Anda di halaman 1dari 37

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, MODEL, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Definisi Kebijakan Makroprudensial

European Systemic Risk Board (2013) mendefinisikan kebijakan makroprudensial

sebagai tindakan-tindakan yang diambil dalam rangka menjaga stabilitas sistem

keuangan secara menyeluruh, yaitu dengan cara memperkuat ketahanan sistem

keuangan dan mengurangi akumulasi risiko sistemik, sehingga kontribusi sektor

keuangan terhadap pertumbuhan ekonomi tetap berlanjut. Adapun tujuannya

menurut Galati dan Moessner (2011: 14) adalah untuk mencegah dan membatasi

potensi terjadinya krisis keuangan sistemik.

Menurut Bank Indonesia (2016), setidaknya ada tiga kunci dalam

mendefinisikan kebijakan makroprudensial, yaitu: (1) diterapkan dengan tujuan

untuk menjaga stabilitas sistem keuangan; (2) diterapkan dengan berorientasi pada

sistem keuangan secara keseluruhan (system-wide perspectives); dan (3) diterapkan

sebagai upaya membatasi terbangunnya (build-up) risiko sistemik.

Borio (2003: 2) mendefinisikan istilah makroprudensial dengan cara

membandingkannya dengan istilah mikroprudensial seperti yang ditunjukkan pada

Tabel 2.1. Kebijakan mikroprudensial maupun makroprudensial memiliki tujuan

yang sama, yaitu mencegah terjadinya instabilitas sistem keuangan. Hal yang

membedakan keduanya terletak pada pendekatan yang digunakan. Kebijakan

mikroprudensial fokus pada kesehatan individu lembaga keuangan dengan cara

11
12

meminimalisir potensi kerugian lembaga keuangan yang berujung pada

perlindungan konsumen, sedangkan kebijakan makroprudensial fokus pada

interaksi antar lembaga keuangan, pasar, infrastruktur dan ekonomi yang lebih luas

yang bertujuan untuk mencegah terjadinya risiko sistemik yang dapat menimbulkan

biaya ekonomi yang sangat mahal (Bank Indonesia, 2016: 16).

Tabel 2.1 Perbandingan Definisi Makroprudensial dengan Mikroprudensial

Makroprudensial Mikroprudensial
Tujuan terdekat Mencegah distress sistem Mencegah distress dari
keuangan secara lembaga keuangan secara
keseluruhan individual
Tujuan akhir Menghindari biaya produk Melindungi konsumen
domestik bruto (PDB) (investor maupun
yang timbul akibat krisis depositor)
keuangan
Karakteristik risiko Keterkaitan dari perilaku Tidak saling terkait karena
kolektif (endogen) yang dilihat adalah
perilaku agen secara
individual (eksogen)
Korelasi dan eksposur Penting Tidak relevan
umum lintas institusi
Kalibrasi kontrol kehati- Dalam hal risiko sistemik, Dalam hal risiko lembaga,
hatian secara keseluruhan (top- secara individual (bottom-
down) up)
Sumber: Borio (2003: 2)

2.1.2 Teori Justifikasi Kebijakan Makroprudensial

Jeanne dan Korinek (2014) merangkum teori-teori yang dijadikan alat justifikasi

kebijakan makroprudensial. Secara umum, kebijakan makroprudensial dipandang

sebagai langkah-langkah kebijakan yang berupaya mengurangi dampak

eksternalitas yang dihasilkan oleh kegiatan-kegiatan pembiayaan tertentu. Teori

eksternalitas asset price swings dan eksternalitas fire sale menyatakan bahwa

pinjaman yang mimiliki jaminan (collateralized borrowing) dapat memicu


13

eksternalitas karena individu atau institusi tidak menyadari kenaikkan leverage

yang terjadi selama kondisi perekonomian sedang baik, sehingga akan memaksa

mereka melakukan deleveraging yang lebih besar ketika mereka menjual aset pada

saat kondisi perekonomian buruk dan semakin memperburuk penurunan harga aset.

Teori selanjutnya yaitu teori eksternalitas keterkaitan (interconnectedness).

