Anda di halaman 1dari 18

Analisis Kasus: UMKM Sulit Akses Kredit Perbankan

Berita Ekonomi:
UMKM Sulit Akses Kredit Perbankan Arif Budianto Senin, 11 Februari 2013 − 19:31 WIB
Sumber: http://ekbis.sindonews.com/read/2013/02/11/34/716626/umkm-sulit-akses-kredit-
perbankan

A ISU PERMASLAHAN
Sindonews.com – Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan
Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kusumaningtuti Sandriharmy Soetiono
mengungkapkan, kebiasaan masyarakat mengakses kredit kepada lembaga keuangan
nonformal karena aturan administrasi perbankan masih sulit dipenuhi pelaku usaha mikro,
kecil dan menengah (UMKM). Menurutnya, lembaga keungan formal, mestinya lebih
mempermudah pelaku UMKM mengakses modal. Saat ini, upaya yang bisa dilakukan OJK,
yaitu memberi edukasi kepada masyarakat tentang kredit. “Pemberian pemahaman tersebut,
diharapkan dapat mengalihkan kebiasaan masyarakat mengakses pembiayaan nonformal ke
lembaga keuangan formal,” ujarnya, Senin (11/2/2013). Direktur Eksekutif Departemen
Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI), Hendar mengatakan, langkah nyata yang bisa
dilakukan BI menekan bunga kredit yaitu menyerukan perbankan melakukan efisiensi.
Sedangkan untuk UMKM, pihaknya menerbitkan aturan agar perbankan transparan mengenai
besaran bunga kredit. “Sejak 1997, Bank Indonesia tidak lagi mengatur suku bunga kredit
perbankan. Kami hanya memberi acuan suku bunga kredit (BI Rate) untuk tabungan. Tapi
pada prinsipnya, kami terus berupaya agas perbankan bisa menekan bunga kredit,” pungkas
dia. Aplikasi kebijakan perekonomian yang bercorak kerakyatan tersebut dalam jangka
pendek difokuskan pada tujuan yang mengurangi kemiskinan dan penganguran,
berkurangnya kesenjangan antara daerah, meningkatkan kualitas manusia yang tercermin dari
terpenuhinya hak-hak sosial rakyat, membaiknya mutu lingkungan hidup dan pengolahan
sumber daya alam, serta meningkatkanya dukungan infrastruktur. Berbicara masalah
ekonomi rakyat tampaknya tidak akan terlepas dari pembicaraan tentang UMKM, karena
sampai pada tahun 2006 Badan pusat stastistik menginformasikan bahwa 48,528 juta
(99,99%) unit usaha yang ada di Indonesia adalah mereka yang tergolong dalam usaha mikro,
kecil dan menengah (UMKM). Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa menggerakan
ekonomi rakyat adalah identik dengan memperdayakan UMKM.Sesuai dengan tujuan dan
sasaran pembagunan yang tertuang dalam RPJMN maka idealnya sasaran dan prioritas
B PEMAHASAN PERMASLAHAN
1. TEORI PERMASLAHAN
a) Struktur Perekonomian Indonesia
Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian
Indonesia dan terbukti menjadi katup pengamanan perekonomian nasional dalam masa krisis
ekonomi, serta menjadi dinamisator pertumbuhan ekonomi pasca krisis ekonomi.
Perekonomian Indonesia masih didominasi oleh sektor produktivitas yang rendah, seperti:
sektor pertanian, perdagangan dan industri rumah tangga (Kuncoro, 2013:189-190)
Usaha mikro kecil umumnya memiliki kenggulan dalam bidang yang memanfaatkan
sumber daya alam dan padat karya, seperti: pertanian tanaman pangan, perkebunan,
perternakan, perikanan, perdagangan dan restoran. Usaha menengah memiliki keunggulan
dalam penciptan nilai tambah di sektor hotel, keuangan, persewaan, jasa perusahaan dan
kehutanan. Usaha besar memiliki keunggulan dalam industri pengolahan, listrik dan gas,
komunikasi dan pertambangan. Hal ini membuktikan bahwa usaha mikro, kecil dan
menengah dan usaha besar di dalam praktiknya saling melengkapi.
Struktur perekonomian Indonesia masih di dominasi oleh Jawa, Bali dan Sumatera,
khususnya DKI Jakarta. Hal ini diindikasikan oleh jumlah uang yang beredar, alokasi kredit,
pajak, dan alokasi sumber daya produktif lainnya. Struktur perekonomian masih mengandung
berbagai ketimpangan, dengan pertumbuhan yang masih berpusat di Jakarta dan sekitarnya.
Untuk itu, perlu ada komitmen bersama untuk menumbuhkan pusat-pusat aktivitas ekonomi
yang mampu mengambangkan sumber daya lokal dan mengerakkan ekonomi rakyat yang
lebih produktif dan berdaya saing.
Perekonomian Indonesia dalam masa pemuliahan ekonomi terus tumbuh, namun
mengawatirkan, karena pertumbuhannya lebih ditarik oleh sektor konsumsi dan bukan sektor
produksi. Rendahnya tingkat investasi dan produktivitas, serta rendahnya pertumbuhan usaha
baru di Indonesia perlu memperoleh perhatian yang serius pada masa mendatang dalam
rangka mengembangkan usaha mikro, kecil dan menengah menuju usaha yang berdaya saing
tinggi.
Mempertimbangkan ekonomi rakyat umumnya berbasis pada sumber daya ekonomi
lokal dan tidak bergantung pada impor, serta hasilnya mampu diekspor karena keunikannya,
maka pembangunan ekonomi rakyat diyakini akan memperkuat fondasi perekonomian
nasional. Perekonomian nasional akan memiliki fundamental yang kuat jika ekonomi rakyat
telah menjadi pelaku utama yang produktif dan berdaya saing dalam perekonomian nasional.
Untuk itu, pembanguan ekonomi rakyat melalui pemberdayaan koperasi, usaha mikro, kecil
dan menengah menjadi prioritas utama pembangunan ekonomi nasional dalam jangka
panjang.
b) Kinerja UMKM dalam Perekonomian Indonesia
I. Potret UKM di Indonesia
Sutrisno (1994:196-197) menyatakan perkembangan UKM di Indonesia selama ini
dilakukan oleh kantor Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kementerian
Negara KUKM). Selain Kementerian Negara KUKM, instansi yang lain seperti
Depperindag, Depkeu, dan BI juga melaksanakan fungsi pengembangan UKM sesuai dengan
wewenang masing-masing.Dimana Depperindag melaksankan fungsi pembanguanan Industri
Kecil dan Menengah (IKM) dengan menyusun rencana induk pembanguanan industri kecil
menengah tahun 2015-2019. Demikian juga Departemen keuangan melalui SK Menteri
Keuangan (Menkeu) No. 52/ PMK.06/2016 mewajibkan BUMN untuk menyisihkan 1-5%
laba perusahaan bagi pembinaan usaha kecil dan koperasi (PUKK). Bank Indonesia sebagai
otoritas keuangan dahulu mengelurakan peraturan Indonesia mengenai kredit bank untuk
UKM, meskipun akhir-akhir ini tidak ada kewajiban khusus Terhadap perbankan mengenai
pemberian kredit ke usaha kecil lagi. Demikian juga kantor ataupun instansi lainnya yang
terlibat dalam “bisnis” UKM juga banyak.
Meskipun banyak yang terlibat dalam pengembangan UKM namun tugas
pengembangan UKM yang terlibat kepada instansi-instansi tersebut diwarnai banyak isu
negatif misalnya politisasi Terhadap KUKM, terutama koperasi serta pemberian dana subsidi
JPS yang tidak jelas dan tidak terarah. Demikian juga kewajiban BUMN untuk menyisihkan
labanya 1-5% juga tidak dikelola dan dilaksanakan dengan baik. Kebanyakan BUMN
memilih persentase terkecil , yaitu 1 % sementara banyak UKM yang mengaku kesulitan
mengakses dana tersebut. Selain itu kredit perbaankan juga sulit untuk diakses oleh yang
belum bankable. Apalagi BI tidak lagi membantu usaha kecil dalam bidang permodalan
secara langsung dengan diperlakukannya UU RI No. 6 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia.
Utara dalam Utomo (2011:197-198) menyatakan sejalan permasalahan yang sudah
disebutkan sebelumnya, secara umum UKM sendiri menghadapi dua permasalahan utama,
yaitu masalah finansial dan masalah non-finansial (organisasi manajemen). Masalah yang
termasuk masalah finansial di antaranya adalah sebagai berikut.
a) Kurangnya kesesuaian (terjadinya mismactch) antara dana yang tersedia yang dapat
diakses oleh UKM
b) Tidak adanya pendekatan yang sistematis dalam pendanaan UKM
c) Biaya transaksi yang tinggi, yang disebabkan oleh prosedur kredit yang cukup rumit
sehingga menyita banyak waktu sementara jumlah kredit yang dikucurkan kecil
d) Kurangnya akses sumber dana yang formal, baik disebabkan oleh ketiadaan bank di
pelosok maupun tidak tersedianya informasi yang memadai
e) Bunga kredit untuk investasi maupun modal kerja yang cukup tinggi
f) Banyak UKM yang belum bankable, baik disebabkan belum adanya manajemen
keuangandan finansial.

