Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

“Kebijakan Moneter”
DOSEN PENGAMPU : Dr. FITRAWATY S.Pd.,M.Si

Oleh:
Kelompok 7

Dinda Syahdaini (7212141003)


Farabilla Tri Windari (7211141011)
Maya Tanjung (7213341023)
Ulfah Nabilah Manurung (7211141003)

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN EKONOMI


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
MARET 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “kebijakan moneter”. Makalah ini disusun
untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Ekonomi Moneter . Selain itu, makalah juga bertujuan
untuk menambah wawasan tentang bagaimana kebijakan moneter.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. FITRAWATY S.Pd.,M.Si. selaku
Dosen pengampu, dan ucapan terima kasih disampaikan juga kepada semua pihak yang telah
membantu diselesaikannya makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan
kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata penulis
ucapkan terima kasih.

Medan,21 Maret 2023

Kelompok 7

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................................iii
BAB I.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.....................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................1
1.3 Tujuan...............................................................................................................................1
BAB II.......................................................................................................................................2
PEMBAHASAN.......................................................................................................................2
2.1 Definisi.............................................................................................................................2
2.2 Perlukah Kebijakan Moneter............................................................................................3
2.3 Perdebatan Tentang: Rules vs Discretion.........................................................................4
2.4 perbedatan: Monetarist vs Keynesians.............................................................................7
2.5 Kerangka kerja Kebijakan Moneter..................................................................................8
2.6 Koordinasi Kebijakan Moneter dan Fiskal.....................................................................11
2.7 Operasi Kebijakan Moneter Bank Indonesia..................................................................14
BAB III....................................................................................................................................16
PENUTUP...............................................................................................................................16
3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................16
3.2 Saran...............................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................16

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kebijakan moneter adalah satu kebijakan yang bertujuan untuk mencapai
keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi, stabilitas harga, pemerataan
pembangunan) dan keseimbangan eksternal (keseimbangan neraca pembayaran) demi
tercapainya tujuan ekonomi makro. Stabilisasi ekonomi dapat diukur dengan kesempatan
kerja, kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang. Apabila
kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka kebijakan moneter dapat dipakai
untuk memulihkan (tindakan stabilisasi).
latar belakang umum yang mendorong penggunaan kebijakan moneter antara lain: (1)
Inflasi tinggi: Kebijakan moneter seringkali digunakan untuk menekan inflasi yang tinggi.
Bank sentral dapat menaikkan suku bunga untuk mengurangi jumlah uang yang beredar di
masyarakat dan mengendalikan inflasi,(2)Pertumbuhan ekonomi yang lambat: Kebijakan
moneter juga dapat digunakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Bank sentral dapat
menurunkan suku bunga untuk merangsang investasi dan konsumsi yang kemudian akan
meningkatkan permintaan dan pertumbuhan ekonomi,(3)Krisis keuangan: Kebijakan moneter
dapat digunakan untuk mengatasi krisis keuangan. Bank sentral dapat memberikan likuiditas
yang cukup dan menurunkan suku bunga untuk mendorong investasi dan stabilisasi pasar
keuangan,(4)Fluktuasi nilai tukar: Kebijakan moneter juga dapat digunakan untuk
mengendalikan fluktuasi nilai tukar mata uang. Bank sentral dapat membeli atau menjual
mata uang untuk menjaga nilai tukar agar tetap stabil. Dalam praktiknya, kebijakan moneter
dilakukan dengan menggunakan instrumen-instrumen seperti suku bunga, jumlah uang
beredar, cadangan bank sentral, dan operasi pasar terbuka. Tujuan akhir dari kebijakan
moneter adalah untuk menciptakan kondisi ekonomi yang stabil dan sehat bagi masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan definisi kebijakan moneter?
2. Perlukah kebijakan moneter?
3. Bagaimana perdebatan tentang rules vs discreation dalam kebijakan moneter?
4. Bagaimana perdebatan monetarist vs Keynesians?
5. Mengidentifikasi kerangka kebijakan moneter!
6. Bagaimana koordinasi kebijakan moneter dan fiscal?
7. Mengidentifikasi kebijakan moneter Bank Indonesia!
1.3 Tujuan
1. Mengetahui maksud dari definisi kebijakan moneter
2. Melihat seberapa perlu kebijakan moneter tersebut
3. Mengetahui perdebatan tentang rules vs discreation dalam sebuah kebijakan moneter
4. Mengetahui perdebatan monetarist vs Keynesians
5. Memahami kerangka dari sebuah kebijakan moneter
6. Mengetahui bagaimana koordinasi kebijakan moneter dan fiscal
7. Memahami kebijakan moneter Bank Indonesia

