Anda di halaman 1dari 90

ANALISIS PERAN LEMBAGA PEMBIAYAAN

DALAM PENGEMBANGAN UMKM

PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI


BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN
PERDAGANGAN KEMENTERIAN PERDAGANGAN
2013
RINGKASAN EXECUTIVE

Peran Usaha Mikro Kecil dan Menengah atau lebih sering dikenal UMKM dalam
pertumbuhan perekonomian suatu negara sangat penting. Ketika terjadi krisis yang
melanda pada tahun 1998, usaha berskala kecil dan menengah yang relatif mampu
bertahan dibandingkan perusahaan besar. Alasannya karena mayoritas usaha berskala
kecil tidak terlalu tergantung pada modal besar atau pinjaman dari luar dalam kurs dollar.
Sehingga, ketika ada fluktuasi nilai tukar, perusahaan berskala besar yang secara umum
selalu berurusan dengan mata uang asing adalah yang paling berpotensi mengalami imbas
krisis. Beberapa penelitian terdahulu menyebutkan bahwa struktur modal UKM
khususnya diIndonesia, hampir sebagian besar berdasar pada investasi pribadi. Sangat
sedikit, mereka yang berhubungan dengan pihak ketiga untuk mendapatkan dana. Jika
mereka membutuhkan suntikan dana dari pihak luar, justru pihak- pihak penyedia dana
selain bank, yang sangat berperan. Misal bank-bank perkreditan rakyat atau malah
rentenir. Seperti yang kita ketahui pula, bunga yang dikenakan pada peminjam adalah
sangat tinggi dan mencekik leher. Jelas, kondisi seperti ini tidak akan terjadi untuk
perusahaan berskala besar.
Perkembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) terbukti
merupakan penggerak utama sektor riil yang berpengaruh langsung terhadap
pertumbuhan ekonomi nasional. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan Usaha
Kecil dan Menengah, jumlah UMKM pada tahun 2011 sebanyak 55,2 juta unit dengan
terbagi sebagai berikut 54.559.969 unit Usaha Mikro, 602.195 unit Usaha kecil dan
44.280 unit Usaha Menengah. Jumlah UMKM pada tahun 2011 adalah sekitar 99,99
persen dari jumlah total unit usaha yang ada,
Unit-unit tersebut diperkirakan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 97,24
persen. Namun demikian perkembangan UMKM umumnya masih mengalami berbagai
masalah dan belum sepenuhnya sesuai dengan yang diharapkan, Masalah yang hingga
kini masih menjadi kendala dalam pengembangan usaha UMKM adalah keterbatasan
modal yang dimiliki dan sulitnya UMKM mengakses sumber permodalan. Sebelum
diberlakukannya Undang-Undang tentang Bank Indonesia No. 23 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan UU No.3 Tahun 2004, kebijakan Bank Indonesia
dalam membantu pengembangan usaha kecil dan koperasi, Bank Indonesia dapat
memberikan bantuan keuangan kepada UMKM, yang dikenal dengan Kredit Likuiditas
Bank Indonesia (KLBI). Namun setelah undang undang tersebut di atas

Analisis Peran Lembaga Pembiayaan Dalam Pengembangan UMKM i


diberlakukan peranan Bank Indonesia dalam membantu usaha kecil menjadi bersifat tidak
langsung dan lebih terfokus kepada bantuan teknis serta pengembangan kelembagaan.
Tugas pengelolaan kredit program telah dialihkan kepada tiga BUMN yang ditunjuk
Pemerintah, yaitu PT Bank Rakyat Indonesia (BRI), PT Bank Tabungan Negara (BTN),
dan PT Permodalan Nasional Madani (PNM). Dalam hal ini, PT BRI berfungsi sebagai
koordinator penyaluran skim KUT, KKop dan KKPA-TR, PT BTN sebagai koordinator
penyaluran skim KPRS dan KPRSS, sementara PT PNM sebagai koordinator penyaluran
skim kredit lainnya. Pengalihan tersebut mencakup pengelolaan Kredit Likuiditas Bank
Indonesia (KLBI) dalam rangka kredit program yang masih berjalan dan belum jatuh
tempo serta yang telah disetujui tetapi belum ditarik.
Dalam Perkembangannya peran lembaga pembiayaan dalam pengembangan
UMKM ini tentu ada yang berhasil maupun tidak, maka dilakukan analisis peran lembaga
pembiayaan dalam pengembangan UMKM tersebut. Berpijak pada konteks di atas, maka
dapat dirumuskan pertanyaan penelitian yang akan diangkat dalam analisis ini,
Bagaimana peran lembaga pembiayaan dalam pengembangan UMKM dan Kebijakan apa
yang dapat mendukung pengembangan UMKM

ISU KEBIJAKAN

a. Kontribusi UMKM sebesar 57,48% terhadap PDB dan juga proporsi UMKM sebesar
99,99% (Kemenkop, 2013) dari jumlah pelaku usaha menunjukkan eksistensi
UMKM dalam menunjang perekonomian negara Indonesia.
b. UMKM sektor perdagangan menempati urutan kedua setelah sektor pertanian,
perkebunan, kehutanan dan perikanan. Berdasarkan kontribusi yang diberikan,
UMKM sektor perdagangan memberikan kontribusi terhadap PDB paling besar jika
dibandingkan dengan sektor lainnya. Meskipun demikian, dalam pengembangan
usahanya, UMKM sektor perdagangan menghadapi beberapa kendala terutama
masalah permodalan.
c. Berbagai kebijakan pemerintah terkait dengan pembiayaan bagi UMKM telah banyak
digulirkan antara lain program kredit usaha rakyat (KUR) yang merupakan
manifestasi dari MOU berbagai instansi dan juga program BI yaitu kewajiban bagi
bank untuk menggulirkan kredit usaha kecil sebesar 20% dari total kredit pada tahun
2018.
d. Program-program pembiayaan yang telah dicanangkan oleh pemerintah belum dapat
dimanfaatkan secara maksimal oleh seluruh UMKM yang ada.
Jumlah UMKM yang mendapat bantuan pembiayaan misalnya KUR baru menyentuh
9.417.349 UMKM atau 16,66% dari total pelaku UMKM (www.komite-kur.com).
UMKM yang tidak menggunakan fasilitas kredit tersebut menggunakan modal
sendiri dalam struktur pemodalannya. Hal ini disebabkan karena keterbatasan akses
dari UMKM dan sulitnya UMKM memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
e. Bagi UMKM yang telah mendapatkan pembiayaan juga menghadapi masalah baru
dalam hal pengelolaan keuangan. Keterbatasan pengetahuan mengenai pembukuan
dan tidak adanya pemisahan antara keuangan pribadi dan keuangan usaha membuat
kredit yang diterima tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Selain itu juga
kurangnya inovasi dan kreatifitas membuat UMKM sektor perdagangan kalah
bersaing dengan pasar modern.

PERMASALAHAN: PERANAN LEMBAGA PEMBIAYAAN DALAM


PENGEMBANGAN UMKM

a. Kebijakan pemerintah baik melalui nota kesepahaman dengan berbagai instansi yang
kemudian dikenal dengan program KUR atau melalui peraturan Bank Indonesia
No.14/22/PBI/2012 telah menunjukkan perhatian pemerintah untuk memberikan
solusi kepada UMKM terkait dengan masalah permodalan dengan menjalankan peran
lembaga pembiayaan sebagai alternatif sumber pembiayaan bagi UMKM
b. Namun kenyataannya, program inipun tidak mudah dilaksanakan baik oleh UMKM
maupun oleh lembaga pembiayaan. UMKM merasa kesulitan untuk memenuhi
persyaratan yang ditetapkan oleh lembaga pembiayaan terutama dalam hal
pembukuan dan agunan. Demikian juga lembaga pembiayaan menemukan kesulitan
UMKM yang feasible dan bankable untuk dibiayai untuk menghindari adanya
kredit bermasalah.
c. Saat ini akses pembiayaan UMKM lebih banyak diperoleh dari bank umum
dibandingkan dengan lembaga pembiayaan seperti koperasi dan lembaga pembiayaan
non bank. Persaingan antar lembaga pembiayaan menjadikan lembaga pembiayaan
non bank yang kurang populer mengalami penurunan jumlah debitur. Meskipun
demikian pangsa UMKM bagi lembaga pembiayaan masih besar.
d. Lembaga pembiayaan non bank menghadapi kendala untuk mendapatkan informasi
calon debitur. Hal ini berguna untuk menghindarkan pemberian
kredit/pinjaman yang tumpang tindih yang akan menyebabkan terjadinya kesulitan
pembayaran.
e. Dalam hal pembayaran kredit/pinjaman, lembaga pembiayaan telah melakukan
inovasi sistem penagihan. Lembaga pembiayaan saat ini lebih agresif mendekati
UMKM. Sistem penagihan yang semula bulanan diubah menjadi harian untuk sektor
perdagangan. Sistem penagihan “jemput bola” dalam arti mendatangi debitur one on
one, saat ini dilakukan oleh lembaga pembiayaan baik bank maupun non bank.
f. Sistem penagihan harian ini membantu UMKM menghemat waktu dan tenaga serta
juga menghindarkan UMKM dari potensi munculnya kredit bermasalah atau bahkan
kredit macet. Sistem ini juga memungkinkan lembaga pembiayaan melakukan close
monitoring usaha dan memberikan pembinaan secara personal mengenai cara
mengelola usaha dan keuangan.
g. Sistem penagihan harian juga membuat UMKM merasa cicilan dan bunga atau sistem
bagi hasil yang dikenakan oleh lembaga pembiayaan menjadi lebih ringan sehingga
UMKM tidak mengalami kesulitan dalam melakukan pembayaran. Kondisi ini
menyebabkan angka kredit bermasalah menjadi kecil.
h. Lembaga pembiayaan juga berperan melakukan pembinaan terhadap UMKM untuk
mengembangkan usaha antara lain membantu promosi dalam bentuk
mengikutsertakan UMKM ke dalam pameran, memberikan konsultansi mengenai
pengembangan usaha dan menfasilitasi keberadaan tempat usaha.
i. Pembinaan yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan seringkali mendapat penolakan
dari UMKM dengan alasan tidak ada waktu dan merepotkan. Terutama pembinaan
dalam hal keuangan, UMKM lebih menyukai untuk membuat pembukuan secara
mandiri meskipun seringkali terbengkalai.
j. UMKM yang mendapatkan pembiayaan ada yang mengalami perkembangan yang
pesat, yang dapat diukur dari adanya perluasan usaha, penambahan aset baik usaha
maupun pribadi dan gaya hidup. Tetapi ada juga UMKM yang tidak mengalami
perkembangan atau malah menurun.
k. Penurunan usaha UMKM disebabkan oleh dua hal akibat kesalahan pengelolaan
maupun kondisi ekonomi negara yang kurang kondusif. Penurunan usaha yang
disebabkan kesalahan pengelolaan yang banyak terjadi adalah terpakainya modal
untuk kebutuhan pribadi seperti naik haji, membiayai anak sekolah atau membeli aset
konsumtif.
l. Tiga kendala utama bagi lembaga pembiayaan untuk menjalankan peranannya dalam
pengembangan UMKM, yaitu (1) sulitnya menilai UMKM yang feasible dan
bankable yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam pemberian kredit; (2)
Animo UMKM yang rendah terhadap upaya pembinaan yang dilakukan oleh lembaga
pembiayaan dan (3) Sebagian besar UMKM belum melakukan pemisahan keuangan
antara keuangan pribadi dengan usaha.

REKOMENDASI KEBIJAKAN

a. Melihat pentingnya peranan lembaga pembiayaan dalam pengembangan UMKM


terutama sektor perdagangan sebagai alternatif sumber pembiayaan maka pemerintah
perlu dilakukan sosialisasi kepada UMKM tentang eksistensi lembaga pembiayaan
baik bank maupun non bank khususnya koperasi. Selain itu, bagi lembaga pembiayan
perbankan yang tidak memiliki core usaha pada usaha mikro dapat menggunakan
model pembiayaan linkage dan channeling dengan lembaga pembiayaan lainnya.
b. Perlu adanya sistem informasi debitur terintegrasi antar lembaga pembiayaan bank
dan non bank untuk mencegah terjadinya pembiayaan berulang pada UMKM yang
sama yang dapat menimbulkan terjadi kesulitan pembayaran.
c. Diperlukan pembentukan kemitraan antara pemerintah pusat, daerah dan lembaga
pembiayaan dalam hal memberikan bantuan teknis kepada UMKM, sehingga
pembinaan yang dilakukan dapat lebih terintegrasi. Hal ini dilakukan untuk
mempersiapkan UMKM dalam menghadapi persaingan usaha baik dari pasar
modern maupun adanya Masyarakat Ekonomi Asean pada tahun 2015
d. Perlunya kebijakan yang mewajibkan UMKM untuk mengikuti pembinaan dari
lembaga pembiayaan dan menyerahkan laporan keuangan usaha secara periodik
kepada lembaga pembiayaan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi terjadi
penyimpangan pemanfaatan kredit yang diberikan oleh lembaga pembiayaan.
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat serta hidayahNya, sehingga laporan
analisis “Peran Lembaga Pembiayaan dalam Pengembangan UMKM” dapat diselesaikan.
Analisis ini dilakukan berdasarkan Peran Usaha Mikro Kecil dan Menengah atau
lebih sering dikenal UMKM dalam pertumbuhan perekonomian suatu negara sangat
penting. Ketika terjadi krisis yang melanda pada tahun 1998, usaha berskala kecil dan
menengah yang relatif mampu bertahan dibandingkan perusahaan besar. Sangat sedikit,
mereka yang berhubungan dengan pihak ketiga untuk mendapatkan dana. Jika mereka
membutuhkan suntikan dana dari pihak luar, justru pihak-pihak penyedia dana selain
bank, yang sangat
Analisis ini diselenggarakan secara swakelola oleh Pusat Kebijakan Perdagangan
Dalam Negeri . Disadari bahwa laporan ini masih terdapat berbagai kekurangan baik
ditinjau dari aspek substansi, analisa, maupun data- data yang sifatnya pendukung, oleh
karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Dalam
kesempatan ini tim peneliti mengucapkan terima kasih terhadap semua pihak yang
membantu terselesaikannya laporan ini. Sebagai akhir kata semoga penelitian ini dapat
menjadi bahan masukan bagi pimpinan dalam merumuskan kebijakan dibidang sarana
dan lembaga perdangangan.

Jakarta, November 2013


Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri
DAFTAR ISI

RINGKASAN EXECUTIVE..............................................Error! Bookmark not defined.


KATA PENGANTAR...........................................................................................................vi
DAFTAR ISI.........................................................................................................................vii
DAFTAR TABEL...................................................................................................................ix
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................................x
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................1
1.1. Latar Belakang Masalah......................................................................................1
1.2. Tujuan Penelitian.................................................................................................2
1.3. Output Penelitian.................................................................................................2
1.4. Ruang Lingkup Penelitian....................................................................................3
1.5. Outcome Penelitian..............................................................................................3
1.6. Sistematika Laporan............................................................................................3
BAB II TINJAUAN LITERATUR..........................................................................................5
2.1. Pengertian Lembaga Pembiayaan........................................................................5
2.1.1. Berdasarkan Keppres No. 61 Tahun 1988...........................................................5
2.1.2. Berdasarkan Perpres 9 Tahun 2009......................................................................6
2.2. Peran Lembaga Pembiayaan dalam Pengembangan UMKM...............................7
2.3. Perkembangan Lembaga Pembiayaan UMKM....................................................8
2.4. Perkembangan UMKM di Indonesia..................................................................14
2.5. Permasalahan dalam Pembiayaan UMKM.........................................................20
2.6. Kebijakan Pembiayaan UMKM.........................................................................23
BAB III METODE PENELITIAN.........................................................................................24
3.1. Kerangka Pemikiran...........................................................................................24
3.2. Pendekatan Penelitian........................................................................................25
3.3. Jenis Penelitian..................................................................................................26
3.4. Jenis Data dan Sumber Data..............................................................................26
3.5. Teknik Pengumpulan Data.................................................................................27
3.6. Populasi dan Sampel..........................................................................................28
3.7. Teknik Analisis Data..........................................................................................29
3.8. Operasionalisasi Konsep....................................................................................31
BAB IV ANALISIS PERAN LEMBAGA PEMBIAYAAN DALAM.................................33
PENGEMBANGAN UMKM.................................................................................................33
4.1. Program Pengembangan UMKM Melalui Lembaga Pembiayaan......................33
4.1.1. Kebijakan Pemerintah Terkait Dengan Pengembangan UMKM Melalui
Lembaga Pembiayaan....................................................................................................33
4.1.2. Kebijakan Pengembangan UMKM Sektor Perdagangan Melalui Lembaga
Pembiayaan Bank..........................................................................................................33
4.2. Perkembangan Pembiayaan UMKM.................................................................36
4.2.1. Lembaga Pembiayaan Bank..............................................................................36
4.3. Peran Lembaga Pembiayaan Dalam Pengembangan UMKM di Provinsi Jawa
Barat dan Yogyakarta....................................................................................................45
4.3.1. Karakteristik Responden UMKM......................................................................46
4.3.2. Peran Lembaga Pembiayaan..............................................................................49
4.3.3. Peran Lembaga Pembiayaan Sebagai Sumber Alternatif Pembiayaan .49 4.3.4.
Fasilitator dalam Pengembangan UMKM......................................................................63
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI................................................................77
5.1. Kesimpulan........................................................................................................77
5.2. Rekomendasi.....................................................................................................78
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Realisasi dan NPL Penyaluran KUR Bank Nasional ………………. 9
Tabel 2.2 Realisasi dan NPL Penyaluran KUR BPD ………………………….. 10
Tabel 2.3 Realisasi dan NPL Penyaluran KUR ………………………………… 11
Tabel 2.4 Realisasi KUR Menurut Sektor Ekonomi ……………………………. 12
Tabel 2.5 Realisasi KUR Menurut Propinsi …………………………………….. 13
Tabel 2.6 Produk Domestko Bruto (PDB) UMKM dan UB Menurut Sektor 15
Ekonomi Tahun 2009 – 2011 …………………………………………
Tabel 2.7 Jumlah UMKM dan UB Menurut Sektor Ekonomi Tahun 2009 – 17
2011 …………………………………………………………………….
Tabel 2.8 Penyerapan Tenaga Kerja UMKM dan UB Menurut Sektor 18
Ekonomi Tahun 2009 – 2011 …………………………………………
Tabel 2.9 Investasi UMKM dan Besar Menurut Sektor Ekonomi Tahun 2009 19
– 2011 ( Juta rupiah) …………………………………………………..
Tabel 2.10 Kondisi Infrastruktur dan Kelembagaan Lembaga Pembiayaan 21
UMKM …………………………………………………………………...
Tabel 2.11 Potensi dan Permasalahan yang Dihadapi Lembaga Pembiayaan 22
UMKM …………………………………………………………………...
Tabel 3.1 Operasionalisasi Konsep ……………………………………………... 33
Tabel 4.1 Jenis Usaha Responden ……………………………………………… 48
Tabel 4.2 Membantu Pengurusan Izin Usaha ………………………………….. 66
Tabel 4.3 Membantu Pengurusan Kredit ……………………………………….. 67
Tabel 4.4 Pelatihan Pengelolaan SDM …………………………………………. 67
Tabel 4.5 Pelatihan Penggunaan IT …………………………………………….. 68
Tabel 4.6 Membuat Manajemen Usaha Lebih Bagus …………………………. 69
Tabel 4.7 Membantu Membuat Rencana Bisnis ……………………………….. 69
Tabel 4.8 Mencarikan Pelanggan Baru dan Mempromosikan Kepada Orang 71
Lain ……………………………………………………………………..
Tabel 4.9 Mengikutsertakan dalam pameran …………………………………... 72
Tabel 4.10 Menyediakan Tempat Usaha ………………………………………… 72
Tabel 4.11 Pendampingan Berinovasi ……………………………………………. 73
Tabel 4.12 Membantu Membuat Pembukuan dan Laporan Keuangan ………. 75
Tabel 4.13 Pelatihan dan Pendampingan ……………………………………….. 76
Tabel 4.14 Omzet Usaha Meningkat ……………………………………………… 77
DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Kredit UMKM Berdasarkan Klasifikasi Usaha …………………. 39


Gambar 4.2 Kredit UMKM Berdasarkan Jenis Penggunaan ……………….. 39
Gambar 4.3 Kredit UMKM Menurut Kelompok Bank ………………………... 40
Gambar 4.4 Kredit UMKM Berdasarkan Sektor Ekonomi …………………... 40
Gambar 4.5 Kredit UMKM Menurut Lokasi Proyek ………………………….. 41
Gambar 4.6 Kredit UMKM di Jawa Barat Berdasarkan Klasifikasi Usaha ... 42
Gambar 4.7 Kredit UMKM di Jawa Barat Berdasarkan Jenis Penggunaan 42
Gambar 4.8 Kredit UMKM di Jawa Barat Menurut Kelompok Bank ………. 43
Gambar 4.9 Kredit UMKM di Jawa Barat Menurut Sektor Ekonomi ………. 43
Gambar 4.10 Kredit UMKM di Jawa Barat Menurut Lokasi Proyek ………… 44
Gambar 4.11 Kredit UMKM di Yogyakarta Berdasarkan Klasifikasi Usaha .. 45
Gambar 4.12 Kredit UMKM di Yogyakarta Berdasarkan Jenis Penggunaan 45
Gambar 4.13 Kredit UMKM di Yogyakarta Menurut Kelompok Bank ………. 46
Gambar 4.14 Kredit UMKM di Yogyakarta Menurut Sektor Ekonomi ………. 46
Gambar 4.15 Kredit UMKM di Yogyakarta Menurut Lokasi Proyek ………… 47
Gambar 4.16 Omzet Responden Per Bulan ………………………………….. 50
Gambar 4.17 Lama Usaha ……………………………………………………… 51
Gambar 4.18 Jumlah Modal Yang Dibutuhkan ……………………………….. 52
Gambar 4.19 Sumber Dana Usaha …………………………………………….. 53
Gambar 4.20 Lembaga Pembiayaan yang Digunakan ………………………. 54
Gambar 4.21 Alasan Pemilihan Sumber Pembiayaan ……………………….. 55
Gambar 4.22 Agunan ……………………………………………………………. 56
Gambar 4.23 Jaminan ……………………………………………………………. 57
Gambar 4.24 Tingkat Bunga atau Bagi hasil Per tahun ……………………… 58
Gambar 4.25 Keberatan akan Tingkat Bunga/Bagi Hasil ……………………. 58
Gambar 4.26 Tujuan Pinjaman …………………………………………………. 60
Gambar 4.27 Pembayaran Pinjaman ………………………………………….. 61
Gambar 4.28 Kesulitan Pembayaran …………………………………………… 62
Gambar 4.29 Sumber Informasi ………………………………………………… 62
Gambar 4.30 Kemudahan Informasi ……………………………………………. 63
BAB I
PENDAHULUAN

Peran Usaha Mikro Kecil dan Menengah atau lebih sering dikenal UMKM dalam
pertumbuhan perekonomian suatu negara sangat penting. Ketika terjadi krisis yang
melanda pada tahun 1998, usaha berskala kecil dan menengah yang relatif mampu
bertahan dibandingkan perusahaan besar. Alasannya karena mayoritas usaha berskala
kecil tidak terlalu tergantung pada modal besar atau pinjaman darI luar dalam kurs dollar.
Sehingga, ketika ada fluktuasi nilai tukar, perusahaan berskala besar yang secara umum
selalu berurusan dengan mata uang asing adalah yang paling berpotensi mengalami imbas
krisis. Beberapa penelitian terdahulu menyebutkan bahwa struktur modal UKM
khususnya di Indonesia, hampir sebagian besar berdasar pada investasi pribadi. Sangat
sedikit, mereka yang berhubungan dengan pihak ketiga untuk mendapatkan dana. Jika
mereka membutuhkan suntikan dana dari pihak luar, justru pihak- pihak penyedia dana
selain bank, yang sangat berperan. Misal bank-bank perkreditan rakyat atau malah
rentenir. Seperti yang kita ketahui pula, bunga yang dikenakan pada peminjam adalah
sangat-sangat tinggi dan mencekik leher. Jelas, kondisi seperti ini tidak akan terjadi untuk
perusahaan berskala besar.

