itu akan membuat situasi politik lebih stabil, dan

akan mengurangi tekanan keinginan mengganti pemerintah.kedua, harga pangan

adalah komponen penting bagi penentuan upah. Apabila harga pangan mahal,

maka mudah diperkirakan upaya akan tinggi , dan itu berarti perkembangan

industri dan usaha jasa kurang kompetitif. Itulah sebabnya tidak berlebihan jika

dinyatakan bahwa kecukupan dan keterjangkauan pangan sesungguhnya lebih

banyak dinikmati oleh kelas menengah atas (terutama perkotaan) serta kalangan

pemilik modal atau pengusaha berskala nasional maupun internasional. Karena


harga pangan murah, maka para pengusaha dapat menekan ongkos produksi,

sehingga mereka dapat menikmati keuntungan lebih besar.

E.  Dampak Ketimpangan Sosial Dalam Masyarakat Global

Perkembangan masyarakat global disebabkan karena adanya pergerakan

antarbangsa tanpa ada batasan ruang dan waktu. Hal ini menyebabkan terjadinya

ketidakseimbangan pertumbuhan bidang sosial, politik, budaya dan ketimpangan

pertumbuhan bidang ekonomi. Persaingan ketat terjadi pada pasar dan tenaga kerja

secara global hal ini dikarenakan sistem kapitalisme yang mengakar, kapitalisme

membentuk globalisasi produksi dan konsumsi. Sistem kapitalisme ini mendorong

masyarakat untuk berperilaku konsumtif. Perilaku ini membuat adanya polarisasi

dan stratifikasi penduduk dunia, dimana adanya globalisasi bagi kaum kaya dan

lokalitas bagi kaum miskin, sebagai wujud dari ketimpangan global. Ketimpangan

global ini mengakibatkan terjadinya perbagai permalahan bagi kehidupan

masyarakat, yaitu: kemerosotan moral, pencemaran lingkungan, kriminalitas,

melemahnya jiwa wirausaha, monopoli ekonomi, kekuasaan, kemiskinan,

ketelantaran, keterpencilan dan ketertinggalan.


Berikut beberapa bentuk gambaran dampak ketimpangan sosial dalam

kehidupan masyarakat:

1. Dunia yang mereka alami dan kehidupan mereka cenderung tidak aman

dan tidak stabil.  Pekerjaan dan kesejahteraan tidak pernah dijamin; setiap

hari mereka berjuang untuk bertahan hidup.  Jantung kehidupan mereka

merupakan kurangnya kebutuhan dasar apapun untuk hidup.  Ada sedikit

uang, sedikit pekerjaan, kelangkaan pangan, perumahan minimal dan

setiap hari mereka hidup dengan kondisi ini.  Pekerjaan utama mereka

adalah berjuang untuk bertahan hidup di dunia yang sangat tidak stabil. 

Mereka menjadi hidup dalam kondisi tidak aman. 

2. Dunia ini berhubungan erat dengan bahaya ada bahaya serta ancaman

kekerasan.  Kebrutalan dibangun ke dalam struktur kehidupan sehari-hari. 

Perang sering menjadi dasar, kekerasan domestic seperti pemotonngan

kelamin, anak mungkin menjadi pembunuh.  Homoseksual akan ditembak. 

Disini, kehidupan menjadi brutal.


3. Kehidupan mereka yang penuh keputusasaan dapat menjadi pikiran

mengenai devaluasi dan aib-pengalaman mereka mengenai penghinaan

kelas, rasisme, seksisme, homophobia, dan lainnya.  Semua yang

berpotensi menyadarkan mereka akan betapa buruknya mereka.  Mereka

yang diberikan sedikit kehormatan dari dunia luar dan dibuat merasa tidak

nyaman di hadapan penguasa.  Semua ini dapat membawa sedikit perasaan

rendah diri, harga diri yang buruk, rasa malu dan aib.  Semua ini adalah

kehidupan yang memalukan.

4. Mereka mengalami kurangnya pengakuan mengenai siapa diri mereka. 

Kehidupan mereka dikelilingi oleh orang-orang yang menolak untuk

melihat mereka, dan mengabaikan mereka.  Ada jutaan orang yang

membersihkan kantor pada malam hari, ada yang berjalan dengan

mengemis di jalan, yang tinggal di wilayah no-go (sebuah tempat di kota

yang cukup berbahaya), sebuah tempat kumuh yang belum dikunjungi

sebagian besar orang, dan orang sakit dan orang miskin yang menderita

dan hampir setiap malam ditampilkan sebagai “korban” di tempat lain di

televise. 
5. Jika mereka dilihat, mereka seringkali diatasi melalui lensa amal dan

perlindungan, dan sering terkunci dalam bahasa yang buruk.  Mereka

menjadi “orang miskin yang jelek”, orang yang “pantas miskin”, “imigran

yang kotor”, berada “di kelas bawah”, “menyimpang”.  Tampak atau tidak

tampak, kehidupan mereka diletakkan di bawah : mereka direndahkan dan

hidup mereka tidak manusiawi.

6. Beberapa yang lain menyetujui dan mengasingkan diri dari kesedihan

mereka, mereka kembali berjuang dan memberontak.  Mereka mencari

cara untuk menghadapi penderitaan mereka secara aktif.  Mereka melawan

kehidupan mereka. 

Selain itu, dampak sosial kehidupan juga dapat ditinjau dari konsekuensi

subjektif dan objektif dari ketidaksetaraan manusia. 

1. Secara objektif : kemiskinan, penyakit, kekurangan gizi, kekerasan.

2. Subjektif : dengan menggagalkan potensi dan kemampuan manusia. 

Hidup tidak aman-kehidupan yang kasar, menghilangkan kehidupan-hidup

dipermalukan, hidup direndahkan-menolak kehidupan.


E.1.  Penguatan Posisi Komunitas Lokal Dalam Merespon Perubahan

Sosial Disebabkan Globalisasi

Menurut sutardjo kartohadikusma penduduk lokal atau bisa di sebut dengan

komunitas lokal adalah suatu hukum dimana bertempat tinggal masyarakat yang

membuat pemerintahan sendiri. Masyarakat tradisional atau penduduk lokal

hidup dan melakukan aktivitas kehidupan berada di daerah pedalaman yang tidak

sibuk dengan keramaian. Penduduk lokal disebut juga dengan masyarakat desa

atau pedesaan. Menurut ferdinand Tonies membuat batasan terhadap penduduk

lokal yaitu paguyuban dan paguyuban lah yang menyebabkan orang-orang

menilai sebagai penduduk yang harmonis,rukun, dan damai yang dijuluki sebagai

penduduk yang adem ayem.

Komunitas lokal mempunyai hubungan yang erat sesama mereka dalam

menjalankan kehidupan. Sistem kehidupan yang dialami oleh komunitas lokal

biasanaya perkembangan lambat, adat istiadatnya khas dan sangat mengikat,

hubungan yang erat dan solidaritas yang tinggi, tata ruang kurang teratur, sarana
dan prasarana kurang lengkap, jiwa swadaya masyarakat cukup tinggi dan proses

terjadinya bermula dari satu kumpulan masyarkat yaitu adanya aturan, organisasi,

kemudian penentuan batas wilayah dan hidup masyarakatnya tidak merata, ada

yang memiliki tanah luas dan sempit, tergantung kerajinan dalam membuka

hutan.

Kehidupan penduduk lokal dipengaruhi oleh latar belakang ekologis baik itu

lingkungan hutan/pedalaman maupun lingkungan pantai.

Komunitas lokal merupakan suatu unit dan atau kelompok pada suatu

masyarakat pada wilayah yang sama dimana anggotanya memiliki pikiran yang

sama, dan tujuan yang sama yaitu ingin maju meniggalkan ketertinggalan

mereka. Menurut Jim Ife dan Frank Tesoriero (2008) komunitas bersifat

konsisten dengan model-model pemberdayaan untuk perubahan, karena ia

menyediakan suatu kerangka bagi masyarakat untuk mengambil keputusan yang

efektif, juga konsisten dengan suatu perspektif HAM karena hak dan kewajiban

diterapkan dengan orang lain. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

komunitas memiliki tujuan untuk perubahan menuju kemajuan anggota

komunitas.

Menurut geertz menyatakan penduduk lokal di indonesia dibagi atas tiga

jenis yaitu
-          penduduk lokal perladangan

-          penduduk lokal persawahan,

-          memiliki orientasi kepada perdagangan.

Menurut landis (1948) membagi 4 tipe penduduk lokal yaitu:

-          Farm village type

Adalah penduduk lokal dimana masyarakat setempat berdiam bersama dalam

suatu tempat, dengan sawah yang berada disekitar tempat itu dalam melakukan

aktivitas kehidupan. Apada tipe ini masyarakat sangat kuat dengan adat atau

tradisi serta sikap kebersamaan seperti gotong-royong mereka pegang dan

dijadikan sebagai kewajiban dari pada kebersamaan.

-          Nebulous farm type

Penguatan komunitas lokal dalam melakukan respon terhadap perubahan

sosial akubat terjadinya globalisasi bisa dilakukan dengan pemberdayaan.

Menurut Gunawan sumodiningrat, kelompok swadaya masyarakat muncul

atas inisiatif masyarakat sendiri dengan tujuan pokok memecahkan masalah

yang dihadapapi masyarakat baik secara individual maupun kelompok.

Kuatnya kelompok ini disebabkan karena adanya dasar persaudaraan dan

perasaan senasib dalam menghadapi kesulitan. Melalui kelompok akan dapat


membawa aspirasi bersama. Misalnya melalui kelompok Tani petani dan

koperasi bidang produksi hasil pertanian para petani akan dapat lebih banyak

ikut dalam proses pembangunan dalam kelompoknya yang dikenal dengan

pembangunan partisipatif. Yaitu proses pembangunan dimana petani ikut

merencanakan, melaksanakan rencana, menggunakan hasil pembangunan,

menggunakan hasil pembangunan, menikmati hasilnya dan pada gilirannya

ikut serta melestarikan hasilnya. Sementara itu

Bambang Ismawan dan Kartjono kelompok swadaya yang mandiri

memiliki ciri-ciri yaitu:

1.      menyadari permasalahan yang mereka hadapi

2.      mengetahui potensi dan kelemahan yang melekat pada dirinya

3.      menentukan pilihan terhadap berbagai alternatif yang ada dengan

memperhitungkan kesempatan dan ancaman yang ada.

Seiring dengan itu Oos M. Anwas mengemukakan sejumlah karakteristik

pemberdayaan, di antaranya:

a.       Merupakan kegiatan yang terencana dan kolektif

b.      Bertujuan memperbaiki kehidupan komunitas dan masyarakat,

c.       Memprioritaskan kelompok lemah dan kurang berdaya,

d.      Dilakukan melalui program-program peningkatan kapasitas

(pengetahuan, kemampuan, keterampilan).


Adapun Soedijanto menambahkan beberapa karakteristik lagi, yakni:

1.      Kesukarelaan, artinya keterlibatan seseorang atau suatu komunitas

dalam kegiatan pemberdayaan seharusnya tidak disebabkan karena

adanya paksaan, melainkan dilandasi oleh kesadaran diri dan keinginan

untuk meningkatkan kedayaan atau memecahkan masalah kehidupan

yang dialaminya.

2.      Otonom, yakni kegiatan pemberdayaan harus memampukan warga atau

komunitas sasarannya untuk mandiri dan melepaskan diri dari segala

bentuk ketergantungan.

3.      Keswadayaan, artinya kegiatan pemberdayaan harus mampu

menumbuhkan inisiatif warga dalam pengambilan keputusan dengan

penuh tanggung jawab, tanpa menunggu arahan atau dorongan dari

pihak mana pun.

4.      Partisipatif, yaitu kegiatan pemberdayaan harus melibatkan sebanyak

mungkin warga dalam suatu komunitas atau masyarakat.


5.      Egaliter, artinya pemberdayaan menempatkan semua pihak yang

terlibat di dalamnya pada posisi yang setara.

6.      Demokrasi, yakni adanya hak yang dimiliki semua pihak untuk

menyampaikan pendapat maupun aspirasinya mengenai kegiatan

pemberdayaan.

7.      Keterbukaan, artinya kegiatan pemberdayaan dilandasi kejujuran,

saling percaya, dan kepedulian.

8.      Kebersamaan, yakni mengutamakan kegotongroyongan, saling

membantu, dan saling mendukung untuk mencapai tujuan bersama.

9.      Akuntabilitas, artinya pelaksanaan kegiatan pemberdayaan harus

senantiasa terbuka untuk diawasi oleh pihak-pihak yang

berkepentingan.

Dalam hal ini untuk mengatasi dampak ketimpangan komunitas lokal akibat

globalisasi dilatarbelakangi oleh filosofi untuk menangulangi ketimpangan sosial

dengan memperkuat kemampuan orang yang mengalami ketertinggalan atau

ketidakberdayaan baik itu dibidang ekonomi, pendidikan, politik dan seterusnya

untuk menanggulangi ketertinggalan dan ketidakberdayaan mereka.  Penguatan

(empowering) yang terjadi diharapkan dapat dicapai melalui peningkatan

sumberdaya manusia, pengembangan permodalan, pengembanagn peluang kerja

dan usaha dan penguatan kelembagaan kelompok yang tidak berdaya (kelompok

orang miskin).
Perkembangan globalisasi yang ditandai dengan liberalisasi perdagangan

melalui penerapan organisasi perdagangan dunia telah menimbulkan isu hukum

yang sifatnya lintas batas negara (bonderless world). Salah satunya adalah isu

terkait perlindungan produk-produk komunal dan khas. Kebutuhan terhadap

perlindungan produk komunal khas ini diawali dengan sebuah realitas di mana

globalisasi telah menunjukkan adanya pemanfaatan produk komunal da khas oleh

negara-negara maju guna kepentingan ekonomi mereka. Hal ini seperti kasus

yang terjadi pada kopi gayo.

“Gayo high mountain coffee” telah terdaftar oleh EUROPEAN BV di eropa

dan melakukan pelarangan terhadap pesaingnya eksportir indonesia asal aceh

yaitu CV. Arvis Sanada untuk tidak menggunakan kata gayo pada kemasannya

oelh karena gayo adalah baagian dari merk dagangnya. Perlindungan komunal

dan khas ini adalah dalam konteks sistem perdagangan dunia yang dikenal

dengan sistem perlindungan indikasi geografis.


E.2.  Menjalin Relasi Komunitas Lokal Untuk Memperkuat Posisis Dalam

Merespon Perubahan Sosial

Di pedesaan terjadi kesenjangan antara petani pemilik dan penggarap dengan

burh tani. Fasilitas yang diberikan pemerintah yang dikemas dalam bentuk

bermacam-macam program sesungguhnya lebih banyak mengalir pada kalangan

para petani pemilik dan penggarap. Kredit usaha tani misalnya terutama diberikan

kepada petani pemilik dan penggarap, dan bukan kepada buruh tani, keran menurut

ketentuan yang berlaku dana itu dikucurkan dengan sistim agunan. Fasilitas-

fasilitas lain seperti subsidi pupuk dan obat-obatan serta penyuluhan peningkatan

usaha tani juga lebih ditunjukan kepada petani pemilik dan penggarap, dan bukan

kepada buruh tani. Di samping itu, keanggotaan kelompok tani dan koperasi

pertanian juga lebih diprioritaskan untuk para petani pemilik dan penggarap

daripada buruh tani. Karena itu, mereka hanya memperoleh fasilitas yang disubsidi
pemerintah, tetapi juga mendapatkan lebih banyak informasi mengenai inovasi

pertanian.

