Berita Ekonomi:
UMKM Sulit Akses Kredit Perbankan Arif Budianto Senin, 11 Februari 2013 − 19:31 WIB
Sumber: http://ekbis.sindonews.com/read/2013/02/11/34/716626/umkm-sulit-akses-kredit-
perbankan
A ISU PERMASLAHAN
Sindonews.com – Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan
Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kusumaningtuti Sandriharmy Soetiono
mengungkapkan, kebiasaan masyarakat mengakses kredit kepada lembaga keuangan
nonformal karena aturan administrasi perbankan masih sulit dipenuhi pelaku usaha mikro,
kecil dan menengah (UMKM). Menurutnya, lembaga keungan formal, mestinya lebih
mempermudah pelaku UMKM mengakses modal. Saat ini, upaya yang bisa dilakukan OJK,
yaitu memberi edukasi kepada masyarakat tentang kredit. “Pemberian pemahaman tersebut,
diharapkan dapat mengalihkan kebiasaan masyarakat mengakses pembiayaan nonformal ke
lembaga keuangan formal,” ujarnya, Senin (11/2/2013). Direktur Eksekutif Departemen
Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI), Hendar mengatakan, langkah nyata yang bisa
dilakukan BI menekan bunga kredit yaitu menyerukan perbankan melakukan efisiensi.
Sedangkan untuk UMKM, pihaknya menerbitkan aturan agar perbankan transparan mengenai
besaran bunga kredit. “Sejak 1997, Bank Indonesia tidak lagi mengatur suku bunga kredit
perbankan. Kami hanya memberi acuan suku bunga kredit (BI Rate) untuk tabungan. Tapi
pada prinsipnya, kami terus berupaya agas perbankan bisa menekan bunga kredit,” pungkas
dia. Aplikasi kebijakan perekonomian yang bercorak kerakyatan tersebut dalam jangka
pendek difokuskan pada tujuan yang mengurangi kemiskinan dan penganguran,
berkurangnya kesenjangan antara daerah, meningkatkan kualitas manusia yang tercermin dari
terpenuhinya hak-hak sosial rakyat, membaiknya mutu lingkungan hidup dan pengolahan
sumber daya alam, serta meningkatkanya dukungan infrastruktur. Berbicara masalah
ekonomi rakyat tampaknya tidak akan terlepas dari pembicaraan tentang UMKM, karena
sampai pada tahun 2006 Badan pusat stastistik menginformasikan bahwa 48,528 juta
(99,99%) unit usaha yang ada di Indonesia adalah mereka yang tergolong dalam usaha mikro,
kecil dan menengah (UMKM). Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa menggerakan
ekonomi rakyat adalah identik dengan memperdayakan UMKM.Sesuai dengan tujuan dan
sasaran pembagunan yang tertuang dalam RPJMN maka idealnya sasaran dan prioritas
B PEMAHASAN PERMASLAHAN
1. TEORI PERMASLAHAN
a) Struktur Perekonomian Indonesia
Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian
Indonesia dan terbukti menjadi katup pengamanan perekonomian nasional dalam masa krisis
ekonomi, serta menjadi dinamisator pertumbuhan ekonomi pasca krisis ekonomi.
Perekonomian Indonesia masih didominasi oleh sektor produktivitas yang rendah, seperti:
sektor pertanian, perdagangan dan industri rumah tangga (Kuncoro, 2013:189-190)
Usaha mikro kecil umumnya memiliki kenggulan dalam bidang yang memanfaatkan
sumber daya alam dan padat karya, seperti: pertanian tanaman pangan, perkebunan,
perternakan, perikanan, perdagangan dan restoran. Usaha menengah memiliki keunggulan
dalam penciptan nilai tambah di sektor hotel, keuangan, persewaan, jasa perusahaan dan
kehutanan. Usaha besar memiliki keunggulan dalam industri pengolahan, listrik dan gas,
komunikasi dan pertambangan. Hal ini membuktikan bahwa usaha mikro, kecil dan
menengah dan usaha besar di dalam praktiknya saling melengkapi.