1.1. Latar Belakang Masalah

Perkembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) terbukti merupakan


penggerak utama sektor riil yang berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan ekonomi
nasional. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah,
jumlah UMKM pada tahun 2011 sebanyak 55,2 juta unit dengan terbagi sebagai berikut
54.559.969 unit Usaha Mikro, 602.195 unit Usaha kecil dan 44.280 unit Usaha
Menengah. Jumlah UMKM pada tahun 2011 adalah sekitar 99,99 persen dari jumlah total
unit usaha yang ada,
Unit-unit tersebut diperkirakan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 97,24
persen. Namun demikian perkembangan UMKM umumnya masih mengalami berbagai
masalah dan belum sepenuhnya sesuai dengan yang diharapkan, Masalah yang hingga
kini masih menjadi kendala dalam pengembangan usaha UMKM adalah keterbatasan
modal yang dimiliki dan sulitnya UMKM mengakses sumber permodalan. Sebelum
diberlakukannya Undang-Undang tentang Bank Indonesia No. 23 Tahun 1999
sebagaimana telah

Analisis Peran Lembaga Pembiayaan Dalam Pengembangan UMKM 1


diubah dengan UU No.3 Tahun 2004, kebijakan Bank Indonesia dalam membantu
pengembangan usaha kecil dan koperasi Bank Indonesia dapat memberikan bantuan
keuangan kepada UMKM, yang dikenal dengan Kredit Likuiditas Bank Indonesia
(KLBI). Namun setelah undang undang tersebut di atas diberlakukan peranan Bank
Indonesia dalam membantu usaha kecil menjadi bersifat tidak langsung dan lebih
terfokus kepada bantuan teknis serta pengembangan kelembagaan. Tugas pengelolaan
kredit program telah dialihkan kepada tiga BUMN yang ditunjuk Pemerintah, yaitu PT
Bank Rakyat Indonesia (BRI), PT Bank Tabungan Negara (BTN), dan PT Permodalan
Nasional Madani (PNM). Dalam hal ini, PT BRI berfungsi sebagai koordinator
penyaluran skim KUT, KKop dan KKPA-TR, PT BTN sebagai koordinator penyaluran
skim KPRS dan KPRSS, sementara PT PNM sebagai koordinator penyaluran skim kredit
lainnya. Pengalihan tersebut mencakup pengelolaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia
(KLBI) dalam rangka kredit program yang masih berjalan dan belum jatuh tempo serta
yang telah disetujui tetapi belum ditarik.
Dalam Perkembangannya peran lembaga pembiayaan dalam pengembangan
UMKM ini tentu ada yang berhasil maupun tidak, maka dilakukan analisis peran lembaga
pembiayaan dalam pengembangan UMKM tersebut
Berpijak pada konteks di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian yang
akan diangkat dalam analisis ini, yaitu:

a. Bagaimana peran lembaga pembiayaan dalam pengembangan UMKM


b. Kebijakan apa yang dapat mendukung pengembangan UMKM

1.2. Tujuan Penelitian

a. Menganalisis peran lembaga pembiayaan dalam pengembangan UMKM.


b. Memberikan rekomendasi program pengembangan UMKM

1.3. Output Penelitian


a. Informasi mengenai peran lembaga pembiayaan dalam
pengembangan UMKM
b. Rekomendasi kebijakan yang dapat mendukung pengembangan UMKM
1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Analisis Peran Lembaga Pembiayaan dalam Pengembangan UMKM dilakukan di


2 (dua) daerah penelitian, yaitu DI Yogyakarta dan Jawa Barat. Pemilihan daerah
didasarkan dengan pertimbangan bahwa lokasi kajian merupakan daerah yang memiliki
jumlah UMKM cukup banyak. Adapun ruang lingkup penelitian meliputi:

a. Analisis kebijakan pembiayaan UMKM dari pemerintah pusat dan provinsi

b. Survei UMKM pada sektor perdagangan yang sedang memiliki pinjaman di


daerah penelitian

c. Wawancara mendalam lembaga pembiayaan dan pengelola pasar di daerah


penelitian

1.5. Outcome Penelitian

Melalui Analisis ini diharapkan akan terciptanya lembaga pembiayaan yang dapat
mendukung pengembangan UMKM di bidang perdagangan.

1.6. Sistematika Laporan

Sistematika laporan analisis ini terdiri dari 5 (lima) bab, yang berisi:
BAB I : PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Tujuan dan Keluaran Kajian
1.3. Ruang Lingkup
1.4. Sistematika Laporan
BAB II : TINJAUAN LITERATUR
2.1. Pengertian Lembaga Pembiayaan
2.2. Peran Lembaga Pembiayaan dalam Pengembangan
UMKM
2.3. Perkembangan Lembaga Pembiayaan UMKM
BAB III : METODE PENELITIAN
3.1. Kerangka Pemikiran
3.2. Pendekatan Penelitian
3.3. Jenis Penelitian
3.4. Jenis Data dan Sumber Data
3.5. Teknik Pengumpulan Data
3.6. Populasi dan Sampel
3.7. Teknik Analisis Data
3.8. Operasionalisasi Konsep
BAB IV : ANALISIS PERAN LEMBAGA PEMBIAYAAN DALAM
PENGEMBANGAN UMKM
4.1. Program Pengembangan UMKM Melalui Lembaga
Pembiayaan
4.2. Perkembangan Pembiayaan UMKM
4.3. Peran Lembaga Pembiayaan Dalam Pengembangan
UMKM di Provinsi Jawa Barat dan DI Yogyakarta
BAB V : SIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1. Kesimpulan
5.2. Rekomendasi
BAB II
TINJAUAN LITERATUR

2.1. Pengertian Lembaga Pembiayaan

2.1.1. Berdasarkan Keppres No. 61 Tahun 1988

Lembaga pembiayaan adalah : badan usaha yang melakukan kegiatan


pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak
menarik dana secara langsung dari masyarakat.
Sistem lembaga keuangan dibedakan menjadi tiga yaitu:
1) lembaga keuangan bank
sesuai UU No. 14 Tahun 1967, bank adalah badan usaha yang melakukan
kegiatan di bidang keuangan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam
bentuk kredit atau bentuk lain guna meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
2) lembaga keuangan bukan bank. Lembaga keuangan bukan bank adalah badan
usaha yang melakukan kegiatan di bidang keuangan yang secara langsung
atau tidak langsung menghimpun dana dengan jalan mengeluarkan surat
berharga dan menyalurkannya ke dalam masyarakat guna membiayai investasi
perusahaan.
Bidang usaha yang termasuk dalam lembaga keuangan bukan bank antara lain
adalah asuransi, pegadaian, dana pensiun, reksa dana, lembaga pembiayaan.
lembaga pembiayaan termasuk dalam Lembaga keuangan Bukan Bank
(LKBB).
3) Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha di luar Bank dan Lembaga
Keuangan Bukan Bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang
termasuk dalam bidang usaha Lembaga Pembiayaan;
Kegiatan lembaga pembiayaan meliputi antara lain bidang usaha:
1) sewa guna usaha;
2) modal ventura;
3) perdagangan surat berharga
4) anjak piutang;
5) usaha kartu kredit;
6) pembiayaan konsumen.
Keenam kegiatan tersebut dapat dilakukan oleh ketiga bentuk lembaga
pembiyaan di atas.

2.1.2. Berdasarkan Perpres 9 Tahun 2009

Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan


pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal. Perusahaan
Pembiayaan adalah badan usaha yang khusus didirikan untuk melakukan Sewa
Guna Usaha, Anjak Piutang,Pembiayaan Konsumen, dan/atau usaha Kartu
Kredit.

Lembaga Pembiayaan meliputi:


1) Perusahaan Pembiayaan;
2) Perusahaan Modal Ventura; dan
3) Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur. Kegiatan
usaha Perusahaan Pembiayaan meliputi:
1) Sewa Guna Usaha;
2) Anjak Piutang
3) Usaha Kartu Kredit; dan/atau
4) Pembiayaan Konsumen

Menurut Asian Development Bank (ADB), lembaga keuangan mikro


(microfinance) atau bisa disebut juga lembaga pembiayaan adalah lembaga yang
menyediakan jasa penyimpanan (deposits), kredit (loans), pembayaran berbagai
transaksi jasa (payment services) serta money transfers yang ditujukan bagi
masyarakat miskin dan pengusaha kecil (insurance to poor and low-income
households and their microenterprises). Sedangkan bentuk Lembaga
pembiayaan UMKM dapat berupa: (1) lembaga formal misalnya bank desa dan
koperasi, (2) lembaga semiformal misalnya organisasi non pemerintah, dan (3)
sumber-sumber informal misalnya pelepas uang.
Lembaga Pembiayaan di Indonesia menurut Bank Indonesia dibagi
menjadi dua kategori yaitu LKM yang berwujud bank serta non bank. LKM yang
berwujud bank adalah BRI Unit Desa, BPR dan BKD (Badan Kredit Desa).
Sedangkan yang bersifat non bank adalah koperasi simpan pinjam (KSP), unit
simpan pinjam (USP), lembaga dana kredit pedesaan (LDKP), baitul mal
wattanwil (BMT), lembaga swadaya
masyarakat (LSM), arisan, pola pembiayaan Grameen, pola pembiayaan ASA,
kelompok swadaya masyarakat (KSM), dan credit union. Meskipun BRI Unit
Desa dan BPR dikategorikan sebagai LKM, namun akibat persyaratan
peminjaman menggunakan metode bank konvensional, pengusaha mikro
kebanyakan masih kesulitan mengaksesnya.

2.2. Peran Lembaga Pembiayaan dalam Pengembangan UMKM

Peran lembaga pembiayaan:


1) sebagai sumber alternatif pembiayaan,
2) menampung dan menyalurkan aspirasi dan minat masyarakat untuk berperan
aktif dalam pembangunan khususnya di bidang ekonomi.
Bantuan Teknis dari BI bagi Bank untuk menyalurkan kredit atau pembiayaan
UMKM:
1) Penelitian
2) Pelatihan
3) Penyediaan informasi
4) Fasilitasi

Bank Umum wajib memberikan Kredit atau Pembiayaan UMKM. Jumlah Kredit
atau Pembiayaan UMKM sebagaimana dimaksud pada ditetapkan paling rendah 20%
(dua puluh persen) yang dihitung berdasarkan rasio Kredit atau Pembiayaan UMKM
terhadap total Kredit atau Pembiayaan. Pencapaian rasio pemberian Kredit atau
Pembiayaan UMKM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung pada setiap akhir
tahun. Pencapaian rasio pemberian Kredit atau Pembiayaan UMKM sebagaimana
dimaksud pada dilakukan secara bertahap, sebagai berikut:
1) Tahun 2013: rasio Kredit atau Pembiayaan UMKM terhadap total Kredit atau
Pembiayaan sesuai kemampuan Bank Umum yang dicantumkan dalam Rencana
Bisnis Bank;
2) Tahun 2014: rasio Kredit atau Pembiayaan UMKM terhadap total Kredit atau
Pembiayaan sesuai kemampuan Bank Umum yang dicantumkan dalam Rencana
Bisnis Bank;
3) Tahun 2015: rasio Kredit atau Pembiayaan UMKM terhadap total Kredit atau
Pembiayaan paling rendah 5% (lima persen);
4) Tahun 2016: rasio Kredit atau Pembiayaan UMKM terhadap total Kredit atau
Pembiayaan paling rendah 10% (sepuluh persen);
5) Tahun 2017: rasio Kredit atau Pembiayaan UMKM terhadap total Kredit atau
Pembiayaan paling rendah 15% (lima belas persen);
6) Tahun 2018 dan seterusnya: rasio Kredit atau Pembiayaan UMKM terhadap total
Kredit atau Pembiayaan paling rendah 20% (dua puluh persen).

2.3. Perkembangan Lembaga Pembiayaan UMKM

Perkembangan Lembaga Pembiayaan UMKM terjadi seiring dengan


perkembangan UKM serta masih banyaknya hambatan UKM dalam mengakses sumber-
sumber pembiayaan dari lembaga-lembaga keuangan formal. Selain itu berkembangnya
lembaga pembiayaan ini juga tidak terlepas dari karakterisitiknya yang memberikan
kemudahan kepada pelaku UKM dalam mengakses sumber- sumber pembiayaan.
Walaupun biaya atas dana pinjaman dari lembaga pembiyaan lebih tinggi sedikit
dari tingkat bunga perbankan, lembaga pembiayaan memberikan kelebihan misalnya
berupa tiadanya jaminan/agunan seperti yang dipersyaratkan oleh perbankan bahkan
dalam beberapa jenis lembaga, pinjaman didasarkan pada kepercayaan karena biasanya
peminjam beserta aktivitasnya sudah dikenal oleh LKM, kemudahan yang lain adalah
pencairan dan pengembalian pinjaman yang fleksibel yang juga sering disesuaikan
dengan cash flow peminjam.
Jenis lembaga pembiayaan lebih banyak didominasi oleh Unit Simpan Pinjam
(USP), namun dari aspek besarnya perputaran pinjaman lebih didominasi oleh perbankan
yaitu BRI Unit dan BPR.
Hampir 80 persen pembiayaan UMKM dilakukan oleh perbankan khususnya BRI
lewat program KUR. Sampai bulan Agustus 2013 , bank nasional yang menyalurkan
KUR sebanyak 7 (tujuh) bank yaitu Bank Nasional Indonesia (BNI), Bank Rakyat
Indonesia (BRI), Bank Mandiri, Bank Tabungan Negara (BTN), Bank Bukopin, Bank
Syariah Mandiri (BSM) dan Bank Negara Indonesia Syariah (BNI Syariah). Bank BRI
adalah penyalur KUR terbesar dengan total plafond mencapai Rp. 77,5 triliun. Selain
sektor ritel BRI juga menyalurkan KUR di sektor mikro yang masing-masing plafondnya
sebesar Rp. 15,6 triliun dan Rp. 61,9 triliun, debiturnya 92.962 UMK dan 8.470.436
UMKM, rata-rata kredit Rp.
168,5 juta/debitur dan Rp. 7,3 juta/debitur, serta NPL penyaluran masing-masing 3,4%
dan 1,9%.
Selain BRI , Bank BNI juga melakukan pembiayaan UMKM dengan total
plafond sebesar Rp. 14,08 triliun, debiturnya sebanyak 223.884 UMK, dengan rata-rata
kredit Rp. 62,89 juta/debitur serta nilai NPL sebesar 4,9%. Sedangkan Bank Mandiri
dengan total plafond sebesar Rp. 12,4 triliun, debiturnya sebanyak 244.993 UMK, dengan
rata-rata kredit Rp. 50,9 juta/debitur serta nilai NPL sebesar 4,5%. Selanjutnya berturut-
turut yaitu BTN dengan plafond Rp. 4 triliun, BSM dengan plafond Rp. 3,3 triliun,
Bank Bukopin dengan plafond 1,74 triliun dan BNI Syariah dengan plafond Rp.
129.849 miliar.
Secara keseluruhan, nilai Non Performing Loan (NPL) penyaluran KUR oleh
bank pelaksana ini masih dibawah 5% yaitu sebesar 3,7%. Bank BTN merupakan Bank
Pelaksana dengan nilai NPL terbesar dalam penyaluran KUR yaitu sebesar 12,4% dan
BRI Mikro dengan NPL terkecil yaitu 1,9%. Diharapkan pada periode-periode berikutnya
nilai NPL pada bank yang masih di atas 5% bisa turun sehingga penyalurannya lebih
tepat sasaran.

Tabel 2.1
Realisasi dan NPL Penyaluran KUR Bank Nasional
(31 Agustus 2013)

REALISASI PENYALURAN KUR


NPL
NO BANK
(%)
Rata-rata
Plafon Outstanding Kredit
Debitur
(Rp juta) (Rp juta) (Rp juta)
1 BNI 14,085,347 4,701,435 223,884 62.9 4.9
2 BRI (KUR Ritel) 15,661,184 6,458,669 92,962 168.5 3.4
3 BRI (KUR Mikro) 61,912,781 18,425,469 8,470,436 7.3 1.9
4 Bank Mandiri 12,481,392 5,904,132 244,993 50.9 4.5
5 BTN 4,001,870 2,140,826 22,483 178.0 12.4
6 Bukopin 1,748,494 696,731 11,719 149.2 4.1
7 Bank Syariah Mandiri 3,342,178 1,740,551 45,856 72.9 7.3
8 BNI Syariah 129,849 94,483 889 146.1 3.8
TOTAL 113,363,095 40,162,296 9,113,222 12.4 3.7

Dari tabel 2. Terlihat bahwa penyaluran KUR oleh BPD sampai bulan Agustus
2013 ini telah mencapai Rp. 12 triliun dengan jumlah UMKMK sebesar 151.704. Rata-
rata kredit yang diterima debitur sebesar Rp. 79,1 juta. Bank Jatim dan Bank Jabar Banten
merupakan BPD yang menyalurkan KUR terbesar sekitar Rp 3,7 triliun dan Rp 2,73
triliun. Untuk di luar pulau Jawa, Bank Nagari dan Bank
Kalbar merupakan Bank Pelaksana terbesar yang menyalurkan KUR masing- masing
sebesar Rp. 1,329 triliun dan Rp 332,740 miliar. Sampai bulan Agustus 2013 NPL yang
terbentuk dari penyaluran KUR oleh BPD adalah sebesar 7,9%, sehingga diperlukan
konsolidasi internal untuk memperbaiki tingkat NPL yang tinggi tersebut.

