OLEH
KELOMPOK 1:
1. Ariwnda Lonny Saekoko (2110030056)
2. Joselyn Patricia Costantia Flaid (2010030101)
3. Nasrul Hamapu (2110030215)
4. Sanri Audelia Mikidori (2110030123)
2|Page
DAFTAR ISI
COVER...........................................................................................................................................................1
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................................2
DAFTAR ISI...................................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................................................4
A. Latar Belakang.....................................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah................................................................................................................................4
C. Tujuan..................................................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................................................5
A. REFORMASI PERBANKAN INDONESIA : Dari Represi Hingga Deregulasi..........................5
a) Dari Represi Menuju Liberisasi Finansial.....................................................................................5
b) Deregulasi Finansial Indonesia......................................................................................................6
c) Dampak Deregulasi Terhadap Sektor Keuangan...........................................................................8
3|Page
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Bank merupakan salah satu lembaga keuangan yang berperan dalam pembangunan ekonomi
nasional. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan,
bank adalah badan usaha yang mengumpulkan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
kemudian mengembalikannya kepada masyarakat sebagai bentuk pinjaman atau kredit dan bentuk
lainnya yang bertujuan meningkatkan taraf hidup masyarakat. Besarnya bunga simpanan mempengaruhi
besar kecilnya bunga kredit. Keuntungan utama bank konvensional diperoleh dari perbedaan bunga
pinjaman dan bunga simpanan. Namun di bank syariah, keuntungan diperoleh berdasarkan prinsip
Syariah yang telah ditentukan (Andrianto, Didin Fatihuddin, & M. Anang Firmansyah, 2019).
Perbankan Indonesia terus mengalami perubahan seiring berjalannya waktu. Negara sebelum
deregulasi dipengaruhi oleh berbagai kepentingan politik dan ekonomi. Deregulasi perbankan
merupakan kondisi terjadinya perubahan peraturan-peraturan dalam industri perbankan. Tujuan
deregulasi perbankan yaitu membuat kondisi perbankan lebih stabil (Darwis, 2019). Menjelang periode
1998 kondisi perbankan menurun karena terjadinya krisis moneter. Hal ini yang mendasari dibuatnya
kebijakan penyehatan di bidang perbankan pasca krisis agar dapat merevisi kembali target pendapatan,
pertumbuhan dan rencana investasi. Bank sebagai jasa keuangan yang bergerak di sektor perbankan
memiliki kewajiban untuk menyampaikan laporan keuangannya ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). OJK
merupakan lembaga yang memiliki tugas untuk mengatur dan memantau kegiatan jasa keuangan.
Laporan keuangan dibutuhkan untuk memberikan informasi keuangan kepada pemilik, manajemen dan
pihak ketiga yang memiliki kepentingan dalam laporan tersebut (Andrianto et al., 2019).
B. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana Reformasi Perbankan Indonesia : Dari Represi hingga Deregulasi?
Bagaimana Kondisi Perbankan Indonesia Di Masa Krisis?
C. TUJUAN
Menjelaskan Reformasi Perbankan Indonesia : Dari Represi hingga Deregulasi
Menjelaskan Kondisi Perbankan Indonesia Di Masa Krisis
4|Page
BAB II
PEMBAHASAN
A. REFORMASI PERBANKAN INDONESIA : Dari Represi Hingga Deregulasi
6|Page
b) DEREGULASI FINANSIAL INDONESIA
REFORMASI RUANG LINGKUP
Reformasi Kebijakan Moneter
Deregulai dan persaingan Deregulasi diluncurkan pada Juni 1983 and Oktober 1988 (Pakto
1988). Sejak 1986, ruang lingkup bagi aktivitas bisnis telah
diperlonggar. Dengan Palto 1988, izin mendirikan cabang
dipermudah dan BUMN diizinkan menaruh deposito- nya di bank
nonpemerintah. Kekayaan kotor sektor keuangan. formal tumbuh
lebih dari 4 kali lipat selama 1983-1989. Pada akhir 1989, Bank
Indonesia (BI) dan bank-bank umum memegang lebih dari 95%
total kekayaan sektor keuangan.
Pembangunan pasar finansial Pasar uang dan modal berkembang pesat, terutama dengan
diperkenalkannya SBI, SBPU oleh BI dan surat berharga oleh
swasta. Pada 1988, perlakuan pajak yang lebih seragam bagi
berbagai kekayaan finansial menyebabkan saham dan obligasi
menjadi salah satu alteratif pembiayaan yang menarik Apalagi pada
tahun 1988 sebuah bursa saham swasta diizinkan untuk beroperasi.