Teori ini bersumber dari fakta bahwa kegagalan suatu bank dapat secara langsung

mempengaruhi institusi lain melalui eksposur di pasar uang antar bank atau pasar

derivatif, karena adanya efek domino. Individu institusi tidak menyadari kontribusi

mereka pada penyebaran risiko sistemik ketika mereka membuat kontrak dengan

bank lain, sehingga jaringan antar bank bersifat rapuh.

Ketiga, teori eksternalitas perilaku moral hazard kolektif atau perilaku

mengambil risiko secara kolektif (collective risk-taking behaviour) dari agen-agen

ekonomi merupakan eksternalitas yang memicu pembuat kebijakan untuk membuat

langkah-langkah kebijakan ekonomi makro penyelamatan, seperti kebijakan

moneter ekspansif yang berlarut-larut, kebijakan fiskal kontra siklus, atau dukungan

keuangan lainnya secara langsung (Farhi dan Tirole, 2012).

Farhi dan Werning (2016) menyatakan bahwa kebijakan makroprudensial

bertujuan mengatasi eksternalitas permintaan agregat yang muncul karena adanya

nominal rigidities ketika kebijakan moneter tidak lagi efektif digunakan. Contoh

pentingnya yaitu kebijakan mengurangi leverage pada saat kondisi perekonomian

sedang baik untuk mencegah perekonomian menuju deleveraging, menginduksi

terjadinya jebakan likuiditas pada saat kondisi perekonomian sedang buruk

(Korinek dan Simsek 2016). Upah nominal naik selama perekonomian baik, namun
14

tidak menurun saat kondisinya berkebalikan, sehingga memicu pengangguran.

Eksternalitas dalam hal ini yaitu agen-agen ekonomi tidak menyadari dampak

kenaikan upah nominal pada pengangguran masa depan.

Menurut Farhi dan Werning (2016), teori yang dominan dijadikan sebagai

alat justifikasi kebijakan makroprudensial adalah teori yang didasarkan pada

eksternalitas pecuniary. Ekstenalitas ini menyatakan bahwa tindakan seorang

individu dapat mempengaruhi individu lain, hanya melalui efek pada harga

(Greenwald dan Stiglitz, 1986). Logikanya yaitu ketika pasar aset bersifat

incomplete dan berisi lebih dari satu komoditas, redistribusi kepemilikan aset,

secara umum akan menyebabkan perubahan harga relatif di pasar spot. Perubahan

harga relatif tersebut kemudian mempengaruhi kepemilikkan aset terbatas yang

tersedia yang kemudian berpotensi meningkatkan pertanggungan kreditur.

Eksternalitas tersebut tidak disadari oleh agen-agen privat, akibatnya, agen-agen

ekonomi pada ekuilibrium kompetitif, meminjam terlalu banyak (Bianchi dan

Mendoza, 2010). Jika regulator ingin memperbaiki hal tersebut, regulator

diharuskan mengintervensi pasar keuangan. Fenomena tersebut biasanya terjadi di

negara-negara dengan batasan maksimum pemberian kredit yang didasarkan pada

harga barang dan harga aset (Greenwald dan Stiglitz, 1986).


15

2.1.3 Posisi Kebijakan Moneter, Makroprudensial, dan Mikroprudensial

Menurut Schoenmaker dan Wierts (2016), bank sentral pasif dan membiarkan

akumulasi masalah, karena mereka berpikiran bahwa kebijakan moneter dan

mikroprudensial sudah cukup untuk mengatasi masalah yang ada. Padahal

kebijakan moneter hanya peduli pada inflasi barang-barang konsumsi dalam fungsi

obyektifnya dan mengabaikan inflasi harga aset, sedangkan kebijakan

mikroprudensial hanya peduli pada kesehatan individu lembaga keuangan dengan

asumsi bahwa risiko bersifat eksogen. Padahal fenomena krisis keuangan global

dan krisis hutang Eropa menunjukkan bahwa sistem keuangan secara keseluruhan

adalah hal yang penting dan risiko adalah hal yang bersifat endogen (Brunnermeier

et al., 2009).