Tabel 2.2
Realisasi dan NPL Penyaluran KUR BPD
(31 Agustus 2013)

REALISASI PENYALURAN KUR


NO BANK NPL (%)
Rata-rata
Plafon Outstanding Kredit
Debitur
(Rp juta) (Rp juta) (Rp juta)
1 Bank Nagari 1,329,700 651,105 38,641 34.4 3.1
2 Bank DKI 313,460 223,017 2,212 141.7 4.2
3 Bank Jabar Banten 2,732,746 1,091,814 22,704 120.4 10.8
4 Bank Jateng 1,522,806 672,737 22,880 66.6 3.6
5 Bank DIY 79,490 28,959 819 97.1 7.2
6 Bank Jatim 3,706,010 1,407,830 35,355 104.8 16.9
7 Bank NTB 134,491 78,396 1,810 74.3 2.7
8 Bank Kalbar 332,740 213,714 2,175 153.0 1.4
9 Bank Kalteng 132,860 85,553 2,471 53.8 5.2
10 Bank Kalsel 308,965 213,835 3,432 90.0 1.7
11 Bank Sulut 53,095 33,675 1,948 27.3 10.5
12 Bank Maluku 173,428 83,448 4,137 41.9 6.9
13 Bank Papua 230,284 167,997 2,974 77.4 4.4
14 Bank Aceh 67,459 57,353 751 89.8 2.1
15 Bank Sumut 181,639 157,044 1,522 119.3 1.5
16 Bank Riau Kepri 34,800 28,306 328 106.1 1.1
17 Bank Jambi 36,483 30,546 396 92.1 0.6
18 Bank Sumsel Babel 73,499 61,210 835 88.0 0.0
19 Bank Bengkulu 23,717 19,700 231 102.7 0.0
20 Bank Lampung 125,899 106,431 1,431 88.0 0.0
21 Bank BPD Bali 85,433 61,774 904 94.5 0.0
22 Bank NTT 26,015 22,828 354 73.5 0.0
23 Bank Kaltim 239,673 171,673 2,779 86.2 2.5
-
24 Bank Sulteng 4,937 4,197 80 -
25 Bank Sultra 37,702 27,195 391 96.4 0.0
26 Sulselbar 17,275 14,766 144 120.0 0.0
TOTAL 12,004,605 5,715,105 151,704 79.1 7.9
TOTAL BPD LAMA 11,050,074 4,952,081 141,558 78.1 8.9
TOTAL BPD BARU 954,531 763,024 10,146 94.1

Secara nasional, sampai bulan Agustus 2013, dari tabel 3. di bawah ini terlihat
bahwa dari target yang ditetapkan sebesar Rp. 36 triliun KUR sudah mencapai Rp.
27,716 triliun atau 77%. Diharapkan 5 bulan yang tersisa di tahun
2013 Bank pelaksana dapat mencapai target yang telah ditetapkan dengan NPL masing-
masing dibawah 5%. Penambahan Bank Pelaksana diharapkan dapat mendorong
percepatan penyaluran KUR kepada UMKMK yang visible namun belum bankable.

Tabel 2.3
Realisasi dan NPL Penyaluran KUR
(31 Agustus 2013)

REALISASI PENYALURAN KUR


Rata-rata NPL
NO BANK Plafon Outstanding Kredit
Debitur (%)
(Rp juta) (Rp juta) (Rp juta)
1 BNI 14,085,347 4,701,435 223,884 62.9 4.9
2 BRI (KUR Ritel) 15,661,184 6,458,669 92,962 168.5 3.4
3 BRI (KUR Mikro) 61,912,781 18,425,469 8,470,436 7.3 1.9
4 BANK MANDIRI 12,481,392 5,904,132 244,993 50.9 4.5
5 BTN 4,001,870 2,140,826 22,483 178.0 12.4
6 BUKOPIN 1,748,494 696,731 11,719 149.2 4.1
7 BANK SYARIAH 3,342,178 1,740,551 45,856 72.9 7.3
MANDIRI
8 BNI SYARIAH 129,849 94,483 889 146.1 3.8
9 BPD 12,004,605 5,715,105 151,704 79.1 7.9
TOTAL 125,367,700 45,877,402 9,264,926 13.5 4.2

Dilihat dari sisi sektor ekonomi, penyaluran KUR oleh Bank Pelaksana masih
didominasi oleh sektor perdagangan. Penyaluran disektor ini mencapai Rp. 71,694 triliun
dengan jumlah debitur UMKMK sebesar 6,171 juta debitur. Sektor pertanian menjadi
sektor kedua yang terbesar menyerap KUR dari bank pelaksana yaitu sebesar Rp. 20,67
triliun dengan jumlah debitur mencapai 1,37 juta debitur. Sektor perdagangan menjadi
sektor yang paling banyak memanfaatkan dana KUR karena jumlah UMKM sektor
perdagangan jumlahnya cukup besar dan kemampuan untuk mengembalian pinjaman
pada UMKM sektor perdagangan inti juga sangat baik. Sektor pertanian juga menjadi
sektor yang cukup banyak mendapat dana KUR. Ini membuktikan bahwa kedua sektor
tersebut merupakan sektor ekonomi yang paling banyak digeluti oleh UMKM.
Tabel 2.4
Realisasi KUR Menurut Sektor Ekonomi
(31 Agustus 2013)

TOTAL
NO SEKTOR EKONOMI Plafon Outstanding
(Rp juta) (Rp juta) Debitur
1 Pertanian 20,675,438 8,704,395 1,375,369
2 Perikanan 768,053 226,337 7,268
3 Pertambangan 106,296 50,751 2,673
4 Industri pengolahan 3,466,891 1,610,621 173,905
5 Listrik, gas dan air 64,715 33,384 1,677
6 Konstruksi 1,965,360 670,109 9,949
7 Perdagangan 71,694,808 26,291,876 6,171,144
8 Penyediaan akomodasi 826,287 288,909 31,542
9 Transportasi 1,711,559 976,110 38,706
10 Perantara keuangan 924,458 363,957 6,300
11 usaha persewaan 5,193,460 2,567,399 254,701
12 Adm. Pemerintahan 9,086 1,433 37
13 Jasa pendidikan 70,140 30,655 410
14 Jasa kesehatan 337,879 107,537 3,558
15 Jasa kemasyarakatan 3,123,861 1,224,790 104,153
16 Jasa perorangan 90,024 43,068 879
17 Badan internasional 75 - 1
18 Lainnya 14,339,308 2,686,070 1,082,654
Total 125,367,700 45,877,402 9,264,926

Dari sebaran wilayahnya, penyerapan KUR masih terkonsentrasi di Pulau Jawa.


Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan plafond masing-masing Rp. 19,4 triliun
dan Rp. 18,9 triliun. Jawa Tengah masih merupakan provinsi terbesar yang menyerap
KUR dari Bank Pelaksana. Diharapkan dengan adanya BPD dapat meningkatkan
penyaluran KUR di luar pulau Jawa. Terkonsentrasinya penyerapan KUR di pulau Jawa
tidak dapat dipungkiri karena factor jumlah penduduk yang cukup besar, juga
dikarenakan banyak UMKM yang tumbuh dan berkembang di Pulau Jawa. Iklim usaha
yang kompetitif di Jawa membuat pelaku usaha UMKM menjadi terdorong untujk
mengembangkan usahanya.
Tabel 2.5
Realisasi KUR Menurut Propinsi
(31 Agustus 2013)

TOTAL
NO PROVINSI TOTAL Outstanding
(Rp juta) (Rp juta) Debitur
1 Nanggroe Aceh Darusalam 2,081,745 586,694 150,835
2 Sumatera Utara 6,327,140 2,490,227 380,389
3 Sumatera Barat 3,941,251 1,568,415 218,718
4 Riau 3,830,020 1,768,867 156,569
5 Jambi 2,226,226 907,752 129,556
6 Sumatera Selatan 4,463,741 1,761,048 171,743
7 Bengkulu 899,942 334,146 68,069
8 Lampung 2,716,215 989,084 215,504
9 Kepulauan Riau 906,819 354,212 30,794
10 Bangka Belitung 391,077 152,064 22,305
11 DKI Jakarta 5,737,216 2,317,045 222,155
12 Jawa Barat 16,016,509 5,501,041 1,309,104
13 Jawa Tengah 19,412,883 6,265,058 2,174,768
14 D.I. Yogyakarta 2,447,451 921,412 241,168
15 Jawa Timur 18,924,056 6,584,795 1,606,785
16 Banten 2,601,219 889,641 143,307
17 Bali 2,785,984 1,032,096 213,619
18 NTB 1,534,318 528,230 138,967
19 NTT 1,339,393 457,248 94,620
20 Kalimantan Barat 2,845,038 1,248,096 107,464
21 Kalimantan Tengah 1,900,006 899,630 86,721
22 Kalimantan Selatan 3,092,273 1,334,993 171,557
23 Kalimantan Timur 3,283,879 1,361,717 156,295
24 Sulawesi Utara 1,289,843 510,953 88,020
25 Sulawesi Tengah 1,519,952 611,866 117,506
26 Sulawesi Selatan 7,084,829 2,486,486 508,493
27 Sulawesi Tenggara 1,077,919 392,903 84,631
28 Gorontalo 621,647 174,656 58,211
29 Sulawesi Barat 668,853 206,872 47,150
30 Maluku 876,280 256,270 45,683
31 Maluku Utara 552,637 189,825 24,034
32 Papua Barat 671,636 276,869 22,026
33 Papua 1,299,705 517,195 58,160
TOTAL 125,367,700 45,877,402 9,264,926

Sementara itu, Lembaga penyaluran dana pinjaman yang dikelola oleh Kantor
Kementrian Koperasi dan UKM yang berada dibawah LPDB (Lembaga Penyalur Dana
Bergulir) – UMKM juga cukup banyak menyalurkan dana bergulir kepada UMKM
melalui koperasi-koperasi yang dibentuk oleh UMKM itu sendiri. LPDB-UMKM
merupakan satuan kerja Kementerian Koperasi dan UKM yang telah menyalurkan dana
bergulir pinjaman/pembiayaan kepada mitranya yakni
koperasi dan UKM sejak awal tahun 2008 hingga 24 Oktober 2013 sebesar Rp 3,9 triliun
kepada 501.427 UMKM melalui 2.671 mitra di seluruh Indonesia. Target penyaluran
dana bergulir tahun 2013 sebesar Rp 1,9 triliun kepada
109.157 UMKM melalui 768 mitra dan sampai dengan tanggal 24 Oktober 2013 telah
terealisasi sebesar Rp 1.2 triliun kepada 140.661 UMKM melalui 852 mitra, sementara
yang sedang dalam proses pencairan mencapai Rp 321 miliar.

Disisi lain, lembaga pembiayaan juga banyak dimanfaatkan oleh UMKM untuk
mengembangkan usahanya seperti Bank Perkreditan Rakyat (BPR), BMT, Modal
Ventura, dan lain sebagainya. Tapi pembiayaan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga
pembiayaan tersebut tidak terlalu besar. Pembiayaan UMKM masih banyak dilakukan
oleh Lembaga Keuangan Perbankan. Hampir 80 persen pembiayaan UMKM dilakukan
oleh lembaga keuangan perbankan. Dari hasil pengamatan di lokasi penelitan terlihat
bahwa perbankan seperti Bank BRI, Bank Mandiri, Bank BNI, Bank Danaman dan bank-
bank lainya bersaing dengan lembaga pembiayaan non bank untuk menarik nasabah
UMKM. Bahkan BPR yang dulu banyak nasabah yang antri untuk meminjam dana untuk
pengembangan usahanya, sekarang ini harus “jemput bola” karena persaingan untuk
menarik nasabah UMKM semakin kompetitf.

2.4. Perkembangan UMKM di Indonesia

Perkembangan Produk Domestik Bruto dari UMKM selamat 3 tahun terakhir


menunjukkan peningkatan. Berdasarkan data dari kantor Kementrian Koperasi dan
UMKM pada tahun 2011 kontribusi UMKM terhadap PDB sekitar 57,94 persen (tabel
2.6). Tahun 2009, kontribusi UMKM terhadap PDB sekitar 56,53 persen. Kondisi
tersebut menunjukkan bahwa selama ini UMKM masih menjadi tulang punggung
perekonomian Indonesia dengan memberikan kontribudi PDB lebih besar daripada usaha
besar, bahkan dalam 3 tahun terakhir menunjukkan peningkatan kontribusinya terhadap
PDB jika dibandingkan dengan usaha besar yang terus mengalami penurunan.
Berdasarkan kontribusi secara sektoral, tidak dapat dipungkiri bahwa sektor
pertanian dan perdagangan menjadi tulang punggung bagi UMKM dimana kedua sektor
tersebut memberikan kontribusi yang paling besar dalam pembentukan PDB. Besarnya
kontribusi kedua sektor tersebut cukup beralasan karena jika dilihat dari karakteristik dan
jumlah UMKM yang ada di Indonesia, kedua sektor tersebut sangat dominan dalam
jumlah UMKM nya. Sektor ekonomi
lainnya yang juga memberikan kontribusi yang cukup besar adalah sektor industri.
Berkembangnya sektor industri dipicu oleh berkembangnya sektor pariwisata yang
menyebabkan industri kecil dan menengah ikut berkembang. Permintaan produk-produk
kerajinan UMKM meningkat dipasaran baik untuk pasar domestic maupun pasar
internasional.
Satu hal yang harus menjadi perhatian adalah meskipun kontribusi sektor
pertanian dan turunannya masih cukup besar, tapi ada kecenderungan kontribusinya
menurun setiap tahunnya. Kondisi ini mengindikasikan bahwa pergeseran peran sektor
ekonomi dari sektor primer ke sektor sekunder dan tersisier. Gejala ini menjadi hal yang
biasa untuk sebuah negara yang sedang berkembang yang tumbuh untuk menjadi negara
yang maju.
Tabel 2.6
Produk Domestko Bruto (PDB) UMKM dan UB
Menurut Sektor Ekonomi Tahun 2009 – 2011
(Trilyun rupiah)

Sektor Ekonomi Atas Dasar Harga Berlaku Atas Dasar Harga Konstan Pangsa (%)
2009 2010 2011 2009 2010 2011 2009 2010 2011

1. Pertanian UMKM 821.49 962.05 1,010.34 283.94 292.11 310.89 15.51 15.85 13.60
UB 36.77 41.97 48.77 11.99 12.29 16.92 0.69 0.69 0.66
2. Pertambangan UMKM 89.94 102.88 128.47 23.16 24.57 30.5 1.70 1.70 1.73
UB 501.6 564.26 708 157.01 161.86 219.07 9.47 9.30 9.53
3. Industri UMKM 490.94 567.2 786.3 179.72 186.45 191.55 9.27 9.35 10.59
UB 989.96 1,129.12 1,412.85 390.06 408.86 375.54 18.70 18.61 19.02
4.LGA UMKM 3.29 3.78 6.71 1.27 1.35 2.69 0.06 0.06 0.09
UB 43.53 47.62 40.91 15.86 16.7 28.98 0.82 0.78 0.55
5. Bangunan UMKM 203.34 227.25 279.85 52.2 54.55 62.67 3.84 3.74 3.77
UB 351.64 397.61 358.72 88.07 95.51 130.98 6.64 6.55 4.83
6. Perdagangan UMKM 723 845.41 1,147.60 354.15 384.57 361.71 13.65 13.93 15.45
UB 27.6 30.63 39.32 14.41 16.03 29.41 0.52 0.50 0.53
7. Pengangkutan UMKM 166.06 189.74 220.28 73.82 79.39 99.68 3.14 3.13 2.97
UB 186.34 208.93 254.88 117.8 138 127.5 3.52 3.44 3.43
8. Keuangan UMKM 250.67 288.03 329.6 132.66 139.98 161.44 4.73 4.75 4.44
UB 153.45 170.41 239.15 76.18 80.66 73.02 2.90 2.81 3.22
9. Jasa - Jasa UMKM 244.42 280.05 394.42 111.67 119.58 148.21 4.62 4.61 5.31
UB 10.82 11.8 20.93 5.08 5.45 6.37 0.20 0.19 0.28
PDB UMKM 2,993.15 3,466.39 4,303.57 1,212.60 1,282.57 1,369.33 56.53 57.12 57.94
PDB UB 2,301.71 2,602.37 3,123.51 876.46 935.37 1,007.78 43.47 42.88 42.06
PDB NASIONAL 5,294.86 6,068.76 7,427.09 2,089.06 2,217.95 2,377.11 100.0000 100.00 100.00
Sumber : Kantor Kementrian Koperasi dan UMKM 2012
Kondisi seperti diatas bisa dilihat dari tabel 2.7 dibawah ini, bahwa jumlah
UMKM sektor pertanian paling banyak dibandingkan dengan UMKM sektor lainnya.
Hampir 50% UMKM yang ada merupakan UMKM sektor pertanian, sedangkan sektor
perdagangan sekitar 29 persen. Meskipun jumlah UMKM sektor pertanian jauh labih
banyak daripada sektor perdagangan, tapi dalam hal poenciptaan PDB, UMKM sektor
perdangan lebih banyak daripada sektor pertanian. Kondisi ini menunjukkan bahwa
UMKM sektor perdagangan mampu menciptakan nilai tambah yang lebih besar daripada
UMKM sektor pertanian.

Dari tabel 2.7 di bawah ini, hampir 99 persen usaha yang ada di Indonesia
merupakan UMKM, sedangkan hanya sekitar 1 persen merupakan usaha besar. Tapi jika
dilihat dari penciptaan PDB nya ternyata usaha besar relatife lebih besar daipada UMKM.
Ini bisa dilihat dengan hanya 1 persen, usaha besar mampun menciptakan PDB sekitar 42
persen, sedangkan UMKM yang jumlahnya hampir 99 persen hanya mampu
memberikan kontribusi PDB sekitar
58 persen. Ini menunjukkkan bahwa sebenarnya UMKM sendiri masih mempunyai
peluang dan potensi yang cukup besar untuk meningkatkan usahanya sehingga kontribusi
terhadap PDB juga akan semakin besar.
Tabel 2.7
Jumlah UMKM dan UB
Menurut Sektor Ekonomi Tahun 2009 - 2011

Sektor
Ekonomi Unit Persentase
2009 2010 2011 2009 2010 2011

1. Pertanian UMKM 26,369,299 26,685,710 26,967,963 49.971 49.575 48.845


UB 528 524 754 0.001 0.001 0.001
2.
Pertambangan UMKM 271,929 276,861 294,448 0.515 0.514 0.533
UB 84 88 78 0.000 0.000 0.000
3. Industri UMKM 3,268,496 3,423,078 3,538,070 6.194 6.359 6.408
UB 1,178 1,223 928 0.002 0.002 0.002
4.LGA UMKM 11,720 12,852 13,903 0.022 0.024 0.025
UB 122 120 231 0.000 0.000 0.000
5. Bangunan UMKM 553,698 570,640 869,080 1.049 1.060 1.574
UB 256 268 417 0.000 0.000 0.001
6.
Perdagangan UMKM 15,533,964 15,910,964 15,918,251 29.438 29.559 28.831
UB 1,303 1,351 1,195 0.002 0.003 0.002
7.
Pengangkutan UMKM 3,408,343 3,487,691 3,799,460 6.459 6.479 6.882
UB 346 363 447 0.001 0.001 0.001
8. Keuangan UMKM 1,060,386 1,115,742 1,308,035 2.009 2.073 2.369
UB 644 673 794 0.001 0.001 0.001
9. Jasa - Jasa UMKM 2,286,768 2,340,194 2,497,235 4.334 4.347 4.523
UB 216 228 109 0.000 0.000 0.000
Jumlah UMKM 52,764,603 53,823,732 55,206,444 99.991 99.991 99.991
Jumlah UB 4,677 4,838 4,952 0.009 0.009 0.009
Total 52,769,280 53,828,569 55,211,396 100.000 100.000 100.000
Sumber : Kantor Kementrian Koperasi dan UMKM 2012

Jika dilihat dari penyerapan tenaga kerja, UMKM mampu menyerap tenaga kerja
jauh lebih besar daripada Usaha Besar. UMKM mampu menyerap tenaga kerja sekitar 97
persen dari tenaga kerja Indonesia sedang usaha besar hanya mamp;u menyerap tenaga
kerja 3 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa UMKM memberikan kontribusi yang
cukup besar dalam mengatasi pengangguran. Besarnya penyerapan tenaga kerja UMKM
tersebut tidak terlepas dari besarnya kontribusi UMKM sektor pertanian, perdagangan
dan industri yang merupakan tiga sektor utama dari UMKM di Indonesia. Sektor
pertanian menjadi sektor ekonomi yang paling banyak menyerap tenaga kerja yaitu
sekitar 41
persen pada tahun 2011, sedangkan sektor perdagangan menyerap tenaga kerja sekitar 21
persen, dan sektor industri menyerap tenaga kerja sekitar 11,3 persen.

