Anda di halaman 1dari 21

REGULASI TERKAIT DENGAN MANAJEMEN RISIKO

LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Manajemen Risiko Lembaga


Keuangan Syariah

Dosen Pengampu: M. Arif Kurniawan, M.M.

Disusun Oleh:

1. Diny Lestari (4221129)


2. Semafinda Rahmania (4221137)

KELAS B
PRODI PERBANKAN SYARIAH FAKULTAS EKONOMI DAN
BISNIS ISLAM UIN K.H. ABDDURAHMAN WAHID
PEKALONGAN
TAHUN 2024

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat karunia-
Nya sehingga kita dapat menyusun makalah yang berjudul “Regulasi terkait
dengan Manajemen Risiko Lembaga Keuangan Syariah” Ini dapat diselesaikan.
Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Manajemen Risiko
Lembaga Keuangan Syariah, Kami mengucapkan terima kasih kepada semua
Pihak yang telah ikut dalam penyusunan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini, tidak lupa kami ucapkan Terima kasih
kepada Dosen pengampu Mata Kuliah Manajemen Risiko Lembaga Keuangan
Syariah yaitu Bapak H. M. Arif Kurniawan, S.E. M.M. yang telah membimbing
kami dan mempercayai kami dalam Penulisan makalah ini. Dan terima kasih
kepada anggota kelompok atas
Kerja samanya dalam penulisan makalah ini. Dalam menyusun makalah
ini kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah Ini belum sempurna, baik dari
segi penulisan kalimat maupun tata bahasanya, serta Pengetahuan penulis yang
masih terbatas. Harapan kami, semoga makalah yang Telah kami buat ini dapat
memberikan pengetahuan yang bermanfaat bagi para Pembaca.

Pekalongan, 13 Februari 2024

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 1
C. Tujuan ......................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Alasan Ekonomi Di Balik Kontrol Regulasi Terhadap Risiko Bank ........ 3
B. Instrumen Regulasi Dan Pengawasan ....................................................... 6
C. Regulasi Dan Pengawasan Dalam Bank Syariah ...................................... 11
D. Regulasi Manajemen Risiko Bagi Bank Islam Di Indonesia .................... 15

BAB III PENUTUP


Kesimpulan ..................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA .................................................................. 18

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lembaga keuangan syariah, yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip
Islam, telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Namun,
pertumbuhan ini tidak terlepas dari risiko-risiko yang menyertainya, seperti risiko
operasional, risiko pasar, dan risiko kepatuhan syariah. Untuk memastikan
keberlangsungan dan stabilitas lembaga keuangan syariah, regulasi yang mengatur
manajemen risiko menjadi krusial. Regulasi tersebut bertujuan untuk memastikan
bahwa lembaga keuangan syariah mematuhi prinsip-prinsip syariah dalam semua
aspek operasional mereka, serta memiliki sistem manajemen risiko yang efektif
untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengelola risiko-risiko tersebut
dengan tepat.
Dengan adanya regulasi yang jelas dan diterapkan dengan konsisten,
diharapkan lembaga keuangan syariah dapat meningkatkan transparansi,
akuntabilitas, dan kepercayaan pemangku kepentingan. Selain itu, regulasi yang
baik juga membantu meningkatkan daya saing lembaga keuangan syariah di pasar
global, dengan memberikan kepastian hukum bagi para pelaku pasar dan investor.
Oleh karena itu, penelitian tentang regulasi terkait dengan manajemen risiko
lembaga keuangan syariah menjadi penting untuk memahami bagaimana regulasi
ini memengaruhi operasi dan kinerja lembaga keuangan syariah, serta
kontribusinya terhadap stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Alasan Ekonomi Di Balik Kontrol Regulasi Terhadap Risiko
Bank?
2. Bagaimana Instrumen Regulasi Dan Pengawasan?
3. Bagaimana Regulasi Dan Pengawasan Dalam Bank Syariah?
4. Bagaimana Regulasi Manajemen Risiko Bagi Bank Islam Di Indonesia?

C. Tujuan

1. Untuk Mengetahui Alasan Ekonomi Di Balik Kontrol Regulasi Terhadap


Risiko Bank.

1
2. Untuk Mengetahui Instrumen Regulasi Dan Pengawasan.
3. Untuk Mengetahui Regulasi Dan Pengawasan Dalam Bank Syariah.
4. Untuk Mengetahui Regulasi Manajemen Risiko Bagi Bank Islam Di
Indonesia.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Alasan Ekonomi Di Balik Kontrol Regulasi Terhadap Risiko Bank

Bank meningkatkan asetnya dengan mempergunakan dana pihak ketiga.