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Secara umum,kebijakan moneter adalah proses yang dilakukan oleh otoritas moneter
(bank sentral) suatu negara dalam mengontrol atau mengendalikan jumlah uang beredar
(JUB) melalui pendekatan kuantitas dan/atau pendekatan tingkat suku bunga yang bertujuan
untuk mendorong stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, sudah termasuk didalamnya stabilitas
harga dan tingkat pengangguran yang rendah.
Definisi tersebut sejalan dengan yang dikemukan oleh Litteboy and Taylor (2006:198)
bahwa kebijakan moneter merupakan upaya atau tindakan Bank Sentral dalam memengaruhi
perkembangan Gmoneter (jurlah uang beredar, suku bunga, kredit dan nilai tukar) untuk
mencapai tujuan ekonomi tertentu yang meliputi: pertumbuhan ekonomi, stabilitas mata uang
dan keseimbangan eksternal serta perluasan kesempatan kerja. Para ekonom meyakini bahwa
melalui tekebijakan moneternya, Bank Sentral dapat mengontrol JUB.Secara khusus, Pasal
(1) Ayat 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank
Indonesia (BI) yang kemudian diamandemen menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004
Tentang Bank Indonesia menyatakan bahwa: Kebijakan moneter adalah kebijakan yang
diterapkan dan dilaksanakan oleh Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara kestabilan
rupiah yang dilakukan antara lain melalui pengendalian uang beredar dan/atau suku bunga.
Dari definisi yang terakhir, BI sebagai bank sentral di Indonesia dalam operasi kebijakan
moneternya bisa menggunakan pendekatan kuantitas atau pendekatan suku bunga/harga.
Pilihan mengenai pendekatan apa yang akan digunakan sangat tergantung pada efektivitas di
antara kedua pendekatan tersebut dan sifat dari tujuan akhir kebijakan moneter, apakah
bertujuan jamak (ganda) ata tunggal (single).
Kebijakan moneter yang bertujuan ganda atau jamak adalah kebijakan moneter yang
tujuan akhirnya lebih dari satu sebagaimana yang dijelaskan oleh Mishkin (2004: 411) bahwa
sebagai bagian integral dari kebijakan makro ekonomi, maka kebijakan moneter adalah untuk
membantu mencapai sasaran-sasaran kebijakan makroekonomi, yakni: (1) memperluas
kesempatan kerja (high employment), (2) meningkatkan pertumbuhan ekonomi (economic
growth), (3) stabilitas harga (price stability), (4) stabiitas tingkat suku bunga (interest rate
stability), (5) stabilitas pasar uang (stability of financial market) dan, (6) stabilitas pasar
valuta asing (stability in foreg exchange markets).
Jika pemerintah atau bank sentral suatu negara menganut atau memilih kebijakan
moneter bertujuan jamak/ganda, maka ke-enam sasaran tersebut di atas merupakan tujuan
atau sasaran akhir kebijakan moneter. Artinya, peran kebijakan moneter tidak hanya untuk
mencapai kestabilan harga, akan tetapi juga harus memperhatikan tujuan yang lainnya.
Dengan kata lain sasaran kebijakan moneternya menjadi bertujuan ganda dan bank sentral
menjadi bagian tak terpisahkan dari penyelenggaraan pemerintahan (Alamsyah dan
Masyhuri, 2003). Idealnya, semua sasaran akhir kebijakan moneter harus dapat dicapai secara
bersamaan dan berkelanjutan. Namun, pengalaman di banyak negara termasuk di Indonesia
menunjukkan bahwa hal yang dimaksud sulit dicapai, bahkan ada kecenderungan saling

2
melemahkan(kontradiktif)antara satu tujuan dengan yang lainnya. Misalnya kebijakan
moneter yang ditujukan mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi seringkali
kontradiktif dengan kebijakan moneter yang ditujukan untuk mencapai stabilitas harga
Kebijakan moneter yang ditujukan mendorong pertumbuhan ekonomi dan perluasan
kesempatan lebih bersifat ekspansif, sedangkan kebijakan moneter yang ditujukan untuk
mencapai stabilitas harga lebih bersifat kontraktif.

Dari Gambar diatas terlihat bahwa dari titik B ke C perekonomian dalam kondisi
resesi sehingga kebijakan moneter harus ekspansif agar supaya mempercepat pemulihan
(recovery). Sedangkan dari tik C ke D perekonomian dalam kondisi boom sehingga kebijakan
moneter harus kontraktif untuk menghindari pemanasan ekonomi (verheating). Kebijakan
moneter ini disebut counter-cyclical monetary policy dengan tujuan untuk mengarahkan
pertumbuhan ekonomi berada pada frend-nya (Utari, 2014).
2.2 Perlukah Kebijakan Moneter
Pertanyaan yang sering muncul, perlukah kebijakan moneter?
Jawaban tentang perlu tidaknya implementasi kebijakan moneter berkaitan dengan fakta
bahwa perekonomian suatu negara tidak pernah berkembang dalam suatu pola yang datar.
Sebagaimana pada Gambar 5.1 perkembangan ekonomi mengalami pasang surut (siklus).
Pada periode tertentu tumbuh pesat (booming) dalam beberapa tahun), tetapi pada periode
tertentu lain ekonomi tumbuh lambat, diikuti olel, resesi yang berkepanjangan. Untuk alasan
itu, maka pemerintah dan atau otoritas moneter (Bank Sentral) melakukan kebijakan
stabilisasi ekonomi makro agar perekonomian dapat tumbuh berkesinambungan. Intinya,
tercapainya stabilitas makro ekonomi (stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi, tersedianya
lapangan kerja)

Jawaban ekonom terhadap pertanyaan tersebut sangat beragam. Misalnya William et al dalam
Mankiw (2003.371) berpandangan bahwa perekonomian suatu negara tidak stabil secara
inheren. Perekonomian sering kali mengalami guncangan dalam permintaan dan penawaran
agregat. Oleh karenanya pemerintah dan otoritas moneter (bank sentral) seharusnya
mengimplementasikan kebijakan moneternya untuk menstabilkan siklus dunia usaha tersebut.
Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Warjiyo (2004a:16) bahwa kebijakan moneter
seharusnya digunakan untuk mendorong perekonomian ketika mengalami resesi dan
themperlambat perekonomian ketika terjadi perkembangan yang pesat atau terjadi pemanasan
ekonomi.

3
Sebaliknya, kelompok ekonom lainnya, misalnya "Libertarian" yang menempatkan
kebebasan individu di atas segalanya, dan meyakini bahwa intervensi pemerintah dalam
bentuk apapun merupakan ancaman bagi kebebasan individu menolak adany intervensi
pemerintah atau bank sentral. Penolakan terhadap Keynesians diwakili oleh Hayek (1899-
1992) sebagai pejuang par bebas dan penentang campur tangan pemerintah dan penganjur pas
bebas. Dia menegaskan bahwa pilihan individu, dan bukan pembuatan keputusan pemerintah
akan menghasilkan manfaat ekonomi (lebih efisien) dan manfaat non-ekonomi (Pressman,
2002:167).
Di samping itu ada juga kelompok lain yang berpendapat bahwa perekonomian adalah
stabil secara alami, mereka menyalahkan kebijakan ekonomi yang buruk karena dapat
menimbulkan fluktuas dan inefisiensi. Mereka juga berpendapat bahwa pembuat kebijakan
seharusnya tidak berusaha "menyetel" perekonomian. Untuk alasan itu, mereka berpendapat
bahwa akan lebih baik jika para pembuat kebijakan menyadari keterbatasan kebijakan
moneter dan merasa puas jika mereka tidak melakukan kebijakan moneter yang dapat
merugikan perekonomian (Mankiw, 2003:372)
Perdebatan tentang perlu tidak kebijakan moneter telah berlangsung lama dan masing-
masing pihak mengemukakan argumen untuk menegaskan posisi masing-masing pihak.
Lebih lanjut Friedman dalam Al Arif dan Tohari (2006) menyatakan bahwa kebijakan
moneter masih diperlukan, tapi pelaksanaannya harus mengacu pada posisi di mana suatu
perekonomian dalam siklus dunia usaha. Kebijakan moneter yang diterapkan pada
perekonomian yang mengalami masa booming, tentu harus berbeda dengan kebijakan
moneter yang diterapkan pada perekonomian yang mengalami resesi. Bank sentral dapat
memperpendek masa periode resesi dengan melakukan kebijakan moneter yang ekspansif,
sehingga perekonomian dapat pulih kembali (recovery). Sebaliknya, dalam kondisi
perekonomian yang mengalami pemanasan, bank sentral dapat menghindarinya dengan cara
menjalankan kebijakan moneter yang kontraktif. Artinya, kebijakan moneter sangat
diperlukan dan implementasinya harus mempertimbangkan siklus dunia usaha dan pembuat
kebijakan harus aktif, khususnya bila perekonomian mengalami resesi.