Tabel 2.8
Penyerapan Tenaga Kerja UMKM dan UB
Menurut Sektor Ekonomi Tahun 2009 - 2011

Sektor Ekonomi Unit Persentase


2009 2010 2011 2009 2010 2011

1. Pertanian UMKM 42,560,349 85,129,370 43,081,018 43.040 42.804 41.181

UB 469,150 479,898 592,243 0.474 0.241 0.566


2.
Pertambangan UMKM 1,046,418 2,185,727 1,343,488 1.058 1.099 1.284
UB 93,077 119,268 139,985 0.094 0.060 0.134
3. Industri UMKM 11,037,496 21,672,804 11,877,631 11.162 10.897 11.354
UB 1,577,944 1,656,837 1,471,635 1.596 0.833 1.407
4.LGA UMKM 140,149.000 241,805.000 169,324.000 0.142 0.122 0.162
UB 69,292 82,534 118,449 0.070 0.041 0.113
5. Bangunan UMKM 4,447,683 8,959,049 5,379,986 4.498 4.505 5.143
UB 163,012 162,959 184,852 0.165 0.082 0.177
6. Perdagangan UMKM 21,734,462 45,277,463 22,108,306 21.979 22.766 21.133
UB 102,306 110,317 139,985 0.103 0.055 0.134
7.
Pengangkutan UMKM 5,867,732 12,160,549 7,067,798 5.934 6.114 6.756
UB 79,941 97,063 86,144 0.081 0.049 0.082
8. Keuangan UMKM 1,414,875 2,959,219 1,913,270 1.431 1.488 1.829

UB 69,723 74,892 111,270 0.071 0.038 0.106


9. Jasa - Jasa UMKM 7,962,167 17,457,712 8,781,638 8.052 8.778 8.394
UB 50,227 55,940.0 46,662 0.051 0.028 0.045
Jumlah UMKM 96,211,332 196,043,698 101,722,458 97.295 98.572 97.236
Jumlah UB 2,674,671 2,839,711 2,891,224 2.705 1.428 2.764
Total 98,886,003 198,883,409 104,613,681 100.000 100.000 100.000

Berdasarkan penciptaan investasi, pada tahun 2011 UMKM mampu menciptakan


investasi lebih besar dari pada usaha besar meskipun tidak terlalu besar perbedaannya. Ini
menjadi hal yang membanggakan karena pada tahun tahun sebelumya usaha besar
mampu menciptakan investasi lebih besar dari UMKM. Meski jika dianalisis lebih
dalam, ternyata usaha besar dengan hanya
sekitar 1 persen jumlah usahanya ternyata mampu menciptakan investasi sekitar 49
persen, sedangkan UMKM yang jumlahnya hampir 99 persen hanya mampu menciptakan
investasi sebesar 51 persen. Ini menunjukkan bahwa usaha besar merupakan usaha yang
cenderung padat modal, sedangkan UMKM merupakan usaha yang cenderung padat
karya.
Investasi pada usaha besar lebih banyak di sektor pertambangan, industri, LGA,
keuangan juga sektor pengankuktan dan jasa-jasa. Untuk UMKM, investasi lebih banyak
di sektor pertanian, perdaganganm pengangkutan, keuangan dan jasa-jasa.

Tabel 2.9
Investasi UMKM dan Besar Menurut Sektor Ekonomi
Tahun 2009 – 2011 ( Juta rupiah)

Sektor Ekonomi 2009 2010 2011

1. Pertanian UMKM 31.291.773 35.220.766 36.220.476


UB 16.364.962 19.084.277 19.130.346
2.
Pertambangan UMKM 2.015.532 2.421.623 2.474.554
UB 43.028.540 52.624.512 28.095.307
3. Industri UMKM 82.276.924 90.154.286 131.256.593
UB 134.546.938 157.586.561 157.829.395
4.LGA UMKM 5.058.514 6.513.398 6.807.290
UB 131.166.289 151.497.733 153.321.959
5. Bangunan UMKM 11.516.987 14.144.619 14.660.874
UB 11.295.063 13.878.150 14.477.825
6. Perdagangan UMKM 164.964.536 13.878.150 209.682.786
UB 45.897.778 202.317.470 59.252.877
7.
Pengangkutan UMKM 224.436.884 274.393.393 282.355.256
UB 199.956.484 239.813.789 243.330.259
8. Keuangan UMKM 125.658.367 155.248.420 158.388.009
UB 143.662.008 183.394.173 190.950.013
9. Jasa - Jasa UMKM 134.137.436 146.703.481 150.359.365
UB 81.227.818 121.325.445 124.128.063
Jumlah UKM 781.356.953 927.117.456 992.205.203
Jumlah UB 807.145.880 996.319.743 990.516.043
Jumlah 1.588.502.833 1.923.437.199 1.982.721.246
2.5. Permasalahan dalam Pembiayaan UMKM

Selain berbagai peluang pembiayaan seperti dijelaskan diatas, pada kenyataannya


perkembangan LKM masih dihadapkan pada berbagai kendala baik hambatan internal
LKM maupun kondisi eksternal LKM yang kurang kondusif. Kondisi eksternal yang
dihadapi oleh LKM adalah aspek kelembagaan, yang antara lain mengakibatkan bentuk
LKM beraneka ragam. BRI dan BPR sebagai bagian dari lembaga pembiayaan secara
kelembagaan lebih jelas karena mengacu pada ketentuan perbankan dengan pembinaan
dari bank Indonesia, sehingga lembaga pembiayaan UKMK jenis ini lebih terarah bahkan
terjamin kepercayaannya karena merupakan bagian dari kerangka Arsitektur Perbankan
Indonesia (API) dan berhak mendapat fasiliotas dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)

Sedangkan pada lembaga pembiayaan yang berbentuk koperasi simpan pinjam


atau unit simpan pinjam, segala ketentuan operasional dan arah pengembangannya
mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil
Menengah. Bahkan, bagi lembaga lainnya yang berbentuk Bank Kredit Desa, LDKP,
credit union maupun lembaga non pemerintah lainnya tidak jelas kelembagaan dan
pembinaannya. Padahal, fungsi lembaga pembiayaan UMKM tidak berbeda dengan
lembaga perbankan formal dalam hal sebagai lembaga intermediasi keuangan, yang
didalamnya juga mengemban kepercayaan dari nasabah atau anggota yang menempatkan
dananya. Kondisi kelembagaan yang beragam dan tidak jelas tersebut, akan dapat
mempersulit pengembangan lembaga pembiayaan UMKM di masa mendatang. Padahal
secara fakta lembaga ini mempunyai peranan yang signifikan dalam mendukung
perkembangan UKM. Kondisi infrastruktur dan kelembagaan lembaga pembiayaan
UMKM secara ringkas terlihat dalam Tabel dibawah ini
Tabel 2.10
Kondisi Infrastruktur dan Kelembagaan Lembaga Pembiayaan
UMKM

Kondisi Infrastruktur
Lembaga
dan Kelembagaan
Bank Koperasi Pembiayaan
Lembaga Pembiayaan
UMKM Lainnya
UMKM
UU tentang UU tentang
Regulasi Tidak ada
Perbankan Koperasi
Menteri Koperasi
Regulator Bank Indonesia Tidak ada
& UKM
Menteri Koperasi
Pembinaan Bank Indonesia Tidak ada
& UKM
Penjaminan Pemerintah Tidak ada Tidak ada
Likuiditas Bank Indonesia Tidak ada Tidak ada
Bank Indonesia –
Menteri Koperasi &
Rating Tingkat Tidak ada
UKM
Kesehatan
Perbarindo – Induk Koperasi – PINBUK/Credit
Asosiasi
Asbisindo Pusat Koperasi Union
Sumber : Didin Wahyudin, Key Succes Factors In MicroFinancing, paper pada
Diskusi Panel Microfinance Revolution: “Future Perspective for
Indonesian Market”, Jakarta, 7 Desember 2004

Selain masalah eksternal di atas, LKM juga dihadapkan masalah internal yang
menyangkut aspek operasional dan pemberdayaan usaha. Masalah pertama menyangkut
kemampuan LKM dalam menghimpun dana, sebagian besar LKM masih terbatas
kemampuannya karena masih bergantung sedikit banyaknya anggota atau besaran modal
sendiri. Kemampuan SDM LKM dalam mengelola usaha sebagian besar masih terbatas,
sehingga dalam jangka panjang akan mempengaruhi perkembangan usaha LKM bahkan
dapat menghambat. Ringkasan permasalahan LKM disajikan pada tabel 2.11 di bawah
ini.
Tabel 2.11
Potensi dan Permasalahan yang Dihadapi Lembaga
Pembiayaan UMKM

Potensi dan
Permasalahan yang Lembaga
Dihadapi Lembaga Bank Koperasi Pembiayaan
Keuangan Mikro Lainnya
Aspek
Mengandalkan
Mengandalkan
Kemampuan tingkat suku bunga Mengandalkan
modal sendiri dan
menghimpun dana > rata-rata bank jumlah anggota
anggota
umum
Rasio Loan to Terbatas karena Terbatas karena
Kemampuan Deposit (LDR), kemampuan SDM kemampuan SDM
menyalurkan dana namun kualitasnya dan pengalaman dan pengalaman
perlu diperhatikan usaha usaha
Kemampuan Tergantung pada
Tergantung pada Tergantung pada
manajemen beberapa SDM
pengurus pengurus
operasional kunci
Relatif lebih baik
Tergantung dari Tergantung dari
Kemampuan dibandingkan bank
kemampuan dan kemampuan dan
menghasilkan laba umum (ROE dan
komitmen anggota komitmen anggota
ROA)
Kemampuan jaringan Fokus pada usaha
Masih terbatas Masih terbatas
dan akses pasar perdagangan
Masih beragam,
khususnya BPR
Kemampuan perencanaan yang mempunyai
dan modal terbatas dan Masih kurang Masih kurang
pelaporan yang
beroperasi di luar
Jawa dan Bali
Sumber : Didin Wahyudin, Key Succes Factors In MicroFinancing, paper pada
Diskusi Panel Microfinance Revolution: “Future Perspective for
Indonesian Market”, Jakarta, 7 Desember 2004
2.6. Kebijakan Pembiayaan UMKM

Untuk mendorong perkembangan UMKM supaya bisa tumbuh dan berkembang


dan menjadi pendorong utama perekonomian Indonesia, pemerintah Indonesia sudah
banyak mengambil kebijakan baik melalui sektor perbankan ataupun melalui instansi
terkait. Selain berbagai peluang diatas, perkembangan LKM masih dihadapkan pada
berbagai kendala baik hambatan internal LKM maupun kondisi eksternal LKM yang
kurang kondusif. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh LKM adalah aspek kelembagaan,
yang antara lain mengakibatkan bentuk LKM beraneka ragam. BRI dan BPR sebagai
bagian dari lembaga pembiayaan secara kelembagaan lebih jelas karena mengacu pada
ketentuan perbankan dengan pembinaan dari bank Indonesia, sehingga lembaga
pembiayaan UKMK jenis ini lebih terarah bahkan terjamin kepercayaannya karena
merupakan bagian dari kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dan berhak
mendapat fasiliotas dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
Sedangkan pada lembaga pembiayaan yang berbentuk koperasi simpan pinjam
atau unit simpan pinjam, segala ketentuan operasional dan arah pengembangannya
mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil
Menengah. Bahkan, bagi lembaga lainnya yang berbentuk Bank Kredit Desa, LDKP,
credit union maupun lembaga non pemerintah lainnya tidak jelas kelembagaan dan
pembinaannya. Padahal, fungsi lembaga pembiayaan UMKM tidak berbeda dengan
lembaga perbankan formal dalam hal sebagai lembaga intermediasi keuangan, yang
didalamnya juga mengemban kepercayaan dari nasabah atau anggota yang menempatkan
dananya. Kondisi kelembagaan yang beragam dan tidak jelas tersebut, akan dapat
mempersulit pengembangan lembaga pembiayaan UMKM di masa mendatang. Padahal
secara fakta lembaga ini mempunyai peranan yang signifikan dalam mendukung
perkembangan UKM.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Kerangka Pemikiran

Modal merupakan salah satu kunci penting dalam melakukan kegiatan bisnis, tanpa
adanya modal yang cukup, maka bisnis tidak dapat berjalan dengan baik. Bahkan
terkadang kecukupan modal merupakan syarat mutlak bagi sebuah bisnis – baik bisnis
besar maupun kecil – agar dapat memperoleh hasil seperti yang diinginkan. Demikian
halnya dengan usaha kecil, menengah dan mikro (UMKM), untuk dapat membangun,
menjalankan dan mengembangkan usahanya, UMKM memerlukan modal tertentu.
Masalah permodalan memang merupakan masalah klasik bagi UMKM, tetapi masalah ini
kerapkali muncul bahkan menjadi salah satu penyebab kegagalan usaha yang dilakukan.
Untuk mencukupi modal yang dibutuhkan, pemerintah melalui program kerjanya
berupaya membantu dengan menetapkan berbagai kebijakan yang berpihak pada UMKM.
Kebijakan tersebut dibuat dengan tujuan memberi kesempatan kepada UMKM untuk
dapat bertahan dan mengembangkan usahanya. Pemberian modal melalui pemerintah
diberikan dalam bentuk pinjaman lunak (soft loan) bagi UMKM. Pemerintah bekerja
sama dengan seluruh instansi keuangan seperti lembaga keuangan bank, lembaga
keuangan non bank, perusahaan BUMN, lembaga swadaya masyarakat dan koperasi,
membuka kesempatan bagi UMKM untuk meminjam dengan bunga yang rendah. Wujud
dari keseriusan pemerintah menangani permasalahan ini adalah dengan mewajibkan
setiap bank umum untuk memberikan kredit modal kerja pada UMKM minimal sebesar
20% dari total pembiayaan bank tersebut. Program ini akan dijalan secara bertahap
hingga tahun 2018. Demikian halnya dengan perusahaan BUMN yang wajib
menganggarkan program pembinaan lingkungan minimal 2% dari laba bersih.
Program untuk membantu UMKM dalam hal permodalan tidak hanya dilakukan
oleh pemerintah tetapi juga oleh lembaga swadaya masyarakat seperti koperasi simpan
pinjam, LSM microfinance, dan sebagainya. Banyaknya lembaga yang memberikan
pembiayaan kepada UMKM seharusnya dapat menyelesaikan atau meminimalisir
permasalahan UMKM seputar permodalan atau pembiayaan. Tetapi, pembiayaan yang
diperoleh dari lembaga pembiayan tersebut, belum tentu dapat dipergunakan secara
optimal oleh UMKM untuk
menjalankan dan mengembangkan usahanya. Untuk itu tetap diperlukan peranan lembaga
pembiayaan selain sebagai sarana penyedia dana, juga sebagai fasilitator usaha misalnya
dalam bidang manajemen, pasar dan pemasaran serta keuangan. Peranan sebagai sarana
penyedia dana, akan lebih mudah dijalankan bila dibandingkan dengan peran sebagai
fasilitator bagi UMKM. Untuk itu kegiatan ini akan melihat bagaimana peran lembaga
pembiayaan dalam mengembangkan UMKM.

3.2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan merupakan seperangkat asumsi, keyakinan, modal dan teknik yang


terintegrasi dalam rangka pengumpulan dan analisis data. Pendekatan penelitian
merupakan cara peneliti melihat dan mempelajari suatu gejala atau realitas yang
didasarkan pada asumsi dasar dari ilmu sosial (Neuman, 2000). Kegiatan analisis ini
menggunakan pendekatan metode gabungan (mixed method). Mixed method
merupakan metode yang menggabungkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif di dalam
penelitian. Penggunaan pendekatan ini untuk melihat peran lembaga pembiayaan dalam
pengembangan UKM secara keseluruhan, yang tidak mungkin didapat jika hanya
menggunakan pendekatan kuantitatif murni atau pendekatan kualitatif murni. Mixed
method dapat mengurangi bias yang terdapat pada satu pendekatan dengan
menggunakan pendekatan lainnya (Cresswell, 2003:15). Hasil yang didapat dengan
menggunakan satu pendekatan dapat membantu untuk mengembangkan atau memberikan
informasi tambahan pada pendekatan lainnya, dengan demikian diharapkan hasil yang
didapatkan mendekati kondisi yang sebenarnya.
Prosedur yang digunakan dalam pendekatan ini adalah concurrent procedures
(prosedur bersamaan). Peneliti menggabungkan data kualitatif dan kuantitatif untuk
mendapatkan analisis secara komprehensif. Dalam hal ini peneliti melakukan
pengumpulan data secara bersamaan dan menyatukan informasi yang didapat dalam suatu
intepretasi secara holistik (Cresswell, 2003:16). Penelitian kuantitatif untuk menjelaskan
peran lembaga pembiayaan dalam pengembangan usaha yang dimilikinya berdasarkan
sudut pandang UMKM. Sehingga diharapkan bagaimana peran lembaga pembiayaan
saat ini dan peran lembaga pembiayaan yang diharapkan oleh UMKM.
Pendekatan kualitatif digunakan untuk mengeksplorasi peran lembaga pembiayaan
dalam pengembangan UMKM dari sudut pandang pemerintah daerah, lembaga
pembiayaan dan pengelola tempat perdagangan di daerah.
Kedua pendekatan ini diharapkan dapat memberikan informasi secara komprehensif
mengenai peran lembaga pembiayaan yang diharapkan dapat mengoptimalkan peran itu
sendiri.

3.3. Jenis Penelitian

Neuman (2000) mengatakan jenis penelitian dapat dilihat dari tiga aspek yaitu
aspek tujuan, manfaat, dimensi waktu. Jika dilihat dari aspek tujuan, penelitian ini dapat
dikategorikan dalam penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif menyajikan gambaran
yang detil dari suatu situasi, fenomena sosial atau hubungan. Hasil yang diharapkan
dalam penelitian deskriptif adalah gambaran yang detil dari unit analisis.
Analisis ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai peran lembaga
pembiayaan dalam pengembangan UMKM. Selain itu, penelitian ini akan menguraikan
permasalahan yang timbul baik dari UMKM, lembaga pembiayaan dan pemerintah (dinas
dan pengelola tempat perdagangan) terkait dengan optimalisasi peran lembaga
pembiayaan.
Berdasarkan manfaatnya, penelitian ini merupakan penelitian terapan karena
mencoba menyelesaikan masalah tertentu secara spesifik. Penelitian terapan bertujuan
untuk dapat memecahkan masalah dan menghasilkan rekomendasi bagi masalah-masalah
tertentu (Neuman, 2000).
Berdasarkan dimensi waktu, penelitian yang dilakukan merupakan cross
sectional research, yaitu penelitian yang dilakukan pada suatu waktu tertentu dan hanya
mengambil satu bagian dari fenomena (gejala) sosial pada satu waktu tertentu (Neuman,
2000). Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2013 yang mengambil lokasi di Bandung
dan Yogyakarta. Peneliti tidak melakukan penelitian lain di waktu yang berbeda di
tempat yang berbeda untuk diperbandingkan.

3.4. Jenis Data dan Sumber Data


Jenis data dibedakan menjadi dua yaitu berdasarkan sumber dan sifat. Berdasarkan
sumber, data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer adalah
data yang diperoleh secara langsung dari sumbernya. Sumber data primer adalah:
a. UMKM di bidang perdagangan
b. Pemerintah Daerah yang meliputi:
1) Dinas Perindagkop & UMKM Provinsi dan Kota
2) Pengelola Pasar
c. Lembaga Pembiayaan
Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dan data
telah diolah dari berbagai sumber (Sekaran, 2000). Sumber data sekunder adalah:
a. Jurnal dan laporan penelitian
b. Peraturan perundang-undangan
c. Kota Dalam Angka 2011
d. Laporan Kredit UMKM BI 2012 – triwulan I 2013,
e. Laporan kegiatan PKBL Kementerian BUMN, dan lain-lain.

3.5. Teknik Pengumpulan Data


Untuk mendapatkan gambaran yang lengkap mengenai peran lembaga pembiayaan
dalam pengembangan UMKM, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan dua
cara, yaitu:
a. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder yang
dibutuhkan dalam penelitian ini. Pengumpulan data sekunder ini dilakukan
melalui buku-buku, jurnal, terbitan berkala, situs internet, peraturan perundang-
undangan dan lainya. Peneliti akan melakukan reviu terhadap data sekunder yang
diperoleh kemudian diolah sehingga memberikan informasi yang menyeluruh
terkait peran yang seharusnya dilakukan, belum dilakukan, telah dilakukan dan
akan dilakukan oleh lembaga pembiayaan dalam pengembangan UMKM.

b. Studi Lapangan
Studi lapangan digunakan untuk mengumpulkan data primer dengan cara:
1) Survei
Survei dalam penelitian ini digunakan untuk mendapatkan informasi dari
para UMKM yang telah mendapatkan bantuan pembiayaan dari lembaga
pembiayaan. Survei ini dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada
para UMKM di lokasi penelitian. Kuesioner yang diberikan
merupakan kuesioner tipe
self-administered questionnaires. Tipe kuesioner ini meminta
responden untuk menjawab sendiri kuesioner yang diberikan oleh
peneliti. Kuesioner terdiri dari empat bagian yang terdiri empat bagian.
Pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner merupakan urutan pertanyaan
yang berasal dari operasionalisasi konsep. Pertanyaan yang diberikan
adalah pertanyaan tertutup (close- ended question) dan pertanyaan
terbuka (open-ended question).
2) Wawancara Mendalam
Pengumpulan data primer juga dilakukan dengan menggunakan
wawancara mendalam. Teknik ini digunakan untuk mengeksplorasi
informasi yang terkait dengan peran lembaga pembiayaan dalam
pengembangan UMKM. Wawancara mendalam dilakukan pada
pemangku kepentingan dari instansi terkait. Informan yang akan
diwawancara adalah :
a) UMKM di bidang perdagangan yang telah menerima bantuan
pembiayaan
b) Pemerintah Daerah (Dinas dan Unit yang terkait dengan
bidang perdagangan)
c) Lembaga pembiayaan

3.6. Populasi dan Sampel


Unit analisis dari penelitian ini adalah UMKM dan Lembaga pembiayaan yang
berada di lokasi penelitian. Populasi merupakan keseluruhan kelompok orang, peristiwa
atau hal-hal menarik yang ingin diteliti dan dibuat kesimpulan oleh peneliti (Sekaran,
2011). Populasi penelitian ini adalah UMKM dan lembaga pembiayaan di lokasi
penelitian. Dengan memperhitungkan keterbatasan yang dimiliki dalam penelitian ini
terkait dengan waktu, pendanaan dan tenaga, maka dianggap perlu untuk mengambil
sampel yang merupakan representasi dari populasi. Sampel adalah sebagian subset dari
populasi. Sampel terdiri atas sejumlah anggota yang dipilih dari populasi. Dengan
mempelajari sampel, peneliti dapat menarik kesimpulan yang akan digeneralisasikan
untuk populasi yang diminati (Sekaran, 2011). Untuk unit analisis UMKM, Penelitian ini
akan mengambil 30 UMKM dari setiap lokasi penelitian yang terdiri dari 30% dari
jumlah sampel adalah pedagang grosir dan 70% dari jumlah sampel adalah pedagang
ritel.
Oleh karena tidak adanya kerangka sampel dalam penelitian ini, maka pemilihan
responden UMKM menggunakan convenience sampling (Cooper, 2011). Teknik ini
merupakan teknik yang paling mudah dan murah digunakan oleh para peneliti untuk
melakukan penelitian. Peneliti bebas menentukan responden yang akan diminta untuk
mengisi kuesioner.
Untuk unit analisis lembaga pembiayaan, penelitian akan mengambil sampel 1
lembaga dari setiap jenis lembaga pembiayaan yang terdapat di lokasi penelitian.
Pengambilan 1 sampel ini dianggap merepresentasikan populasi lembaga pembiayaan
yang terdapat pada lokasi penelitian.