Selama tingkat pendapatan ekuitas bank masih bergantung pada jumlah akumulasi
aset, maka bank mempunyai kecenderungan untuk menggabungkan sekecil mungkin
ekuitasnya dengan sebanyak mungkin dana pihak ketiga. Dengan demikian, aset bank
akan melebihi ekuitasnya beberapa kali lipat. Jika aset jauh lebih besar dari ekuitas
maka kerugian yang kecil saja dari aset dapat mengganggu ekuitas bank, dan dapat
menyebabkan kebangkrutan serta kerugian bagi deposan. Sebagai hasil dari efek
domino dan adanya masalah dalam proses pembayaran atau penyelesaian kewajiban,
bangkrutnya satu bank kecil sekalipun, dapat menjadi sumber bagi ketidakstabilan
sistemik. Perbankan syariah juga tidak terhindarkan dari fenomena sistemik ini.
Liberalisasi, electronic banking, proses kliring dan pembayaran, bervariasinya aset
keuangan, konsolidasi keuangan dan tingginya pengaruh lembaga telah menambah
kerapuhan sistem keuangan. Perhatian utama dari standar regulasi dan pengawasan
adalah untuk memastikan stabilitas sistemik, melindungi kepentingan nasabah dan
meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem intermediasi keuangan.
Namun demikian, perubahan karakter pasar keuangan dan standar regulasi dan
pengawasan yang demikian cepat selalu menyisakan “work in progress”. Pada bagian
ini kami akan membahas perhatian regulator dan otoritas pengawas terhadap
manajemen risiko pada tingkat bank secara individual. Kami juga menghadirkan
pandangan tren pengawasan saat ini dalam mendukung permodalan bank dengan
risiko aset dan implikasinya bagi bank syariah.

1. Mengontrol Risiko Sistemik


Risiko sistemik adalah kemungkinan gagalnya bank, di mana kegagalan bank
kecil sekalipun dapat menimbulkan efek domino dan mengganggu sistem
pembayaran secara keseluruhan. Hal ini dapat memicu krisis keuangan,
menurunkan nilai aset yang ada, menghambat pertumbuhan ekonomi,
menciptakan pengangguran, menurunkan tingkat kesejahteraan, dan mengganggu
stabilitas politik dan sosial.

3
Dengan beberapa alasan, bank adalah satu-satunya lembaga yang memiliki
pengaruh dalam stabilitas sistemik ini.
a. Bank tidak hanya perusahaan bisnis, tetapi juga agen pembayaran, sistem
kliring.
b. Bank sangat rentan terhadap risiko finansial dan ketidakstabilan.
c. Campur tangan pihak regulator tidak selalu dibutuhkan, skema
perlindungan dana dan lender of the last resort dapat menimbulkan moral
hazard bagi kedua belah pihak, baik bank maupun nasabah.
d. Karena liberalisasi keuangan, kemajuan teknologi informasi, Electronic
banking dan sistem kliring, telah menyebabkan bank dapat beroperasi
lintas negara dan lintas wilayah hukum.
e. Tren merger, konsolidasi keuangan dan aktivitas lintas segmen-bank
melakukan kontrak asuransi, perusahaan asuransi melakukan aktivitas
investasi dan Investment bank memobilisasikan dan lain-lain, semua ini
dapat menyebabkan bercampurnya risiko dari berbagai segmen. Sistem
yang ada di perbankan berbeda dengan yang ada di perusahaan investasi
atau asuransi. Kegagalan bank dapat memengaruhi sistem pembayaran
secara umum. Sedangkan kegagalan pada perusahaan investasi atau
asuransi hanya berakibat pada perusahaan itu sendiri. Selain itu,
perusahaan investasi dan asuransi juga tidak mempunyai fasilitas lender of
the last resort atau skema penjaminan atau asuransi simpanan, sehingga
tidak menghadapi moral hazard dan masalah-masalah lain. Karakter aset
dari bank dengan perusahaan-perusahaan tersebut juga berbeda. Aktivitas
lintas segmen mengaburkan fungsi yang berbeda-beda ini dan mencampur-
adukkan berbagai jenis risiko, menjadikan peran regulator dan pengawas
semakin penting.
f. Sumber utama risiko sistemik adalah hubungan bank dengan perusahaan-
perusahaan pemberi pinjaman. Bank tidak hanya pemberi pinjaman, tetapi
juga sumber pinjaman.
2. Meningkatkan Kepercayaan Masyarakat dalam Pasar
Efektivitas pasar keuangan bergantung pada kepercayaan masyarakat pada
lembaga intermediasi keuangan, yang pada gilirannya bergantung pada integritas
dari lembaga ini. Kepercayaan masyarakat pada lembaga keuangan dapat
memperkuat sistem intermediasi keuangan, dan masyarakat sendiri yang pada

4
gilirannya akan merasakan keuntungan dari efisiensi dan stabilnya sistem
keuangan ini. Di antara manfaat bagi lembaga intermediasi keuangan yang perlu
lebih diperkuat dengan proses regulasi adalah sebagai berikut.
a. Dengan alasan skala ekonomi, spesialisasi dan kemampuan teknis,
intermediasi keuangan lebih cocok untuk mengevaluasi risiko pihak ketiga
dari pada investor secara individual. Oleh karena itu, lembaga intermediasi
keuangan dapat mengurangi biaya informasi, moral hazard dan selanjutnya
dapat mengurangi biaya keuangan.
b. Lembaga intermediasi keuangan dapat mengurangi mismatch antara selera
dan kebutuhan dari penabung dan investor, yaitu mismatch waktu jatuh
tempo, ukuran dana, dan likuiditas. Namun, akibat dari adanya masalah
kepercayaan, mismatch ini pun semakin meningkat, dan meningkatkan
hambatan dalam proses alokasi sumber-sumber keuangan.
c. Lembaga intermediasi keuangan lebih mampu menilai risiko dari
kesempatan investasi alternatif dibandingkan dengan individu. Namun,
karena adanya masalah kepercayaan, kelebihan ini tidak dapat
dimanfaatkan.
d. Efisiensi dalam proses transaksi sistem pembayaran adalah sangat penting
untuk mengurangi biaya transaksi. Sistem elektronik membuat proses ini
semakin efisien. Namun, rendahnya kepercayaan masyarakat pada
lembaga keuangan dapat mengurangi manfaat fasilitas pembayaran, dan
perekonomian pun menjadi tidak efisien dan kompetitif.
Untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem intermediasi
keuangan, kepentingan para deposan dan pengguna jasa keuangan lain harus
dilindungi. Para deposan khususnya, dan pengguna jasa keuangan lain pada umumnya
tidak pada posisi melindungi kepentingan mereka sendiri seperti halnya pemegang
saham bank dan perusahaan lainnya.
3. Mengontrol Risiko Moral Hazard
Beberapa kebijakan dan jaring pengaman yang diperkenalkan oleh pihak
regulator untuk menjaga integritas pasar, melindungi kepentingan nasabah, dan
menghindari risiko sistemik yang sering menjadi sumber moral hazard, baik di
pihak bank maupun nasabah.