Menurut Utomo (2011:198) sedangkan termasuk dalam masalah organisasi


manajemen (non-finansial) di antaranya adalah:
a) Kurangnya pengetahuan atas teknologi produksi dan quality control yang disebabkan oleh
minimnya kesempatan untuk mengikuti perkembangan teknologi serta kurangnya
pendidikan dan pelatihan
b) Kurangnya pengetahuan akan pemasaran, yang disebabkan oleh terbatasnya informasi
yang tidak di dapat dijangkau oleh UKM mengenai pasar, selain keterbatasan kemampuan
UKM untuk menyediakan produk atau jasa yang sesuai dengan keinginan pasar
c) Keterbatasan sumber daya manusia (SDM) secara kurangnya sumber daya untuk
mengembangkan SDM
d) Kurangnya pemahaman mengenai keuangan dan akuntansi

Menurut Utomo (2011:198) di samping dua permaslahan di atas, UKM juga


menghadapi permasalahan linkage dengan perusahaan serta ekspor. Permasalahan yang
terkait dengan linkage antara perusahaan di antaranya sebaggai berikut.
a) Industri pendukung yang lemah.
b) UKM yang memanfaatkan atau menggunakan sistem duster dalam bisnis belum banyak.

Utomo (2011:198) menyatakan sedangkan permasalahan yang terkait dengan ekspor


di antaranya adalah sebagai berikut.
a) Kurangnya informasi mengenai pasar ekspor yang dapat dimanfaatkan.
b) Kurangnya lembaga yang dapat membantu mengembangkan ekspor.
c) Sulitnya mendapatkan sumber dana untuk ekspor.
d) Pengurusan dokumen yang diperlukan untuk ekspor yang birokratis.
Beberapa hal yang ditengarai menjadi faktor penyebab permaslahan-permasalahan di
atas adalah: pelaksanaan undang-undang dan peraturan yang berkaitan dengan UKM,
termasuk masalah perpajakan yang belum memadai; masih terjadinya mismatch antara
fasilitas yang disediakan oleh pemerintah dan kebutuhan UKM; serta kurangnya linkage
antara UKM sendiri atau antara UKM dengan industri yang lebih besar. Hal ini tentunya
membutuhkan penanganan yang serius serta terkait erat dengan kebijakan pemerintah yang
dibuat untuk mengembangkan UKM .
II. Peran UKM
Bahwa sudah umum diakui usaha kecil (UK) dan usaha menengah (UM), atau umum
disebut UKM mempunyai peran yang sangat penting di dalam perekonomian Indonesia.
Selama ini peran yang disebut pertama adalah UKM menyerap banyak tenaga kerja sehingga
mengurangi jumlah penganguran dan berarti selanjutnya mengurangi jumlah tingkat
kemiskinan di dalam negeri. Peran lainya yang juga sering disebut adalah sumbangan dari
kelompok usaha tersebut Terhadap Pembentukan Domestik Bruto (PDB), yang memang
menunjukkan peningkatan tiap tahun. Selain itu, dalam beberapa tahun belakangan ini,
tempatnya setelah krisis ekonomi Asia 1997/1998, UKM mulai sering disebut mempunyai
peran lain yang juga tidak kalah penting, yakni potensinya sebagai salah satu motor
penggerak perkembangan atau pertumbuhan ekspor, khususnya manufaktur. Namun
demikian, untuk peran yang satu ini, UKM Indonesia masih relative lebih dibandingkan
usaha besar (UB). Maupun dibandingkan UKM di banyak negara sedang berkembang
(NSB) lainnya di Asia, termasuk China, Thailand dan Malaysia.
UKM Indonesia juga hingga saat ini masih lemah dalam kegiatan subcontracting
dengan usaha besar (UB), termasuk dengan perusahaan-perusahaan asing di dalam negeri.
UKM Indonesia pada umumnya belum siap dalam teknologi dan sumber daya manusia
(SDM) sebagai subkontraktor-subkontraktor yang kompetitif. Di sektor industri manufaktur,
kebanyakan UKM Indonesia adalah unit-unit produksi yang membuat barang-barang jadi
sederhana dengan kandungan teknologi rendah. Jumlah UKM yang membuat komponen-
komponen mesin atau otomotif di Indonesia masih relatif sangat sedikit (Tambunan,
2009:199-200).
III. Regulasi UKM
Menurut Utomo (2011:200-201) seperti sudah disebutkan sebelumnya, permasalahan
UKM juga tidak terlepas dari apsek regulasinya, bahkan dalam definisinya. Di dalam UU
No. 9/1995, yang dimaksud dengan Usaha Kecil adalah usaha yang memenuhi kriteria
adalah sebagai berikut.
a) Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200 juta tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha; atau
b) Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1 miliar;
c) Milik WNI;
d) Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki,
dikuasai atau berafilisasi baik langsumg, maupun tidak langsung dengan usaha menengah
atau besar; dan
e) Terbentuk usaha orang perorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan
usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi.
Menurut Tambunan (2001:45) dimana Bank Indonesia cenderung untuk
menggunakan kriteria ini, antara lain ketika menuliskan kriteria usaha kecil dalam Peraturan
Bank Indonesia yang berkaitan dengan Pemberian Kredit Usaha Kecil (PBI No.
3/2/PBI/2001). Di situ disebutkan bahwa kriteria Usaha Kecil (UK) merujuk pada UU No.
9/1995. Sementara itu, untuk mengakomodasikan kalangan Usaha Menengah (UM),
pemerintah telah mengeluarkan Inpres No. 10/1999. Menurut Inpres tersebut, UM adalah
entitas usaha dengan asset bersih Rp. 200 juta – Rp 10 miliar termasuk tanah dan bangunan.
Sedangkan instansi lainya seperti Depperindag juga mengeluarkan kententuan sendiri tentang
industri skala kecil menengah (IKM) yang ditentukan dalam Keputusan Menpperindag
(Kepmenpperindag) No. 350/MPP/Kep/12/2001. Di dalam Kepmenpperindag tersebut
disebutkan bahwa yang termasuk dengan IKM adalah usaha dengan nilai investasi maksimal
Rp. 5 miliar termasuk tanah dan bangunan. Sedangkan BPS juga membagi jenis IKM
