Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

KONDISI PERBANKAN DI INDONESIA

OLEH

KELOMPOK 1:
1. Ariwnda Lonny Saekoko (2110030056)
2. Joselyn Patricia Costantia Flaid (2010030101)
3. Nasrul Hamapu (2110030215)
4. Sanri Audelia Mikidori (2110030123)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada kami,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Kondisi Perbankan Indonesia”. Makalah ini
telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat
memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua
pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala
saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah iini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap
pembaca.

2|Page
DAFTAR ISI
COVER...........................................................................................................................................................1
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................................2
DAFTAR ISI...................................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................................................4
A. Latar Belakang.....................................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah................................................................................................................................4
C. Tujuan..................................................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................................................5
A. REFORMASI PERBANKAN INDONESIA : Dari Represi Hingga Deregulasi..........................5
a) Dari Represi Menuju Liberisasi Finansial.....................................................................................5
b) Deregulasi Finansial Indonesia......................................................................................................6
c) Dampak Deregulasi Terhadap Sektor Keuangan...........................................................................8

B. PERBANKAN INDONESIA DI MASA KRISIS............................................................................9


a) Struktur Perbankan Indonesia........................................................................................................9
b) Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan Indonesia......................................................................10
c) Krisis : Dari Krismon Hingga Kristal............................................................................................12
d) Pemulihan Yang Menyakitkan.......................................................................................................14
BAB III PENUTUP........................................................................................................................................17
Kesimpulan.....................................................................................................................................................17
Daftar Pustaka................................................................................................................................................18

3|Page
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Bank merupakan salah satu lembaga keuangan yang berperan dalam pembangunan ekonomi
nasional. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan,
bank adalah badan usaha yang mengumpulkan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
kemudian mengembalikannya kepada masyarakat sebagai bentuk pinjaman atau kredit dan bentuk
lainnya yang bertujuan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Besarnya bunga simpanan mempengaruhi
besar kecilnya bunga kredit. Keuntungan utama bank konvensional diperoleh dari perbedaan bunga
pinjaman dan bunga simpanan. Namun di bank syariah, keuntungan diperoleh berdasarkan prinsip
Syariah yang telah ditentukan (Andrianto, Didin Fatihuddin, & M. Anang Firmansyah, 2019).
Perbankan Indonesia terus mengalami perubahan seiring berjalannya waktu. Negara sebelum
deregulasi dipengaruhi oleh berbagai kepentingan politik dan ekonomi. Deregulasi perbankan
merupakan kondisi terjadinya perubahan peraturan-peraturan dalam industri perbankan. Tujuan
deregulasi perbankan yaitu membuat kondisi perbankan lebih stabil (Darwis, 2019). Menjelang periode
1998 kondisi perbankan menurun karena terjadinya krisis moneter. Hal ini yang mendasari dibuatnya
kebijakan penyehatan di bidang perbankan pasca krisis agar dapat merevisi kembali target pendapatan,
pertumbuhan dan rencana investasi. Bank sebagai jasa keuangan yang bergerak di sektor perbankan
memiliki kewajiban untuk menyampaikan laporan keuangannya ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). OJK
merupakan lembaga yang memiliki tugas untuk mengatur dan memantau kegiatan jasa keuangan.
Laporan keuangan dibutuhkan untuk memberikan informasi keuangan kepada pemilik, manajemen dan
pihak ketiga yang memiliki kepentingan dalam laporan tersebut (Andrianto et al., 2019).

B. RUMUSAN MASALAH
 Bagaimana Reformasi Perbankan Indonesia : Dari Represi hingga Deregulasi?
 Bagaimana Kondisi Perbankan Indonesia Di Masa Krisis?

C. TUJUAN
 Menjelaskan Reformasi Perbankan Indonesia : Dari Represi hingga Deregulasi
 Menjelaskan Kondisi Perbankan Indonesia Di Masa Krisis

4|Page
BAB II
PEMBAHASAN
A. REFORMASI PERBANKAN INDONESIA : Dari Represi Hingga Deregulasi

