PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam beberapa aspek, hal ini didorong oleh konsensus akademik pada waktu
itu terkait adanya trade-off antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi dalam jangka
pendek dan netralitas kebijakan moneter dalam jangka panjang sesuai sistensis
Keynessian dan Neo-Klasik, seperti dari sisi ekonomi politik, pemfokusan
tersebut merupakan reformulasi kebijakan dan kebijakan reformasi kelembagaan
bank sentral sebagai bagian dari penaganan krisis, termasuk di asia pada krisis
keuangan 1997/98. Dalam kerangka kebijakan moneter dengan sasaran stabilitas
harga, atau terjenal dengan sebutan inflation targeting framework (ITF), menjadi
sangat populer dan banyak dianut di berbagai negara, maju atau Emerging Market
Economies (EMEs).
1
dalam mendorong pemulihan ekonomi di negaranya. Kondisi semakin
menimbulkan kompleksitas respons kebijakan bank sentral dalam menjaga
stabilitas harga (nilai tukar) serta perlunya mendukung stabilitas sistem keuangan
(SKK) tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan bauran kebijakan bank sentral ?
2. Bagaimana dimensi konseptual bauran kebijakan bank sentral ?
3. Apa permodalan makroekonomi struktural integrated inflation
targetting ?
4. Permodelan DSGE dan Keterkaitan Makrofinansial Bauran Kebijakan
Bank Sentral?
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Bauran kebijakan (policy mix) bank sentral pada dasarnya merupakan
integrasi optimal antara kebijakan moneter, kebijakan makroprudensial, dan
manajemen aliran modal asing yang diterapkan bank sentral untuk mencapai
stabilitas harga dan mendukung terjaganya SSK.
3
2. Konsepsi Pokok Bauran Kebijakan Bank Sentra
Kerangka kebijakan moneter di berbagai bank sentral telah mapan
untuk mencapai stabilitas harga dengan mempertimbangkan trade-off
terhadap pertumbuhan ekonomi. Instrumen yang dipergunakan
umumnya suku bunga dan likuiditas di pasar uang antar bank untuk
memengaruhi permintaan domestik melalui mekanisme transmisi jalur
suku bunga, nilai tukar, uang beredar, kredit, perilaku risiko dan
ekspektasi para pelaku ekonomi.
Kerangka kebijakan moneter yang sudah mapan tersebut dapat
dengan mudah mengakomodasi kebijakan makro prudensial untuk
pengelolaan keseimbangan makro finensial dan resiko sistemik untuk
mendukung terjaganya SSK. Yang diperlukan adalah memperluas
kerangka kebijakan tersebut untuk mencakup keterkaitan mkro
finansial di dalam sistem kauangan.
Dengan pemikiran ini, tiga kerangka dasar prumusan kebijakan di
bawah ini melandasi bangunan pokok dari bauran kebijakan bank
sentral:
1) Kebijakan moneter tetap diarahkan untuk mencapai stabilitas
harga, dengan memberi pertimbangan yang lebih pada harga
aset (finansial dan properti) untuk mendukung terjaganya SSK.
Rumusan kebijakan suku bunga telah mempertimbangkan
pengaruh nilai tukar dalam pencapaian sasaran inflasi melalui
perluasan Taylor Rule. Sementara itu, respon kebijakan suku
bunga terhadap harga aset lainnya, khususnya harga properti,
dilakukan melalui leaning terhadap pergerakan harga aset yang
diperkirakan menyimpang dari fundamentanya.
2) Kebijakan makroprudensial mencakup pengaturan dan
pengawasan terhadap lembaga jasa keuangan dari perspektif
makrofinensial dan berfokus pada resiko sistemik dalam rangka
mendorong SSK. Kebijakan makroprudensial untuk
mengendalikan prosiklisitas keuangan, khususnya boom kredit
dan bousing bubbles, dilakukan antara lain dengan instrumen
4
LTV, DTI, counter-cyclical capital buffer, atau yang lain.