Struktur perekonomian Indonesia masih di dominasi oleh Jawa, Bali dan Sumatera,
khususnya DKI Jakarta. Hal ini diindikasikan oleh jumlah uang yang beredar, alokasi kredit,
pajak, dan alokasi sumber daya produktif lainnya. Struktur perekonomian masih mengandung
berbagai ketimpangan, dengan pertumbuhan yang masih berpusat di Jakarta dan sekitarnya.
Untuk itu, perlu ada komitmen bersama untuk menumbuhkan pusat-pusat aktivitas ekonomi
yang mampu mengambangkan sumber daya lokal dan mengerakkan ekonomi rakyat yang
lebih produktif dan berdaya saing.
Perekonomian Indonesia dalam masa pemuliahan ekonomi terus tumbuh, namun
mengawatirkan, karena pertumbuhannya lebih ditarik oleh sektor konsumsi dan bukan sektor
produksi. Rendahnya tingkat investasi dan produktivitas, serta rendahnya pertumbuhan usaha
baru di Indonesia perlu memperoleh perhatian yang serius pada masa mendatang dalam
rangka mengembangkan usaha mikro, kecil dan menengah menuju usaha yang berdaya saing
tinggi.
Mempertimbangkan ekonomi rakyat umumnya berbasis pada sumber daya ekonomi
lokal dan tidak bergantung pada impor, serta hasilnya mampu diekspor karena keunikannya,
maka pembangunan ekonomi rakyat diyakini akan memperkuat fondasi perekonomian
nasional. Perekonomian nasional akan memiliki fundamental yang kuat jika ekonomi rakyat
telah menjadi pelaku utama yang produktif dan berdaya saing dalam perekonomian nasional.
Untuk itu, pembanguan ekonomi rakyat melalui pemberdayaan koperasi, usaha mikro, kecil
dan menengah menjadi prioritas utama pembangunan ekonomi nasional dalam jangka
panjang.
b) Kinerja UMKM dalam Perekonomian Indonesia
I. Potret UKM di Indonesia
Sutrisno (1994:196-197) menyatakan perkembangan UKM di Indonesia selama ini
dilakukan oleh kantor Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kementerian
Negara KUKM). Selain Kementerian Negara KUKM, instansi yang lain seperti
Depperindag, Depkeu, dan BI juga melaksanakan fungsi pengembangan UKM sesuai dengan
wewenang masing-masing.Dimana Depperindag melaksankan fungsi pembanguanan Industri
Kecil dan Menengah (IKM) dengan menyusun rencana induk pembanguanan industri kecil
menengah tahun 2015-2019. Demikian juga Departemen keuangan melalui SK Menteri
Keuangan (Menkeu) No. 52/ PMK.06/2016 mewajibkan BUMN untuk menyisihkan 1-5%
laba perusahaan bagi pembinaan usaha kecil dan koperasi (PUKK). Bank Indonesia sebagai
otoritas keuangan dahulu mengelurakan peraturan Indonesia mengenai kredit bank untuk
UKM, meskipun akhir-akhir ini tidak ada kewajiban khusus Terhadap perbankan mengenai
pemberian kredit ke usaha kecil lagi. Demikian juga kantor ataupun instansi lainnya yang
terlibat dalam “bisnis” UKM juga banyak.
Meskipun banyak yang terlibat dalam pengembangan UKM namun tugas
pengembangan UKM yang terlibat kepada instansi-instansi tersebut diwarnai banyak isu
negatif misalnya politisasi Terhadap KUKM, terutama koperasi serta pemberian dana subsidi
JPS yang tidak jelas dan tidak terarah. Demikian juga kewajiban BUMN untuk menyisihkan
labanya 1-5% juga tidak dikelola dan dilaksanakan dengan baik. Kebanyakan BUMN
memilih persentase terkecil , yaitu 1 % sementara banyak UKM yang mengaku kesulitan
mengakses dana tersebut. Selain itu kredit perbaankan juga sulit untuk diakses oleh yang
belum bankable. Apalagi BI tidak lagi membantu usaha kecil dalam bidang permodalan
secara langsung dengan diperlakukannya UU RI No. 6 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia.