a) DARI REPRESI MENUJU LIBERALISASI FINANSIAL


Isu apakah sektor keuangan berperan penting dalam pembangunan ekonomi telah menjadi
topik perbincangan utama di kalangan teoritisi dan praktisi pembangunan sejak dasawarsa 1970-an.
Ada yang berpendapat bahwa pembangunan sektor finansial tidak menimbulkan dampak yang berarti
bagi pembangunan, dengan mengatakan, “Finance does not matter”. Sebaliknya, banyak pula yang
berkeyakinan bahwa pembangunan sektor finansial memainkan peranan penting dalam
pembangunan. Yang terakhir ini terkenal dengan ungkapan, “Finance matters”. Para pendukungnya
mengemukakan argumentasi bahwa kurang berkembangnya sistem finansial akan menghambat laju
pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu kebijakan pemerintah seharusnya ditujukan untuk
mendorong pertumbuhan sistem finansial. Ini bisa dicapai dengan memberi iklim yang kondusif,
melakukan upaya menghapus pagu suku bunga, menggalakkan tabungan domestik, dan mendorong
financial deepening.
Dua proponent utama dalam perumusan model pembangunan sektor finansial adalah
McKinnon (1973) dan Shaw (1973), yang menitikberatkan analisis pada represi finansial. Represi
finansial bermula dari kondisi di mana pasar modal tidak efisien atau berada dalam keseimbangan.
Sistem finansial suatu negara disebut “ditindas” apabila pasar finansialnya masih terbelakang dan
harga-harga kekayaan finansialnya mengalami distorsi. Yang terakhir ini, umumnya, ditandai dengan
penetapan pagu suku bunga oleh pemerintah di bawah tingkat keseimbangan yang berlaku di pasar.
Menurut Fry (1989), pagu dan plafon suku bunga dapat mendistorsi perekonomian melalui tiga jalur:
a) Rendahnya suku bunga deposito akan menimbulkan bias dalam mendorong konsumsi saat ini dengan
mengorbankan konsumsi masa depan, yang pada gilirannya akan menyebab- kan tabungan dan
investasi berada di bawah tingkat optimum;
b) Para penabung potensial akan lebih menyukai investasi yang relatif low-yielding dibanding
mendeposito- kan uangnya di bank agar dipinjamkan untuk membiayai proyek-proyek yang higher-
yielding;
c) Bank-bank peminjam akan dapat memperoleh semua dana yang mereka inginkan pada tingkat bunga
pinjaman yang rendah dan cenderung memilih proyek yang lebih padat modal.
Dalam kondisi sistem finansial yang tertindas tersebut, dua karakteristik mencuat ke
permukaan:
a) Suku bunga deposito riil seringkali negatif dan sulit diprediksi bila inflasi tinggi dan tidak stabil;
b) Kurs valuta asing menjadi penuh dengan ketidakpastian. Akibatnya, tabungan menjadi terhambat
meskipun peluang investasi cukup bagus, pendangkalan keuangan (shallow finance) biasanya terjadi,
dan pada gilirannya per- tumbuhan ekonomi akan terhambat juga.
Rekomendasi kebijakan yang diturunkan dari analisis represi finansial biasanya berupa
liberalisasi finansial, yang diharapkan mendorong terjadinya pendalaman finansial (financial
deepening). Para pendukungnya berkeyakinan bahwa liberalisasi finansial dapat mempercepat laju
pertumbuhan ekonomi melalui’: Pertama, membebaskan suku bunga dari kontrol pemerintah
(liberalisasi suku bunga). Kedua, menurunkan reserve requirements. Ketiga, menjaga agar sistem
finansial beroperasi secara kompetitif di bawah kondisi free entry. Keempat, memperbaiki kualitas
investasi dan bukan kuantitas investasi.
5|Page
Dalam waktu singkat, model McKinnon-Shaw telah mempengaruhi banyak pemerintah di
seluruh dunia melalui apa yang populer disebut pembangunan finansial, liberalisasi finansial, atau
reformasi finansial. Blejer & Sagari (1988) menekankan bahwa isu sentral yang melandasi setiap
upaya liberalisasi finansial adalah perbedaan antara liberalisasi finansial dalam lingkup eksternal dan
internal, sebagai berikut:
Liberalisasi eksternal umumnya ditandai dengan dibukanya pasar finansial domestik
terhadap aliran uang internasional, ditiadakannya kontrol devisa, dihapusnya hambatan masuk bagi
bank asing, dan sebagainya. Liberalisasi finansial internal diartikan sebagai reformasi yang
mengarah pada semakin bebasnya pasar finansial domestik yang mencakup ditiadakannya kontrol
terhadap kredit domestik yang berkaitan dengan pembatasan kredit, plafon suku bunga, dan
diskriminasi reserve requirements. (Blejer & Sagari, 1988: 18-19)
Dalam praktek, kedua macam liberalisasi finansial ini telah secara luas diterapkan secara
Simultan kendati dengan intensitas yang berbeda. Namun, akhir-akhir ini upaya semacam ini
mendapat banyak tentangan, bahkan ada yang mempertanyakan keampuhannya. Ini disebabkan oleh
fakta nyata bahwa liberalisasi finansial di beberapa negara berkembang, terutama di Amerika Latin,
tidak membawa hasil seperti yang diharapkan: mereka mengalami apa yang disebut financial crash
and distress (Diaz-Alejandro, 1985). World Bank (1989) dalam studinya juga menunjukkan bahwa
banyak negara berkembang mengalami financial crash and distress dalam proses reformasi dan
liberalisasi finansial. Negara-negara Asia, di lain pihak, yang juga mengikuti jejak melakukan
liberalisasi finansial, menunjukkan hasil yang relatif lebih baik dibanding negara-negara Amerika
Latin.
Persis seperti Amerika Latin, sistem finansial sebelum liberalisasi di kebanyakan negara Asia
ditandai dengan kontrol terhadap suku bunga dan alokasi kredit. Dalam dasawarsa 1980-an, hampir
semua negara Asia meliberalisasikan sistem finansial dalam negerinya. Dalam banyak kasus, ini
diikuti dengan dilonggarkannya kontrol terhadap modal asing dan bergerak menuju penyusunan
sistem kurs yang lebih fleksibel.”
Tidak diragukan bahwa implementasi liberalisasi finansial bervariasi antarnegara, baik dari
sisi kecepatan maupun ruang lingkupnya. Kendati episode reformasi finansial dan struktur
kelembagaan sebelum reformasi bervariasi, hasil umumnya adalah: Pertama, liberalisasi finansial
telah meningkatkan persaingan yang lebih tinggi di antara berbagai tipe lembaga keuangan. Kedua,
liberalisasi finansial telah mendorong pendalaman finansial (munculnya produk finansial baru dan
kombinasi baru dari instrumen yang telah ada) dan, meskipun agak jarang ditemui, hambatan bagi
transaksi modal internasional menurun. Singkatnya, ciri umum reformasi finansial adalah
membiarkan kekuatan mekanisme pasar untuk memainkan peranan yang lebih besar dalam sistem
finansial.

Liberalisasi Keuangan di Asia


 Indonesia
Deregulasi 1983 meniadakan plafon kredit, mengurangi kredit yang disubsidi (KLBI),
deregulasi suku bunga deposito dan pinjaman, serta meniadakan subsidi terhadap deposito.
Deregulasi 1988 (Pakto) mengendorkan izin dan persyaratan pembukaan cabang, menurunkan
reserve requirements dari 15% menjadi 2%, mengizinkan BUMN untuk menempatkan
deposito/dananya pada bank-bank swasta, dan memperbaiki peraturan mengenai lending limits.

6|Page
b) DEREGULASI FINANSIAL INDONESIA
REFORMASI RUANG LINGKUP
Reformasi Kebijakan Moneter
Deregulai dan persaingan Deregulasi diluncurkan pada Juni 1983 and Oktober 1988 (Pakto
1988). Sejak 1986, ruang lingkup bagi aktivitas bisnis telah
diperlonggar. Dengan Palto 1988, izin mendirikan cabang
dipermudah dan BUMN diizinkan menaruh deposito- nya di bank
nonpemerintah. Kekayaan kotor sektor keuangan. formal tumbuh
lebih dari 4 kali lipat selama 1983-1989. Pada akhir 1989, Bank
Indonesia (BI) dan bank-bank umum memegang lebih dari 95%
total kekayaan sektor keuangan.
Pembangunan pasar finansial Pasar uang dan modal berkembang pesat, terutama dengan
diperkenalkannya SBI, SBPU oleh BI dan surat berharga oleh
swasta. Pada 1988, perlakuan pajak yang lebih seragam bagi
berbagai kekayaan finansial menyebabkan saham dan obligasi
menjadi salah satu alteratif pembiayaan yang menarik Apalagi pada
tahun 1988 sebuah bursa saham swasta diizinkan untuk beroperasi.
Manajemen dan pengawasan Pada 1988, peraturan mengenai legal lending limits diperkuat,
komponen-komponen modal dan aktivitas valas dibatasi, dan
persyaratan modal (CAR) diperluas ke seluruh bank. Pada Maret
1989, Bagian Pengawasan Perbankan di BI mengalami perluasan
dan reorganisasi; berbagai peraturan diturunkan dalam upaya
koreksi dan menuju praktek perbankan yang sehat, seperti definisi
modal bank, investasi bank dalam stok, eksposur terhadap fluktuasi
valas, pedoman pemilikan modal patungan dan merger. Pada
Februari 1991, berbagai upaya untuk memperbaiki manajemen bank
dan pengawasan, seperti ketentuan CAR menurut BIS, diluncurkan.
Pada November 1991, ditetapkan plafon pinjaman luar negeri
(offshore) bagi sektor publik (termasuk bank milik pemerintah),
perbaikan mekanisme swap, dan dihapuskannya premi swap.
Reformasi Kebijakan Moneter
Operasi pasar terbuka Pelelangan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) diperkenalkan pada
Februari 1984. Pada Januari 1985 mulai dikeluarkan instrumen
pasar uang berupa Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) yang berisi
surat promes dari langganan bank, perbankan, LKBB.
Reserve requirements Dengan Pakto 1988, diturunkan dari 15% menjadi 2%.
Kontrol kredit Dengan deregulasi 1983, sebagian besar Kredit Likuiditas Bank
Indonesia (KIBI) dikurangi. Pada Januari 1990, ruang lingkup
KLBI semakin dikurangi; diturunkan peraturan yang mengharuskan
semua bank domestik untuk mengalihkan 20% dari portofolio
mereka kepada perusahaan kecil dan koperasi; bagi bank asing dan
patungan diharuskan memperluas 50% kreditnya bagi aktivitas
yang berorientasi ekspor.
Pembiayaan bank sentral Fasilitas diskonto (rediscount windows) diperkenalkan pada
Februari 1984 untuk melengkapi operasi pasar terbuka.
Liberalisasi suku bunga Pagu dan plafon suku bunga ditiadakan pada Juni 1983.