5
Regulasi dan pengawasan juga dibutuhkan untuk melindungi jaring pengaman
ini.
a. Fasilitas lender of the last resort (LLR) dari bank sentral bertujuan untuk
melindungi bank dengan menyediakan fasilitas likuiditas pada saat krisis.
Beberapa penelitian membuktikan bahwa selama bank sentral bertugas
menyelamatkan bank, terutama bank yang “rentan terhadap kerugian”,
bank-bank tersebut cenderung tidak berhati-hati. Sebagai tambahan bagi
pengawasan regulator, sering direkomendasikan bahwa fasilitas LLR harus
disediakan dengan biaya yang tinggi dan sektor swasta harus ikut
berpartisipasi dalam mengatasi krisis dengan bertanggung jawab langsung
terhadap kerugian keuangan.
b. Penjaminan atau asuransi simpanan bertujuan untuk memberikan
perlindungan terhadap nasabah jika bank mengalami kegagalan. Ketika
para deposan tidak harus kehilangan apa pun karena simpanannya telah
mendapatkan asuransi, bank dapat melakukan aktivitas yang berisiko.
Ketika tingkat suku bunga deposito bersifat tetap, semua keuntungan yang
diperoleh menjadi milik bank, sedangkan pada saat terjadi kerugian, semua
simpanan harus dilindungi dengan berbagai cara. Ketika simpanan
dilindungi, nasabah tidak memiliki insentif apa pun untuk mengawasi
aktivitas bank. Oleh karena itu, beberapa penelitian membuktikan bahwa
ketidakstabilan keuangan lebih sering terjadi di negara-negara yang
memberikan perlindungan penuh terhadap simpanan. Efektivitas regulasi
dan pengawasan diperlukan untuk mengantisipasi atau paling tidak
meminimalisir akibat buruk dari skema jaring pengaman yang diletakkan
oleh otoritas publik.1
Tariqullah Khan dan Habib Ahmed, Manajemen Risiko Lembaga Keuangan
Syariah, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008). Hal. 87-93

B. Instrumen regulasi dan pengawasan


Regulasi lembaga keuangan pada umumnya dibagi menjadi dua, yaitu regulasi
dalam hal pelaksanaan usaha (conduct of business regulation) dan regulasi dengan

1
Tariqullah Khan dan Habib Ahmed, Manajemen Risiko Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: PT
Bumi Aksara, 2008). Hal. 87-93

6
prinsip kehati-hatian (prudential regulation). Tipe regulasi pertama dibutuhkan untuk
melindungi kepentingan nasabah. Hal ini dapat dilakukan dengan mensyaratkan bank
agar menyisihkan jumlah tertentu dari modalnya dan memastikan disklosur tentang
informasi yang relevan secara berkala. Meningkatkan kompetensi dan integritas
dalam pelayanan jasa perbankan, menjaga daya saing dan memastikan berjalannya
kontrak dengan baik. Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan serangkaian standar,
aturan dan pedoman yang seragam. Sedangkan tipe regulasi yang kedua ditujukan
untuk menciptakan pengamanan sistemik dengan memastikan kesehatan lembaga
keuangan melalui aplikasi standar dan pedoman lintas lembaga. Instrumen yang
digunakan untuk regulasi dan pengawasan lembaga keuangan dapat dibagi menjadi
tiga kategori.
a. Memastikan terpeliharanya tingkat minimum dari modal berbasis risiko (risk-
based capital).
b. Menerapkan sistem pengawasan berbasis risiko (risk-based supervision) yang
efektif.
c. Membuat disklosur informasi yang benar tentang sistem dan proses
manajemen risiko secara berkala.
1. Regulasi Risiko Modal: Standar Lama dan Baru
Modal bank merupakan sumber yang paling efektif untuk melindungi
ancaman risiko. Modal juga merupakan alat regulasi yang efektif karena standar
permodalan dapat diterapkan secara seragam di lintas lembaga dan negara. Pada
umumnya, modal adalah ekuitas pemegang saham. Modal diperlukan untuk
mendukung risiko aset dan menjaga stabilitasnya terutama dalam menghadapi krisis.
Biasanya, kecukupan modal perbankan ditentukan dengan rasio aset/modal, yaitu
leverage ratio (LR). LR tidak menutupi risiko dari berbagai macam aset. Selain itu,
LR juga tidak masuk dalam perhitungan stabilitas dana, karena jatuh temponya lebih
panjang jika dibandingkan dengan simpanan yang mempunyai potensi untuk menekan
ekuitas pemegang saham pada saat krisis. Basel Capital Accord 19884
memperkenalkan konsep pembobotan risiko atas aset dan membedakan tier-1 capital
dengan tier-2 capital Ketetapan ini mensyaratkan bank-bank yang menjalankan
bisnisnya secara internasional di negara-negara G-10 harus memelihara rasio leverage
minimal 3%, minimal 4% dari tier-1 capital terhadap aset tertimbang menurut risiko
(ATMR), dan minimal 8% dari total modal (tier-1 dan tier-2) terhadap ATMR. Pada

