Anda di halaman 1dari 17

LINKAGE STABILITAS MONETER DAN SISTEM KEUANGAN

6.1 Pendahuluan
Stabilitas Keuangan diartikan sebagai suatu situasi yang ditandai oleh harga aset
stabil dan tidak adanya krisis keuangan, di mana kepentingan pasar ditransmisikan
dengan mudah ke suku bunga (Issing, 2003).
Antara stabilitas keuangan dan stabilitas moneter, keduanya memilik sifat :
- Saling melengkapi (compliment), atau
- Saling berlawanan satu sama lain (pengganti/substitute)
Yang berarti terdapat trade-off antara keduanya

6.2 Perilaku Sektor Keuangan dan Efektivitas Kebijakan Moneter


Karena sifatnya yang prosiklikal, sektor keuangan berpotensi memperburuk
ketidakstabilan makroekonomi dengan memperkuat fluktuasi output. Karakteristik
prosiklitas dari sektor keuangan inheren disebabkan oleh sejumlah faktor
- Pertama, adanya asimetri infornasi di pasar keuangan memicu akselerator keuangan
- Kedua, prosiklikalitasjuga dapat muncul sejalan dengan karakteristik dan regulasi
sektor keuangan, yang pada dasarnya bersifat prosikiikal. Misalnya, aturan tentang
modal dan provisioning memberikan persyanatan yang lebih lunak pada bank selama
periode boom ekonomi atau fase
Keterkaitan Stabilitas Moneter-Keuangan dan Mekanisme Transmisi
Kebijakan Moneter
Gambar ini menjelaskan cara kerja mekanisme transmisi kebijakan moneter, ketika
dihadapkan pada persepsi risiko (risk taking). Pada saat perekonomian berada pada fase
ekspansi, di mana ditandai dengan stabilitas makroekonomi dan peningkatan
pertumbuhan, kepercayaan investor menjadi optimis saat menilai perekonomian. Hal ini
akan mendorong perilaku risk taking oleh investor, yang dipicu oleh ekspansi kebijakan
moneter, yang pada akhirnya akan meningkatkan permintaan kredit dan harga aset.
Terjadinya perubahan di sektor keuangan, sebagaimana tercermin dalam penyesuaian
variabel keuangan (stabilitas keuangan), memengaruhi hasil agregat, seperti pertumbuhan
ekonomi dan lapangan kerja, yang secara langsung terkait dengan stabilitas moneter.
Di sinilah keterkaitan antara stabilitas keuangan dan stabilitas moneter terjadi.
Lingkungan makroekonomi yang sehat dan stabilitas moneter bidirectional feedback
dengan stabilitas sistem keuangan. Setiap perkembangan pada stabilitas moneter dan
keuangan akan dipertimbangkan oleh pembuat kebijakan moneter melalui aturan
feedback kebijakan makroprudensial, yang diamati di bawah kerangka stabilitas keuangan.
Dalam perspektif kebijakan tersebut, guna memperkuat kerangka stabilitas moneter
dan sistem keuangan, bank sentral harus lebih fleksibel dan kreatif ketika menanggapi
ketidakpastian yang muncul dalam perekonomian dan berpikir diluar persepsi publik.
Fleksibilitas semacam itu tidak hanya terkait dengan preferensi penyesuaian dalam
mengendalikan inflasi dan mengelola makroekonomi di satu sisi, peran stabilitas sistem
keuangan di sisi lain, tetapi juga penting untuk mengatasi potensi konflik atau “trade-off”
antara target stabilitas moneter dan sistem keuangan itu sendiri.

6.3 Integrasi Kebijakan Moneter dan Makroprudensial


6.3.1 Peran Kebijakan Makroprudensial
Kebijakan makroprudensial adalah instrumen regulasi prudensial yang
ditujukan untuk mendorong stabilitas sistem keuangan sccara keseluruhan, bukan
kesehatan lembaga keuangan secara individu. Secara analogi, kebijakan
mikroprudensial adalah instrurnen regulasi prudensial yang ditujukan untuk menjaga
kesehatan lembaga keuangan secara individu. ”Macroprudential policy seeks to
develop, oversee, and deliver appropriate policy response to the financial system as a
whole. It aims to enhance the resilience of/he financial system and to dampen sistemic
risks that spread through the financial system” (The G-30). Dengan demikian,
kebijakan makroprudensial digunakan untuk mencegah terjadinya siklus boom-bust
suplai kredit dan likuiditas yang dapat menyebabkan ketidakstabilan perekonomian.
Dengan peran menjaga stabilitas suplai intermediasi keuangan ini, kebijakan
rnakroprudensial mempunyai peran yang menunjang tujuan kebijakan moneter dalam
menjaga stabilitas harga dan output.

