NIM : 170440014
MANAJEMEN RISIKO/ V-A
TUGAS RESUME
Risiko pasar didefinisikan sebagai risiko kerugian pada posisi neraca serta pencatatan tagihan
dan kewajiban di luar neraca yang timbul akibat pergerakan harga pasar. Variabel pasar antara
lain adalah suku bunga, nilai tukar, risiko komoditas dan risiko ekuitas. Risiko pasar ini dapat
berupa perubahan nilai dari aset yang dapat diperdagangkan atau disewakan.
Risiko pasar yang timbul akibat pergerakan harga pasar, dapat berupa naik turunnya posisi
rupiah terhadap valuta asing, harga saham dan sukuk, dan harga-harga komoditas terhadap nilai
ekonomi riil dari aset yang dimiliki bank Islam. Apapun asetnya, bank Islam akan menghadapi
risiko ini ketika aset yang dimiliki bank Islam tidak dipegang hingga jatuh tempo, namun hanya
dipegang hingga periode waktu tertentu. Untuk terkena dampak risiko pasar, bank Islam tidak
harus terlibat dalam aktivitas transaksi aktif. Dalam posisi pasif sekalipun, bank dapat terkena
dampaknya seperti pada risiko nilai tukar mata uang.
Berbeda dengan bank konvensional, bank Islam tidak dibolehkan terlibat dalalm transaksi
spekulatif yang mengandung gharar, dan maysir (judi). Selain itu, bank Islam juga tidak
diperbolehkan bertransaksi pada produk yang mengandung riba, seperti instrumen berpendapatan
tetap (obligasi, SBI, deposito, dan sejenisnya). Artinya, jika bank Islam benar-benar mematuhi
prinsip syariah, sadar atau tidak sadar, mereka telah melakukan mitigasi risiko pasar.
Pada bank konvensional, sumber risiko pasar terbesar diperoleh dari kegiatan mengambil
profit yang agresif, lazimnya melalui transaksi jangka pendek dan berrisiko tinggi, seperti
transaksi derivative. Sebagai contoh: a. Bank membeli sukuk negara dengan kupon tetap, di
mana harga pasar obligasi akan turun apabila imbal hasil pasar meningkat; b. Bank membeli
USD dengan nilai dalam valuta rupiah akan menurun apabila nilai tukar USD melemah; c. Bank
melakukan aktivitas trading atau jual beli surat berharga.
Bank syariah harus membentuk proses manajemen resiko pasar dan sistem informasi
yang sehat dan komprehensif yang berisikan antara lain sebagai berikut:
a. Kerangka konseptual untuk mendorong identifikasi resiko pasar yang mendasarinya
b. Pedoman untuk pengelolaan aktivitas pengambilan resiko pada portofolio yang berbeda
pada investasi terbatas dan limit resiko pasarnya
c. Kerangka penentuan harga tepat, penilaian dan pengakuan pendapatan
d. Sistem informasi manajemen (SIM) yang kuat untuk pengendalian, pemantauan, dan
pelaporan eksposur resiko pasar dan kinerja manajemen senior.
Pengukuran resiko merupakan kegiatan untuk mengetahui besar atau kecil suatu resiko
yang akan terjadi. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui dan melihat tinggi rendahnya risiko
yang akan dihadapi bank. Kemudian dampak itu bisa dilihat dan risiko penyebabnya yang mana
paling relevan. Pengukuran risiko merupakan tahap lanjutan setelah mengidentifikasi risiko.
Dimana pengidentifikasian resiko tersebut untuk mengetahui kemungkinan munculnya resiko
secara sistematis dan berkesinambungan. Hal tersebut dilakukan menetukan relative risiko, untuk
mendapatkan informasi yang akan menolong untuk kombinasi peralatan manajemen risiko yang
cocok dalam menanganinya.
Bagian-bagian yang harus di ukur yaitu:
1. Frekuensi atau jumlah kejadian yang terjadi dan yang akan timbul. Seberapa besar
kemungkinan itu artinya suatu prihal atau peristiwa yang kejadiannya menimbulkan loss
2. Keparahan dari kerugian dan besarnya kerugian yang terjadi artinya berapa besar
kerugian yang di alami. Jadi dalam hal ini tingkat keparahan (reverity) atau kegawatan
dari kerugian-kerugian tersebut sampai seberapa besar pengaruhi perusahaan terutama
kondisi financialnya.
3. Dampak keseluruhan dari kerugian-kerugian yaitu kerugian yang ditanggung sendiri
(diretensi), jadi tidak hanya dari nilai rupiahnya saja.