Dalam periode ekonomi sedang meningkat misalnya efektifitas
kebijakan suku bunga untuk mengendalikan ekspansi kredit
yang berlebihan dapat diperkuat dengan penerapan LTV atau
DTI untuk sektor-sektor yang kurang sensitif terhadap susku
bunga seperti sektor properti
3) Manajemen aliran modal asing dapat memperkuat efektifitas
kebijakan moneter untuk mencapai stabilitas harga maupun
efektifitas kebijakan makro prudensial dalam mendukung
terjaganya SSK dari pengaru perekonomian global. Aliran
modal asing berdampak pada nilai tukar, harga aset, likuiditas,
dan perilaku resiko di dalam negeri. Resiko dari folatilitas
aliran modal asing dan utang luar negri tersebut umumnya
meningkat pada periode ekspansi ekonomi dan beriringan
dengan prosiklisitas keuangan dan resiko sistemik yang muncul
di dalamsistem keuangan di dalam negeri. Manajemen aliran
modal asing sangat penting untuk mendukung stabilitaa nilai
tukar dan juga sebagai elemen penting dari upaya pencegahan
krisis neraca pembayaran dan sudden-stop yang sering
menimbulkan krisis keuangan.
3. Mekanisme Transmisi Bauran Kebijakan Bank Sentral
Efektifitas transmisi dari bauran kebijakan bank sentral tersebut
sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan mendukung
terjaganya SSK. Mekanisme transmisi kebijakan moneter dalam
memengaruhi permintaan domestik dan tercapinya srabilitas harga
melalui jalur suku bunga, nilai tukar, harga asset, likuiditas dan uang
beredar, kredit, peilaku resiko, dan ekspektasi para pelaku ekonomi.
Sementara itu dimensi kebijakan pertama dapat berupa kebijakan
moneter manajemen aliran modal, atau kebijakan makroprudensial,
disesuaikan dengan siklus keuangan yang terjadi dan dapat ditargetkan
pada sumber spesifik resiko tertentu terhadap SSK.
5
Dimensi kebijakan kedua dapat berupa pengaturan mikriprudensial
atau makroprudensial, diarahkan untuk memperkuat ketahanan sistem
keuangan terhadap gejola yang mungkin terjadi.
Kenaikan harga asset yang tinggi umunya mendorong ekspamsi kredit
yang tinggi pula hingga terjadi koreksi harga asset dan kemacetan
kredit tersebut.
Kebijakan moneter dapat meningkatkan fluktuasi harga asset dan
nilai tukar, dan karenanya neraca dan nilai kekayaan lembaga
keuangan dan korporasi. Suku bunga rendah dapat mendorong
kenaikan harga asset sebagai nilai jaminan kredit sehingga
meningkatkan akumulasi hutang (leverage) dan boom harga asset,
memperburuk siklus keuangan (IMF,2009).
6
1) Dari Flexible ke Integrated Inflation Targeting
Seperti dikemukakan di atas, FITF telah dipraktikkan di bank-bank
sentral khususnya EMEs untuk mengakomodasi pengaruh aliran
modal asing dan nilai tukar dalam perumusan kebijakan moneter
untuk mencapai stabilitas harga. Krisis global kemudian mendorong
bank-bank sentral mambahas bagaimana sebaiknya memasukkan
tujuan SSK dengan tujuan stabilitas harga.
Pendektan pertama mendasarkan pandangan yang berkembang di
negara maju sebelum krisis, sebagai modifikasi dari konsensur
jackson hale. Pendekatan ini berpandangan agar kebijakan moneter
tetap fokus pada stabilita harga, sementara SSK perlu di capai dengan
kebijakan makroprudensil yang efektif dan kredibel.
Pendekatan ini mengakui sangat perlunya pertukaran informasi dan
assesment antara kebijakan moneter dan makroprudensial, terlepas
apakah kedua kebijakan tersebut di bawah komite yang berbeda di
dalam bank sentral atau dalam otoritas berbeda.