Implementasi Kebijakan Makroprudensial di Sejumlah Negara

Dua dimensi penting dalam kebijakan makroprudensial :

- Dimensi cross-section
- Dimensi time-series

6.3.2 Integrasi Kebijakan Moneter dan Makroprudensial


Untuk memperkuat kerangka stabilitas moneter dan stabilitas sistem
keuangan diperlukan integrasi atau sinergi kebijakan moneter dan makroprudensial
yang tepat. Dengan peran countercyclicaly yang dimiliki, kebijakan
makroprudensial mempunyai peran yang menunjang tujuan kebijakan moneter
dalam menjaga stabilitas harga dan output.
Kerangka Integrasi Kebijakan Moneter dan Makroprudensial

Kebijakan Moneter dan Makroprudensial dalam Meredam Prosiklikalitas

6.4 Bauran Instrumen Kebijakan


Instrumen Kebijakan

A. Memperkuat ketahanan permodalan dan mencegah leverage yang berlebihan


B. Mengelola fungsi intermediasi dan mengendalikan risiko kredit, risiko likuiditas,
risiko nilai tukar, dan risiko suku bunga, serta risiko lainnya yang berpotensi menjadi
risiko sistemik
C. Membatasi konsentrasi eksposur (exposure concentration)
D. Memperkuat ketahanan infrastruktur keuangan
E. Meningkatkan efisiensi sistem keuangan dan akses keuangan

6.4.1 Tujuan Bauran

Secara empiris, variasi dalam penggunaan bauran instrumen didasari oleh beberapa
pertimbanan atau tujuan sebagai berikut (Balino and Zamalloa, 1997 ).

1. Pertama, untuk menjamin pencapaian tujuan pengendalian moneter dalam mengatasi


gejolak yang menggaggu permintan dan penawaran reserve bank-bank.
2. Kedua, untuk melakukan penyesuaan dan adaptasi instrumen dan prosedur operasi
sejalan dengan kendala kelembagaan yang mempengaruhi bekerjanya suatu instrumen.
3. Ketiga, untuk mencapai tujuan-tujuan kebijkaan lan yang dianggap penting dan
sekaligus mendorong bekerjanya mekanisme transmisi kebijakan moneter.
4. Keempat, untuk menyesuakan diri terhadap lingkungan kebijakan ekonomi makro,
terutama tipe razim moneter dan nilai tukar. Mengikuti prinsip Tinbergen (Timbergen
rule) bahwa satu instrumen tidak bisa digunakan untuk menargetkan lebih dari tujuan
maka penerapan bauran instrumen menjadi penting manakala perubahan perubahan
lingkungan ekonomi dan tantangan yang menyertainya turut mendorong perluasan
cakupan tujuan kebijakan yang diinginkan oleh pengambil kebijakan.

Satu hal yang paling peniting adalah bagaimana upaya untuk ‘membauran’ atau
mengoordinasikan penggunaan isntrumen-instrmen tersebut agar dapat meningkatkan
efektifitas kebijakan dalam mendukung perkembangan perekonomian secara luas. Hal ini
mengingat masing-masing instrumen memiliki karakteristik teknis dan dampak (timing dan
magnitude) yang berbeda.

6.4.4 Variasi Respons Bauran Kebijakan


Kompleksitas permasalahan akibat krisis keuangan global 2008/09 menjadikan peningkatan
kadar peran kebijkaan moneter, yang tidak hanya terkait dengan stabilitas moneter, namun
juga memperhitungkan stabilitas sistem keuangan. Walaupun kebijakan moneter penting
dalam mengendalikan ketidakseimbangan di sektor keuangan, hal tersebut tidak berarti
bahwa stabilitas harg aset juga menjadi target eksplisit kebijakan moneter. Hal tersebut
mengingat bahwa kebijakan moneter sendiri tidak mampu mengendalikan harga aset,
terutama ketika spekulasi harga aset mendorong kenaikan harga aset yang menyebabkan
imbal hasil dari aset tersebut sangat tinggi.

Kerangka Bauran Kebijakan Moneter dan Makroprudensial Sebelum dan Sesudah Krisis

Sumber : Yuliati et.al. (2020)

Contoh bauran instrumen kebijakan (Loan-toValue)


Penjelasan : Perubahan suku bunga kebijakan tidak akan berpengaruh pada portofolio
investor, terutama untuk investasi dipasar keuangan. Kenaikan suku bunga kebijakan yang
bersifat “across the board ” akan menyebabkan “overkill ” terhadap perekonomian secara
keselurhan. Salah satu contoh instrumen makroprudensial yang dapat diterapkan dalam
melengkapi kebijakan suku bunga, dalam pengelolaan perkembangan harga aset adalah loan-
tovalue (LTV), yaitu rasio dana yang dipinjam untuk pembelian suatu properti terhadap nilai
pasar yang wajar dariproperti tersebut, yang secara substansif bertujuan untuk mencegah
bubble aset disektor perumahan..

Bauran instrumen juga diterapkan dalam mengatasi komplikasi permasalahan yang


menyertai perlambatan (penundaan) proses pemulihan ekonomi negara –negara maju,
mendorong derasnya aliran modal asing masuk ke emerging countries. Pada beberapa negara,
seperti China, India, dan indonesia, fenomena aliran masuk modal asing mempersulit upaya
pengelolaan likuiditas dipasar uang dalam negeri yang mengalami ekses cukup tinggi. Ekses
likuiditas yang cenderung tinggi juga berpotensi mendorong akselerasi pertumbuhan kredit
dan tekanan inflasi dari sisi moneter. Dengan permasalahan yang cukup kompleks tersebut,
perupa gangguan pada keseimbangan ekstrnal (external imbalances) dan keseimbangan
internal (internal imbalances), peran instrumen suku bunga menjadi sangat terbatas.
Peningkatan suku bunga sebagai langkah pengendalian likuiditas perekonomian oleh
bank sentral pada ahirnya akan direspons kembali (offest) oleh dorongan aliran masuk modal
asing yang cukup signifikan, yang menyebabkan upaya untuk mengelola stabilitas makro
ekonomi menjad tidak efektif. Fenomena offesting tersebut terjad isecara berulang
sebagimana suatu ‘lingkaran setan’ (vicious circle of capital inflaws). Dalam kondisi tersebut,
transmisi kebijakan moneter melalui jalur suku bunga akan mengalami kendala, terutama
pada bekerjanya ‘term strukture interest rate hypothesis’. Dalam hal ini, perkembangan
besaran moneter, termasuk kredit, cenderuk inelastis terhadap perkembangan bunga. Jika
suatu suku bunga digunakan sebagai instrmen penendalian moneter, kompleksitas
permasalahan mensyaratkan menggunakan instrumen lain (non suku bunga) sebagai
pendukung untuk mencapai tujuan kebijakan moneter secara optimal.

Terdapat contoh bauran isntrumen yang dapat diterapkan untuk mendukung peran
instrumen suku bunga, yaitu giro wajib minimum (reserve requirement – RR). Perubahan RR
dalam mata uang domestik sering dlihat sebagai bagian dari instrumen untuk pelaksanaan
kebijakan moneter atau kebijakan nilai tukar. Sebagaimana fenomena yang terjadi dinegara
berkembang dalam merespons derasnya arus masuk modal asing, fokus utamanya adalah
pada penggunaan RR untuk memoderasi siklus keuangan.

Implementasi kewenangan Bank Indonesia di bidang makroprudensial  Diatur dalam


Peraturan BI (PBI) No.16/11/PBI/2014 tanggal 1 Juli 2014

Instrumen yang telah diimplementasikan

1. Countercyclical Buffer Tujuan: Kebijakan CCB ditujukan untuk melindungi bank dari
perilaku ambil risiko berlebihan (tercermin dari penyaluran kredit berlebihan) pada
saat ekonomi ekspansi.
2. Loan to Value Ratio (LTV) untuk KPR Tujuan: Kebijakan LTV berupaya menjaga
sektor properti, sebagai salah satu sektor pendorong pertumbuhan ekonomi, tumbuh
secara berkelanjutan dalam jangka menengah dan panjang, melalui mitigasi risiko
sistemik melalui pengendalian risiko kredit, menghambat motif spekulasi pembelian
properti dengan memanfaatkan kredit perbankan, dan memperkuat manajemen risiko
bank.
3. Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) Tujuan: Rasio Intermediasi
Makroprudensial (RIM) dikembangkan untuk memperkuat fungsi intermediasi serta
mendorong pendalaman pasar keuangan dengan memasukkan aspek kepemilikan
bank atas surat-surat berharga (SSB) dalam rasio Loan to Funding (LFR).
4. Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) Tujuan: Penyangga Likuiditas
Makroprudensial (PLM) merupakan cadangan likuiditas sebesar prosentase tertentu
dari DPK untuk mengatasi permasalahan prosiklikalitas likuiditas perbankan.
5. Rasio Kredit UMKM Tujuan: Pengaturan rasio penyaluran kredit UMKM minimal
oleh perbankan ditujukan untuk mengatur intermediasi serta mendorong financial
inclusion.

6.4.3 Aspek Teknis Dalam Implementasi

Dalam implementasibauran instrmen kebijakan, terdapat beberapa aspek yang perlu


dipertimbangkan agar bauran instrumen kebijakan optimal, diantaranya :

1. Sinyal yang Perlu Direspons


Dalam perspektif kebijakan forward loking, respon kebijakan harus diarahkan untuk
mengantisipasi sinyal potensi gangguan pada keseimbangan makroekonomi ke depan.
Respons kebijakan mungkin tidak perlu dlakukan apabila hanaya terjadi gejolak yang
bersifat temporer. Pengalaman krisis menunjukan bahwa sejumlah indikator atau
analisis dapat digunakan untuk membimbing respons kebijakan melalui
kemampuanya untuk memetakan ketahanan, ketidak seimbangan, dan resiko sistemik.
Beberapa contoh indikator adalah indikator ketahanan sistem keuangan, indkator
ketahanan makroekonomi, dan indkator resiko sistemik. Umumnya, indkator-indkator
tersebut secara substansif disusun dalam kerangka kerja sistem peringatan dini (early
warning sistem).
2. Karakteristik Respons
Dalam merumuskan respons suatu kebijakan makroprudensial, salah satu isu yang
penting adalah apakah respons akan menggunakan sebuah aturan atau diskresi (rules
us discretion). Seperti halnya dalam kebijakan moneter, selalu ada trade-off antara
menggunakan rules us discretion. Rules memberikan kepastian kepada pelaku pasar
dan kredibilitas kepada bank sentral. Namun, rules yang terlalu kaku menutup
fleksibilitas untuk merespons perubahan-perubahan struktural maupun ketidak pstian
yang sering terjadi dalam pasar keuanan. Sebaliknya, diskresi memberikan ruang
gerak bai bank sentral untuk melihat dmapak kebijakan makropudensial terhadap
sistem keuangan dan perekonomina serta melakukan penyesuaian-penyesuaian
terhadap pendekatan yang digunakan dan melakukan judgment terhadap kebijakan
yang akan diambil kedepan.
3. Timing Implementasi dan Prosiklikalitas
Timing penerapan kebijakan selama siklus ekonomi penting untuk diperhatikan. Hal
ini antara lain karena suatu peraturan makroprudensial seringkali bersifat prosiklikal.
Sejumlah isu lan yang berkatan dengan penerapan kerangka makroprudensual yang
bersifat countercyclical.
1. Pertama, terkait dnegan berapa bobot yang diberikan pada upaya menstabilkan
siklus ekonomi (misalnya GDP), dibandingkan dengan upaya untuk mengelola
siklus sektor keuangan (misalnya kredit dan harga aset).
2. Kedua, terkait dengan siapa yang harus menila siklus (sektor publik atau swasta) ?
sebagaimana diketahui, siklus ekonomi bersifat unobservable, dan metode untuk
memperkirakanya banyak berkaitan dengan ketidak pastian sehingga
memungkinkan munculnya keragaman pendapat.
3. Ketiga, terkait dengan ketepatan waktu tindakan.
4. Keempat, terkait dengan apakah rasio kehati-hatian harus tetap atau bergerak
dengan siklus.

4. Efektifitas dan Kalibrasi Langkah Kebijakan


Efektifitas bekerjanya suatu instrmen kebijakan akan memengaruhi kalibrasi pilihan
langkah kebijakan yang dianggap sesuai. Studi mengenai hasil kalibrasi kebijakan
makropudensial di negara OECD (Barrell, 2010) menunjukan bahwa secara umum
kebijakan makropudensial dapat digunakan untuk mengatasi resiko ekonomi makro
yang dihadapi oleh bakn, dan sekaligus menurnkan probabilitas terhjadinya krisis.

5. Komunikasi Kebijakan
Komunikasi dalam konteks integrasi kebijakan moneter dan makroprudensial
merupakan hal yang sangat krusial, namun sekaligus sebuah tantangan yang tidak
ringan.
1. Pertama, menyampakan “pesan” ke pasar tentang bahaya berkembangnya ketidak
seimbangan disektor keuangan ketika kondisi ekonomi sedang baik adalah sesuatu
yang sulit. Karena pesan itu sangat tidak populer ditengah optimisme dari pelaku
pasar. Respons kebijakan moneter melalui kenaikan suku bunga ditengah tidak
adanya tekanan inflasi secara ekonomi politik susah untuk diterima karena bank
sentral dapat dianggap membahayakan pertumbuhan dan kepentingan rakyat.
2. Kedua, ketidakpastian ekonomi kedepan yang sangat tinggi terutama selama
periode turning point dalam siklus ekonomi merupakan tantangan tersendiri bagi
komunikasi kebijkan.

Implikasi pada Mandat Kebijakan Bank Sentral

1. Penyesuaian Mandat dan Konsekuensinya pada Tata Kelola Kebijakan


Bank sentral harus semakin memperkuat fungsi stabilitas sistem keuangan untuk
memastikan perekonomian dan sistem keuangan berada dalam kondisi yang stabil
baik dari sisi makroekonomi maupun sektor keuangan. Penekanan mandat bank
sentral untuk menjaga stabilitas sistem keuangan memiliki konsekuensi pada
tata kelola kebijakan. Tata kelola kebijakan stabilitas sistem keuangan belum
sepenuhnya dapat dipahami karena menimbulkan komplikasi pada format tata kelola
kebijakan bank sentral.
Menurut Crockett pada tahun 2010, beberapa alasan yang mendasari komplikasi pada
tata kelola kebijakan bank sentral:
a. Belum adanya pemahaman terhadap tujuan stabilitas keuangan yang tegas dan
terkuantifikasi
b. Belum terdapat tolak ukur bagaimana menilai keberhasilan bank sentral dalam
memenuhi wewenang untuk menjaga stabilitas keuangan
c. Wewenang kebijakan bank sentral bersifat multidifensi  Cakupan wewenang
yang luas
d. Keputusan terkait dengan stabilistas sistem keuangan bersifat politis,
dibandingkan stabilitas moneter  Hal ini menyebabkan terjadinya kesulitan
dalam menyelaraskan kepentingan independensi dengan respons pada lingkungan
politik yang ada.

Alternatif atas implikasi tersebut adalah dengan menempatkan tanggung


jawab/wewenang untuk menjaga stabilitas sistem keuangan pada kerangka kebijakan
moneter.
- Menjaga kestabilan harga sebagai tujuan utama yang mempengaruhi respons
kebijakan moneter.
- Menetapkan pengelolaan stabilitas sistem keuangan  Menurut svensoon (2010),
terdapat keterkaitan yang sangat erat antara pencapaian stabilitas moneter dan
sistem keuangan. Dimana, stabilitas sistem keuangan mempengaruhi secara
langsung pasar keuangan, dan kondisi pasar keuangan akan mempengaruhi
efektivitas transmisi kebijakan moneter. Salah satunya caranya yaitu penggunaan
kebijakan makroprudensial untuk mengatasi ketidakseimbangan yang terlihat
nyata di pasar kredit dan asset.

2. Mandat Pelaksanaan Kebijakan Makroprudensial dan Mikroprudensial


Kebijakan makroprudensial dan kebijakan mikroprudensial adalah instrumen
pendukung untuk mencapai dan memelihara stabilitas sistem keuangan.
Hal yang paling utama bagi efektivitas bank sentral dalam menjaga kestabilan sistem
keuangan adalah menyelaraskan arus pertukaran dan kualitas informasi antara
pengawasan mikroprudensial dan makroprudensial yakni saling tukar menukar
informasi antara BI dan OJK. Dimana, kebijakan makroprudensial yaitu penggunaan
instrumen mikroprudensial dan penggunaan instrumen kebijakan moneter.

Hasil survei IMF (2010) terhadap 51 negara menunjukkan bahwa mandat


makroprudensial paling banyak berada di bank sentral.
Perbedaan Kebijakan Makroprudensial dan Kebijakan Mikroprudensial

Sumber : Kebijakan Makroprudensial, Bank Indonesia (2018)

MANDAT PELAKSANAAN KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL

Mandat makroprudensial paling tepat dilaksanakan oleh Bank Sentral. Hal ini
disebabkan oleh:
Sumber : Kebijakan Makroprudensial, Bank Indonesia (2018)

Cakupan mandat makroprudensial yakni:


a. Merupakan kewenangan otoritas untuk melaksanakan fungsi dalam mencapai
tujuan
b. Perlu didefinisikan secara eksplisit dalam kerangka hukum (clear mandate)
c. Terdapat 4 kewenangan yang dimiliki oleh otoritas makroprudensial:
 Kewenangan untuk mengatur atau menerbitkan ketentuan; dapat pula dalam
bentuk diskresi
 Kewenangan untuk memperoleh informasi
 Kewenangan untuk mengawasi
 Kewenangan untuk menjamin kepatuhan atas aturan yang telah ditetapkan

Mandat pelaksanaan makroprudensial dibeberapa negara:

- Korea Selatan : Mandat makroprudensial di Bank of Korea (BoK) diberikan


sejalan dengan adanya revisi atas Bank of Korea Act pada Desember 2011, yaitu
melalui penambahan mandat stabilitas sistem keuangan bagi BoK, yang
ditindaklanjuti dengan pembentukan Macroprudential Analysis Departemen
- New Zealand : Kewenangan makroprudensial Selandia Baru terdapat pada
Reserve Bank of New Zealand (RBNZ). Mandat tersebut terdapat pada Reserve
Bank of New Zealand Act 1989 yang menjadi dasar implementasi penerapan
kebijakan makroprudensial dimana RBNZ bertugas dalam menjaga stabilitas dan
tingkat efisiensi sistem keuangan
- Malaysia: Mandat stabilitas sistem keuangan di Malaysia terdapat pada The
Central Bank of Malaysia Act 2009 yang menyatakan bahwa Bank Negara
Malaysia (BNM) yang memegang wewenang stabilitas keuangan
- Irlandia : Mandat kebijakan makroprudensial diberikan kepada The Central Bank
of Ireland berdasarkan The Central Bank Act, 1942.

3. Kejelasan Wewenang dalam Penanganan Krisis


Proses penanganan krisis  Diatur pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016
tentang Pencegahan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK) yang dilakukan
oleh KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan)
a. Meluasnya peran dan inisiatif yang dilakukan berbagai bank sentral dalam
melakukukan resolusi untuk menyelamatkan sistem keuangan domestiknya.
Resolusi dapat berupa faktor waktu atau kecepatan, dimana kebijakan harus
dikomunikasikan secara cepat, efektif, dan mudah dimengerti kepada perlemen.
b. Pelonggaran ketentuan yang dilakukan otoritas dengan tujuan pemulihan sistem
perbankan secara perlahan atau transisi bertahap.
c. Proses koordinasi yang berani, cepat, dan berakurasi tinggi oleh anggota KSSK
(Kementrian Keuangan, BI, OJK dan LPS).
Bagan Pencegahan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPSK) di Indonesia
Penjelasan : Bank Sentral memiliki fungsi strategis (lender of the last resort) dalam rangka
Pencegahan Krisis (Crisis Prevention) dan Penanganan Krisis (Crisis Resolution). Kemudian,
Sistem pengawasan bank dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan yang bertujuan mengawasi
lembaga keuangan Bank agar tidak terjadi penyelewengan kebijakan yang dilakukannya.
Lalu penjaminan Simpanan dilakukan oleh LPS serta politik krisis manajemen dilakukan oleh
semua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).

Berikut adalah gambar peran dari masing-masing KSSK

Anda mungkin juga menyukai