Sumber: Schoenmaker dan Wierts (2011)


Gambar 2.1 Kerangka Baru Kebijakan untuk Sistem Ekonomi dan Keuangan

Menurut Baker (2013), kebijakan makroprudensial telah diposisikan

menjadi pusat dari agenda kebijakan dan berinteraksi dengan kebijakan moneter

dan kebijakan mikroprudensial. Hal tersebut ditunjukkan oleh Gambar 2.1 yang
16

merupakan kerangka kebijakan baru yang meletakan pengawasan makroprudensial

di tengah kebijakan moneter dan pengawasan mikroprudensial.

Menurut Schoenmaker dan Wierts (2016), ada tiga pendapat mengenai

bagaimana seharusnya kebijakan moneter dan kebijakan makroprudensial

berinteraksi. Pertama adalah pendapat Tucker (2014) yang menekankan peran

kebijakan makroprudensial, terpisah dengan kebijakan moneter. Hal ini karena

kebijakan makroprudensial mengambil pendekatan yang lebih terperinci dengan

menargetkan pasar tertentu atau sektor tertentu, seperti sektor perumahan dan

properti. Berbeda dengan pendapatnya Borio (2014) yang menekankan bahwa

kebijakan moneter dan kebijakan makroprudensial harus berkolaborasi, karena

kebijakan moneter mempengaruhi persepsi risiko dan selera risiko (risk appetite)

melalui risk-taking channel. Pendapat yang ketiga yaitu Stein (2013) yang

mengatakan bahwa kebijakan moneter lebih pervasif karena dapat menyebar

kesemua celah sistem keuangan.

Borio (2014) memandang bahwa pengambilan kebijakan yang tepat adalah

kebijakan yang melihat melalui lensa makro, bukan melalui lensa mikro. Karena,

bisa saja kebijakan mikroprudensial tidak bersifat merusak jika dilihat dari lensa

mikro, namun bersifat merusak jika dilihat dari lensa makro. Menurut

Brunnermeier et al. (2009), ada hal yang disebut sebagai fallacy composition, yaitu

fakta yang mengatakan bahwa ketika individu atau institusi berusaha membuat diri

mereka aman, tindakan tersebut jika dilakukan secara kolektif, malah merusak

stabilitas sistem keuangan. Contoh kasusnya yaitu tindakan menjual aset

merupakan tindakan yang tepat ketika dilakukan pada saat risiko meningkat
17

menurut perspektif mikro institusi keuangan, namun jika seluruh institusi keuangan

melakukan hal yang sama, maka harga aset akan jatuh dan memaksa institusi

keuangan untuk mengambil langkah-langkah korektif sebagai upaya penyelamatan

(Schoenmaker dan Wierts, 2016).

2.1.4 Jenis-Jenis Instrumen Kebijakan Makroprudensial

Cerutti et al. (2017, 205) mengelompokan instrumen-instrumen kebijakan

makroprudensial menjadi 12 instrumen. Adapun instrumen tersebut secara detil

disajikan pada Tabel 2.2. Instrumen LTV dan DTI merupakan instrumen yang

membatasi debitur, sedangkan instrumen yang lainnya merupakan instrumen yang

membatasi lembaga keuangan. 12 instrumen tersebut dapat disesuaikan

magnitudnya oleh pihak otoritas sesuai dengan kondisi makroekonomi yang ada.

Tabel 2.2 Instrumen-Instrumen Kebijakan Makroprudensial

Nama Instrumen Singkatan Definisi


Loan-to-value ratio LTV Membatasi hutang dengan menekankan pada
rasio pembiayaan yang diterima terhadap nilai
agunan.
Debt-to-income ratio DTI Membatasi hutang rumah tangga dengan
menekankan rasio besaran hutang terhadap
pendapatan.
Time-varying/dynamic loan- DP Mensyaratkan bank untuk memegang loan-loss
loss provisioning provisions lebih banyak pada saat pertumbuhan
cepat (boom).
General countercyclical CCB Mensyaratkan bank untuk memegang modal
capital buffer/requirement lebih banyak pada saat pertumbuhan cepat.
Leverage ratio LEV Membatasi bank untuk tidak melanggar
ketetapan rasio leverage minimum.
Capital surcharges on SIFIs SIFI Mensyaratkan lembaga keuangan yang
tergolong kategori sistemik untuk memegang
modal lebih banyak dibandingkan lembaga
keuangan lainnya.
Limits on interbank INTER Membatasi fraksi liabilitas yang dimiliki sektor
exposures perbankan.
18

