Anda di halaman 1dari 16

1.

Definisi
Dalam melaksanakan kewenangan di bidang makroprudensial,
Bank Indonesia telah merumuskan kerangka kebijakan yang tepat,
jelas, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Kerangka
tersebut bersifat menyeluruh, memberikan arah, bentuk, dan tatanan
bagi Bank Indonesia dalam merumuskan dan menghasilkan arah
kebijakan makroprudensial yang tepat. Mempertimbangkan
tantangan sistem keuangan yang terus berevolusi, Bank Indonesia
senantiasa mem-perkuat kerangka kebijakan makroprudensial. Hal
ini bertujuan agar implementasi dan efektivitas kebijakan dapat
terus diperkuat, dan didukung oleh surveilans yang komprehensif.
Untuk itu, pada 2020 Bank Indonesia melakukan penyesuaian
kembali atas kerangka kebijakan dan surveilans makroprudensial,
yang kemudian disebut dengan Dynamic Integrated
Macroprudential Policy and Surveillance Framework (DIMPS).
DIMPS merupakan kerangka kebijakan dan pengawasan
makroprudensial yang bersifat dinamis terhadap pergerakan siklus
keuangan, terintegrasi dalam dimensi macrofinancial (time varying)
dan micro-surveillance {cross section), serta didukung oleh ekonomi
dan keuangan inklusif dalam menjaga stabilitas sistem keuangan
melalui bauran kebijakan Bank Indonesia. Secara lebih rind, DIMPS
dapat dijelaskan sebagai berikut. Kata dynamic dalam DIMPS
menunjukkan karakteristik kebijakan makroprudensial yang dinamis
terhadap pergerakan siklus keuangan, yakni membatasi peningkatan
risiko akibat perilaku procyclicality. Siklus keuangan
merepresentasikan persepsi agen keuangan terhadap kondisi
perekonomian yang mewarnai perilaku ambil risikonya. Dalam hal ini,
kebijakan makroprudensial akan mengurangi perilaku ambil risiko
bank yang berlebihan yang biasanya berlangsung pada saat ekonomi
sedang membaik {boom), serta memastikan bank memupuk
kemampuan untuk menyerap risiko pada saat ekonomi memburuk
(bust) dengan meningkatkan cadangan permodalannya.
Kebijakan makroprudensial mendorong bank untuk melepaskan
permodalan yang telah dicadangkan untuk menyerap risiko yang
biasanya meningkat pada saat bust. Pengamatan terhadap siklus
keuangan dan berbagai indikator time series yang merepresentasikan
perilaku ambil risiko di sistem keuangan akan mendukung kebijakan
makroprudensial dapat diimplementasikan secara forward looking,
ahead of the curve, dan pre-emptive
Kata integrated dalam DIMPS menunjukkan bahwa kebijakan
makroprudensial dirumuskan secara terintegrasi berdasarkan hasil
asesmen atas seluruh elemen sistem keuangan. Hal ini perlu dilakukan
juga untuk memastikan semua sumber risiko dapat dicakup dan
transmisi akibat keterkaitan antar-elemen sistem keuangan dapat
ditangkap, sehingga pengukuran risiko sistemik dapat diukur secara
komprehensif. Kebijakan makroprudensial juga dirumuskan secara
terintegrasi dengan kebijakan lain melalui analisis interaksi kebijakan
Hal ini dimaksudkan sebagai antisipasi adanya unintended
consequences yang mungkin ditimbulkan. Kata macroprudential
policy dalam DIMPS merujuk pada tujuan perumusan kebijakan
makroprudensial Bank Indonesia, yakni membatasi peningkatan risiko
sistemik dalam sistem keuangan, menjaga pembiayaan agar tumbuh
seimbang, berkualitas, produktif, dan berkelanjutan, termasuk dengan
mendorong pendalaman pasar keuangan, serta ekonomi dan keuangan
inklusif
Kata macroprudential surveillance dalam DIMPS, merujuk pada
proses pengawasan dalam rangka memonitor, mengidentifikasi, dan
melakukandi Indonesia HCSmsn terhadap risiko sistemik, yang
mencakup procyclicality (dimensi lime series) maupun contagion dan
risiko konsentrasi (dimensi cross section), serta monitoring
perkembangan pembiayaan, termasuk inklusi ekonomi dan keuangan.
Macroprudential surveillance yang dilakukan oleh Bank Indonesia
merupakan kegiatan utama dalam menilai kondisi sistem keuangan,
apakah sudah terdapat risiko yang perlu segera dimitigasi, apakah
DIMPS, sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 2.1, dikembangkan
I dengan tujuan utama (endstat) turut menjaga SSK, melalui dua
sasaran, yakni (1) tingkat ketahanan sistem keuangan yang berada
pada zona aman; dan (2) tingkat pertumbuhan pembiayaan domestik
yang seimbang berkualitas. Kedua sasaran tersebut mengindikasikan
bahwa makroprudensial di Bank Indonesia tidak hanya fokus pada
mitigasi lisiko sistemik, namun juga memperhatikan aspek
pengembangan sistem keuangan melalui pembiayaan. Kedua hal ini
diharapkan tetap berdampak Positif Pterhadap pertumbuhan ekonomi
dan stabilitas, meski dampak ini, ditimbulkan oleh berkembangnya
sistem keuangan dapat berkurang II I ring dengan semakin
kompleksnya sistem keuangan (bellshaped)
DIMPS diimplementasikan melalui strategi utama penerapan iii|i hcisifat
menyeluruh pada semua elemen sistem keuangan, baikpenyedia jasa layanan
keuangan (bank dan nonbank), pasar keuangan, maupun pengguna jasa layanan
keuangan (korporasi dan rumah tangga). Dalam upaya mencapai tujuan menjaga
SSK, DIMPS ditopang oleh tiga pilar utama.13 Pilar tersebut mencerminkan
dimensi dalam proses perumusan kebijakan dan pelaksanaan surveilans
makroprudensial di Bank Indonesia. Ketiga dimensi dimaksud adalah: (1) dimensi
macrofinancial; (2) dimensi micro-surveillance; dan (3) dimensi inklusi ekonomi
dan keuangan

Ketiga pilar utama DIMPS tersebut senantiasa didukung oleh lima pilar dasar
yang menjadi kondisi dan prasyarat agar proses perumusan kebijakan dan
pelaksanaan surveilans di Bank Indonesia berjalan dengan baik guna mencapai
end state SSK. Pertama, perumusan kebijakan dan pelaksanaan surveilans yang
berbasis riset, termasuk implementasi instrumen kebijakan yang didasarkan pada
standar internasional, praktik terbaik negara lain, maupun pengembangan dan
inovasi atas perangkat analisis. Kedua, digitalisasi proses kerja, data, dan
informasi, termasuk peningkatan pemanfaatan big data dalam asesmen sistem
keuangan
Ketiga, koordinasi dan komunikasi, utamanya koordinasi dengan otoritas lain di
sektor keuangan, baik secara bilateral maupun dalam Komite Stabilitas Sistem
Keuangan (KSSK). Keempat, penguatan legalitas keuangan makroprudensial,
guna memberikan kejelasan mandat dan cakupan kewenangan Bank Indonesia di
bidang makroprudensial. Kelima, kompetensi SDM yang cukup dan memadai
baik dari sisi kualitas maupun kuantitas

2. Pilar utama
Pilar Pertama
Pilar pertama DIMPS adalah dimensi macrofinancial, yakni bagaimana
perumusan kebijakan dan surveilans makroprudensial diimplementasikan
dengan melihat keterkaitan antara makroekonomi dan sistem keuangan melalui
pendekatan time-varying. Pilar tersebut selanjutnya disebut dengan Dynamic
and Integrated Macrofinancial System (DIMFS). DIMFS mengandalkan
analisis macrofinancial linkage yang dilakukan dengan pendekatan forward
looking dan berorientasi pada pemanfaatan frontierfinancial enchancement,
baik dalam pelaksanaan asesmen maupun dalam pengembangan sistem
keuangan
Berdasarkan DIMFS, surveilans difokuskan pada identifikasi
macrofinancial imbalances, yakni kondisi yang ditimbulkan akibat
perilaku ambil risiko yang berlebihan (excessive risk taking
behavior) oleh agen keuangan dalam mengikuti siklus ekonomi, atau
yang disebut dengan procyclicality. Selanjutnya, perg'erakan
interaksi antara indikator sektor keuangan dengan siklus ekonomi
tercermin dalam siklus keuangan.14 Sebagai contoh, pertumbuhan
kredit yang berlebihan, peningkatan harga aset melebihi harga
fundamental, serta tingkat leverage korporasi dan rumah tangga
yang tinggi. Untuk itu, monitoring dan asesmen dilakukan secara
berkesinambungan guna mengidentifikasi risiko yang umumnya
lebih bersifat macro-driven pada tahap build-up, materialisasi,
hingga propagasi. Adapun mitigasi risiko dilakukan melalui
formulasi kebijakan makroprudensial sebagai countercyclical
measures, dengan karakteristik instrumen yang bersifat time varying,
yakni kalibrasi yang dinamis disesuaikan dengan fase dalam siklus
keuangan (Gambar 2.2)
Sementara itu, merujuk pada tujuan kebijakan makroprudensial
untuk mendukung pertumbuhan, dalam dimensi time-varying upaya
dilakukan melalui pembiayaan jangka panjang yang berkelanjutan
dengan memperhatikan aspek digital (sustainable and digital
finance) serta pendalaman pasar keuangan (financial deepening).
Dalam hal ini bank Indonesia telah dirumuskan strategi
pengembangan pasar keuangan melalui blueprint Infrastruktur
Pasar Keuangan (IPK) atau financial market infrastructure (FMI
Berdasarkan blueprint tersebut, upaya pengembangan sumber pembiayaan
ekonomi dan pengelolaan risiko menjadi salah satu pilar utama yang
diimplementasikan melalui empat strategi. Pertama, mendorong pengembangan
alternatif sumber pembiayaan. Kedua, mendorong penggunaan teknologi digital
dalam pengembangan pembiayaan pembangunan. Ketiga, mendukung edukasi
literasi keuangan dan pengembangan berbasis investor. Keempat, memperkuat
koordinasi pengembangan pasar keuangan.
Pilar Kedua
Pilar kedua DIMPS adalah dimensi micro-surveillance, yakni bagaimana
perumusan kebijakan dan surveilans makroprudensial diimplementasikan
dengan melihat interconnectedness dalam sistem keuangan melalui pendekatan
cross-section. Dalam hal ini, keterkaitan dapat terjadi melalui jalur langsung
(financial exposure) dan tidak langsung, seperti persepsi pasar dan jalur
psychological. Berdasarkan pendekatan cross section, risiko dapat muncul
karena adanya dampak contagion, yang mana spillover risiko akan semakin
besar apabila sumber kegagalan adalah institusi keuangan dan nonkeuangan
sistemik, termasuk konglomerasi korporasi, serta adanya common risk factor
dalam sistem keuangan yang bersifat struktural (Gambar 2.3.)
Dalam dimensi micro-surveillance, pengawasan makroprudensial dilakukan
dengan merujuk kepada suatu metodologi pengawasan yang dinamakan dengan
Dynamic Systemic Risk Surveillance (DSRS). DSRS pakan metode
pengawasan yang komprehensif menggambarkan l ondisi sistem keuangan
secara utuh. Identifikasi risiko fokus pada 'in Mas objek pengawasan yang
memiliki ukuran (size), interconnectedness, dan komplesitas (complexity) yang
beragam (micro-driven/idiosyncratic),berpotensi memengaruhi kondisi
individual dan/atau kerentanan i i cm keuangan yang dapat menjadi risiko
sistemik. Adapun kebijakan kroprudensial dalam dimensi cross-section,
umumnya bertujuan untuk inciedam dampak contagion dan concentration risk
Pilar Ketiga
Pilar ketiga DIMPS adalah inklusi ekonomi dan keuangan. Pilar ini
lejalan dengan tujuan kebijakan makroprudensial untuk mendorong
peri nmbuhan. Keuangan inklusif adalah kondisi di mana setiap
anggota m.isyarakat mempunyai akses terhadap berbagai layanan
keuangan formal yang berkualitas, tepat waktu, lancar, dan aman,
dengan biaya terjangkau sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan.
Pentingnya peranan keuangan inklusif dalam mengakselerasi
pertumbuhan, melatarbelakangi beberapa negara, termasuk
Indonesia, untuk fokus pada upaya pengembangan keuangan
inklusif, yakni dengan mendorong penyediaan akses dan
penggunaan (usage) layanan keuangan formal kepada masyarakat.
Bank Indonesia saat ini menerapkan pendekatan baru untuk
mendorong inklusi ekonomi dan keuangan dalam sebuah Itrategi
Nasional Ekonomi dan Keuangan Inklusif (SNEKI).
keuangan inklusif Bank Indonesia, yakni kelompok subsistence dan
kelompok Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), baik
melalui pendekatan konvensional maupun syariah. Adapun visi
yang ingin dicapai adalah meningkatkan akses terhadap
kesempatan ekonomi secara luas dan layanan keuangan formal
yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Melalui tiga pilar,
yaitu Pemberdayaan Ekonomi (Kapasitas), Perluasan Akses dan
Literasi Keuangan (Pembiayaan), danHarmonisasi
Kebijakan )Korporatisasi), Pengembangan ekonomi dan keuangan
inklusif dilakukan dalam upaya untuk mencapai stabilitas
makrooekonomi dan stabilitas sistem keuangan
3. Siklus DIMPS

DIMPS diimplementasikan melalui strategi operasional yang terbagi atas


empat tahapan berikut (Gambar 2.4).
Pertama, identifikasi risiko. Tahapan ini merupakan fase monitoring
pergerakan indikator kerentanan sistem keuangan dan indikator lain yang
berpotensi memengaruhi sistem keuangan atau menjadi sumber shock (seperti
indikator nilai tukar dan capital flows), termasuk indikator yang berasal dari
inovasi digital, seperti pemanfaatan big data dan machine learning.
Identifikasi risiko bertujuan untuk menangkap adanya sinyal peningkatan
risiko, di samping monitoring atas perkembangan pembiayaan, termasuk
inklusi ekonomi dan keuangan.
Kedua, asesmen risiko sistemik. Tahapan ini merupakan fase untuk mengukur
sejauh mana potensi dampak yang ditimbulkan dari peningkatan risiko yang
telah teridentifikasi pada fase sebelumnya. Pada tahapan ini meliputi pula
asesmen forward looking, termasuk outlook pembiayaan. Adapun perangkat
analisis yang umumnya digunakan pada fase ini, antara lain analisis simulasi,
analisis stress test, dan proyeksi.
Ketiga, rekomendasi dan implementasi kebijakan. Tahapan ini merupakan fase
pengembangan desain dan formula instrumen kebijakan, guna memitigasi risiko
berdasarkan hasil asesmen pada tahap sebelumnya, termasuk kebijakan untuk
pembiayaan. Tahapan ketiga ini meliputi juga proses formulasi pengaturan, mekanisme
koordinasi dalam implementasi, baik internal Bank Indonesia maupun koordinasi dengan
otoritas lain, serta komunikasi kebijakan. Keempat, evaluasi dan pemantauan kebijakan.
Tahapan ini merupakan fase monitoring implementasi dan evaluasi atas efektivitas
kebijakan, termasuk pemeriksaan tematik bila diperlukan

Anda mungkin juga menyukai