Anda di halaman 1dari 8

BAB II

PEMBAHASAN

MAKROPRUDENSIAL

Kebijakan makroprudensial adalah sebuah kebijakan yang bertujuan untuk membatasi risiko dan
biaya dari krisis sistemik. Terdapat  3 (tiga) kalimat kunci untuk menggambarkan kebijakan
makroprudensial  yaitu

 Diterapkan dengan tujuan menjaga stabilitas sistem keuangan


 Diterapkan dengan berorientasi pada sistem keuangan secara keseluruhan (system-wide
perspectives)
 Diterapkan melalui upaya membatasi terbangunnya (build-up) risiko sistemik.

Secara sederhana kebijakan makroprudensial "SSKperiode1" merupakan penerapan prinsip


kehati-hatian pada sistem keuangan guna menjaga keseimbangan antara tujuan makroekonomi
dan mikroekonomi. Kebijakan makroprudensial lebih berorientasi pada sistem secara
keseluruhan. Dengan demikian, fokus kebijakan makroprudensial tak hanya mencakup institusi
keuangan, namun meliputi pula elemen sistem keuangan lainnya,seperti pasar keuangan,
korporasi, rumah tangga, dan infrastruktur keuangan. Ini disebabkan kebijakan makroprudensial
merupakan kebijakan dengan tujuan akhir meminimalkan terjadinya risiko sistemik.

Risiko sistemik didefinisikan sebagai risiko yang dapat mengakibatkan hilangnya kepercayaan
publik dan peningkatan ketidakpastian dalam sistem keuangan sehingga sistem keuangan tidak
dapat berfungsi dengan baik dan mengganggu jalannya perekonomian. Risiko sistemik dapat
terjadi secara tiba-tiba dan tak terduga, atau terjadi secara perlahan-lahan tanpa disadari atau
dideteksi oleh berbagai pihak sehingga kebijakan yang tepat dapat terlambat diterapkan. Efek
negatif risiko sistemik pada perekonomian dapat dilihat dari peningkatan jumlah gangguan pada
sistem pembayaran, aliran kredit, dan penurunan nilai aset.

2.3.1 Pengawasan Microprudensial


Peraturan microprudential tradisional bank didasarkan pada logika. Bank membiayai
dirinya dengan deposito-diasuransikan pemerintah. Sementara deposito asuransi memiliki efek
yang cukup, menciptakan insentif bagi manajer bank untuk mengambil risiko yang
berlebihan,mengetahui bahwa kerugian akan ditanggung oleh wajib pajak. Tujuan dari peraturan
modal adalah untuk memaksa bank untuk menginternalisasi kerugian, sehingga melindungi
asuransi deposito mendanai dan mengurangi moral hazard. Dengan demikian, jika kerugian
probabilitas asuransi depositoberkurang ke tingkat yang cukup rendah, regulasi microprudential
akan melakukan tugasnya (Samuel G. Hanson, Ani K Kashyap, and Jeremy C. Stein: 2011).
Menurut Core Principles Basel (Dalam Jacek Osinski, Katharine Seal, and Lex Hoogduin:
2013) untuk Pengawasan Perbankan Efektif (Komite Basel Pengawasan Perbankan, 2011),
“tujuan akhir” pengawasan (yaitu, kebijakan microprudensial) adalah untuk mempromosikan
“keselamatan dan kesehatan bank dan sistem perbankan”. Secara yuridis, pengawasan perbankan
secara eksplesit bertugas dengan tanggung jawab stabilitas keuangan atau untuk berkontibusi
terhadap stabilitas keuangan yang biasanya dipegang oleh bank sentral. Secara umum, kebijakan
mikroprudensial memeriksa tanggapan dari setiap bank untuk setiap risiko eksogen dan tidak
memasukkan risiko endogen dan keterkaitan dengan seluruh sistem. (Alan Bollard, Bernard
Hodgetts and Mike Hannah: 2011) Peraturan mikroprudensial atau pengawasan mikroprudensial
mengacu pada perusahaan dengan tingkat pengawasan atau regulasi keuangan oleh regulator
lembaga keuangan, yakni memastikan neraca lembaga individu yang kuat terhadap guncangan.
Pelajaran penting dari krisis (Amerika Serikat). Tingkat keparahan krisis bukan karena
beberapa perusahaan keuangan non bank yang tertekan karena peningkatan tingkat gagal bayar
(secara keseluruhan). Sebaliknya, krisis diakibatkan karena kerugian meluas perusahaan
keuangan yang timbul dari faktor risiko umum, dalam hal ini hipotek perumahan (residential
mortgages) AS. Pengetatan pangawasan microprudensial dari satu likngkup yang lebih besar dari
perusahaan keuangan akan mengurangi risiko ketidakstabilan. Tetapi jika pembuat kebijakan
ingin mendapatkan akar penyebab ketidakstabilan tersebut, penekanan yang lebih besar perlu
menempatkan pengawasan makroprudensial di pasar keuangan (Larry D. Wall: 2014).
Figur 2.5 Daerah Pengawasan (Regulasi)
Sumber: ECB

Figur 2.5 menunjukkan bagaimana struktur dari kebijakan moneter dan kebijakan regulasi
(makro dan mikro-prudensial), dimana:
 Stabilitas harga dan stabilitas keuangan saling menguntungkan dan menegakkan kembali.
 Kebijakan moneter menetapkan kondisi keuangan umum.
 Kebijakan makro-prudensial lebih spesifik dan ditargetkan untuk sektor dan
ketidakseimbangan(Sabine Lautenschläger: 2014).