Krisis keuangan global 2008/09 telah mengubah pandangan
tersebut ke pandangan kedua atau ke tiga, khususnya dinegara EMEs
dan sejumlah negara maju. Secara umum berbagai studi menunjukkan
bahwa:
Pertama: kebijakan moneter dan makroprudensial saling
memperkuat dalam Leaning Against The Financial Cyclen yang
didorong oleh ekspekstasi optimis berlebihan dan mengendalikan
perilaku resiko.
Kedua: terdapat potensi permasalahan koordinasi karena push-
me,pull-you antara kedua instrumen kebijakan tersebut apabila di
pisah.
Ketiga: memasukkan kebijakan makroprudensial tidak mengubah
dan bahkan memperkaya kerangka kebijakan monetern bank
sentral (smets, 2014) dalam studinya, Cechetti dan Kohler (2012)
menunjukkan bahwa kebijakan suku bunga dan kebijakan
makroprudensial seperti dengan LTV atau permodalan perbankan
7
saling berinteraksi dan memperkuat dalam mempengaruhi kredit
perbankan baik dari sisi permintaan maupun penawaran. Studi ini
menekankan koordinasi kesua instrumen tersebut agar lebih efektif
dan optimal.
Pada dasarnya kebijakan moneter berupaya untuk
menstabilkan sistim keuangan dan memperdalam pasar uang untuk
memperkuat efektifitas proses transmisi moneter. Brunnermeier
dan Sannikov (2012) mengembangkan model keterkaitan erat
antara kabijakan moneter dan SSK dengan mendasarkan pada
friksi finansial dalam mekanisme transmisi moneter. Model ini
menunjukkan bahwa friksi finansial menyebabkab eratnya
keterkaitan antara stabilitas harga dan SSK.
Kondisi keterkaitan antara stabilitas harga dan SSK akan sangat
tergantung pada masing-masing negara
Pertama:
Dalam hal interaksi antara stabilitas harga dan SSK semakin kuat,
efektifitas koordinasi kebijakan moneter dan kebijakan
makroprodensial lebih baik dalam satu lembaga yait di bank
sentral dengan mandat ganda stabilitas harga dan mendukung
SSK.
Kedua:
Jika instrumen kebijakan makro prudensial tidak sepenuhnya
efektif dalam mengendalikan siklus keuangan, kebijakan moneter
dapat memperkuatnya dengan mandat bank sentral untuk
mendukung SSK.
Ketiga:
Dalam hal beban kebijakan moneter untuk mengatasi krisis terlalu
berat, kuat argumentasi untuk memberikan mandat ganda kepada
bank sentral atas stabilitas harga dan SSK. Secara de-facto,
berbagai instrumen kebijakan moneter dapat memperkuat SSK,
misalnya melalui giro wajib minimum dan interpensi di pasar
faluta asing.
8
Respon kebijakan moneter dan makroprudensial akan sangat
tergantung pada analisis makro ekonomi, makrofinansial, dan
mekanisme transmisi tersebut. Berbeda dengan ITF standar atau
FITF dalam kerangka kebijakan yang baru respons kebijakan
ditentukan tidak saja oleh inflatin gap, output gap dan
pertimbangan nilai tukar, tetapi juga oleh kredit gap sebagai proksi
atas ketidakseimbangan makrofinansial.
Bank sentral egara EMEs juga harus mempertimbangkan aspek
kredibilitas dan ekspektasi yang mungkin dapat terpengaruh dari
penerapan kerangka kerja yang baru diatas. Termasuk didalamnya
adalah pertimbangan yang mendasari respon kebijakan tersebut,
khususnya terdapat pengendalian ekspansi kredit perbankan dalam
manjaga SSK dan keberlanjutan perekonomian, tanpa merugikan
tujuan untuk stabilitas harga yang selama ini telah dipahami
dengan baik dari kerangka kebijakan moneter yang ada.