3.7. Teknik Analisis Data

Data primer dan sekunder yang sudah terkumpul, secara simultan akan dianalisis
sebagai berikut:
a. Salah satu instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner.
Analisis data kuesioner dilakukan dengan:
1) Analisis statistik deskriptif
Analisis ini dilakukan untuk membuat kesimpulan berdasarkan data yang
telah terkumpul. Analisis data awal dilakukan dengan menggolongkan,
mengurutkan dan menyederhanakan data sehingga muda dibaca dan
diinterpretasikan. Bentuk intepretasi tersebut biasanya dapat berupa tabel
frekuensi, grafik dan teks. Dalam penelitian ini, analisis statistik deskriptif
akan memberikan uraian mengenai identitas responden dan bagaimana
penilaian responden terhadap peran lembaga pembiayaan sebagai sarana
penyedia dana dan fasilitator. Hasil analisis deskriptif dalam penelitian ini
dikelompokkan menjadi dua, yaitu (1) rangkuman statistik yang
menunjukkan identitas atau karakteristik responden dan (2) rangkuman yang
menunjukkan ukuran pemusatan yang merupakan penilaian responden
terhadap pertanyaan yang diajukan.
2) Uji validitas dan realibilitas
Data primer yang diperoleh melalui kuesioner perlu dilakukan pengujian
(pre-test), karena seringkali data tersebut tidak sesuai dengan yang
diinginkan. Dari pengujian data ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas
data yang hendak diolah dan dianalisis. Pengujian yang dilakukan adalah uji
validitas dan uji reliabilitas. Melalui hasil pengujian tersebut, dapat
diketahui indikator-indikator
mana saja yang tidak signifikan, dan kemudian akan dihilangkan dari
pertanyaan dalam kuesioner. Uji validitas pada penelitian ini menggunakan
uji korelasi pearson dengan menggunakan nilai r min 0,500.
Reliabilitas berkaitan dengan konsistensi suatu indikator, sedangkan validitas
berkaitan dengan ketepatan penggunaan indikator untuk menjelaskan arti
variabel yang sedang diteliti. Suatu perangkat ukur dapat konsisten, namun
tidak tepat. Tatapi, agar sebuah perangkat ukur dapat dianggap tepat, ia selalu
harus konsisten. Kaitan antara validitas dan reliabilitas adalah: (1) perangkat
ukur yang reliabel belum tentu valid, (2) perangkat ukur yang valid sudah
tentu reliabel, dan (3) perangkat ukur yang tidak reliabel sudah tentu tidak
valid (Neuman, 2000). Uji realibilitas dalam penelitian ini menggunakan
pengukuran alpha cronbach dengan nilai minimum sebesar 0,600.

b. Sedangkan untuk wawancara mendalam, akan dilakukan analisis data sebagai


berikut:
1) Analisis transkrip wawancara dan catatan lapangan yang kemudian
dikategorisasikan dalam rangka penyederhanaan informasi yang didapat.
Kemudian dilakukan penyimpulan sementara yang akan digabungkan dengan
informasi lainnya. Analisis ini digunakan sebagai informasi tambahan yang
melengkapi informasi yang diperoleh dari kuesioner.
2) Untuk menguji validitas dari data yang didapatkan, digunakan teknik
triangulasi. Teknik triangulasi dilakukan untuk memeriksa keabsahan data
dengan melakukan pemeriksaan kembali antara satu sumber dengan sumber
lainnya.

c. Reviu kebijakan dilakukan dengan menggunakan analisis kualitatif yaitu analisis


uang dilakukan dengan memahami dan merangkai data yang diperoleh dan
disusun sistematis kemudian ditarik kesimpulan. Penarikan kesimpulan dilakukan
dengan menggunakan cara berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang
mendasarkan pada hal-hal yang bersifat umum kemudian ditarik kesimpulan
secara khusus.
d. Hasil dari analisis kuesioner, wawancara mendalam dan reviu kebijakan
kemudian diintegrasikan menjadi suatu informasi yang komprehensif yang
menggambarkan peran lembaga pembiayaan dalam pengembangan UMKM.
Berdasarkan hasil ini kemudian disusun rekomendasi yang bertujuam untuk
mengoptimalkan peran lembaga pembiayaan yang ada.

3.8. Operasionalisasi Konsep

Konsep dalam penelitian ini adalah peran lembaga pembiayaan dalam


pengembangan UMKM. Konsep ini kemudian diturunkan menjadi empat variabel yang
akan diukur dan diobservasi dalam penelitian ini yaitu sarana penyedia dana, fasilitator
manajemen, fasilitator pasar dan pemasaran dan fasilitator keuangan. Operasionalisasi
dari konsep dapat dilihat pada tabel 3.1. berikut.

Tabel 3.1
Operasionalisasi Konsep

Variabel Pengertian No Indikator Skala

1 Jumlah Modal Yang Dibutuhkan Nominal

2 Sumber Modal Nominal

3 Sumber-sumber Pembiayaan Nominal

Faktor yang mempengaruhi


Sarana 4 Nominal
pemilihan sumber pembiayaan
penyediaan dana
adalah sumber- 5 Agunan Nominal
Sarana sumber yang
Penyediaan dapat diakses
6 Jangka Waktu Pinjaman Nominal
oleh UMKM untuk
Dana mendapatkan
pembiayaan bagi 7 Suku bunga Pinjaman Nominal
pengembangan
usahanya 8 Penggunaan Pinjaman Nominal

9 Pembayaran Pinjaman Nominal

Kesulitan dalam Pengembalian


10 Ordinal
Pinjaman

11 Akses informasi Ordinal

Fasilitator Fasilitator
1 Pengurusan Izin Usaha Interval
Manajemen
Variabel Pengertian No Indikator Skala

Manajemen adalah Lembaga


2 Pengurusan Kredit/Pinjaman Interval
pembiayaan
mendampingi dan
membantu 3 Pelatihan pengelolaan SDM Interval

UKM dalam hal 4 Pelatihan penggunaan IT Interval


manajemen
5 Manajemen Usaha lebih bagus Inteval

6 Pembuatan Rencana Bisnis Interval

Fasilitator Pasar
1 Pencarian Pelanggan Interval
dan Pemasaran
adalah Lembaga
pembiayaan 2 Penyertaan dalam pameran Interval
Fasilitator mendampingi dan
Pasar dan membantu 3 Promosi pada pihak lain Interval
Pemasaran UMKM
memperluas 4 Penyediaan tempat usaha Interval
pasar dan
pemasaran
5 Pendampingan Inovasi Produk Interval
Produknya
Fasilitator
Keuangan adalah 1 Pembuatan Pembukuan Interval
Lembaga
Fasilitator pembiayaan 2 Pembuatan Laporan Keuangan Interval
membantu
Keuangan
UMKM dalam 3 Pelatihan Perpajakan Interval
mengelola
keuangan lebih Pendampingan pengelolaan Dana
4 Interval
efektif pinjaman
BAB IV
ANALISIS PERAN LEMBAGA PEMBIAYAAN DALAM
PENGEMBANGAN UMKM

4.1. Program Pengembangan UMKM Melalui Lembaga Pembiayaan

4.1.1. Kebijakan Pemerintah Terkait Dengan Pengembangan UMKM Melalui


Lembaga Pembiayaan

Pemerintah baik pusat maupun daerah berupaya selalu memberikan dukungan


kepada UMKM untuk mewujudkan UMKM yang mandiri dan tangguh. Pemerintah
mengharapkan UMKM yang mandiri dan tangguh dapat berkembang dan mendorong
perekonomian regional dan nasional. Dukungan terhadap UMKM ini tidak hanya
dilakukan oleh satu atau dua lembaga Kementerian saja, melainkan berbagai lembaga,
seperti Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Perindustrian, Kementerian
Perdagangan, dan Bappenas. Tidak terbatas hanya pada lembaga kementerian, dukungan
kepada UMKM juga diberikan oleh lembaga non kementerian seperti Bank Indonesia,
BUMN dan lembaga keuangan non bank. Berbagai wujud dukungan diberikan kepada
UMKM seperti pembinaan, pendampingan dan pemberian pembiayaan.
Terkait dengan dukungan pembiayaan, pemerintah selalu berusaha menfasilitasi
UMKM untuk mendapatkan akses pembiayaan dari instansi atau lembaga keuangan baik
bank maupun non bank. Fasilitasi ini meliputi subsidi bunga kredit perbankan,
penjaminan lembaga non bank, modal ventura, pembiayaan dari penyisihan laba BUMN,
hibah dan lainnya.

4.1.2. Kebijakan Pengembangan UMKM Sektor Perdagangan Melalui


Lembaga Pembiayaan Bank

Seperti yang telah dikemukakan di atas, pemerintah bersama dengan instansi


terkait - dalam hal ini perbankan - melakukan koordinasi untuk memberikan solusi atas
permasalahan UMKM di bidang permodalan. Adapun kebijakan pembiayaan melalui
lembaga pembiayaan bank, antara lain:

a. Kredit Usaha Rakyat


Pada tahun 2007, pemerintah menggulirkan program Kredit Usaha Rakyat
(KUR) yang bertujuan untuk mendorong peningkatan akses UMKM dan koperasi kepada
pembiayaan dari perbankan melalui peningkatan kapasitas
perusahaan penjamin. KUR adalah skema pembiayaan yang diperuntukkan khusus bagi
UMKM dan koperasi yang usahanya layak namun tidak mempunyai agunan yang
cukup sesuai persyaratan yang ditetapkan perbankan
(www.depkop.go.id , 2013). Melalui KUR ini diharapkan permasalahan agunan yang
menghambar UMKM mendapatkan pinjaman dari perbankan dapat teratasi. Program
KUR merupakan tindaklanjut dari penandatanganan MOU pada tanggal 9 Oktober 2008
tentang Penjaminan Kredit/Pembiayaan kepada UMKM dan Koperasi antara
Pemerintah (Menteri Negara Koperasi dan UKM, Menteri Keuangan, Menteri
Pertanian, Menteri Kehutanan, Menteri Kelautan dan Perikanan, Menteri Perindustrian,
Perusahaan Penjamin - perum Sarana Pengembangan Usaha dan PT. Asuransi Kredit
Indonesia) dan Perbankan (Bank BRI, Bank Mandiri, Bank BNI, Bank BTN, Bank
Bukopin, dan Bank Syariah Mandiri). KUR ini didukung oleh Kementerian Negara
BUMN, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian serta Bank Indonesia
(www.depkop.go.id, 2013). Kementerian tersebut di atas sekaligus menjadi instansi
pembina, bank pelaksana dan perusahaan penjamin program KUR. Pada
perkembangannya, bank pelaksana KUR ditambah 13 BPD yaitu Bank DKI, Bank
Nagari, Bank Jabar Banten, Bank Jateng, BPD DIY, Bank Jatim, Bank NTB, Bank
Kalbar, BPD
Kalsel, Bank Kalteng, Bank Sulut, Bank Maluku dan Bank Papua.
KUR memiliki skema kredit dengan maksimal Rp. 500 juta per debitur dengan
bunga maksimal 16% per tahun (efektif). Peran pemerintah dalam KUR adalah sebagai
penyedia dana subsidi bunga kredit perbankan, sedangkan dana penyaluran pembiayaan
100% dari bank pelaksana. Untuk risiko kredit macet yang akan dihadapi oleh perbankan,
terjadi pembagian risiko antara bank pelaksana dengan perusahaan penjaminan.
Perusahaan penjaminan menanggung 70% dan bank pelaksana 30%. Meskipun terdapat
perusahaan penjaminan, UMKM dan koperasi tidak dikenakan imbal jasa penjaminan
(IJP).
KUR diberikan kepada UMKM atau Koperasi yang tidak sedang menerima
pembiayaan dari Perbankan dan/atau yang tidak sedang menerima Kredit Program dari
Pemerintah, pada saat permohonan Kredit/Pembiayaan diajukan, yang dibuktikan dengan
hasil sistem informasi debitur dikecualikan untuk jenis KPR, KKB, Kartu Kredit dan
Kredit Konsumtif lainnya ( www.bi.go.id ). Program KUR terbagi dua yaitu KUR mikro
dan KUR ritel. KUR Mikro pada awalnya memiliki plafon maksimal Rp. 5 juta dengan
bunga 22% per tahun (efektif), sejak Oktober 2013 KUR mikro memiliki plafon
maksimal 20 juta dengan bunga yang sama dengan sebelumnya. Sedangkan KUR Retail
memiliki plafon
maksimal Rp. 500 juta dengan suku bunga 14% per tahun (efektif). Program ini memiliki
target realisasi penyaluran dana Rp. 20 trilyun per tahun.
Program ini memiliki permasalahan baik dari sisi UMKM maupun dari sisi
perbankan. Permasalahan tersebut antara lain (www.bi.go.id, 2013) : 1. Bagi UMKM:
Sosialisasi kepada masyarakat masih kurang, suku bunga KUR masih dirasakan cukup
tinggi; 2. Bagi Perbankan: keterlambatan pembayaran klaim dari lembaga penjamin,
kesulitan mencari debitur yang sesuai dengan kriteria dan persyaratan dan terdapat
dispute terhadap beberapa ketentuan KUR.

b. Kebijakan Bank Indonesia


Seperti yang telah dikemukakan pada bab II, bahwa pemberlakukan UU No. 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3
Tahun 2004 menjadikan peranan Bank Indonesia dalam pengambangan UMKM menjadi
tidak langsung. Pendekatan pengembangan UMKM yang dilakukan oleh Bank Indonesia
tidak lagi menggunakan pendekatan memberikan subsidi kredit dan bunga murah,
melainkan lebih menitikberatkan pada kegiatan pelatihan kepada petugas bank, penelitian
dan penyediaan informasi. Untuk itu kebijakan Bank Indonesia lebih difokuskan pada
penguatan lembaga pendamping UMKM melalui capacity building dalam bentuk
pelatihan dan kegiatan penelitian yang menunjang pemberian kredit kepada UMKM.
Selain itu, berbagai kebijakan dikeluarkan oleh Bank Indoesia untuk mendorong
pemberian kredit bagi UMKM. Kebijakan tersebut antara lain:
a. Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 3/2/PBI/2001 tentang pemberian Kredit
Usaha Kecil.
Kebijakan ini menganjurkan bank menyalurkan sebagian kreditnya kepada usaha
kecil
b. PBI No. 6/25/PBI/2004 sebagaimana telah diubah oleh PBI No. 12/21/PBI/2010
perihal rencana bisnis bank umum dalam penyaluran kredit UMKM
Setiap bank umum baik konvensional maupun syariah wajib mencantukan
realisasi kredit usaha mikro, kecil dan menengah dalam rencana bisnisnya. Hal
ini untuk mengetahui komitmen bank dalam merealisasikan kredit untuk UMKM.
c. PBI No. 14/22/PBI/2012 tentang pemberian kredit atau pembiayaan oleh bank
umum dan bantuan teknis dalam rangka pengembangan usaha mikro, kecil dan
menengah
Kebijakan ini mewajibkan Bank Umum untuk memberikan Kredit atau
pembiayaan kepada UMKM. Jumlah pembiayaan ditetapkan paling rendah 20%
dari total kredit yang disalurkan oleh bank tersebut yang dilakukan secara
bertahap dari tahun 2013 hingga 2018. Pemberiaan kredit tersebut dapat
dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Apabila target ini tidak terpenuhi
pada akhir tahun, maka bank umum wajib menyelenggarakan pelatihan kepada
UMKM yang tidak sedang dan/atau belum pernah mendapatkan pembiayaan
UMKM dengan jumlah paling besar Rp. 10 milyar atau berdasarkan persentase
tertentu dari selisih antara rasio pembiayaan UMKM yang wajib dipenuhi. Untuk
memperlancar akses pemberian kredit kepada UMKM, Bank Indonesia dapat
memberikan bantuan teknis berupa penelitian, pelatihan, penyediaan informasi
dan fasilitasi

4.2. Perkembangan Pembiayaan UMKM

4.2.1. Lembaga Pembiayaan Bank

a. Profile Pembiayaan UMKM di Indonesia


Berdasarkan Laporan Perkembangan Kredit UMKM Bank Indonesia
Triwulan I tahun 2013, pada triwulan I 2103 net ekspansi kredit UMKM
mencapai Rp. 3,4 triliun atau 2,35% dari Rencana Bisnis Bank (RBB) yang
sebesar Rp 145 triliun. Realisasi RBB kredit UMKM tersebut lebih rendah
bila dibandingkan dengan realisasi total kredit perbankan yang telah mencapai
63,8 triliun. Untuk baki debet kredit UMKM mencapai Rp. 555,6 triliun,
tumbuh 15,5% (yoy). Pertumbuhan tersebut lebih tinggi dari pertumbuhan
triwulan sebelumnya sebesar 15,1% (yoy). Pertumbuhan kredit UMKM
terutama terjadi di sektor jasa perorangan yang melayani rumah tangga dan
pertanian, perburuan dan kehutanan masing-masing sebesar 43,4% (yoy) dan
43,1% (yoy).
Menurut klasifikasi usaha, sebagian besar kredit UMKM disalurkan pada
kredit usaha menengah yaitu 49,2% dan selebihnya kepada kredit usaha kecil
23,9% dan kredit usaha mikro sebesar 20,9%

Gambar 4.1
Kredit UMKM Berdasarkan Klasifikasi Usaha

Sumber : BI (2013)

Menurut jenis penggunaan, kredit UMKM terutama disalurkan


untuk membiayai kredit modal kerja sebesar 77,4% sedangkan untuk kredit
investasi tercatat 22,6%

Gambar 4.2
Kredit UMKM Berdasarkan Jenis Penggunaan

Sumber : BI (2013)

Menurut kelompok bank, kredit UMKM sebagian besar disalurkan


oleh kelompok Bank Persero sebanyak Rp 254,3 triliun
(45,8%), diikuti kelompok Bank Swata Nasional Devisa Rp 196,7
triliun (35,4%) BPD Rp. 53,1 triliun (7,8%), BPR 26,2 triliun.
Gambar 4.3
Kredit UMKM Menurut Kelompok Bank

Sumber : BI (2013)

Menurut sektor ekonomi, penyaluran kredit kepada usah mikro,


kecil dan menengah masih didominasi oleh sektor perdagangan besar dan
eceran, industri pengolahan, dan sektor pertanian, perburuan dan kehutanan
masing-masing sebesar 49,0%, 10,5% dan 8,5%
Gambar 4.4
Kredit UMKM Berdasarkan Sektor Ekonomi

Sumber : BI (2013)
Menurut lokasi proyek, provinsi DKI Jakarta masih merupakan
provinsi dengan pemberian kredit UMKM terbesar (16,3%), diikuti Jawa
Barat (13,0%) dan Jawa Timur (13,0%)

Gambar 4.5
Kredit UMKM Menurut Lokasi Proyek

Sumber : BI (2013)

b. Profile Pembiayaan UMKM di Jawa Barat


Berdasarkan Data Statistik Ekonomi dan Keuangan Daerah bulan
Oktober tahun 2013 Posisi kredit mikro, kecil dan menengah yang
diberikan bank umum di Jawa barat pada bulan Oktober 2013 adalah
sebesar Rp. 75,6 triliun. Menurut klasifikasi usaha, sebagian besar kredit
UMKM disalurkan pada kredit usaha kecil yaitu 48% dan selebihnya
kepada kredit usaha menengah 33% dan kredit usaha mikro sebesar 19%
Gambar 4.6
Kredit UMKM di Jawa Barat Berdasarkan Klasifikasi Usaha

Sumber : BI (Oktober 2013)

Menurut jenis penggunaan, kredit UMKM terutama disalurkan


untuk membiayai kredit modal kerja sebesar 76% sedangkan untuk kredit
investasi tercatat 24%.