berdasarkan besarnya jumlah pekerja, yaitu: (a) kerajianan rumah dibayar, (b) usaha kecil,
dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 5-9 orang, (c) usaha menegah, sebanyak 20-99 orang.
Belum lagi kriteria yang digunakan BPPN, sebagai LSM, serta para peneliti.Mereka untuk
menggunakan definisi UKM dengan kriteria yang diciptakannya sendiri.
Adanya berbagai macam penetapan definisi mengenai UKM di atas membawa
berbagai konsekuensi yang strategis. Definisi merupakan konsensus terhadap entitas UKM
sebagai dasar formulasi kebijakan yang akan diambil, sehingga paling tidak, ada dua tujuan
adanya definisi yang jelas mengenai UKM, yaitu pertama, untuk tujuan administrative dua
pengaturan serta kedua tujuan yang berkaitan dengan pembinaan (German Agency
FarTechnical Cooperation, 2002). Tujuan pertama berkaitan dengan ketentuan yang
mengharuskan suatu perusahaan memenuhi kewajibannya, seperti membayar pajak,
melaksankan tanggung jawab sosial dan lingkungan, serta mematuhi kententuaan
ketenagakerjaan seperti keamanan dan hak pekerjan lainnya. Sementara tujuan kedua lebih
pada pembuatan kebijakan yang terarah seperti upaya pembinaan, peningkatan kemampuan
teknis, serta kebijakan pembiayaan untuk UKM.
Meskipun perbedaan-perbedaan ini bisa dipahami dari segi tujuan masing-masing
lembaga, namun kalangan yang terlibat dengan kelompok UKM seperti pembuatan
kebijakan, konsultan, dan para pengambil keputusan akan menghadapi kesulitan dalam
melaksankan tugasnya. Seperti halnya, kesulitan dalam mendata yang akurat dan konsisten,
mengukur sumbangan UKM bagi perekonomian, dan merancang regulasi atau kebijakan
yang fokus dan terarah. Oleh karena itulah, upaya untuk membuat kriteria yang lebih relevan
dengan kondisi saat ini yang universal di seluruh Indonesia perlu dilakukan.
IV. UKM di Negara Lain
Menurut Utomo (2011:201-203) definisi UKM ternyata tidak hanya rancu di
Indonesia. Pada tingkat internasional pun ada banyak definisi yang digunakan untuk UKM.
Demikian juga banyak negara yang tidak memiliki definisi yang sama. Berikut ini dilihat
definisi UKM pada tingkat internasional.
a) World bank, membagi UKM ke dalam tiga jenis, yaitu:
1. Medium enterprise, dengan kriteria:
a. Jumlah karyawan maksimal 300 orang,
b. Pendapatan setahun hingga sejumlah $ 15 juta, dan
c. Jumlah asset hingga sejumlah $ 15 juta.
2. Small enterprise, dengan kriteria:
a. Jumlah karyawan kurang dari 30 orang,
b. Pendapatan setahun tidak melebihi $ 3 juta, dan
c. Jumlah asset tidak melebihi $ 3 juta.
3. Micro enterprise, dengan kriteria:
a. Jumlah karyawan kurang dari 10 orang,
b. Pendapatan setahun tidak melebihi $ 100 ribu, dan
c. Jumlah asset tidak melebihi $ 100 ribu.
b) Europe commission, membagi UKM ke dalam tiga jenis, yaitu:
1 Medium-sized enterprise, dengan kriteria:
a. Jumlah karyawan kurang dari 250 orang,
b. Pendapatan setahun tidak melebihi $ 50 juta ( sebanding dengan $ 58,5 juta), dan
c. Jumlah asset tidak melebihi $ 43 juta (sebanding dengan 50,3 juta)
2 Small-sized enterprise, dengan kriteria:
a. Jumlah karyawan kurang dari 50 orang,
b. Pendapatan setahun tidak melebihi $ 10 juta ( sebanding dengan $ 11,7 juta), dan
c. Jumlah asset tidak melebihi $ 13 juta ( sebanding dengan $15,2 juta).
3 Micro-sized enterprise, dengan kriteria:
a. Jumlah karyawan kurang dari $ 10 juta orang,
b. Pendapatan setahun tidak melebihi $ 2 juta ( sebanding dengan $ 2,3 juta), dan
c. Jumlah asset tidak melebihi $ 2 juta.
Di samping itu, usaha tersebut harus memenuhi kriteria independensi. Usaha yang
independen berarti usaha yang modal atau hak votingnya sebesar 25% atau lebih baik
dimiliki oleh satu perusahaan atau beberapa perusahaan secara bersama-sama.
c) Singapura mendefinisikan UKM sebagai usaha yang memiliki minimal 30% pemengang
saham lokal serta asset produktif tetap (fixed productive asset) di bawah SG $ 15 juta
(sebanding dengan US$ 8,7 juta). Untuk perusahaan jasa, jumlah karyawannya minimal
200 orang.
d) Malaysia, mendapatkan definisi UKM sebagai usaha yang memiliki jumlah karyawan
yang bekerja penuh (full time worker) kurang dari 75 orang atau modal pemegang
sahamnya kurang dari M$ 2,5 juta (sebanding dengan US$ 6,6 juta).
Definisi ini masih dibagi menjadi dua, yaitu antara lain sebagai berikut.
1) Small Industri (SI) dengan kriteria jumlah karyawan antara 5 – 50 orang atau jumlah
modal saham sampai sejumlah M$ 500 ribu (atau sebanding dengan US$ 132 ribu).
2) Medium industri (MT) dengan kriteria jumlah karyawan antara 50 – 75 orang atau
jumlah modal saham antara M$ 500 ribu – M$ 2,5 juta.
e) Jepang, membagi UKM sebagai berikut.
1) Mining and manufacturing, dengan kriteria jumlah karyawan maksimal 300 orang
atau jumlah modal saham sampai sejumlah ¥ 300 juta (atau sebanding dengan US$
2,5 juta).
2) Wholesale, dengan kriteria jumlah karyawan maksimal 100 orang atau jumlah modal
saham sampai sejumlah ¥ 100 juta (atau sebanding dengan US$ 840 ribu)
3) Retail, dengan kriteria jumlah karyawan maksimal 54 orang atau jumlah modal
saham sampai sejumlah ¥ 50 juta (atau sebanding dengan US$ 420 ribu).
4) Services, dengan kriteria jumlah karyawan maksimal 100 orang atau jumlah modal
saham sampai sejumlah ¥ 50 juta (atau sebanding dengan US$ 420 ribu).
f) Korea Selatan, mendefinisikan UKM sebagai usaha yang jumlah karyawannya di bawah
300 orang dan jumlah asetnya kurang dari US$ 60 juta. Melihat berbagai macam definisi
UKM dari berbagai negara dan lembaga internasional tersebut dapat disimpulkan bahwa