Mengacu pada jawaban-jawaban tersebut, penulis berpendapat bahwa implementasi


kebijakan moneter sangat diperlukan untuk merespons siklus dunia usaha, tetapi otoritas
moneter (bank sentral) harus menerapkan prinsif kehati-hatian. Artinya para pembuat
kebijakan harus mampu mengidentifikasi posisi perekonomian dalam uklus dunia usaha dan
menentukan kapan waktu yang tepat untuk menerapkan kebijakan moneter. Sehingga
pelaksanaan kebijakan moneter efektif mewujudkan tujuan akhirnya. Artinya, pemetaan
tentang efektivitas mekanisme transmisi kebijakan moneter menjadi sangat penting,
khususnya bagi BI yang telah diberikan kewenangan penuh untuk merumuskan dan
menjalankan kebijakan moneter.

2.3 Perdebatan Tentang: Rules vs Discretion


Perdebatan atau kontroversi tentang tugas yang harus dibebankan kepada kebijakan
moneter sudah berlangsung lama. Kontroversi tersebut bermula dari perbedaan cara pandang
atau paradigma di antara aliran Klasik mengenai penentuan inflasi (melalui teori Kuantitas
Uang yaitu: MV=PT) dan aliran Keynesians mengenai penentuan output melalui model IS-

4
LM. Kedua aliran ini berbeda dalam hal harga atau inflasi. Aliran Klasik menganggap bahwa
perkembangan harga sangat fleksibel dan inflasi terjadi hanya karena bertambahnya JUB.
Untuk alasan itu, maka kebijakan moneter harus dilaksanakan secara ketat mengikuti suatu
aturan (rule) yang secara konsisten diikuti. Misalnya, jika bank sentral ingin menjaga inflasi
pada tingkat 5% pertahun, maka bank sentral harus menjaga pertumbuhan JUB sebesar 5%
pertahun.
Sebaliknya aliran Keynesians berpandangan dan menganggap bahwa perkembangan
harga sangat kaku (rigid) dan inflasi terjadi bukan karena bertambahnya jumlah uang
melebihi jumlah barang, tapi lebih disebabkan karena adanya ketidakseimbangan antara
permintaan dan penawaran (Alamsyah dan Masyhuri, 2003). Untuk alasan itu, kebijakan
moneter diarahkan untuk menjamin terjadinya keseimbangan antara sisi permintaan dan
penawaran, oleh karena itu kebijakan moneter harus dijalankan secara bijaksana (discretion)
sesuai dengan perkembangan yang ada.
Perbedaan di antara kedua aliran tersebut mendekati titik temubahwa pengaruh JUB
terhadap pertumbuhan ekonomi (output) hanya berlaku dalam jangka pendek. Tapi dalam
jangka panjang uang tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi (uang bersifat
netral). Kalaupun dipaksakan maka kenaikan JUB akhirnya hanya akan mendorong kenaikan
harga (inflasi).
Pertanyaan yang patut diajukan adalah apakah implementasi kebijakan moneter akan
menggunakan rules atau discretion? Jawaban terhadap pertanyaan tersebut dapat disimak
pada uraian berikut Dalam pendekatan rules (rules-base policy), maka implementasi
kebijakan moneter mengacu pada suatu aturan baku yang diumumkan kepada publik yang
merupakan komitmen bank sentral untuk mencapai target nominal tertentu atau dilakukan
dengan cara merespons kondisi yang sedang dihadapi yang telah diperhitungkan pada saat
perumusan kebijakan.
Taylor (1996) menjelaskan bahwa perilaku pendekatan rules- base policy adalah
sistematis. Artinya pendekatan rules-base policy berdasarkan metodologi dan perencanan,
bukan berdasarkan langkah yang bersifat kasual dan acak. Salah satu contoh rules adalah
proposal yang diajukan oleh Friedman dalam Bernanke et al., (1999:5) yang menganjurkan
agar kebijakan moneter didasarkan pada pertumbuhan jumlah uang beredar yang konstan (the
constant-money-growth rule).
Sedangkan, pada pendekatan discretion (discretion base-policy) mengacu pada
evaluasi dari waktu ke waktu yang memperhitungkan kondisi yang sedang berlangsung dan
menganggap perkembangan serta kebijakan masa lalu sebagai sesuatu yang tidak relevan.
Mankiw (2003:381) menyatakan bahwa dalam pendekatan discretion, para pembuat
kebijakan moneter bebas membuat penilaian terhadap berbagai peristiwa yang terjadi dan
memilih kebijakan apapun yang tepat pada saat itu. Artinya, dengan pendekatan discretion
otoritas moneter memiliki kebebasan dalam menjalankan kebijakan moneter sesuai dengan
kondisi aktual yang dihadapi oleh suatu perekonomian