Gambar 4.7
Kredit UMKM di Jawa Barat Berdasarkan Jenis Penggunaan

Sumber : BI (2013)

Menurut kelompok bank, kredit UMKM sebagian besar disalurkan


oleh kelompok Bank Pemerintah dan BPD sebanyak Rp 41,6 triliun (55%),
diikuti kelompok Bank Swata Nasional Rp 32,8 triliun (45%), Bank Asing
dan Bank Campuran Rp 1,1 triliun (2%)
Gambar 4.8
Kredit UMKM di Jawa Barat Menurut Kelompok Bank

Sumber : BI (2013)

Menurut sektor ekonomi, penyaluran kredit kepada usaha mikro,


kecil dan menengah masih didominasi oleh sektor perdagangan besar dan
eceran, industri pengolahan, dan sektor jasa-jasa masing-masing sebesar
56%, 16% dan 8%

Gambar 4.9
Kredit UMKM di Jawa Barat Menurut Sektor Ekonomi

Sumber : BI (2013)
Menurut lokasi proyek, Kota Bandung masih merupakan wilayah
dengan pemberian kredit UMKM terbesar (18%), diikuti Kabupaten Bekasi
(12%) dan Kota Bandung (13,0%)

Gambar 4.10
Kredit UMKM di Jawa Barat Menurut Lokasi Proyek

Sumber : BI (2013)

c. Profile Pembiayaan UMKM di Yogyakarta


Berdasarkan Data Statistik Ekonomi dan Keuangan Daerah bulan
Oktober tahun 2013 Posisi kredit mikro, kecil dan menengah yang
diberikan bank umum di Yogyakarta pada bulan Oktober 2013 adalah
sebesar Rp. 8,1 triliun. Menurut klasifikasi usaha, sebagian besar kredit
UMKM disalurkan pada kredit usaha menengah yaitu 47% dan selebihnya
kepada kredit usaha kecil 33% dan kredit usaha mikro sebesar 20%
Gambar 4.11
Kredit UMKM di Yogyakarta Berdasarkan Klasifikasi Usaha

Sumber : BI (Oktober 2013)

Menurut jenis penggunaan, kredit UMKM terutama disalurkan


untuk membiayai kredit modal kerja sebesar 68% sedangkan untuk kredit
investasi tercatat 32%

Gambar 4.12
Kredit UMKM di Yogyakarta Berdasarkan Jenis Penggunaan

Sumber : BI (2013)

Menurut kelompok bank, kredit UMKM sebagian besar disalurkan


oleh kelompok Bank Pemerintah dan BPD sebanyak Rp 5,6 triliun
(69,3%), diikuti kelompok Bank Swata Nasional Rp 2,5
triliun (30,43%), Bank Asing dan Bank Campuran Rp 24,3 miliar
(0,3%)

Gambar 4.13
Kredit UMKM di Yogyakarta Menurut Kelompok Bank

Sumber : BI (2013)

Menurut sektor ekonomi, penyaluran kredit kepada usaha mikro,


kecil dan menengah masih didominasi oleh sektor perdagangan besar dan
eceran, jasa-jasa, dan sektor Keuangan, Real Estate dan Jasa Perusahaan
masing-masing sebesar 63%, 10% dan 8%

Gambar 4.14
Kredit UMKM di Yogyakarta Menurut Sektor Ekonomi

Sumber : BI (2013)
Menurut lokasi proyek, Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman
merupakan wilayah dengan pemberian kredit UMKM terbesar masing-
masing 32%, diikuti Kabupaten Bantul (19%), Kabupaten Gunung Kidul
10% dan Kabupaten Kulon Progo 7%.
Gambar 4.15
Kredit UMKM di Yogyakarta Menurut Lokasi Proyek

Sumber : BI (2013)

4.3. Peran Lembaga Pembiayaan Dalam Pengembangan UMKM di


Provinsi Jawa Barat dan Yogyakarta

Analisis Peran Lembaga Pembiayaan dalam Pengembangan UMKM dilakukan di 2


(dua) daerah penelitian, yaitu Provinsi DI Yogyakarta dan Jawa Barat. Pemilihan daerah
didasarkan dengan pertimbangan bahwa lokasi kajian merupakan daerah yang memiliki
jumlah UMKM cukup banyak. Populasi dalam penelitian ini adalah UMKM pada sektor
perdagangan dan lembaga pembiayaan. Untuk populasi UMKM, penelitian ini
mengambil sampel sebanyak 60 responden yang dibagi rata pada kedua propinsi. Teknik
pengambilan sampel yang digunakan adalah convinience sampling dengan alasan tidak
ada adanya kerangka sampel dalam penelitian ini.
Teknik pengumpulan data lapangan yang digunakan terbagi menjadi dua yaitu
survei dengan menggunakan kuesioner dan wawancara mendalam. Survei digunakan
pada populasi UMKM dengan asumsi bahwa jumlah responden yang
lebih banyak. Sedangkan teknik wawancara mendalam digunakan bagi populasi lembaga
pembiayaan.
Pengumpulan data dilakukan pada minggu pertama Bulan Oktober 2013 selama
lima hari dari tanggal 8 Oktober – 13 Oktober 2013. Pengumpulan data dilakukan di Kota
Bandung yang mewakili provinsi Jawa Barat dan Kota Yogyakarta yang mewakili
provinsi Yogyakarta. Bagian selanjutnya pada analisis ini membahas mengenai peran
lembaga pembiayaan dalam pengembangan UMKM dari sudut UMKM sebagai pelaku
usaha.

4.3.1. Karakteristik Responden UMKM

Setelah melakukan pengumpulan data selama lima hari di Bandung dan


Yogyakarta, maka didapat hasil sebagai berikut. Sebagian besar responden merupakan
UMKM yang memiliki jenis usaha di bidang makanan yaitu sebesar 41,7% dari total
responden seluruhnya, 13,3% merupakan pedagang sembako, 10% responden menjual
kelontong dan peralatan rumah tangga, dan 8,3% menjual pakaian jadi, sedangkan
sisanya merupakan jenis usaha lainnya. Secara rinci, jenis usaha yang dilakukan oleh
responden dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.1
Jenis Usaha Responden

Kumulatif
Jenis Usaha Frekuensi Persentase
Persentase
Angkringan 1 1,7 1,7
ATK 1 1,7 3,3
Beras 1 1,7 5,0
Dagang 1 1,7 6,7
Futsal 1 1,7 8,3
Kelontong 3 5,0 13,3
Kue 1 1,7 15,0
Kuliner 6 10,0 25,0
Laundry 2 3,3 28,3
Makanan Beku 1 1,7 30,0
Makanan Kering 2 3,3 33,3
Makanan Ringan 2 3,3 36,7
Masakan Padang 1 1,7 38,3
Kumulatif
Jenis Usaha Frekuensi Persentase
Persentase
Minuman 1 1,7 40,0
Pakaian Jadi 5 8,3 48,3
Perakitan Komputer 1 1,7 50,0
Peralatan Rumah
3 5,0 55,0
Tangga
Peternakan 1 1,7 56,7
Plastik 1 1,7 58,3
Plastik & Bahan Kue 1 1,7 60,0
Rental Playstation 1 1,7 61,7
Salon 1 1,7 63,3
Sembako 7 11,7 75,0
Sepatu, Sendal dan
1 1,7 76,7
Tas
Sewa Alat Outdoor 1 1,7 78,3
Telor 2 3,3 81,7
Telor & Ikan Pindang 1 1,7 83,3
Warung Makan 10 16,7 100,0
Total 60 100,0
Sumber: Data Olahan, 2013

Banyaknya UMKM yang berjualan makanan dikarenakan jenis usaha ini adalah
usaha yang prospek dan paling cepat menghasilkan keuntungan, meskipun para
pedagang juga harus siap menghadapi kerugian apabila makanan yang dijual tidak laku.
Selain itu pedagang makanan tidak membutuhkan modal yang besar seperti halnya jenis
usaha lainnya misalnya jenis usaha kelontong.
Sebagian besar responden (55% responden) memiliki omzet di atas 5 juta per
bulan. Omzet ini 8,3% dimiliki oleh responden yang memiliki jenis usaha menjual
sembako. Rata-rata omzet yang bisa didapatkan oleh responden dapat dilihat pada
gambar di bawah ini.
Gambar 4.16
Omzet Responden Per Bulan

Sumber: Data Olahan, 2013

Tidak hanya memiliki omzet yang lebih dari 10 juta rupiah per bulan, 68%
responden sudah berusaha lebih dari 6 tahun dan hanya 7% responden yang baru
memulai usahanya. Meskipun sebagian besar responden sudah menjalankan usahanya
lebih dari 6 tahun, bukan berarti responden memulai usaha dari awal. Beberapa
responden menjelaskan usaha yang dimilikinya sekarang adalah usaha lanjutan dari
orang tuanya. Selain usaha lanjutan, usaha yang dijalankan dapat juga merupakan
pengembangan dari usaha sebelumnya atau orang tua. Rincian lama usaha responden
dapat dilihat pada gambar di bawah.
Meskipun sudah memiliki usaha lebih dari 6 tahun, hampir 90% lebih responden
tidak memiliki pegawai dalam melakukan usahanya. Sebagian besar responden memilih
untuk menggunakan keluarga dalam menjalankan usaha. Selain lebih efisien,
penggunaan anggota keluarga juga menimbulkan rasa aman ketika responden
meninggalkan usahanya untuk keperluan lain. Sedangkan 10% responden memiliki
karyawan kurang dari 10 orang. Jenis usaha ini memang tidak memungkinkan
responden tidak memiliki karyawan, seperti penyewaan playstation, penyewaan futsal,
penyewaan alat-alat outdoor.
Gambar 4.17
Lama Usaha

Sumber: Data Olahan, 2013

4.3.2. Peran Lembaga Pembiayaan

Pada bagian ini akan dibahas peran lembaga pembiayaan dalam pengembangan
UMKM. Peran lembaga pembuayaan dalam pengembangan UMKM pada analisis ini
terbagi menjadi dua bagian. Peran pertama yaitu sebagai lembaga pembiayaan sebagai
sumber alternatif pembiayaan. Sedangkan peran kedua yaitu lembaga pembiayaan
menampung dan menyalurkan aspirasi dan minat masyarakat untuk berperan aktif dalam
pembangunan khususnya di bidang ekonomi. Peran kedua yang dijalankan oleh lembaga
pembiayaan diterjemahkan menjadi pemberian bantuan teknis kepada UMKM untuk
mengembangkan usahanya. Bantuan teknis yang diberikan dalam aspek manajemen,
pemasaran dan pengelolaan keuangan.

4.3.3. Peran Lembaga Pembiayaan Sebagai Sumber Alternatif Pembiayaan

Dalam menjalankan usahanya, modal merupakan modal awal bahkan dapat


dikatakan sebagai penentu bagi UMKM dalam memilih jenis usaha dan menjalankan
usaha yang sudah dipilihnya. Jumlah modal yang dibutuhkan oleh
UMKM bervariasi tergantung dari jenis usahanya. Makin besar dan kompleks
usahanya, maka semakin besar modal yang dibutuhkan.
a. Gambaran Umum Pembiayaan UMKM
Bagian ini menggambarkan pembiayaan yang selama ini digunakan oleh
UMKM untuk mencukupi modal yang dibutuhkan. Berdasarkan hasil penelitian, sebagian
besar UMKM yang menjadi responden membutuhkan dana kurang dari 50 juta. Bahkan,
46% responden membutuhkan modal kurang dari Rp. 10 juta. Jumlah kebutuhan modal
dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 4.18
Jumlah Modal Yang Dibutuhkan

Sumber: Data Olahan, 2013


Sumber dana untuk memenuhi kebutuhan tersebut bervariasi. Ada UMKM yang
100% menggunakan modal sendiri. Ada juga yang menggunakan modal sendiri
sebagian dan sebagian lagi menggunakan pinjaman. Terdapat berbagai sumber
pinjaman, antara lain keluarga/kerabat, teman dan lembaga pembiayaan. Biasanya, pada
saat memulai usaha, UMKM menggunakan modal sendiri dan pinjaman dari orang
terdekat (keluarga/kerabat atau teman). Setelah usahanya mulai berkembang dan akan
dikembangkan, UMKM kemudian akan mencari pinjaman ke lembaga pembiayaan
dengan harapan mendapatkan pinjaman yang lebih besar.
Berdasarkan gambar di bawah, dapat dilihat bahwa UMKM yang menjadi
responden cenderung menggunakan modal sendiri dan pinjaman dari lembaga
pembiayaan. Responden yang menggunakan modal sendiri sebanyak 68% dan
menggunakan pinjaman dari lembaga pembiayaan 93%. Modal
pinjaman merupakan kombinasi dari modal sendiri dan lembaga pembiayaan atau
pinjaman dari keluarga dan lembaga pembiayaan. Pada hasil penelitian ini, hanya ada
satu responden yang 100% menggunakan modal sendiri.

Gambar 4.19
Sumber Dana Usaha

Sumber Dana Usaha; Sumber: Data Olahan, 2013

Jika meminjam dari lembaga pembiayaan, UMKM cenderung meminjam pada


bank umum baik bank umum nasional. Hal ini disebabkan antara lain karena adanya
promosi yang gencar dari lembaga pembiayaan bank untuk menggulirkan dana yang
dimiliki dalam bentuk kredit. Selain itu juga strategi bank yang mendekati tempat-
tempat usaha seperti mall, pasar, sekolah dan sebagainya. Pada gambar di bawah, dapat
dilihat bahwa 79% responden memilih lembaga pembiayaan bank sebagai sumber
alternatif pembiayaannya.
Selain lembaga pembiayaan bank, UMKM (18%) memilih koperasi sebagai
sumber alternatif pembiayaan apabila UMKM tidak dapat memenuhi persyaratan yang
dituntut oleh bank. Untuk mendapatkan pinjaman dari koperasi, UMKM terlebih dahulu
harus menjadi anggota koperasi setempat, baru UMKM bisa mengajukan pinjaman
kepada koperasi. Saat ini, koperasi telah dikelola lebih profesional sehingga anggotanya
dapat menikmati berbagai fasilitas yang terkait dengan pendanaan dari koperasi.
Gambar 4.20
Lembaga Pembiayaan yang Digunakan

Sumber: Data Olahan, 2013

Sebagaimana dapat dilihat pada gambar di atas, lembaga pembiayaan non bank
juga menjadi alternatif sumber pembiayaan. Responden memilih BMT sebagai sumber
pembiayaan. Sistem syariah yang diterapkan oleh BMT menjadi daya tarik bagi
UMKM untuk mendapatkan sumber pembiayaan dari lembaga ini dibandingkan dengan
sistem konvensional.
Selain itu, lembaga pembiayaan yang resmi, sumber alternatif pembiayaan
UMKM juga berasal dari perseorangan. Sumber pembiayaan perseorangan biasa disebut
juga dengan “bank keliling” yang ada di pasar- pasar. Sumber pembiayaan ini pernah
populer karena kemudahan pencairan dana yang ditawarkan. Selain itu sumber
pembiayaan ini tidak memerlukan agunan pada saat meminjam.
Pada saat melakukan pemilihan lembaga pembiayaan, terdapat beberapa hal
yang menjadi pertimbangan antara lain akses pinjaman, agunan, prosedur, suku
bunga/sistem bagi hasil, informasi, kepercayaan dan lainnya. Gambar di bawah
menunjukkan alasan pemilihan lembaga pembiayaan sebagai alternatif sumber
pembiayaan.
Gambar 4.21
Alasan Pemilihan Sumber Pembiayaan

Sumber: Data Olahan, 2013

Berdasarkan gambar di atas, dapat dilihat bahwa kemudahan akses pinjaman


menjadi prioritas UMKM dalam memilih lembaga pembiayaan. Karakteristik UMKM
yang berada pada sektor perdagangan berbeda dari karakteristik UMKM pada sektor
lainnya. Para pedagang memiliki penghasilan secara harian, sehingga jika pedagang
meninggalkan tempat usahanya terlalu lama atau sering maka akan mengalami
kerugian. Oleh sebab itu, bagi UMKM sektor perdagangan, kemudahan akses pinjaman
menjadi hal yang utama.
Alasan kedua adalah suku bunga yang rendah. Meskipun akses pinjaman mudah
tetapi suku bunga tinggi membuat UMKM tidak memilih lembaga pembiayaan tersebut.
Tetapi ada juga UMKM yang tidak terlalu memikirkan suku bunga yang tinggi karena
yakin dapat membayar bunga tersebut.
Alasan ketiga adalah prosedur yang tidak berbelit-belit. Hampir sama dengan
alasan pertama, bagi para pedagang waktu adalah uang. Prosedur yang berbelit-belit
dan lama menyebabkan UMKM kehilangan kesempatan dalam mendapatkan
keuntungan.
Meskipun hanya 12% yang memilih alasan ini, tetapi kadang kala alasan ini
yang menjadi penghambat UMKM tidak memperoleh pembiayaan dari lembaga
pembiayaan. Alasan keempat adalah agunan. Hampir seluruh lembaga pembiayaan
mensyaratkan adanya agunan. Apabila UMKM baru mulai berusaha dan tidak
memiliki agunan, maka alasan ini menjadi alasan
nomor satu bagi UMKM dalam memilih lembaga pembiayaan. Agunan pada dasarnya
menjadi penjamin bagi lembaga pembiayaan sekaligus bagi UMKM untuk melakukan
kegiatan usahanya dengan benar. Adanya agunan membuat UMKM berusaha agar
usahanya tetap hidup sehingga dapat membayar cicilan berikut bunganya (bila ada) dan
pada akhirnya mendapatkan agunannya kembali.
Jika tidak terdapat agunan, seringkali rasa tanggung jawab dari UMKM dalam
menjalankan usahanya kurang karena tidak memiliki tanggung jawab materiil. Hal ini
menyebabkan banyak terjadi kredit macet karena UMKM tidak bisa membayar atau
bahkan menolak untuk membayar.
Berdasarkan yang diperoleh, sebagian besar (68%) UMKM mengemukakan
bahwa terdapat agunan yang harus diserahkan kepada lembaga pembiayaan. Responden
yang menyerahkan agunan adalah responden yang meminjam kepada lembaga
pembiayaan bank dan non bank. Sedangkan yang tidak ada agunan, responden yang
meminjam kepada koperasi, LSM, lembaga pembiayaan non bank dan perseorangan.

Gambar 4.22
Agunan

Sumber: Data Olahan, 2013

Bentuk agunan bermacam-macam tergantung dari jumlah pembiayaan yang


diperlukan. Semakin besar jumlah pembiayaannya, maka semakin besar bentuk agunan
yang diberikan. Agunan dapat berupa sertifikat tanah, sertifikat rumah, sertifikat kios
atau STPB (Surat Tanda Pemilikan Bangunan) bila berada
di pasar, BPKB mobil/motor dan lainnya yang dianggap perlu. Gambar berikut ini
menunjukkan bentuk agunan yang diberikan pada saat meminjam.