7|Page
c) DAMPAK DEREGULASI TERHADAP SEKTOR KEUANGAN
Deregulasi finansial sering ditandai dengan akselerasi pertumbuhan uang kuasi dan inovasi
berbagai produk baru jasa keuangan, yang pada gilirannya meningkatkan pendalaman finansial.
Salah satu faktor penting yang melatarbelakangi fenomena tersebut adalah deregulasi suku bunga.
Indonesia selama periode represi keuangan (1971-1982) mengalami suku bunga riil yang
negatif, namun berubah menjadi positif setelah deregulasi perbankan 1983 digulirkan. Indonesia
mengalami laju pertumbuhan ekohomi yang lebih tinggi dimasa represi keuangan dibanding pada
masa deregulasi. Pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah selama deregulasi seiring dengan
menurun- nya penerimaan negara dari migas. Di sisi lain, laju inflasi pada masa deregulasi justru
lebih rendah dibanding pada masa represi keuangan. Dengan kata lain, ada hubungan positif antara
inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Ini agak bertentangan dengan prediksi para pakar pembangunan
(misalnya Fry, 1988), yang mengatakan bahwa naiknya suku bunga riil akan meningkatkan laju
pertumbuhan ekonomi dan menurunkan inflasi secara bersamaan.
Deregulasi finansial tahun 1983 dan 1988 telah menurunkan peranan Bank Indonesia dalam
mengalokasikan kredit dengan memberikan otonomi dan kebebasan yang lebih tinggi kepada bank-
bank komersial. Salah satu tujuan deregulasi finansial adalah meningkatkan tabungan domestik. Di
Indonesia, tabungan nasional nampaknya bereaksi positif terhadap suku bunga. Ini berarti
kemampuan menyalurkan kredit meningkat dan pada gilirannya mendorong investasi.
Ada beberapa faktor yang diduga keras menyebabkan turunnya kualitas investasi di Indonesia :
a.) Menjamurnya kegiatan pemburu rente (rent-seeking activities). Indonesia sampai detik ini memiliki
sejumlah pemburu rente, yang sebagian disebabkan oleh kebijakan kredit selektif.
b.) Kemungkinan diakibatkan oleh utang luar negeri. Produktivitas modal dari proyek-proyek yang
dibiayai dengan bantuan luar negeri banyak yang rendah karena mempunyai masa tenggang waktu
(gestation period) dan masa pembayaran kembali yang panjang, sehingga IOCR-nya menurun.
c.) Kurangnya kompetisi dalam sektor keuangan yang ditandai dengan intervensi pemerintah dan
tingginya konsentrasi industri perbankan yang membuat sistem perbankan bekerja kurang efisien dan
produktif.
Upaya deregulasi ternyata telah mengubah konstelasi dan struktur industri perbankan
Indonesia. Kendati sistem finansial Indonesia masih sangat didominasi oleh sektor perbankan,
deregulasi perbankan telah mengurangi pangsa pasar bank-bank pemerintah di satu sisi, dan naik
daunnya bank-bank swasta dari sisi akumulasi kekayaan, penyaluran kredit dan penghimpunan dana
di sisi lain.
Pada periode 1982-1988 sistem finansial didominasi perbankan, terutama bank komersial
milik pemerintah. Peran penting bank swasta nasional melonjak pada putaran kedua reformasi
keuangan (1988 – 1991) yang memfokuskan pada upaya penurunan hambatan memasuki pasar dan
berbagai “fasilitas” yang dinikmati bank pemerintah. Sepanjang tahun ini 40 bank swasta baru dan
15 bank patungan telah dibentuk; sementara tidak ada satu pun tambahan bank pemerintah. Bank
juga getol membuka cabang hingga ke pelosok, sehingga menjamurlah berbagai cabang bank dari
1.640 pada April 1982 menjadi 2.842 pada Maret 1990.