Nama Instrumen Singkatan Definisi


Concentration limits CONC Membatasi fraksi aset yang sebagian
dipinjamkan kepada sedikit debitur.
Limits on foreign currency FC Membatasi risiko keuangan yang muncul dari
loans risiko kurs mata uang asing.
Reserve requirement ratios RR Membatasi pertumbuhan kredit (mata uang
dalam negeri maupun mata uang asing).
Limits on domestic currency CG Membatasi pertumbuhan kredit secara langsung.
loans
Levy/tax on financial TAX Pungutan atau pajak dari lembaga keuangan.
institutions
Sumber: Cerutti et al. (2017, 205)

2.1.5 Definisi Stabilitas Sistem Keuangan

Menurut Reserve Bank Australia, sistem keuangan yang stabil didefinisikan

sebagai sistem di mana setiap kegiatan transfer dana dari kreditur kepada debitur

diakomodasi dengan baik oleh perantara keuangan, pasar, dan struktur pasar. Oleh

karena itu, ketidakstabilan keuangan diartikan sebagai suatu kondisi jatuhnya

sistem keuangan karena kegiatan-kegiatan tersebut terganggu, yang pada akhirnya

dapat memicu krisis keuangan.

Sesungguhnya risiko sistemik selalu melekat pada setiap sistem keuangan

yang menurut Davis (2003: 2) berkaitan erat dengan kekayaan dan kesehatan

lembaga keuangan. Dalam kasus lain, kegagalan likuiditas pasar dan kerusakan

infrastruktur pasar juga dapat menginisiasi risiko. Teori disaster myopia

menunjukkan bahwa ketidakstabilan keuangan dapat disebabkan oleh perilaku

kompetitif lembaga keuangan yang mengarah pada suatu kondisi dimana

kredibilitas peminjam dan risiko diabaikan (Herring, 1999), sedangkan teori bank

runs menjelaskan kondisi di mana para investor panik menjual aset mereka atau

menarik dana mereka karena takut bahwa kondisi ekonomi akan memburuk
19

(Diamond dan Dybvig, 1983: 401), sebagai konsekuensinya, hal ini akan

mengakibatkan kemerosotan yang tiba-tiba pada harga aset dan mengakibatkan

krisis likuiditas.

2.1.6 Hipotesis Instabilitas Keuangan Minsky

Hyman P. Minsky adalah seorang ekonom yang menentang pandangan utama pada

zamannya. Disaat kebanyakan ekonom mendukung deregulasi dan inovasi

keuangan, Minsky justru menganggap bahwa bankir, pemain saham, dan pekerja

lembaga keuangan lainnya secara berkala memainkan peran antagonis yang

menyebabkan krisis, karena menghasilkan siklus boom dan bust yang destruktif,

sehingga pemerintah harus turun tangan dan membuat regulasi (Cassidy, 2008).

Minsky mengajukan hipotesis instabilitas keuangan (financial instability hypotesis)

dengan menyatakan bahwa struktur keuangan ekonomi kapitalis malah menjadi

semakin lemah selama periode boom (Whalen, 2007). Agen-agen ekonomi

berekspektasi optimis ketika melihat prospek ekonomi selama perekonomian

sedang baik dengan menambah hutang dan menggeser portofolio mereka ke proyek

yang sebelumnya dianggap terlalu berisiko, sehinga ketika perekonomian lesu,

terjadilah krisis keuangan dan tingkat kegagalan perusahaan menjadi lebih parah

(Bhattacharya et al., 2015).

Sumber: Palley (2011).