kebanyakan negara dan lembaga internasional masih menganut ukuran kuantitatif dalam
menentukan Kriteria UKM.
Berdasarkan kondisi perekonomian yang ada di masing-masing negara, definisinya-
pun berbeda jauh. Semakin maju perekonomian negara, batas kriterianya – misalnya hasil
penjualan dan asset-pun semakin tinggi.Namun, setidaknya berbagai definisi UKM yang
sesuai bagi Indonesia.
V. Permasalahan yang Dihadapi
Dalam melaksanakan peran dan merelisasikan potensinya yang besar tersebut,
UMKM dan koperasi masih menghadapi berbagai masalah. Salah satu di antaranya adalah
masih kurang kondusifnya iklim usaha, yang mencakup (1) aspek legalitas badan usaha dan
ketidak jelasan prosedur perizinan yang mengakibatkan besarnya biaya transaksi, resmi; (2)
praktik bisnis dan pemasangan usaha yang tidak sehat; (3) ketidak pastian lokasi usaha; dan
(4) lemahnya kordinasi lintas intansi dalam pemberdayaan koperasi dan UMKM.Hal itu
misalnya, tercermin dari masih terdapat daerah yang memandang koperasi dan UMKM
sebagai sumber pendapatan asli daerah dengan mengenakan pungutan-pungutan baru yang
tidak perlu sehingga biaya usaha koperasi dan UMKM meningkat. Oleh karena itu, aspek
kelembagaan masih menjadi perhatian yang sungguh-sungguh dalam rangka memperoleh
daya jangkau hasil dan manfaat yang semaksimal mungkin mengingat besarnya jumlah,
keanekaragaman usaha, dan terbatasnya UMKM (M.L.Jhingan, 2013:203) .
Permasalahan pokok lainya adalah rendahnya produktivitas yang berakibat terjadinya
kesenjangan yang sangat lebar antar pelaku usaha kecil, menengah, dan besar.
Perkembangan produktivitas tenaga kerja usaha mikro dan kecil belum menunjukan
perkembangan yang berarti penguasahan teknologi, manajemen, informasi dan pasar oleh
UMKM dan koperasi masih jauh dari memadai, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan
tersebut, hal itu relative memerlukan biaya yang besar apalagi untuk dikelola secara mandiri
oleh UMKM. Sementara itu, ketersediaan lembaga yang menyediakan jasa di bidang tersebut
juga sangat terbatas dan tidak merata keseluruh daerah. Peran masyarakat dan dunia usaha
komersial kepada UMKM juga belum berkembang karena pelayanan kepada UMKM
umumnya dinilai masih kurang menguntungkan.
c) Perlunya KUMKM sebagai Prioritas Program Pembagunan
Menurut Tambunan (2003:203-204) peran koperasi, usaha mikro, kecil dan
menengah (KUMKM) dalam perekonomian indonesia paling tidak dapat dilihat sebagai
berikut.
1) Kedudukanya sebagai pemain utama dalam kegiatan ekonomi di berbagai sektor,
2) Penyedia lapangan kerja terbesar,
3) Pemain penting dalam pembanguan kegiatan ekonomi lokal dan pemberdayan
masyarakat,
4) Pencipta pasar baru dan sumber inovasi, serta
5) Sumbangannya dalam menjaga neraca pembayaran melalui kegiatan ekspor.
Peran koperasi, usaha mikro, kecil dan menengah sangat strategis dalam
perekonomian nasional, sehingga perlu menjadi fokus pembangunan ekonomi nasional pada
masa mendatang.
Pemberdayaan KUMKM secara terstruktur dan berkelanjutan di harapkan akan
mampu menyelaraskan struktur perekonomian nasional, mempercepat pertumbuhan ekonomi
nasional di atas 6% per tahun, mengurangi tingkat penganguran terbuka, menurunkan tingkat
kemiskinan, mendinamisasi sektor rill, dan memperbaiki pemerataan pendapatan masyarakat.
Pemberdayaan KUMKM seharusnya diarahkan pada upaya peningkatan produktivitas dan
daya saingnya, serta secara sistematis diarahkan pada upaya menumbuhkan wirausaha baru di
sektor-sektor yang memiliki produktivitas tinggi yang berbasis pengetahuan, teknologi dan
sumber daya lokal.
Pertumbuhan ekonomi memerlukan dukungan investasi yang memadai. Pada kondisi
ekonomi Indonesia saat ini relative sulit menarik investasi dalam jumlah yang besar. Untuk
itu, keterbatasan investasi perlu diarahkan pada upaya mengembangkan usaha mikro, kecil
dan menengah, karena memiliki ICOR yang rendah dengan waktu yang singkat.
Pemberdayaan UMKM diharapkan lebih mampu menstimulan pertumbuhan ekonomi
nasional yang tinggi dalam jangka waktu yang relative pendek dan memberikan lapangan
pekerjaan yang lebih luas dan banyak, sehingga mampu mengurangi tingkat pengangguran
terbuka dan tingkat kemiskinan di Indonesia.
Pemberdayaan UMKM diharapkan akan meningkatkan stabilitas ekonomi makro,
karena menggunakan bahan baku lokal dan memiliki potensi ekspor, sehingga akan
membantu menstabilkan kurs rupiah dan tingkat inflasi. Pemberdayaan UMKM akan
memberikan sektor rill, karena UMKM umumnya memiliki keterkaitan industri yang cukup
tinggi. Sektor UMKM diharapkan menjadi tumpuan pengembangan sistem perbankan yang
kuat dan sehat pada masa mendatang, mengingat non-performing loan-nya yang relative
sangat rendah. Pemberdayaan UMKM juga akan meningkatkan pencapaian sasaran di bidang
pendidikan, kesehatan, dan indikator kesejahteraan masyarakat Indonesia lainnya.
Adanya lapangan kerja dan meningkatnya pendapatan diharapkan akan membantu
mewujudkan masyarakat Indonesia yang aman dan damai, adil dan demokratis, serta
sejahtera. Sulit mewujudkan keamanan yang sejati, jika masyarakat hidup dalam kemiskinan
dan tingkat penganguran yang tinggi. Sulit mewujudkan demokrasi yang sejati, jika terjadi
ketimpangan ekonomi di masyarakat, serta sulit mewujudkan keadilan hukum jika
ketimpangan penguasaan sumber daya produktif masih sangat nyata. Pemberdayaan UMKM
merupakan salah satu jawaban untuk mewujudkan visi Indonesia yang aman, adil dan
sejahtera.

