6.1 Pendahuluan
Stabilitas Keuangan diartikan sebagai suatu situasi yang ditandai oleh harga aset
stabil dan tidak adanya krisis keuangan, di mana kepentingan pasar ditransmisikan
dengan mudah ke suku bunga (Issing, 2003).
Antara stabilitas keuangan dan stabilitas moneter, keduanya memilik sifat :
- Saling melengkapi (compliment), atau
- Saling berlawanan satu sama lain (pengganti/substitute)
Yang berarti terdapat trade-off antara keduanya
- Dimensi cross-section
- Dimensi time-series
Secara empiris, variasi dalam penggunaan bauran instrumen didasari oleh beberapa
pertimbanan atau tujuan sebagai berikut (Balino and Zamalloa, 1997 ).
Satu hal yang paling peniting adalah bagaimana upaya untuk ‘membauran’ atau
mengoordinasikan penggunaan isntrumen-instrmen tersebut agar dapat meningkatkan
efektifitas kebijakan dalam mendukung perkembangan perekonomian secara luas. Hal ini
mengingat masing-masing instrumen memiliki karakteristik teknis dan dampak (timing dan
magnitude) yang berbeda.
Kerangka Bauran Kebijakan Moneter dan Makroprudensial Sebelum dan Sesudah Krisis
Terdapat contoh bauran isntrumen yang dapat diterapkan untuk mendukung peran
instrumen suku bunga, yaitu giro wajib minimum (reserve requirement – RR). Perubahan RR
dalam mata uang domestik sering dlihat sebagai bagian dari instrumen untuk pelaksanaan
kebijakan moneter atau kebijakan nilai tukar. Sebagaimana fenomena yang terjadi dinegara
berkembang dalam merespons derasnya arus masuk modal asing, fokus utamanya adalah
pada penggunaan RR untuk memoderasi siklus keuangan.
1. Countercyclical Buffer Tujuan: Kebijakan CCB ditujukan untuk melindungi bank dari
perilaku ambil risiko berlebihan (tercermin dari penyaluran kredit berlebihan) pada
saat ekonomi ekspansi.
2. Loan to Value Ratio (LTV) untuk KPR Tujuan: Kebijakan LTV berupaya menjaga
sektor properti, sebagai salah satu sektor pendorong pertumbuhan ekonomi, tumbuh
secara berkelanjutan dalam jangka menengah dan panjang, melalui mitigasi risiko
sistemik melalui pengendalian risiko kredit, menghambat motif spekulasi pembelian
properti dengan memanfaatkan kredit perbankan, dan memperkuat manajemen risiko
bank.
3. Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) Tujuan: Rasio Intermediasi
Makroprudensial (RIM) dikembangkan untuk memperkuat fungsi intermediasi serta
mendorong pendalaman pasar keuangan dengan memasukkan aspek kepemilikan
bank atas surat-surat berharga (SSB) dalam rasio Loan to Funding (LFR).
4. Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) Tujuan: Penyangga Likuiditas
Makroprudensial (PLM) merupakan cadangan likuiditas sebesar prosentase tertentu
dari DPK untuk mengatasi permasalahan prosiklikalitas likuiditas perbankan.
5. Rasio Kredit UMKM Tujuan: Pengaturan rasio penyaluran kredit UMKM minimal
oleh perbankan ditujukan untuk mengatur intermediasi serta mendorong financial
inclusion.
5. Komunikasi Kebijakan
Komunikasi dalam konteks integrasi kebijakan moneter dan makroprudensial
merupakan hal yang sangat krusial, namun sekaligus sebuah tantangan yang tidak
ringan.
1. Pertama, menyampakan “pesan” ke pasar tentang bahaya berkembangnya ketidak
seimbangan disektor keuangan ketika kondisi ekonomi sedang baik adalah sesuatu
yang sulit. Karena pesan itu sangat tidak populer ditengah optimisme dari pelaku
pasar. Respons kebijakan moneter melalui kenaikan suku bunga ditengah tidak
adanya tekanan inflasi secara ekonomi politik susah untuk diterima karena bank
sentral dapat dianggap membahayakan pertumbuhan dan kepentingan rakyat.
2. Kedua, ketidakpastian ekonomi kedepan yang sangat tinggi terutama selama
periode turning point dalam siklus ekonomi merupakan tantangan tersendiri bagi
komunikasi kebijkan.
Mandat makroprudensial paling tepat dilaksanakan oleh Bank Sentral. Hal ini
disebabkan oleh:
Sumber : Kebijakan Makroprudensial, Bank Indonesia (2018)