Anda di halaman 1dari 11

MANAJEMEN risiko PERBANKAN

a. Pengertian risiko perbankan


Perbankan merupakan suatu badan usaha yang menghimpun dana milik masyarakat
dalam bentuk simpanan serta menyalurkannya kepada masyarakat kembali dalam bentuk
kredit ataupun bentuk-bentuk lainnya demi meningkatkan taraf hidup masyarakat itu
sendiri. Sedangakan risiko yang akan ditemui dalam badan usaha ini berupa potensi
kerugian yang akan terjadi akibat suatu peristiwa (events) tertentu.
Resiko yang mungkin terjadi ini merupakan kejadian yang berpotensi berdamapak
negatif pada pendapatan dan permodalan bank, baik yang bisa diperkirakan maupun yang
tidak bisa diperkirakan. Maka dari itu bank harus mampu mengidentifikasi dan memahami
segala kemungkinan risiko yang akan terjadi baik yang sudah ditemui ataupun yang belom
pernah ditemui, termasuk risiko yang bersumber dari cabang dan anak perusahaannya.

b. Risiko yang akan dikelola perbankan melalui PBI


Jenis-jenis risiko berdasar peraturan Bank Indonesia PBI No. 5/8/PBI/2003 besrta
perubahannya pada No. 11/25/PBI/2009 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank
Umum, terdapat 8 (delapan) risiko yang harus dikelola oleh bank.

1. risiko kredit
menurut Bank Indonesia (2003) risiko kredit berupa risiko yang diakibatkan
kegagalan debitur dan ataupun pihak lain dalam memenuhi kewajibannya kepada
Bank. Melalui kententuan perbankan Basel II (penyempurnan dari basel I)
ditetapkan 2 (dua) metode dalam mengukur risiko kredit,yang pertama yaitu
dengan cara Standar Approach yang menggunakan berat risiko dari external rating
dan yang kedua menggunakan Internal Rating Based (IRB) yang memungkinkan bank
dalam menentukan parameter pengukurannya sendiri seperti probability of default,
loss given default, recovery rate yang disesuaikan dengan portofolio kredit yang
dimilikinya (Bank for International Settlement, 2005).
2. risiko pasar
risiko pasar yaitu risiko yang terjadi pada saat posisi neraca dan rekening
administratif juga termasuk transaksi derivatif, yang mengakibatkan perubahan
secara keseluruhan pada kondisi pasar, termasuk pada risiko perubahan harga
option (Bank Indonesia, 2003).
Risiko pasar ini dapat diukur melalui Value at Risk (VaR) 5 yang mana
probabilitas estimasi dari kerugian portofolio berdasar pada analisis statistik dari
trend harga historis serta volatilitas (Korna Risk Management, 2010).
Risiko ini dapat muncul karena harga pasar yang bergerak condong ke arah
kerugian, dan merupakan gabungan yang terbentuk akibat dari perubahan suku
bunga, perubahan nilai tukar serta hal lainnya yang mempengaruhi harga pada
pasar saham, ekuitas ataupun komoditas.
Ada dua jenis risiko pasar, yang pertama yaitu spesific market risk dimana risiko
akan terjadi karena adanya perubahan harga atas suatu sekuritas tertentu, yang
kedua general market risk dimana risiko dapat diakibatkan karena perubahan harga
suatu instrumen moneter tertentu (Kasidi, 2010: 66).
3. isiko likuiditas
berupa risiko yang diakibatkan ketidakmampuan pada Bank dalam memenuhi
Kewajibannya yang jatuh waktu pada sumber pendanaan arus kas dan/atau dari
aset likuid berkualitas
tinggi yang dapat digunakan tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan bank
itubsendiri (Bank
Indonesia, 2003). Risiko likuiditas dibagi menjadi dua macam, yaitu risiko likuiditas
aset
(market liquidity risk) berupa dimana suatu transaksi tidak dapat dilaksanakan pada
harga pasar akibat
besarnya nilai transaksi relatif terhadap besarnya pasar dan risiko likuiditas
pendanaan, dan (cash flow
risk) yaitu risiko yang terjadi pada ketidakmampuan memenuhi kewajiban jatuh
tempo sehingga mengakibatkan
likuidasi.