Fasilitas dari pemerintah (modal, pupuk, obat-obatan dan penyuluhan)

terutama disalurkan melalui pemimpin formal pedesaan. Dalam konteks ini, mereka

diperankan sebagai agen utama pembanguna pertanian di tingkat desa, terutama

berfungsi sebagai pembawa pesan dan penterjemah kemauan pemerintah. Karena

itu posisi mereka benar-benar berada pada puncak strata, dan sangat dominan dan

determinan mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang terkait dengan

introduksi program-program pembangunan pertanian. Kesenjangan sosial lain

terjadi antara petani pemilik atau penggarap yang mempunyai yang mempunyai

akses dengan pemimpin formal pedesaan dan petani pemilik atau penggarap yang

tidak mempunyai akses. Mereka yang mempunyai akses kerapkali justru menjadi

biang keladi pelbagai bentuk manipulasi dan keterpurukan usahatani akibat dari

kolusi yang mereka lakukan dengan pemimpin formal pedesaan. Mereka mampu

menuai keuntungan besar meskipun dengan cara menekan dan merugikan pihak

lain.
Sementara itu, di kalangan petani pemilik dan penggarap yang tidak

mempunyai akses dengan pemimpin formal pedesaan sedikitnya berkembang tiga

macam strategi survival, yaitu:

 Melakukan perlawanan dengan cara menentang (baik secara terbuka

maupun tersembunyi) pelbagai bentuk program pembangunan pertanian

yang diintroduksi pemerintah. Tidak sedikit di antara mereka yang

kemudian dikucilkan atau memperoleh predikat sebagai kelompok radikal

yang harus diawasi,bahkan kemudian ditekan dengan berbagai macam

cara.

 Mengikuti saja arus pembangunan pertanian, meskipun dilakukan hanya

dengan setengah hati. Mereka sangat sadar bahwa mengikuti kemauan

pemerintah dan tetap bertahan berkecimpung pada sektor pertanian akan

terus menerus merugi. Tetapi mereka tidak memiliki alternatif lain, karena

itu kerugian yang diderita dipahami sebagai pengorbanan yang harus

dibayar demi pembangunan.


 Mengadu nasib ke daerah lain, terutama mengisi sektor informal di

perkotaan sebagai pedagang kaki lima atau buruh bangunan. Mereka

memilih sebagai commuter (setiap hari pulang-balik) atau boro (beberapa

bulan meninggalkan desa dan pulang setelah mempunyai tabungan).

Beban sosial ekonomi yang mereka hadapi di perkotaan ketika

berkecimpung dalam sektor in-formal sesunggguhnya tidak ringan karena

menghadapi pungutan preman dan

penggusuran. Tetapi bagi mereka pilihan itu masih dianggap lebih baik

dibandingkan tetap bertahan di sektor pertanian.

 Keterpurukan sektor perekonomian juga pernah dicoba diimbangin

dengan pengembangan industri kecil pedesaan. Sayang usaha ini juga

kurang membuahkan hasil seperti diharapkan, karena banyak petani yang

kurang berani mengambil resiko akibat modal dan akses mereka terbatas.

Kerugian bukan hanya membuat usaha mereka bangkrut, tetapi hidup dan

kehidupan bisa semakin carut-marut. Karena itu mereka tidak mudah

didorong melakukan reinvestasi. Hambatan lain adalah tiadanya organic

link antara pengusaha besar dan pengusaha kecil pedesaaan. Mereka

seperti berjalan sendiri-sendiri. Di beberapa daerah memang telah terjalin

kegiatan kolaboratif, tetapi di banyak daerah mereka justru berkompetisi,

dan kurang melembagakan kerjasama dalam meningkatkan proses

produksi. Malah ketika para pemilik modal besar menanamkan


investasinya di desa, yang berkembang adalah bukan industri pedesaan,

tetapi industri kapital intensif yang berada di desa.

 Kegagalan pembangunan pertanian selama ini juga ditengarai karena

program-program yang dicanangkan hanya memberi tekanan pada

perencanaan dan implementasi proyek saja. Program-program tersebut

kurang memperhatikan keterkaitan antara letak proyek dengan ruang

pengembangan ekonomi yang lebih luas terutama dengan kota.

Infrastruktur dan fasilitas terkesan dibangun semata-mata hanya untuk

kepentingan proyek itu sendiri, tanpa

 memperhatikan jarak ideal dengan kota dalam fungsinya sebagai pasar

atau saluran distribusi hasil produksi. Masalah itu sebenarnya juga pernah

dijawab dengan strategi pusat pertumbuhan berbentuk pengembangan

pasar yang tidak terlalu jauh dengan kawasan industri pedesaan. Pasar ini

diharapkan berfungsi sebagai pusat penampungan hasil produksi sekaligus

sebagai pusat informasi hal-hal yang berkaitan dengan kehendak

konsumen dan yang bisa dipenuhi produsen. Tetapi strategi pusat

pertumbuhan semacam itu ternyata juga kurang begitu efektif. Karena

masyarakat desa setempat ternyata kalah berkompetisi dengan pendatang

(orang kota), padahal mereka terlibat program sejak awal. Implikasi dari

strategi pertumbuhan tersebut justru sebuah reartikulasi pola pemukiman

desa, yang dihuni oleh orang kota dengan latar belakang ekonomi kuat.
Dari uraian yang telah dipaparkan nampak bahwa selama ini petani

sebenarnya telah berkorban besar bagi kepentingan survival negeri ini. Betapa

tidak, biaya mengolah tanah,harga bibit, pupuk serta obat-obatan terus

melambung, biaya tanam dan upah pemeliharaan semakin mahal. Tetapi harga

produksi pertanian (terutama pangan) selalu ditekan dan dikontrol pemerintah

secara ketat. Nilai hasil pertanian semakin tidak imbang dengan biaya produksi,

dan petani terus menerus merugi. Karena itu tidak terlalu berlebihan apabila

dinyatakan bahwa petani tidak pernah henti dieksploitasi, dan tidak pernah

memperoleh santunan yang memadai. Hak asasi petani terabaikan dan tanpa ada

pembelaan yang memadai. Benar memang ada pula petani yang diuntungkan

sehingga kehidupannya agak lebih baik. Tetapi di samping petani dalam kategori

ini jumlahnya tidak begitu banyak, mereka sebenarnya mengambil kesempatan

kerja milik petani miskin. Kegiatan mereka sebagai pemilik traktor, penggilingan
padi, dan penebas ditenggarai menciptakan posisi petani gurem menjadi semakin

marginal.

Rezim penguasa di negeri ini telah berganti beberapa kali, namun satu hal

yang tetap lestari adalah harga produksi pertanian (terutama pangan) terus

ditekan. Bukankan itu berarti bahwa semakin menciptakan ketergantungan

petani? Boleh jadi begitu, tetapi sesungguhnya ada keuntungan politik apabila

pangan dapat dicukupi dan dengan harga yang murah (terjangkau). Pertama,

kepercayaan rakyat kepada pemerintah menguat. Bagi masyarakat kita yang

sebagian besar tergolong miskin, kecukupan dan keterjangkauan pangan

dianggap sebagai indikasi bahwa pemerintah

mampu mencukupi kebutuhan dasar mereka. Kepercayaan semacam itu akan

membuat situasi politik lebih stabil, dan akan mengurangi tekanan keinginan

mengganti pemerintah.kedua, harga pangan adalah komponen penting bagi

penentuan upah. Apabila harga pangan mahal, maka mudah diperkirakan upaya

akan tinggi , dan itu berarti perkembangan industri dan usaha jasa kurang

kompetitif. Itulah sebabnya tidak berlebihan jika dinyatakan bahwa kecukupan

dan keterjangkauan pangan sesungguhnya lebih banyak dinikmati oleh kelas

menengah atas (terutama perkotaan) serta kalangan pemilik modal atau

pengusaha berskala nasional maupun internasional. Karena harga pangan murah,

maka para pengusaha dapat menekan ongkos produksi, sehingga mereka dapat

menikmati keuntungan lebih besar.


F.    Dampak Kesenjangan Sosial

Ketimpangan sosial selalu meninggalkan jejak baik positif maupun negatif.

Berikut ini dampak dari ketimpangan sosial : 

1.      Dampak Positif

a)       Ketimpangan sosial dapat menjadi suatu stimulasi ampuh bagi

beberapa wilayah untuk terus memaksimalkan potensi mereka

demi menuju ke arah yang senantiasa lebih baik lagi.

b)       Ketimpangan sosial juga dapat menumbuhkan rasa empati antar

golongan untuk membantu yang lain demi mendapatkan

kesetaraan yang sudah semestinya.


c)       Ketimpangan sosial meminimalisir mental individu yang biasanya

gampang cepat puas, dengan ini mereka akan terus didorong

untuk mengontribusikan yang lebih baik dari diri mereka masing-

masing.

d)      Mengajarkan pada masyarakat mengenai arti tentang kehidupan

yang beragam, dengan begini maka mentalitas keterbukaan serta

pengertian akan lebih mudah untuk diterapkan secara lebih nyata.

e)       Mendorong manusia untuk lebih pandai bersyukur atas apa yang

dipunyainya beserta menjadikan mereka lebih berserah yang

disertai dengan harapan untuk berusaha lebih ikhlas dalam

mengusahakan apa- apa yang mereka harapkan.

2.      Dampak Negatif

a)       Cenderung memicu kesombongan dan juga keputusasaan di sisi

yang lainnya, hal ini bisa diminimalisir dengan berperannya

golongan yang bertanggung jawab di bidangnya semisal

pemerintah untuk lebih mengajarkan masyarakat tentang

empati dan juga bekerja keras

b)      Cenderung memicu tingginya kriminalitas yang diakibatkan oleh

kecemburuan sosial, kembali lagi hal yang musti diperhatikan

adalah mengenai mentalitas individu, yang mampu harus dilatih

menjauhi sifat pelit dan semena-mena sedangkan yang kurang

mampu harus dilatih untuk berusaha pada jalan yang benar.


Banyak rakyat miskin yang terpaksa menghalalkan segala cara untuk

mendapatkan uang, seperti mencopet, mencuri, judi, dll.

     Upaya-upaya yang harus dilakukan pemerintah untuk pemecahan

masalah kesenjangan sosial yang terjadi di Indonesia:

1. Menomorsatukan pendidikan

2. Menciptakan lapangan kerja dan meminimalis Kemiskinan

3. Meminimalis KKN dan memberantas korupsi.

4. Meningkatkan system keadilan di Indonesia serta melakukan

pengawasan yang ketat terhadap mafia hukum. 

c)      Terjadinya Kemiskinan

 terutama dikalangan masyarakat miskin

 terpaksa menghalalkan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan

 disebabkan keterbatasan dana untuk memenuhi kebutuhan

 kondisi sosial-ekonomi yang bermasalah

 d). Meningkatnya Kemiskinan dan Pengangguran

 kurangnya lapangan pekerjaan

 akibat dari tidak meratanya pembangunan antar daerah

 sektor pertanian dan industri


 ketimpangna pendapatan yang besar akan menganggu jalannya proses

pembangunan

e). Terjadinya Monopoli

 yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin semakin miskin

 masyarakat yang kaya memiliki pengaruh berupa kekuatan

ekonomi,politik,hukum

 melebarkan kekuasaan mereka dalam berbagai sektor

 menyebabkan masyarakat semakin tertindas

 f). Terjadinya perpecahan (konflik) dan mengancam keutuhan

masyarakat

 dikarenakan timbulnya sikap antipati


 pembangunan yang tidak merata

 kecumbuan sosial

G.    Contoh, Solusi & Pemecahan Kesenjangan Sosial Antara Perkotaan

& Pedesaan

Contoh Kesenjangan Sosial

Berikut ini beberapa contoh kesenjangan sosial dalam kehidupan sehari-hari:

 Koruptor yang memakan uang rakyat hingga milyaran rupiah hanya ditahan

selama 3 tahun sedangkan orang yang maling ayam dapat ditahan hingga belasan

tahun.

 Tidak adanya fasilitas transportasi yang cukup layak untuk penderita cacat.
 Orang yang berpenampilan dengan pakaian mahal dan bagus diperlakukan

dengan sangat baik oleh pelayan berbeda dengan orang yang berpenampilan

biasa saja.

Contoh kesenjangan antara masyarakat desa-kota

Hal ini di sebabkan oleh berbagai faktor, Diantaranya Adalah Tingkat daya Beli

Masyarakat Desa lebih rendah, Pendidikan yang tidak merata, Pelayanan yang

tidak sama antara Desa dan kota misalnya saja Kesehatan. Karena keterbatasan

transportasi, sarana dan prasarana Desa lebih rendah daripada kota, serta

minimnya pula lapangan pekerjaan di Indonesia membuat masyarakat

Cendekiawan desa memilih untuk tinggal dan hidup di desa karena

kenyamanannya, walaupun demikian banyak sekali orang-orang dari daerah

Pergi ke Jakarta tanpa bekal Pendidikan apapun, semakin tahun Kota jakarta

misalnya, menjadi semakin sesak karenanya.

Kesenjangan dilihat pula dari Perbedaan pendapatan perkapita Diperkotaan dan

dipedesaan. Struktur kegiatan ekonomi sektoral yang menjadi dasar kegiatan

produksi rumah tangga atau masyarakat, khususnya pada sektor-sektor ekonomi

yang menjadi basis ekspor dengan orientasi pasar dalam negeri (domestik)

 Bertambahnya penduduk sehingga tidak seimbang dengan  persediaan lahan

pertaniannya.

 Terdesaknya kerajinan di desa oleh produk industry modern.


 Di desa tidak banyak kesempatan untuk menambah ilmu pengetahuan.

 Kegagalan panen yang disebabkan oleh berbagai hal, seperti banjir kemarau

panjang dsb, sehingga memaksa penduduk desa untuk mencari penghidupan lain

dikota. Penduduk desa kebanyakan beranggapan bahwa dikota banyak pekerjaan

dan lebih mudah untuk mendapatkan penghasilan

 Dikota lebih banyak kesempatan untuk mengembangkan usaha kerajinan rumah

menjadi industry kerajinan

 Pendidikan terutama pendidikan lanjutan, lebih banyak dikota dan lebih mudah

didapat

 Kota  dianggap mempunyai tingkat kebudayaan yang lebih tinggi dan merupakan

tempat pergaulan dengan segala macam kultur kemanusiawiannya

 Kota memberikan kesempatan untuk menghindarkan diri dari control sosial yang

ketatatau untuk mengangkat diri dari posisisosial yang rendah

Solusi kesenjangan antara perkotaan & pedesaan.

Lalu, adakah solusi untuk kesenjangan antara perkotaan & pedesaan? Apakah

itu? Tentu saja, ada. Dan itu adalah dengan meningkatkan taraf hidup

dipedesaan. Bagaimana cara untuk solusi tersebut? Sebagaimana uraian di atas, dapat

dimengerti mengapa ketimpangan sangat mencolok antara desa dan kota.

Keterbelakangan baik dalam aspek pendidikan, ekonomi, maupun akses terhadap


fasilitas kesehatan tidak semata-mata disebabkan oleh faktor sosial-kultural

masyarakatnya yang secara kuat memegang prinsip

dan kultur kekerabatan dan tradisi/adat istiadat, tetapi jika ditelisik lebih dalam

lagi, juga disebabkan karena faktor sosial politik dan geografi daerah yang tidak

menguntungkan bagi daerah pedesaan. Kondisi ini tentu menjadi tantangan tersendiri

bagi masyarakat desa, juga bagi pemerintah.