C ANALIS KASUS

Ferrell Et Al. (2011) menyatakan bahwa usaha kecil merupakan usaha yang
dioperasikan dan dimiliki secara mandiri yang tidak dominan di area kompetitifnya dan tidak
mempekerjakan karyawan lebih dari 500 orang. Lebih lanjut, Maryatmo dan Rahayu (2009)
menyatakan bahwa terdapat dua definisi mengenai usaha kecil di Indonesia. Pertama, definisi
usaha kecil menurut Undang-Undang No. 20 tahun 2008 tentang usaha mikro, kecil, dan
menengah dan definisi usaha kecil menurut Badan Pusat Statistik. Menurut UU No. 20 Tahun
2008 tentang usaha mikro, kecil, dan menengah, usaha kecil merupakan usaha ekonomi
produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang
bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai,
atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha
besar yang memenuhi kriteria usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No
20 Tahun 2008. Kriteria usaha kecil tersebut antara lain: (1) memiliki kekayaan bersih lebih
dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;
atau (2) memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)
sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).
Selanjutnya, BPS (1999) dalam Maryatmo dan Rahayu (2009) menyatakan bahwa usaha kecil
identik dengan industri kecil dan industri rumah tangga. BPS mengklasifikasikan industri
berdasrakan jumlah pekerjanya, yaitu: (1) industri rumah tangga dengan pekerja 1-4 orang;
(2) industri kecil dengan pekerja 5-19 orang; (3) industri menengah dengan pekerja 20-99
orang;dan (4) industri besar dengan pekerja 100 orang atau lebih.