4. Resiko oprasional
menurut Bank Indonesia (2003) risiko opersional yaitu risiko yang diakibatkan
karena adanya ketidakcukupan ataupun tidak berfungsinya proses internal,
kesalahan manusia, kegagalan sistem, atau adanya problem eksternal yang
mempengaruhi operasional pada bank. Pengelolaan manajemen risiko pada risiko
operasional memiliki tujuan berupa meminimalkan kemungkinan dampak negatif
tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem ataupun
kejadian-kejadian eksternal (Allen dan Bali, 2007).
5. risiko hukum,
menurut Bank Indonesia (2003) risiko hukum yaitu risiko yang diakibatkan karena
adanya tuntutan hukum dan kelemahan aspek yuridis. Kelemahan aspek yuridis
antara lain disebabkan karena adanya tuntutan hukum, tidak adanya peraturan
perundang-undangan yang mendukung atau kelemahan pada perikatan seperti
misal tidak dipenuhinya syarat sahnya suatu kontrak. Risiko ini akan muncul saat
bank tidak mau mematuhi atau tidak mau melaksanakan peraturan perundang-
undangan dan ketentuan-ketentuam yang berlaku.
6. risiko reputasi
Resiko reputasi berupa risiko yang diakibatkan menurunnya tingkat kepercayaan
pada stakeholder yang bersumber dari persepsi negatif/buruk terhadap bank.
Pengelolaan manajemen risiko reputasi memiliki tujuan untuk mengantisipasi dan
meminimalkan dampak kerugian dari risiko reputasi pada bank (Bank Indonesia,
2011)
7. risiko stratejik
Risiko stratejik yaitu risiko yang muncul akibat ketidaktepatan pada pengambilan
atau pelaksanaan suatu keputusan strategi serta kegagalan dalam mengantisipasi
perubahan lingkungan pada bisnis (Bank Indonesia, 2003). Pengelolaan manajemen
risiko stratejik memiliki tujuan untuk memastikan proses manajemen risiko dapat
meminimalkan kerugian serta dampak negatif dari ketidaktepatan pengambilan
keputusan stratejik.
8. risiko kepatuhan
Risiko kepatuhan sensiri menurut Bank Indonesia (2003) yaitu risiko yang
diakibatkan karena bank tidak mematuhi atau tidak melaksanakan peraturan
perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku. Pengelolaan manajemen risiko
kepatuhan ini memiliki tujuan untuk memastikan proses manajemen risiko dapat
meminimalkan kemungkinan dampak negatif akibat perilaku bank yang
menyimpang atau melanggar standar pada perundang-undangan yang berlaku
secara umum.

Bank harus mengambil langkah-langkah sistematis demi mengelola risiko yang


mungkin akan timbul dari kegiatan usahanya yang mencakup 8 risiko yang telah
ditetapkan oleh BI tersebut,hal ini dilakukam agar bank dapat menjalankan kegiatan
usahanya dengan tata kelola yang baik dan benar (good corporate governance).

c. Urgensi pengelolaan risiko pada perbankan


Manajemen risiko pada perbankan berupa rangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan
untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang memiliki kemungkinan
akan timbul pada kegiatan usaha bank. Penerapan manajemen risiko inj memiliki tijuan untuk
menghindari suatu kerugian baik kecil maupun besar yang disebabkan oleh terjadinya risiko atau
peristiwa. Masalah krusial pada stabilisasi sektor keuangan pada perbankan ini yaitu meningkatkan
kemampuan bank dalam mengelola risiko kredit, risiko pasar maupun risiko operasional yang
berhubungan dengan kemampuan bank dalam menyerap kemungkinan terjadinya kerugian akibat risiko
tersebut dalam bentuk kecukupan modal minimum yang mengacu pada prinsip Basel II