7
bagian ini kami akan dibahas pentingnya kualitas standar permodalan, baik yang
sudah ada maupun yang akan diusulkan.
a. Regulasi Permodalan bagi Risiko Kredit: Standar Baru
Risiko kredit sangat penting bagi bank dan menurut perspektif regulator,
Capital Accord 1988 hanya mensyaratkan modal untuk risiko kredit pada on-
balance sheet dan off-balance sheet bank. Bisnis bank adalah mengumpulkan uang
untuk dipinjamkan kembali. Karena bank harus menyalurkan dana, maka piutang
dari nasabah merupakan bagian utama dari total aset bank. Oleh karena itu,
kualitas dari aset ini tergantung dari ketepatan pembayaran yang dilakukan oleh
nasabah. Sama halnya, kegagalan sangat mungkin terjadi, tergantung pada kualitas
aset dari nasabah. Perhatian utama dari regulator adalah bahwa bank harus selalu
mewaspadai risiko kreditnya dan memelihara modal minimal untuk
mengantisipasi ketidakstabilan yang disebabkan kegagalan kredit nasabah.
b. Regulasi Permodalan bagi Risiko Kredit: New Basel Accord
Meskipun Accord 1988 hanya diterapkan untuk negara-negara G-10 dan
negara-negara OECD, tetapi hal itu telah menjadi sebuah banchmark standar bagi
penentuan kecukupan permodalan bank di seluruh dunia. Pada awalnya, Accord
1988 menyediakan kerangka sistemik bagi ketahanan modal bank terhadap risiko
aset. Sejumlah penelitian membuktikan bahwa sejak pengenalan Accord ini,
permodalan bank mengalami penguatan hampir di semua negara. Namun
demikian, dengan sejumlah alasan, Accord 1988 ini kemudian di review dan
diganti dengan New Accord sejak 2005.
c. Perlakuan terhadap Risiko Kredit dalam New Basel Accord
Dokumen konsultatif dalam New accord yang diusulkan menawarkan tiga
pendekatan untuk menentukan bobot modal bagi risiko kredit, yaitu standarized
approach, foundation IRB approach, dan advance IRB approach.
Tujuan penawaran pendekatan alternatif ini adalah untuk mendukung budaya
manajemen risiko bank dengan mensyaratkan regulasi permodalan yang lebih
rendah dari yang ada pada standar sistem manajemen risiko. Sistem manajemen
risiko bank yang ingin mengadopsi IRB Approach harus diverifikasi oleh otoritas
pengawas. Bergantung pada penilaian tersebut, bank dapat lulus dari standarized
approach untuk beralih ke foundation IRB approach dan selanjutnya ke advance
IRB approach, dengan kelebihan yang ditawarkan oleh regulasi permodalan.
d. Perlakuan Regulasi bagi Risiko Pasar

8
Sebagaimana yang telah dibahas, bahwa risiko pasar terdiri dari tingkat suku
bunga, harga komoditi, risiko nilai tukar, dan risiko harga ekuitas, yang dihadapi
oleh portofolio aset bank sebagai hasil dari posisi perdagangannya. Sebagaimana
disebutkan, Basel Accord 1988 tidak mensyaratkan modal untuk risiko-risiko ini.
Hal ini baru diberikan payung hukum sejak 1996 setelah terjadi perubahan Accord
dan perubahan tersebut berlaku efektif sejak 1998.
e. Banking Book Risiko Suku Bunga
Risiko suku bunga dari banking book¹2 adalah merujuk pada pendapatan atau
kerugian nilai aset karena perubahan suku bunga di pasar. Hal ini dianggap
sebagai risiko penting, yang membutuhkan penyisihan modal. Risiko ini berbeda
antara satu bank dengan bank yang lain d sehingga tidak mungkin menyusun
standar penyisihan modal yang seragam. Meskipun demikian, New Accord
menetapkan bahwa penyisihan modal untuk risiko ini didasarkan pada
pertimbangan otoritas pengawas dengan pilar kedua dari Accord yang
memberikan kerangka bagi proses review dalam rangka pengawasan (supervisory
review process). Pengawasan disyaratkan untuk peduli terhadap permasalahan
"outlier" bank -bank yang risiko tingkat suku bunganya dapat menurunkan nilai
aset sampai 20% atau lebih dari tier-1 capital dan tier-2 capital. Otoritas pengawas
juga harus berhati-hati dalam menilai dan mereview penilaian risiko internal bank
dan sistem manajemennya.
f. Perlakuan atas Sekuritisasi Risiko
Sejak sekuritisasi mengambil alih aset dari balance sheet bank dan
menempatkannya pada special purpose vehicle (SPV) sebagaimana yang telah
dibahas pada bab dua, maka risiko tersebut harus diatur pada balance sheet dari
dua lembaga. Telah diketahui secara luas bahwa Accord 1988 dapat memicu
arbitrase modal dengan memberikan bantuan modal atas aset-aset yang terjamin
(securitized assets), terutama mengabaikan risiko pasar dan memberikan bobot
risiko yang lebih rendah pada posisi trading book. New Accord mengakui
kelebihan sekuritisasi dan mencoba meminimalkan arbitrase modal dengan
memastikan bahwa:
1) Bank yang melakukan sekuritisasi harus mencapai clean break, yaitu
a) perpindahan aset harus dilakukan dengan jual beli yang
transparan dan legal, dan