8|Page
B. Perbankan Indonesia di Masa Krisis

a) STRUKTUR PERBANKAN INDONESIA


Pada periode 1982-1988 sistem finansial di-dominasi perbankan, terutama bank komersial
milik pemerintah. Peran penting bank swasta nasional melonjak pada putaran kedua
reformasikeuangan (1988-1991) yang memfokuskan pada upaya penurunan hambatan
memasukipasar dan berbagai “fasilitas” yang dinikmati bank pemerintah. Akibatnya, 40 bankswasta
baru dan 15 bank patungan telah dibentuk; sementara tidak ada satu pun tambahanbank pemerintah.
Bank juga getol membuka cabang hingga ke pelosok,sehinggamenjamurlah berbagai cabang bank
dari 1.640 pada April 1982 menjadi 2.842 pada Maret1990, bahkan melonjak drastis menjadi 6.345
kantor bank pada 1997/1998.Jumlah kantorcabang pada Januari 1998 berkurang gara-gara krisis
menjadi 6,295, namun jumlah bankmasih sekitar 222. Inilah yang oleh banyak pengamat disebut
fenomena overbanking,yang tentunya mempersulit pengawasan BI.
Fenomena mencolok sejak pertengahan dasawarsa 1990-an, kendati sistem finansialIndonesia
masih sangat didominasi oleh sektor perbankan, deregulasi perbankan telahmengurangi pangsa pasar
bank-bank pemerintah di satu sisi, dan naik daunnya bank-bankswasta dari sisi akumulasi kekayaan,
penyaluran kredit dan penghimpunan dana di sisi lain.Seperti terlihat pada Tabel 2.1, sampai dengan
akhir tahun 1999 penghimpunan dana olehsektor perbankan mencapai Rp651,4 triliun jauh lebih
besar dari pada tahun 1995 yang hanyasebesar Rp214,8 triliun. Sampai dengan tahun 1997,
kelompok bank swasta mendominasipangsa pasar dana (50%); kemudian baru diikuti oleh kelompok
bank pemerintah (37,2%),kelompok bank asing dan campuran (10,8%),dan kelompok BPD(2,5%).
Komposisi penguasaan pangsa pasar ini berubah begitu memasuki tahun 1998menyusul
dikeluarkannya kebijakan pemerintah yang melikuidasi 16 bank swastanasional pada bulan
November 1997 akibat krisis moneter. Setelah dilakukan likuidasiterhadap bank-bank swasta
nasional tersebut, kepercayaan masyarakat terhadap bankswasta nasional menurun drastis. Ini
ditandai dengan penarikan dana masyarakat secarabesar-besaran (bank rush) dari bank swasta
nasional. Sebagian besar masyarakat,kemudian, memindahkan dananya ke bank pemerintah dan
bank asing yang dirasakanlebih mampu memberikan jaminan keamanan terhadap dana yang
disimpan. Akibat daripemindahan dana secara besar-besaran tersebut maka pada tahun 1998 dan
1999 pangsapasar bank swasta nasional mengalami penurunan masing-masing menjadi sekitar
41%dan 39%. Dalam periode yang sama,sebaliknya bank pemerintah mengalami kenaikanmenjadi
47% dan 48%,yang sekaligus kenaikan berturut-turut menjadi 47% dan 48%,sekaligus memimpin
dalam hal penguasaan pangsa pasar dana. Bank asing/campuranserta bank pembangunan daerah juga
mengalami kenaikan pangsa pasar yang substansial.
Dalam hal kredit yang disalurkan, sektor perbankan di Indonesia menunjukkanekspansi kredit
yang semakin agresif. Pada tahun 1995 tercatat perbankan nasional menyalurkan kredit sebesar
Rp234,6 triliun dan berkembang menjadi Rp487,4 triliunpada akhir tahun 1998. Pada tahun 1995
bank swasta nasional merupakan kelompok bankdengan pangsa pasar kredit yang paling besar,yaitu
sebesar 48% dari total kreditperbankan. Rekor ini berturut-turut diikuti oleh kelompok bank
pemerintah denganpangsa pasar sebesar 39,84%, bank asing dan campuran sebesar 10,33%, dan
BPDsebesar 2,23%.
Sampai dengan tahun 1997 kelompok bank swasta nasional masih memimpin dalam jumlah
dan pangsa pasar kredit yang disalurkan, baru pada tahun 1998 posisi ini bergeser di mana kelompok
bank pemerintah merupakan kelompok bank yang paling banyak menyalurkan kredit dengan pangsa
pasar kredit sebesar 45%, yang berarti lebih tinggi 5,6% dari pangsa pasar kelompok bank swasta

9|Page
nasional yang sebesar 40%. Pergeseran ini merupakan akibat dari adanya krisis kepercayaan
masyarakat terhadap kelompok bank swasta nasional menyusul dikeluarkannya kebijakan
pemerintah pada bulan November 1997 yang melikuidasi 16 bank swasta nasional. Memasuki tahun
1999 volume kredit yang disalurkan perbankan nasional secara keseluruhan mengalami penurunan
drastis menjadi Rp225,1 triliun dari tahun sebelumnya sebesar Rp487.4 triliun. Hal ini berarti
penyaluran kredit oleh perbankan nasional mengalami pertumbuhan negatif 53,81%. Keadaan ini
merupakan akibat dari kebijakan penyaluran kredit oleh sektor perbankan yang menjadi sangat
selektif karena trauma terhadap kredit macet yang menjadi salah satu sumber kerugian terbesar bagi
bank selama krisis ekonomi. Ini juga dapat ditafsirkan bahwa sektor riil masih mengalami krismon
yang berdampak pada lesunya penyaluran kredit oleh perbankan.

b) MASALAH YANG DIHADAPI OLEH PERBANKAN INDONESIA


Pertanyaan yang mengusik perhatian masyarakat saat ini adalah apakah dunia perbankan kita
cukup tangguh dalam menghadapi era pasar bebas dan globalisasi? Masalahnya, bagi sektor
perbankan saat ini masih dilanda oleh krisis perbankan dengan dimensi sebagai berikut:
Pertama, masih lemahnya posisi keuangan perbankan dan tingginya masalah kredit macet.
Sampai dengan November 1995 lalu, jumlah total kredit macet masih sekitar Rp10,5 triliun. Angka
total kredit macet dibanding total kredit perbankan yang disalurkan mencapai 4 persen. Uniknya,
sekitar 75 persen kredit macet berada di kelompok bank pemerintah. Pada April 1997 tidak banyak
berubah yaitu: persentase total kredit macet terhadap total kredit malah meningkat menjadi 8.8%,
kendati jumlah kredit macet di bank pemerintah “tinggal” 66%. Angka terakhir diperkirakan kredit
macet di 4 bank pemerintah yang hendak dimerger (BBD, BDN, Bapindo, Exim) masih sekitar 60%
dari total kredit yang mengakibatkan modal keempat bank tersebut minus Rp130 triliun (Tempo,
15/10/98).
Kredit bermasalah nampaknya sudah menjadi hal yang biasa di Indonesia. Aturan kerahasiaan
bank yang diberlakukan di Indonesia mengakibatkan sangat sulitnya menentukan besarnya masalah
yang sebenarnya dihadapi akibat kredit bermasalah ini. Sangat sulit untuk mengetahui siapa saja
yang sedang dalam masalah dan bank yang mana saja yang bersalah atau melanggar ketentuan
kehati-hatian dengan menyalurkan kredit kepada perusahaan yang masih dalam grup bisnisnya. Bank
Indonesia beranggapan bahwa kredit bermasalah dapat di hapas bukukan (written off) untuk menjaga
kelang- sungan industri secara keseluruhan
Secara teoritis, hal tersebut merupakan tindakan yang baik, akan tetapi akan sulit diterapkan
dalam praktek Pada tahun 1999 total kredit macet mencapai Rp28.5 triliun atau setara dengan 3,9%
dari keseluruhan kredit perbankan. Pangsa kredit dengan status dalam perhatian khusus sebesar
3,5%, kurang lancar sebesar 3,9%, dan sebesar 4,9% masuk dalam katagori diragukan, sehingga
hanya 83,8% atau Rp607,2 triliun yang termasuk ke dalam kredit lancar.
Kedua, terkonsentrasinya kredit yang diberikan kepada beberapa perusahaan besar dan
konglomerat tertentu, sehingga kesehatan sistem perbankan sangat tergantung pada kemampuan dan
kemauan perusahaan-perusahaan besar dan konglomerat tersebut untuk membayar kembali utang-
utangnya kepada bank. Masalah kredit macet tersebut timbul akibat adanya praktek korupsi,
penipuan, longgarnya seleksi kepada debitur, dan ketidak- mampuan bank dalam hal pengawasan
dan penagihan kembali kredit yang sudah jatuh tempo. Ironisnya, porsi KUK (Kredit Usaha Kecil)
perbankan nasional terhadap jumlah kredit yang diluncurkan tidak pernah mencapai angka 20 persen
dan penyaluran KUK masih terpusat di Pulau Jawa (Kompas, 13 November 1995). Ini terbukti dari
angka penyaluran KUK yakni 66,88 persen pada tahun 1995 berada di pulau Jawa, di mana 26,67
persennya diserap oleh DKI Jakarta. Bisa dipahami apabila para pengusaha kecil menuduh bank