Ferrell et al. (2011) menyatakan bahwa sumber daya keuangan dari usaha kecil dapat
terdiri dari equity financing dan debt financing. Pada equity financing, pemilik usaha lebih
menggunakan aset pribadi riil mereka daripada meminjam dana dari sumber luar untuk
memulai suatu usaha. Pemilik usaha juga dapat menyediakan modal kerja (working capital)
dengan menginvestasikan kembali keuntungan untuk menjalankan bisnis atau dengan tidak
mengambil gaji secara penuh. Pemilik usaha juga dapat mengumpulkan modal dari mencari
investor untuk operasional mereka. Mereka dapat menjual saham usaha kepada anggota
keluarga, teman, karyawan maupun investor lain. Di sisi lain, pada debt financing, usaha
kecil menggunakan sumber dana eksternal bagi usaha mereka. Bank merupakan suplier
utama keuangan eksternal usaha kecil. Usaha kecil juga dapat mencari sumber pinjaman
jangka panjang atau sumber aset lainnya dari keluarga dan teman. Selain itu, usaha kecil
dapat mengumpulkan pendanaan dari pemasok/ supplier mereka dalam bentuk trade credit.
Lebih lanjut, beberapa sponsor kelompok komunitas meminjamkan dana untuk mendukung
perkembangan beberapa tipe usaha. Agen lokal dan pemerintahan juga dapat menjamin
pinjaman, terutama bagi pelaku usaha minoritas untuk perkembangan di beberapa area.
Kasus pada bahan bacaan yang dilampirkan kelompok 3 adalah kasus kesulitan
UMKM (Usaha Kecil, Mikro, Menengah) untuk mengakses kredit perbankan (Budianto
2013). Budianto (2013) menyatakan bahwa masyarakat, khususnya UMKM, masih sulit
mengalihkan kebiasaan mengakses pembiayaan nonformal ke lembaga keuangan formal.
Berdasarkan istilah yang dinyatakan Ferrell et al. (2011) mengenai salah satu sumber
keuangan usaha kecil, yaitu debt financing, maka garis besar kasus pada bacaan yang
dilampirkan kelompok 3 adalah bahwa mayoritas usaha kecil di Indonesia tidak melakukan
aktivitas mengumpulkan pendanaan usaha melalui sumber pendanaan eksternal (debt
financing) yang bersumber dari bank / lembaga keuangan formal. Lebih lanjut, BPS dan
Kementrian Negara KUKM (2003) dalam Winarni (2006) dalam Zulfikar (2013) menyatakan
hal yang serupa, bahwa dalam mengatasi kesulitan permodalan, 17,50 % UKM menambah
modalnya dengan meminjam ke bank, sisanya 82,50 % tidak melakukan pinjaman ke bank
tetapi ke lembaga non bank seperti Koperasi Simpan Pinjam (KSP), perorangan, keluarga,
modal ventura, lainnya.
Menurut Ferrell et al. (2011), usaha kecil mampu membuka lapangan kerja dan
meningkatkan penyerapan tenaga kerja dari kalangan minoritas dan wanita. Peranan usaha
kecil dalam menyerap tenaga kerja tersebut juga dapat dilihat di Indonesia, misalnya data
BPS (2003) dalam Zulfikar (2013)menunjukkan bahwa populasi usaha kecil dan menengah
(UKM) jumlahnya mencapai 42,5 juta unit atau 99,9 persen dari keseluruhan pelaku bisnis di
tanah air. UKM juga memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penyerapan tenaga
kerja, yaitu sebesar 99,6 persen. Semenrtara itu, kontribusi UKM terhadap Produk Domestik
Bruto (PDB) adalah sebesar 56,7 persen.Ferrell et al. (2011)bahwa salah satu penyebab
kegagalan yang tinggi dari usaha kecil adalah undercapitalization yaitu kekurangan dana
untuk mengoperasikan bisnis secara normal. Jika usaha kecil melakukan debt financing dari
lembaga non-bank/ lembaga keuangan tidak formal maka usaha kecil akan kesulitan
mengumpulkan tambahan dana untuk modal usaha karena keterbatasan dana yang dimiliki
sumber non-bank tersebut (tidak sebanyak dana yang dimiliki lembaga formal/bank.. Selain
itu, jika usaha kecil melakukan debt financing dari renternir, maka suatu saat hal tersebut
dapat mengganggu usaha yang dijalankan karena kesulitan pembayaran bunga pinjaman yang
terlalu tinggi (tidak sesuai aturan pemerintah dan merugikan UMKM).Oleh karena itu,
menurut saya, minimnya akses UMKM terhadap lembaga keuangan formal/bank harus segera
ditangani.
Pada bacaan yang dilampirkan kelompok 3 tersebut, Budianto (2013) menyatakan
bahwa kebiasaan masyarakat mengakses kredit kepada lembaga keuangan nonformal
disebabkan aturan administrasi perbankan masih sulit dipenuhi pelaku usaha mikro, kecil dan
menengah (UMKM). Dari sudut pandang UMKM, Winarni (2006) mengutip hasil penelitian
BPS dan Kementrian Negara KUKM (2003) menyatakan bahwa UMKM mengalami
beberapa permasalahan dalam mendapatkan kredit modal usaha dari Bank, antara lain yaitu:
(1) prosedur pengajuan yang sulit 30,30 %; (2) tidak berminat 25,34 %; (3) pelaku UMKM
tidak punya agunan 19,28 %; (4) UMKM yang tidak tahu prosedur 14,33 %; (5) suku bunga
tinggi 8,82 %; (6) proposal ditolak (1,93 %). Di sisi lain, dari sudut pandang Bank, BI
(2013) menyatakan bahwa hambatan program kredit usaha rakyat (KUR), antara lain: (1)
sosialiasi kepada masyarakat masih kurang; (2) suku bunga KUR masih dirasakan cukup
tinggi; (3) keterlambatan pembayaran klaim dari Lembaga Penjamin;(4) kesulitan mencari
debitur yang sesuai dengan kriteria dan persyaratan; (5) terdapat dispute terhadap beberapa
ketentuan KUR.
Menurut saya, aturan administrasi dan prosedur bagi UMKM untuk mengajukan
pinjaman ke bank sebenarnya tidak sulit, prosedur pengajuan Kredit Usaha Rakyat (KUR) di
BRI misalnya. UMKM dan Koperasi dapat mengajukan permohonan kredit/ pinjaman ke
Kantor Cabang BRI/ Kantor Cabang Pembantu. Permohonan kredit pinjaman yang diajukan
tersebut harus dilampiri dengan dokumen pendukung antara lain: copy legalitas dan perijinan,
data usaha dan dokumen untuk keperluan analisa kebutuhan kredit, kunjungan langsung ke
tempat usaha oleh pejabat kredit lini, hasil analisa kebutuhan kredit yang dituangkan dalam
memorandum analisa kebutuhan kredit sesuai ketentuan yang berlaku dan diajukan ke pejabat
pemutus untuk mendapatkan putusan kredit (Kementrian Koperasi dan UKM 2013). Menurut
saya, prosedur bagi UMKM untuk mengajukan pinjaman ke Bank tersebut hanya “dirasakan
sulit” karena kurang adanya informasi dan pendampingan pemenuhan dokumen bagi usaha
kecil ketika ingin mengajukan kredit ke Bank. Oleh karena itu saya sependapat dengan
tindakan yang dilakukan OJK yang dinyatakan oleh Soetiono (2013) dalam Budianto (2013),
yaitu memberikan edukasi mengenai kredit pada masyarakat. Menurut saya, tindakan tersebut
dapat mengatasi kendala yang dinyatakan Winarni (2006) dalam Zulfikar (2013) berupa
ketidaktahuan informasi mengenai kredit dan ketidakminatan UMKM untuk mengajukan
kredit ke Bank.
Lebih lanjut, menurut saya pemerintah juga perlu mengoptimalkan program
pendampingan UMKM, seperti pernyataan Ferrelll et al. (2011) mengenai kegiatan
pendampingan keuangan dan manajerial bagi usaha kecil yang dilakukan oleh SBA (Small
Business Administration). Dengan adanya pendampingan yang baik dari pemerintah terhadap
UMKM, UMKM diharapkan akan mampu memenuhi aturan administrasi yang awalnya
dirasakan sulit dan proposal pinjaman yang diajukan UMKM dapat diterima oleh Bank.
Selain itu, UMKM diharapkan pula dapat memenuhi kriteria dan persyaratan peminjaman
kredit di Bank.

