11010116120090
Hukum Perbankan A
Kebijakan Makroprudensial
Kebijakan makroprudensial adalah seluruh upaya yang dilakukan untuk menjaga stabilitas sistem
keuangan. Apapun bentuknya .Makroprudensial pada masa kini dipahami sebagai kebijakan yang
bertujuan membatasi risiko dan biaya dari krisis sistemis. Dalam Undang-Undang No 9 Tahun
2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK) mencantumkan
pentingnya aspek makroprudensial, sebagai lapisan pencegahan dan penanganan krisis pada sistem
keuangan.
Dalam Pasal 3 UU PPKSK juga dijelaskan kegiatan pencegahan dan penanganan krisis, akan
dilalui dengan koordinasi pemantauan dan pemeliharaan stabilitas serta penanganan krisis. Satu
hal menarik dari pasal tersebut ialah kata “koordinasi”, yang berarti mewajibkan beberapa instansi
yang terkait dengan sistem keuangan untuk berkolaborasi penuh dalam kegiatan makroprudensial.
Pihak-pihak ini tergabung dalam Forum Komite Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) yang
beranggotakan menteri Keuangan, gubernur Bank Indonesia, ketua Dewan Komisioner OJK, serta
ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Harmonisasi kebijakan keempat instansi itu menjadi sebuah tantangan dalam menyusun kebijakan
makroprudensial. Ini mengingat adanya perbedaan informasi yang dikelola pada masing–masing
lembaga, yang mengarah pada tumpang tindih kebijakan ataupun pemikiran yang bisa saling
berlawanan. Untuk itu, perlu ada mekanisme yang mengatur proses penyusunan kebijakan yang
dihasilkan bisa saling melengkapi.
Sebagai gambaran, pemerintah baru saja merilis Paket Kebijakan Ekonomi Jilid XIII, yang berisi
deregulasi perizinan demi mewujudkan investasi sejuta rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan
Rendah (MBR). Paket ini bisa menjadi salah satu contoh konkret, bagaimana otoritas kebijakan
fiskal mampu berkoordinasi dengan kebijakan lain dalam kerangka menjaga makroprudensial. Ini
menjadi contra cyclical policy, yang merupakan bagian dari kebijakan makroprudensial.
Pertama, pemerintah melalui menko Perekonomian, Kementerian Keuangan, dan Bappenas akan
mengoordinasikan kinerja otoritas fiskal dan sektor riil. Dalam urusan Paket Kebijakan Ekonomi
XIII, sudah tercantum secara jelas pemerintah akan memfasilitasi beberapa jenis deregulasi, yang
fungsinya menurunkan biaya transaksi investasi. Selain itu, pemerintah akan melengkapi tugasnya
dengan beberapa kebijakan pendukung, seperti pengendalian inflasi dan pemberian subsidi yang
outcome-nya bisa berpengaruh terhadap daya tawar dan daya beli masyarakat. Katakanlah, dalam
tahapan ini, pemerintah sukses menjalankan perannya maka pemerintah tinggal berkoordinasi
dengan otoritas moneter, untuk mempersiapkan akses kredit pemilikan rumah yang terjangkau
bagi MBR.
Kedua, performa otoritas moneter (khususnya antara BI dan OJK) dalam Paket Kebijakan
Ekonomi XIII diramalkan akan menjadi titik episentrum keberhasilan/kegagalan program yang
ada. Harapan menggeliatnya investasi di sektor perumahan memang sangat logis berdampak
positif terhadap kinerja makroekonomi. Namun, kita jangan mudah lupa dengan fenomena
subprime mortgage di Amerika, yang hampir menyeret seluruh dunia di ambang krisis.
Kisah kelam di Amerika ini kita harapkan tidak terjadi di Indonesia. BI selaku pihak berwenang
di sisi makroprudensial sudah menerapkan kebijakan loan to value (LTV) dan financing to value
(FTV), untuk mengendalikan risiko sistemis dari kebijakan kredit. Namun, BI tidak bisa serta-
merta menentukan seberapa besar angka LTV dan FTV tanpa informasi yang komprehensif dari
OJK, selaku pemegang kendali mikroprudensial. OJK sendiri juga menginginkan sektor
perbankan ikut menikmati dinamika perubahan LTV dan FTV. Oleh karena itu, potensi yang dapat
mendorong kredit macet harus diinventarisasi agar risiko negatifnya tetap bisa ditekan. BI dan
OJK juga harus berkoordinasi dengan pemerintah, terkait keseimbangan pasar secara riil dalam
jangka waktu tertentu. Jangan sampai keduanya memiliki gap yang relatif tinggi karena akan
berpengaruh terhadap naik/turunnya harga riil perumahan.