10 | P a g e
hanya melayani “si besar” dan cenderung menghindari usaha kecil. Studi Pusat Konsultasi
Pengusaha Kecil UGM (1996) juga menunjukkan bahwa memang bagi pengusaha kecil masalah
yang dikeluhkan apabila berhubungan dengan perbankan adalah masalah agunan dan prosedur yang
dinilai berbelit
Ketiga, masih banyak bank yang melanggar prinsip kehati-hatian (prudential banking
management) dan self-regulatory banking. Ini terbukti dari pertama, banyaknya bank yang termasuk
kategori B dalam Program Rekapitalisasi Perbankan, yaitu bank dengan CAR (Capital Adequacy
Ratio) sebagai indikator rasio kecukupan modal antara 4% hingga -25% Ironisnya sebagian besar
BUSN (Bank Umum Swasta Nasional) berada dalam kategori B. Sebagaimana diketahui Kategori A
mencakup bank dengan CAR 4% ke atas, dan C dengan CAR di bawah minus 25% Bank pemerintah
pun juga tidak berada dalam kondisi yang mengggembirakan (ingat kasus Edy Tarsil-Bapindo dan
Bank Exim yang kalah valas sehingga tidak menerbitkan laporan keuangan). Kedua, dart Tabel 23
yang menunjukkan bahwa masih ada 21 bank yang belum memenuhi kriteria CAR, 70 bank
melanggar ketentuan BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit atau legal lending limit), dan 18
bank melanggar ketentuan LDR (Loan to Deposit Ratio) Angka ini pada awal Juni 1996 sedikit
menurun, di mana bank yang melanggar CAR masih sebanyak 18 bank, 19 bank melanggar LDR. 34
melanggar BMPK, dan 12 melanggar posisi devisa neto.
Keempat, berlanjutnya beleid suku bunga tinggi menyebabkan dua hal: Pertama, bank
mengandalkan pada negative spread (kerugian dari pendapatan bunga karena bunga tabungan/
deposito lebih tinggi dibanding bunga kredit) yang berakibat memperburuk posisi modal dan CAR
perbankan. Perbankan hidup dari penempatan aktiva lancar seperti SBI atau pinjaman antarbank.
Kedua, bank pemerintah mengalami kelebihan likuiditas sehingga berakibat gampangnya mereka
mengobral pinjaman. Sebagai contoh di BBD, BDN, Bapindo saja, rata-rata pertumbuhan kredit
selama setahun krismon (Juni 1997) sampai dengan Juni 1998) mencapai 29%; bandingkan dengan
kredit rupiah di bank swasta yang tak sampai 5%. Ketiga, BI terpaksa mengucurkan BLBI (Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia) yang sampai September 1998 nilainya mencapai sekitar Rp140 triliun,
atau berarti sudah mencapai sekitar 30% PDB Padahal dari jumlah BLBI yang dikucur- kan kepada
200 bank, 85% jatuh kepada 14 BBO (Bank Beku Operari) dan BTO (Bank Take Over) (Gatra,
10/10/ 1998) Kucuran BLBI tersebut merupakan konsekuensipemerintah menjamin dana nasabah.
Menarik untuk dicatat bahwa BLBI berbeda dengan KLBI (Kredit Likuiditas Bank
Indonesia) yang merupakan kredit program yang bunganya disubsidi. KIBI telah lama dikenal
sebagai program pemerintah untuk membantu program "prioritas" seperti KUT (Kredit Usaha Taru),
KKPA (Kredit Kepada Koperasi Primer Anggotanya), KKOP (Kre- dit Kepada Koperasi), KMK
(Kredit Modal Kerja), KKPA TR (KKPA untuk Anggota Tebu Rakyat), dan KKPA-PIR Trans
Kawasan Timur Indonesia Berbeda dengan KL.BL BLBI merupakan fasilitas yang tersedia di luar
KL.BI untuk membantu bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas akibat penarikan dana oleh
nasabalinya secara besar- besaran BLBI terdiri atas beberapa macam fasilitas (Prasentiantono et al,
2000 bab 2)
 Fasilitas Diskonto I, yaitu fasilitas berjangka waktu 2 hari untuk mempertahankan stabilitas sistem *
pembayaran bila terjadi ketidaksessaan (match) antara penerimaan dan penankan dana dalam jangka
pendek
 Fasilitas Diskonto I Repo, yaitu fasilitas berjangka waktu 7 han dan tingkat diskonto 28% untuk
membantu bank sehat yang kesulitan likuiditas dan tidak mempunyai SBI
 Kreda Likita Darurat (KLD) dan Kredit Subordinan (SOL-Sub-Ordinated Loan), yaitu fasilitas dalam
rangka penyehatan bank
 SBPU Lelang, yaitu fasilitas pelonggaran likoditas dalam ranka program moneter. yang berjangka
wakt 3 bulan dan mini bunga diskonto 2 di atas SBI bilateral
11 | P a g e
 SBPU bilateral, yaitu fasilitas untuk memenuhi kebutuhan kuditas harian sesuai program moneter
yang berjangka waktu 2 minggu hingga 3 bulan dengan suku bunga rata-rata pertimbangan tingkat
diskonto SBI lelang terakhir.
 Saldo giro negatif/saldo debit, yaitu fasilitas untuk mempertahankan stabilitasnsitem perbankan dan
pembayaran akibat adanya penarikan dana besar-besaran (rush).