Tantangan yang harus dihadapi bank sentral:
Pertama:
Karena kebijakan bank sentral tidak sepenuhnya dapat mencegah
krisis finansial, terdapat resiko bahwa reputasi bank sentral dapat
rusak sehingga berpengaruh terhadap independensi dan
kredibilitas dalam kebijakan moneternya
Kedua:
Manakala kedua tujuan tesebut sama-sama pentingnya, ketidak
konsistenan dapat terjadi dimana kebijakan makro prudensial tidak
terlalu leaning terhadap boom kredit dan bowsing bubles karena
tekanan politik dan mengantungkan kebijakan moneter untuk
mengatasi sebagian ketidak seimbangan makrofinansiak tersebut.
9
2) Ada tiga dimensi pemodelan yang diperhitungkan dalam pemodelan:
Pertama: respons kebijakan bank sentral dalam mempertimbangkan
stabilitas nilai tukar dalam pencapaian stabilitas harga.
Kedua: respon kebijakan bank sentral dalam mempertimbangkan
harga asset. Dalam kaitan ini respon kebijakan moneter melalui taylor
rule yang diperluas dengan pertimbangan stabilitas harga asset seperti
harga saham dan harga properti, meningkatkan stabilitas
makroekonomi.
Ketiga: respon kebijakan bank sentral dalam mempertimbangkan
SSK. Sejumlah studi menyarankan perlunya kebijakan moneter bank
sentra memasukkan pertumbuhankredit atau resiko ketidak stabilan
sistem keuangan.
Perumusan bauren kebijakan bank sentral mencakup kebijakan
moneter dengan instrumen suku bunga melalui persamaan taylor rule
yang diperluas dengan real exchange rate gap, serta kebijakan makro
prudensial dengan instrumen LTV dan GWM.
10
kebijakan suku bunga dan makroprudensial untuk dapat
mengendalikan ketidakseimbangan makroekonomi dan
makrofinansial tersebut
Kedua:
Penelitian dan pemodelan mendalam diperlukan untuk lebih
memahami keterkaitan makrofinansial dalam memperkuat
perumusan bawran kebijakan bank sentral berdasarkan kerangka
permodelan makroekonomi struktural tersebut.
Pengaruh keterkaitan makrofinansial dari ekspansi kredit
perbankan dan aliran modal asing ditunjukkan dengan
manambahkan variabel kredit gab dan real exchange rate gab.
Ketiga:
Konsistensi dan koordinasi dalam perumusan bawran kebijakan
bank sentral sangatlah penting agar kredibilitas kebijakan moneter
yang selama ini telah kuat tetap dapat dipertahankan seperti
dikemukakan oleh Smets (2014) menekankan pentingnya
konsistensi penerapan kebijakan moneter dan kebijakan
makroprudensial khususnya dalam hal terjadi ketidak sajalanan
antara sasaran stabilitas harga dan SSK agar kredibilitas bank
sentral tetap terjaga.
11
Untuk memasukkan friksi keuangan dalam pemodelan DSGE perlu
dilakukan dua perubahan dalam standar New Keynessian. Yang pertama adalah
mengubah asumsi pelaku ekonomi homogen (representatif) dengan pelaku yang
heteogen. Yang kedua adalah dengan mengintrodusir asimetri informasi di antara
pelaku ekonomi.
12
mkroprudensial menghasilkan manfaat yag lebih besar atas stabilitas
makrokonomi (khsusnya output) dan SSK.
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam beberapa aspek, hal ini didorong oleh konsensus akademik pada waktu
itu terkait adanya trade-off antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi dalam jangka
pendek dan netralitas kebijakan moneter dalam jangka panjang sesuai sistensis
Keynessian dan Neo-Klasik, seperti dari sisi ekonomi politik, pemfokusan
tersebut merupakan reformulasi kebijakan dan kebijakan reformasi kelembagaan
bank sentral sebagai bagian dari penaganan krisis, termasuk di asia pada krisis
keuangan 1997/98. Dalam kerangka kebijakan moneter dengan sasaran stabilitas
harga, atau terjenal dengan sebutan inflation targeting framework (ITF), menjadi
sangat populer dan banyak dianut di berbagai negara, maju atau Emerging Market
Economies (EMEs).
B. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan, maka dari itu penulis mengharapkan kritik
dan saran dari semua pihak demi perbaikan makalah ini di masa yang akan
datang.
14