Secara internal masyarakat pedesaan harus mulai terbuka dengan dunia luar,

masyarakat juga tidak boleh alergi pada perubahan. Melanggengkan kebudayaan

yang dimiliki tentu sangat penting dalam rangka menjaga kearifan lokal, tetapi

masyarakat desa harus memiliki misi dan visi jelas dan terukur sehingga mereka

dapat mengambil inisiatif untuk merubah nasib mereka. Tanpa perubahan mind set

yang selama ini memang telah mengakar kuat pada masyarakat desa, tentunya
mereka akan sulit untuk keluar dari belenggu keterbelakangan karena salah satunya

minimnya persaingan di antara mereka. Masyarakat yang hidup bersama dengan

mata pencaharian yang tidak jauh berbeda biasanya tidak memiliki motivasi yang

tinggi untuk bersaing satu sama lain. Kalau pun diantara penduduk desa ada

ketimpangan pendapatan, umumnya tidak terlalu ekstrim.

Selain itu, Pemerintah juga harus membuat kebijakan yang diluar masyarakat

itu sendiri. Desain kebijakan pemerintah harus menitikberatkan kepada hal-hal

berikut :

1. Kebijakan pemerintah harus menekankan kepada peningkatan/perbaikan

infrastruktur desa terutama pada desa-desa yang kondisi geografisnya tidak

menguntungkan.
2. Akses terhadap pendidikan, informasi dan kesehatan gratis harus menjadi

prioritas bagi pemerintah sehingga akselerasi pembangunan dapat terwujud

dengan efektif.

3. Pemerintah perlu memberikan bantuan modal bagi masyarakat desa

sehingga mereka dapat memiliki mata pencaharian alternatif, tidak hanya

mengandalkan sektor pertanian. Bantuan modal tentunya sangat membantu

masyarakat karena mereka dapat memanfaatkannya untuk mendirikan

usaha. Mata pencaharian alternative ini pada akhirnya dapat meningkatkan

pendapatan ekonomi masyarakat, terutama pada masyarakat desa yang

tanahnya gersang dan tidak menjanjikan.

4. Berkaitan dengan political will pemerintah, segregasi atau ekslusi terhadap

masyarakat pedesaan baik dari aspek etnik, suku, agama, gender dan

sejenisnya harus dihapuskan.

Beberapa solusi di atas tentu dapat menjadi input bagi pemerintah dalam

membuat kebijakan terutama berkaitan dengan peningkatan tarap hidup desa agar

menjadi lebih baik. Dengan demikian, desa yang selama ini identik dengan

keterbelakangan lambat laun dapat mengalami akselerasi secara cepat menjadi desa

yang lebih maju.


Pemecahan dan Solusi Kesenjangan Sosial Di Indonesia

Indonesia merupakan negara yang besar dan salah satu negara yang memiliki

kepulauan yang banyak serta letaknya berjauhan. Kesenjangan sosial sangatlah

mungkin terjadi di Indonesia karena banyak daerah-daerah terpencil yang terisolir

dari keramaian. Dan Indonesia adalah suatu negara yang tingkat korupsinya sangat

tinggi, di dunia Indonesia masuk dalam 5 besar negara terkorup. Sebenarnya

Indonesia mampu menjadi negara yang maju dan menjadi negara yang mampu

menyejahterakan masyarakatnya.

Kerana Indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat kaya dan melimpah

tetapi kenapa masih terjadi kesenjangan sosial yang sangat mencolok. Ini menjadi

pertanyaan besar yang perlu adanya jawaban dan titik terang  Dalam hal ini

merupakan tugas bagi pemerintah sekarang,bagaimana lebih menyejahterakan

masyarakat serta meminimalis kesenjangan sosisal. Banyak hal yang bisa dilakukan

pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pemecahan

kesenjangan sosial yang terjadi dimasyarakat.

H.    Peran Pemerintah dalam Mengatasi Kesenjangan Sosial

Hak-hak Rakyat berdasarkan Undang-Undang 1945 adalah sebagai berikut :


a) Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara

(Pasal 34, Bab XIV, UUD1945)

b) Rakyat berhak meminta penghidupan yang layak

(Pasal 27, Bab X, UUD 1945)

c) Rakyat berhak meminta layanan kesehatan , pendidikan ,

dan hiburan kepada negaranya

d) Rakyat berhak didampingi pengacaranya jika dituduh melakukan

tindak kriminal.

e) Rakyat berhak untuk membela dan menjaga kestabilitas negara

Pemerintah harusnya lebih memperhatikan masalah yang seperti ini,

pembukaan UUD 1945 dan beberapa bab yang ada dilamnya bahkan telah

memberi amanat kepada pemerintah untuk memajukan kesejahteraan umum dan

mencerdaskan bangsa, harusnya orang-orang yang berada di pemerintahan lebih


serius untuk memikirkan kepentingan bangsa yang memang sudah menjadi

tanggung jawab mereka, tapi dari kasus-kasus yang sekarang ini tentang para

anggota pemerintahan yang melakukan korupsi dapat menunjukan bahwa tidak

sedikit dari mereka masih memikirkan kepentingannya masing-masing, uang dan

biaya yang seharusnya untuk kemakmuran masyarakat dimakan oleh mereka

sendiri.

Kalaupun pada akhirnya mereka mendapatkan hukuman itu bukanlah

“hukuman” yang sebenarnya, banyak dari mereka masih tetap hidup mewah

walaupun mereka dalam kurungan penjara yang seharusnya memebuat mereka

jera.

Berikut beberapa program pemerintah dalam upaya mengatasi Kesenajangan

Sosial di Indonesia, diantaranya adalah :


a. Program dana untuk UKM (Usaha Kecil Menengah), pembangunan

koperasi dalam bidang ekonomi.

b. Program wajib belajar 9 tahun (SD, SMP, SMA), BOS

(Bantuan Operasional Sekolah) dalam bidang pendidikan.

c. Program BPJS (Badan Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan)

dalam bidang kesehatan.

d. Program pelatihan dan pemberdayaan anak-anak muda, pemeberian BLT

(Bantuan Langsung Tunai) dalam bidang kesejahteraan dan sosial.

e. Pembentukan dan pemberantasan kasus-kasus korupsi

(Komisi Pemberantasan Korupsi).

Upaya-upaya yang harus dilakukan pemerintah untuk pemecahan masalah

kesenjangan sosial yang terjadi di Indonesia:


1. Meminimalis (KKN) dan memberantas korupsi dalam upaya meningkatan

kesejahteraan masyarakat. Pemerintah telah membentuk suatu lembaga yang

bertugas memberantas (KKN) di Indonesia. Indonesia telah mulai berbenah diri

namun dalam beberapa kasus soal korupsi KPK dinilai masih tebang pilih dalam

menindak masalah korupsi. Misalnya kasus tentang bank century belum

menemukan titik terang dan seolah-olah mengakiri kasus itu. Pemerintah harus

selalu berbenah diri karena dengan meminimaliskan (KKN) yang terjadi mampu

meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan dana yang ada.

2. Meningkatkan sistem keadilan di Indonesia serta melakukan pengawasan

yang ketat terhadap mafia hukum.

3. Dalam hal pendidikan harus diutamakan.

4. Membuka lapangan pekerjaan agar tidak adanya penganguran.

5. Membrantas korupsi agar tidak ada lagi yang korupsi.

6. Meningkatkan sebuah sistem peradilan di Indonesia dan melakukan

pengawasan ketat dari mafia peradilan. agar yang mempunyai kekuasan

tidak semana-mena sama rakyat kecil.

Masih banyak mafia hukum merajarela di Indonesia itu yang semakin membuat

kesenjangan sosial di Indonesia makin mencolok.Keadilan saat ini sangatlah sulit


untuk ditegagakkan bagaimana tidak! Seorang koruptor ditahan namun semua

fasilitas sudah tercukupi di dalam ruang tahanan. Sedangkan bagaimana dengan

nasib seorang masyarakat kecil yang hanya mencuri ayam misalnya, mereka

melakukan dengan seenak mereka kadang juga mereka menyiksa dengan tidak

prikemanusiaan. Hal ini sangatlah menunjukkan kesenjangan sosial di Indonesia

yang sangatlah mencolok antara pihak kaya atau pihak yang mempunyai penguasa

antara rakyat kecil atau orang miskin.

Sebenarnya masih banyak program-program pemerintah lain yang sudah

dilaksanakan, akan tetapi program-program yang paling dikenal mungkin yang

tertera di atas. Dari beberapa program di atas, memang sudah hampir secara

keseluruhan dilaksanakan meskipun hasilnya kurang maksimal. Tapi wajib kita

hargai dengan adanya bantuan dan program-program pemerintah tersebut setidaknya

bisa mengurangi masalah Kemiskinan.

I.    Pemaparan Upaya Mengatasi Kesenjangan Sosial


Dalam kesenjangan yang terjadi banyak diantaranya disebabkan oleh faktor

pemerintah yang banyak berporos pada sektor ekonomi di kota-kota besar sehingga

jurang semakin besar. Untuk mengatasi keadaan tersebut diharapkan adanya

penetrasi kegiatan diantaranya :

1. Menciptakan lapangan pekerjaan yang merata baik di kota maupun daerah,

sehingga penduduk daerah tidak terpengaruh untuk pindah ke kota.

Alasan diatas diperkuat dengan keadaan Indonesia saat ini yang sedang

mengalami :

Ketimpangan pendapatan masih menjadi masalah utama masyarakat

di dunia. Kampanye serentak masyarakat sipil mendesak komitmen

pemerintah hingga pelaku usaha untuk serius mengatasi ketimpangan.

Begitupun di Indonesia, ketimpangan menjadi persoalan serius yang harus

segera diselesaikan. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS)

pada 2015 indeks gini mencapai 0,402 dan pada tahun lalu menjadi 0,391.

Meskipun turun tipis, tapi angka ini dinilai masih sangat riskan.

Program Manager Pusat Penelitian dan Pengabdian (P3M), Abdul Waidl,

mengatakan penyebab utama ketimpangan karena minimnya lapangan

pekerjaan. Menurut dia, Indonesia harus segera menyiapkan program

pengembangan sumber daya manusia.


“Penyebab utama ketimpangan di indonesia adalah kesempatan

mendapatkan pekerjaan hanya 56%,” kata Abdul dalam diskusi di Cikini,

Jakarta, Selasa (23/1).

Menurut dia, Indonesia saat ini telah memasuki era industri 4.0, sebuah era

yang memanfaatkan era digitalisasi sebagian penompang ekonomi.

Sehingga jika SDM tidak siap, maka ketimpangan akan terus terjadi.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic

and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati juga berpendapat sama. Menurut

dia, pemerintah harus mampu mengoptimalkan program vokasi untuk bisa

melihat potensi di setiap daerah.

“87% pekerja ada di luar kota, oleh karena itu saat ini ada program

vokasi dari pemerintah harus didesain betul, harus dilihat dahulu potensi

daerah yang mau dikembangkan apa,” katanya.

Menanggapi hal tersebut, Asisten Deputi Ketenagakerjaan Kementerian

Ketenagakerjaan, Yulius, mengakui jika saat ini masih ada ketidaksesuaian

kurikulum dunia pendidikan dengan dunia kerja. Kebanyakan, lulusan

sekolah tidak bisa terserap ke industri karena tidak memiliki skill.

"Ada miss match, kurikulum pendidikan tidak cocok dengan

perusahaan," katanya.
Yulius mengatakatan saat ini pemerintah telah melakukan 3 kebijakan

untuk mendukung program peningkatan SDM dalam mengahadapi era

teknologi atau yang disebut Industri 4.0.

"Pertama mendistribusikan lahan, kedua memperluas kesempatan kedua

berwisaushaa dan ketiga meningkatkan kualitas SDM," katanya.

2. Memberikan pendidikan gratis atau beasiswa penuh selama 12 tahun

kepada anak-anak miskin, supaya mereka mau melanjutkan pendidikan dan

yang nantinya akan berpengaruh pada kualitas SDM.


Alasan diatas diperkuat dengan keadaan Indonesia saat ini yang

sedang mengalami :

Bekerja terganggu dengan jadwal pendidikan, tidak bekerja tidak dapat

pendidikan. Kata-kata inilah yang selalu keluar dari mulut seseorang

mahasiswa yang “banting tulang” demi dapat mengenyam pendidikan.

Keputusan untuk kerja sambil kuliah atau sekolah sebenarnya memiliki risiko

yang berbeda-beda berdasarkan pekerjaan yang digeluti. Risiko seorang

mahasiswa yang bekerja pada warung nasi atau sebagai tukang bangunan,

misalnya, berbeda dengan risiko seorang mahasiswa yang bekerja di instansi

pemerintah maupun swasta.

Setidaknya, terkadang merasa kesulitan dalam mengatur waktu antara

kuliah dan kerja, apalagi jika pekerjaan tersebut bersifat terikat, akan sering

dihadapkan pada berbagai kendala. Salah satunya seperti jadwal kerja bentrok

dengan jadwal kuliah, atau kelelahan karena stamina telah terkuras ketika

bekerja. Belum lagi dengan atasan yang suka pemarah, sehingga akan

berdampak pada psikologis mahasiswa tersebut. Pada akhirnya akan

berpengaruh pada proses belajar mengajar (PBM) yang berdampak pada

pencapaian indeks prestasi.

Anak orang miskin dapat menempuh pendidikan sekurang-kurangnya

tamatan SLTA saja sudah sangat mengagumkan. Apalagi bisa menempuh dan
dapat selembar ijazah di perguruan tinggi tentu luar biasa walaupun dengan

IPK minim. Kalau dalam bahasa Aceh, hana pat pakek, apalagi pada 2014 ini

Pemerintah Aceh melalui LPSDM menganggarkan dana untuk beasiswa

pendidikan sarjana, magister hingga doktor, di dalam maupun ke luar negeri.

Dengan syarat mempunyai IPK 3,0 dan nilai Toefl minimal 500.

Sanggupkah mahasiswa yang membanting tulang demi biaya pendidikan

untuk mencapai IPK 3,0 dan nilai Toefl 500? Sangat mustahil bisa

mendapatkan, mengapa? Karena sudah terbentuk sejak dari kecil, terkadang

sekolah dan guru kurang peka dengan situasi anak orang miskin. Gedung

sekolah yang seadanya ditambah lagi dengan peralatan proses belajar

mengajar yang tidak mendukung. Belum lagi dengan perpustakaan sehingga

sangat berat wali murid dalam mengeluarkan rupiah untuk membeli buku.

Kemauan mereka untuk bersekolah meski terbatas dalam segala hal mesti

diapresiasi.
Sedangkan anak orang kaya, semuanya serba ada. Fasilitas belajar

tersedia, sehingga tidak sulit bagi anak orang berada bersaing dari segi prestasi

di sekolah. Sebab itu, prestasi anak orang miskin tidak bisa merta dipaksa

untuk sama dengan anak orang kaya. Terkadang guru atau pihak sekolah

kurang sabar ketika melihat prestasi para peserta didik. Para peserta didik tidak

dilihat berdasarkan latar belakang keluarganya. Jika prestasinya buruk karena

disebabkan oleh faktor keterbatasan fasilitas akibat kemiskinan keluarga, maka

siswa tersebut perlu diberikan perhatian ekstra. Meski tidak dapat dipungkiri

juga bahwa ada begitu banyak anak-anak orang miskin yang lebih berprestasi

di sekolah.