Para ekonom yang mendukung pendekatan discretion mengacu pada pandangan


bahwa terdapat ketidakpastian (uncertainty) dalam manajemen moneter, khususnya

5
ketidakpastian dalam transmisi kebijakan moneter yang meliputi: parameter uncertainty, lag
uncertainty, and uncertainty about the nature of the shock. Apabila respon kebijakan moneter
diserahkan pada suatu rules, maka akan bersifat mekanis dan tidak produktif bagi
perekonomian.
Setelah melalui perdebatan panjang mengenai pilihan terhadap kedua pola
pelaksanaan kebijakan moneter, maka ditetapkan konsensus bahwa bank sentral tidak dapat
menerapkan kebijakan moneter sepenuhnya berdasarkan pada discretion. Karena pada sisi
lain, beberapa rules diyakini sebagai suatu prasyarat bagi penerapan kebijakan moneter yang
baik sehingga penerapan kebijakan moneter tanpa menggunakan suatu rule tertentu mungkin
akan menimbulkan konsekuensi sebaliknya (Samuelson dan Nordhaus, 2004: 204).
Lebih lanjut Warjiyo dan Solikin (2003:26) menjelaskan bahwa saat ini para ekonom
dan otoritas moneter fokus pada dua jenis rules yaitu:
1. Kaidah kebijakan moneter yang berbentuk feedback rule yaitu monetary growth rules
yang dipelopori oleh McCallum (1998). Dalam kaidah ini, pertumbuhan uang primer
(M) mencerminkan respon rata-rata perubahan base velocity (sebagai koreksi atas
perubahan yang berlangsung secara persisten) terhadap perubahan regulasi dan
teknologi serta perkembangan siklikal output nominal.
2. Interest rate rule atau Taylor Rules (1993). Dalam kaidah in perkembangan suku
bunga mencerminkan respon otoritas moneter terhadap perkembangan output dan
inflasi. Rules in juga menyertakan feedback. Artinya, bank sentral mengubal suku
bunga dengan mengacu pada deviasi perkembangan inflasi dan output terhadap
tingkat yang ditargetkan.
Dalam perkembangan selanjutnya, muncul pertanyaan mengenai jenis rules manakah
yang sebaiknya dipilih? Namun, sampa sekarang pertanyaan ini masih merupakan
permasalahan yang belum terjawab Para ekonom telah sepakat bahwa rule-base policy dapat
diterapkan dengan mempertimbangkan discretion tertentu Demikian pula sebaliknya,
meskipun kondisi ideal sudah terpenuhi disarankan agar penerapan kebijakan discretion
mempertimbangkan komponen rules.
Di Indonesia, diskusi mengenai pilihan antara rules dan discretion pernah
dikemukakan Boediono (1998) bahwa suatu reactions function yang didasarkan pada simple
rules hanya ada dalam" laboratorium mental" para ekonom. Dalam praktiknya, pilihannya
bukan antara rules atau discretion, tetapi yang penting adalah kombinasi di antara keduanya
yaitu: antara rules-cum-discretion dan discretion-cum-rules, Artinya, kombinasi antara rules
dan discretion yang lebih banyak porsi rules-nya atau yang lebih banyak porsi discretion-nya.
Dewasa ini ada dua opsi bagi bank sentral dalam implementasi kebijakan monetemnya, yaitu
suku bunga (Taylor-type rule) dan base money (McCalum- type rule). Jika bank sentral
menggunakan suku bunga sebagai instrumen moneter, maka respon kebijakan dapat
menggunakan Taylor-type rule. Sedangkan jika bank sentral menggunakan base money
sebagai instrumen kebijakan moneternya, maka respons kebijakan moneter dapat
menggunakan McCalum- type rule (Abdullah, 2003).

6
Dalam perkembangan lebih lanjut ditengarai adanya kelemahan- kelemahan berupa
bias inflasi. Untuk mengurangi bias tersebut, maka berdasarkan kajian akademis maupun
praktis, termasuk Bank Indonesia mengusulkan penggunaan Inflation Targeting Framwork
(ITF) sebagai kerangka kerja kebijakan moneternya. Kerangka ini diyakini dapat mengurangi
bias inflasi dalam pelaksanaan kebijakan moneter yang berdasarkan discretion tapi dalam
kerangka perencanaan sasaran inflasi ke depan yang transparan. Dengan sifat yang seperti itu,
maka ITF merupakan cerminan dari contrained discretion dalam kebijakan moneter
(Alamsyah dan Masyhuri, 2003).
2.4 perbedatan: Monetarist vs Keynesians
Perdebatan di antara aliran Monetarist dan aliran Keynesians sejatinya adalah
menyangkut perdebatan tentang keberadaan variabel-variabel yang mendorong permintaan
dan penawaran agregat dalam perekonomian (Warjiyo, 2004a: 27). Kelompok Monetarist
berpendapat bahwa permintaan agregat semata-mata dipengaruhi oleh perkembangan JUB
dan pengaruhnya adalah stabil. Di samping itu, Monetarist berpandangan mekanisme pasar
ala Adam Smithakan berjalan secara otomatis. Jika terjadi perbedaan antara permintaan dan
penawaran maka harga-harga dapat segera menyesuaikan. Perkembangan harga hanya
dipengaruhi oleh perubahan JUB yang diakibatkan oleh kebijakan moneter. Artinya,
kebijakan moneter hanya berpengaruh terhadap nilai nominal permintaan agregat melalui
perubahan harga-harga tersebut dengan pengaruh yang relatif stabil.

Sebaliknya aliran Keynesians berpendapat bahwa per- masalahan dalam suatu


perekonomian adalah sangat kompleks, sehingga bukan hanya uang yang berperan penting
dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga variabel-variabel lain. Keynesians
berpandangan bahwa dalam dunia nyata terjadi kekakuan dan mekanisme pasar bebas tidak
bekerja sempurna, misalnya, karena adanya kontrak kerja antara majikan dan karyawan.
Dalam kondisi seperti ini, jika terjadi perubahan (shock) dalam perekonomian, misalnya
karena adanya kebijakan moneter secara aktif melakukan kontraksi atau ekspansi moneter,
maka dalam jangka pendek shocksakan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi yang
pada akhirnya memengaruhi perkembangan harga (inflasi) di dalam jangka menengah-
panjang.
Aliran Monetarist juga berpendapat bahwa uang hanya berpengaruh pada tingkat
inflasi dan tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Karena itu, kebijakan moneter
harus diarahkan hanya untuk pengendalian inflasi dan tidak diarahkan untuk memengaruhi
kegiatan ekonomi riil. Kelompok ini juga berpendapat bahwa implementasi kebijakan
moneter dilakukan secara rules yang baku dan diarahkan untuk mengendalikan inflasi.
Kelompok Monetarist juga menyatakan bahwa kebijakan moneter ekonomi riil, misalnya
diekspansi jika sektor riil sedang lesu dan tidak dapat dipergunakan dikontraksi jika terjadi
peningkatan ekonomi secara berlebihan secara aktif memengaruhi kegiatan (pemanasan
ekonomi).