Manajemen dan pengawasan Pada 1988, peraturan mengenai legal lending limits diperkuat,
komponen-komponen modal dan aktivitas valas dibatasi, dan
persyaratan modal (CAR) diperluas ke seluruh bank. Pada Maret
1989, Bagian Pengawasan Perbankan di BI mengalami perluasan
dan reorganisasi; berbagai peraturan diturunkan dalam upaya
koreksi dan menuju praktek perbankan yang sehat, seperti definisi
modal bank, investasi bank dalam stok, eksposur terhadap fluktuasi
valas, pedoman pemilikan modal patungan dan merger. Pada
Februari 1991, berbagai upaya untuk memperbaiki manajemen bank
dan pengawasan, seperti ketentuan CAR menurut BIS, diluncurkan.
Pada November 1991, ditetapkan plafon pinjaman luar negeri
(offshore) bagi sektor publik (termasuk bank milik pemerintah),
perbaikan mekanisme swap, dan dihapuskannya premi swap.
Reformasi Kebijakan Moneter
Operasi pasar terbuka Pelelangan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) diperkenalkan pada
Februari 1984. Pada Januari 1985 mulai dikeluarkan instrumen
pasar uang berupa Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) yang berisi
surat promes dari langganan bank, perbankan, LKBB.
Reserve requirements Dengan Pakto 1988, diturunkan dari 15% menjadi 2%.
Kontrol kredit Dengan deregulasi 1983, sebagian besar Kredit Likuiditas Bank
Indonesia (KIBI) dikurangi. Pada Januari 1990, ruang lingkup
KLBI semakin dikurangi; diturunkan peraturan yang mengharuskan
semua bank domestik untuk mengalihkan 20% dari portofolio
mereka kepada perusahaan kecil dan koperasi; bagi bank asing dan
patungan diharuskan memperluas 50% kreditnya bagi aktivitas
yang berorientasi ekspor.
Pembiayaan bank sentral Fasilitas diskonto (rediscount windows) diperkenalkan pada
Februari 1984 untuk melengkapi operasi pasar terbuka.
Liberalisasi suku bunga Pagu dan plafon suku bunga ditiadakan pada Juni 1983.
7|Page
c) DAMPAK DEREGULASI TERHADAP SEKTOR KEUANGAN
Deregulasi finansial sering ditandai dengan akselerasi pertumbuhan uang kuasi dan inovasi
berbagai produk baru jasa keuangan, yang pada gilirannya meningkatkan pendalaman finansial.
Salah satu faktor penting yang melatarbelakangi fenomena tersebut adalah deregulasi suku bunga.
Indonesia selama periode represi keuangan (1971-1982) mengalami suku bunga riil yang
negatif, namun berubah menjadi positif setelah deregulasi perbankan 1983 digulirkan. Indonesia
mengalami laju pertumbuhan ekohomi yang lebih tinggi dimasa represi keuangan dibanding pada
masa deregulasi. Pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah selama deregulasi seiring dengan
menurun- nya penerimaan negara dari migas. Di sisi lain, laju inflasi pada masa deregulasi justru
lebih rendah dibanding pada masa represi keuangan. Dengan kata lain, ada hubungan positif antara
inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Ini agak bertentangan dengan prediksi para pakar pembangunan
(misalnya Fry, 1988), yang mengatakan bahwa naiknya suku bunga riil akan meningkatkan laju
pertumbuhan ekonomi dan menurunkan inflasi secara bersamaan.
Deregulasi finansial tahun 1983 dan 1988 telah menurunkan peranan Bank Indonesia dalam
mengalokasikan kredit dengan memberikan otonomi dan kebebasan yang lebih tinggi kepada bank-
bank komersial. Salah satu tujuan deregulasi finansial adalah meningkatkan tabungan domestik. Di
Indonesia, tabungan nasional nampaknya bereaksi positif terhadap suku bunga. Ini berarti
kemampuan menyalurkan kredit meningkat dan pada gilirannya mendorong investasi.