2.3.2 Pengawasan Makroprudensial


Berdasarkan pasal 7 UU OJK, Peraturan dan pengawasan mengenai kelembagaan,
kesehatan, aspek kehati-hatian, dan pemeriksaan bank merupakan lingkup pengaturan dan
pengawasan microprudential yang menjadi tugas dan wewenang OJK. Adapun lingkup
pengaturan dan pengawasan macroprudential, yakni pengaturan dan pengawasan selain hal yang
diatur dalam pasal ini, merupakan tugas dan wewenang Bank Indonesia. Dalam rangka
pengaturan dan pengawasan macroprudential, OJK membantu Bank Indonesia untuk melakukan
himbauan moral kepada Perbankan.
Kebijakan makroprudensial, bagian dari kebijakan utama yang ditetapkan dan
dilaksanakan oleh Bank Indonesia untuk mencegah dan mengurangi risiko sistemik, mendorong
fungsi intermediasi yang seimbang bagi sektor perekonomian, serta mengingkatkan akses dan
efisiensi sistem keuangan dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan, serta mendukung
stabilitas moneter dan stabilitas sistem pembayaran.Pada dasarnya antar kebijakan memiliki
benang merah satu dengan lainnya, dimana tujuan utama adalah mencipatakan stabilitas sistem
keuangan dan petumbuhan ekonomi yang stabil.

2.1 Kebijakan Makroprudensial dan Perkembangannya


Makroprudensial memiliki peranan dalam membangun stabilitas sistem keuangan suatu
negara. Menurut Janet Yellen (Gubernur Federal Reserve) dan Christine Legarde (Direktur IMF)
dalam acara “Michel Camdessus Central Banking Lecture on Financial Stability”, bahwa risiko
stabilitas sistem keuangan akibat kekhawatiran terjadinya bubble yang berasal dari kebijakan
Quantitative Easy (QE) dapat diatasi melalui kebijkaan makroprudensial.Makro-prudential
regulation (MPR) merupakan kata kunci baru dalam dunia reformasi regulasi, dengan tujuan
untuk mengurangi risiko dalam sistem keuangan secara keseluruhan (Gerard Lyopns: 2011).
Berkaca dari pengalaman krisis global seperti krisis subprime mortgage, bahwa kebijakan
moneter belum mampu menekan ataupun mengangkat perekonomian dari krisis tersebut,
sehingga kebijakan makroprudensial lahir sebagai kebijakan yang melengkapi dari beberapa
kelemahan kebijakan moneter.
Kebijakan moneter dan kebijakan stabilitas keuangan secara intrinsik terkait satu sama
lain, dan sehingga dikotomi antara kebijakan stabilitas moneter dan keuangan adalah palsu.
Kebijakan moneter dapat mempengaruhi stabilitas keuangan, sedangkan kebijakan
makroprudensial untuk mempromosikan stabilitas keuangan yang berdampak pada kebijakan
moneter. Koordinasi kebijakan moneter dan makroprudensial akan membuat lebih mudah untuk
mengejar tiga tujuan yakni stabilitas harga, stabilitas output, dan stabilitas keuangan (Joon-Ho
Hahm, dkk: 2012). Kebijakan makroprudensial tidak hanya sebagai pelengkap atau alternatif dari
kebijakan moneter, namun kedua kebijakan tersebut tetap harus saling melakukan koordinasi,
karena mereka memiliki hubungan intrinsik satu sama lain.
Kebijakan makroprudensial dalam perkembangannya telah dan mulai banyak di-adope
oleh beberapa negara, baik negara maju maupun emerging market. Amerika Latin (Brazil) dan
Korea merupakan potret kecil dari negara-negara yang menggunakan kebijakan
makroprudensial. Juan Ruiz, et al (2014) menyatakan bahwa negara-negara utama di Amerika
Latin seperti Brazil, merupakan negara yang menggunakan kebijakan makroprudensial dengan
tujuan untuk mengelola risiko makro ekonomi dan finansial seperti nilai tukar dan capital
inflow.Kebijakan makroprudensial kemudian diikuti oleh Argentina, yang juga telah menetapkan
dan menyoroti penggunaan persyaratan cadangan. Argentina juga sedang mengambil beberapa
langkah untuk mengimplementasikan Basel III yang akan memberntuk kebijakan
makroprudensial masa depan, khususnya yang berhubungan dengan kebutuhan modal.
Fokus dari kebijakan makroprudensial mengenai tiga hal pokok yakni menjaga sirkulasi
arus modal, pengawasan pada kredit macet dan persyaratan likuiditas. Ketiga fokus pengawasan
tersebut juga telah diadopsi di negara-negara Andean, seperti Boluvia, Kolombia, Ekuador, dan
Peru. Meskipun terdapat perbedaan yang signifikan antar negara tersebut, wilayah Andean relatif
menunjukkan perkembangan yang baik dalam pelaksanaan peraturan makroprudensial (Arturo J.
Galindo, et al: 2013). Sedangkan In huh, dkk (2013) menyatakan bahwa peraturan
makroprudensial di negaranya (Korea) pada tahun 2000-an tidak berdampak pada investasi
obligasi, namun mempengaruhi struktur liabilitas bank asing. Pengetatan pajak atas investasi
asing tidak banyak berpengaruh kecuali pajak dengan tenor pendek.
Retribusi makroprudensial ditujukan untuk meringankan masalah-masalah liabilitas luar
negeri jangka pendek, yang diklaim sebagai kelemahan ekonomi Korea selama krisis keuangan
global. Masalah makro ekonomi yang cukup kompleks tidak dapat dikendalikan hanya dengan
kebijakan moneter tradisional ataupun fiskal. Dalam kondisi tersebut dibutuhkan sebuah stimulus
baru yang dapat di-combine atau disatukan dengan kebijakan yang tersedia. Penguatan dari
berbagai sektor (makro, finansial, dan sistem stabilitas) menjadi main goal dari keseluruhan
kebijakan ekonomi di setiap negara.
Mengapa ketahanan dan stabilitas ekonomi sangat penting, khususnya sistem yang
mengaturnya? Karena, tidak selalu ekspektasi mengenai prospek perekonomian akan berjalan
sesuai dengan harapan. Permasalah terbesar dalam perekonomian modern adalah kepanikan
pasar. Jika, perekonomian mulai terserang rumor negatif yang meskipun relatif kecil, dampaknya
dapat menyebar dengan cepat dan menyebabkan gejolak yang luar biasa. Sehingga, sistem yang
mampu mengendalikan iklim perekonomian (khususnya mampu mempertahankan kepercayaan
pasar) menjadi sistem yang selalu diandalkan dan terus dikembangkan.
Dewasa ini, perdagangan dan sistem perekonomian mulai terbuka lebar, artinya lalu lintas
perdagangan baik barang, arus modal, teknologi, maupun culture akan meciptakan dinamika-
dinamika ekonomi yang menuntut adanya kekebalan atas sistem perekonomian.