Pola pikir yang sama berlaku juga bagi paradigma umum dalam

kebijakan-kebijakan beasiswa. Umunya, beasiswa diberikan kepada anak

berprestasi/pintar dari keluarga tidak mampu secara finansial. Jarang sekali,

beasiswa diberikan kepada anak-anak yang miskin sekaligus tanpa prestasi.

Padahal pendidikan adalah salah satu kunci untuk keluar dari belitan

kemiskinan. Bagaimana mungkin, anak orang miskin yang karena berbagai

keterbatasannya kemudian tidak mampu berprestasi dapat keluar dari belitan

kemiskinannya melalui pendidikan, jika beasiswa hanya diperuntukkan bagi

anak miskin tetapi berprestasi?


 Realitas ketidakadilan

Itulah realitas ketidakadilan sosial dalam dunia pendidikan di Aceh khususnya

dan Indonesia umunya yang kurang memberi tempat bagi anak-anak keluarga

miskin secara ekonomis dan miskin dari segi prestasi. Kelompok miskin dan

bodoh ini akan terus berkutat dengan kemiskinan dan kebodohannya, karena

sekolah dan lembaga beasiswa kurang memberi kesempatan kepada mereka.

Secara garis besar, peserta didik (siswa/mahasiswa) dapat

diklasifikasikan dalam empat golongan: Pertama, anak pintar dan kaya.

Golongan ini bisa bebas memilih sekolah/kampus yang berkualitas.

Kesempatan pendidikan bagi golongan ini sangat luas dan terbuka. Setiap

sekolah/PTN yang dibiayai pemerintah, apalagi yang swasta, mereka sangat

terbuka dengan anak-anak tersebut. Bahkan, atas dasar “pencarian bibit

berkualitas”, mulai dari TK hingga PTN, terus memburu anak-anak tersebut.

Lebih dari itu ada dalil manajemen pendidikan dimana input yang baik, lalu

dengan proses yang baik, maka output pun juga baik. Buktinya,

sekolah/kampus favorite lebih banyak dihuni oleh anak-anak orang kaya dan

pintar.
Kedua, anak pintar dan miskin. Golongan ini juga masih punya

kesempatan sekolah atau kuliah, tapi dengan sedikit keberuntungan. Kini,

memang banyak beasiswa dari pemerintah maupun perusahaan swasta bagi

siswa/mahasiswa berprestasi dan kesempatan inilah yang dibidik para

siswa/mahasiswa untuk dapat sekolah/kuliah. Namun, kesempatan ini masih

perlu dewi fortuna. Informasi beasiswa harus terus dicari, tes-tes penyaringan

perlu diikuti, lebih baik bila ada silaturahmi. Tapi bagaimanapun juga, jumlah

anak pintar dan miskin di sekolah/fakultas unggulan sangat minim.

Ketiga, anak bodoh tapi kaya. Golongan ini, kesempatan pendidikan yang

menjadi haknya hampir sama dengan golongan kedua di atas. Biasanya, anak-

anak orang kaya dan otaknya tumpul, tidak bisa diterima di sekolah negeri

atau PTN favorit melalui jalur biasa yang menyeleksi calon siswa atau

mahasiswa berdasarkan indeks prestasi dan hasil ujian penyaringan. Tapi

untuk urusan praktis, kini orang kaya masih bisa menyekolahkan anaknya

yang bodoh itu di sekolah bertaraf internasional, asalkan melalui jalur luar

biasa. Dengan kata lain, anak kaya tapi bodoh masih bisa mencicipi lembaga

pendidikan berkualitas, asalkan si anak masih mau melanjutkan sekolah dan

orang tuanya tetap berambisi atas masa depan anaknya.


Keempat, anak miskin dan bodoh. Golongan terakhir inilah yang

biasanya terus berada pada kondisi yang menyedihkan, di mana pendidikannya

kerap berakhir dengan su’ul khatimah. Kesempatan pendidikan yang diterima

anak-anak miskin dan bodoh amat terbatas. Biasanya orang tua mereka hanya

mampu menyekolahkan anaknya di sekolah pinggiran, di madrasah

kampungan, di kampus berkualitas asal-asalan, tapi biayanya terjangkau.

Anak-anak bodoh dan miskin secara geologis, seakan-akan telah digariskan

miskin, bersekolah di sekolah miskin, dan lulus dalam keadaan miskin dengan

kesempatan kerja yang sempit dan minim. Maka, sejak awal mereka telah

didesain menjadi “miskin kuadrat”.

Apakah benar, golongan terakhir di atas, hakekatnya memang miskin dan

bodoh? Jangan-jangan, kemiskinan yang mereka alami adalah kemiskinan

struktural yang sengaja diciptakan oleh para praktisi pendidikan, para

pengambil kebijakan dan pemerintah. Jika melihat sekolah swasta yang

bangunannya reot, gurunya juga malas masuk karena gajinya kecil, lalu

siswanya dihuni oleh anak-anak miskin, maka jelas kualitas pendidikan yang

dihasilkan sekolah swasta tersebut jauh dari harapan ideal. Mereka yang

miskin harus belajar di sekolah swasta yang mereka sendiri menanggung

biayanya. 
Bandingkan dengan sekolah negeri atau PTN favorite yang diajar oleh

para guru yang intelek, yang lembaganya selalu dapat proyek dan bantuan,

fasilitas juga terjamin, baik dari pemerintah dan sponsor, lalu para peserta

didik pun terdiri dari para siswa/mahasiswa pilihan yang telah diseleksi secara

ketat, baik prestasinya maupun kemampuan ekonominya, maka sekolah atau

perguruan tinggi semacam ini bagaikan surga yang hampir dipastikan mampu

mencetak generasi masa depan yang berkualitas, berprestasi, mapan dan kaya.

Membandingkan kedua fakta di atas, maka jelas, ada kesenjangan yang

cukup jauh dalam dunia pendidikan yang sengaja diciptakan oleh pemerintah,

para pengambil kebijakan pendidikan. Kesenjangan atau ketidakadilan

semacam ini, bila dibiarkan, maka hingga kapan pun pemerintah tidak akan

mampu mengurangi angka kemiskinan dan kebodohan.

Selain itu, kewajiban memberi hak pendidikan yang sama bagi semua

warga negara, hanya diberikan pada segelintir orang yang kebetulan cerdas

dan punya uang. Sementara, anak-anak miskin dan bodoh, mereka akan tetap

terpinggirkan dan hidup di tempat kumuh, kotor, sering tawuran dan

sebagainya. Anak-anak ini, kelak juga akan melahirkan anak-anak yang

miskin dan bodoh yang jumlahnya semakin tahun semakin besar. Tepat jika
dikatakan: “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”, dan “yang

pintar makin pintar, yang bodoh makin dibodohin.”

3. Lebih menggerakan kegiatan padat karya di berbagai daerah.

Alasan diatas diperkuat dengan keadaan Indonesia saat ini yang sedang

mengalami :

Padat Karya Tunai merupakan program pemerintah berupa kegiatan

pemberdayaan masyarakat desa, khususnya yang miskin dan marginal, bersifat

produktif yang mengutamakan pemanfaatan sumber daya, tenaga kerja, dan

teknologi lokal untuk menambah pendapatan, mengurangi kemiskinan dan

meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang

Desa, pengaturan desa bertujuan antara lain untuk memajukan perekonomian

masyarakat desa, mengatasi kesenjangan pembangunan, serta memperkuat

masyarakat desa sebagai subyek pembangunan.


Selain melalui Dana Desa, pembangunan desa diharapkan dapat lebih

cepat menyelesaikan persoalan-persoalan di desa terutama yang terkait dengan

kemiskinan, stunting, pengangguran. Untuk itu, pelaksanaan program padat

karya tunai di desa diharapkan dapat meningkatkan daya beli masyarakat,

mengurangi angka gizi buruk, mengurangi kemiskinan, menggerakkan

ekonomi desa, serta mengembangkan kawasan pedesaan. Ada 2 (dua) hal yang

menjadi sasaran program padat karya tunai, yaitu pembangunan infrastruktur

dan peningkatan ekonomi masyarakat.

Pokok pelaksanaan program padat karya tunai di desa adalah

penganggaran kegiatan-kegiatan yang bersifat padat karya (skema cash for

work), yang diwajibkan untuk didanai dengan Dana Desa dalam APBDes.

Pelaksanaan program padat karya diharapkan dapat membuka lapangan

pekerjaan baru bagi masyarakat, sehingga terjadi pemerataan ekonomi ke

perdesaan sekaligus untuk mengatasi kesenjangan. Untuk program padat karya

tahun 2018 yang dirancang oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan

Perumahan Rakyat diperkirakan mampu menyerap 263.646 orang tenaga kerja

dengan upah yang dibayarkan secara harian mencapai 2,4 triliun Rupaih dari

total alokasi sebesar 11,24 triliun Rupiah. Untuk pembangunan infrastruktur di

desa, program padat karya tunai antara lain mencakup program percepatan
peningkatan tata guna air irigasi (P3TGAI), operasi dan pemeliharaan (OP)

irigasi, pengembangan

Infrastruktur sosial dan ekonomi wilayah (PISEW), program penyediaan

air minum berbasis masyarakat (Pamsimas), sanitasi berbasis masyarakat

(Sanimas), pembangunan rumah swadaya untuk masyarakat berpenghasilan

rendah, serta pemeliharaan rutin jalan.

Pada Rapat Kabinet Terbatas tanggal 3 November 2017, Presiden Joko

Widodo telah menginstruksikan agar dana yang mengalir di daerah atau di

desa bisa membuka lapangan pekerjaan yang lebih luas dan mengentaskan

kemiskinan, serta agar dana desa juga dapat diperkuat dengan program

kementerian/lembaga di desa, sehingga bisa digunakan untuk mengembangkan

sektor-sektor unggulan yang bisa menjadi motor penggerak perekonomian.

Program padat karya tunai wajib mengutamakan sumber daya lokal,

tenaga kerja lokal dan teknologi lokal desa. Pengerjaan program padat karya

tunai tidak boleh dilakukan dengan menggunakan kontraktor, melainkan

secara swakelola oleh masyarakat desa dan 30 persen dari nilai proyek tersebut

wajib digunakan untuk membayar upah buat masyarakat yang bekerja, dan

harus dibayar harian atau mingguan. Program padat karya tunai tidak hanya

berasal dari anggaran dana desa, melainkan adanya juga alokasi anggaran

kementerian/lembaga untuk program padat karya tunai.


Dalam rangka mendukung pelaksanaan program padat karya tunai di

desa, pada tanggal 18 Desember 2017 telah ditetapkan Surat Keputusan

Bersama (SKB) 4 Menteri tentang Penyelarasan dan Penguatan Kebijakan

Percepatan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa lahir karena ketidakseimbangan

pola pembangunan antara desa dan kota. Jika kita lihat data tentang stunting,

pengangguran, setengah penganggur, dan tingkat kesenjangan pendapatan

akan menyumbang angka kemiskinan yang tinggi di perdesaan.

Data resmi dari BPS Maret 2017, warga miskin di desa 13,93% dan di kota

7,72%. Perbandingannya mendekati kisaran 2:1, yang artinya jumlah warga

miskin di desa hampir dua kali lipat warga miskin di kota.

Untuk mengatasi kesenjangan ini pemerintah Jokowi menggulirkan

program Dana Desa yang setiap tahunnya mengalami kenaikan signifikan

kecuali pada 2018. Total dana desa yang sudah dikucurkan sejak 2015 sampai

2018 mencapai Rp 187,74 triliun. Kita bisa bayangkan jika uang ini dikelola

tepat sasaran, tidak akan ada lagi gizi buruk, pengangguran, kesenjangan

ekonomi, dan kesenjangan lainnya.


Pola pengelolaan yang dibangun dari penggunaan dana desa selama 3

tahun pertama porsinya lebih banyak pada pembangunan infrastruktur yang

belum terkendali dengan semestinya, karena masyarakat desa kurang

dilibatkan. Sehingga proses perencanaan pembangunan tidak tepat sasaran,

dan rawan korupsi.

Belum lagi seorang kepala daerah yang tidak bersinergi dengan desa.

Pembangunan infrastruktur di desa akan berarti apabila pembangunan jalan-

jalan kabupaten dan provinsi terhubung dengan baik. Masih banyak kepala

daerah abai terhadap desa, karena belum maksimum memberikan pembinaan

dan pengawasan terkait pencapaian standar pelayanan minimal pembangunan

dan pemberdayaan di desa.

Alih-alih untuk mengentaskan kemiskinan, justru dana desa bisa menjadi

bencana apabila tidak paham cara pengelolaannya. Dasar pengelolaannya ini

berdasarkan prioritas kebutuhan masyarakat desa itu dengan melibatkan

seluruh stakeholder yang ada di desa. Tahapannya diawali dari musyawarah

desa, penyusunan RKPDesa, sampai pada penetapan APBDesa yang disusun

tepat waktu.
Selama 3 tahun pertama, target untuk mengentaskan kemiskinan di desa

masih jauh dari harapan. Data Indeks Desa Membangun sebagai tolok ukur

pembangunan di desa belum mengubah wajah desa. Jumlah desa tertinggal

dan sangat tertinggal mencapai 60% dari total desa. Bahkan, di Papua

mencapai 96% dari total desa. Artinya, kesenjangan masih menganga di

Republik ini.

Padat Karya Tunai

Gerakan Saemaul Undong di Korea dapat dijadikan proyek percontohan

pembangunan desa di Indonesia. Kesuksesan gerakan ini diindoktrinisasi

secara vertikal dan horizontal. Vertikalnya, pemerintah mengucurkan dana

sekaligus menempatkan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa

sebagai subjek. Horizontalnya, menggagas semangat menolong diri sendiri dan

kerja sama.

Bangsa Indonesia dari zaman dahulu sudah memiliki modal awal

pembangunan, yakni semangat gotong royong. Semangat ini akan terkikis

habis bila tidak dipelihara, diajarkan, dan dilestarikan. Untuk mencapai

konsesus nasional pembangunan, pemerintah sudah mengakuinya dalam

kewenangan lokal berskala desa, dan kewenangan berdasarkan hak asal-usul.

Kewenangan inilah sebagai aset desa untuk membangun dan memberdayakan


masyarakatnya.

Program Padat Karya Tunai yang dimunculkan kembali dalam wajah

baru pemerintahan Jokowi dapat menjawab permasalahan yang sedang

dihadapi di desa. Ketentuannya, 30% dari seluruh kegiatan pembangunan

dibayarkan untuk upah.

Sasaran dari program ini adalah keluarga yang mengalami gizi buruk,

pengangguran, setengah pengangguran, warga miskin, petani, wanita dan laki-

laki usia produktif yang tidak harus berpengalaman. Upah mereka dibayarkan

setiap hari atau mingguan sesuai dengan standar harga di masing-masing

daerah.

Manfaatnya meningkatkan produksi dan nilai tambah, perluasan

kesempatan kerja sementara, penciptaan upah atau tambahan pendapatan,

perluasan akses pelayanan dasar sekaligus mutunya, dan terbukanya desa

terisolir.

Strateginya diawali dari persiapan pelaksanaan yang mencakup rencana

kerja, data tenaga kerja lokal, identifikasi sumber daya lokal, dan pengadaan

barang dan jasa. Tahapan selanjutnya pelaksanaan, pelaporan, dan pembinaan

serta pengawasan.
Kelemahan yang terjadi di desa sering terjadi pada proses perencanaan.

Pemerintah desa sering terlambat melengkapi dokumen RKPDesa dan

APBDesa. Kebanyakan desa menyelesaikan proses pembuatan dokumen ini di

tahun berjalan. Alhasil, pencairan pertama dana desa terjadi di pertengahan

tahun. Tentu saja proses percepatan pembangunan di desa menjadi terlambat.