Ada beberapa faktor yang diduga keras menyebabkan turunnya kualitas investasi di Indonesia :
a.) Menjamurnya kegiatan pemburu rente (rent-seeking activities). Indonesia sampai detik ini memiliki
sejumlah pemburu rente, yang sebagian disebabkan oleh kebijakan kredit selektif.
b.) Kemungkinan diakibatkan oleh utang luar negeri. Produktivitas modal dari proyek-proyek yang
dibiayai dengan bantuan luar negeri banyak yang rendah karena mempunyai masa tenggang waktu
(gestation period) dan masa pembayaran kembali yang panjang, sehingga IOCR-nya menurun.
c.) Kurangnya kompetisi dalam sektor keuangan yang ditandai dengan intervensi pemerintah dan
tingginya konsentrasi industri perbankan yang membuat sistem perbankan bekerja kurang efisien dan
produktif.
Upaya deregulasi ternyata telah mengubah konstelasi dan struktur industri perbankan
Indonesia. Kendati sistem finansial Indonesia masih sangat didominasi oleh sektor perbankan,
deregulasi perbankan telah mengurangi pangsa pasar bank-bank pemerintah di satu sisi, dan naik
daunnya bank-bank swasta dari sisi akumulasi kekayaan, penyaluran kredit dan penghimpunan dana
di sisi lain.
Pada periode 1982-1988 sistem finansial didominasi perbankan, terutama bank komersial
milik pemerintah. Peran penting bank swasta nasional melonjak pada putaran kedua reformasi
keuangan (1988 – 1991) yang memfokuskan pada upaya penurunan hambatan memasuki pasar dan
berbagai “fasilitas” yang dinikmati bank pemerintah. Sepanjang tahun ini 40 bank swasta baru dan
15 bank patungan telah dibentuk; sementara tidak ada satu pun tambahan bank pemerintah. Bank
juga getol membuka cabang hingga ke pelosok, sehingga menjamurlah berbagai cabang bank dari
1.640 pada April 1982 menjadi 2.842 pada Maret 1990.
8|Page
B. Perbankan Indonesia di Masa Krisis
9|Page
nasional yang sebesar 40%. Pergeseran ini merupakan akibat dari adanya krisis kepercayaan
masyarakat terhadap kelompok bank swasta nasional menyusul dikeluarkannya kebijakan
pemerintah pada bulan November 1997 yang melikuidasi 16 bank swasta nasional. Memasuki tahun
1999 volume kredit yang disalurkan perbankan nasional secara keseluruhan mengalami penurunan
drastis menjadi Rp225,1 triliun dari tahun sebelumnya sebesar Rp487.4 triliun. Hal ini berarti
penyaluran kredit oleh perbankan nasional mengalami pertumbuhan negatif 53,81%. Keadaan ini
merupakan akibat dari kebijakan penyaluran kredit oleh sektor perbankan yang menjadi sangat
selektif karena trauma terhadap kredit macet yang menjadi salah satu sumber kerugian terbesar bagi
bank selama krisis ekonomi. Ini juga dapat ditafsirkan bahwa sektor riil masih mengalami krismon
yang berdampak pada lesunya penyaluran kredit oleh perbankan.
10 | P a g e
hanya melayani “si besar” dan cenderung menghindari usaha kecil. Studi Pusat Konsultasi
Pengusaha Kecil UGM (1996) juga menunjukkan bahwa memang bagi pengusaha kecil masalah
yang dikeluhkan apabila berhubungan dengan perbankan adalah masalah agunan dan prosedur yang
dinilai berbelit
Ketiga, masih banyak bank yang melanggar prinsip kehati-hatian (prudential banking
management) dan self-regulatory banking. Ini terbukti dari pertama, banyaknya bank yang termasuk
kategori B dalam Program Rekapitalisasi Perbankan, yaitu bank dengan CAR (Capital Adequacy
Ratio) sebagai indikator rasio kecukupan modal antara 4% hingga -25% Ironisnya sebagian besar
BUSN (Bank Umum Swasta Nasional) berada dalam kategori B. Sebagaimana diketahui Kategori A
mencakup bank dengan CAR 4% ke atas, dan C dengan CAR di bawah minus 25% Bank pemerintah
pun juga tidak berada dalam kondisi yang mengggembirakan (ingat kasus Edy Tarsil-Bapindo dan
Bank Exim yang kalah valas sehingga tidak menerbitkan laporan keuangan). Kedua, dart Tabel 23
yang menunjukkan bahwa masih ada 21 bank yang belum memenuhi kriteria CAR, 70 bank
melanggar ketentuan BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit atau legal lending limit), dan 18
bank melanggar ketentuan LDR (Loan to Deposit Ratio) Angka ini pada awal Juni 1996 sedikit
menurun, di mana bank yang melanggar CAR masih sebanyak 18 bank, 19 bank melanggar LDR. 34
melanggar BMPK, dan 12 melanggar posisi devisa neto.