Utara dalam Utomo (2011:197-198) menyatakan sejalan permasalahan yang sudah
disebutkan sebelumnya, secara umum UKM sendiri menghadapi dua permasalahan utama,
yaitu masalah finansial dan masalah non-finansial (organisasi manajemen). Masalah yang
termasuk masalah finansial di antaranya adalah sebagai berikut.
a) Kurangnya kesesuaian (terjadinya mismactch) antara dana yang tersedia yang dapat
diakses oleh UKM
b) Tidak adanya pendekatan yang sistematis dalam pendanaan UKM
c) Biaya transaksi yang tinggi, yang disebabkan oleh prosedur kredit yang cukup rumit
sehingga menyita banyak waktu sementara jumlah kredit yang dikucurkan kecil
d) Kurangnya akses sumber dana yang formal, baik disebabkan oleh ketiadaan bank di
pelosok maupun tidak tersedianya informasi yang memadai
e) Bunga kredit untuk investasi maupun modal kerja yang cukup tinggi
f) Banyak UKM yang belum bankable, baik disebabkan belum adanya manajemen
keuangandan finansial.
C ANALIS KASUS
Ferrell Et Al. (2011) menyatakan bahwa usaha kecil merupakan usaha yang
dioperasikan dan dimiliki secara mandiri yang tidak dominan di area kompetitifnya dan tidak
mempekerjakan karyawan lebih dari 500 orang. Lebih lanjut, Maryatmo dan Rahayu (2009)
menyatakan bahwa terdapat dua definisi mengenai usaha kecil di Indonesia. Pertama, definisi
usaha kecil menurut Undang-Undang No. 20 tahun 2008 tentang usaha mikro, kecil, dan
menengah dan definisi usaha kecil menurut Badan Pusat Statistik. Menurut UU No. 20 Tahun
2008 tentang usaha mikro, kecil, dan menengah, usaha kecil merupakan usaha ekonomi
produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang
bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai,
atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha
besar yang memenuhi kriteria usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No
20 Tahun 2008. Kriteria usaha kecil tersebut antara lain: (1) memiliki kekayaan bersih lebih
dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;
atau (2) memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)
sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).
Selanjutnya, BPS (1999) dalam Maryatmo dan Rahayu (2009) menyatakan bahwa usaha kecil
identik dengan industri kecil dan industri rumah tangga. BPS mengklasifikasikan industri
berdasrakan jumlah pekerjanya, yaitu: (1) industri rumah tangga dengan pekerja 1-4 orang;
(2) industri kecil dengan pekerja 5-19 orang; (3) industri menengah dengan pekerja 20-99
orang;dan (4) industri besar dengan pekerja 100 orang atau lebih.
Ferrell et al. (2011) menyatakan bahwa sumber daya keuangan dari usaha kecil dapat
terdiri dari equity financing dan debt financing. Pada equity financing, pemilik usaha lebih
menggunakan aset pribadi riil mereka daripada meminjam dana dari sumber luar untuk
memulai suatu usaha. Pemilik usaha juga dapat menyediakan modal kerja (working capital)
dengan menginvestasikan kembali keuntungan untuk menjalankan bisnis atau dengan tidak
mengambil gaji secara penuh. Pemilik usaha juga dapat mengumpulkan modal dari mencari
investor untuk operasional mereka. Mereka dapat menjual saham usaha kepada anggota
keluarga, teman, karyawan maupun investor lain. Di sisi lain, pada debt financing, usaha
kecil menggunakan sumber dana eksternal bagi usaha mereka. Bank merupakan suplier
utama keuangan eksternal usaha kecil. Usaha kecil juga dapat mencari sumber pinjaman
jangka panjang atau sumber aset lainnya dari keluarga dan teman. Selain itu, usaha kecil
dapat mengumpulkan pendanaan dari pemasok/ supplier mereka dalam bentuk trade credit.
Lebih lanjut, beberapa sponsor kelompok komunitas meminjamkan dana untuk mendukung
perkembangan beberapa tipe usaha. Agen lokal dan pemerintahan juga dapat menjamin
pinjaman, terutama bagi pelaku usaha minoritas untuk perkembangan di beberapa area.