c) KRISIS : DARI KRISMON HINGGA KRISTAL

1. Negara- Negara Asia Timur dalam Krisis,1997-1998


Berdasarkan pertumbuhan ekonomi yang mengesankan pada beberapa negara Asia Timus seperti
Indonesia, Korea Selatan, Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Thailand, banyak pengamat yang
memperkirakan akan muncul "macan" baru dalam perekonomian dunia. Namun di balik itu ternyata
terdapat indikasi munculnya masalah yang me ngancam yang bersumber dari tingkat pertumbuhan
ekspor dan defisit neraca pembayaran pada tahun 1996 dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Perlambatan pertumbuhan ekspor pada tahun 1996 seharusnya menjadi perhatian khusus untuk
negara Korea Selatan, Malaysia, Singapura, dan Taiwan. Volume ekspor yang menurun terjadi pada
negara Thailand. Posisi neraca pembayaran untuk Indonesia dan Korea Selatan menjadi semakin
memburuk. Defisit neraca pembayaran Thailand pada tahun 1996 menunjukkan nilai yang sangat
besar. Taiwan dan Singapura mampu mempertahankan neraca pembayaran hingga tidak menjadi
defisit walaupun partumbuhan ekspornya menurun.
Berdasarkan pada posisi neraca pembayaran dan pertumbuhan ekspor yang menurun secara
terus-menerus, maka banyak kalangan yang memperkirakan dan meng- harapkan mata uang
Indonesia, Korea Selatan, dan Malaysia akan mengalami depresiasi yang substansial. Bath Thailand
terdepresiasi relatif lebih tinggi daripada mata uang negara lain, sedangkan mata uang Taiwan dan
Singapura malah mengalami apresiasi. Kenyataan selanjutnya bath semakin terdepresiasi ketika bath
diambangkan pada tanggal 2 Juli 1999, sehingga membawa konsekuensi jatuhnya
mata uang tersebut.
2. Penyebab Krisis
Akar masalah penyebab krisis ekonomi adalah over-borrowing (utang yang terlalu banyak) dan
akumulasi utang luar negeri yang sangat cepat, khususnya di Thailand dan Indonesia. Indikasi ini
tampak pada Tabel 2.6, pada akhir 1996, utang jangka pendek kepada bank di negara-negara industri
maju telah meningkat sampai dengan 181% dari cadangan devisa di Indonesia, dan 169% di
Thailand. Malaysia tidak mengalami kenaikan utang jangka pendek seperti Indonesia dan Thailand.
Sedangkan di Filipina, atas pengawasan IMF, bank sentralnya lebih berhati-hati dalam menarik
pinjaman luar negeri Hal ini menyebabkan rasio utang luar negeri untuk Malaysia dan Filipina lebih
rendah dibandingkan Thailand dan Indonesia.
Selain itu, kredit perbankan yang berlebihan selama periode pertumbuhan pasar keuanga
khususnya kredit dari bank luar negeri dan liberalisasi pasar modal, merupakan fakt kunci penyebab
krisis ekonomi di Asia. Deregulasi dan privatisasi bank tanpa adany peraturan yang memadai
ternyata membuka peluang yang lebih lebar bagi sektor swast untuk mendapatkan utang luar negeri
yang lebih besar. Dengan tingkat suku bung domestik yang lebih tinggi daripada tingkat suku bunga
luar negeri di Thailand da Indonesia, sektor swasta di kedua negara ini terlalu yakin terhadap
stabilitas nilai tukar uangnya sehingga berutang dalam jumlah yang besar dalam mata uang asing
mata
Konsekuensinya, bank dan lembaga keuangan lainnya seperti perusahaan peti biayaan telah
menjadi perantara masuknya modal luar negeri ke dalam perekonomian dalam negeri. Dank dan
12 | P a g e
perusahaan pembiayaan yang under capitalized ini sangat berani dalam mencari utang luar negeri
untuk diinvestasikan di dalam negeri. Untuk jenis bank seperti ini, walaupun terjadi kerugian akibat
kredit macet sehingga depositor dan kreditur ikut merugi, pemilik bank justru menanggung risiko
yang kecil karena mereka hanya memiliki bagian modal yang kecil yang ditanamkan ke dalam bank.
Sedangkan untuk depositor dan kreditur luar negeri mungkin hanya akan menghadapi risiko yang
kecil jika pemerintah menalangi (bail out) mereka jika terjadi kasus bank yang bangkrut.
3. Krisis Tahun 1997-1998
Beberapa komentar mengemukakan faktor-faktor penyebab krisis tahun 1997-1998: sektor
keuangan yang lemah (evaluasi kredit yang lemah atau bahkan tidak ada, sistem akuntansi
perusahaan yang tidak sempurna, adanya transaksi keuangan yang berdasarkan pertimbangan ikatan
perseorangan atau keluarga, ketidak. cukupan modal pada banyak bank dan perusahaan-perusahaan
swasta), kesalahan kebijakan (dengan menerapkan sistem kurs tetap atau mengambang terkendali
tanpa didukung oleh cadangan devisa yang kuat), adanya faktor-faktor dari luar yang tidak
menguntungkan (menguatnya dolar terhadap yen dan devaluasi yuan Cina), faktor globalisasi
(capital inflow yang besar kemudian terjadi arus keluar modal secara men dadak), dan jatuhnya harga
aset yang drastis menyebabkan kebangkrutan bank (Colaco, 1997; Ito, 1998; Radelet & Sachs,
1998, Wolf, 1997).
Di Indonesia krisis diawali sejak tahun 1992-1996 dengan bangkrutnya bank swasta yang
menyebabkan pelarian dana kepada bank yang lebih kecil. Adapaun kredit macet mencapai
puncaknya hingga menembus tingkat 25% dari total kresit. Tindakan pemerintah untuk hal ini yaitu
merekapitalisasi lima bank pemerintah dengan biaya sekitar 2% dari GDP (Gross Domeestic
Product) dan melikuidasi sebuah bank.
4. Investasi Pemerintah dalam Sektor Keuangan
Pada dasarnya intervensi pemerintah dalam sektor keuangan dilakukan untuk mencapai tingkat
tabungan dan investasi yang relatif tinggi. Bentuk intervensi berbeda untuk setiap negara. Intervensi
ke dalam pasar keuangan paling banyak bertujuan untuk memperkuat lembaga keuangan pemerintah.
Sebagai contoh Korea Selatan, Singapura, Malaysia, dan Taiwan mendirikan lembaga tabungan pos
untuk menampung penabung- penabung dengan dana yang kecil. Mereka menawarkan keamanan
(karena dijamin oleh pemerintah) dan kenyamanan (karena memiliki jaringan yang luas). Pada
keempat negara tersebut, seperti juga di Indonesia dan Thailand, bank pembangunan didirikan untuk
menyediakan kredit jangka panjang untuk sektor-sektor yang mendapatkan prioritas seperti industri
(besar dan kecil), pertanian, dan perumahan.
Bank-bank milik pemerintah memegang peranan yang dominan dalam sistem keuangan di
beberapa negara. Bank komersial pemerintah memiliki pangsa pasar yang relatif dominan (sepertiga
atau lebih) dalam total aset di Indonesia dan Taiwan. Walaupun memiliki kesamaan, krisis yang
terjadi di Indonesia lebih parah dari pada yang terjadi di Taiwan yang hanya mengalami depresiasi
mata uang. Seperti Hong Kong dan Singapura, Thailand memiliki segmen bank swasta yang besar.
Namun krisis yang dialami Thailand tidak terjadi di Hong Kong dan Singapura, sehingga mungkin
akan tidak terlalu benar untuk menunjuk struktur sistem keuangan sebagai penyebab utama krisis
yang terjadi.
5. Perubahan Politik dan Reformasi Ekonomi
Di Indonesia, proses politik yang terjadi pada awal tahun 1998 telah menyebabkan keadaan sosial
dan politik menjadi lebih buruk. Pada minggu ketiga bulan Mei 1998, orang asing dan warga negara
Indonesia keturunan Cina berbondong- bondong meninggalkan Indonesia karena terjadinya
kekerasan politik dan sosial. Pada akhir bulan Mei presiden Suharto turun dari jabatan dan menunjuk
13 | P a g e
Habibie sebagai presiden yang mengemban tugas untuk mempersiapkan pemilihan umum yang
kredibel dan menciptakan rezim yang demokratis.
Meski presiden sudah beralih dari Habibie ke Abdurrahman Wahid, dan beralih lagi ke Megawati
Soekarnoputri, agaknya kondisi perekonomian nasional secara objektif masih belum bisa dikatakan
pulih kembali sebagaimana kondisi sebelum krismon. Subbab berikut akan mengkaji proses
pemulihan ekonomi Indonesia yang terasa "menyakit- kan" dan seakan masih berada dalam lorong
gelap yang panjang dan belum kelihatan titik akhirnya.