Keempat, berlanjutnya beleid suku bunga tinggi menyebabkan dua hal: Pertama, bank
mengandalkan pada negative spread (kerugian dari pendapatan bunga karena bunga tabungan/
deposito lebih tinggi dibanding bunga kredit) yang berakibat memperburuk posisi modal dan CAR
perbankan. Perbankan hidup dari penempatan aktiva lancar seperti SBI atau pinjaman antarbank.
Kedua, bank pemerintah mengalami kelebihan likuiditas sehingga berakibat gampangnya mereka
mengobral pinjaman. Sebagai contoh di BBD, BDN, Bapindo saja, rata-rata pertumbuhan kredit
selama setahun krismon (Juni 1997) sampai dengan Juni 1998) mencapai 29%; bandingkan dengan
kredit rupiah di bank swasta yang tak sampai 5%. Ketiga, BI terpaksa mengucurkan BLBI (Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia) yang sampai September 1998 nilainya mencapai sekitar Rp140 triliun,
atau berarti sudah mencapai sekitar 30% PDB Padahal dari jumlah BLBI yang dikucur- kan kepada
200 bank, 85% jatuh kepada 14 BBO (Bank Beku Operari) dan BTO (Bank Take Over) (Gatra,
10/10/ 1998) Kucuran BLBI tersebut merupakan konsekuensipemerintah menjamin dana nasabah.
Menarik untuk dicatat bahwa BLBI berbeda dengan KLBI (Kredit Likuiditas Bank
Indonesia) yang merupakan kredit program yang bunganya disubsidi. KIBI telah lama dikenal
sebagai program pemerintah untuk membantu program "prioritas" seperti KUT (Kredit Usaha Taru),
KKPA (Kredit Kepada Koperasi Primer Anggotanya), KKOP (Kre- dit Kepada Koperasi), KMK
(Kredit Modal Kerja), KKPA TR (KKPA untuk Anggota Tebu Rakyat), dan KKPA-PIR Trans
Kawasan Timur Indonesia Berbeda dengan KL.BL BLBI merupakan fasilitas yang tersedia di luar
KL.BI untuk membantu bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas akibat penarikan dana oleh
nasabalinya secara besar- besaran BLBI terdiri atas beberapa macam fasilitas (Prasentiantono et al,
2000 bab 2)
Fasilitas Diskonto I, yaitu fasilitas berjangka waktu 2 hari untuk mempertahankan stabilitas sistem *
pembayaran bila terjadi ketidaksessaan (match) antara penerimaan dan penankan dana dalam jangka
pendek
Fasilitas Diskonto I Repo, yaitu fasilitas berjangka waktu 7 han dan tingkat diskonto 28% untuk
membantu bank sehat yang kesulitan likuiditas dan tidak mempunyai SBI
Kreda Likita Darurat (KLD) dan Kredit Subordinan (SOL-Sub-Ordinated Loan), yaitu fasilitas dalam
rangka penyehatan bank
SBPU Lelang, yaitu fasilitas pelonggaran likoditas dalam ranka program moneter. yang berjangka
wakt 3 bulan dan mini bunga diskonto 2 di atas SBI bilateral
11 | P a g e
SBPU bilateral, yaitu fasilitas untuk memenuhi kebutuhan kuditas harian sesuai program moneter
yang berjangka waktu 2 minggu hingga 3 bulan dengan suku bunga rata-rata pertimbangan tingkat
diskonto SBI lelang terakhir.
Saldo giro negatif/saldo debit, yaitu fasilitas untuk mempertahankan stabilitasnsitem perbankan dan
pembayaran akibat adanya penarikan dana besar-besaran (rush).
1. Proses Pemulihan
Usaha untuk mendapatkan kembali kepercayaan investor merupakan bagian penting dalam
rangka pemulihan ekonomi. Dengan kembalinya modal asing dan domestik, nilai kurs akan stabil
dan secara bertahap akan terapresiasi dan pasar modal akan pulih kembali. Hal tersebut akan
memudahkan bank sentral dalam menetapkan tingkat suku bunga dalam negeri yang kemudian
diharapkan menyebabkan stabilisasi pasar properti. Perkembangan seperti itu akan sangat membantu
sektor perbankan dan sektor korporat dalam mengatasi masalah utang luar negeri dan dalam negeri
serta memperbaiki neraca mereka yang kacau selama terjadi krisis. Untuk mencapai pemulihan,
dibutuhkan penurunan defisit neraca pembayaran melalui peningkatan ekspor dan penurunan impor.