Tujuan dari evaluasi risiko adalah memahami karakteristik risiko dengan lebuh baik. Jika
risiko sudah dipahami dengan lebih baik, maka risiko tersebut akan lebih mudah untuk
dikendalikan. Caranya dengan mempelajari karekteristik risiko tersebut, melakukan pengukuran
terhadap risiko dengan mengembangkan ukuran besar kecil risiko itu. Mengukur dampak risiko
tersebut terhadap organisasi dengan menggunakan evaluasi dan pengukuran risiko.
Ada beberapa jenis pengukuran risiko :
1. Pengukuran Kegawatan Kerugian
Untuk mengetahui berapa besarnya nilai kerugian, yang selanjutnya dikaitkan dengan
pengaruhnya terhadap kondisi perusahaan, terutama kondisi finansialnya.
a) Kemungkinan kerugian maksimum dari setiap peril (Suatu peristiwa (event) yang
kejadiannya menimbulkan LOSS atau penyebab langsung kerugian).
b) Probalilitas kerugian maksimum dari setiap peril (Suatu peristiwa (event) yang kejadiannya
menimbulkan LOSS atau penyebab langsung kerugian ).
c) Keseluruhan (aggregat) kerugian maksimum setiap tahunnya
Untuk mengetahui berapa kali suatu jenis peril (Suatu peristiwa (event) yang kejadiannya
menimbulkan LOSS atau penyebab langsung kerugian) dapat menimpa suatu jenis objek yang
bisa terkena peril (Suatu peristiwa (event) yang kejadiannya menimbulkan LOSS atau penyebab
langsung kerugian) selama suatu jangka waktu tertentu, yang umumnya satu tahun. Maka yang
perlu diperhatikan yaitu :
a) Beberapa jenis kerugian yang dapat menimpa suatu objek.
b) Beberapa jenis objek yang dapat terkena suatu jenis kerugian
Pada setiap kejadian yang merugikan, biasanya ada dampak yang langsung dan dampak yang
tidak langsung. Untuk mengukur kerugian langsung yang ditimbulkan oleh suatu kejadian yang
merugikan ada beberapa konsep yang dapat digunakan, yaitu antaranya nilai perolehan.
Selanjutnya untuk mengukur kerugian tidak langsung antara lain adanya tambahan biaya
misalnya berupa biaya sewa dan berkurangnya pendapatan. Sebagian kerugian langsung sangat
sulit untuk ditentukan.
Dalam mengantisipasi dampak negative dari risiko pasar, Bank dapat menerapkan
beberapa strategi. Ada 3 strategi yang dapat diterapkan dalam mengatasi risiko pasar ini,
a) Matched Book Strategy.
Posisi bank dibuat selalu ‘square’, sehingga risiko yang tersisa adalah beda waktu saat
transaksi dengan nasabah dilakukan dan saat upaya ‘squaring’ dilakukan.
b) Mengelola posisi dengan melakukan covering deals atau hedging dengan wewenang
trading desk yang dapat melakukan trade saat menguntungkan tapi terbatas (market risk
limit).
c) Market Maker untuk produk tertentu.
Strategi ini memerlukan pasar yang likuid dan market maker lainnya untuk meng-cover
risiko. (Ludi Harjanto)
Definisi Resiko Likuiditas itu sendiri adalah risiko terjadinya kerugian yang merupakan
akibat dari adanya kesenjangan antara sumber pendanaan yang pada umumnya berjangka pendek
dan aktiva yang pada umumnya berjangka panjang. Besar kecilnya risiko likuiditas ditentukan
antara lain:
a) Melaksanakan monitoring secara harian atas besarnya penarikan dana yang dilakukan
oleh nasabah baik berupa penarikan melalui kliring maupun penarikan tunai.
b) Melaksanakan monitoring secara harian atas semua dana masuk baik melalui incoming
transfer maupun setoran tunai nasabah.
c) Membuat analisa sensitivitas likuiditas Bank terhadap skenario penarikan dana
berdasarkan pengalaman masa lalu atas penarikan dana bersih terbesar yang pernah terjadi dan
membandingkannya dengan penarikan dana bersih rata-rata saat ini. Dari analisa tersebut dapat
diketahui tingkat ketahanan likuiditas Bank.
d) Selanjutnya Bank menetapkan secondary reserve untuk menjaga posisi likuiditas Bank,
antara lain menempatkan kelebihan dana ke dalam instrumen keuangan yang likuid.
e) Menetapkan kebijakan Cash Holding Limit pada kantor-kantor cabang Bank.
Melaksanakan fungsi ALCO (Asset & Liability Committee) untuk mengatur tingkat bunga
dalam usahanya dan meningkatkan/menurunkan sumber dana tertentu.