Gambar 2.2 Tahapan Siklus Minsky
20

Menurut Minsky (1992), ada tiga fase perubahan jenis pembiayaan. Tahap

pertama berawal dari pembiayaan lindung nilai (hedge finance), kemudian

mengarah menuju pembiayaan spekulatif (speculative finance), kemudian menjadi

pembiayaan ponzi (ponzi finance) (lihat Gambar 2.2). Pembiayaan lindung nilai

merupakan kondisi di mana peminjam dapat memenuhi semua kontrak kewajiban

pembayaran, cukup hanya melalui arus kas yang dimilikinya. Artinya semakin

besar bobot pembiayaan ekuitas dalam struktur hutang, maka semakin besar pula

kemungkinan pembiayaan tersebut dikategorikan sebagai pembiayaan lindung

nilai. Pembiayaan spekulatif adalah kondisi di mana peminjam hanya mampu

membayar bunga dan tidak mampu membayar pokok hutang melalui arus kas

pendapatan yang dimilikinya. Peminjam seperti ini hanya perlu menambah hutang

baru untuk menutupi hutang lama yang jatuh tempo. Contohnya yaitu pemerintah

termasuk ke dalam kategori peminjam pembiayan spekulatif, sedangkan bank

termasuk ke dalam kategori peminjam pembiayaan lindung nilai. Terakhir yaitu

pembiayaan ponzi, merupakan kondisi di mana peminjam tidak mampu membayar

bunga dan juga pokok hutang melalui hasil arus kas operasi usahanya. Peminjam

seperti ini terpaksa menjual aset atau membuat hutang baru untuk membayar

hutang. Tindakan menjual aset tersebut akan membuat nilai jual aset jatuh.

Tiga perubahan kondisi di atas melahirkan dua teorema yang menjadi

argumen dari hipotesis instabilitas keuangan Minsky. Teorema yang pertama yaitu

perekonomian memiliki rezim pembiayaan yang stabil, dan rezim pembiayaan yang

tidak stabil. Teorema yang kedua yaitu selama periode perekonomian baik yang

berkepanjangan, perekonomian beralih dari sistem pembiayaan stabil menuju


21

sistem pembiayaan yang tidak stabil. Perjalanan siklusnya ditunjukkan oleh

Gambar 2.3.

Sumber: MSIM Global Multi Asset Team Analysis


Gambar 2.3 Siklus Minsky

2.1.7 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stabilitas Keuangan

Banyak faktor yang mempengaruhi stabilitas sistem keuangan. Secara umum,

faktor-faktor tersebut dikategorikan menjadi dua, yaitu faktor endogen dan faktor

eksogen (Simorangkir, 2014: 417). Faktor endogen berasal dari dalam sistem

keuangan itu sendiri yang terbagi menjadi beberapa bagian, diantaranya adalah

institusi, pasar, dan infrastruktur, sedangkan faktor eksogen bisa berasal dari

gangguan ekonomi makro domestik dan risiko tak terhindarkan (risiko sistemik).

Kedua faktor tersebut akan mempengaruhi kinerja sistem keuangan melalui

lembaga, pasar, dan infrastruktur keuangan. Selanjutnya, hasil kinerja sistem

keuangan tersebut akan mempengaruhi kinerja ekonomi riil yang merupakan


22

umpan balik dari faktor eksogen, sehingga terjadi sebuah siklus. Gejolak yang tidak

normal dari salah satu unsurnya akan mempengaruhi perjalanan siklusnya. Hal

tersebut diilustrasikan melalui Gambar 2.4.

Sumber: Houben et al. (2004)


Gambar 2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Sistem Keuangan

Menurut Simorangkir (2014: 419), hal-hal yang dapat mempengaruhi

stabilitas sistem keuangan di dalam institusi diantaranya adalah risiko finansial

(kredit, likuiditas, suku bunga, dan nilai tukar), risiko operasional, kelemahan atau

kegagalan teknologi, risiko hukum, risiko reputasi, risiko strategis, risiko

konsentrasi, dan risiko kapital, sedangkan hal-hal yang mempengaruhi stabilitas

sistem keuangan di dalam pasar diantaranya adalah risiko kemitraan, harga aset

yang tidak tepat, pengambilan dana besar-besaran dari sistem keuangan, dan efek

penularan. Terakhir, hal-hal yang mempengaruhi stabilitas sistem keuangan di


23

dalam infrastruktur yaitu meliputi risiko sistem pembayaran, kelemahan hukum,

kelemahan sistem akuntansi, kelemahan pengawasan, runtuhnya kepercayaan, dan

efek domino.