Cara mengatasinya cukup mudah. Pendamping desa diberikan akses

kemudahan memfasilitasi pemerintah desa dalam percepatan pembuatan

dokumen tersebut. Jangan sampai pembuatan dokumen-dokumen ini

dipihakketigakan sehingga akan muncul tawar-menawar harga. Pendamping

desa harus siap memfasilitasi proses pembuatannya.

Supaya Program Padat Karya Tunai berkelanjutan, pendamping desa

haruslah independen. Pembinaan dan pengawasan pendamping desa jangan

lagi di bawah pemerintah daerah, melainkan pemerintah pusat. Proses

pengadaannya diserahkan pada panitia seleksi nasional. Pada tahapan akhir,

pendamping desa menginduk pada komisi pendamping profesional yang

berdiri sejajar dengan lembaga atau badan nasional.


Saat ini jumlah pendamping profesional dan pendamping teknis berkisar

227.629 yang tersebar di sembilan kementerian. Jika pendamping ini

dipolitisasi, program percepatan pengentasan kemiskinan hanya menjadi

mimpi di siang bolong.

Kesimpulan

Model intervensi Program Padat Karya Tunai cocok dilaksanakan pada

wilayah pascabencana, rawan pangan, pascakonflik, desa tertinggal dan sangat

tertinggal untuk mengurangi jumlah pengangguran dan masyarakat miskin

sehingga produktivitas, pendapatan, dan daya beli masyarakat meningkat.

Jika model ini berhasil dilaksanakan, maka segitiga keseimbangan akan

tercipta di desa. Keseimbangan ekonomi, keseimbangan sosial, dan

keseimbangan lingkungan adalah ciri-ciri sebuah desa itu sudah maju dan

mandiri. Jika sudah maju dan mandiri maka migrasi, urbanisasi, serta

pengiriman TKI yang rawan dihukum mati niscaya tidak terjadi.

Marudut H. Panjaitan pemerhati pendidikan, aktif di pemberdayaan

masyarakat desa dan relawan Jokowi Centre


4. Memberikan sosialisasi atau bimbingan intensif kepada pelaku

kesenjangan sosial.

Alasan diatas diperkuat dengan keadaan Indonesia saat ini yang sedang

mengalami :

Pendidikan merupakan salah satu pintu gerbang penting dalam

pembangunan manusia Indonesia.Pendidikan juga merupakan pelopor

pembaharuan untuk perbaikan generasi muda Indonesia. Munculnya

tuntutan standar nilai kelulusan lewat UN yang dibuat oleh Depdiknas

beberapa tahun belakangan ini.Dan rencananya pun mata pelajaran pada

UN tahun 2008 akan ditambah dari tiga mata pelajaran, menjadi enam

mata pelajaran. Penambahan jumlah mata pelajaran pada UN pun di ikuti

dengan kenaikan standar nilai kelulusan pula, tentunya ini dirasa berat bagi

para siswa.

Hal inilah yang mendorong Lembaga Bimbingan Belajar atau Bimbel

banyak diminati. Adanya celah dalam sistem penyelenggaraan pendidikan

nasional tersebut menjadi alas an munculnya Lembaga Bimbingan Belajar.

Dimana perkembangan dunia pendidikan menjadi “ project “ tersendiri

bagi para pemilik modal untuk untuk mendirikan Lembaga Bimbingan

Belajar,karena investasi dan bisnis di bidang pendidikan memberikan

prospek yang cukup menjanjikan.


Dengan sistem pendidikan sekarang ini yang menuntut dan

mengarahkan siswa untuk belajar lebih banyak dan intensif dengan begitu

banyak tugas yang diberikan oleh guru disekolah,membuat siswa

memerlukan belajar tambahan.Salah satunya dengan mengikuti Bimbingan

Belajar. Selain UN yang diterapkan oleh Depdiknas, SPMB pun menjadi

salah satu faktor pendorong mengapa siswa meminati untuk mengikuti

pelatihan dan pembelajaran dalam menjawab soal-soal SPMB di

Bimbingan Belajar,sesuai dengan metode pada masing-masing Bimbingan

Belajar. Sebab apabila siswa tersebut berhasil diterima di Perguruan Tinggi

Negeri favoritnya, khususnya melalui jalur SPMB, dianggap suatu

kebanggaan tersendiri baginya.

Pendidikan memang modal setiap orang untuk meningkatkan status

sosialnya, khususnya melalui Lembaga Formal yaitu sekolah. Munculnya

Bimbel karena masih ada sekolah yang tidak melakukan proses

pembelajaran yang tepat untuk diterapkan kepada siswanya. Harus di akui

metode Bimbingan Belajar memang lebih disukai oleh para siswa.

Penyampain materi, gaya, bahasa, serta komunikasi pengajar dengan siswa

di anggap efektif. Tetapi dari maraknya kemunculan bimbel memberi

sinyal terjadinya ‘ deviasi ‘ pada persaingan bisnis dalam memasarkan


lembaga bimbingan belajar,dari trik-trik mudah dan cepat dalam menjawab

soal-soal,sampai tak tanggung-tanggung

memberi jaminan uang kembali apabila siswa tidak lulus UN atau

SPMB. Hal ini berdampak buruk terhadap perkembangan psikologis

siswa,dimana akan terbentuk pola pikir ‘ bahwa dengan mengikuti

Bimbingan Belajar akan memberi jaminan si siswa pasti lulus ‘,padahal

belum tentu, karena kelulusan itu tergantung dari bagaimana siswa itu

mempersiapkan dirinya dalam menghadapi ujian akademik, baik UN

maupun SPMB, yaitu dengan cara belajar yang intensif,serta banyak

membaca buku pelajaran.

Selain itu Bimbingan Belajar pun tidak memacu para siswanya

untuk mengeksplorasi setiap buku bacaan yang berbau dengan ilmu

pengetahuan, karena Bimbingan Belajar hanya memberi materi-materi

dalam bentuk modul yang dibagikan kepada para siswanya,kemudian

membahas jawabannya dari soal-soal yang ada dalam modul tersebut,tanpa

memacu kreativitas siswanya dalam mencari jawaban di dalam buku

pelajaran dengan cara membaca. Jawaban yang di berikan di Bimbingan

Belajar bersifat instan. Tanpa adanya kreativitas di dalam proses belajar-

mengajar. Bimbingan Belajar pun hanya mampu di ikuti oleh para siswa

yang orang tuanya sanggup untuk membayar,sedangkan bagi siswa yang

orang tuanya tidak sanggup membayar, sesuai dengan biaya yang di


tentukan pada masing-masing Bimbingan Belajar. Dari sinilah terindikasi

terjadinya komersialisasi pendidikan dalam wajah Lembaga Bimbingan

Belajar. Hal inilah yang membuat saya tertarik untu

mengulas lebih jauh mengenai ‘deviasi’ atau penyimpangan yang

terjadi dalam implementasi penyelenggaraan pada Lembaga Bimbingan

Belajar.Dimana Bimbingan Belajar sebagai lembaga pelengkap dari

penyelenggaraan pendidikan dari yang utama yaitu sekolah.

Perspektif Karl Marx

Ketika ruang untuk mencari pekerjaan makin sulit di dapat dan iklim

ekonomi yang tak menentu,khususnya usaha bisnis. Untuk itu masyarakat

dituntut lebih jeli melihat peluang usaha. Fenomena kemunculan berbagai

Lembaga Bimbingan Belajar pun berawal dari kejelian melihat celah dan

peluang usaha yang pasarnya sudah jelas,serta prospek usaha yang

menjanjikan keuntungan yang menggiurkan.

Berdasarkan beberapa studi yang dilakukan oleh Bank Dunia,

bahwa keuntungan ekonomi ( rate of return ) investasi pendidikan ternyata

lebih tinggi daripada investasi fisik dengan perbandingan rata-rata 15,3 %

dan 9,1 %. Ini berarti bahwa investasi dalam pendidikan merupakan upaya

yang menguntungkan, baik secara sosial maupun ekonomi.Tak mudah


memberi sinyalemen bahwa Lembaga Bimbingan Belajar sekadar meraup

keuntungan semata,sebab mendirikan Lembaga Bimbingan Belajar butuh

biaya yang tidak

sedikit. Terutama biaya membeli lisensi ‘ franchise ‘, karena itulah

guna mencapai break event point, mayoritas Lembaga Bimbingan Belajar

menerapkan banyak ‘ inovasi ‘ untuk menarik minat para siswa. Mulai dari

jaminan lulus UN atau SPMB,sampai menerapkan suasana belajar yang

berbeda dengan situasi belajar di sekolah. Selain demi mencapai break

even point, Lembaga Bimbingan Belajar pun cenderung membidik

masyakat kelas ekonomi menengah atas dan beberapa kategori sekolah

kelas A,seperti Labschool,BPK Penabur dan Al-azhar.

Memang pendidikan merupakan salah satu transfortasi setiap

manusia dalam meningkatkan status sosialnya yang merupakan saluran

kongkrit gerak sosial yang vertikal.Masyarakat masih menganggap

pendidikan bisa meningkatkan status ekonomi dan sosialnya. Dimana

status sosial itu merupakan perjuangan kelas.Dalam bukunyanya “ The

communist manifesto” marx mengatakan, sejarah dari semua masyarakat

yang ada hingga saat ini adalah sejarah perjuangan kelas.


Untuk itu sektor pendidikan tidak pernah sepi dari peminat.

Pendidikan memang lahan ekonomi yang tidak perna tandus. Bagi yang

jeli melihat peluang,sector pendidikan memang menjanjikan. Disinilah

muncul kaum kapitalis yang memonopoli sektor pendidikan dengan

mendirikan Lembaga Pendidikan,seperti kursus-kursus dan Bimbingan

Belajar. Cukup dengan membeli lisensi Lembaga Bimbingan Belajar

dengan system waralaba ( franchise ). Harga masing-masing lisensi pada

Bimbingan Belajar bervariasi, sebagai contoh Lembaga Bimbingan Belajar

Primagama mematok harga waralaba sebesar Rp. 120.000.000,00,

sedangkan Lembaga Bimbingan Belajar Teknos Genius memasang harga

Rp. 50.000.000,00. Dengan harga waralaba yang mencapai diatas seratus

juta, akhirnya Lembaga Bimbingan Belajar pun mematok biaya yang

dimana dibebankan kepada para siswanya, seperti pada teori nilailebih

tentang hokum persentase laba.

Menurut Marx berkurangnya persentase laba hanya dapat diimbangi

dengan satu cara,yaitu dengan meningkatkan nilai-lebih. Jadi dengan

meningkatkan eksploitasi Dimana eksploitasi disini dikenakan kepada para

siswa, yaitu dengan menarik biaya kepada para siswa. Disinilah terjadi

penyimpangan ide-ide kaum kapitalis dalam bentuk komersialisasi


pendidikan dalam rupa Lembaga Bimbingan Belajar. Seperti yang  Marx

katakan “ ide-ide dari kelas yang berkuasa merupakan ide-ide yang

berkuasa disetiap masa.

Maraknya keberadaan Lembaga Bimbingan Belajar pun melahirkan

kontradiksi dasar dalam struktur kaum kapitalis. Dimana menurut Marx

terjadinya persaingan satu sama lain untuk memperoleh keuntungan.

Persaingan dapat di artikan sebagai suatu proses sosial, dimana individu

atau kelompok-kelompok manusia bersaing untuk mencari keuntungan

melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi

pusat perhatian umum dengan cara menarik perhatian public atau dengan

mepertajam prasangka yang telah ada,tanpa mempergunakan ancaman atau

kekerasan. Seharusnya Lembaga Bimbingan Belajar tidak terjebak menjadi

ajang komersialisasi pendidikan dan menyimpang dari tujuannya yang

membantu meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Jika dulu

Lembaga Bimbingan Belajar lebih memprioritaskan SPMB sebagai

pemikat untu menarik minat para siswa.


Kini Lembaga Bimbingan Belajar justru menggunakan UN untuk

melariskan usahanya. Mereka dengan gencar mempromosikan Lembaga

Bimbingan Belajarnya dengan janji membantu siswa untuk lulus UN.

Meski itu bagian dari strategi penjualan, efek psikologisnya bagi siswa

sangat terasa. Visi Lembaga Bimbingan Belajar yang pada awalnya

bertujuan meningkatkan mutu pendidikan mulai tergerus menjadi bisnis

semata. Hal itu di dorong dengan kebijakan pemerintah yang tetap

memaksakan UN, serta kurikulum yang selalu berubah-ubah. Selain

menggunakan UN sebagai strategi menarik siswa,tak jarang Bimbingan

Belajar berani memberikan garansi uang kembali jika siswa tidak bisa

mencapai target yang di inginkannya, seperti lulus UN dan lulus SPMB.

Meski di akui Bimbingan Belajar membantu siswa dalam

meningkatkan kemampuan belajar, tetapi beberapa kalangan justru menilai

cara cepat penyelesaian soal yang di berikan Bimbingan Belajar tidak

memberi jaminan siswa menjadi cerdas,karena itu hanya membantu siswa

untuk mempunyai kemampuan kognitif saja,tapi sama sekali tidak

menyentuh dalam hal afektif dan psikomotorik. Hal ini menimbulkan

kontradiksi,dimana didalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

(KTSP) yang diterapkan saat ini, bahwa dunia pendidikan dituntut lebih
menekankan afektif dan psikomotorik untuk siswanya,tidak hanya aspek

kognitif saja.

Dalam Bimbingan Belajar pun cenderung tidak memacu siswa

untuk berkreativitas dalam hal membaca buku pelajaran. Para siswa hanya

diberikan materi soal dalam bentuk modul,yang kemudian diberi jawaban

dengan cara instant, disini terjadi pengkerdilan kreativitas para siswanya.

Yang perlu ditekankan peran Lembaga Bimbingan Belajar hanya sebatas

pelengkap pengajaran di sekolah, Dimana Bimbingan Belajar itu untuk

memberikan pelatihan saja,bukan untuk pengajaran,seperti di sekolah.

Pengajaran bertujuan membantu siswa untuk memperoleh pengetahuan

dan dengan demikian mengembangkan intelegensinya.


.

Bentuk-bentuk kekeliruan teknis mendidik berupa kegiatan

pendidikan yang salah teknis pelaksanaannya,yaitu kesalahan dalam cara

memilih dan menggunakan alat pendidikan, seperti kegiatan mendidik dan

penciptaan situasi atau lingkungan pendidikan yang berakibat pendidikan

tidak menjadi efektif, efisien dan relevan dalam membantu pengembangan

kognitif, afektif dan psikomotorik siswa menuju kedewasaan. Kehadiran

Bimbingan Belajar pun menjadi refleksi akan eksistensi sekolah. Dimana

yang seharusnya sekolah-sekolah didirikan untuk memberikan pendidikan

secara sistematis kepada generasi yang sedang tumbuh sekarang dan juga

dimasa yang akan datang, merupakan faktor yang menentukan dalam

melatih seseorang ikut menyumbang pembangunan masyarakat dan ikut

serta aktif dalam kehidupan,serta melatih orang-orang yang betul-betul

siap untuk bekerja.