Saya juga setuju dengan pernyataan Hendar (2013) dalam Budianto (2013)
mengenai tindakan yang dilakukan BI untuk mengatasi minimnya tingkat pinjaman UMKM
di Bank melalui penyeruan efisiensi dan memberiakan acuan tingkat bunga pada perbankan
untuk menekan bunga kredit perbankan. Dengan tindakan tersebut, tingginya bunga kredit
yang merupakan salah satu hambatan yang dialami UMKM untuk meminjam dana di Bank
menurut Winarni (2006) dalam Zulfikar (2013) dan kendala program KUR yang dinyatakan
BI (2013) diharapkan dapat teratasi. Kemudian, saya setuju dengan pendapat Winarti (2004)
dalam Zulfikar (2013) mengenai salah satu alternatif solusi untuk menangani hambatan
UMKM dalam meminjam dana dari Bank. Jika dilihat dari sisi kreditor( pemodal atau
lembaga pembiayaan), untuk melindungi resiko kredit maka kegiatan bisnis UMKM yang
mengajukan pinjaman harus memiliki ijin usaha resmi serta adanya jaminan (collateral). Hal
tersebut sesuai dengan yang dinyatakan Ferrell et al. (2011) bahwa jika usaha kecil
meminjam dana dari bank maka besarnya pinjaman yang akan dipinjamkan bank ataupun
institusi tersebut tergantung pada kemungkinan resiko sukses serta kemampuan
wirausahawan untuk melunasi pinjaman. Selain itu, bank akan meminta pemilik usaha kecil
menyediakan collateral. Hal tersebut juga menjadi salah satu hambatan UMKM untuk
meminjam dana dari Bank. Oleh karena itu, Winarti (2004) dalam Zulfikar (2013)
menyatakan bahwa peran serta lembaga penjaminan kredit perlu ditingkatkan melalui skema
penjaminan kredit. Melalui skema tersebut, bank dan perusahaan penjamin membuat suatu
perjanjian kerjasama penjaminan kredit. UMKM yang membutuhkan tambahan modal dari
lembaga penyalur kredit mengajukan penjaminan kepada perusahaan penjamin dan
mengajukan kredit kepada Bank. Apabila hasil analisis kelayakan, usaha dinyatakan layak
(feasible), namun tidak layak dari sudut pandang perbankan karena ketidakcukupan agunan
(tidak bankable), maka bank mengajukan penjaminan kepada perusahaan penjamin. Selain
itu, menurut Republika (2013) dalam Depkop (2013), untuk mengatasi hambatan berupa
tidak tersedianya agunan, pemerintah juga telah menyediakan duapuluh ribu sertifikat tanah
yang dapat digunakan UMKM sebagai agunan saat mengajukan pinjaman ke bank.