2.2 Penelitian Terdahulu

Penelitian ini dibangun berdasarkan literatur yang berkembang yang membahas

hubungan kebijakan makroprudensial terhadap stabilitas keuangan. Secara umum,

literatur-literatur tersebut dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok

literatur yang menggunakan unit analisis antarnegara dan kelompok literatur yang

menggunakan unit analisis di level mikro suatu negara.

Penelitian dengan unit analisis antarnegara yang menganalisis efektivitas

kebijakan makroprudensial dalam mengurangi kerentanan sistem perbankan di

2800 bank dari 48 negara selama tahun 2000-2010 dilakukan oleh Claessens et al.

(2013). Hasilnya menunjukkan bahwa kebijakan makroprudensial mampu

mengurangi pertumbuhan leverage, aset, dan rasio NCC liabilitas. Kebijakan

makroprudensial membantu mengurangi risiko pada saat kondisi perekonomian

sedang baik, namun tidak efektif mendorong pemulihan pada saat kondisi

perekonomian sedang buruk. Negara berkembang dengan rekening modal tertutup

lebih sering menggunakan kebijakan makroprudensial dibandingkan dengan negara

maju dengan rekening modal terbuka. Selain itu, di negara berkembang, kebijakan

ini lebih efektif dalam mengurangi risiko perbankan, karena sistem keuangannya

yang lebih sederhana.

Vandenbussche et al. (2015) menganalisis pengaruh kebijakan

makroprudensial terhadap kenaikan harga perumahan di negara Eropa Tengah,


24

Timur, dan Tenggara (CESSE) selama kuartal 1 tahun 1997 sampai kuartal 1 tahun

2011. Terdapat 29 instrumen kebijakan makroprudensial yang dianalisis. Hasilnya

menunjukkan bahwa tidak semua instrumen kebijakan makroprudensial

berdampak. Kenaikan pada rasio kecukupan modal (CAR) dapat menurunkan harga

perumahan secara signifikan. Secara tidak langsung, hasil tersebut mendukung

penggunaan instrumen kebijakan makroprudensial yang diperkenalkan di Basel III

yaitu instrumen CCB.

Penelitian Cerutti et al. (2017) menganalisis pengaruh kebijakan

makroprudensial terhadap total kredit rumah tangga, total kredit perusahaan, dan

harga perumahan di 119 negara selama tahun 2000-2013. Hasilnya menunjukkan

bahwa kebijakan makroprudensial secara umum berhubungan dengan penurunan

pertumbuhan kredit, tetapi efeknya lemah untuk negara yang lebih berkembang dan

perekonomiannya lebih terbuka. Selain itu, kebijakan makroprudensial juga

berpengaruh terhadap pertumbuhan harga perumahan. Kebijakan makroprudensial

lebih sering digunakan di negara berkembang (khususnya terkait kebijakan

pengendalian nilai tukar), sedangkan kebijakan yang basisnya dari sisi peminjam,

lebih sering digunakan di negara maju. Selain itu, penelitian ini juga menemukan

bahwa kebijakan makroprudensial lebih efektif digunakan pada fase pertumbuhan

cepat daripada fase pertumbuhan lambat.

Penelitian Altunbas et al. (2018) fokus pada risiko perbankan di 61 negara

maju dan negara berkembang yang terdiri dari 3177 bank selama tahun 1990-2012.

Hasilnya menunjukkan bahwa kebijakan makroprudensial efektif dalam

mempengaruhi risiko perbankan. Penelitian ini juga menemukan bahwa respon


25

terhadap kebijakan makroprudensial berbeda-beda untuk masing-masing bank.

Bank dengan kapital kecil dan proporsi wholesale funding yang lebih tinggi, lebih

bereaksi terhadap perubahan kebijakan makroprudensial. Selain itu, kebijakan

makroprudensial ditemukan lebih efektif pada fase pengetatan (tightening) daripada

fase pelonggaran (easing).