Kasus pada bahan bacaan yang dilampirkan kelompok 3 adalah kasus kesulitan
UMKM (Usaha Kecil, Mikro, Menengah) untuk mengakses kredit perbankan (Budianto
2013). Budianto (2013) menyatakan bahwa masyarakat, khususnya UMKM, masih sulit
mengalihkan kebiasaan mengakses pembiayaan nonformal ke lembaga keuangan formal.
Berdasarkan istilah yang dinyatakan Ferrell et al. (2011) mengenai salah satu sumber
keuangan usaha kecil, yaitu debt financing, maka garis besar kasus pada bacaan yang
dilampirkan kelompok 3 adalah bahwa mayoritas usaha kecil di Indonesia tidak melakukan
aktivitas mengumpulkan pendanaan usaha melalui sumber pendanaan eksternal (debt
financing) yang bersumber dari bank / lembaga keuangan formal. Lebih lanjut, BPS dan
Kementrian Negara KUKM (2003) dalam Winarni (2006) dalam Zulfikar (2013) menyatakan
hal yang serupa, bahwa dalam mengatasi kesulitan permodalan, 17,50 % UKM menambah
modalnya dengan meminjam ke bank, sisanya 82,50 % tidak melakukan pinjaman ke bank
tetapi ke lembaga non bank seperti Koperasi Simpan Pinjam (KSP), perorangan, keluarga,
modal ventura, lainnya.
Menurut Ferrell et al. (2011), usaha kecil mampu membuka lapangan kerja dan
meningkatkan penyerapan tenaga kerja dari kalangan minoritas dan wanita. Peranan usaha
kecil dalam menyerap tenaga kerja tersebut juga dapat dilihat di Indonesia, misalnya data
BPS (2003) dalam Zulfikar (2013)menunjukkan bahwa populasi usaha kecil dan menengah
(UKM) jumlahnya mencapai 42,5 juta unit atau 99,9 persen dari keseluruhan pelaku bisnis di
tanah air. UKM juga memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penyerapan tenaga
kerja, yaitu sebesar 99,6 persen. Semenrtara itu, kontribusi UKM terhadap Produk Domestik
Bruto (PDB) adalah sebesar 56,7 persen.Ferrell et al. (2011)bahwa salah satu penyebab
kegagalan yang tinggi dari usaha kecil adalah undercapitalization yaitu kekurangan dana
untuk mengoperasikan bisnis secara normal. Jika usaha kecil melakukan debt financing dari
lembaga non-bank/ lembaga keuangan tidak formal maka usaha kecil akan kesulitan
mengumpulkan tambahan dana untuk modal usaha karena keterbatasan dana yang dimiliki
sumber non-bank tersebut (tidak sebanyak dana yang dimiliki lembaga formal/bank.. Selain
itu, jika usaha kecil melakukan debt financing dari renternir, maka suatu saat hal tersebut
dapat mengganggu usaha yang dijalankan karena kesulitan pembayaran bunga pinjaman yang
terlalu tinggi (tidak sesuai aturan pemerintah dan merugikan UMKM).Oleh karena itu,
menurut saya, minimnya akses UMKM terhadap lembaga keuangan formal/bank harus segera
ditangani.
Pada bacaan yang dilampirkan kelompok 3 tersebut, Budianto (2013) menyatakan
bahwa kebiasaan masyarakat mengakses kredit kepada lembaga keuangan nonformal
disebabkan aturan administrasi perbankan masih sulit dipenuhi pelaku usaha mikro, kecil dan
menengah (UMKM). Dari sudut pandang UMKM, Winarni (2006) mengutip hasil penelitian
BPS dan Kementrian Negara KUKM (2003) menyatakan bahwa UMKM mengalami
beberapa permasalahan dalam mendapatkan kredit modal usaha dari Bank, antara lain yaitu:
(1) prosedur pengajuan yang sulit 30,30 %; (2) tidak berminat 25,34 %; (3) pelaku UMKM
tidak punya agunan 19,28 %; (4) UMKM yang tidak tahu prosedur 14,33 %; (5) suku bunga
tinggi 8,82 %; (6) proposal ditolak (1,93 %). Di sisi lain, dari sudut pandang Bank, BI
(2013) menyatakan bahwa hambatan program kredit usaha rakyat (KUR), antara lain: (1)
sosialiasi kepada masyarakat masih kurang; (2) suku bunga KUR masih dirasakan cukup
tinggi; (3) keterlambatan pembayaran klaim dari Lembaga Penjamin;(4) kesulitan mencari
debitur yang sesuai dengan kriteria dan persyaratan; (5) terdapat dispute terhadap beberapa
ketentuan KUR.