d) PEMULIHAN YANG MENYAKITKAN

1. Proses Pemulihan
Usaha untuk mendapatkan kembali kepercayaan investor merupakan bagian penting dalam
rangka pemulihan ekonomi. Dengan kembalinya modal asing dan domestik, nilai kurs akan stabil
dan secara bertahap akan terapresiasi dan pasar modal akan pulih kembali. Hal tersebut akan
memudahkan bank sentral dalam menetapkan tingkat suku bunga dalam negeri yang kemudian
diharapkan menyebabkan stabilisasi pasar properti. Perkembangan seperti itu akan sangat membantu
sektor perbankan dan sektor korporat dalam mengatasi masalah utang luar negeri dan dalam negeri
serta memperbaiki neraca mereka yang kacau selama terjadi krisis. Untuk mencapai pemulihan,
dibutuhkan penurunan defisit neraca pembayaran melalui peningkatan ekspor dan penurunan impor.
Restrukturisasi sektor keuangan dan political will pemerintah untuk mengimplementasikan
kesepakatan- kesepakatan yang di buat dengan IMF akan menjadi catatan keseriusan usaha
pemerintah untuk mendapatkan kembali kepercayaan pasar.
Sampai dengan kuartal kedua 1998, 12 bulan sejak penurunan nilai tukar yang berkelanjutan,
telah terjadi pertumbuhan ekspor di negara-negara Asia Tenggara. Hal ini dapat dipandang sebagai
munculnya iklim persaingan di antara negara-negara Asia Tenggara. Negara-negara tersebut
cenderung menekan harga ekspornya agar bisa berkompetisi dengan barang ekspor Cina. Analisis
efek depresiasi nilai tukar riil terhadap pertumbuhan ekspor terlihat pada efek waktu antara 6-12
bulan atau 9-15 bulan untuk sebagian besar negara Asia.
Ada kenyataan bahwa krisis keuangan telah mengakibatkan credit crunch pada sektor perbankan,
pembiayaan perdagangan menjadi sangat sulit, dan proses pemulihan ekspor tertunda selama 6-9
bulan. Terlebih lagi koefisien estimasi untuk efek nilai tukar riil, yang relatif kecil pada 0,3-0,6
mengindikasikan bahwa 10% depresiasi pada nilai tukar riil akan mengakibatkan hanya 3-6%
kenaikan pertumbuhan ekspor. Hal ini menjelaskan kenapa pertumbuhan ekspor negara-negara Asia
Tenggara tidak meningkat sebelum Agustus 1998, lebih dari satu tahun setelah kebangkrutan mata
uang.
Pengaruh yang paling terasa dari krisis keuangan adalah kenaikan kredit bermasalah bank dan
perusahaan pembiayaan yang besar. Biaya bailout mencapai hampir dua kali total utang pemerintah
di Thailand, di Malaysia dan Indonesia masing-masing 56% dan 100%. Besarnya biaya bailout ini
juga mempunyai bagian yang besar pada anggaran tahunan pemerintah (lihat Tabel 2.12).
Konsekuennya, tampaknya Indonesia dan Thailand perlu menasionalisasikan sistem perbankannya
dan merekapitalisasi dengan uang masyarakat.
Thailand dan Indonesia, dalam rangka menstabilkan keseluruhan sistem keuangannya, telah
memberikan jaminan kepada hampir seluruh depositor dan kreditur dari lembaga keuangan.
Kebijakan yang diambil ini menyebabkan pengalihan dalam biaya bailout keuangan dari sektor
swasta ke sektor publik. Indonesia, Malaysia, dan Thailand telah menyediakan likuiditas kepada
14 | P a g e
bank dan lembaga pembiayaan yang bermasalah untuk mencegah kebangkrutan yang lebih parah
lagi.
Di Indonesia, program ketiga IMF yang disetujui dengan pemerintah Indonesia pada bulan April
1998 tampaknya akan lebih berhasil dibandingkan dengan dua program sebelumnya. Dalam
perjanjian ini difokuskan pada dua faktor fundamental untuk mendapatkan kembali kepercayaan
investor dan stabilisasi rupiah. Kedua kunci tersebut adalah restrukturisasi terhadap sistem perbankan
dan “resolusi” utang korporat swasta sebesar US$800 juta. Dalam program ketiga yang disetujui ini
memasukkan reformasi struktural seperti penghapusan monopoli tambang, batu bara, dan distribusi
makanan yang akan mendorong kompetisi yang lebih sehat. Akan tetapi eskalasi krisis politik dan
ketidakstabilan negara karena mundurnya presiden Suharto mengakibatkan ketidakpastian dalam
implementasi program tersebut. Resolusi utang swasta merupakan faktor kunci untuk keseluruhan
proses stabilisasi. Penjadwalan ulang utang merupakan kemajuan proses reformasi.
Pemerintah Indonesia diharapkan hanya menyediakan kerangka kerja, bukannya mem-bailout
sektor swasta. IMF mengisyaratkan akan menggunakan proses penjadwalan kembali utang yang
pernah diterapkan di Mexico pada tahun 1980-an. Di bawah skema tersebut, Indonesia akan meminta
bank-bank internasional untuk menunda pembayaran utang pokok untuk empat tahun. Sehingga
sektor swasta akan mempunyai waktu empat tahun untuk melunasi semua utangnya.
Kesepakatan keempat dengan IMF ditandatangani pada tanggal 24 Juni 1998 dalam situasi krisis
politik dan kebangkrutan ekonomi. Dari sudut pandang meningkatnya kemiskinan di Indonesia,
tindakan yang akan diambil didesain untuk mengontrol inflasi, menopang kemampuan membayar
rata-rata masyarakat Indonesia dan memulihkan operasional sistem perbankan. Kebijakan yang
terpenting adalah pemberlakuan kembali subsidi untuk menstabilkan harga beras, kedelai, gula,
gandum, listrik, obat-obatan, dan lain-lain.
Pemerintah mengumumkan program rekapitalisasi dengan penyuntikan dana oleh pemerintah
dalam bentuk non-voting preferential shares dan dana segar dari investor. Sekitar Rp154 triliun
dibutuhkan untuk program rekapitalisasi ini (dengan total Rp330 triliun termasuk kredit likuiditas),
dan pemerintah telah setuju untuk menyediakan 80% dari kebutuhan total program ini.