Sebaliknya aliran Keynesians berpendapat bahwa uang berpengaruh, baik terhadap


ekonomi riil maupun terhadap inflasi. Implikasinya adalah kebijakan moneter dapat
dipergunakan secara aktif memengaruhi naik turunnya kegitan ekonomi riil Artinya bank
sentral mempunyai discretion untuk mempergunakan kebijakan moneter secara aktif

7
membantu upaya-upaya untuk memengaruhi naik turunnya kegiatan ekonomi riil.Apabila
kegiatan ekonomi riil mengalami kelesuan (resesi), maka kebijakan moneter dapat diekspansi
sehingga JUB bertambah dan selanjutnya dapat mendorong peningkatan kegiatan ekonomi.
Sebaliknya, jika kegiatan ekonomi riil cenderung memanas, maka kebijakan moneter perlu
dikontraksi sehingga terjadi penurunan kegiatan ekonomi riil dan tingkat inflasi dapat
dikendalikan sesuai dengan target yang ditetapkan.
Banyak kalangan yang berpendapat bahwa pertanyaan ini tampaknya akan tetap
menjadi suatu pertanyaan empiris sepanjang sejarah teori ekonomi moneter, meskipun hasil
studi di beberapa negara memberikan kesimpulan umum tentang adanya kecenderungan-
kecenderungan penggunaan atau pilihan terhadap salah satu paradigma tersebut. Tetapi, tetap
saja tidak bisa diberlakukan di semua negara. Perkembangan paradigma tersebut dan
kecenderungan perubahan-perubahan struktural yang terjadi di masing-masing negara akan
memengaruhi pilihan dan penggunaan kerangka kebijakan moneter di masa yang akan datang
(Bank Indonesia).
2.5 Kerangka kerja Kebijakan Moneter
Secara umum, kerangka kerja kebijakan moneter sebagaiman terangkum pada
Gambar 5.2 terdiri dari 4 (empat) komponen utam yaitu: (1) instrumen-instrumen kebijakan
moneter, (2) sasara operasional, (3) sasaran antara dan (4) sasaran akhir kebijakan moneter.

Untuk memudahkan pemahaman tentang kerangka kerja kebijakan moneter tersebut, maka
Gambar 5.2 kita kembangkan menjadi Gambar 5.3. Pada gambar tersebut dapat dijelaskan
bahwa ada duakerangka operasional kebijakan moneter, yaitu: (1) kerangka operasional
pendekatan kuantitas (quantity-base approach) yang dikembangkan aliran Klasik dan
Monetarist, dan (2) kerangka operasional pendekatan harga atau suku bunga (price-base
approach) yang dikembangkan oleh aliran Keynesians.
Kerangka operasional pendekatan kuantitas juga dinamakan quantity targeting,
pendekatan ini bertumpu pada pandangan bahwa bank sentral dapat mengontrol JUB.
Pendekatan ini menggunakan besaran-besaran moneter sebagai variabel sasaran operasional
yaitu uang primer (M) dan cadangan perbankan. Variabel sasaran antara, terdiri dari: M,, M.,
kredit dan suku bunga. Pendekatan ini berpandangan bahwa variabel JUB (M) dan perputaran
uang (V) memiliki keterkaitan yang stabil dengan kegiatan ekonomi (T) dan laju perubahan
harga-harga (P). Untuk alasan itu, Bank sentral cukup mengendalikan laju pertumbuhan JUB
yang besarnya konsisten dengan sasaran laju inflasi yang direncanakan. Menurut mereka,
perkembangan suku bunga ditentukan oleh mekanisme pasar yang naik turunnya mengikuti
perubahan JUB yang ditetapkan oleh bank sentral (Alamsyah dan Masyhuri, 2003). Artinya,

8
jika bank sentral menggunakan pendekatan ini,maka BI fokus pada pengendalian atau kontrol
terhadap JBU dengan harapan tingkat bunga akan ikut berubah,dan yang paling penting
bahwa aliran monetarist meyakini bahwa hubungan antara perubahan JBU dan inflasi
merupakan hubungan yang bersifat langsung.

Kerangka operasional pendekatan kuantitas dibangun di atas beberapa asumsi, yaitu:


1. Kebijakan dan perkembangan sektor-sektor lain (fiskal, mla tukar dan sektor riil) akan
berjalan seperti yang ditetapkan,
2. Adanya hubungan yang stabil antara uang beredar (sebaga sasaran antara) dengan
kegiatan ekonomi riil (sebagai sasaran akhir kebijakan moneter). Artinya, dalam
hubungan ini terdapat stabilitas fungsional antara income velocity dan demand for
money
3. Adanya hubungan yang stabil antara uang primer (sasaran operasional) dengan uang
beredar sebagai sasaran antara. Artinya, terdapat stabilitas fungsional angka
pengganda uang (money multiplier)

Pertanyaan yang patut diajukan apakah asumsi asumsi yang mendasari pendekatan
kuantitas masih realistis atau tidak untuk dipertahankan?
Jawaban terhadap pertanyaan ini didasarkan atas sejumlah hasil riset, termasuk hasil
riset Bank Indonesia yangmengkonfirmasi bahwa telah terjadi ketidakstabilan struktural
dalam perekonomian Indonesia yang ditunjukkan oleh beberapa indikator, antara lain: (1)
income velocity, demand for money dan money multiplier cenderung kurang stabil, (2)
money base (M) tidak dapat sepenuhnya dikendalikan oleh Bank Indonesia. Sekitar 70% dari
komponen M0 adalah uang kuartal yang merupakan kebutuhan masyarakat sebagai alat
pembayaran, (3) agregat moneter M1 relatif stabil dibandingkan dengan M2

Ketidakstabilan struktural tersebut, terutama disebabkan oleh beberapa faktor, antara


lain:
a. Pesatnya perkembangan sektor keuangan dan majunya inovasi produk keuangan yang
menyebabkan kegiatan penciptaan uang (money creation) oleh sistem keuangan
menjadi berlipat ganda.
b. Terjadinya proses decoupling antara sektor moneter dan sektor riil
c. Sulitnya mengidentifikasi arah kausalitas antara uang beredar dan kegiatan ekonomi,
adanya kecenderungan kegiatan ekonomi memengaruhi uang beredar dan bukan
sebaliknya.