Menurut saya, aturan administrasi dan prosedur bagi UMKM untuk mengajukan
pinjaman ke bank sebenarnya tidak sulit, prosedur pengajuan Kredit Usaha Rakyat (KUR) di
BRI misalnya. UMKM dan Koperasi dapat mengajukan permohonan kredit/ pinjaman ke
Kantor Cabang BRI/ Kantor Cabang Pembantu. Permohonan kredit pinjaman yang diajukan
tersebut harus dilampiri dengan dokumen pendukung antara lain: copy legalitas dan perijinan,
data usaha dan dokumen untuk keperluan analisa kebutuhan kredit, kunjungan langsung ke
tempat usaha oleh pejabat kredit lini, hasil analisa kebutuhan kredit yang dituangkan dalam
memorandum analisa kebutuhan kredit sesuai ketentuan yang berlaku dan diajukan ke pejabat
pemutus untuk mendapatkan putusan kredit (Kementrian Koperasi dan UKM 2013). Menurut
saya, prosedur bagi UMKM untuk mengajukan pinjaman ke Bank tersebut hanya “dirasakan
sulit” karena kurang adanya informasi dan pendampingan pemenuhan dokumen bagi usaha
kecil ketika ingin mengajukan kredit ke Bank. Oleh karena itu saya sependapat dengan
tindakan yang dilakukan OJK yang dinyatakan oleh Soetiono (2013) dalam Budianto (2013),
yaitu memberikan edukasi mengenai kredit pada masyarakat. Menurut saya, tindakan tersebut
dapat mengatasi kendala yang dinyatakan Winarni (2006) dalam Zulfikar (2013) berupa
ketidaktahuan informasi mengenai kredit dan ketidakminatan UMKM untuk mengajukan
kredit ke Bank.
Lebih lanjut, menurut saya pemerintah juga perlu mengoptimalkan program
pendampingan UMKM, seperti pernyataan Ferrelll et al. (2011) mengenai kegiatan
pendampingan keuangan dan manajerial bagi usaha kecil yang dilakukan oleh SBA (Small
Business Administration). Dengan adanya pendampingan yang baik dari pemerintah terhadap
UMKM, UMKM diharapkan akan mampu memenuhi aturan administrasi yang awalnya
dirasakan sulit dan proposal pinjaman yang diajukan UMKM dapat diterima oleh Bank.
Selain itu, UMKM diharapkan pula dapat memenuhi kriteria dan persyaratan peminjaman
kredit di Bank.
Saya juga setuju dengan pernyataan Hendar (2013) dalam Budianto (2013)
mengenai tindakan yang dilakukan BI untuk mengatasi minimnya tingkat pinjaman UMKM
di Bank melalui penyeruan efisiensi dan memberiakan acuan tingkat bunga pada perbankan
untuk menekan bunga kredit perbankan. Dengan tindakan tersebut, tingginya bunga kredit
yang merupakan salah satu hambatan yang dialami UMKM untuk meminjam dana di Bank
menurut Winarni (2006) dalam Zulfikar (2013) dan kendala program KUR yang dinyatakan
BI (2013) diharapkan dapat teratasi. Kemudian, saya setuju dengan pendapat Winarti (2004)
dalam Zulfikar (2013) mengenai salah satu alternatif solusi untuk menangani hambatan
UMKM dalam meminjam dana dari Bank. Jika dilihat dari sisi kreditor( pemodal atau
lembaga pembiayaan), untuk melindungi resiko kredit maka kegiatan bisnis UMKM yang
mengajukan pinjaman harus memiliki ijin usaha resmi serta adanya jaminan (collateral). Hal
tersebut sesuai dengan yang dinyatakan Ferrell et al. (2011) bahwa jika usaha kecil
meminjam dana dari bank maka besarnya pinjaman yang akan dipinjamkan bank ataupun
institusi tersebut tergantung pada kemungkinan resiko sukses serta kemampuan
wirausahawan untuk melunasi pinjaman. Selain itu, bank akan meminta pemilik usaha kecil
menyediakan collateral. Hal tersebut juga menjadi salah satu hambatan UMKM untuk
meminjam dana dari Bank. Oleh karena itu, Winarti (2004) dalam Zulfikar (2013)