Gambar 4.23
Bentuk Agunan Sebagai Jaminan

Sumber: Data Olahan, 2013

Alasan pemilihan yang lainnya adalah informasi yang diberikan oleh lembaga
pembiayaan banyak, adanya hubungan kekerabatan sehingga tercipta rasa percaya,
lembaga pembiayaan dapat dipercaya, sistem pembayaran dapat dilakukan harian, dapat
menerima pensiunan, lembaga pembiayaan memberikan plafon pinjaman besar.
Lembaga pembiayaan ada yang mengenakan bunga (untuk yang konvensional)
atau sistem bagi hasil (untuk sistem syariah) dalam pemberian pinjaman, ada juga yang
tidak mengenakan bunga atau sistem bagi hasil. Sebagian besar responden (87%)
menyatakan membayar bunga, sebagian lagi menyatakan membayar bagi hasil.
Membayar bunga kepada lembaga pembiayaan atau berbagi hasil dengan lembaga
pembiayaan bukan merupakan masalah bagi UMKM. Permasalahan terjadi ketika
bunga yang dibayarkan terlalu tinggi atau terlalu besar sehingga memberatkan UMKM.
Berdasarkan hasil penelitian, tingkat bunga atau sistem bagi hasil yang
dikenakan oleh lembaga pembiayaan 54% responden di atas 15% per tahun efektif.
Tingkat bunga ini cukup tinggi bila dibandingkan dengan program Kredit
Usaha Rakyat (KUR) dengan bunga 8,5% efektif per tahun. Terdapat 23% responden
yang menyatakan bahwa membayar bunga kurang dari 10% per tahun. Hal ini
menunjukkan terdapat variasi tingkat bunga yang ditawarkan dan diberikan kepada
UMKM, tergantung dari lembaga pembiayaan. Tingkat bunga secara lengkap dapat
dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 4.24
Tingkat Bunga atau Bagi hasil Per tahun

Sumber: Data Olahan, 2013


Meskipun demikian, pengenaan tingkat bunga dan sistem bagi hasil yang
terdapat pada gambar di atas, setengah lebih responden (56%) menganggap tingkat
bunga yang dikenakan ringan dan tidak memberatkan. Walaupun ada juga responden
yang beranggapan bahwa tingkat bunga yang dikenakan agak memberatkan atau bahkan
sangat memberatkan. Hal ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 4.25
Keberatan akan Tingkat Bunga/Bagi Hasil

Sumber : Data Olahan, 2013


Berat atau tidaknya UMKM dalam membayar bunga tergantung dari
kemampuan membayar dari masing-masing UMKM dan bukan dari tingkat bunga. Hal
ini ditunjukkan bahwa responden yang merespon bahwa tingkat bunga sangat
memberatkan adalah responden yang dikenakan tingkat bunga
>5-10% efektif per tahun dan >20-25% per tahun. Tetapi dengan tingkat bunga yang
sama, responden lainnya menyatakan bahwa bunga yang dikenakan agak memberatkan
atau ringan. Hal ini menunjukkan terdapat variasi kemampuan membayar dari masing-
masing UMKM atau juga kemampuan dalam pengelolaan usaha sehingga mampu
membayar pengembalian beserta bunganya.
Apabila diasumsikan UMKM menggunakan seluruh dana pinjamannya untuk
kepentingan usaha, dan UMKM menjalankan usaha dengan baik, maka UMKM tidak
akan mengalami masalah dalam melakukan pembayaran. Sebab pada dasarnya, UMKM
meminjam dana untuk memulai, menjalankan dan mengembangkan usahanya. Tetapi
pada kenyataannya tidak, sebab ada juga UMKM yang meminjam dana dari lembaga
pembiayaan tidak hanya digunakan untuk usahanya tetapi juga untuk kebutuhan pribadi.
Tujuan pinjaman UMKM kepada lembaga pembiayaan adalah untuk
memperluas usaha, mengembangkan produk yang sudah dimiliki, mencukupi biaya
produksi, menggaji karyarwan. Hal ini semua berhubungan dengan usaha yang
dilakukan. Selain tujuan yang berhubungan dengan usaha, terdapat juga tujuan lainnya
seperti mencukupi kebutuhan sehari-hari dan lainnya seperti untuk membayar biaya
sekolah, konsumsi lebaran, membeli rumah, membuat rumah, dan menutup pinjaman.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa pinjaman yang diberikan oleh lembaga
pembiayaan untuk usaha, kadang kala sebagian atau bahkan seluruhnya digunakan
untuk kegiatan konsumtif dan bukan produktif. Kondisi ini yang seringkali
menyebabkan UMKM tidak dapat mengembalikan dana yang dipinjam berikut
bunganya (bila ada), seperti yang dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 4.26
Tujuan Pinjaman

Sumber: Data Olahan, 2013

Penggunaan dana pinjaman untuk kebutuhan konsumtif kadang kala


digunakan sebagai “insentif” bagi UMKM terhadap dirinya sendiri. Insentif ini
digunakan untuk memotivasi diri sendiri agar menjalankan usahanya lebih tekun lagi.
Tetapi ada juga UMKM yang memang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Tujuan inilah yang sering kali menimbulkan masalah di kemudian hari.
Untuk mengatasi hal ini, maka diperlukan peranan lembaga pembiayaan untuk
memberikan dampingan kepada UMKM dengan tujuan dana digunakan untuk
kebutuhan produktif dan bukan konsumtif. Pendampingan kepada UMKM dapat berupa
pendampingan formal maupun pendampingan informal. Pendampingan formal dapat
berupa pemanggilan dan pemberian konsultasi secara berkala pada UMKM. Sedangkan
pendampingan informal dilakukan melalui coaching atau pendekatan dari tenaga
collector kepada UMKM pada saat UMKM melakukan pembayaran.
Seperti yang dapat dilihat pada gambar di bawah, sebagian besar UMKM
(78%) melakukan pembayaran pinjaman secara bulanan kepada lembaga pembiayaan.
Tetapi untuk mengurangi adanya kredit macet, saat ini lembaga pembiayaan memiliki
program pick up harian. Program ini biasanya berada di pasar-pasar yang banyak
pedagang dan merupakan market dari lembaga pembiayaan. Pick up harian sebenarnya
merupakan program tabungan harian dimana lembaga pembiayaan dalam hal ini bank
dan koperasi
meminta para nasabah menabung harian dengan tujuan pada saat akhir bulan, nasabah
tersebut memiliki dana untuk membayar pinjaman.

Gambar 4.27
Pembayaran Pinjaman

Sumber: Data Olahan, 2013

Program ini sangat membantu UMKM di sektor perdagangan. Dengan adanya


program ini, UMKM tidak perlu meninggalkan tempat usahanya hanya untuk
membayar pinjaman sehingga tidak ada waktu yang terbuang. Selain itu dengan adanya
sistem pick up harian, meringankan UMKM dalam melakukan pembayaran. Seperti
yang telah dijelaskan di atas, penghasilan UMKM sektor perdagangan diperoleh secara
harian, dengan adanya pembayaran harian, maka beban yang ditanggung oleh UMKM
menjadi lebih kecil dibandingkan jika dibayar pada akhir bulan. Keuntungan lainnya
adalah dapat terjalin komunikasi yang baik antara lembaga pembiayaan dengan
UMKM, sehingga apabila UMKM menemukan kendala dalam usaha yang
menyebabkan tidak dapat melakukan pembayaran, dapat diatasi dengan segera.
Dalam melakukan pembayaran, sebagian besar UMKM tidak pernah
mengalami kesulitan membayar. Hal ini salah satunya disebabkan karena adanya sistem
pick up harian. Tetapi ada juga UMKM yang kadang-kadang mengalami kesulitan
pembayaran, yang disebabkan karena pendapatan yang naik turun serta kondisi yang
tidak menentu. Ada juga UMKM yang selalu
mengalami kesulitan pembayaran, kondisi ini terjadi karena bunga yang dikenakan
terlalu tinggi sekitar 25-30% per tahun dan kredit yang digunakan juga bukan kredit
untuk produktif tetapi KTA (Kredit Tanpa Agunan) sehingga pembayarannya
memberatkan. Gambaran kesulitan pembayaran dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 4.28
Kesulitan Pembayaran

Sumber: Data Olahan, 2013

Informasi mengenai lembaga pembiayaan lebih banyak diperoleh oleh


UMKM : Pertama dari sales lembaga pembiayaan itu sendiri. Kedua, informasi
diperoleh dari teman/keluarga yang sudah terlebih dahulu memanfaatkan jasa dari
lembaga pembiayaan itu sendiri. Ketiga dari media cetak yang memberikan informasi
adanya fasilitas pinjaman bagi UMKM. Informasi lainnya diperoleh dari media online,
dinas maupun karena kedekatan tempat usaha dengan kantor lembaga pembiayaan
tersebut. Sumber informasi mengenai lembaga pembiayaan dapat dilihat pada gambar di
bawah berikut.
Gambar 4.29
Sumber Informasi

Sumber: Data Olahan, 2013


Karena banyaknya sumber informasi yang dapat memberikan penjelasan
mengenai pinjaman yang dapat diperoleh UMKM, maka 96% responden menganggap
informasi tentang pinjaman mudah untuk ditemukan. Meskipun demikian ada juga
responden yang merasa informasi tersebut sulit didapat atau terbatas terutama informasi
lembaga pembiayaan yang dapat memberikan pinjaman tanpa agunan dan dengan bunga
yang rendah. Respon kemudahan informasi diperlihatkan pada gambar di bawah ini.
Gambar 4.30
Kemudahan
Informasi

Sumber: Data Olahan, 2013


b. Peran Lembaga Pembiayaan Sebagai Alternatif Sumber Pembiayaan
Berdasarkan gambaran pembiayaan UMKM yang telah dijelaskan pada bagian
A, maka peranan lembaga pembiayaan sebagai alternatif sumber pembiayaan sangat
besar. Peranan ini telah dijalankan oleh sebagian besar lembaga pembiayaan terutama
lembaga pembiayaan bank. Bukan hanya bank, tetapi koperasi juga mulai melakukan
pembenahan manajemen guna memenuhi kebutuhan ini.
Adapun peran lembaga pembiayaan sebagai alternatif sumber pembiayaan dapat
dilihat pada:
1). Sumber modal yang dimiliki UMKM, pada umumnya terdiri dari dua
sumber yaitu modal sendiri dan pinjaman.
Lembaga pembiayaan mampu mencukupi kekurangan modal yang diperlukan
oleh UMKM dalam menjalankan usahanya. Lembaga pembiayaan dapat
memberikan batas (plafon) pinjaman yang besar dengan tetap memperhatikan
prinsip 5C. Bahkan untuk kasus tertentu, lembaga pembiayaan hanya
memperhatikan prinsip 3C yaitu Character, Capability dan Collateral.
2). Kemudahan akses dan prosedur yang tidak berbelit-belit.
Slogan waktu adalah uang sangat kental pada UMKM di sektor perdagangan
yang penghasilannya berasal dari penjualan harian. Kemudahan akses yang
ditawarkan dengan prosedur yang jelas telah membantu UMKM untuk
mendapatkan tambahan modal yang diperlukan. Untuk beberapa kasus,
UMKM tidak perlu mendatangi kantor lembaga pembiayaan karena terdapat
sales yang menangani hal ini. Sedangkan untuk waktu pengurusan, beberapa
lembaga pembiayaan menetapkan maksimal 3 hari kerja dari berkas lengkap
dana sudah dapat dicairkan.
1) Suku Bunga atau Sistem Bagi Hasil kompetitif
Suku bunga atau sistem bagi hasil yang tinggi merupakan hal yang ditakutkan
oleh UMKM untuk mendapatkan pembiayaan. Beberapa lembaga pembiayaan
menawarkan suku bunga atau sistem bagi hasil yang kompetitif. Suku bunga
atau sistem bagi hasil ini diharapkan tidak memberatkan UMKM dalam
melakukan pembayaran. Untuk UMKM yang baru memulai usaha, tersedia
kredit usaha rakyat yang menawarkan suku bunga yang rendah. Tetapi karena
plafon pinjaman
yang rendah, UMKM banyak yang tidak menggunakannya dan lebih memilih
produk kredit usaha lainnya.
2) Sistem Pembayaran Fleksibel
Inovasi sistem pembayaran juga merupakan peran lembaga pembiayaan dalam
pengembangan UMKM. Sistem pick up harian yang diterapkan bagi pedagang
di pasar membawa keuntungan bagi kedua pihak. Bagi lembaga pembiayaan,
sistem ini dapat menekan angka Non Performing Loan karena menjamin
ketersediaan dana untuk membayar cicilan pada akhir bulan. Bagi UMKM,
sistem penarikan harian meringankan cicilan pembayaran dan menghemat
waktu dan tenaga untuk melakukan pembayaran.
3) Informasi Mudah Didapat
UMKM mudah mendapatkan informasi mengenai produk pinjaman yang
ditawarkan oleh lembaga pembiayaan bank ataupun lembaga pembiayaan non
bank. Informasi yang paling banyak adalah dari sales dan teman/keluarga.
Kemudahan akses informasi dan fasilitasi untuk mendapatkan pinjaman
menunjukkan peran lembaga pembiayaan telah dijalankan sebagai alternatif
sumber pembiayaan.

Meskipun peran lembaga pembiayaan dalam pengembangan UMKM telah


dijalankan, tetapi terdapat kendala bagi sebagian UMKM untuk mendapatkan akses
tersebut. Kendala yang utama adalah persyaratan agunan. Memang untuk beberapa
program dari pemerintah, agunan tidak dipersyaratkan, tetapi plafon yang diberikan
juga tidak terlalu besar. Jika UMKM menginginkan mendapatkan dana yang besar,
maka UMKM harus menyediakan agunan sebagai jaminan pembayaran pinjaman. Jika
UMKM membutuhkan dana yang besar tetapi tidak memiliki agunan, maka UMKM
terpaksa mengambil produk kredit tanpa agunan atau meminjam kepada bank keliling.
Hal ini menimbulkan konsekuensi UMKM harus membayar bunga yang lebih tinggi,
yang akan menjadi masalah di kemudian hari.

4.3.4. Fasilitator dalam Pengembangan UMKM

Peran lembaga pembiayaan dalam pengembangan UMKM kedua adalah


sebagai fasilitator dalam pengembangan UMKM. Peran ini menuntut lembaga
pembiayaan berperan aktif untuk menampung dan memberikan pendampingan kepada
UMKM dalam menjalankan dan mengembangkan
usahanya. Analisis terhadap peran ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu peran lembaga
pembiayaan sebagai fasilitator manajemen, fasilitator pemasaran dan fasilitator
pengelolaan keuangan.
Lembaga pembiayaan diharapkan tidak hanya menggulirkan dana saja tetapi
juga memberikan bantuan teknis kepada UMKM pada tiga aspek di atas. Dengan adanya
bantuan teknis yang diberikan kepada UMKM, diharapkan usaha UMKM dapat berjalan
dan berkembang lebih baik.
a. Fasilitator Manajemen
Peran lembaga pembiayaan sebagai fasilitator di bidang manajemen mengukur
sejauh mana lembaga pembiayaan memberikan bantuan teknis dalam bidang manajemen
seperti pengurusan ijin usaha, pengurusan kredit, pengelolaan SDM, pelatihan
penggunaan IT, membuat manajemen usaha lebih baik dan membantu membuat rencana
bisnis. Berdasarkan hasil penelitian, 89,9% responden menjawab bahwa lembaga
pembiayaan memiliki kecenderungan tidak pernah membantu pengurusan ijin usaha.
Peran lembaga pembiayaan dalam hal membantu pengurusan ijin usaha dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.

Tabel 4.2
Membantu Pengurusan Izin Usaha

Peran Lembaga Kondisi Saat Ini Kondisi Diharapkan


Pembiayaan (%) (%)
Tidak Pernah 78,0 43,9

Sangat Jarang 5,1 8,8

Jarang 6,8 10,5

Sering 5,1 22,8

Sangat Sering 5,1 14,0

Total 100,0 100,0

Sumber: Data Olahan, 2013

Jika melihat harapan UMKM terhadap peran ini, maka 36,8% UMKM
mengharapkan lembaga pembiayaan dapat membantu melakukan pengurusan izin
usaha. Pengurusan izin usaha yang dimaksud adalah pengurusan izin usaha dalam
rangka pengembangan misalnya ijin BPOM dan sertifikat halal untuk makanan.
Meskipun demikian 63,4% responden merasa tidak
memerlukan bantuan ini karena pengurusan izin usaha merupakan kepentingan masing-
masing UMKM. Selain itu juga terdapat UMKM yang senang mengurus izin usahanya
sendiri dibandingkan diurusi oleh pihak lain.
Hal yang sama juga terjadi pada peran lembaga pembiayaan dalam membantu
pengurusan kredit atau pinjaman. 66,1% responden menyatakan bahwa lembaga
pembiayaan cenderung tidak membantu dalam pengurusan kredit usaha. Sedangkan
33,9% lainnya menyatakan lembaga pembiayaan cukup membantu pengurusan kredit
melalui sales atau sejenisnya.

Tabel 4.3
Membantu Pengurusan Kredit

Peran Lembaga Kondisi Diharapkan


Kondisi Saat Ini (%)
Pembiayaan (%)
Tidak Pernah 57,6 29,8
Sangat Jarang 5,1 15,8
Jarang 3,4 7,0
Sering 25,4 17,5
Sangat Sering 8,5 29,8
Total 100,0 100,0

Sumber: Data Olahan, 2013

Berdasarkan tabel di atas, 47,4% UMKM mengharapkan lembaga pembiayaan


membantu dalam pengurusan kredit. Bantuan pengurusan kredit yang dibutuhkan oleh
UMKM terutama terkait dengan data kemampuan keuangan yang harus diberikan oleh
UMKM kepada lembaga pembiayaan.
Selain bantuan pengurusan surat-surat di atas, lembaga pembiayaan diharapkan
juga memberikan bantuan teknis di bidang manajemen berupa pelatihan. Pelatihan yang
diberikan di bidang manajemen terkait dengan pengelolaan SDM dan penggunaan IT
yang saat ini dibutuhkan oleh UMKM dalam rangka perluasan pasar.
Berdasarkan tabel di bawah, terlihat bahwa UMKM yang menjadi responden
sebagian besar 98,3% tidak mendapatkan pelatihan pengelolaan SDM. Hasil ini sesuai
dengan karakteristik responden di atas yang menyatakan bahwa sebagian besar UMKM
tidak memiliki karyawan sehingga pelatihan ini dianggap tidak terlalu penting bagi
UMKM.
Tabel 4.4
Pelatihan Pengelolaan SDM

Peran Lembaga Kondisi Diharapkan


Kondisi Saat Ini (%)
Pembiayaan (%)
Tidak Pernah 78,0 46,6
Sangat Jarang 13,6 10,3
Jarang 6,8 12,1
Sering 1,7 22,4
Sangat Sering 0 8,6
Total 100,0 100,0

Sumber: Data Olahan, 2013

Meskipun demikian, 31% UMKM mengharapkan lembaga pembiayaan


memberikann pelatihan ini di masa yang akan datang. Sebagian lainnya tetap
menganggap bahwa pelatihan ini belum terlalu dibutuhkan karena belum memiliki
pegawai dalam jumlah yang banyak.

Tabel 4.5
Pelatihan Penggunaan IT

Peran Lembaga Kondisi Diharapkan


Kondisi Saat Ini (%)
Pembiayaan (%)
Tidak Pernah 84,7 46,6
Sangat Jarang 11,9 8,6
Jarang 0 10,3
Sering 3,4 27,6
Sangat Sering 0 6,9
Total 100,0 100,0

Sumber: Data Olahan, 2013

Demikian juga halnya dengan pelatihan penggunaan IT. Sebagian besar


responden (96,6%) merasa tidak memerlukan IT dalam usahanya. Hal ini disebabkan
sifat usaha yang dilakukan masih tradisional dan belum melalui daring (online).
Meskipun demikian terdapat harapan dari para UMKM (34,5%) untuk mengembangkan
usahanya dengan memanfaatkan teknologi informasi yang ada seperti yang terlihat pada
tabel di atas.
Selain bantuan teknis berupa pelatihan, lembaga pembiayaan juga diharapkan
dapat membuat manajemen usaha lebih bagus dengan membantu membuat rencana
bisnis bagi pengembangan selanjutnya. Para responden menjawab bahwa lembaga
pembiayaan cenderung jarang membantu membuat
manajemen usaha lebih baik. Peran ini sebenarnya dapat dilakukan dengan memberikan
saran penataan barang dagangan, rasa makanan, penataan tempat usaha dan lain-lain.

Tabel 4.6
Membuat Manajemen Usaha Lebih Bagus

Peran Lembaga Kondisi Diharapkan


Kondisi Saat Ini (%)
Pembiayaan (%)
Tidak Pernah 69,5 34,5
Sangat Jarang 11,9 12,1
Jarang 1,7 10.3
Sering 13,6 24,1
Sangat Sering 3,4 19,0
Total 100,0 100,0

Sumber: Data Olahan, 2013

Seiring dengan perkembangan usaha, para UMKM juga mengharapkan lembaga


pembiayaan memberikan pendampingan agar manajemen usaha yang dilakukan
menjadi lebih baik lagi. Hal ini dapat dilihat adanya perubahan pada tabel di atas untuk
kolom kondisi yang diharapkan.