Ada tiga hal penting dalam manajemen risiko perbankan, yang seharusnya harusnya diperhatikan
oleh kalangan pengelola dan pemilik bank, yaitu prosedur yang lengkap, kontrol internal, dan faktor
sumber daya manusianya. Risiko terbesar pada sektor kredit, kemudian baru risiko pasar serta
operasional. Namun, ada juga tingkat keamanan yang memerlukan dukungan sistem keamanan lebih
yaitu pada risiko transaksi, dan bukan hanya keputusan manajemen seperti terlihat pada pemberian
kredit yang tidak memenuhi syarat. Risiko transaksi nasabah, lebih dilihat dari bagaimana kegiatan itu
didukung oleh sistem keamanan yang cukup untuk mencegah terjadinya fraud, serta difasilitasi pada
sistem keamanan, baik hardware maupun software .
Peran BI cukup keras dalam mendesak agar bank segera menerapkan manajemen risiko iki.
Penerapan manajemen risiko yang dimaksud berupa melakukan perhitungan Aktiva Tertimbang
Menurut Risiko (ATMR). Untuk itu, pada 1 Januari 2005, Bank Indonesia menerapkan peraturan , dimana
bank yang belum melaksanakan sesuai dengan ketentuan serta batas waktu yang ditentukan akan
dikenakan sanksi dengan denda sebesar Rp 1 juta per hari dan pembatasan kegiatan usaha bank
bersangkutan, misal pelarangan pembukaan cabang baru.

secara formal direksi dan manajemen bank bertanggung jawab pada penerapan kebijakan
manajemen risiko yang efektif dan juga harus mempertimbangkan sasaran serta kebijakan pada
perbankan, kompleksitas modal bisnis, serta kemampuan bank dalam mengelola bisnisnya. Bank di
Indonesia juga diharuskan memiliki operasi bisnis yang kompleks terutama bank-bank yang bergerak
dalam bidang trading mata uang serta obligasi kredit dalam valuta asing dan sekuritas, harus memiliki
struktur yang lebih kompleks dibandingkan bank yang hanya memiliki bisnis tabungan dan pinjaman
yang sederhana.

d. Basel I dan basel II


1. Basel I
Basel Accord pertama atau Basel I dikeluarkan pada tahun 1988. Basel I hanya berfokus
pada kecukupan modal lembaga keuangan. Risiko kecukupan modal adalah risiko yang akan
ditanggunb oleh lembaga keuangan terhadap kerugian yang tidak terduga, terbagi dalam lima
kategori risiko, yaitu 0%, 10%, 20%, 50% dan 100%.

Namun pada Basel I pada bank yang beroperasi pada tingkat internasional wajib
memenuhi kebutuhan Rasio Modal Minimal Bank atau CAR sebesar 8%.

Kategori risiko 0% terdiri dari kas, bank sentral serta utang pemerintah, dan setiap
organisasi juga bekerjasama pad ekonomi dan pembangunan atau Organization for Economic
Cooperation and Development (OECD).

Utang sektor publik ditempatkan di kategori 0%, 10%, 20% atau 50% kategori,
tergantung dari pada debitur.

Utang bank untuk pembangunan, OECD utang perusahaan sekuritas, utang bank non-
OECD yang jatuh tempo di bawah satu tahun, utang sektor publik non OECD dan cash masuk
dalam kategori 20%.

Kategori 50% adalah kredit perumahan, dan kategori 100% diwakili oleh utang swasta,
utang bank non-OECD (jatuh tempo lebih dari satu tahun), real estate, pabrik dan peralatan, dan
instrumen modal ditempatkan di bank lain.
Bank harus menjaga modal paling tidak sedikitnya 8% dari aktiva tertimbang menurut
risikonya. Misalnya, jika bank memiliki aset tertimbang menurut risiko sebesar US$ 100 juta,
maka diperlukan kecukupan modal minimal US$ 8 juta.

Rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) diperoleh dengan
menggunakan rumus: (Modal : aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR) x 100%. Modal terdiri
dari Modal Inti (Tier 1) dan Modal Pelengkap (Tier 2), di mana besarnya Modal Pelengkap yang
diperhitungkan maksimal 100% dari besarnya Modal Inti. Jika dimasukan risiko pasar dan risiko
operasional, maka kedua risiko ini akan menambah ATMR.

rumusan target rasio modal yang ditetapkan sebesar 8% dari aset berbobot risiko.
Target rasio modal bisa dirumuskan berikut ini :

Eligible capital
Target resiko modal = x 100% = 8%
Risk weight assets

Peraturan dari BCBS tidak memiliki kekuatan hukum. Anggota komite bertanggungjawab
terhadap pelaksanaannya di negara mereka masing-masing.

Peraturan rasio modal minimum terhadap aset berisiko sebesar 8% untuk dilaksanakan
pada akhir 1992. Pada September 1993, BCBS menyatakan bank di negara-negara anggota
dengan cakupan bisnis internasional, telah memenuhi syarat minimum tersebut.

2. Basel II

Basel II merupakan pembaruan dari Basel I yang dikluarkan oleh BCBS pada tahun 2004.
Peraturan basel II ini berfokus pada tiga pilar, yaitu :
● pilar persyaratan modal minimum,
● pilar pengawasan peraturan serta
● pilar disiplin pasar,
pilar-pilar ini bertujuan untuk mendorong perbankan yang sehat. Persyaratan modal minimum
menjadi hal yang sangat penting pada peraturan basel II ini, dan bank juga wajib menjaga rasio
kecukupan modal minimumnya di angka 8% dibawahnya.

Sebelum adanya Basel Accord peraturan perbangkan pada setiap negara yang
tergabunh G10 berbeda beda. Sehingga dengan adanya kerangka terpadu Basel I dan Basel II
membantu meringankan kecemasan negara-negara anggota terhadap perbedaan peraturan
perbankan dan persyaratan modal yang berbeda-beda di tiap negara. Pada negara-negara yang
tergabung diG10, penerapan Basel II ini dimulai pada akhir tahun 2006. Namun, setiap negara yg
tergabung memiliki prioritas berbeda dalam pengembangan pengawasannya masing-masing.
Pada basel II perhitungan kebutuhan modal sesuai dengan profil risiko bank,
memberikan insentif bagi peningkatan kualitas dalam praktik manajemen risiko di
perbankan.Dalam Basel II, perhitungan modal bank termuat dalam Pilar I Minimum Capital
Requirement. Dalam berbagai alternatif pendekatan dapat dikelompokkan menjadi dua
kelompok besar, yaitu pendekatan standar diberlakukan untuk seluruh bank dan model yang
dikembangkan secara internal sesuai karakteristik kegiatan usaha dan profil risiko individual
pada bank (internal model) sehingga lebih sophisticated.

Penyempurnaan kerangka risiko pasar BCBS sejatinya telah beberapa kali dilakukan.
Pada tahun 2009 BCBS menerbitkan penyempurnaan Basel II dengan konsep Basel 2.5.

Penilaian terhadap stabilitas sektor finansial suatu negara tidak akan didasarkan pada
pelaksanaan Basel tapi lebih didasarkan pada pemenuhan negara tersebut terhadap 25 Basel
Core Principles for Effective Banking Supervision (BCP).

Untuk hal ini, pemenuhan Indonesia terhadap BCP selalu menunjukkan arah yang selalu
meningkat dari tahun ke tahun.