9
b) bank tidak diperbolehkan memegang kendali apa pun terhadap
aset yang disekuritisasikan.
2) Jika bank harus bertanggung jawab atas kerugian kredit yang pertama
maka harus dilaksanakan dengan mengurangi modal.
3) Jika bank harus bertanggung jawab atas kerugian kredit yang kedua
maka posisi yang harus diperlakukan sebagai pengganti kredit secara
langsung (direct credit substitute).
g. Perlakuan atas Risiko Operasional
Risiko operasional dianggap sangat penting dalam perbankan. Hanya New
Accord yang mengusulkan penyisihan modal tertentu untuk menutupi risiko
operasional. Metode alternatif yang disarankan untuk perhitungan risiko ini
adalah:
1) Basic indicator approach (BIA),
2) Standardized approach (SA),
3) Internal management approach (IMA), dan
4) Loss distribution approach (LDA).
2. Pengawasan yang Efektif
Pengawasan bank yang efektif adalah kunci untuk mencapai efisiens dan
stabilitas keuangan. Tujuan pengawasan bank dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Tujuan utama dari pengawasan adalah menjaga stabilitas dan kepercayaan
terhadap sistem keuangan, sehingga risiko kerugian nasabah dan kreditor
lain. mengurangi risiko kerugian nasabah dan kreditor lain.
b. menekankan good corporate governance (melalui struktur yang tepat dan
membentuk pertanggungjawaban dewan direksi dan senior manajemen
bank) dan meningkatkan transparansi pasar.
c. Dalam rangka menjalankan tugas secara efektif, otoritas pengawas harus
bersifat independen.
d. Otoritas pengawas harus memahami karakter bisnis yang dijalankan oleh
bank dan memastikan bahwa kemungkinan risiko yang ditanggung bank
telah dikelola dengan baik.
e. Pengawasan bank yang efektif mensyaratkan bahwa profil risiko bank
telah dinilai dan sumber-sumber pengawasan telah dialokasikan.

10
f. Otoritas pengawas harus memastikan bahwa bank mempunyai sumber-
sumber yang tepat untuk menanggung risiko, termasuk kecukupan modal,
kesehatan manajemen, serta sistem kontrol dan akuntansi yang efektif.
g. Perlu dijalin hubungan yang harmonis dengan otoritas pengawas
memastikan yang lain, terutama jika bank beroperasi lintas negara.

Pengawasan bank yang efektif memastikan bahwa fungsi bank berjalan


dengan aman dan sehat, sehingga stabilitas sistem keuangan dapat dipercaya oleh
nasabah dan investor. Hal ini pada gilirannya Akan mampu menghilangkan hambatan
yang dihadapi oleh sistem keuangan dan meningkatkan jumlah transaksi. 2

C. Regulasi Dan Pengawasan Dalam Bank Syariah


Tidak ada perdebatan lagi bahwa sistem manajemen risiko pada perbankan syariah
harus sesuai dengan standar internasional. Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya,
bahwa beberapa risiko yang dihadapi oleh bank syariah berbeda dengan yang ada pada
bank konvensional. Dengan demikian, beberapa standar internasional untuk bank
konvensional mungkin tidak relevan dengan bank syariah akibat adanya perbedaan
karakteristik. Efektivitas pengawasan bagi bank syariah membutuhkan pendalaman
terhadap risiko yang dihadapinya,dan perlu formulasi pedoman yang sesuai. Chapra dan
Khan (2000)telah melakukan survei tentang pengawasan dan regulasi bank
syariah.Beberapa poin penting dari survei tersebut akan dibahas di sini.
1) Relevansi Standar Internasional bagi Bank Syariah
a. Dokumen yang memuat prinsip-prinsip dasar dalam New Basel Menentukan
prakondisi bagi efektivitas pengawasan bank. Selain Prakondisi ini, ada juga
beberapa prakondisi lain yang secara khusus dibuat bagi efektivitas pengawasan
bank syariah. Salah Satu prakondisi tersebut telah dipenuhi oleh otoritas pengawas
dan regulator bank. Seperti area pelayanan (leveled playing field), fasilitas perizinan,
fasilitas lender of the last resort, perangkat hukum,pengawasan syariah, dan lain-
lain. Adapun prakondisi yang laintelah dipenuhi oleh bank syariah sendiri. Seperti
pengembanganinstrumen pasar antarbank, penyelesaian beberapa masalah
yangberkaitan dengan fiqh, pengembangan mekanisme kontrol internal dan sistem
manajemen risiko, dan lain-lain.