9
d. Sejalan dengan permasalahan dalam pengendalian moneter dengan menggunakan
agregat moneter, paradigma baru yang lebih meyakini harga uang yaitu: suku bunga
dan nilai tukar, sebagai jalur transmisi kebijakan moneter di Indonesia semakin
mendapatkan perhatian dari para ekonom dan praktisi di bank sentral atau otoritas
moneter.
e. Hubungan antara suku bunga dengan laju inflasi jauh lebih kuat dibandingkan dengan
hubungan antara uang beredar dengan inflasi (Bond, 1994)
f. Dalam perekonomian yang semakin terbuka dengan sistem nilai tukar yang fleksibel,
pergerakan nilai tukar rupiah juga dianggap sangat penting dalam memengaruhi
permintaa agregat, pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
g. Isu pokok yang sedang dikaji adalah apakah cukup relevan apabila manajemen
moneter di Indonesia dibangun atas dasar jalur mekanisme transmisi salah satu atau
kedua variabel tersebut (suku bunga atau nilai tukar), ataukah berdasarkan jalur
mekanisme transmisi kebijakan moneter yang lain? Misalnya jalur kredit atau jalur
harga aset.

Berdasarkan fakta-fakta di atas, maka Bank Indonesia sebagai otoritas moneter di


Indonesia meninggalkan atau menggant pengendalian moneternya dari pendekatan kuantitas
menjadi pendekatan harga/suku bunga. Implementasi pendekatan harga merupakan bagian
integral dari upaya Bank Indonesia unik menerapkan model ITF secara penuh.
Pendekatan harga (suku bunga) adalah kerangka operasional kebijakan moneter yang
dikembangkan oleh aliran Keynesians. Pendekatan ini berpandangan bahwa bank sentral
tidak sepenuhnya bisa mengendalikan JUB. Perubahan terhadap permintaan uang didasarkan
pada motif masyarakat untuk memegang uang yang antara lain dipengaruhi oleh
perkembangan suku bunga. Di samping itu, Keynesians juga meyakini bahwa hubungan
antara perubahan JUB dan inflasi bersifat tidak langsung tapi terlebih dahulu dipengaruhi
oleh suku bunga. Untuk alasan itu, kebijakan moneter bank sentral harus harus diarahkan
pada upaya mengendalikan suku bunga dengan harapan JUB akan ikut terpengaruh menuju
pada keseimbangan antara permintaan dan penawarannya (Alamsyah dan Masyhuri, 2003).
Jika situasi keseimbangan pasar dapat dipelihara maka tidak akan ada tekanan-tekanan
terhadap kenaikan harga-harga (inflasi).

Lebih lanjut mereka tegaskan bahwa pengendalian variabel tingkat harga atau suku
bunga-lah yang dapat mewujudkan stabilitas perekonomian secara efektif. Dengan
pendekatan ini, BI fokus pada upaya pengendalian atau kontrol terhadap suku bunga dengan
harapan JUB akan ikut berubah/terpengaruh yang pada akhirnya diharapkan dapat
memengaruhi stabilitas harga (inflasi). Kebijakan moneter yang bersasaran tunggal
diimplementasikan dengan pendekatan harga (Ascarya, 2002:17).
Strategi kebijakan moneter yang dianggap cocok dengan pendekatan harga adalah
model ITF, model ini baru dianut secara penuh oleh Bl pada Juli 2005, sebelumnya,
kebijakan moneter BI mengacu pada prinsip monetary targeting atau base money targeting.
Dalam prinsip monetary targeting, jumlah uang beredar (M) dan (M.) ditetapkan untuk
melindungi negara dari ancaman hiperinflasi. Ketika itu BI rate langsung dijadikan patokan

1
penentuan suku bunga deposito perbankan. Namun, Bank Indonesia menyadari sinyal arah
kebijakan moneter Bank Indonesia yang berpatokan pada base money tak terlalu kuat
ditangkap oleh pasar. Akibatnya, target nilai tukar rupiah yang kerap tak tercapai. Untuk
alasan itu, maka model ITF pun dipilih, BI rate ditetapkan berdasarkan sasaran tingkat inflasi
yang dituju sebagai panduan bagi pasar (pelaku ekonomi) (newsletter Bank Indonesia).
2.6 Koordinasi Kebijakan Moneter dan Fiskal
Perdebatan pentingnya koordinasi antara kebijakan moneter dan fiskal pada dasarnya tidak
terlepas dari terdapat perbedaan penekanan dalam pencapaian tujuan masing-masing
kebijakan. Tujuan utama kebijakan moneter lebih ditekankan pada stabilitas harga, dengan
dasar beberapa pertimbangan. Pertama, dengan output ditentukan kapasitas ekonomi dalam
Pertama,Pertama,jangka panjang maka segala kebijakan yang mendorong pertumbuhan
ekonomi akan menciptakan inflasi (the short-run Phillips-curve) sehingga tidak akan
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi riil (Kydland and Prescott, 1997). Kedua,rational
economic agent mengerti bahwa tindakan kejutan pembuat kebijakan dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi yang mendorong inflasi dapat mendorong terjadinya permasalahan
time-consistency (Barroand Gordon, 1983). Ketiga, Kebijakan moneter mempengaruhi
variabel ekonomi memakan Ketiga,waktu panjang dan mempunyai lag (Friedman, 1968).
Keempat, kestabilan harga dapat Keempat,Keempat,mendorong terciptanya iklim ekonomi
yang lebih baik karena akan mengurangi biaya yang berasal dari inflasi.