Dalam rangka penerapan Basel 2.5 di Indonesia, BI di tahun 2013 (kala itu pengawasan
perbankan masih di bawah BI) telah mengkaji ulang regulasi khususnya terkait risiko pasar dan
sekuritisasi dengan mempertimbangkan magnitude exposure dan risiko yang dimiliki bank saat
itu.

BI juga telah membentuk kelompok kerja (working group) bersama perbankan untuk
mendapatkan rekomendasi pengaturan yang tepat dalam pembahasan substansi Basel II.
Rekomendasi ini diformulasikan dalam bentuk consultative paper (CP).

e. Manajemen risiko perbankan indonesia


Ada bebwrapa proses yang dapat digunakan untuk pengelolaan manajemen risiko pada bank
yaitu dengan mengidentifikasi, pengukuran, pemantauan, pengendalian risiko pada sistem
informasi manajemen risiko. Pada identifikasi risiko berupa pengertian macam-macam
risikonya,serta seluruh kegiatan yanv dilakukan oleh bank untuk menganalisa sumber dan penyebab
munculnya risiko serta dampaknya (Goyal, 2010). Selanjutnya bank juga perlu melakukan
pengukuran risiko sesuai dengan karakteristik dan kompleksitas kegiatan usahanya. Selain itu,
efektivitas penerapan pasa manajemen risiko perlu didukung oleh pengendalian risiko dengan
mempertimbangkan hasil pengukuran dan pemantauan risiko (Bank Indonesia, 2011). Identifikasi
risiko pada perbankan dapat dilakukan dengan menganalisa berbagai sumber risiko pada produk
dan aktivitas bank, juga memastikan bahwa risiko dari produk dan aktivitas yang baru kuha telah
melalui proses manajemen risiko yang layak sebelum diterapkan.
Pengelolaan manajemen risiko yang selanjutnyadengan cara pengukuran risiko ink wajib
dilakukan secara berkala baik untuk produk, portofolio maupun seluruh aktivitas bisnis lainnya pada
bank. Pengukuran risiko dapat dilakukan dengan menggunakan 2 metode, yaitu kuantitatif dan
kualitatif.

Selanjutnya pengelolaan manajemen risiko dengan cara pemantauan risiko, pemantauan ini
dilakukan pada bank dilakukan dengan mengharuskan penyiapan suatu sistem back-up dan
prosedur yang efektif demi mencegah terjadinya gangguan dalam proses pemantauan risiko dan
melakukan pengecekan secara berkala pada sistem back-up tersebut. Dalam pemantauan risiko,
bank wajib menerapkan prosedur pemantauan yang mencakup besarnya eksposur risiko, toleransi
risiko serta hasil stress test (Bank Indonesia, 2011).

Pengelolaan manajemen risiko dengan proses pengendalian , harus memadai penerapannya


pada setiap bank, mengacu pada kebijakan dan prosedur yang telah diterapkan, dan disesuaikan
dengan eksposur risiko maupun tingkat risiko yang akan diambil. Melalui lampiran surat edaran
nomor 13/23/DPNP, Bank Indonesia (2011) menyatakan bahwa pengendalian risiko dapat dilakukan
oleh bank dengan cara mekanisme lindung nilai, penambahan modal bank untuk mengurangi
potensi kerugian dan metode mitigasi seperti penerbitan garansi, sekuritas aset, kredit derivatif.