2
Tariqullah Khan dan Habib Ahmed, Manajemen Risiko Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: PT
Bumi Aksara, 2008). Hal. 94-122

11
b. Prinsip-prinsip dasar bagi efektivitas pengawasan perbankan,disklosur dan
transparansi adalah sama pentingnya bagi bank syariah. Karena adanya sistem
berbagi risiko, bank syariah membutuhkan pengawasan yang lebih efektif dan
transparan.
c. Sulitnya penerapan standar internasional bagi bank syariah terletak pada standar
kecukupan modal. Pertama, berkaitan dengan sistem berbagi risiko pada model
pembiayaannya, bank syariah membutuhkan modal lebih besar dibandingkan dengan
bank konvensional. Kedua, harus ada pemisahan ketentuan permodalan antara
rekening deposito dan tabungan. Ketiga, keharusan bagi bank syariah untuk
mengadopsi standar internasional berdampak pada kebutuhan untuk membentuk
dewan pengawas jasa keuangan syariah. Terakhir, sistem penilaian risiko seperti
CAM-ELS21 masih relevan bagi bank syariah dan dapat diadopsi tanpa kesulitan
yang cukup berarti.
d. Beberapa kelebihan dari pendekatan berdasarkan rating internal(IRB Approach)
sebagaimana yang dibahas pada bab sebelumnya yg relevan bagi bank syariah.
Pertama, pendekatan ini menggunakan pemetaan profil risiko dari tiap aset secara
tersendiri. Selama model pembiayaan syariah tetap bervariasi, IRB Approach akan
lebih sesuai dengan model pembiayaan ini daripada Standardised Approach.
Kedua,IRB Approach dapat menunjang disclosure risiko aktual bank dengan
ketentuan permodalannya. Hal ini berlaku juga pada bank syariah. Ketiga, IRB
Approach diharapkan dapat memotivasi bank untuk mengembangkan budaya
manajemen risiko dan menekan risiko pada industri perbankan serta meningkatkan
stabilitas dan efisiensi. Keempat, bank syariah diharapkan dapat memberikan data
dan informasi yang dapat dipercaya dan dapat meningkatkan transparansi. Kelima,
benchmark yang akan digunakan adalah penilaian kredit eksternal sehingga benar-
benar menggabungkan antara informasi internal dan eksternal untuk mengungkap
data yang dapat dipercaya. Hal ini penting karena penilaian kredit eksternal mungkin
tidak mempunyai informasi yang benar-benar dapat dipercaya sebagaimana yang
ada dalam sistem rating internal, dan bisa saja sistem rating internal kurang objektif
dibanding rating eksternal. Penggunaan informasi ini bersama-sama dengan
manajemen risiko,dapat menjadi instrumen dalam mengontrol moral hazard dan
capital arbitrage kebutuhan

12
2) Pengawasan Bank Syariah yang Baru
Hampir semua bank syariah berada di negara-negara anggota IDB. Studi Yang telah
disebutkan diatas mengidentifikasi sejumlah permasalahan yang berkaitan dengan
pengawasan bank syariah saat ini.
a) Pertumbuhan negara-negara ini masih dalam proses untuk mengadopsi dan
mengimplementasikan standar internasional sbr yang bernama Core Principles,
ketentuan permodalan minimum dan standar akuntansi internasional. Dalam
mengaplikasikan metodologi risiko tertimbang pada bank syariah, terdapat beberapa
kesulitan akibat beragamnya model pembiayaan syariah.Kepatuhan terhadap standar
Accounting & Auditing Organization for Islamic Financial Institution (AAOIFI) juga
belum dapat sepenuhnya direalisasikan. Hanya Bahrain dan Sudan yang sudah
mengadopsi standar ini.
b) Beberapa negara seperti Iran, Pakistan, dan Sudan melaksanakan program reformasi
di sektor keuangan. Memperkuat permodalan bank adalah bagian penting dari
program ini. Bagi bank syariah yang berskala kecil, beberapa negara menyarankan
program merger untuk memperkuat basis permodalan.
c) Beberapa negara yang memiliki bank syariah, telah memberlakukan sistem
pengawasan langsung (off-site) dan tidak langsung (on-site). Sistem penilaian risiko
yang terkenal dalam pengawasan langsung adalah CAMELS, yang juga dipakai di
sejumlah negara. Secara umum bank syariah masih menggunakan sistem pengawasan
yang dipakai oleh bank komersial internasional. Di beberapa negara, perangkat
hukum khusus telah diperkenalkan untuk memfasilitasi perbankan syariah, sedangkan
di negara lain yang tidak ada, bank syariah beroperasi dengan petunjuk dari bank
sentral.
d) Hampir di semua negara di mana bank syariah beroperasi, fungsi bank komersial
terpisah dari perusahaan asuransi dan sekuritas, dan otoritas pengawasnya juga
terpisah. Kecuali Malaysia, bank dan perusahaan asuransi diawasi oleh bank sentral.
Tren global cenderung lebih memilih konsep universal banking dengan pengawasan
tunggal. Selain itu, bank-bank komersial di negara- negara ini juga diawasi oleh bank
sentral. Bagaimanapun, tren yang berkembang saat ini adalah adanya pemisahan
antara kebijakan moneter makro ekonomi dengan perhatian mikro- ekonomi, seperti
masalah kesehatan bank. Sebagai hasil dari adanya pemisahan ini, pengawasan bank
juga terpisah dari kebijakan moneter dan menjadi tanggung jawab otoritas khusus.