Tabel 4.7
Membantu Membuat Rencana Bisnis

Peran Lembaga Kondisi Diharapkan


Kondisi Saat Ini (%)
Pembiayaan (%)
Tidak Pernah 72,4 42,1
Sangat Jarang 13,8 7,0
Jarang 3,4 10,5
Sering 1,7 24,6
Sangat Sering 8,6 15,8
Total 100,0 100,0

Sumber: Data Olahan, 2013

Setiap kali UMKM mengajukan permohonan untuk mendapatkan pinjaman dari


lembaga pembiayaan, UMKM harus menyertakan rencana bisnis yang memuat rencana
pengembangan usaha dan penggunaan dana yang diterima. Untuk itu bantuan teknis
membuat rencana bisnis sangat dibutuhkan oleh para UMKM dalam mengembangkan
usahanya. Tabel di atas memperlihatkan bahwa saat ini lembaga pembiayaan hampir
tidak pernah
(89,6%) membantu membuat rencana bisnis. Ke depannya, diharapkan lembaga
pembiayaan dapat membantu UMKM membuat rencana bisnis.
Dengan menggunakan olahan SPSS, maka Peran lembaga pembiayaan sebagai
fasilitator manajemen terbagi menjadi dua bagian besar yaitu:
a) Legalitas
Peran lembaga pembiayaan dalam hal membantu pengurusan legalitas usaha
merupakan peran yang diharapkan oleh UMKM dalam menjalankan usahanya.
Pengurusan legalitas secara kolektif, selain mempermudah juga dapat
meminimalkan biaya dan waktu yang dikeluarkan.
b) Pengelolaan dan Pengembangan Usaha
Peran lembaga pembiayaan dalam hal pengelolaan dan pengembangan usaha
juga merupakan peran yang diharapkan. Meskipun saat ini tidak dibutuhkan
oleh UMKM, tetapi dalam jangka panjang, UMKM mengharapkan usahanya
dapat dikelola lebih profesional dan meningkat dalam hal manajemen.

b. Fasilitator Pemasaran
Peran lembaga pembiayaan sebagai fasilitator pada aspek pemasaran sangat
merupakan peran yang dianggap penting oleh UMKM. Jaringan lembaga pembiayaan
yang luas serta variasi nasabah yang banyak memungkinkan lembaga pembiayaan
untuk menjadi fasilitator dalam aspek pemasaran. Berikut hal-hal yang ditanyakan
terkait dengan aspek pemasaran.
Aspek pemasaran pertama adalah lembaga pembiayaan mencarikan pelanggan
yang baru. Untuk pertanyaan ini 100% responden menjawab tidak pernah. Terdapat
responden yang menganggap bahwa hal ini bukan merupakan inti dari lembaga
pembiayaan, atau tidak ada hubungannya dengan lembaga pembiayaan. Sehingga
kondisi ini dimaklumi oleh para UMKM jika tidak terdapat pelanggan baru yang
direkomendasikan oleh lembaga pembiayaan, seperti yang terdapat pada tabel di bawah.
Tabel 4.8
Mencarikan Pelanggan Baru dan Mempromosikan Kepada Orang Lain

Pernyataan Peran Lembaga Kondisi Diharapkan


Kondisi Saat Ini (%)
Pembiayaan (%)
Mencarikan Pelanggan Tidak Pernah 96,6 45,6
Baru Sangat Jarang 3,4 1,8
Jarang 0 14,0
Sering 0 29,8
Sangat Sering 0 8,8
Total 100,0 100,0
Mempromosikan Kepada Tidak Pernah 91,5 40,4
Orang Lain Sangat Jarang 5,1 0,0
Jarang 0,0 17,5
Sering 3,4 26,3
Sangat Sering 0,0 15,8
Total 100,0 100,0

Sumber: Data Olahan, 2013

Meskipun demikian, UMKM tetap mengharapkan peran lembaga pembiayaan


untuk mencarikan pelanggan baru dalam usahanya (jika memungkinkan). Tetapi
sebagian lainnya tetap beranggapan bahwa hal ini bukan kewajiban yang harus dipenuhi
oleh lembaga pembiayaan sehingga 45,6% menyatakan tidak pernah (memerlukan)
lembaga pembiayaan mencarikan pelanggan baru.
Pengikutsertaan UMKM dalam pameran juga merupakan wujud peran lembaga
pembiayaan sebagai fasilitator aspek pemasaran. Merujuk pada tabel di bawah, hanya
1,7% yang sering diikutsertakan dalam pameran, sedangkan sisanya menyatakan tidak
pernah diikutsertakan. Seringkali UMKM senang untuk diikutsertakan dalam pameran,
tetapi tidak terlalu sering karena alasan repot dan tidak ada karyawan.
Meskipun demikian berdasarkan hasil penelitian, maka 31,6% UMKM berharap
sering diikutksertakan dalam pameran. Hal ini disebabkan karena pameran dapat
dijadikan sebagai sarana memperkenalkan usaha dan produk kepada konsumen. Selain
itu penghasilan yang diperoleh pada saat pameran kadang kala lebih besar. Tabel
berikut di bawah menunjukkan kondisi saat ini dan harapan untuk peran tersebut.
Tabel 4.9
Mengikutsertakan dalam pameran

Peran Lembaga Kondisi Diharapkan


Kondisi Saat Ini (%)
Pembiayaan (%)
Tidak Pernah 95,0 54,4
Sangat Jarang 1,7 1,8
Jarang 0,0 12,8
Sering 1,7 19,3
Sangat Sering 0,0 12,3
Total 100,0 100,0

Sumber: Data Olahan, 2013

Selain mengikutsertakan dalam pameran, lembaga pembiayaan juga dapat


menjadi fasilitator dalam hal penyediaan tempat usaha. Hal ini dimungkinkan dengan
adanya menggunakan dana CSR dari lembaga pembiayaan atau kerjasama antara
lembaga pembiayaan dengan pengelola pasar atau kios. Tabel di bawah menunjukkan
peranan lembaga pembiayaan sebagai fasilitator penyediaan tempat usaha untuk kondisi
saat ini dan yang diharapkan.

Tabel 4.10
Menyediakan Tempat Usaha

Peran Lembaga Kondisi Diharapkan


Kondisi Saat Ini (%)
Pembiayaan (%)
Tidak Pernah 98,3 50,9
Sangat Jarang 1,7 0,0
Jarang 0,0 14,0
Sering 0,0 24,6
Sangat Sering 0,0 10,5
Total 100,0 100,0

Sumber: Data Olahan, 2013

Kondisi saat memperlihatkan bahwa lembaga pembiayaan belum berperan


sebagai fasilitator dalam hal penyediaan tempat usaha. Para UMKM mengharapkan ke
depannya, lembaga pembiayaan dapat memfasilitasi UMKM untuk mendapatkan
tempat usaha yang lebih baik lagi.
Selain itu, dalam melakukan usahanya, UMKM kerapkali dituntut untuk selalu
melakukan inovasi-inovasi agar tidak tertinggal dan ditinggalkan oleh konsumen.
Dalam hal ini, lembaga pembiayaan dapat melakukan
pendampingan bagi UMKM untuk melakukan inovasi dalam usaha. Kondisi saat ini
menunjukkan bahwa lembaga pembiayaan saat ini belum melakukan pendampingan
UMKM untuk melakukan inovasi usaha. Meskipun demikian ada juga lembaga
pembiayaan yang menjalankan peran ini. Para UMKM mengharapkan adanya
pendampingan untuk melakukan inovasi, seperti yang diperlihatkan pada tabel di bawah
ini.

Tabel 4.11
Pendampingan Berinovasi

Peran Lembaga Kondisi Diharapkan


Kondisi Saat Ini (%)
Pembiayaan (%)
Tidak Pernah 91,5 33,3
Sangat Jarang 6,8 7,0
Jarang 0,0 17,5
Sering 1,7 24,6
Sangat Sering 0,0 17,5
Total 100,0 100,0

Sumber: Data Olahan, 2013

Peran lembaga pembiayaan dalam aspek pemasaran secara signifikan dapat dibagi
menjadi tiga bagian besar, yaitu:
a. Mengikutsertakan dalam ajang promosi seperti pameran
Pelanggan merupakan hal yang penting bagi setiap usaha apapun jenisnya.
Untuk itu lembaga pembiayaan dapat menfasilitasi UMKM untuk mendapatkan
pelanggan baru. Fasilitasi ini dapat berupa mengikutsertakan dalam ajang
promosi yang diselenggarakan seperti pameran.
b. Fasilitasi tempat usaha
Tempat usaha yang baik juga menjadi prioritas bagi UMKM di sektor
perdagangan. Letak yang strategis dan banyak pengunjungnya selalu menjadi
idola setiap pedagang. Dalam hal ini, lembaga pembiayaan diharapkan dapat
memfasilitasi pendirian atau penyediaan tempat usaha bagi UMKM.
c. Pendampingan Inovasi Usaha
Change or die merupakan slogan bagi siapapun untuk tetap melakukan
perubahan. Hal yang sama berlaku untuk UMKM di sektor perdagangan.
Inovasi harus tetap dilakukan agar usaha yang dijalankan tetap diminati oleh
pelanggan. Dalam upaya melakukan
inovasi ini, peran lembaga pembiayaan untuk melakukan pendampingan
inovasi usaha dibutuhkan oleh para UMKM. Jaringan yang luas memungkinkan
lembaga pembiayaan untuk memberikan saran bagi para UMKM dengan
memberikan contoh dari best practice yang sudah ada.

c. Fasilitator Pengelolaan Keuangan


Lembaga pembiayaan juga berperan untuk memberikan bantuan teknis dalam
hal pengelolaan keuangan. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa UMKM memiliki
kelemahan dalam pengelolaan keuangan. Seringkali tidak ada pemisahan antara
rekening pribadi dengan rekening usaha, sehingga dana yang seharusnya digunakan
untuk usaha akhirnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dalam hal
pengelolaan keuangan, lembaga pembiayaan berperan sebagai fasilitator dalam
pengelolaan keuangan. Bentuk fasilitasi ini dapat dalam bentuk membuat pembukuan
dan laporan keuangan, pelatihan dan pendampingan misalnya pelatihan perpajakan dan
pendampingan pemanfaatan dana. Semua peran ini dilakukan dalam rangka
meningkatkan usaha sehingga penghasilan UMKM misalnya dalam bentuk omzet juga
meningkat.
Terkait dengan peran lembaga pembiayaan sebagai fasilitator dalam pembuatan
pembukuan dan laporan keuangan, 100% UMKM merespon bahwa lembaga
pembiayaan saat ini belum melakukan hal ini. Pembuatan pembukuan dan laporan
keuangan penting bagi UMKM. Dengan adanya pembukuan dan laporan keuangan,
UMKM dapat melihat perkembangan usaha yang dimilikinya. Apabila usaha sedang
naik, maka UMKM dapat melakukan rencana pengembangan. Sebaliknya, jika dilihat
perkembangannya mengalami penurunan, maka dengan cepat UMKM dapat melakukan
tindakan pencegahan agar usahanya tidak terus mengalami penurunan.
Pentingnya pembukuan dan laporan keuangan ini juga dirasakan UMKM pada
saat akan mengajukan pinjaman kepada lembaga pembiayaan. Hampir semua lembaga
pembiayaan mensyaratkan adanya data keuangan usaha. Untuk itu UMKM
mengharapkan lembaga pembiayaan membantu UMKM membuat pembukuan dan
laporan keuangan. Meskipun ada juga yang tidak mengharapkan bantuan ini dengan
alasan lebih senang mengerjakannya sendiri.
Tabel 4.12
Membantu Membuat Pembukuan dan Laporan Keuangan

Peran Lembaga Kondisi Diharapkan


Pernyataan Kondisi Saat Ini (%)
Pembiayaan (%)
Membantu Membuat Tidak Pernah 93,1 39,7
Pembukuan Sangat Jarang 1,7 8,6
Jarang 5,2 20,7
Sering 0,0 17,2
Sangat Sering 0,0 13,8
Total 100,0 100,0
Membantu Membuat Tidak Pernah 96,6 41,4
Laporan Keuangan Sangat Jarang 1,7 8,6
Jarang 1,7 19,0
Sering 0,0 20,7
Sangat Sering 0,0 10,3
Total 100,0 100,0

Sumber: Data Olahan, 2013

Selain fasilitasi pembuatan pembukuan dan laporan keuangan, lembaga


pembiayaan juga berperan dalam melakukan fasilitasi pelatihan dan pendampingan bagi
UMKM. Pelatihan yang terkait dengan keuangan misalnya pelatihan perpajakan. Seperti
yang telah diketahui, bahwa saat ini pemerintah berencana untuk mengenakan pajak
kepada UMKM. Sebagian besar UMKM telah memiliki NPWP, oleh sebab itu, UMKM
juga berwajiban untuk melaporkan pajak penghasilan dari usahanya. Agar tidak salah
dalam pembayaran dan pengisian pajak, lembaga pembiayaan dapat menfasilitasi di
bidang perpajakan dengan mengadakan pelatihan perpajakan bagi UMKM.
Walaupun penting, saat ini lembaga pembiayaan tidak atau sangat jarang
mengadakan pelatihan perpajakan. UMKM (28,8%) mengharapkan adanya pelatihan
perpajakan bagi UMKM.
Selain pelatihan, lembaga pembiayaan juga melakukan pendampingan bagi
UMKM untuk mengawasi pemanfaatan dana yang dipinjam. Pendampingan yang
dilakukan dapat dalam bentuk formal melalui pemeriksaan secara berkala. Selain itu
pendampingan juga dapat dilakukan dalam bentuk informal yang diistilahkan dengan
coachinng atau mantri untuk lembaga pembiayaan tertentu.
Seperti yang ditunjukkan pada tabel di bawah, bahwa 81% responden
mengatakan bahwa lembaga pembiayaan tidak pernah melakukan pendampingan
pemanfaaatan dana yang dipinjam. Hal ini menjadi suatu risiko baik bagi UMKM
maupun bagi lembaga pembiayaan tersebut. Bagi UMKM, risiko yang dihadapi adalah
kemungkinan dana digunakan untuk konsumtif dan bukan untuk produktif. Bagi
lembaga pembiayaan, risiko yang dihadapi adalah adanya kemungkinan kredit macet.
Hanya 10,3% lembaga pembiayaan yang telah melakukan pendampingan pemanfaatan
dana.
Harapan UMKM (32,70%) akan peranan lembaga pembiayaan, selain
memberikan dana pinjaman, lembaga pembiayaan juga melakukan pendampingan
pemanfaatan dana secara berkala. Sebagian lainnya 22,4% UMKM mengharapkan
lembaga pembiayaan melakukan pendampingan pemanfaatan dana minimal setahun
sekali. Sedangkan sisanya beranggapan tidak memerlukan adanya pendampingan
penggunaan dana.

Tabel 4.13
Pelatihan dan Pendampingan

Peran Lembaga Kondisi Diharapkan


Pernyataan Kondisi Saat Ini (%)
Pembiayaan (%)
Pelatihan Perpajakan Tidak Pernah 98,3 58,6
Sangat Jarang 1,7 1,7
Jarang 0,0 13,8
Sering 0,0 15,5
Sangat Sering 0,0 10,3
Total 100,0 100,0
Pendampingan Tidak Pernah 81,0 43,1
Pemanfaatan Dana Sangat Jarang 0,0 1,7
Jarang 8,6 22,4
Sering 8,6 17,2
Sangat Sering 1,7 15,5
Total 100,0 100,0

Sumber: Data Olahan, 2013


Peningkatan omzet usaha merupakan tujuan bagi setiap UMKM. Untuk
mencapai hal ini, maka UMKM berusaha memperluas usaha, menambah barang
dagangan, melakukan pengembangan usaha. Alasan ini juga yang mendasari UMKM
membutuhkan dana dari lembaga pembiayaan, dengan harapan setelah meminjam,
omzet yang dimiliki dapat meningkat.
Tabel di bawah menunjukkan saat ini sebagian UMKM (55,18%) yang
meminjam pada lembaga pembiayaan mengalami peningkatan omzet usaha. Hal ini
disebabkan karena peranan lembaga pembiayaan selain memberikan dana yang
dibutuhkan juga dilakukan proses pendampingan.
Harapan sebagian UMKM (87,8%), usahanya terus mengalami peningkatan.
Sedangkan sisanya bukannya tidak menginginkan adanya peningkatan omzet, tetapi
karena adanya kendala-kendala yang dihadapi, UMKM ini cukup bersyukur dengan
omzet yang tidak menurun. Sebagai contoh UMKM yang berdagang di sekitar kampus,
maka omzetnya tergantung dari kehidupan kampus. Jika kampus libur, maka omzet
akan mengalami penurunan. Dengan demikian, UMKM berharap minimal omzet yang
dimilikinya tidak mengalami penurunan meskipun tidak mengalami peningkatan juga.

Tabel 4.14
Omzet Usaha Meningkat

Peran Lembaga Kondisi Diharapkan


Kondisi Saat Ini (%)
Pembiayaan (%)
Tidak Meningkat 39,66 12,1
Kurang Meningkat 5,17 0,0
Agak Meningkat 18,97 8,6
Meningkat 27,59 24,1
Sangat Meningkat 8,62 55,2
Total 100,0 100,0

Sumber: Data Olahan, 2013

Peran lembaga pembiayaan sebagai fasilitator pengelolaan keuangan dapat


dibagi menjadi dua bagian besar:
a.Pembuatan pembukuan dan laporan keuangan
Pembuatan pembukuan merupakan langkah awal bagi UMKM memisahkan
dana yang akan digunakan untuk pribadi dengan dana yang digunakan untuk
usaha. Untuk itu lembaga pembiayaan, hendaknya membantu dan mendorong
UMKM untuk tertib dan disiplin dalam membuat pembukuan dan laporan
keuangan usaha. Dengan demikian UMKM memiliki rekam jejak usaha secara
komprehensif.
b.Pelatihan dan Pendampingan Penggunaan Dana
Meskipun sebagian besar UMKM menyadari bahwa dana yang dipinjam harus
dipergunakan untuk usaha, tetapi pada prakteknya seringkali
terjadi penyimpangan. Untuk mengurangi penyimpangan tersebut, maka peran
lembaga pembiayaan untuk melakukan pendampingan pemanfaatan dana harus
dilakukan.
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis, maka dapat disimpulkan peran lembaga pembiayaan


dalam pengembangan UMKM sebagai berikut:
a. Saat ini akses pembiayaan UMKM lebih banyak diperoleh dari bank umum
dibandingkan dengan lembaga pembiayaan seperti koperasi dan lembaga pembiayaan
non bank. Persaingan antar lembaga pembiayaan menjadikan lembaga pembiayaan
non bank yang kurang populer mengalami penurunan jumlah debitur. Meskipun
demikian pangsa UMKM bagi lembaga pembiayaan masih besar.
b. Lembaga pembiayaan non bank menghadapi kendala untuk mendapatkan informasi
calon debitur. Hal ini berguna untuk menghindarkan pemberian kredit/pinjaman yang
tumpang tindih yang akan menyebabkan terjadinya kesulitan pembayaran.
c. Dalam hal pembayaran kredit/pinjaman, lembaga pembiayaan telah melakukan
inovasi sistem penagihan. Lembaga pembiayaan saat ini lebih agresif mendekati
UMKM. Sistem penagihan yang semula bulanan diubah menjadi harian untuk sektor
perdagangan. Sistem penagihan “jemput bola” dalam arti mendatangi debitur one on
one, saat ini dilakukan oleh lembaga pembiayaan baik bank maupun non bank.
d. Sistem penagihan harian ini membantu UMKM menghemat waktu dan tenaga serta
juga menghindarkan UMKM dari potensi munculnya kredit bermasalah atau bahkan
kredit macet. Sistem ini juga memungkinkan lembaga pembiayaan melakukan close
monitoring usaha dan memberikan pembinaan secara personal mengenai cara
mengelola usaha dan keuangan.
e. Sistem penagihan harian juga membuat UMKM merasa cicilan dan bunga atau sistem
bagi hasil yang dikenakan oleh lembaga pembiayaan menjadi lebih ringan sehingga
UMKM tidak mengalami kesulitan dalam melakukan pembayaran. Kondisi ini
menyebabkan angka kredit bermasalah menjadi kecil.
f. Lembaga pembiayaan juga berperan melakukan pembinaan terhadap UMKM untuk
mengembangkan usaha antara lain membantu promosi dalam bentuk
mengikutsertakan UMKM ke dalam pameran, memberikan konsultansi
mengenai pengembangan usaha dan menfasilitasi keberadaan tempat usaha.
g. Pembinaan yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan seringkali mendapat penolakan
dari UMKM dengan alasan tidak ada waktu dan merepotkan. Terutama pembinaan
dalam hal keuangan, UMKM lebih menyukai untuk membuat pembukuan secara
mandiri meskipun seringkali terbengkalai.
h. UMKM yang mendapatkan pembiayaan ada yang mengalami perkembangan yang
pesat, yang dapat diukur dari adanya perluasan usaha, penambahan aset baik usaha
maupun pribadi dan gaya hidup. Tetapi ada juga UMKM yang tidak mengalami
perkembangan atau malah menurun.
i. Penurunan usaha UMKM disebabkan oleh dua hal akibat kesalahan pengelolaan
maupun kondisi ekonomi negara yang kurang kondusif. Penurunan usaha yang
disebabkan kesalahan pengelolaan yang banyak terjadi adalah terpakainya modal
untuk kebutuhan pribadi seperti naik haji, membiayai anak sekolah atau membeli aset
konsumtif.
j. Tiga kendala utama bagi lembaga pembiayaan untuk menjalankan peranannya dalam
pengembangan UMKM, yaitu (1) sulitnya menilai UMKM yang feasible dan
bankable yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam pemberian kredit; (2)
Animo UMKM yang rendah terhadap upaya pembinaan yang dilakukan oleh lembaga
pembiayaan dan (3) Sebagian besar UMKM belum melakukan pemisahan keuangan
antara keuangan pribadi dengan usaha.

5.2. Rekomendasi

Dalam rangka pengembangan UMKM melalui lembaga pembiayaan, maka berikut


rekomendasi yang dapat dilakukan sebagai berikut
k. Melihat pentingnya peranan lembaga pembiayaan dalam pengembangan UMKM
terutama sektor perdagangan sebagai alternatif sumber pembiayaan maka pemerintah
perlu dilakukan sosialisasi kepada UMKM tentang eksistensi lembaga pembiayaan
baik bank maupun non bank khususnya koperasi. Selain itu, bagi lembaga pembiayan
perbankan yang tidak memiliki core usaha pada usaha mikro dapat menggunakan
model pembiayaan linkage dan channeling dengan lembaga pembiayaan lainnya.
l. Perlu adanya sistem informasi debitur terintegrasi antar lembaga pembiayaan bank
dan non bank untuk mencegah terjadinya pembiayaan berulang pada UMKM yang
sama yang dapat menimbulkan terjadi kesulitan pembayaran.
m. Diperlukan pembentukan kemitraan antara pemerintah pusat, daerah dan lembaga
pembiayaan dalam hal memberikan bantuan teknis kepada UMKM, sehingga
pembinaan yang dilakukan dapat lebih terintegrasi. Hal ini dilakukan untuk
mempersiapkan UMKM dalam menghadapi persaingan usaha baik dari pasar
modern maupun adanya Masyarakat Ekonomi Asean pada tahun 2015
n. Perlunya kebijakan yang mewajibkan UMKM untuk mengikuti pembinaan dari
lembaga pembiayaan dan menyerahkan laporan keuangan usaha secara periodik
kepada lembaga pembiayaan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi terjadi
penyimpangan pemanfaatan kredit yang diberikan oleh lembaga pembiayaan.

Anda mungkin juga menyukai