Penetapan stabilitas harga sebagaimana dikemukakan di atas akan mendorong


kesinambungan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Namun di sisi lain jika
pencapaian kebijakan moneter tidak dilakukan secara terukur juga dapat mengakibatkan
tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi. Misalnya, kebijakan moneter yang terlalu ketat
dapat menekan (sequeze) pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan jumlah pengangguran.
Sementara itu, tujuan kebijakan fiskal yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi
dapat mengakibatkan terjadinya defisit anggaran yang dapat membahayakan stabilitas
ekonomi makro. Dampak dari defisit fiskal yang kronis dan besarnya utang pemerintah dapat
menimbulkan beberapa akibat (Traclet, 2004). Pertama, Fiskal defisit dapat meningkatkan
rasio utang sehingga dapat meningkatkan beban utang dan menurunkan investasi yang
produktif. Kedua, Peningkatan jumlah bond yang dikeluarkan untuk menutup fiskal defisit
akan menciptakan crowding-out effect, yaitu penurunan investasi swasta yang produktif,
sehingga membahayakan kelangsungan pertumbuhan ekonomi. Ketiga, defisit anggaran
pemerintah yang kronis dapat mengakibatkan tingginya inflasi.
Pengalaman empiris di negara-negara Amerika Latin, negara Afrika dan negara
mantan eropa timur pada tahun 1988-1991 menunjukkan bahwa fiskal defisit yang kronis
dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi telah mengakibatkan terjadinya hyper-
inflation di negara-negara tersebut. Defisit fiskal yang dibiayai dari penciptaan uang telah
mengakibatkan pesatnya pertumbuhan uang beredar dan selanjutnya hal tersebut telah
mengakibatkan meroketnya laju inflasi di negara-negara tersebut.
Pada tabel II.1 terlihat fiskal defisit pemerintah Peru telah mengakibatkan
peningkatan jumlah uang beredar sebesar 1.052,6% per tahun pada periode tahun 1988-1991.

1
Pesatnya pertumbuhan uang beredar tersebut tanpa diikuti peningkatan produksi merupakan
penyebab melesatnya laju inflasi di negara tersebut hingga mencapai 1.694,3%. Hiper inflasi
telah mengakibatkan anjloknya daya beli masyarakat dan tingginya biaya transaksi ekonomi
sehingga negara tersebut jatuh ke dalam resesi ekonomi. Pengalaman negara-negara Afrika,
beberapa negara Eropa dan negara-negara Amerika Latin lainnya mengikuti pola yang sama,
yaitu fiskal defisit telah mengakibatkan tingginya uang beredar dan hiper inflasi.

Beberapa data empiris di atas menunjukkan bahwa kebijakan fiskal yang longgar
dengan kebijakan moneter yang longgar melalui penciptaan uang baru untuk pembiayaan
defisit dapat mengakibatkan terjadinya hiper inflasi dan gangguan stabilitas makroekonomi.
Sejalan dengan beberapa fakta tersebut maka diperlukan koordinasi kedua kebijakan tersebut.
Beberapa penelitian empris telah dilakukan untuk mengetahui dampak dari koordinasi
kebijakan moneter dan fiskal terhadap perekonomian. Pendekatan populer yang sering
digunakan adalah pendekatan teori permainan (game theory) untuk mengetahui ketiadaan
koordinasi kebijakan fiskal dan moneter.
Secara teoritis, terdapat empat jenis hasil yang didapatkan dari kebijakan bauran
(policy mix) dari kebijakan moneter dan fiskal jika keputusan dilakukan secara bebas satu
dengan lainnya (independent), yaitu:
1. Kebijakan fiskal longgar dan kebijakan moneter longgar
2. Kebijakan fiskal longgar dan kebijakan moneter ketat
3. Kebijakan fiskal ketat dan kebijakan moneter longgar
4. Kebijakan fiskal ketat dan kebijakan moneter ketat

Hasil dari keempat bauran kebijakan (policy mix) tersebut dapat disajikan dalam tabel
sebagai berikut:

Berdasarkan analisis IS-LM seperti tabel II.2 di atas, terdapat bauran kebijakan yang
memberikan hasil yang efektif, yaitu 1) kebijakan moneter longgar dan kebijakan fiskal

1
longgar, dan 2)kebijakan moneter ketat dan kebijakan fiskal longgar. Sementara itu, bauran
kebijakan moneter ketat dan kebijakan fiskal longgar, dan bauran kebijakan moneter longgar
dan kebijakan ketat akan memberikan hasil saling meniadakan.

Bauran kebijakan dalam kerangka IS-LM di dasarkan atas masih belum


mempertimbangkan peranan koordinasi sehingga masing-masing bertindak independent.
Untuk melihat lebih jauh dampak dari koordinasi keuda kebijakan terhadap kinerja
makroekonomi maka akan digunakan pendekatan teori permainan (game theory). Untuk
mengenal lebih jauh tentang pendekatan game theory dalam menganalisa efek ketiadaan
koordinasi kebijakan pada kondisi makroekonomi, penulis membuat suatu monetary-fiscal
game lengkap dengan hasil yang akan didapatkan dan kerugian yang haris dibayar oleh
masing-masing otoritas, seperti ditunjukan oleh gambar di bawah ini (Bennett dan Loayza,
2002):

Berdasarkan tabel II.3 diatas, diasumsikan bahwa setiap otoritas kebijakan memiliki
dua pilihan kebijakan, yaitu : kebijakan pengetatan maupun kebijakan pelonggaran (a tight or
a loose policy). Ketika keduanya bersama-sama memilih kebijakan pengetatan maka akan
menghasilkan keadaan perekonomian dimana tingkat inflasi cenderung rendah dan jumlah
pekerja yang rendah atau pengangguran tinggi, sedangkan ketika kedua otoritas kebijakan
memutuskan untuk bersama-sama membuat kebijakan yang longgar maka mengakibatkan
tingkat inflasi meningkat sedangkan angka pengangguran cenderung rendah. Sedangkan
ketika salah satu otoritas kebijakan membuat kebijakan pengetatan sedangkan yang lain
membuat kebijakan pelonggaran dan sebaliknya, maka tingkat pengangguran dan inflasi
cenderung berada pada tingkat sedang.

Nash Equilibrium pada game ini terdiri dari kebijakan moneter ketat dan kebijakan
fiskal longgar. Jika kita melihat table Payoff schedule diatas, ternyata nilai payoff untuk
kebijakan moneter ketat dan kebijakan fiscal longggar (yang juga merupakan solusi dari Nash
Equilibrium) sama dengan nilai payoff untuk kebijakan moneter longgar dan kebijakan fiscal
ketat. Namun dalam jangka panjang, kombinasi kebijakan moneter longgar dan fiskal ketat
lebih sehat daripada kebijakan moneter ketat dan fiskal longgar (Nash Equilibrium). Hal ini
disebabkan kebijakan tersebut tidak berkompromi terhadap fiscal sustainability dan tidak
memperlemah kapasitas investasi sektor swasta.