menyatakan bahwa peran serta lembaga penjaminan kredit perlu ditingkatkan melalui skema
penjaminan kredit. Melalui skema tersebut, bank dan perusahaan penjamin membuat suatu
perjanjian kerjasama penjaminan kredit. UMKM yang membutuhkan tambahan modal dari
lembaga penyalur kredit mengajukan penjaminan kepada perusahaan penjamin dan
mengajukan kredit kepada Bank. Apabila hasil analisis kelayakan, usaha dinyatakan layak
(feasible), namun tidak layak dari sudut pandang perbankan karena ketidakcukupan agunan
(tidak bankable), maka bank mengajukan penjaminan kepada perusahaan penjamin. Selain
itu, menurut Republika (2013) dalam Depkop (2013), untuk mengatasi hambatan berupa
tidak tersedianya agunan, pemerintah juga telah menyediakan duapuluh ribu sertifikat tanah
yang dapat digunakan UMKM sebagai agunan saat mengajukan pinjaman ke bank.
Peran Usaha Kecil Menengah (UKM) di Indonesia sangat besar dan telah terbukti
menyelamatkan perekonomian bangsa pada saat dilanda krisis ekonomi tahun 1997. Di
negara-negara maju pun, baik di Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Italia, UKM lah yang
menjadi pilar utama perekonomian negara. Disamping itu upaya pengembangan UKM
dengan mensinergikannya dengan industri besar melalui pola kemitraan, juga akan
memperkuat struktur ekonomi baik nasional maupun daerah. Partisipasi pihak terkait atau
stakeholders perlu terus di tumbuh kembangkan lainnya agar UKM betul-betul mampu
berkiprah lebih besar lagi dalam perekonomian nasional. Sehingga Peran UKM Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia semakin optimal.
2. Saran
Banyak sekali hambatan – hambatan dalam pembanguan UKM, terutama jika di
harapkan untuk dapat berpartisipasi dalam pasar global. Hambatan – hambatan tersebut di
antaranya yang berkaitan dengan akses finansial, kurangnya keahlian, pengetahuan, informasi
dan teknologi. Hal inilah yang menghambat UKM untuk bisa berkiprah di pasar global,
meskipun pelungnya sebetulnya terbuka lebar. UKM di negara maju telah merspons
kesempatan ini dengan memfokuskan diri pada inovasi, IT, niche market, networking dan
clustering untuk meningkatkan keunggulan kompetitifnya.
Untuk pembagunan UKM di Indonesia, selain situasi ekonomi global yang sedang
memburuk, hambatan pengembangan UKM juga berupa kurangnya pengetahuan bisnis,
entepreneurship, regulasi birokrasi yang belum kondusif, korupsi, serta kurangnya dukungan
pemerintah. Oleh karenanya, diperlukan sesuatu penanganan yang intesif untuk
menyelamatkan UKM. Strategi – strategi subkontrak, value chain, niche market, dan
networking merupakan strategi yang paling tepat di terapkan di Indonesia.
Pemerintah akan sangat berperan penting dalam situasi ekonomi yang sedang
memburuk dalam menyelamatkan dan mengembangkan UKM. Aturan – aturan yang sangat
birokratis dan korupsi perlu ditangani dengan segera. Pemerintah beserta jajaranya akan
sangat diperlukan lebih sebagai peran fasilitator. Meningkatnya peran UKM dalam ekonomi
global sangat penting dan dalam hal ini, kebijakan pemerintah harus ditunjukan pada
peningkatan skill dan teknologi, memberikan informasi tentang peluang pasar; memfasilitasi
akses pendanaan, serta yang harus dihadapi UKM dalam situasi ekonomi sekarang ini, namun
globalisasi membutuhkan peningkatan daya saing dan produk berkualitas jika ingin tetap
survive apalagi jika ingin dapat berpartisispasi dan memanfaatkan globalisasi.
DAFTAR RUJUKAN