Kehadiran Bimbingan Belajar ditengah tuntutan masyarakat akan

pendidikan yang berkualitas menempatkan sekolah untuk mampu kreatif

dalam melakukan proses pembelajaran. Hal ini menuntut guru di sekolah

agar mampu menciptakan suasana belajar yang nyaman dan efektif,

sebagai mana yang tercantum dalam salah satu kode etik guru

Indonesia,yaitu “guru menciptakan suasana kehidupan sekolah dan

memeliharah hubungan dengan orang tua murid dengan sebaik-baiknya


bagi kepentingan anak didik antara lain, yaitu guru

menciptakan suasana kehidupan sekolah,sehingga anak didik betah berada

dan belajar di sekolah. Ada 4 kategori yang dapat dijadikan indikator

dalam menentukan tingkat keberhasilan pendidikan,yaitu :

1. Dapat tidaknya seseorang lulusan melanjutkan ke pendidikan yang

lebih

tinggi.

2. Dapat tidaknya memperoleh pekerjaan.

3. Besarnya penghasilan ( gaji ) yang diterimanya.

4. Sikap perilaku dalam konteks social,budaya dan politik

Maraknya keberadaan Bimbingan Belajar pun dijadikan ajang

komoditi oleh para kapitalis untuk mencari ke untungan yang sebesar-

besarnya. Menurut Karl Marx, hukum-hukum yang menguasai masyarakat

bukanlah hokum alam, melainkan hukum-hukum manusiawi. Ini berarti

keterkaitan satu sama lain yang orang jumpai dalam masyarakat,akhirnya

merupakan hasil dari tindakan produktif manusia. Apa yang terjadi di

dalam masyarakat kapitalis,perjuangan kelas dan kontradiksi-kontradiksi

yang terjelma di dalam kehidupan ekonomi adalah akibat tindakan-

tindakan manusia.
Dari implikasi biaya yang dikenakan pada setiap siswa yang akan

mengikuti Bimbingan Belajar berdampak pada terjadinya kesenjangan

sosial,dimana hanya siswa yang mampu secara finansial yang bisa

mengikuti Bimbingan Belajar,sedangkan bagi mereka yang tidak sanggup

membayar,itu hanya menjadi utopis untuk bisa merasakan metode belajar

baru yang ada di Bimbingan Belajar. Dengan menggunakan teori konflik

dari karl marx,terlihat jelas penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di

dalam penyelenggaraan Bimbingan Belajar. Ditengah persoalan

pendidikan di Negara ini,sudah seharusnya Lembaga Bimbingan Belajar

mampu bersinergis dengan sekolah. Bukan menjadi pesaing,hingga

menghilangkan peran dan fungsi sekolah.

Selain itu pihak pemerintah pun harus melihat dampak buruk yang

akan terjadi dari setiap kebijakan yang di terapkan. Bagaimanapun juga

Negara harus memperhatikan secara khusus mengenai masalah

pendidikan,sebagaimana yang di katakana Harbison dan Myers, “ bila

suatu Negara tidak dapat mengembangkan sumber daya manusianya,maka

Negara itu tidak akan dapat mengembangkan apa pun,baik sistem politik

yang modern,rasa kesatuan bangsa maupun kemakmuran . Salah satunya


dalam mengembangkan sumber daya manusia dengan melalui

pendidikan,karena out put pendidikan adalah peradaban dan bangsa.

5. Meningkatkan kualitas SDM, menciptakan kesetaraan kemampuan

meningkatkan diri sekaligus penghasilan. mulai dari Lembaga pendidikan, yaitu

suatu kebijakan dalam proses belajar mengajar yang memiliki proses yang cerah

untuk menciptakan kekuatan di dunia pendidikan agar bisa menghasilkan manusia

yang berhati mulia dan berotak cerdas, berwawasan luas, sehingga keinginan untuk

menggapai harapan jauh lebih tinggi.

Alasan diatas diperkuat dengan keadaan Indonesia saat ini yang sedang

mengalami :

UPAYA PENINGKATAN SUMBER DAYA MANUSIA

Sumber daya manusia memegang peranan penting dalam proses

keberhasilan suatu pembangunan. Pembangunan merupakan suatu proses

perubahan di segala bidang kehidupan yang dilakukan secara sengaja

berdasarkan suatu rencana tertentu. Pembangunan nasional Indonesia

misalnya, merupakan suatu proses perubahan yang dilakukan berdasarkan

rencana tertentu dengan sengaja dan memang dikehendaki , baik oleh

pemerintah yang menjadi pelopor pembangunan maupun masyarakat. Untuk


membangun suatu bangsa diperlukan sumber daya baik alam maupun manusia.

Sumber daya manusia sebagai potensi yang terkandung dalam diri manusia

harus mampu mewujudkan perannya sebagai

makhluk sosial yang adaptif dan transformatif yang mampu mengelola

dirinya sendiri serta seluruh potensi yang terkandung di alam menuju

tercapainya kesejahteraan kehidupan dalam tatanan yang seimbang dan

berkelanjutan. Sumber daya manusia merupakan subyek yang aktif dan

menentukan, bukan obyek yang pasif dan ditentukan sebagaimana kedua

psikis yang dimilikinya Sumber Daya Manusia melakukan berbagai kegiatan,

yang salah satu diantaranya disebut bekerja sebagai usaha mewujudkan

eksistensi organisasi/ perusahaan.

Sumber daya manusia yang berkualitas sangat dibutuhkan dalam

mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya. Karena sumber daya manusia

yang berkualitas dibutuhkan untuk menghadapi berbagai tantangan globalisasi.

Globalisasi merupakan proses mendunia dengan

tingkat perubahan yang cepat dan radikal di berbagai aspek kehidupan

manusia karena adanya teknologi. Kini kita merasa dunia semakin menyusut,

dengan kecanggihan teknologi kita tidak tersekat lagi oleh ruang dan waktu.

Dengan teknologi kita bisa berkomunikasi dengan siapa saja dan kapan saja

dan dimana saja. Tetapi dibalik kecanggihan dan perubahan yang terjadi dapat

menimbulkan ketimpangan jika kita tidak siap dengan adanya perubahan


sehingga bisa terjadi ketimpangan budaya yang tentunya akan merugikan kita.

Permasalahan dunia dan permasalahan nasional yang semakin komplek

menuntut kita untuk senantiasa belajar agar tidak gagap terhadap perubahan.

Upaya ini dibuat bertujuan untuk mengetahui berbagai masalah

mengenai sumber daya manusia serta upaya dalam peningkatan kualitas

sumber daya manusia. Makalah ini membahas tentang :

1) Pengertian sumber daya manusia,

2) Kualitas sumber daya manusia di Indonesia,

3) Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia


Pengertian Sumber Daya Manusia

Sumber Daya Manusia adalah potensi manusiawi sebagai penggerak

organisasi

dalam mewujudkan eksistensinya. Sumber daya manusia adalah suatu proses

mendayagunakan manusia sebagai tenaga kerja secara manusiawi, agar potensi

fisik dan psikis yang dimilikinya berfungsi maksimal bagi pencapaian tujuan

organisasi. Disamping itu, manusia adalah makhluk Tuhan yang kompleks dan

unik serta diciptakan dalam integrasi dua substansi yang tidak berdiri sendiri

yaitu tubuh ( fisik / jasmani) sebagai unsur materi, dan jiwa yang bersifat non

materi. Hubungan kerja yang paling intensif dilingkungan organisasi adalah

antara pemimpin dengan para pekerja (staf) yang ada di bawahnya. Hubungan

kerja semakin penting artinya dalam usaha organisasi mewujudkan

eksistensinya dilingkungan tugas yang lebih luas dan kompetetif pada masa

yang akan datang. Sumber Daya Manusia adalah potensi yang merupakan

asset dan berfungsi sebagai modal (non material/non finansial) didalam

organisasi bisnis, yang dapat diwujudkan menjadi potensi nyata secara fisik

dan non fisik dalam mewujudkan eksistensi organisasi.


Kualitas Sumber Daya Manusia di Indonesia

Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan salah satu faktor kunci dalam

reformasi ekonomi, yakni bagaimana menciptakan sumber daya manusia yang

berkualitas dan memiliki keterampilan serta berdaya saing tinggi dalam

persaingan global yang selama ini kita abaikan. Indonesia adalah negara

dengan jumlah penduduk yang sangat padat, kira-kira terdapat 232,516.8 juta

jiwa lebih penduduk di Indonesia, dengan jumlah penduduk yang sangat besar,

Indonesia memliki potensi sumber daya manusia yang sangat besar dari segi

kuantitas. Menurut data dari Human Development Indeks, Indonesia berada

pada peringkat 108 di dunia dari segi kualitas sumber daya manusia.

Rendahnya sumber daya manusia Indonesia diakibatkan kurangnya

penguasaan IPTEK, karena sikap mental dan penguasaan IPTEK yang dapat

menjadi subyek atau pelaku pembangunan yang handal.


Dua hal penting menyangkut kondisi sumber daya manusia Indonesia,

yaitu:

1. Adanya ketimpangan antara jumlah kesempatan kerja dan angkatan kerja.

jumlah angkatan kerja nasional pada krisis ekonomi tahun pertama (1998)

sekitar 92,73 juta orang, sementara jumlah kesempatan kerja yang ada

hanya sekitar 87,67 juta orang dan ada sekitar 5,06 juta orang penganggur

terbuka (open nemployment). Angka ini meningkat terus selama krisis

ekonomi yang kini berjumlah sekitar 8 juta.

2. Tingkat pendidikan angkatan kerja yang ada masih relatif rendah. Struktur

pendidikan angkatan kerja Indonesia masih didominasi pendidikan dasar

yaitu sekitar 63,2 %. Kedua masalah tersebut menunjukkan bahwa ada

kelangkaan kesempatan kerja dan rendahnya kualitas angkatan kerja

secara nasional di berbagai sektor ekonomi.

3. Lesunya dunia usaha akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan sampai

saat ini mengakibatkan rendahnya kesempatan kerja terutama bagi

lulusan perguruan tinggi. Sementara di sisi lain jumlah angkatan kerja

lulusan perguruan tinggi terus meningkat. Sampai dengan tahun 2000 ada

sekitar 2,3 juta angkatan kerja lulusan perguruan tinggi. Kesempatan

kerja yang terbatas bagi lulusan perguruan tinggi ini menimbulkan dampak

semakin banyak angka pengangguran sarjana di Indonesia.


Upaya Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia di Indonesia

Untuk menyiapkan generasi emas, pendidikan tetap menjadi jalan utama.

Dalam hal ini, pendidikan untuk semua (education for all) menjadi pekerjaan

yang perlu dituntaskan. Bukan sekadar pemerataan, tetapi juga peningkatan

kualitas. Upaya tersebut yaitu seperti melakukan gerakan pendidikan anak usia

dini serta penuntasan dan peningkatan kualitas pendidikan dasar.

Di samping itu perluasan akses ke perguruan tinggi juga disiapkan

melalui pendirian perguruan tinggi negeri di daerah perbatasan dan

memberikan akses secara khusus kepada masyarakat yang memiliki

keterbatasan kemampuan ekonomi, tetapi berkemampuan akademik.

Periode saat ini sebagai upaya menyiapkan generasi untuk berpuluh-puluh

tahun mendatang.

Generasi masa depan harus dipersiapkan sejak sekarang. Pendidikan

harus terus berikhtiar membangun generasi bangsa yang cakap secara

intelektual, anggun secara moral, dan siap menghadapi tantangan zamannya.

Pendidikan juga harus mampu melahirkan generasi bangsa yang memiliki jiwa

dan pikiran besar untuk membangun negerinya. Di sisi lain, yang juga perlu

disadari, pendidikan bukan tanggung jawab pemerintah/negara semata.

Pendidikan sebagai jalan kemajuan negeri ini harus menjadi komitmen dan

kesadaran bersama.
Generasi muda Indonesia jangan merasa kalah dengan bangsa asing.

Dengan level kualitas yang dimiliki, generasi muda Tanah Air memiliki

kualitas yang hampir sama dan mampu bersaing di level internasional. Hanya

saja, terkadang generasi muda Indonesia memiliki kelemahan dalam tiga hal

yaitu komunikasi dalam Bahasa Inggris, inovatif dan jiwa kewirausahaan, dan

terakhir soft skill yang mencakup penilaian terhadap kemampuan diri sendiri.

Permasalahan dunia dan permasalahan nasional yang semakin komplek

menuntut kita untuk senantiasa belajar agar tidak gagap terhadap perubahan.

Jumlah penduduk yang semakin meningkat, cadangan energi yang kian

menipis, ragam budaya yang berbeda, konflik internal dan internasional

mengharuskan kita untuk senantiasa belajar. Fakta yang ada memperlihatkan

bahwa pendidikan konvensional pada saat ini kurang memberikan kontribusi

terhadap pemecahan masalah yang ada malah semakin memperlebar

kesenjangan yang ada. Pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan

alternative yang dapat memberikan warna baru dalam dunia pendidikan.


Selain itu upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat juga

dilakukan dengan cara yang lain, yaitu :

1. Meningkatkan kualitas Pendidikan di Indonesia

2. Menambah lapangan kerja yang memadai

3. Peningkatan perekonomian Indonesia

Arah pembangunan sumber daya manusia di indonesia ditujukan pada

pengembangan kualitas sumber daya manusia secara komprehensif meliputi

aspek kepribadian dan sikap mental, penguasaan ilmu dan teknologi, serta

profesionalisme dan kompetensi yang ke semuanya dijiwai oleh nilai-nilai

religius sesuai dengan agamanya. Dengan kata lain, pengembangan sumber

daya manusia di Indonesia meliputi pengembangan kecerdasan akal (IQ),

kecerdasan sosial (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ).

Kesimpulan

Sumber daya manusia adalah suatu proses mendayagunakan manusia


sebagai tenaga kerja secara manusiawi, agar potensi fisik dan psikis yang

dimilikinya berfungsi maksimal bagi pencapaian tujuan organisasi. Sumber

daya manusia yang berkualitas sangat dibutuhkan dalam mewujudkan manusia

Indonesia seutuhnya.

Dalam upaya peningkatan sumber daya manusia, segala sesuatunya dapat

dimulai dari diri sendiri, sebagai generasi muda hanya bisa melakukan

kewajiban sekaligus hak kita untuk belajar. Peningkatan kualitas pendidikan di

Indonesia juga sangat berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia.

Untuk itu upaya peningkatan kualitas pendidikan harus dilakukan sebagai

langkah menuju terciptanya generasi emas sebagai sumber daya manusia yang

berkualitas. Dengan itu dapat meningkatkan taraf sumber daya manusia

Indonesia didalam kompetisi tenaga kerja di masa globalisasi sekarang ini.

Selain itu, kita juga harus bersikap lebih peduli dan kritis terhadap segala

sesuatu yang terjadi pada dunia sekitar kita.


6. Melakukan pemerataan pembangunan.

Alasan diatas diperkuat dengan keadaan Indonesia saat ini yang sedang

mengalami :

Masalah kemiskinan dan kesenjangan masih belum teratasi.

Laporan Pembangunan Manusia Tahun 2016 yang disampaikan UNDP 22

Maret 2017 menempatkan Indonesia di urutan 113 dari 188 negara. Ini

menegaskan, selama 25 tahun pembangunan periode (1990–2015) tak

terlalu signifikan.

Pencapaian memang ada, misalnya pendapatan nasional bruto naik

135,4 persen. Angka harapan hidup naik 5,8 tahun. Kesenjangan turun

19,3 persen. Yang masih harus dikerjakan, perlu pemerataan pembangunan

untuk mereduksi kesenjangan. Dengan begitu pembangunan dirasakan

seluruh rakyat, di antaranya bisa menggenjot dengan dana desa.

Problem pembangunan yang memicu ketimpangan sebenarnya juga

dapat direduksi dengan otda. Sayang, 10 tahun lebih otda, belum mampu

mereduksi. Ironisnya justru kian banyak pemekaran daerah yang kemudian

memunculkan berbagai persoalan baru, termasuk semakin tingginya

migrasi dan korupsi.