2. Rekapitalisasi Perbankan dan Masalahnya


Program rekapitalisasi perbankan mempunyai dua tujuan ganda. Pertama, secara makro, untuk
menyehatkan perbankan Indonesia dan mengembalikan fungsi dasar perbankan sebagai lembaga
intermediasi yang sehat. Kedua, memperbaiki tingkat kese- hatan bank secara mikro (individual).
Secara mikro, ini berarti upaya peningkatan kecukupan modal suatu bank dalam batas-batas yang
ditentukan oleh otoritas moneter.
Otoritas moneter menggolongkan sektar perbankan untuk membedakan bank yang berhak
mengikuti program rekapitalisasi ini sebagai berikut:
 Kategori A (sound)
Bank dengan CAR lebih dari 4%: tidak ikut dalam program rekapitalisasi karena dianggap sehat.
CAR dihitung dengan membandingkan antara Modal dengan Aktiva Menurut Risiko (ATMR).
Terdapat 74 bank dalam kelompok ini, namun sepertiganya memiliki manajemen yang dianggap
“tidak sehat” dan dianjurkan untuk merger dengan bank yang sehat.
 Kategori B (viable)
Bank dengan CAR antara -25 sampai 4%: ikut dalam program rekapitalisasi. Mulanya ada 9 bank
yang masuk dalam kategori ini dan langsung masuk dalam program rekapitalisasi.

15 | P a g e
 Kategori C (unsound)
Diberikan waktu yang terbatas untuk menaikkan kualitas aset atau menyuntikkan modal baru agar
dapat mengikuti program rekapitalisasi. Jika bank tidak bisa memenuhi persyaratan yang ditetapkan
maka akan mendapatkan tindakan dari BPPN. Ada 24 bank yang memiliki CAR di bawah 25%; 21
bank lain tadinya masuk kategori B namun tidak dapat diselamatkan dan terpaksa ditutup dan para
deposannya ditangung oleh BI.

Program rekapitalisasi perbankan di Indonesia dilakukan dalam dua tahap, yaitu


(Joyosumarto, 1999):
Pertama, tahap pemulihan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Dalam tahap ini
antara lain dilakukan pemberian jaminan penuh kepada deposan dan kreditur dalam dan luar negeri,
serta secara formal pemerintah melakukan upaya penyehatan perbankan dengan mendirikan BPPN.
Hasil yang dicapai pada langkah ini ternyata tidak terlalu menggembirakan, karena dengan
memburuknya perekonomian dan situasi politik yang kurang kondusif menyebabkan krisis ekonomi
yang berkepanjangan dan peningkatan BLBI. Skim penjaminan yang semula diharapkan dapat
meredam pelarian dana masyarakat dan selanjutnya mengurangi BLBI ternyata semakin
memperburuk situasi. Ini tidak saja ditunjukkan dengan meningkatnya BLBI tetapi semakin
seriusnya masalah moral hazard. Melihat pengalaman tersebut di atas ditempuh strategi penyehatan
bank dengan empat pilar utama yaitu memperbaiki kualitas internal bank, memperkuat pengawasan
bank, menyempurnakan ketentuan dan perangkat hukum perbankan, dan melaksanakan program
penyehatan perbankan.
Kedua, tahap menyelesaikan masalah solvabilitas bank. Tahap ini merupakan tahap penentu
dari program restrukturisasi perbankan. Penyelesaian masalah solvabilitas ini dilakukan dengan
menggunakan dua pendekatan. Di sisi aset dilakukan penyehatan kualitas aset melalui restrukturisasi
kredit dan penyerahan bad assets kepada Assets Management Unit (AMU) BPPN. Di sisi pasiva
dilakukan restrukturisasi kepemilikan modal melalui program rekapitalisasi.

16 | P a g e
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Deregulasi finansial yang sedang berlangsung di Indonesia saat ini agaknya sejalan dengan
deregulasi finansial yang juga terjadi di negara-negara Asia. Persamaannya ter- lihat pada tiga
dimensi deregulasi yang terpisah, namun berkaitan erat, yaitu: deregulasi karga (terutama deregulasi
suku bunga), deregulasi produk (ragam jasa yang ditawar- kan), dan deregulasi spasial (kelonggaran
pembukaan cabang atau hambatan memasuki pasar)
Tinjauan deregulasi selama sepuluh tahun terakhir menunjukkan bahwa deregulasi telah
sedikit banyak mengubah "wajah" sektor keuangan Indonesia. Tidak berlebihan bila dikatakan, saat
ini Indonesia telah keluar dari represi finansial, setidaknya kadar telah jauh berkurang dibanding
masa sebelumnya. Deregulasi finansial sebagai gantinya, mengakibatkan fenomena baru yang
mengakibatkan iklim persaingan semakin hangat. Persaingan seperti ini semakin mengukuhkan
berlakunya hukum pasar hanya yang efisien dan profesional yang mampu memenangkan pertarungan
merebut pangsa pasar. Bagi masyarakat pemakai jasa perbankan, ini berarti tersedianya banyak
pilihan dalam menggunakan jasa perbankan maupun pembiayaan investasinya.
Persoalannya kini: apakah fenomena growth-led finance ini akan tetap kita pertahankan di
masa mendatang, ataukah mau kita ubah menjadi finance-led growth? Yang terakhir ini berarti
menghendaki semakin aktifnya peranan perbankan dan lembaga keuangan lainnya dalam derap
langkah pembangunan. Menghadapi perkembangan Industri perbankan yang dinamis dan cenderung
mengarah pada oligopoli, tentunya menimbulkan pertanyaan: bagaimana peran kontrol dan supervisi
otoritas moneter? Kasus ambruknya Bank Summa merupakan contoh betapa tidak sederhananya
masalah ini Bagaimana peran bank-bank pemerintah sebagai agent of development di tengah situasi
persaingan yang semakin ketat? Mampukah perbankan berperan aktif dalam memberantas
kemiskinan di negeri ini? Dapatkah lembaga keuangan formal berjalan seiring dengan lembaga
keuangan "informal" dalam menggali dan menyalurkan dana kepada masyara kat? Inilah sederet
pertanyaan yang kiranya relevan untuk diajukan dalam mencari bentuk peranan perbankan (dan
lembaga keuangan lainnya) yang tepat di masa mendatang.

17 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
Manajemen Perbankan, Teori dan Aplikasi, Edisi Kedua, Mudrajad Kuncoro, Suhardjono

18 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai