1
antara lain adalah memindahkan risiko ke pihak lain, menghindari risiko, mengurangi
efek negatif risiko dan menampung sebagian atau semua konsekuensi risiko tertentu.
2
penerapan manajemen risiko yang ditetapkan dengan berlandaskan pada prinsip kehati-
hatian.
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, Bank Indonesia telah mengeluarkan Peraturan
Bank Indonesia, antara lain :
1. Nomor 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko
bagi Bank Umum
2. Nomor 5/12/PBI/2003 tanggal 17 Juli 2003; tentang Kewajiban Penyediaan
Modal Minimum Bank Umum dengan Memperhitungkan Risiko Pasar
(MarketRisk); dan
3. Nomor 5/13/PBI/2003 tanggal 17 Juli 2003 tentang Posisi Devisa Netto Bank
Umum.
4. SE BI No. 5/21/DPNP tgl. 29 September 2003 perihal Penerapan Manajemen
Risiko bagi Bank Umum
Tujuan utama dari Peraturan tersebut diatas adalah menjaga agar aktivitas
operasional yang dilakukan Bank tidak menimbulkan kerugian yang melebihi
kemampuan Bank untuk menyerap kerugian tersebut ataupun membahayakan
kelangsungan usaha Bank. Pengelolaan seluruh aktivitas Bank harus sedapat mungkin
terintegrasi ke dalam suatu sistem pengelolaan risiko yang akurat dan komprehensif serta
mampu menganalisa dan mengelola seluruh risiko yang terkait.
Ruang lingkup Kebijakan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam PBI
tersebut, sekurang-kurangnya memuat :
1. Penetapan Risiko yang terkait dengan produk dan transaksi perbankan;
2. Penetapan penggunaan metode pengukuran dan sistem informasi Manajemen
Risiko;
3. Penentuan limit dan penetapan toleransi risiko;
4. Penetapan penilaian peringkat risiko;
5. Penyusunan rencana darurat (contingency Plan) dalam kondisi terburuk
(worstcacescenario);
6. Penetapan sistem pengendalian intern dalam penerapan Manajemen risiko.
3
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, setiap Bank WAJIB menetapkan Kebijakan
Manajemen Risiko sebagai pedoman bagi seluruh unit kerja dalam melakukan
identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko yang melekat pada
kegiatan fungsional masing-masing, sehingga diharapkan tidak menimbulkan kerugian
yang melebihi kemampuan bank atau yang dapat mengganggu kelangsungan usaha bank.
4
Lembaga Keuangan Syariah yang dibentuk sejak tiga dekade terakhir sebagai
alternatif bagi lembaga keuangan konvensional, terutama ditujukan untuk menawarkan
kesempatan investasi, pembiayaan, dan perniagaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip
syariah khususnya perbankan. Dalam usianya yang masih sangat belia, pertumbuhan
industri perbankan ini sangat membanggakan. Salah satu fungsi dasarnya adalah untuk
mengelola resiko yang muncul dalam transaksi keuangan secara efektif.
Menurut PBI No.11/25/2009 tentang penerapan manajemen resiko bagi bank umum
bahwa :
1. Bank Umum Konvensional wajib menerapkan Manajemen Resiko untuk seluruh
resiko sebagaimana yang dimaksud
2. Bank Umum Syariah wajib menerapkan Manajemen Resiko paling kurang untuk
4 (empat) jenis resikosebagaiman dimaksud
Adapun penerapan manajemen resiko yang dimaksud menurut PBI diidentifikasikan
sebagai berikut :
1. Resiko Kredit adalah resiko akibat kegagalan debitur dan/atau pihak lain dalam
memenuhi kewajiban pada bank.
2. Resiko Pasar adalah resiko pada posisi neraca dan rekening administratif
termasuk transaksi derivatif, akibat perubahan secara keseluruhan dari kondisi
pasar, termasuk resiko perubahan harga option.
3. Resiko Likuiditas adalah resiko akibat ketidakmampuan bank untuk memenuhi
kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas dan/atau dari aset
likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan
kondisi keuangan bank.
4. Resiko Operasional adalah resiko akibat ketidakcukupan dan/atau tidak
berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, dan/atau
adanya kejadian-kejadian eksternal yang mempengaruhi operasional bank.
5. Resiko Kepatuhan adalah resiko akibat bank tidak mematuhi dan/atau tidak
melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku.
6. Resiko Hukum adalah resiko akibat tuntutan hukum dan/atau kelemahan aspek
yuridis.
5
7. Resiko Reputasi adalah resiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan
stakeholder yang bersumber dari persepsi negatif terhadap bank.
8. Resiko Strategik adalah resiko akibat ketidaktepatan dalam pengambilan dan/atau
pelaksanaan suatu keputusan strategik serta kegagalan dalam mengantisipasi
perubahan lingkungan bisnis.
Menurut Tariqullah Khan dan Habib Ahmed (2008:20-30), proses penerapan
manajemen resiko bank syariah terdiri dari :
a. Manajemen Resiko Kredit
Dewan direksi harus menguraikan keseluruhan strategi manajemen resiko kredit
dengan menunjukan kemauan bank untuk menyalurkan pembiayaan di berbagai sektor
usaha, lokasi geografis, jangka waktu, dan tingkat profitabilitas tertentu. Sejalan dengan
hal tersebut, juga harus memahami tujuan dari kualitas kredit, pendapatan, pertumbuhan,
dan hubungan timbal balik antara resiko dengan tingkat return dari aktivitas yang
dijalankan. Dan yang terpenting, strategi manajemen resiko kredit tersebut harus
dikomunikasikan pada seluruh bagian perusahaan.
Senior manajemen bank bertanggung jawab untuk melaksanakan strategi
manajemen resiko kredit yang telah ditetapkan oleh dewan direksi, yaitu dengan
mengembangkan prosedur-prosedur tertulis yang merefleksikan keseluruhan strategi serta
meyakinkan pelaksanaannya. Prosedur yang dibuat harus memuat kebijakan-kebijakan
untuk mengidentifikasi, mengukur, memonitor, dan mengontrol resiko kredit. Perhatian
juga perlu diberikan kepada aspek diversifikasi portofolio dengan menetapkan batas
minimum pemberian kredit pada satu nasabah, grup usaha dari nasabah terkait, industri,
sektor ekonomi, suatu kawasan, dan produk-produk individu.
Bank dapat menggunakan pengujian (stress testing) dalam menetapkan limit dan
monitoring dengan mempertimbangkan siklus usaha, suku bunga yang berlaku dan
perubahan-perubahan yang terjadi di pasar. Bagi bank yang menyalurkan kredit berskala
internasional, juga perlu menilai risiko negara (countryrisk) di mana ia berhubungan.
Bank harus memiliki sistem untuk pengadministrasian berbagai jenis risiko kredit dalam
portofolio.
Administrasi kredit yang tepat oleh bank setidaknya harus mencakup operasional
yang efektif dan efisien dalam rangka dokumentasi proses monitoring, ketentuan-
6
ketentuan dalam kontrak, ketentuan legalitas, jaminan, dan lain-lain, membuat laporan
kepada manajemen secara akurat dan berkala, mematuhi kebijakan dan prosedur
manajemen, serta aturan dan regulasi yang berlaku.
b. Manajemen Resiko Suku Bunga
Dewan direksi harus menetapkan keseluruhan tujuan, strategi, dan kebijakan yang
mengatur risiko suku bunga bank. Di samping menetapkan risiko suku bunga, dewan
direksi juga harus memastikan bahwa pihak manajemen telah mengambil langkah-
langkah yang tepat untuk, mengukur, memonitor, dan mengontrol risiko-risiko ini.
Dewan direksi harus diberikan informasi secara periodik dan mereview status risiko suku
bunga bank ini melalui laporan.
Senior manajemen harus memastikan bahwa bank telah mematuhi kebijakan dan
prosedur yang memungkinkan risiko suku bunga dapat dikelola. Kebijakan dan prosedur
ini meliputi pemeliharaan proses review manajemen risiko suku bunga, limit risiko yang
tepat, sistem pengukuran risiko yang memadai, sistem pelaporan risiko suku bunga yang
komprehensif, dan kontrol internal yang efektif. Bank harus menetapkan siapa saja
individu atau komite yang harus bertanggung jawab terhadap manajemen risiko suku
bunga dan mendefenisikan garis wewenang dan tanggung jawab masing-masing.
Bank harus memiliki kebijakan dan prosedur yang terdefenisi dengan jelas untuk
membatasi dan mengontrol risiko suku bunga, yaitu dengan menjelaskan tanggung jawab
dan akuntalibilitas terhadap keputusan manajemen risiko suku bunga dan mendefenisikan
instrumen yang telah diotorisasi, strategi hedging dan profit taking. Risiko suku bunga
pada produk-produk baru harus dijelaskan melalui analisis waktu jatuh tempo, masa
repricing dan poengambilan suatu instrumen. Dewan direksi harus menetapkan hedging
atau stategi manajemen risiko yang baru sebelum semua ini diimplementasikan.
c. Manajemen Resiko Likuiditas
Bisnis perbankan berhubungan dengan dana seseorang yang sewaktu-waktu dapat
ditarik sehingga manajemen likuiditas merupakan yang sangat penting bagi bank. Oleh
karena itu, senior manajemen dan dewan direksi harus meyakinkan bahwa prioritas dan
tujuan bank untuk kepereluan manajemen likuiditas telah jelas. Senior manajemen harus
memastikan bahwa risiko likuiditas telah terkelola secara efektif dengan menentukan
serangkaian prosedur dan kebijakan.
7
Bank harus memiliki sistem informasi yang berfungsi untuk mengukur,
memonitor, mengontrol, dan melaporkan risiko likuiditas. Laporan berkala mengenal
likuiditas harus disediakan bagi dewan direksi dan senior manajemen. Laporan ini,
diantaranya harus mencakup posisi likuiditas dalam rentang waktu tertentu.
Esensi dari masalah manajemen likuiditas muncul dari adanya kenyataan bahwa
terdapat hubungan timbal balik antara likuiditas dan profibalitas, dan adanya mismatch
antara permintaan dan penawaran aset-aset yang likuid. Sementara bank tidak mampu
mengontrol sumber-sumber dana (dana pihak ketiga), ia dapat mengontrol penggunaan
dari dana-dana tersebut.
Misalnya, posisi likuiditas bank memberikan prioritas pada pengalokasian dana.
Dengan asumsi bahwa opportunitycost dari dana-dana yang likuid adalah tetap, maka
setelah memiliki likuiditas yang cukup, bank harus melakukan investasi yang dapat
mendatangkan keuntungan. Sebagian besar bank yang ada sekarang ini telah membuat
cadangan pelindung (protective reserve) di atas cadangan yang telah direncanakan.
Sementara cadangan yang direncanakan merupakan verifikasi dari ketentuan
regulator dan hasil perkiraan, jumlah dari cadangan pelindung tergantung pada sikap
pihak manajemen terhadap risiko likuiditas.
d. Manajemen Resiko Operasional
Dewan direksi dan senior manajemen harus mengembangkan keseluruhan
kebijakan dan strategi untuk mengelola resiko operasional. Sementara resiko operasional
bisa muncul akibat kegagalan faktor manusia, proses, dan teknologi, manajemen atas
resiko ini lebih kompleks lagi. Senior manajemen perlu menetapkan standar
mnajemenresiko dan pedoman pelaksanaan yang jelas, yang dapat mereduksi resiko
operasional ini.
Disamping itu, perhatian juga perlu ditekankan pada resiko aspek manusia,
proses, dan teknologi yang bisa muncul dalam lembaga.Dengan tetap memerhatikan
sumber-sumber munculnya resiko operasional, standar identifikasi dan manajemen yang
dibutuhkan juga perlu dikembangkan. Ketelitian juga perlu ditekankan untuk mengatasi
resiko operasional yang muncul dari departemen atau unit organisasi akibat faktor
manusia, proses, dan teknologi.
8
Pedoman dan aturan juga harus dirinci dengan jelas. Disamping itu, pihak
manajemen juga perlu mengembangkan “katalog resiko operasional” dimana peta dari
proses bisnis dari tiap departemen dalam lembaga terinci dengan jelas. Misalnya, proses
bisnis yang berhubungan dengan nasabah dan investor perlu disusun. Katalog ini tidak
saja dapat mengidentifikasi dan menilai resiko operasional, tetapi juga dapat dipakai
sebagai bukti transparansi oleh pihak manajemen dan auditor.
Resiko operasional memang cukup kompleks sehingga sangat sulit untuk
mengukurnya. Sebagian besar teknik pengukuran resiko operasional yang ada masih
sangat sederhana dan bersifat eksperimental. Namun demikian, bank dapat
mengumpulkan informasi tentang berbagai jenis dari laporan dan rencana yang
dipublikasikan dalam lembaga (seperti laporan audit, laporan pengawasan, laporan
manajemen, rencana bisnis, rencana operasional, tingkat error, dan lain-lain).
Review secara cermat dan hati-hati atas dokumen-dokumen ini dapat menutup
GAP yang merepresentasikan potensi resiko. Data dari laporan-laporan tersebut lebih
lanjut dapat dikategorikan menjadi faktor internal dan faktor eksternal dan dikonversi ke
dalam kemungkinan kerugian lembaga. Sebagian dari resiko operasional juga dapat
terlindungi. Alat untuk menilai, memonitor, dan mengelola resiko di antaranya meliputi
review secara berkala, pengujian (stress testing), dan alokasi modal ekonomi dalam
jumlah yang tepat.
BAB III
PENUTUP
9
3.1 Kesimpulan
Menurut PBI (Peraturan Bank Indonesia) Nomor 11/25/PBI/2009 tantang perubahan
atas PBI No.5/8/2003 tentang penerapan manajemen resiko bagi bank umum bahwa
penerapan manajemen resiko terdiri dari resiko kredit, resiko pasar, resiko likuiditas,
resiko operasional, resiko hukum, resiko kepatuhan, resiko reputasi dan resiko strategik.
Bank Umum Konvensional wajib menerapkan keseluruhan resiko dimaksud
sedangkan Bank Umum Syariah wajib menerapkan paling kurang 4 (empat) jenis resiko
tersebut. Penerapan manajemen resiko yang biasa dikelola oleh perbankan syariah antara
lain manajemen resiko kredit, manajemen resiko suku bunga, manajemen resiko
likuiditas dan manajemen resiko operasional.
Risiko dalam konteks perbankan merupakan suatu kejadian potensial, baik yang
dapat diperkirakan (anticipated) maupun yang tidak diperkirakan (unanticipated) yang
berdampak negatif terhadap pendapatan dan permodalan Bank. Untuk dapat menerapkan
proses manajemen risiko, maka pada tahap awal Bank harus secara tepat mengidentifikasi
risiko dengan cara mengenal dan memahami seluruh risiko yang sudah ada
(inherentrisks) maupun yang mungkin timbul dari suatu bisnis baru Bank, termasuk risiko
yang bersumber dari perusahaan terkait dan afiliasi lainnya.
10