Asumsi urbanisasi bisa memberi perbaikan kehidupan mengebiri

otda yang diharapkan dapat meningkatkan ekonomi daerah. Otda tidak

berpengaruh signifikan bagi kesejahteraan. Ini terlihat makin banyak

daerah tertinggal, menurut Bappenas, daerah tertinggal tahun 2014

sebanyak 127 kabupaten. Mereka ada di Papua (35 kabupaten), Nusa

Tenggara Timur dan Barat (25). Kemudian Maluku dan Sumatra masing-

masing 14.

Sulawesi 12 kabupaten, Kalimantan (11), dan Jawa 8. Indonesia

bagian timur masih tetap banyak yang miskin (105). Hal ini memperkuat

argumen tentang fakta ketimpangan dari laporan terbaru UNDP tersebut. 

Ketimpangan menjadi tantangan pembangunan dan keterbatasan

anggaran menjadi alasan klasik. Kerja sama bilateral mendanai

pembangunan daerah terpencil menjadi salah satu solusi. Paling tidak, ini

terkait juga pembangunan infrastruktur. Komitmen bilateral donor seperti

Jepang terhadap rencana pembangunan infrastruktur daerah terpencil amat

penting. 

Daerah terpencil biasanya tertinggal dengan penduduk miskin

tinggi dan berpendidikan rendah. Pelaksanaan otda selama ini belum

berhasil signifikan.
Banyak daerah dimekarkan supaya memacu ekonomi dengan

sumber daya lokal serta meningkatkan pemberdayaan. Sumber daya lokal

untuk menciptakan produk unggulan dan menyerap tenaga kerja. Dengan

begitu ekonomi kerakyatan bisa bangkit. 

Sayang, pemekaran selama ini banyak mengabaikan potensi

ekonomi lokal. Yang banyak berkembang hanyalah permainan politk

politik. Jadinya, daerah hasil pemekaran tidak berkembang signifikan,

sementara daerah induk juga stagnan. Hal ini membuat kesenjangan dan

ketimpangan tak berkurang. Masyarakat memilih ke kota.

Sebaran daerah tertinggal hanya memperlebar ketimpangan.

Pemekaran perlu dihentikan. Otda juga perlu dikaji ulang. Tingkat

kemiskinan dan perubahan bervariasi menurut provinsi karena perbedaan

berbagai faktor. Ini tentu langsung berpengaruh terhadap kesejahteraan

Perlu persebaran investasi guna meningkatkan pertumbuhan

ekonomi dengan berbagai cara seperti pembangunan infrastruktur.

Persoalan kesenjangan memang menjadi ancaman pembangunan.

Indonesia sebagai negara kepulauan juga tidak bisa menghindarinya. 


Laporan terbaru UNDP menjadi pembenar. Ketimpangan

antarwilayah dapat dilihat dari perbedaan kesejahteraan-perkembangan

ekonomi antarwilayah. Realita menunjukkan, angka kemiskinan di DKI

Jakarta 5,2 persen dan Papua 38,7 persen. 

Ketimpangan pelayanan sosial dasar seperti pendidikan, kesehatan,

dan air bersih juga terjadi antarwilayah. Di mana penduduk di Jakarta rata-

rata bersekolah 9,7 tahun. Sedang penduduk daerah tertinggal rata-rata

bersekolah selama 5,8 tahun. 

Akses Rendah

Ketimpangan antarwilayah juga ditandai rendahnya aksesibilitas

pelayanan sarana prasarana ekonomi sosial, terutama perdesaan, daerah

terpencil, perbatasan serta daerah tertinggal. Ketimpangan antarkawasan

perkotaan-perdesaan juga ditunjukkan rendahnya tingkat kesejahteraan

masyarakat desa. Pembangunan kawasan perdesaan tertinggal dari

perkotaan.
Desa banyak tergantungpada kpta karena minim akses permodalan,

lapangan kerja, informasi, teknologi, dan pemasaran hasil produksi

penduduk desa. Ketimpangan ini memicu migrasi sehingga arus balik

setiap habis libur lebaran cenderung meningkat. 

Di sisi lain juga berdampak pada peningkatan jumlah penduduk

miskin di daerah tujuan migrasi. Ini juga memicu ancaman kerawanan

sosial perkotaan dan tumbuhnya kawasan kumuh. Maka, pembangunan

daerah terpencil menjadi penting untuk kepentingan jangka panjang. Ini

juga untuk memacu ekononi daerah sesuai janji otda untuk meningkatkan

kesejahteraan dan mereduksi ketimpangan. 

Persoalan kemiskinan dan kesenjangan memang menjadi isu utama

negara berkembang. Pemerintah telah meningkatkan anggaran untuk

mereduksi kemiskinan. Kemiskinan memang menurun, meski sejak 2007

terjadi perlambatan penurunan. Padahal anggaran APBN terus meningkat. 

Bappenas menegaskan bahwa penurunan kemiskinan periode

2005–2010 mencapai 816.000 jiwa per tahun. Namun periode 2010–2015

tinggal 486.000 jiwa per tahun. Sedangkan angka kemiskinan september

2016 mencapai 27 juta jiwa atau 10,7 persen dari total penduduk. 
Kasus kemiskinan semakin pelik jika dikaitkan dengan target

penurunan 10,5 persen untuk tahun ini dan 10 persen tahun depan. Di sisi

lain, alokasi APBN cenderung meningkat dari 42 triliun tahun 2006

menjadi 214 triliun tahun lalu. Problem ini tidak hanya menjadi tantangan

kepala daerah baru hasil pilkada serentak, tapi juga pemerintah pusat agar

tujuan pembangunan dan pemertaan hasilnya dapat tercapai. 

Gencarnya pembangunan infrastruktur yang dilakukan era

pemerintahan Joko Widodo - Jusuf Kalla merupakan salah satu cara untuk

memeratakan pembangunan di Indonesia. Dengan keberadaan infrastruktur

yang merata di seluruh wilayah Nusantara diharapkan dapat memacu

pembangunan di berbagai daerah yang selama ini tidak tersentuh, sehingga

harga barang dan jasa di setiap wilayah pun dapat sama dan terjangkau.

Namun, upaya pemerataan pembangunan tidak hanya dalam segi

fisik atau infrastruktur (jalan, bangunan, dan lain-lain) juga pembangunan

manusia Indonesia yang seutuhnya, seperti pemerataan pendidikan dan

kesehatan.

Sebenarnya usaha pemerintah untuk meningkatkan pendidikan di

Indonesia sudah dilakukan sejak tahun 1984. Salah satunya memeratakan

pendidikan formal dari Sekolah Dasar, kemudian dilanjutkan dengan

Wajib Belajar Sembilan Tahun pada 1994.


Selain itu ada pula program pemberian intensif berupa bantuan

beasiswa dengan sasaran sekitar 9,6 juta anak kurang mampu, seperti

Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GN-OTA) dan Bantuan Operasional

Sekolah (BOS). Lalu di era pemerintahan sekarang ada program Kartu

Indonesia Pintar (KIP) yang sangat berguna untuk membantu pembiayaan

para pelajar Indonesia yang kurang mampu.

Begitu pun dalam sektor kesehatan, kurang lengkapnya fasilitas

pada rumah sakit, klinik dan puskesmas telah menjadi perhatian khusus

bagi pemerintah. Pemerataan persebaran tenaga medis dan fasilitas

kesehatan lainnya pun terus dilakukan sehingga para tenaga kesehatan

tersebut tidak hanya terfokus berada di lingkungan perkotaan, dan

kekurangan tenaga medis di daerah terpencil dapat dikurangi.

Pernah pula ada upaya pengalihan alokasi subsidi bahan bakar

(BBM) oleh pemerintah yang sebagian diperuntukkan bagi sektor

pendidikan dan kesehatan, meski dengan konsekuensi harga BBM ketika

itu harus mengalami kenaikan. Hingga pada akhirnya, subsidi BBM itu

secara bertahap dihapuskan karena sangat membebani keuangan negara

dan menyerahkan penetapan harganya kepada mekanisme pasar.


Era Joko Widodo

Sudah sejak awal Januari kemarin di depan sidang Kabinet Kerja,

Presiden Joko Widodo menekankan bahwa pemerataan pembangunan akan

menjadi bidikan pemerintah. Artinya, arah pembangunan ke depan,

pemerintah akan berupaya mewujudkan pemerataan pembangunan lintas

sektor. Untuk itu, Presiden mengajak jajarannya untuk bisa bekerja lebih

keras dalam upaya untuk menurunkan angka kesenjangan sosial di

Indonesia.

Meski pertumbuhan ekonomi tahun lalu mampu mencapai angka

moderat 5% (terbaik ke 3 di dunia), namun angka tersebut masih di bawah

target pemerintah sebesar 5,2%. Hal ini menunjukkan kerja mesin-mesin

pengerak pertumbuhan lintas sektor yang dikerahkan pemerintah selama 3

tahun ini masih di bawah potensi yang bisa dicapai.

Dengan kontribusi pertumbuhan tersebut, jumlah penduduk miskin

memang turun 250 ribu orang, menjadi tinggal 10,7% dari total penduduk

Indonesia. Tetapi, penurunan angka kemiskinan itu pun sedikit meleset

dari batas atas target pemerintah untuk 2016, yakni 10,6%. Salah satu

faktor yang mendorong penurunan angka kemiskinan itu adalah

kemampuan pemerintah menjaga inflasi tetap rendah karena inflasi ini

berpengaruh langsung pada tingkat harga bahan makanan.


Penurunan angka kemiskinan ini memang masih sangat tipis. BPS

dalam rilisnya (September 2016) mencatat, jumlah orang miskin di

Indonesia tercatat sebanyak 27,76 juta orang atau sebesar 10,7%. Bila

dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin pada Maret 2016 sebanyak

28 juta atau sebesar 10,86%, selama enam bulan terjadi penurunan sebesar

0,25 juta orang. Secara komposisi menurut kota dan desa dapat dilihat

bahwa masih ada disparitas yang tinggi antara kota dan desa, dari

persentase 10,7% pada September, penduduk miskin di desa mencapai

13,96% dan kota mencapai 7,73%.

Selama tiga tahun belakangan, upaya pemerataan pembangunan

memang membuahkan hasil positif. Namun rasio kesenjangan

kesejahteraan sosial hanya sedikit menurun dari 0,41 menjadi 0, 39. Meski

menurun, kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin masih saja ada,

meski tren-nya semakin menyempit. Kita paham bahwa adanya

kesenjangan menunjukkan pembangunan ekonomi masih kurang mampu

mendistribukan hasil-hasil ekonomi secara merata. Akibatnya, si kaya

semakin kaya dan si miskin terus saja miskin.

Upaya pemerataan
Ada beberapa cara yang tengah ditempuh pemerintah untuk mewu-

judkan pemerataan pembangunan yang ditargetkan terjadi secara masif

dalam 2 tahun ke depan, antara lain melakukan kebijakan retribusi aset dan

legalisasi tanah. Ini dianggap penting karena rakyat akan semakin mudah

mendapatkan akses kepada tanah. Upaya pemerintah berkaitan dengan

konsesi untuk rakyat, yang berkaitan dengan tanah-tanah adat dan sertifikat

untuk rakyat, tampaknya sudah mulai membuahkan hasil terbukti beberapa

waktu lalu Presiden menyerahkan puluhan ribu sertifikat tanah gratis

kepada rakyat terutama kaum petani dan pekebun.

Pemerintah pun mengupayakan pembagian tanah kepada para

petani untuk dapat diolah sehingga ekonomi para petani diharapkan

meningkat. Pembukaan lahan tidur akan lebih dioptimalkan dan dibagikan

kepada rakyat untuk dikelola demi meningkatkan kesejahteraan mereka.

Pengurusan sertifikat tanah gratis akan terus dilanjutkan sehingga

para petani lebih dimudahkan dalam hal kepemilikan tanah. Karena selama
ini lebih dari 80% tanah yang digarap petani bukanlah tanah milik sendiri

melainkan milik tuan tanah yang kebanyakan tinggal di perkotaan.

Artinya, selama ini hasil pertanian yang digarap petani hanya 40-60 persen

saja yang bisa dinikmati oleh petani kita.

Kita tahu bahwa lahan perkebunan di Indonesia yang luasnya lebih

setengah Pulau Jawa sebanyak 80% hanya dimilki para taipan pemilik

modal kelas atas. Dengan upaya pembagian lahan dari pemerintah ini

diharapkan rakyat pun memiliki akses kepemilikan lahan perkebunan dan

pertanian, sehingga bukan hanya sekadar menjadi buruh perkebunan dan

pertanian.

Langkah berikutnya yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah

memperkuat akses rakyat kepada permodalan. Pemerintah diharapkan

dapat meningkatkan lagi program-program dalam memperkuat akses

rakyat untuk mendapatkan modal dalam berusaha. Misalnya dalam

pemberian KUR (kredit usaha rakyat) harus menjangkau semakin banyak

rakyat kecil dan kurang mampu, semakin besar jumlahnya dan semakin

mudah cara memperolehnya. Sebuah upaya yang baik ketika pemerintah

sudah mulai dan akan terus memberikan asuransi pertanian dan perikanan

untuk melindungi usaha petani


dan nelayan, serta mendorong keuangan inklusif sehingga rakyat

semakin ‘bankable’.

Kita pun berharap agar pemerintah dapat meningkatkan

keterampilan masyarakat. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui program

pendidikan dan pelatihan vokasi. Misalnya Kementerian Tenaga Kerja bisa

bekerja sama dengan Kadin untuk memberikan kemudahan rakyat

mendapatkan pendidikan gratis dalam upaya mengelola ekonomi pedesaan.

Diharapkan target pemerintah tahun ini bukan lagi dalam hitungan ribuan,

melainkan mencapai jutaan rakyat harus dididik dan didampingi ketika

memulai usaha mereka.


J.     Pandangan Penulis Terhadap Kesenjangan Sosial

Menarik kita intip kembali masalah kemiskinan di Indonesia yang pada tahun

2005 jumlahnya 35,100 juta jiwa ( 15,97 % ), tahun 2006 jumlahnya 39,300 juta jiwa

(17,75 % ), tahun 2007 berjumlah 37,130 ( 16,58 % ) ( sumber BPS ). Menurut

World Bank penduduk Indonesia yang masih dibawah garis kemiskinan sebanyak 49

% pada tahun 2007 atau berpendapan di bawah 2 dollar AS per hari ( ketentuan garis

kemiskinan versi World Bank ).

Memang terjadi suatu perbedaan antara BPS dan World Bank, dikarenakan

indicator yang digunakan untuk menghitung garis kemiskinan pun berbeda. Sampai

sekarang masih terjadi perdebatan antara para pengamat ekonomi tentang metodologi

penghitungan kemiskinan menurut BPS. Terlepas dari perdebatan tersebut kita

tengah dipertontonkan fakta yang cukup menakuntukan berupa angka kemiskinan

yang masih sangat tinggi sekali.


Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan pemerintah Indonesia agar memajukan

kesejahteraan umum mencerdaskan bangsa. Jiwa dan semangat Pasal 33 UUD 1945

menghendaki agar semua produksi dan faktor produksi serta hak-milik perseorangan

haruslah mempunyai fungsi sosial untuk sebesar-besarnya kemakmuran bersama.