Inilah yang begitu ditekankan di dalam UU PPKSK Pasal 12 mengenai pentingnya koordinasi di
antara anggota FKSSK. Setiap institusi di dalamnya sudah waktunya belajar memperlonggar akses
informasi yang akurat dan cepat terhadap stakeholders lainnya, untuk melahirkan kebijakan
makroprudensial yang komprehensif dan terintegrasi. Yang paling banyak disorot adalah
koordinasi antara BI dan OJK, yang sering dianggap suboptimal karena jaringan koordinasi yang
lemah, sering tumpang tindih, dan terkadang berjalan sendiri-sendiri. Fungsi BI sebagai lender of
the resort akan menjadi kurang optimal, jika tidak diimbangi sharing informasi yang berkualitas
dengan OJK.
Sampai saat ini terkesan, koordinasi antara otoritas moneter (BI dan/atau OJK) justru lebih baik
ketika duduk membicarakan rencana kebijakan dengan otoritas fiskal, dibandingkan saat
berkoordinasi antarsesama otoritas moneter. Apakah ini karena pembagian wewenang antara
makro dan mikroprudensialnya belum sepenuhnya clear, atau sumber masalahnya justru karena
sisi kelembagaannya belum menghadirkan modal sosial yang kuat di antara kedua lembaga? Atau
apakah memang perlu dibentuk badan supervisi baru yang berwenang mengawasi pola koordinasi
di antara kedua instansi?
Kita tinggal menunggu bagaimana kedua institusi bisa mengejawantahkan secara akurat substansi-
substansi, yang terkandung di dalam UU PPKSK. Karena kinerja keduanya tidak terbatas hanya
pada Paket Kebijakan Ekonomi, tetapi akan terus bergulir sepanjang FKSSK tetap dibutuhkan,
dalam mendukung perwujudan stabilitas sistem keuangan.
Di Indonesia, ketika risiko instabilitas sistem keuangan berasal dari tekanan inflasi dan volatilitas
nilai tukar rupiah, maka kebijakan makroprudensial yang diambil oleh BI akan selalu mengarah
kepada usaha untuk menuntaskan kedua masalah tersebut. Sebut saja, misalnya, pengetatan
moneter melalui penaikan suku bunga acuan.
Ketika suku bunga acuan naik, maka secara otomatis akan mengerek bunga kredit perbankan.
Akibatnya bisa ditebak, yakni permintaan kredit akan melambat. BI sengaja mengambil kebijakan
ini untuk menjaga pertumbuhan kredit agar tidak terlalu tinggi, terutama kredit konsumsi yang
ditopang oleh kredit perumahan dan kendaraan. BI tak mau ada pertumbuhan yang terlampau cepat
karena dapat mengancam stabilitas jika mendadak terjadi krisis keuangan.
Di sisi lain, BI juga senantiasa menjaga nilai tukar rupiah agar selalu stabil. Stabil, bukan selalu
berarti rendah, namun disesuaikan dengan kebutuhan.
Kebijakan makroprudensial dimulai sejak tahap awal yakni pemetaan dan pemantauan risiko,
hingga berlanjut ke tahap pemilihan instrumen kebijakan yang diperlukan beirkut
implementasinya. Tahap terakhir adalah evaluasi untuk mengetahui efektivitas tindakan yang
diambil.
Kebijakan Mikroprudensial
OJK sebagai otoritas micro prudential NKRI yang terfokus pada konsentrasi risiko pada setiap
lembaga keuangan, yaitu risiko setiap bank atau bukan bank.
Kebijakan micro prudential pada umumnya menguji kemampuan tiap bank menghadapi risiko
eksogen (yaitu risiko karena fundamental ekonomi, hukum alam (mis.dampak domino krisis),
hukum ekonomi (mis. hukum pasok-permintaan), bencana (mis. bank rush), kehendak
Allah(mis.kematian CEO)), bukan risiko endogen (yaitu risiko karena kelemahan sistem keuangan
ciptaan bangsa itu, cq OJK dan BI), dalam sudut pandang tidak terkait pada berbagai sistem lain.
Kebijakan microprudential dapat diartikan sebagai kebijakan yang mengacu pada kondisi tiap-tiap
individu lembaga jasa keuangan sebagai objek kebijakan dengan melakukan analisis kesehatan
neraca Bank, khususnya terkait dengan kecukupan modal dalam menghadapi siklus
usaha. Tujuan pengawasan microprudential adalah melindungi nasabah dan menurunkan
ancaman efek menular kebangkrutan Bank terhadap perekonomian. Lingkup pengawasan
microprudential yang dialihkan ke Otoritas Jasa Keuangan mulai 1 januari 2014 adalah
berkaita dengan tugas pengaturan dan pengawasan Perbankan yang meliputi hal-hal
berikut: