Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Krisis keuangan global 2008/09 membawa implikasi mendasar pada mandat,


kebijakan, dan kelembagaan bank sentral. Dari sisi mandat, bank sentral tidak
bolehlagi hanya fokus pada stabilitas harga tetapi juga perlu mendukung
terjaganya Stabilitas Sistem Keuangan (SSK).

Dari sisi kelembagaan, bank sentral memperkuat kapasitas internal baik


dalam melakukan asesmen, skenario kebijakan, dan proses pengambilan
keputusan untuk mendukung bauran kebijakan tersebut. Bank sentral juga
melakukan koordinasi kebijakan baik dengan pemerintah dalam koordinasi
kebijakan makroekonomi maupun otoritas terkait dalam menjaga stabilitas sistem
keuangan.

Dalam beberapa aspek, hal ini didorong oleh konsensus akademik pada waktu
itu terkait adanya trade-off antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi dalam jangka
pendek dan netralitas kebijakan moneter dalam jangka panjang sesuai sistensis
Keynessian dan Neo-Klasik, seperti dari sisi ekonomi politik, pemfokusan
tersebut merupakan reformulasi kebijakan dan kebijakan reformasi kelembagaan
bank sentral sebagai bagian dari penaganan krisis, termasuk di asia pada krisis
keuangan 1997/98. Dalam kerangka kebijakan moneter dengan sasaran stabilitas
harga, atau terjenal dengan sebutan inflation targeting framework (ITF), menjadi
sangat populer dan banyak dianut di berbagai negara, maju atau Emerging Market
Economies (EMEs).

Krisis keuangan global 2008/09 mengubah cara pandang kebijakan bank


sentral bukan karena kebijakan moneter berdasar ITF justru menurunkan inflasi
pada tingkat yang rendah, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan penurunan suku
bunga di banyak negara. Krisis keuangan juga membawa implikasi lain terhadap
kebijakan bank sentral, yaitu dengan aliran modal asing ke EMEs yang semakin
besar dengan volatilitas yang tinggi karena ekspansi moneter oleh negara maju

1
dalam mendorong pemulihan ekonomi di negaranya. Kondisi semakin
menimbulkan kompleksitas respons kebijakan bank sentral dalam menjaga
stabilitas harga (nilai tukar) serta perlunya mendukung stabilitas sistem keuangan
(SKK) tersebut.

Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, bank sentral


tidak boleh hanya melakukan kebijakan moneter untuk mencapai stabilitas harga
dan stabilitas nilai tukar, tetapi perlu mendukung stabilitas sistem keuangan
melalui pengaturan dan pengawasan makroprudensial terhadap sistem keuangan
dari perspektif makrofinansial dan fokus pada risiko sistemik. Bank sentral juga
perlu menerapkan manjemen aliran madal asing agar tetap memberikan manfaat
maksimal bagi keberlanjutan perekonomian dan tidak menimbulkan risiko
ketidakstabilan makroekonomi dan sistem keungan kerena krisis neraca
pembayaran, krisis utang luar negeri, dan atau krisis pembalikan modal asing
secara mendadak (sudden stop).

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan bauran kebijakan bank sentral ?
2. Bagaimana dimensi konseptual bauran kebijakan bank sentral ?
3. Apa permodalan makroekonomi struktural integrated inflation
targetting ?
4. Permodelan DSGE dan Keterkaitan Makrofinansial Bauran Kebijakan
Bank Sentral?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian
Bauran kebijakan (policy mix) bank sentral pada dasarnya merupakan
integrasi optimal antara kebijakan moneter, kebijakan makroprudensial, dan
manajemen aliran modal asing yang diterapkan bank sentral untuk mencapai
stabilitas harga dan mendukung terjaganya SSK.

B. Dimensi Konseptual Bauran Kebijakan Bank Sentral


Ada beberapa aspek yang menjadi konsepsi dasar bagi kerangka kerja
bauran kebijakan bank sentral:
1. Integrasi Sasaran Stabillitas Harga dan Stabilitas Sistem Keuangan
Perlunya bank sentral mendukung terjaganya SSK, dan karenanya
dewasa ini telah semakin luas dukungan bagi bank sentral untuk
mempunyai mandat gandayaitu mencapai stabilitas harga dan
mendukung SSK.
Pentingnya stabilitas harga sebagai bagian integral dari stabilitas
makro ekonomi dan SSK untuk mendukung pertumbuhan ekonomi
yang berkelanjutan adalah suatu keniscayaan. Salah satu dimensi dari
stabilitas harga adalah terhadap barang dan jasa, lazim disebut dengan
inflasi, yang diukur dengan kenaikan harga atas dasar Indeks Harga
Konsumen (IHK).
Pasar valuta asing di negara EMEs umunya belum berfungsi baik
dan efisien sehingga sering menyebabkan fluktuasi nilai tukar yang
tinggi karena kejutan ekonomi domestik maupun aliran modal asing.
Fliktuasi nilai tukar juga berdampak pada terjaganya SSK melalui
pengaruhnya terhadap neraca lembaga keuangan maupun
perkembangan harga saham dan yield obligasi.

3
2. Konsepsi Pokok Bauran Kebijakan Bank Sentra
Kerangka kebijakan moneter di berbagai bank sentral telah mapan
untuk mencapai stabilitas harga dengan mempertimbangkan trade-off
terhadap pertumbuhan ekonomi. Instrumen yang dipergunakan
umumnya suku bunga dan likuiditas di pasar uang antar bank untuk
memengaruhi permintaan domestik melalui mekanisme transmisi jalur
suku bunga, nilai tukar, uang beredar, kredit, perilaku risiko dan
ekspektasi para pelaku ekonomi.
Kerangka kebijakan moneter yang sudah mapan tersebut dapat
dengan mudah mengakomodasi kebijakan makro prudensial untuk
pengelolaan keseimbangan makro finensial dan resiko sistemik untuk
mendukung terjaganya SSK. Yang diperlukan adalah memperluas
kerangka kebijakan tersebut untuk mencakup keterkaitan mkro
finansial di dalam sistem kauangan.
Dengan pemikiran ini, tiga kerangka dasar prumusan kebijakan di
bawah ini melandasi bangunan pokok dari bauran kebijakan bank
sentral:
1) Kebijakan moneter tetap diarahkan untuk mencapai stabilitas
harga, dengan memberi pertimbangan yang lebih pada harga
aset (finansial dan properti) untuk mendukung terjaganya SSK.
Rumusan kebijakan suku bunga telah mempertimbangkan
pengaruh nilai tukar dalam pencapaian sasaran inflasi melalui
perluasan Taylor Rule. Sementara itu, respon kebijakan suku
bunga terhadap harga aset lainnya, khususnya harga properti,
dilakukan melalui leaning terhadap pergerakan harga aset yang
diperkirakan menyimpang dari fundamentanya.
2) Kebijakan makroprudensial mencakup pengaturan dan
pengawasan terhadap lembaga jasa keuangan dari perspektif
makrofinensial dan berfokus pada resiko sistemik dalam rangka
mendorong SSK. Kebijakan makroprudensial untuk
mengendalikan prosiklisitas keuangan, khususnya boom kredit
dan bousing bubbles, dilakukan antara lain dengan instrumen

4
LTV, DTI, counter-cyclical capital buffer, atau yang lain.
Dalam periode ekonomi sedang meningkat misalnya efektifitas
kebijakan suku bunga untuk mengendalikan ekspansi kredit
yang berlebihan dapat diperkuat dengan penerapan LTV atau
DTI untuk sektor-sektor yang kurang sensitif terhadap susku
bunga seperti sektor properti
3) Manajemen aliran modal asing dapat memperkuat efektifitas
kebijakan moneter untuk mencapai stabilitas harga maupun
efektifitas kebijakan makro prudensial dalam mendukung
terjaganya SSK dari pengaru perekonomian global. Aliran
modal asing berdampak pada nilai tukar, harga aset, likuiditas,
dan perilaku resiko di dalam negeri. Resiko dari folatilitas
aliran modal asing dan utang luar negri tersebut umumnya
meningkat pada periode ekspansi ekonomi dan beriringan
dengan prosiklisitas keuangan dan resiko sistemik yang muncul
di dalamsistem keuangan di dalam negeri. Manajemen aliran
modal asing sangat penting untuk mendukung stabilitaa nilai
tukar dan juga sebagai elemen penting dari upaya pencegahan
krisis neraca pembayaran dan sudden-stop yang sering
menimbulkan krisis keuangan.
3. Mekanisme Transmisi Bauran Kebijakan Bank Sentral
Efektifitas transmisi dari bauran kebijakan bank sentral tersebut
sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan mendukung
terjaganya SSK. Mekanisme transmisi kebijakan moneter dalam
memengaruhi permintaan domestik dan tercapinya srabilitas harga
melalui jalur suku bunga, nilai tukar, harga asset, likuiditas dan uang
beredar, kredit, peilaku resiko, dan ekspektasi para pelaku ekonomi.
Sementara itu dimensi kebijakan pertama dapat berupa kebijakan
moneter manajemen aliran modal, atau kebijakan makroprudensial,
disesuaikan dengan siklus keuangan yang terjadi dan dapat ditargetkan
pada sumber spesifik resiko tertentu terhadap SSK.

5
Dimensi kebijakan kedua dapat berupa pengaturan mikriprudensial
atau makroprudensial, diarahkan untuk memperkuat ketahanan sistem
keuangan terhadap gejola yang mungkin terjadi.
Kenaikan harga asset yang tinggi umunya mendorong ekspamsi kredit
yang tinggi pula hingga terjadi koreksi harga asset dan kemacetan
kredit tersebut.
Kebijakan moneter dapat meningkatkan fluktuasi harga asset dan
nilai tukar, dan karenanya neraca dan nilai kekayaan lembaga
keuangan dan korporasi. Suku bunga rendah dapat mendorong
kenaikan harga asset sebagai nilai jaminan kredit sehingga
meningkatkan akumulasi hutang (leverage) dan boom harga asset,
memperburuk siklus keuangan (IMF,2009).

C. Permodelan Makroekonomi Struktural Integrated Inflation Targetting


Sejumlah studi telah mengembangkan model untuk mendukung perumusan
bauran kebijakan bank sentral. Model-model dimaksud memasukkan keterkaitan
makroinansial dan pengaruh aliran modal asing dalam analisis dan prakiraan
makroekonomi. Sejumlah model dikembangkan bahkan sebelum terjadinya krisis
global dalam kerangka flexible Inflation Targetting Framework (FITF) denga
pendekatan model makroekonomi struktural berdasarkan New-Keynesian Philip
Curve (NKPC).

Disejumlah negara EMEs, pada awalnya pengembangan model dimaksud


untuk mengakomodasi pengaruh aliran modal asing dan nilai tukar dalam
perumusan kebijakan moneter untuk mencapai stabilitas harga. Seperti model
tersebut memasukkan sektoe eksternal, termasuk pengaruh resiko global, dan
perluasan penentuan suku bunga dengan memasukkan nilai tukar riil dalam Taylor
rule.

Pasca krisis keuangan global 2008/09, sejumlah model memasukkan pila


sektor keuangan melalui pengukuran credit gap dan resiko kredit macet untuk
mendukung integrasi kebijakan makro prudensial dalam perumusan kebijakan
moneter dan manajemen aliran modal asing dalam kerangka FIT diatas.

6
1) Dari Flexible ke Integrated Inflation Targeting
Seperti dikemukakan di atas, FITF telah dipraktikkan di bank-bank
sentral khususnya EMEs untuk mengakomodasi pengaruh aliran
modal asing dan nilai tukar dalam perumusan kebijakan moneter
untuk mencapai stabilitas harga. Krisis global kemudian mendorong
bank-bank sentral mambahas bagaimana sebaiknya memasukkan
tujuan SSK dengan tujuan stabilitas harga.
Pendektan pertama mendasarkan pandangan yang berkembang di
negara maju sebelum krisis, sebagai modifikasi dari konsensur
jackson hale. Pendekatan ini berpandangan agar kebijakan moneter
tetap fokus pada stabilita harga, sementara SSK perlu di capai dengan
kebijakan makroprudensil yang efektif dan kredibel.
Pendekatan ini mengakui sangat perlunya pertukaran informasi dan
assesment antara kebijakan moneter dan makroprudensial, terlepas
apakah kedua kebijakan tersebut di bawah komite yang berbeda di
dalam bank sentral atau dalam otoritas berbeda.
Krisis keuangan global 2008/09 telah mengubah pandangan
tersebut ke pandangan kedua atau ke tiga, khususnya dinegara EMEs
dan sejumlah negara maju. Secara umum berbagai studi menunjukkan
bahwa:
Pertama: kebijakan moneter dan makroprudensial saling
memperkuat dalam Leaning Against The Financial Cyclen yang
didorong oleh ekspekstasi optimis berlebihan dan mengendalikan
perilaku resiko.
Kedua: terdapat potensi permasalahan koordinasi karena push-
me,pull-you antara kedua instrumen kebijakan tersebut apabila di
pisah.
Ketiga: memasukkan kebijakan makroprudensial tidak mengubah
dan bahkan memperkaya kerangka kebijakan monetern bank
sentral (smets, 2014) dalam studinya, Cechetti dan Kohler (2012)
menunjukkan bahwa kebijakan suku bunga dan kebijakan
makroprudensial seperti dengan LTV atau permodalan perbankan

7
saling berinteraksi dan memperkuat dalam mempengaruhi kredit
perbankan baik dari sisi permintaan maupun penawaran. Studi ini
menekankan koordinasi kesua instrumen tersebut agar lebih efektif
dan optimal.
Pada dasarnya kebijakan moneter berupaya untuk
menstabilkan sistim keuangan dan memperdalam pasar uang untuk
memperkuat efektifitas proses transmisi moneter. Brunnermeier
dan Sannikov (2012) mengembangkan model keterkaitan erat
antara kabijakan moneter dan SSK dengan mendasarkan pada
friksi finansial dalam mekanisme transmisi moneter. Model ini
menunjukkan bahwa friksi finansial menyebabkab eratnya
keterkaitan antara stabilitas harga dan SSK.
Kondisi keterkaitan antara stabilitas harga dan SSK akan sangat
tergantung pada masing-masing negara
Pertama:
Dalam hal interaksi antara stabilitas harga dan SSK semakin kuat,
efektifitas koordinasi kebijakan moneter dan kebijakan
makroprodensial lebih baik dalam satu lembaga yait di bank
sentral dengan mandat ganda stabilitas harga dan mendukung
SSK.
Kedua:
Jika instrumen kebijakan makro prudensial tidak sepenuhnya
efektif dalam mengendalikan siklus keuangan, kebijakan moneter
dapat memperkuatnya dengan mandat bank sentral untuk
mendukung SSK.
Ketiga:
Dalam hal beban kebijakan moneter untuk mengatasi krisis terlalu
berat, kuat argumentasi untuk memberikan mandat ganda kepada
bank sentral atas stabilitas harga dan SSK. Secara de-facto,
berbagai instrumen kebijakan moneter dapat memperkuat SSK,
misalnya melalui giro wajib minimum dan interpensi di pasar
faluta asing.

8
Respon kebijakan moneter dan makroprudensial akan sangat
tergantung pada analisis makro ekonomi, makrofinansial, dan
mekanisme transmisi tersebut. Berbeda dengan ITF standar atau
FITF dalam kerangka kebijakan yang baru respons kebijakan
ditentukan tidak saja oleh inflatin gap, output gap dan
pertimbangan nilai tukar, tetapi juga oleh kredit gap sebagai proksi
atas ketidakseimbangan makrofinansial.
Bank sentral egara EMEs juga harus mempertimbangkan aspek
kredibilitas dan ekspektasi yang mungkin dapat terpengaruh dari
penerapan kerangka kerja yang baru diatas. Termasuk didalamnya
adalah pertimbangan yang mendasari respon kebijakan tersebut,
khususnya terdapat pengendalian ekspansi kredit perbankan dalam
manjaga SSK dan keberlanjutan perekonomian, tanpa merugikan
tujuan untuk stabilitas harga yang selama ini telah dipahami
dengan baik dari kerangka kebijakan moneter yang ada.
Tantangan yang harus dihadapi bank sentral:
Pertama:
Karena kebijakan bank sentral tidak sepenuhnya dapat mencegah
krisis finansial, terdapat resiko bahwa reputasi bank sentral dapat
rusak sehingga berpengaruh terhadap independensi dan
kredibilitas dalam kebijakan moneternya
Kedua:
Manakala kedua tujuan tesebut sama-sama pentingnya, ketidak
konsistenan dapat terjadi dimana kebijakan makro prudensial tidak
terlalu leaning terhadap boom kredit dan bowsing bubles karena
tekanan politik dan mengantungkan kebijakan moneter untuk
mengatasi sebagian ketidak seimbangan makrofinansiak tersebut.

9
2) Ada tiga dimensi pemodelan yang diperhitungkan dalam pemodelan:
Pertama: respons kebijakan bank sentral dalam mempertimbangkan
stabilitas nilai tukar dalam pencapaian stabilitas harga.
Kedua: respon kebijakan bank sentral dalam mempertimbangkan
harga asset. Dalam kaitan ini respon kebijakan moneter melalui taylor
rule yang diperluas dengan pertimbangan stabilitas harga asset seperti
harga saham dan harga properti, meningkatkan stabilitas
makroekonomi.
Ketiga: respon kebijakan bank sentral dalam mempertimbangkan
SSK. Sejumlah studi menyarankan perlunya kebijakan moneter bank
sentra memasukkan pertumbuhankredit atau resiko ketidak stabilan
sistem keuangan.
Perumusan bauren kebijakan bank sentral mencakup kebijakan
moneter dengan instrumen suku bunga melalui persamaan taylor rule
yang diperluas dengan real exchange rate gap, serta kebijakan makro
prudensial dengan instrumen LTV dan GWM.

3) Perumusan Bauran Kebijakan Bank Sentral


Model makro ekonomi struktur diatas dapat dipergunakan sebagai
kerangka analisis dan prakiraan makroekonomi dan makrofinansial
sebagai dasar untuk perumusan bauran kebijakan moneter, stabilisasi
nilai tukar, dan kebijakan makroprudensial oleh bank sentral.
Beberap aspek penting berikut ini perlu ditekankan dalam rumusan
bauran kebijkan
Pertama:
Untuk dapat merumuskan bauran kebijakan secara pre-emptive
dan forward looking, horizon prakiraan makroekonomi dan
makrofinansial perlu diperpanjang yang umumnya dua tahun
menjadi tiga tahun atau lebih. Hal ini agar: a) mampu mendetekdi
indikasi ketidak seimbangan makrofinansial dalam siklus keuangan
yang umumnya mempunyai periode yang lebih panjang dari siklus
makroekonomi, b) memberikan tenggang waktu yang cukup bagi

10
kebijakan suku bunga dan makroprudensial untuk dapat
mengendalikan ketidakseimbangan makroekonomi dan
makrofinansial tersebut
Kedua:
Penelitian dan pemodelan mendalam diperlukan untuk lebih
memahami keterkaitan makrofinansial dalam memperkuat
perumusan bawran kebijakan bank sentral berdasarkan kerangka
permodelan makroekonomi struktural tersebut.
Pengaruh keterkaitan makrofinansial dari ekspansi kredit
perbankan dan aliran modal asing ditunjukkan dengan
manambahkan variabel kredit gab dan real exchange rate gab.
Ketiga:
Konsistensi dan koordinasi dalam perumusan bawran kebijakan
bank sentral sangatlah penting agar kredibilitas kebijakan moneter
yang selama ini telah kuat tetap dapat dipertahankan seperti
dikemukakan oleh Smets (2014) menekankan pentingnya
konsistensi penerapan kebijakan moneter dan kebijakan
makroprudensial khususnya dalam hal terjadi ketidak sajalanan
antara sasaran stabilitas harga dan SSK agar kredibilitas bank
sentral tetap terjaga.

D. Permodelan DSGE dan Keterkaitan Makrofinansial Bauran Kebijakan


Bank Sentral
Sejumlah bank sentral juga mengembangkan pendekatan DSGE ini
untuk mendukung perumusan bauran kebijakan moneter, kebijakan
makroprudensial, dan manajemen aliran modal asing tersebut.
1. Pendekatan Permodelan Makrofinansial dalam DSGE
Terdapat tiga pendekatan pokok yang banyak dipergunakan dalam
studi yang memasukkan friksi keuangan dalam model DSGE, yaitu:
a) Pendekatan akselerasi keuangan,
b) Pendekatan kendala jamianan dan
c) Melalui permodalan secara ekplisit intermediasi keuangan

11
Untuk memasukkan friksi keuangan dalam pemodelan DSGE perlu
dilakukan dua perubahan dalam standar New Keynessian. Yang pertama adalah
mengubah asumsi pelaku ekonomi homogen (representatif) dengan pelaku yang
heteogen. Yang kedua adalah dengan mengintrodusir asimetri informasi di antara
pelaku ekonomi.

Permodelan DSGE dengan pendekatan akselerasi keuangan dan kendala


jaminan di atas pada awalnya mengasumsikan bahwa peminjaman dapat
memperoleh pendanaan secara lanfsung dari pemberi pinjaman tanpa lembaga
intermediasi.

2. Permodelan Kebijakan Moneter dan Makroprudensial dalam DSGE


Perlu keseimbangan antara kompleksitas struktur dari model DSGE
itu sendiri dengan kepentingan untuk analisis dua kebijakan tersebut.
Dalam kaitan ini permodelan dalam studi makroprudensial dengan model
DSGE. Perusahaan memproduksi barang konsumsi dan investasi
menggunakan tenaga kerja yang dari rumah tangga dan modal. Asset
perbankan adalah kredit kepada perusahaan dan rumah tangga, dan
kewajibannya berupa tabungan dan modal.

Perumusan Bauran Kebijakan Bank Sentral

Perumusan kebijakan moneter dan kebijakan makroprudensial


dengan mempertimbangkan:
a) Sumber kejutan dalam ekonomi, apakah dari kejutan
teknologi atau kejutan permintaan, dan
b) Proses perumusan kedua kebijakan dimaksud, apakah
secara terpisah tidak terkoordinasi atau secara terkoordinasi
dalam suatu bauran.

Hasil analisis sangat berbeda dalam hal fluktuasi makroekonomi


lebih banyak didorong oleh kejutan finansial atau sisi permintaan.
Dalam kondisi demikian, terdapat penguatan signifikan atas stabilitas
makroekonomi dari kebijakan makroprudensialdi atas yang dihasilkan
kebijakan moneter sendiri. Koordinasi kebijakan moneter dan

12
mkroprudensial menghasilkan manfaat yag lebih besar atas stabilitas
makrokonomi (khsusnya output) dan SSK.

Hasil analisis tersebut dapat menjelaskan kenapa banyak negara


yang menerapkan kebijakan makroprudensial, khususnya pasca kritis
global karena kejutan ekonomi dar sisi finansial (negara maju) atau
permintaan (negara EMEs). Perlu dicatat bahwa kebijakan
makroprudensial tidak perlu diperlakukan sebagai substitusi dari
kebijakan moneter, ataupun sebaliknya bahwa keduanya tidak boleh
dipandang sebagai instrumen untuk mengatasi semua permasalahan.

13
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Bauran kebijakan (policy mix) bank sentral pada dasarnya merupakan


integrasi optimal antara kebijakan moneter, kebijakan makroprudensial, dan
manajemen aliran modal asing yang diterapkan bank sentral untuk mencapai
stabilitas harga dan mendukung terjaganya SSK.

Dalam beberapa aspek, hal ini didorong oleh konsensus akademik pada waktu
itu terkait adanya trade-off antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi dalam jangka
pendek dan netralitas kebijakan moneter dalam jangka panjang sesuai sistensis
Keynessian dan Neo-Klasik, seperti dari sisi ekonomi politik, pemfokusan
tersebut merupakan reformulasi kebijakan dan kebijakan reformasi kelembagaan
bank sentral sebagai bagian dari penaganan krisis, termasuk di asia pada krisis
keuangan 1997/98. Dalam kerangka kebijakan moneter dengan sasaran stabilitas
harga, atau terjenal dengan sebutan inflation targeting framework (ITF), menjadi
sangat populer dan banyak dianut di berbagai negara, maju atau Emerging Market
Economies (EMEs).

B. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan, maka dari itu penulis mengharapkan kritik
dan saran dari semua pihak demi perbaikan makalah ini di masa yang akan
datang.

14

Anda mungkin juga menyukai