Penelitian antarnegara di atas dilengkapi dengan penelitian yang fokus di

level mikro suatu negara yang sebagian besar didasarkan pada penggunaan hanya

satu atau beberapa kebijakan makroprudensial. Igan dan Kang (2011) menganalisis

dampak dari LTV dan DTI terhadap dinamika harga perumahan, aktivitas pasar

perumahan, dan leverage rumah tangga di Korea. Hasilnya menunjukkan bahwa

dalam tiga bulan, jumlah transaksi turun secara signifikan akibat pengetatan LTV

dan atau DTI. Kemudian dalam enam bulan, kenaikan harga perumahan melambat

lebih sedikit jika dibandingkan dengan periode tiga bulan. Selain itu, ditemukan

fakta bahwa pengetatan LTV lebih efektif dalam mengekang dinamika perubahan

harga perumahan dibandingkan dengan pengetatan DTI. Pada kalangan nasabah

yang lebih tua dan sudah memiliki properti, kenaikan harga rumah yang

diekspektasikan di masa depan, lebih rendah setelah adanya intervensi kebijakan,

sehingga keinginan untuk membeli kembali properti dapat ditunda. Temuan ini

menegaskan bahwa pengetatan pada kriteria kelayakan penerima pinjaman

terutama LTV dapat menurunkan insentif untuk berspekulasi.

Penelitian Jiménez et al. (2012) menganalisis dampak kebijakan

makroprudensial terhadap siklus penawaran kredit dan ekonomi riil di perbankan

dan perusahaan yang berada di Spanyol selama kuartal 1 tahun 2000 dan kuartal 2
26

tahun 2001. Hasilnya menunjukkan bahwa instrumen DP memperlancar siklus

penawaran kredit yang pada saat fase perekonomian buruk, dapat mendukung

kinerja perusahaan. Penelitian ini menemukan bahwa satu persen poin (pp)

kebijakan yang diinduksi melalui CCB, meningkatkan pinjaman perusahaan

sebesar 9 pp, penyerapan tenaga kerja sebesar 6 pp, dan daya tahan perusahaan

sebesar 1 pp.

Penelitian Aiyar et al. (2014) menganalisis sejauh mana efektivitas dari

instrumen RR dalam mengatur penawaran pinjaman bank di Inggris selama tahun

1998-2007. Hasilnya menyimpulkan bahwa kebijakan makroprudensial akan

efektif dalam mengendalikan jumlah pinjaman jika memenuhi tiga kondisi, yaitu:

(1) bank harus dipersulit ketika ingin menaikkan ekuitasnya; (2) peraturan RR harus

mengikat bank; dan (3) kebocoran akibat adanya subtitusi untuk pinjaman bank

yang diregulasi, tidak boleh melebihi pengaruh pengaturan RR terhadap jumlah

penawaran pinjaman. Penelitian ini juga menemukan bahwa bank yang dimiliki

Inggris dan anak cabang perusahaan asing mengurangi jumlah pinjaman saat

adanya pengetatan RR, namun untuk bank yang merupakan cabang asing malah

meningkatkan jumlah pinjaman sebagai respon terhadap pengetatan RR yang

merupakan indikasi dari kebocoran kebijakan makroprudensial.

Penelitian Greenwood-Nimmo dan Tarassow (2016) menganalisis pengaruh

guncangan kebijakan moneter dan guncangan kebijakan makroprudensial terhadap

stabilitas sistem keuangan di Amerka Serikat selama kuartal 1 tahun 1960 hingga

kuartal 4 tahun 2007. Hasilnya menunjukkan bahwa gunjangan pada kebijakan

moneter yang kontraksioner meningkatkan kerentanan sistem keuangan dengan


27

meningkatkan rasio kredit terhadap PDB dan rasio keuangan lainnya, namun ketika

terjadi guncangan pada kebijakan makroprudensial yang bersifat mengekang kredit

dengan kondisi suku bunga yang tidak disesuaikan, dapat mengurangi rasio kredit

terhadap PDB dalam jangka pendek, tetapi tidak mengurangi rasio keuangan

lainnya. Ketika suku bunganya bebas untuk disesuaikan sebagai reaksi dari

kebijakan makroprudensial, rasio kredit terhadap PDB dan rasio keuangan lainnya

menurun secara substansial.