6. Implementasi pada Lembaga Keuangan Syariah
Penerapan sistem manajemen risiko pada perbankan syariah sangat diperlukan. Baik untuk
menekan kemungkinan terjadinya kerugian akibat risiko maupun memperkuat struktur
kelembagaan, misalnya kecukupan modal untuk meningkatkan kapasitas, posisi tawar dan
reputasinya dalam menggaet nasabah. Kewajiban penerapan manajemen risiko oleh Bank
Indonesia (BI) yang disusul oleh ketentuan kecukupan modal dan menambah beban
perhitungannya yang dinilai sejauh ini cukup kompleks,telah memberikan kontribusi penting
bagi kelangsungan usaha perbankan nasional.
Manajemen risiko sangat penting bagi stabilitas perbankan,hal ini karena bisnis perbankan
serat berhubungan dengan risiko. Dalam kegiatannya,baik menghadapi berbagai risiko,seperti
risiko kredit (pembiayaan),risiko pasar dan risiko operasional. Manajemen risiko yang baik bagi
bank bisa memastikan bank akan selamat dari kehancuran jika keadaan terburuk terjadi.
Penerapan manajemen risiko pada perbankan mempunyai sasaran agar setiap potensi kerugian
yang akan datang dapat diidentifikasi oleh manajemen sebelum transaksi, atau pemberian
pembiayaan dilakukan. Dan konsep manajemen risiko yang terintegrasi, diharapkan mampu
memberikan suatu sort and quick report kepada board of director guna mengetahui risk
exposure yang dihadapi bank secara keseluruhan.
Contoh studi kasus pada bank BCA :
Dalam kurun waktu 3 tahun terakhir, sektor perbankan Indonesia dihadapkan pada
peningkatan jumlah kredit bermasalah (Non-Performing Loans – NPL) di tengah masih
berlangsungnya proses pemulihan perekonomian nasional. Rasio NPL industri perbankan
meningkat dari 1,8% pada akhir tahun 2013 menjadi 2,5% pada akhir tahun 2015 dan 2,9% pada
akhir tahun 2016. Meskipun masih perlu mewaspadai risiko peningkatan kredit bermasalah,
namun terlihat bahwa tekanan tersebut mulai mereda di triwulan IV 2016 dan rasio NPL masih
berada pada level yang terkendali. Menutup tahun 2016, BCA berhasil membukukan portofolio
kredit sebesar Rp 415,9 triliun, meningkat 7,3% dibandingkan tahun sebelumnya.
Kualitas portofolio kredit melalui penerapan manajemen risiko kredit yang prudent dan
menerapkan early warning system untuk memantau perubahan kemampuan bayar debitur dan
mengambil langkah-langkah preventif untuk mencegah terjadinya kredit bermasalah. Secara
periodik BCA memantau kinerja usaha maupun kinerja keuangan para debitur dan segera
mengambil tindakan yang dipandang perlu apabila debitur mengalami kesulitan usaha maupun
kesulitan keuangan. Apabila diperlukan BCA akan melakukan restrukturisasi atas kredit yang
dimiliki oleh debitur yang mengalami kesulitan keuangan tetapi masih memiliki usaha yang solid
dalam jangka panjang. Sebagian besar restrukturisasi yang dilakukan adalah dalam bentuk
perpanjangan jangka waktu pengembalian pinjaman sehingga beban angsuran nasabah dapat
berkurang. BCA tetap memperhatikan aspek komersial atas restrukturisasi kredit yang
dilaksanakan. Nilai kredit yang direstrukturisasi adalah sebesar Rp 6,5 triliun. Outstanding kredit
yang direstrukturisasi tersebut relatif minimal dan merupakan 1,6% dari total portofolio kredit.
DAFTAR REFERENSI
https://media.neliti.com/media/publications/223772-urgensi-manajemen-pengawasan-risiko-
bank.pdf
http://repository.uinsu.ac.id/595/4/BAB%20II%20JUREID.pdf
https://www.ojk.go.id/id/kanal/perbankan/regulasi/surat-edaran-ojk/Documents/SAL%20-
%20LAMPIRAN%201%20SEOJK%20MANAJEMEN%20RISIKO%20FINAL.pdff
http://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/jurnal-akuntansi/article/download/280/204
https://www.ojk.go.id/id/regulasi/Documents/Pages/POJK-Tentang-Penerapan-Manajemen-
Risiko-Bagi-Lembaga-Jasa-Keuangan-Non-
Bank/POJK%201.%20Penerapan%20Manajemen%20Resiko%20Bagi%20Lembaga%20Jasa%2
0Keuangan%20Non-Bank.pdf
https://www.bca.co.id/id/Tentang-BCA/~/media/EA067D6B98204288AFC484C3358DF2F4.ashx