Islam menghendaki agar masing-masing memiliki kepekaan sosial. Agar masing-

masing memikirkan memperhatikan mengupayakan peningkatan keadaan sosial

ekonomi budaya bersama. Agar masing-masing memanfaatkan sebagian rezeki

penghasilan pendapatan kekayaan kepintaran kesempatan kekuatan kemampuan

untuk kepentingan bersama. Menabur menebar jasa, menyebarkan beragai kebajikan

dan kebaikan.

Namun semuanya itu tinggal dalam impian, tidak pernah terwujud dalam

kenyataan. Pemerintah penyelenggara negara baik Presiden ataupun Menteri, Ketua

MPR dan semua anggotanya sama sekali tak punya kepekaan sosial. Menghabiskan

uang milyaran rupiah untuk kunjungan beberapa hari ke luar negeri di tengah-tengah

rakyat banyak yang kesulitan mendapatkan uang seribu rupiah satu hari dianggap

wajar. Tak pernah terbayangkan berapa jumlah para orang terlantar dapat

diselamatkan dengan uang milyaran rupiah itu . Yang dijadikan alasan

pembenarannya adalah bahwa dengan kunjungannya ke luar negeri itu akan mengalir

modal dari luar negeri triliyunan rupiah untuk membuka lapangan kerja dan untuk

meningkatkan pendapatan rakyat banyak.


“Apa benar untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat banyak atau hanya

untuk keuntungan para pemodal dan suruhannya ?”

Benar hanya orang-orang besar saja yang lebih banyak menikmati kekayaan

alam dan hasil bumi Indonesia. Merekalah yang telah menikmati surga Indonesia dan

surga dunia. Sedikit sekali pejabat-pejabat yang bermental baik. Betapa tidak di

tengah krisis ekonomi yang berkepanjangan ini masih banyak orang-orang kaya

dengan belanja mewah bahkan super mewah seolah tidak perduli dengan di

sekelilingnya mereka para orang-orang pinggiran. Meskipun semua orang berteriak-

teriak tentang ambruknya perekonomian dan makin miskinnya rakyat yang sudah

setara dengan negara miskin di Afrika penjualan mobil mewah seperti Jaguar

berharga di atas Rp 1 milyar Bentley Aarnage Roll Royce atau Ferrari dan sejenisnya

terus meningkat tiap tahun. Hal ini ditandai dengan derasnya impor mobil mewah.

“Untuk tahun ini dari bulan Januari sampai Juli jumlahnya hampir 4.000 unit” kata

Ketua Umum Asosiasi Importir Kendaraan Bermotor Indonesia Budiman Sirod.

Mengendarai mobil semewah itu plus segala aksesori yang melekat dalam gaya

hidup kaum hedonis itu tentu saja tidak murah.


Dikalangan ini memang potensial diburu petugas pajak, dari kalangan ini salah

satu yang diburu termasuk pejabat negara yang “kaya mendadak.” Hal itu tampak

pada beberapa anggota DPR yang sebelum pemilu hidupnya biasa-biasa saja tapi

tiba-tiba bisa memiliki mobil mewah Lexus misalnya. Ada pula yang dulunya biasa

naik bus kota menurut Komisi Penyelidikan Kekayaan Pejabat Negara kini memiliki

harta puluhan milyar dan ini sudah menjadi rahasia umum.

Menurut sumber GAMMA ada seorang pensiunan jenderal memiliki simpanan

sampai US$ 30 juta di Amerika Serikat. Artinya dari bunganya saja sebesar 5% per

tahun ia bisa menghasilkan US$ 15 juta. Puluhan kali lipat dari gaji seorang presiden

di AS. Wauw bukan main. Selama pejabat dan penyelenggara negara serta orang-

orang superkaya lainnya tak punya mental kepekaan sosial maka tak akan pernah

terwujud masyarakat aman makmur.

(berdasarkan data dan sumber wartawarga.gunadarma.ac.id/.../kesenjangan-

sosial-yang-mengakar/ - Tembolok 02-01-2011)


Dalam akhir-akhir ini banyak dibicarakan tentang Gayus Tambunan yang

meremehkan hukum dan membuktikkan bahwa hukum di Indonesia dapat dibeli oleh

uang. Dalam kenyataan ini sangat terlihat Kesenjangan Sosial yang mencolok di

Indonesia bagaimana tidak ? Gayus yang jelas merugikan uang negara yang besar

diberi kebebasan yang leluasa serta memperoleh fasilitas tahanan yang baik,

sedangkan orang yang hanya mencuri ayam dihukum secara berlebihan dan

diperlakukan tidak baik. Para penegak hukum seolah-olah berkukuh pada UUD bila

yang melakukan pelanggaran orang kecil yang tak mempuyai kekuasaan, Sedangkan

bila yang melakukan pelanggaran hukum adalah orang-orang yang memiliki

kekuasan dan uang, UUD hanya dianggap sebagai formalitas belaka. Di Indonesia

kekurangan orang-orang yang jujur dan memiliki komitmen yang baik.

Memang sulit untuk menghilangkan Kesenjangan Sosial ini, akan tetapi apabila

kita punya tekad dan usaha yang keras segala sesuatupun pasti bisa dicapa, istilah

mengatakan bahwa “tiada diding yang tak retak” atau dalam istilah sunda sering

disebut dengan “cikaracak ninggang batu laun-laun jadi legok”.


Di zaman yang sangat modern ini sudah seharusnya dalam suatu negara

membangun sumber daya manusia (SDM) yang memiliki karakter-karakter atau

moral-moral yang kuat, cermat dalam berpikir dan cerdas dalam berbagai hal

kebaikan, baik itu dalam hal religi, pendidikan, sosial, ekonomi, politik dan lain-

lain. Dengan kata lain kita harus memiliki sumber daya manusia (SDM) yang sangat

berkualitas dan berkuantitas tidak hanya di nasional namun di internasional, akan

tetpati sumber daya manusia (SDM) kita sudah seharusnya memiliki prinsip-prinsip

daintaranya adalah rasa nasionalis, patrionalis dan idelalis

Disisi lain negara dan rakyat juga harus memliki hubungan yang harmonis, hal

ini bisa ditandai dengan terjadi komunikasi yang secara aktif dan partisipatif antara

rakyat dan pemerintah khususnya. Hal ini bisa terjadi ketika pemerintah senantiasa

menerima saran-saran, kritik-kritik dan opini-opini publik atau rakyat yang

membangun dan menetapkan sehingga suatu kebijakan atau keputusan yang benar-

benar berasal dari publik atau rakyat sehingga mereka juga merasakan kebijakan

atau keputusan tersebut, serta diperlukan juga sosialisasi kepada publik atau rakyat

tentang aturan/kebijakan yang berkaku beserta sangsi yang tegas bagi yang

melanggarnya baik itu dari oknum pemerintah maupun dari masnyarakat sipil itu

sendiri.
Adapun pendapat lain saya yang terpapar sebagai berikut :

Arti "Kesenjangan Sosial" kalau secara harafiah adalah sesuai kedua suku

katanya, (1) Kesenjangan: ketidak simetrisan, perbedaan, jurang pemisah, (2)

Sosial: berkenaan dengan masyarakat

Sehingga jika digabung pengertian normatifnya adalah: Adanya semacam

jurang pemisah diantara masyarakat, khususnya dalam kehidupan sosial dan

ekonomi; atau adanya perbedaan yang mencolok antara kehidupan masyarakat

miskin dengan masyarakat kaya.

Sesungguhnya, jika secara normatif dan atau realita, adanya kesenjangan

sosial bukanlah hal baru, dan bukanlah hal aneh; karena sejak jaman purbakala,

kehidupan masyarakat dimanapun memang didominasi oleh orang miskin;

sedangkan orang kaya adalah minoritas.

Kesenjangan sosial akan berjalan secara wajar normal, bahkan bisa

menjadi mutual symbiosis yang saling membutuhkan dan saling

menguntungkan; ibaratnya seperti ikan Remora dan ikan Hiu.

Bayangkan: Jika semua orang adalah "kaya", lantas siapa yang mau

bekerja menjadi buruh, bagian kebersihan, keamanan, sopir, pembantu rumah

tangga, dsb?
Lebih parah lagi, jika semua orang kaya raya, lantas siapa yang mau buka

toko, warung, atau berdagang dipasar?

Hidup dan kehidupan dan semesta ini adil dan bijaksana:

Apa yang harus ada akan pasti ada. Dan siapa yang akan jadi apa akan

terjadi. Mengusik keseimbangan alam = merusak kehidupan itu sendiri

Kesenjangan Sosial baru menjadi hal negatif dan berdampak destruktif,

ketika Ditunggangi Kepentingan kelompok tertentu, apakah Politis, ataukah

Ideologis.

Isu "sikaya" dan "simiskin" dieksploitasi dan didramatisir sedemikian rupa

dengan bumbu yang merasuk sukma, dan menimbulkan kebencian sosial, serta

jika diberi kesempatan maka gerombolan masyarakat akan melakukan aksi

anarkis, seperti penjarahan, dan atau penganiayaan.

Menjarah dan merampok hanya dilakukan oleh "orang kecil"; sedangkan

"orang besar" atau aktor intelektual pengobar isu Kesenjangan Sosial bermain

pada "kolam" yang lebih besar, yakni isu "Nasionalisasi Assets": rampas harta

"sikaya" dan ambil "untuk negara": dalam prakteknya, "nasionalisasi" hanyalah

istilah untuk rhetorika atau public opinion building belaka; dalam prakteknya,

adalah "dikelola" oleh kroni kroni perampas assets, untuk kepentingan mereka

sendiri!
Ujungnya apakah Kesenjangan Sosial teratasi dengan trick

perampokan tsb?

Tentu tidak

Hanya berganti wajah saja, dari yang semula milik orang kaya "A",

diambil alih menjadi milik orang kaya "B"

Sedangkan rakyat miskin, akan tetap miskin, dan kembali miskin, setelah

barang hasil jarahannya dimakan dan dibuang kejamban.

Lantas, apakah kesenjangan sosial dibiarkan begitu saja tidak perlu diatasi?

Tentu bukan itu maksud saya

Kesenjangan Sosial harus diatasi, namun tidak bisa dipunahkan, hanya bisa

memperkecil "jurang"nya.

Nah, untuk bisa "mengatasi" atau jika dianalogikan dengan istilah

kedokteran: sebelum bisa "mengobati", maka perlu akurasi diagnosa agar bisa

memberikan therapy nya.


BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Kesenjangan Sosial adalah suatu ketidakseimbangan sosial yang ada di

masyarakat sehingga menjadikan suatu perbedaan yang sangat mecolok baik itu

dalam hal pendidikan, kesehatan, perlindungan hukum adan lain-lain.

Kesenjangan Sosial ini disebabkan karena adanya faktor internal yang ada

dalam setiap individu manusia itu sendiri (rendahnya keterampilan, inovasi dan

kreatifitas, etos kerja yang buruk dan lain-lain) dan faktor eksternal yang berasal

dari luar akan tetapi sangat mempengaruhi suatu individu (kebijakan pemerintah,

budaya luar yang buruk, kehidupan lingkungan yang buruk dan lain-lain).
Kesenjangan sosial terjadi akibat banyaknya rakyat miskin dan pengangguran

di Indonesia. Banyaknya kemiskinan inilah yang menjadi tombak bagaimana

kesenjangan sosial bisa terjadi. Pemberantasan kemiskinan, memaksimalkan

pendidikan, dan membuka lapangan kerja adalah beberapa solusi memberantas

kesenjangan sosial di Indonesia. Selain itu, kita juga harus meminimalisasikan

KKN dan memberantas korupsi dalam upaya meningkatan kesejahteraan rakyat.

Dalam kehidupan bermasyarakat dan pada dasarnya manusia memilki naluri

untuk hidup bergabung dengan orang lain, maka terbentuklah berbagai macam

kelompok sosial.
Ada 6 tipe pengklasifikasian kelompok sosial, yakni Dari Sudut Pandang

individu, Dari Kualitas Hubungan Antar Anggota, Berdasarkan Erat Longgarnya

Ikatan Antar Anggota, Berdasarkan Pencapaian Tujuan, Berdasarkan Pendapat

Ropert K. Merton , dan Kelompok Okupasional dan Volonter

Terdapat kelompok sisoal yang tidak teratur, yakni Kerumunan dan Publik.

Terdapat dua jenis dalam masyarakat, yakni pertama masyarakat pedesaan

yang mempunyai sifat kekeluargaan dan yang kedua adalah masyarkat kota yang

cenderung sendiri-sendiri.

Namun, penulis berpendapat bahwa yang menjadi penyebab utama

Kesenjangan Sosial ini adalah kemiskinan, kemiskinan membuat masyarakat tidak

berdaya, tidak berkualitas & berkuantitas, tidak sehat dancenderung mendapat

penindasan dari berbagai pihak, elemen dan instansi-instansi swasta ataupun

publik.

Dalam hal ini sudah seharusnya pemerintah tanggap serta mencari solusi

terbaik untuk mengatasi permasalahan yang berkepanjangan ini, karena dalam

Undang-Undang Dasar 1945 sudah tertera dengan jelas bahwa pemerintahlah yang

harus mengurus semua masyarakat yang miskin atau tidak mampu.


Hal ini bisa dimulai dengan membangun, mengelola dan menciptakan sumber

daya manusia yang unggul, bermoral tinggi dan berdaya saing (berkualitas &

berkualiatas) caranya adalah dengan memperbaki sarana dan prasarana pendidikan

dan kesehatan.

B.     Saran
Untuk penulis sendiri diharapkan jadi generasi muda yang unggul

(berkualitas & berkuantitas ) dan berdaya saing dalam berbagai hal , serta dapat

menjadi insan yang berbakti kepada orang tua, bangsa dan negara serta tidak lupa

bermanfaat bagi rekan-rekan dan masyarakat semua.

Untuk pemerintah penulis berpesan bahwa tegakkan lah peraturan-peraturan

yang sudah ada dengan seadil-adilnya bahkan bila perlu menegakkan hukum

Islam (Al-Qur’an dan As-Sunnah), buat masyarakat menjadi nyaman, tentram

dan sejahtera dalam berbagai aspek kehidupan.

Untuk masyarakat penulis memiliki saran bahwa jadilah masyarakat yang

parsitipatif dalam berbagai kebijakan yang dilakuakn oleh pemerintah, serta

memikirkan dan menjalankan peraturan-peraturan yang sudah ada dengan baik

menurut umum sesuai dengan apa yang diharapkan pemerintah, jangan

mencontoh para aparatur pemerintah yang menyimpang karena masih ada yang

benar-benar konsisten baik dan lurus.

Kepada seluruh pembaca penulis berpesan bahwa kita harus rubah pola pikir

dengan “ jangan memikirkan apa yang sudah diberikan negara untuk kita, tapi

apa yang sudah kita berikan untuk negara”

DAFTAR PUSTAKA

 http://alisarjuni.blogspot.com/2013/06/kesenjangan-sosial.html

 http://fire-blood.blogspot.com/2012/05/kesenjangan-sosial.html
 http://pustaka-makalah.blogspot.com/2011/03/kesenjangan-sosial.html

 wartawarga.gunadarma.ac.id/.../kesenjangan-sosial-yang-mengakar/ - Bandung

 http://cigadoggoblog.blogspot.com/2012/06/bab-i-pendahuluan.html

 http://www.isomwebs.net/2013-04/contoh-makalah-tentang-kesenjangan-sosial/

 http://catatankuliahfethamrin.blogspot.com/2013/01/makalah-tentang-

kemiskinan-dan.html

 http://rzaharani.blogspot.co.id/2012/05/kesenjangan-sosial.html

Anda mungkin juga menyukai