Lada tahun 2012 bank Indonesia mencatat perkembangan ekspansi atas kredit semakin lama
semakin besar, di tahun 2009 besar ekspansi kredit perbankan sejumlah Rp 133.100,4 sedangkan
pada tahun 2010 ekspansi kredit perbankan naik menjadi Rp 334.673,1 pada 2011 ekspansi kredit
perbankan kembali nakk di angka yang mencapai Rp 457.672,1 . Semakin besar ekspansi kredit dan
aktivitas lain perbankan per tahunnya secara langsung akan berdampak terhadap risiko kredit bank
yang besar pula, seperti pada risiko kredit macet yang berpeluang besar sehingga menyebabkan
bank mengalami kerugian. Oleh karena itu, sejalan dengan penerapan standar Basel II pada
perbankan global, Bank Indonesia ditahun 2010 mempublikasikan perubahan peraturan yang lama
tentang penerapan manajemen risiko bagi bank umum menjadi lebih kompleks dari peraturan
sebelumnya, dengan cara setiap bank diwajibkan untuk mengelola risiko kreditnya, menerapkan
manajemen risiko khususnya pada manajemen risiko kredit dan wajib melaporkannya dalam bentuk
laporan tahunan bank, sehingga dengan adanya pengelolaan manajemen risiko kredit, peluang atas
kredit macet dapat ditekan atau menjadi minimal.

Selanjutnya, pengelolaan manajemen risiko pada pasar, dimana pengelolaan manajemen risiko
pasar ini bertujuan meminimalkan kemungkinan dampak yang akan merugikan akibat perubahan
kondisi pasar, terhadap aset dan permodalan bank. Pengelolaan manajemen risiko pasar meliputi
pengelolaan risiko suku bunga, risiko nilai tukar, risiko ekuitas dan risiko komoditas. Hal ini
diperlukan bagi perbankan di Indonesia, untuk dapat mengantisipasi masalah dengan melakukan
pengembangan secara terus-menerus terhadap model yang telah digunakan sesuai dengan
peraturan Bank Indonesia dengan pengembangan pengukuran risiko suku bunga yang menggunakan
model pengukuran gap report dimana model ini menyajikan pospos aset, kewajiban dan rekening
administratif yang bersifat interest rate sensitive untuk dipetakan ke dalam skala waktu tertentu
(Bank Indonesia, 2011).
Pada manajemen risiko untuk risiko likuiditas bertujuan meminimalkan kemungkinan
ketidakmampuan bank dalam memperoleh sumber pendanaan arus kas. Berdasarkan analisis Bank
Indonesia (2006) risiko likuiditas yang besar sempat terjadi di perbankan Indonesia, dimana krisis
keuangan global yang dipicu oleh subprime mortage yang tanpa diduga telah membawa risiko
likuiditas menjadi isu terpenting dalam otoritas perbankan. Krisis keuangan yang terjadi pada tahun
2007 menjadi salah satu dari krisis yang terparah dan dampak kerugian bagi lembaga keuangan
serta perekonomian global.

Oleh sebab itu, perlu adanya identifikasi risiko likuiditas secara best practice di semua bank.
Selain itu, juga perlu adanya penyempurnaan bingkai kerja regulasi dan pengawasan/pemantauan
manajemen risiko likuiditas yang memperhatikan perkembangan best practice dan standar
internasional dalam rangka memperkuat penerapan manajemen risiko serta merespon krisis
keuangan global. Dengan demikian, pengelolaan manajemen risiko untuk risiko likuiditaspun dapat
di minimalkan ketidak mampuan banknya dalam memperoleh sumber pendanaan.

Pada pengelolaan manajemen risiko atas operasional tidak terlepas dari sumber daya manusia
(SDM), proses internal, sistem dan infrastrukur, serta kejadian eksternal yang mana dari sumber
risiko-risiko tersebut menyebabkan kejadian yang berdampak negatif atau merugikan pada
operasional bank. Adapun masalah-masalah risiko operasional seperti misal fraud internal, fraud
eksternal, praktek ketenagakerjaan dan keselamatan lingkungan kerja, perlindungan nasabah,
produk dan penerapan bisnis, kerusakan aset fisik, gangguan aktivitas bisnis dan kegagalan sistem
dan kesalahan proses dan eksekusi.