Restrukturisasi sektor keuangan dan political will pemerintah untuk mengimplementasikan
kesepakatan- kesepakatan yang di buat dengan IMF akan menjadi catatan keseriusan usaha
pemerintah untuk mendapatkan kembali kepercayaan pasar.
Sampai dengan kuartal kedua 1998, 12 bulan sejak penurunan nilai tukar yang berkelanjutan,
telah terjadi pertumbuhan ekspor di negara-negara Asia Tenggara. Hal ini dapat dipandang sebagai
munculnya iklim persaingan di antara negara-negara Asia Tenggara. Negara-negara tersebut
cenderung menekan harga ekspornya agar bisa berkompetisi dengan barang ekspor Cina. Analisis
efek depresiasi nilai tukar riil terhadap pertumbuhan ekspor terlihat pada efek waktu antara 6-12
bulan atau 9-15 bulan untuk sebagian besar negara Asia.
Ada kenyataan bahwa krisis keuangan telah mengakibatkan credit crunch pada sektor perbankan,
pembiayaan perdagangan menjadi sangat sulit, dan proses pemulihan ekspor tertunda selama 6-9
bulan. Terlebih lagi koefisien estimasi untuk efek nilai tukar riil, yang relatif kecil pada 0,3-0,6
mengindikasikan bahwa 10% depresiasi pada nilai tukar riil akan mengakibatkan hanya 3-6%
kenaikan pertumbuhan ekspor. Hal ini menjelaskan kenapa pertumbuhan ekspor negara-negara Asia
Tenggara tidak meningkat sebelum Agustus 1998, lebih dari satu tahun setelah kebangkrutan mata
uang.
Pengaruh yang paling terasa dari krisis keuangan adalah kenaikan kredit bermasalah bank dan
perusahaan pembiayaan yang besar. Biaya bailout mencapai hampir dua kali total utang pemerintah
di Thailand, di Malaysia dan Indonesia masing-masing 56% dan 100%. Besarnya biaya bailout ini
juga mempunyai bagian yang besar pada anggaran tahunan pemerintah (lihat Tabel 2.12).
Konsekuennya, tampaknya Indonesia dan Thailand perlu menasionalisasikan sistem perbankannya
dan merekapitalisasi dengan uang masyarakat.
Thailand dan Indonesia, dalam rangka menstabilkan keseluruhan sistem keuangannya, telah
memberikan jaminan kepada hampir seluruh depositor dan kreditur dari lembaga keuangan.
Kebijakan yang diambil ini menyebabkan pengalihan dalam biaya bailout keuangan dari sektor
swasta ke sektor publik. Indonesia, Malaysia, dan Thailand telah menyediakan likuiditas kepada
14 | P a g e
bank dan lembaga pembiayaan yang bermasalah untuk mencegah kebangkrutan yang lebih parah
lagi.
Di Indonesia, program ketiga IMF yang disetujui dengan pemerintah Indonesia pada bulan April
1998 tampaknya akan lebih berhasil dibandingkan dengan dua program sebelumnya. Dalam
perjanjian ini difokuskan pada dua faktor fundamental untuk mendapatkan kembali kepercayaan
investor dan stabilisasi rupiah. Kedua kunci tersebut adalah restrukturisasi terhadap sistem perbankan
dan “resolusi” utang korporat swasta sebesar US$800 juta. Dalam program ketiga yang disetujui ini
memasukkan reformasi struktural seperti penghapusan monopoli tambang, batu bara, dan distribusi
makanan yang akan mendorong kompetisi yang lebih sehat. Akan tetapi eskalasi krisis politik dan
ketidakstabilan negara karena mundurnya presiden Suharto mengakibatkan ketidakpastian dalam
implementasi program tersebut. Resolusi utang swasta merupakan faktor kunci untuk keseluruhan
proses stabilisasi. Penjadwalan ulang utang merupakan kemajuan proses reformasi.
Pemerintah Indonesia diharapkan hanya menyediakan kerangka kerja, bukannya mem-bailout
sektor swasta. IMF mengisyaratkan akan menggunakan proses penjadwalan kembali utang yang
pernah diterapkan di Mexico pada tahun 1980-an. Di bawah skema tersebut, Indonesia akan meminta
bank-bank internasional untuk menunda pembayaran utang pokok untuk empat tahun. Sehingga
sektor swasta akan mempunyai waktu empat tahun untuk melunasi semua utangnya.