1
Penelitian empiris dengan menggunakan teori permainan yang dilakukan Petit (1989),
Bannet dan Loayza (2002), Bartolomeo dan Gioacchino (2004), serta Faure (2004)
menunjukkan bahwa koordinasi memberikan hasil yang lebih baik bagi perekonomian
dibandingkan dengan hasil tidak terdapat koordinasi antara kebijakan moneter dan kebijakan
fiskal.
2.7 Operasi Kebijakan Moneter Bank Indonesia
Untuk mewujudkan sasaran akhir kebijakan moneternya yaitu inflasi yang rendah dan
stabil, maka BI menerapkan kerangka operasi kebijakan moneter melalui pendekatan suku
bunga. Suku bunga kebijakan yang dikenal dengan istilah BI Rate ditetapkan melalui Rapat
Dewan Gubernur (RDG) BL. Dalam tataran operasional, Bl rate tercermin akan
memengaruhi pergerakan suku bunga Pasar Uang Antar Bank (suku bunga PUAB) overnight
O/N.PUAB adalah kegiatan pinjam meminjam dana antara satu Bank dengan Bank Lainnya.
Suku bunga PUAB merupakan harga yang terbentuk dari kesepakatan pihak yang meminjam
dan meminjamkan dana. Kegiatan di PUAB dilakukan melalui mekanisme over the counter
(OTC) yaitu terciptanya kesepakatan antara peminjam dan pemilik dana yang dilakukan tidak
melalui lantai bursa. Jangka waktu PUAB yaitu antara satu hari kerja sampai dengan tujuh
hari kerja.
Operasi kebijakan moneter Bank Indonesia meliputi berbagai instrumen yang
digunakan untuk mengatur jumlah uang beredar di dalam perekonomian Indonesia.
Instrumen-instrumen tersebut antara lain:
1. Suku bunga kebijakan Bank Indonesia: Suku bunga kebijakan Bank Indonesia adalah
suku bunga acuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Suku bunga ini digunakan
sebagai acuan bagi bank-bank di Indonesia dalam menentukan suku bunga pinjaman
dan tabungan.
2. Reserve Requirement (GWM): Reserve Requirement atau GWM (Giro Wajib
Minimum) adalah kewajiban bagi bank-bank di Indonesia untuk menyimpan sebagian
dari dana nasabah di Bank Indonesia. Tujuan dari GWM adalah untuk mengurangi
jumlah uang beredar di masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang
stabil.
3. Operasi Pasar Terbuka: Operasi Pasar Terbuka (OPT) adalah kegiatan Bank Indonesia
dalam membeli atau menjual surat berharga negara atau SBN. Tujuan dari OPT
adalah untuk mengatur jumlah uang beredar di pasar dan mengendalikan suku bunga.
4. Fasilitas Pembiayaan Lembaga Pembiayaan (FPLP): FPLP adalah fasilitas yang
disediakan oleh Bank Indonesia untuk membantu lembaga pembiayaan dalam
memperoleh dana. Fasilitas ini dapat digunakan untuk memperkuat likuiditas lembaga
pembiayaan dan menjaga stabilitas sistem keuangan.
5. Kebijakan Nilai Tukar: Kebijakan nilai tukar digunakan oleh Bank Indonesia untuk
mengatur nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Bank Indonesia dapat
melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk mempertahankan nilai tukar rupiah
yang stabil dan sesuai dengan kondisi perekonomian Indonesia.
6. Kebijakan Makroprudensial: Kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang
ditujukan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dengan cara mengatur risiko-
risiko yang muncul dalam sistem keuangan. Bank Indonesia dapat menggunakan

1
instrumen seperti Loan-to-Value Ratio (LTV) dan Debt-to-Income Ratio (DTI) untuk
mengatur risiko kredit dalam sistem keuangan.
7. Instrumen Operasi Moneter Lainnya: Bank Indonesia juga menggunakan instrumen
operasi moneter lainnya seperti standing facility dan bilateral swap agreement untuk
mengatur likuiditas pasar dan menjaga stabilitas sistem keuangan.

1
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kebijakan moneter adalah kebijakan yang dilakukan oleh bank sentral suatu negara
untuk mengatur jumlah uang yang beredar di dalam perekonomian dan menjaga stabilitas
harga serta pertumbuhan ekonomi yang sehat. Tujuan dari kebijakan moneter adalah untuk
menciptakan kondisi ekonomi yang stabil dan sehat bagi masyarakat. Dalam praktiknya,
kebijakan moneter dilakukan dengan menggunakan instrumen-instrumen seperti suku bunga,
jumlah uang beredar, cadangan bank sentral, dan operasi pasar terbuka. Beberapa latar
belakang umum yang mendorong penggunaan kebijakan moneter antara lain inflasi tinggi,
pertumbuhan ekonomi yang lambat, krisis keuangan, dan fluktuasi nilai tukar.
Kebijakan moneter sangat penting bagi perekonomian suatu negara karena dapat
mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar, dan stabilitas keuangan.
Oleh karena itu, bank sentral perlu memiliki kemampuan dan keahlian yang memadai dalam
merancang dan menerapkan kebijakan moneter yang tepat sesuai dengan kondisi ekonomi
saat ini.
3.2 Saran
Tentunya terhadap penulis sudah menyadari jika dalam penyusunan makalah di atas
masih banyak ada kesalahan serta jauh dari kata sempurna. Dan dari materi yang kami
paparkan bisa dijadikan saran untuk mahasiswa dan masyarakat luas dalam menambahkan
wawasan dalam pengetahuan kebijakan moneter.

DAFTAR PUSTAKA

Dr.M.Natsir, S. (2014). Ekonomi Moneter & Kebanksentralan. Jakarta: Mitra Wacana Media.

SIMONANGKIR, I. (2007, JANUARI). KOORDINASI KEBIJAKAN MONETER DAN


FISKAL DI INDONESIA:SUATU KEBIJAKAN KAJIAN DENGAN
PENDEKATAN GAME THEORY. BULLETIN OF MONETARY ECONOMICS AND
BANKING, 1-26.

Anda mungkin juga menyukai