Untuk mengatasi masalah-masalah yang terjadi tersebut, Bank Indonesia (2011) melalui
lampiran surat edarannya tentang pedoman penerapan manajemen risiko secara umum
menjelaskan bahwasannya bank harus melakukan identifikasi dan measurement terhadap
parameter yang mempengaruhi eksposur risiko operasional, antara lain kejadian-kejadian/masalah
risiko operasional dengan mengembangkan suatu basis data. Untuk mengukur parameter risiko
operasional, metode yang dapat digunakan oleh bank, antara lain Risk Control Self Assessment
(RCSA), risk mapping, Key Risk Indicator (KRI), scorecards, event analysis, matriks frekuensi,
metodologi kuantitatif dan metodologi kualitatif. Selain itu, bank juga harus melakukan monitoring
terhadap risiko operasional bank secara berkelanjutan terhadap seluruh eksposur risiko operasional
caranya dengan menerapkan sistem pengendalian intern dan menyediakan laporan berkala
mengenai kerugian yang diakibatkan oleh risiko operasional serta menerapkan pengendalian risiko
operasional dengan mengembangkan program untuk memitigasi risiko operasional dengan cara
pengamanan proses teknologi informasi, asuransi dan alih daya pada sebagaian kegiatan
operasional bank.

Pengelolaan penerapan manajemen risiko yang selanjutnya adalah pengelolaan penerapan


manajemen risiko atas risiko hukum. Penerapan manajemen risiko untuk risiko hukum memiliki
tujuan untuk memastikan bahwa proses manajemen risiko dapat meminimalkan kemungkinan
dampak negatif dari kelemahan aspek yuridis, ketiadaan dan/atau perubahan peraturan
perundangundangan dan proses litigasi (Bank Indonesia, 2011). Permasalahan risiko hukum yang
sering dialami oleh perbankan di Indonesia adalah lemahnya perikatan yang dilakukan oleh bank,
peraturan perundang-undangan yang sudah tidak sesuai dengan kegiatan usaha dan proses
transaksi bank dan proses litigasi baik yang muncul dari gugatan pihak ketiga terhadap bank maupun
bank terhadap pihak ketiga.

Untuk memperkecil masalah risiko hukum, maka Bank Indonesia perlu menerapkan manajemen
risiko dengan pengelolaan dimana bank diwajibkan menganalisis seluruh sumber risiko hukum dari
aktivitas bank serta memastikan bahwa risiko hukum dari aktivitas bank telah melalui proses
manajemen risiko yang layak dan dilakukan secara berkala. Selain itu, bank juga diharuskan
memantau dan mengendalikan risiko hukum dengan melakukan review secara terus-menerus
terhadap kontrak dan perjanjian antara bank dengan pihak lain, dengan cara melakukan penilaian
kembali terhadap efektivitas kontrak dan perjanjian tersebut (Bank Indonesia, 2011).

Dalam pengelolaan manajemen risiko pada risiko stratejik, bank diharuskan mengidentifikasi
analisis risiko stratejik yang membutuhkan banyak sumber daya yang berisiko tinggi, seperti strategi
masuk ke pangsa pasar yang baru, strategi akuisisi atau strategi diversifikasi dalam bentuk produk
dan jasa. Bank juga harus mengukur risiko stratejik dengan menggunakan indikator atau parameter
berupa tingkat kompleksitas strategi bisnis bank, posisi bisnis bank di 15 industri perbankan dan
pencapaian rencana bisnis. Selain itu, bank juga harus memantau serta mengendalikan
pengembangan implementasi strategi secara berkala dengan lebih meperhatikan pengalaman
kerugian di masa lalu yang disebabkan oleh risiko stratejik.