Kesepakatan keempat dengan IMF ditandatangani pada tanggal 24 Juni 1998 dalam situasi krisis
politik dan kebangkrutan ekonomi. Dari sudut pandang meningkatnya kemiskinan di Indonesia,
tindakan yang akan diambil didesain untuk mengontrol inflasi, menopang kemampuan membayar
rata-rata masyarakat Indonesia dan memulihkan operasional sistem perbankan. Kebijakan yang
terpenting adalah pemberlakuan kembali subsidi untuk menstabilkan harga beras, kedelai, gula,
gandum, listrik, obat-obatan, dan lain-lain.
Pemerintah mengumumkan program rekapitalisasi dengan penyuntikan dana oleh pemerintah
dalam bentuk non-voting preferential shares dan dana segar dari investor. Sekitar Rp154 triliun
dibutuhkan untuk program rekapitalisasi ini (dengan total Rp330 triliun termasuk kredit likuiditas),
dan pemerintah telah setuju untuk menyediakan 80% dari kebutuhan total program ini.
15 | P a g e
Kategori C (unsound)
Diberikan waktu yang terbatas untuk menaikkan kualitas aset atau menyuntikkan modal baru agar
dapat mengikuti program rekapitalisasi. Jika bank tidak bisa memenuhi persyaratan yang ditetapkan
maka akan mendapatkan tindakan dari BPPN. Ada 24 bank yang memiliki CAR di bawah 25%; 21
bank lain tadinya masuk kategori B namun tidak dapat diselamatkan dan terpaksa ditutup dan para
deposannya ditangung oleh BI.
16 | P a g e
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Deregulasi finansial yang sedang berlangsung di Indonesia saat ini agaknya sejalan dengan
deregulasi finansial yang juga terjadi di negara-negara Asia. Persamaannya ter- lihat pada tiga
dimensi deregulasi yang terpisah, namun berkaitan erat, yaitu: deregulasi karga (terutama deregulasi
suku bunga), deregulasi produk (ragam jasa yang ditawar- kan), dan deregulasi spasial (kelonggaran
pembukaan cabang atau hambatan memasuki pasar)
Tinjauan deregulasi selama sepuluh tahun terakhir menunjukkan bahwa deregulasi telah
sedikit banyak mengubah "wajah" sektor keuangan Indonesia. Tidak berlebihan bila dikatakan, saat
ini Indonesia telah keluar dari represi finansial, setidaknya kadar telah jauh berkurang dibanding
masa sebelumnya. Deregulasi finansial sebagai gantinya, mengakibatkan fenomena baru yang
mengakibatkan iklim persaingan semakin hangat. Persaingan seperti ini semakin mengukuhkan
berlakunya hukum pasar hanya yang efisien dan profesional yang mampu memenangkan pertarungan
merebut pangsa pasar. Bagi masyarakat pemakai jasa perbankan, ini berarti tersedianya banyak
pilihan dalam menggunakan jasa perbankan maupun pembiayaan investasinya.
Persoalannya kini: apakah fenomena growth-led finance ini akan tetap kita pertahankan di
masa mendatang, ataukah mau kita ubah menjadi finance-led growth? Yang terakhir ini berarti
menghendaki semakin aktifnya peranan perbankan dan lembaga keuangan lainnya dalam derap
langkah pembangunan. Menghadapi perkembangan Industri perbankan yang dinamis dan cenderung
mengarah pada oligopoli, tentunya menimbulkan pertanyaan: bagaimana peran kontrol dan supervisi
otoritas moneter? Kasus ambruknya Bank Summa merupakan contoh betapa tidak sederhananya
masalah ini Bagaimana peran bank-bank pemerintah sebagai agent of development di tengah situasi
persaingan yang semakin ketat? Mampukah perbankan berperan aktif dalam memberantas
kemiskinan di negeri ini? Dapatkah lembaga keuangan formal berjalan seiring dengan lembaga
keuangan "informal" dalam menggali dan menyalurkan dana kepada masyara kat? Inilah sederet
pertanyaan yang kiranya relevan untuk diajukan dalam mencari bentuk peranan perbankan (dan
lembaga keuangan lainnya) yang tepat di masa mendatang.
17 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
Manajemen Perbankan, Teori dan Aplikasi, Edisi Kedua, Mudrajad Kuncoro, Suhardjono
18 | P a g e