13
Pada kasus pemisahan otoritas pengawas bagi bank dan lembaga keuangan non bank,
koordinasi antara otoritas sangat dibutuhkan.
e) Beberapa negara membolehkan bank konvensional membuka unit usaha syariah,
sedangkan yang lain tidak membolehkan.
f) Bank swasta mempunyai dewan pengawas syariah sendiri. Di Malaysia, Pakistan, dan
Sudan, bank sentral mempunyai dewan syariah yang terpusat. Di Pakistan,
Departemen Agama dan Dewan Syariah Negara ditugaskan untuk mereview semua
undang- undang dalam sudut pandangan syariah. Dewan Syariah Negara telah
menetapkan bahwa bunga adalah bentuk dari riba yang diharamkan.
g) Sejumlah karakteristik dari bank syariah mensyaratkan bahwa standar internasional
yang ada harus dapat diterapkan bagi efektivitas pengawasan bank syariah.
Karakteristik berbagi risiko dari rekening investasi (deposito), risiko dari berbagai
produk, ketersediaan instrumen manajemen risiko, adanya dukungan lembaga lain
seperti fasilitas lender of the last resort dan perlindungan dana merupakan faktor-
faktor penting bagi keberlangsungan bank syariah.
3) Risiko Sistemik dalam Bank Syariah
Adanya transmisi dan pencampuran risiko antarsegmen dari industri jasa
keuangan yang berbeda, dapat menjadi sumber ketidaktepatan identifikasi risiko dan
kurang efektifnya mitigasi yang dilakukan. Tiap segmen dari industri jasa keuangan
mempunyai jenis-jenis risiko yang spesifik. Sebagai contoh, industri asuransi pada
umumnya berhubungan dengan risiko-risiko yang bersifat jangka panjang. Sedangkan
di sisi lain, bank sangat mahir dalam mengelola risiko jangka pendek. Banking book
dari bank meliputi risiko-risiko yang berhubungan dengan para deposan. Sedangkan
aktivitas trading book dan manajer investasi menanggung risiko preferensi para
investor. Spesialisasi lembaga keuangan dalam jenis-jenis risiko yang berbeda ini
dapat meningkatkan efisiensi dalam mengidentifikasi dan memitigasi berbagai jenis
risiko. Perpindahan risiko lintas segmen dapat menyebabkan bercampurnya risiko-
risiko tersebut, menimbulkan perbedaan profil risiko dari berbagai macam pengguna
jasa keuangan, dan dapat melemahkan kepercayaan nasabah dalam sistem
intermediasi keuangan secara keseluruhan. Hal ini dapat memicu tidak efisiennya
makro ekonomi dan ketidakstabilan sistemik. Beberapa regulator mencoba
menghentikan transmisi risiko-risiko ini, baik dengan cara mencegah aktivitas lintas
segmen atau dengan cara menetapkan permodalan dan batasan-batasan yang terpisah
antara risiko aktivitas bank dalam sektor yang berbeda.

14
D. Regulasi manajemen risiko bagi bank Islam di Indonesia

Sebagai regulator, Bank Indonesia (BI) sangat berkepentingan dalam


memastikan bahwa seluruh bank Islam yang beroperasi harus prudent dan bisa
mengelola risiko yang dihadapi dengan baik. Hal ini sejalan sasaran yang ingin
dicapai dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API), yakni menciptakan industri
perbankan yang kuat dan memiliki daya saing yang tinggi serta memiliki ketahanan
dalam menghadapi risiko. Belajar dari krisis perbankan 1997-1999, memasuki 2003
manajemen risiko menjadi perhatian yang sangat serius di Indonesia.

Keluarnya Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 5/8/PBI/2003 merupakan


wujud keseriusan Bank Indonesia dalam masalah manajemen risiko perbankan.
Keseriusan tersebut lebih dipertegas lagi dengan dikeluarkannya PBI Nomor
7/25/PBI/2005. Melalui PBI ini, seluruh pejabat bank dari tingkat terendah hingga
tertinggi diharuskan memiliki sertifikasi manajemen risiko sesuai dengan tingkat
jabatannya. Untuk mendukung pelaksanaan tata kelola bank yang baik, pada 2006, BI
mengeluarkan PBI Nomor 8/4/PBI/2006 dan PBI Nomor 8/14/PBI/2006. Salah satu
syarat terwujudnya tata kelola yang baik adalah penerapan manajemen risiko dalam
rangka melindungi kepentingan pemangku kepentingan. Dengan demikian, sudah
menjadi kewajiban bagi perbankan untuk mengembangkan serangkaian prosedur dan
metodologi untuk mengidentifikasi risiko yang timbul dari kegiatan usaha bank.