Selanjutnya dalam pengelolaan manajemen risiko kepatuhan melalui proses penerapan


manajemen risiko. Dalam pengelolaan ini bank sebelumnya harus mengidentifikasi faktor-faktor
yang dapat meningkatkan eksposur kredit. Bank diharuskan mengukur risiko kepatuhan
menggunakan indikator/parameter berupa jenis, signifikansi dan frekuensi pelanggaran terhadap
ketentuan atau standar yang berlaku. Setelah itu, bank juga wajib me-monitoring serta
mengendalikan risiko kepatuhan dengan memastikan bahwa bank memiliki tingkat kepatuhan yang
memadai terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam pengelolaan penerapan manajemen risiko reputasi, bank harus mencatat setiap kejadian
yang terkait dengan risiko reputasi bank seperti jumlah potensi kerugian yang diakibatkan oleh
kejadian tersebut. Bank juga wajib memantau serta mengendalikan risiko reputasi bank supaya
kelemahan pengendalian dan prosedur yang memicu terjadinya risiko reputasi bank dapat diatasi.

f. karakteristik bisnis chase manhattan


chase manhtattam adalah bank dengan bisnis global yang mencangkup 3 kelompok bisnis besar, seperti
terlihat di bawah ini :

bank global
 bank global : perdagangan mengawali pembelian kredit, underwrite, riset bagi valuta asing,
dericatif, dan pasar instrumen tetap.
 Chase capital partners :investasi saham privat (individu).
 Global investment banking : pendanaan sindikasi penasehat marjer dan akuisisi, underwrite
sekuritas yeld tinggi (resiko tinggi), penemtapan privat (private placement)
 Crporate lending and portfolio management: jasa kredit dengan tekanan mengawali pemberian
kredit dengan distribusi.
 Global private bank : pelayanan bank untuk orang kaya ( jutawan)

National consumers services

 Cahse card member service : pemberia dan pelayanan kartu kredit (pemrosesan penjual barang
dagangan )
 Regional consumer banking : pelayanan bank untuk bisnis kecil dan ritel (consumer) di New York
dan Texas
 Chase home finance : pemberian dan pelayanan pinjaman mortgage (seperti KPR)
 Difersified consumer services : pemberian danpelayanan pinjaman otomotif dan leasing, kerdit
mahasiswa, produk investasi.
 Middle maekets :pelayanan keuangan untuk perusahaan menengah di New York dan Texas.

Global services

 Global investor services : pelayanan kustodian dan pelayanan investor dan pelayanan investor
lainnya kepada manjer investasi, mutual fund, dan lainnya
 Chase treasury solution : manajemen kas, teasur, dan pelayanan investor lainnya kepada
perusahaan, agen pemerintah.
 Capital maekets fiducuary services : jasa pemrosesan untuk penerbit sekuritas.

Pengeluaran (revenue) dan laba berdasarkan kelompok segemn yang dilihat sebagai berikut :

segmen penjualan Laba


Global services 13,3% 9,10%
Consumer services 42,2% 29,10%
Global bank 44,5% 61,80%

Sebagai bank besar, kegiatan bisnis Chase Manhattan lebih luas dibandingkan dengan kegiatan bisnis
perbankan konvensional. Bank ini menjual sebagian besar kreditnya hingga (hampir 90%). Chase
kemudian mendapatkan pendapatannya dari fee (komisi) untuk memulai (credit initiation) dan melayani
(servicing) kredit tersebut. Melalui cara inj, di lain sisi bisa mengurangi risiko kredit, Chase juga bisa
menghemat modal yang dipakai untuk jalannya bisnis (modal tidak perlu terikat pada kredit yang
diberikan). Hampir separuh dari laba Chase berasal pada kegiatan pasar modal dan investasi saham
individu (private equity investment). Hal ini menjadikan eksposur Chase terhadap risiko pasar menjadi
cukup besar. Untuk mengelola risiko chase menversifikasi dan pengendalian yang kuat. Bagian penting
dari proses pengendalian adalah komite manajemen risiko. Di samping diversifikasi dan pengendalian
yang kuat, Chase meluncurkan konsep Shareholder Value Added, yang kemudian menjadi salah satu
kunci manajemen risiko di Chase.

Anda mungkin juga menyukai