Kebijakan Makroprudensial di Bank Indonesia

Penerapan kebijakan makroprudensial oleh BI memiliki tujuan untuk mencegah dan mengurangi
risiko sistemik, mendorong fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas serta
meningkatkan efisiensi sistem keuangan dan akses keuangan. Untuk mendukung pelaksanaan
fungsi tersebut, BI menerapkan 4 langkah starategi operasional kebijakan makroprudensial yang
terdiri dari: 

1. Identifikasi sumber risiko sistemik Selain berdasarkan asesmen internal, BI juga


melakukan survei dan FGD kepada stakeholders untuk dapat menangkap potensi risiko
sistemik dari sudut pandang stakeholders, seperti perbankan, pakar ekonomi, media,
akademisi dan pelaku pasar lainnya. 
2. Pengawasan makroprudensial BI memiliki wewenang untuk melakukan pengawasan
secara tidak langsung maupun secara langsung pada institusi keuangan terkait, dengan
berkoordinasi dengan OJK. Pengawasan makroprudensial dilakukan melalui monitoring,
stress identification serta risk assessment terhadap potensi risiko yang telah teridentifikasi
sebelumnya. Berdasarkan proses tersebut, BI akan mengeluarkan sinyal risiko. Jika
asesmen menunjukkan bahwa stabilitas sistem keuangan terjaga dengan baik, BI akan
melakukan proses pengawasan seperti biasa. Dalam hal risiko menunjukkan peningkatan
yang patut diwaspadai, BI akan megambil respon kebijakan melaui perumusuan
kebijakan makroprudensial. Terakhir, jika sinyal risiko menunjukkan potensi krisis, BI
akan mengaktifkan Protokol Manajemen Krisis. 
3. Respons kebijakan melalui desain dan implementasi instrumen kebijakan
makroprudensial Instrumen kebijakan makroprudensial diterapkan untuk mencegah
terjadinya risiko sistemik. Berdasarkan cakupannya, instrumen dapat diterapkan secara
umum (misalnya Countercyclical Buffer) maupun targeted ke sektor tertentu (Loan to
Value Ratio). Sedangkan dari sisi objek, instrumen dapat ditujukan untuk mengatur
permodalan, kredit, likuiditas maupun intermediasi.
4. Protokol manajemen krisis (PMK) Bila hasil asesmen menunjukkan peningkatan risiko
yang menuju ke krisis, BI akan segera mengaktifkan PMK. 

Anda mungkin juga menyukai