Sebelum PBI Nomor 13/23/PBI/2011 diterbitkan, bank Islam mengikuti PBI


nomor 5/8/PBI/2003 dan PBI Nomor 11/25/PBI/2009 dalam menerapkan manajemen
risiko. Adanya perbedaan yang mendasar dalam kegiatan usahanya dengan bank
konvensional, penerapan manajemen risiko pada bank Islam harus disesuaikan dengan
tujuan, kebijakan usaha, ukuran, dan kompleksitas usaha serta kemampuan dari bank
Islam. Dengan dasar inilah maka muncul PBI Nomor 13/23/PBI/2011. Sebagaimana
PBI Nomor 11/25/PBI/2009, PBI Nomor 12/23/PBI/2011 juga mengadopsi aturan
umum Basel II dalam penyelenggaraan manajemen risiko di perbankan. Selain itu,
PBI ini juga mendasarkan peraturan pengelolaan risiko bank Islam dari IFSB.

Mengikuti IFSB, dalam PBI Nomor 13/23/PBI/2011, terdapat penambahan


dua risiko yang khusus dihadapi oleh bank Islam, yaitu risiko investasi dan risiko
imbal hasil. Meskipun belum dipersyaratkan untuk diperhitungkan dalam penilaian
risiko (risk profile), bank Islam sudah diminta untuk memperhitungkan besarnya

15
modal untuk pengelolaan kedua risiko tersebut. Bank Islam hanya diminta
menghitung berapa dana yang harus dicadangkan dalam modal, meskipun tidak
memengaruhi perhitungan rasio kecukupan modal bank (CAR). Permintaan ini
merupakan sarana agar bank Islam sadar dan mulai menaruh perhatian terhadap kedua
risiko yang sangat spesifik dialami bank dan mulai memikirkan strategi bagaimana
mengantisipasinya. Mengingat bahwa penilaian kedua risiko tersebut dalam profil
risiko mulai diberlakukan pada 2015.

Hal lain yang diatur dalam PBI Nomor 13/23/PBI/2011 adalah evaluasi
kebijakan manajemen risiko. Dewan komisaris diberikan mandat untuk melakukan
evaluasi pelaksanaan kebijakan manajemen risiko oleh manajemen. Evaluasi ini
minimal dilakukan sekali dalam setahun atau lebih jika terdapat perubahan signifikan
atas berbagai faktor yang memengaruhi kegiatan usaha bank. Sedangkan terkait
pemenuhan prinsip syariah, evaluasi ini dilakukan oleh DPS.

Dalam kebijakan dan strategi manajemen risiko, BI menyarankan adanya


penetapan dan persetujuan limit risiko yaitu risiko secara keseluruhan (composite),
per jenis risiko, maupun per aktivitas fungsional. Sedangkan pelaksanaan kebijakan
manajemen risiko menjadi tanggung jawab direksi. Mereka bertanggung jawab untuk
mengevaluasi dan memberikan arahan berdasarkan laporan yang disampaikan oleh
satuan kerja manajemen risiko dan menyampaikan laporan pertanggungjawaban
kepada dewan komisaris secara triwulanan. Kebijakan manajemen risiko ditetapkan,
antara lain, dengan cara menyusun strategi untuk memastikan bank tetap
mempertahankan eksposur risiko sesuai dengan kebijakan, prosedur internal, dan
peraturan perundang-undangan serta ketentuan lain yang berlaku. Penyusunan strategi
manajemen risiko dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi keuangan bank,
organisasi bank, dan risiko yang timbul sebagai akibat perubahan faktor internal dan
eksternal. Bank harus dikelola oleh sumber daya manusia yang mumpuni, memiliki
pengetahuan, pengalaman, dan keahlian di bidang manajemen risiko sesuai
kompleksitas usaha bank.

16
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Bank meningkatkan asetnya dengan mempergunakan dana pihak ketiga.


Selama tingkat pendapatan ekuitas bank masih bergantung pada jumlah akumulasi
aset, maka bank mempunyai kecenderungan untuk menggabungkan sekecil mungkin
ekuitasnya dengan sebanyak mungkin dana pihak ketiga. Pengawasan bank yang
efektif memastikan bahwa fungsi bank berjalan dengan aman dan sehat, sehingga
stabilitas sistem keuangan dapat dipercaya oleh nasabah dan investor. Hal ini pada
gilirannya Akan mampu menghilangkan hambatan yang dihadapi oleh sistem
keuangan dan meningkatkan jumlah transaksi. beberapa standar internasional untuk
bank konvensional mungkin tidak relevan dengan bank syariah akibat adanya
perbedaan karakteristik. Efektivitas pengawasan bagi bank syariah membutuhkan
pendalaman terhadap risiko yang dihadapinya,dan perlu formulasi pedoman yang
sesuai. Sebagai regulator, Bank Indonesia (BI) sangat berkepentingan dalam
memastikan bahwa seluruh bank Islam yang beroperasi harus prudent dan bisa
mengelola risiko yang dihadapi dengan baik. Hal ini sejalan sasaran yang ingin
dicapai dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API), yakni menciptakan industri
perbankan yang kuat dan memiliki daya saing yang tinggi serta memiliki ketahanan
dalam menghadapi risiko. Belajar dari krisis perbankan 1997-1999, memasuki 2003
manajemen risiko menjadi perhatian yang sangat serius di Indonesia.

17
DAFTAR PUSTAKA

Wahyudi, Imam, dkk., (2013). Manajemen Risiko Bank Islam, Jakarta: Salemba
Empat.

Khan, Tariqullah dan Habib Ahmed, (2008). Manajemen Risiko Lembaga Keuangan
Syariah, Jakarta: PT Bumi Aksara.

18

Anda mungkin juga menyukai