D KESIMPULAN DAN SARAN


1 KESIMPULAN
Strategi pembagunan UKM di Indonesia di bagi menjadi empat bagian yang pertama
Subkontrak ; diharapkan UKM akan berkembang menjadi perusahaan besar dan lambat laun
akan dapat berekspansi ke pasar global. UKM harus bekerja sama yang saling
menguntungkan dengan perusahaan besar. Telah banyak kisah sukses dalam hal kolaborasi
antara UKM dengan perusahaan besar di negara maju, di antaranya melalui subkontrak.
Subkontrak sebetulnya tidak harus dari perusahaan di dalam negeri. Yang kedua Keterlibatan
dalam Value Chains ; perusahaan kecil atau UKMKM dapat berpartisipasi pasar global
dengan menjadi network dari supplier global. Dalam value chain global, perusahaan atau
kelompok perusahaan bisa hanya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang sangat terbatas.
Yang ketiga Mengembangkan Niche Market ; mengembangkan niche market merupakan
salah satu strategi penting bagi UMKM. Dalam situasi industri dengan diferensiasi produk,
pertumbuhan UMKM sangat tergantung kepada kemampuan penciptakan niche market dan
menghindari head-on competition dengan perusahaan besar. Dan yang ke empat Networking ;
adalah link, baik formal maupun informal. Networking dapat dibentuk atas dasar etnis,
industri dan organisasi sosial. Network berbasis sosial memberikan jalan bagi perusahaan-
perusahaan untuk mencari patner bisnis, termasuk di dalamnya asosiasi dagang dan industri
yang dapat memberikan keuntungan.

Peran Usaha Kecil Menengah (UKM) di Indonesia sangat besar dan telah terbukti
menyelamatkan perekonomian bangsa pada saat dilanda krisis ekonomi tahun 1997. Di
negara-negara maju pun, baik di Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Italia, UKM lah yang
menjadi pilar utama perekonomian negara. Disamping itu upaya pengembangan UKM
dengan mensinergikannya dengan industri besar melalui pola kemitraan, juga akan
memperkuat struktur ekonomi baik nasional maupun daerah. Partisipasi pihak terkait atau
stakeholders perlu terus di tumbuh kembangkan lainnya agar UKM betul-betul mampu
berkiprah lebih besar lagi dalam perekonomian nasional. Sehingga Peran UKM Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia semakin optimal.

2. Saran
Banyak sekali hambatan – hambatan dalam pembanguan UKM, terutama jika di
harapkan untuk dapat berpartisipasi dalam pasar global. Hambatan – hambatan tersebut di
antaranya yang berkaitan dengan akses finansial, kurangnya keahlian, pengetahuan, informasi
dan teknologi. Hal inilah yang menghambat UKM untuk bisa berkiprah di pasar global,
meskipun pelungnya sebetulnya terbuka lebar. UKM di negara maju telah merspons
kesempatan ini dengan memfokuskan diri pada inovasi, IT, niche market, networking dan
clustering untuk meningkatkan keunggulan kompetitifnya.
Untuk pembagunan UKM di Indonesia, selain situasi ekonomi global yang sedang
memburuk, hambatan pengembangan UKM juga berupa kurangnya pengetahuan bisnis,
entepreneurship, regulasi birokrasi yang belum kondusif, korupsi, serta kurangnya dukungan
pemerintah. Oleh karenanya, diperlukan sesuatu penanganan yang intesif untuk
menyelamatkan UKM. Strategi – strategi subkontrak, value chain, niche market, dan
networking merupakan strategi yang paling tepat di terapkan di Indonesia.
Pemerintah akan sangat berperan penting dalam situasi ekonomi yang sedang
memburuk dalam menyelamatkan dan mengembangkan UKM. Aturan – aturan yang sangat
birokratis dan korupsi perlu ditangani dengan segera. Pemerintah beserta jajaranya akan
sangat diperlukan lebih sebagai peran fasilitator. Meningkatnya peran UKM dalam ekonomi
global sangat penting dan dalam hal ini, kebijakan pemerintah harus ditunjukan pada
peningkatan skill dan teknologi, memberikan informasi tentang peluang pasar; memfasilitasi
akses pendanaan, serta yang harus dihadapi UKM dalam situasi ekonomi sekarang ini, namun
globalisasi membutuhkan peningkatan daya saing dan produk berkualitas jika ingin tetap
survive apalagi jika ingin dapat berpartisispasi dan memanfaatkan globalisasi.
DAFTAR RUJUKAN

Agustina, Eva. 2014. Efisiensi Penerapan Metode Pengendalian Persediaan Pada


Bagus Agriseta Mandiri Kota Wisata Batu Tahun 2013. Malang: PPs UM.
Badan Pusat Statistik, (Online), http://www.bps.go.id, diakses 1 April 2016.
Dumairy. 2001. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Republik Indonesia. 2005: Himpunan
Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Usaha Kecil dan Menengah. Jakarta:
PT. Rajagrafindo
Kuncoro. M. 2013. Mudah Memahami dan Menganalisis Indikator Ekonomi.
Yogyakarta: UPP STIM YKPN Yogyakarta.
M.L. Jhingan. 2013. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta:PT.
Rajagrafindo Persada.
Peraturan Peresiden RI No 2 Tahun 2015 Tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2015– 2019
Sukirno, Sandono. 2012. Makro Ekonomi Teori Pengantar. Edisi Ketiga. Jakarta:
Rajawali Pers.
Sukirno, Sandono. 2013. Mikro Ekonomi Teori Pengantar. Edisi Ketiga. Jakarta:
Rajawali Pres
Sutrisno. 1994. Kelembagaan Koperasi (Acuan pada UU No. 25/1992 Tentang
Perkoperasian. Proyek OPF IKIP Malang.
Tambunan, Tulus T.H. 2003. Perekonomian Indonesia beberapa Masalah Penting.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Tambunan, Tulus T.H. 2009. UMKM di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Tambunan, Tulus. 2001. Perekonomian Indonesia Teori dan Temuan Empiris. Bogor:
Ghalia Indoneisa
Universitas Negeri Malang. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis,
Disertasi, Artikel, Makalah, Tugas Akhir, Laporan Penelitian. Edisi Kelima
Malang: Universitas Negeri Malang.
Utomo, S.H. 2011.Makro Perekonomian Indonesia. Malang: Tunggal Mandiri
Publishing.
UU RI No. 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 200 –
2025. Jakarta: PT Sinar Grafika.
www.bps.go.id (diakses tanggal 27 Maret 2016).
www.kemenkop.go.id (diakses tanggal 27 Maret 2016)
www.depperindag.go.id (diakses tanggal 27 Maret 2016)

Anda mungkin juga menyukai