Beberapa penelitian yang secara khusus membahas efektivitas kebijakan

makroprudensial di Indonesia diantaranya adalah Purnawan dan Nasir (2015), Yoel

(2016), Arderly dan Syofyan (2016), Qudraty dan Suriani (2017), dan Nuryana

(2017). Penelitian Purnawan dan Nasir (2015) menganalisis efektivitas kebijakan

makroprudensial dalam menjaga stabilitas sistem keuangan selama Januari 2004 –

Desember 2012. Hasilnya menunjukkan bahwa volatilitas nilai tukar berkurang

setelah diberlakukannya kebijakan one month holding period (OMHP 1), six month

holding period (OMHP 6), dan posisi devisa neto. Secara umum, kebijakan GWM

LFR efektif dalam meningkatkan kredit, namun kebijakan GWM primer sangat

terbatas efektivitasnya dalam menurunkan likuiditas perekonomian. Hal ini karena

pada saat yang bersamaan terjadi aliran arus modal asing yang sangat deras.

Penelitian Yoel (2016) menganalisis pengaruh capital adequacy ratio (CAR) dan

GWM terhadap siklus kredit di 103 bank umum di Indonesia selama periode 2006-

2013. Hasilnya menunjukkan bahwa CAR dan GWM cukup efektif dalam meredam

siklus kredit di perbankan. Penelitian Arderly dan Syofyan (2016) menganalisis

efektivitas LTV dalam mengendalikan properti selama tahun 2009-2014. Hasilnya


28

menunjukkan bahwa kredit properti secara signifikan dipengaruhi oleh LTV.

Penelitian Qudraty dan Suriani (2017) menganalisis efektivitas LTV dan lending to

deposit ratio (LDR) terhadap penyaluran kredit bank umum di Aceh selama tahun

2011-2014. Hasilnya menunjukkan bahwa kebijakan makroprudensial dapat

mempengaruhi rasio kredit bermasalah di Aceh melalui pengurangan total

penyaluran kredit bank umum. Terakhir, Nuryana (2017) menganalisis efektivitas

kebijakan CCB dan GWM LFR terhadap risiko kredit di 21 bank yang sahamnya

ditawarkan kepada publik selama tahun 2012-2015. Hasilnya menunjukkan bahwa

CCB berpengaruh negatif terhadap risiko kredit di perbankan.

Variabel dan metode analisis data yang digunakan pada penelitian terdahulu

di atas, dirangkum secara detil pada Tabel 2.3.


29

Tabel 2.3 Ringkasan Penelitian Terdahulu

No. Penulis (Tahun) Variabel Metode Analisis Data


1. Igan dan Kang (2011) Dependen: Ordinary least squares (OLS)
Tingkat kenaikkan harga perumahan, jumlah transaksi, pertumbuhan hipotek
hutang, dan dominasi dari penjualan di daerah dan waktu tertentu.

Independen:
Tingkat aktivitas ekonomi secara umum, kebijakan moneter, ukuran-ukuran
keketatan dan ekspektasi di pasar perumahan, dummy waktu bernilai 1 yang
menandakan 5 bulan setelah pengumuman kebijakan, dummy waktu yang
bernilai 1 yang menandakan 1 dan 3 bulan setelah perubahan kebijakan serta 1,
3 dan 5 bulan sebelum perubahan kebijakan, serta indeks yang didasarkan pada
daerah, jenis kreditur, debitur, properti, dan hutang di mana kebijakan berlaku.
2. Jiménez et al. (2012) Dependen: Difference-in-difference (DiD)
Tingkat kredit (log perubahan komitmen, log perubahan penarikan,
dummy 1 jika kredit berakhir, perubahan persentase kredit di atas 1 tahun,
perubahan persentase kredit yang dijaminkan, perubahan penarikan
terhadap rasio komitmen), tingkat perusahaan (log perubahan komitmen,
log perubahan penarikan, log perubahan total aset, log perubahan tenaga
kerja, dummy 1 jika perusahaan bangkrut), dan tingkat aplikasi kredit
(dummy 1 jika aplikasi kredit disetujui oleh bank)

Independen:
DP, karakteristik bank (log total aset, rasio kapital, rasio likuiditas, ROA,
rasio NPL terhadap total aset, dummy 1 jika bank komersial, dummy 1
jika bank tabungan), karakteristik perusahaan (log total aset, rasio kapital,
rasio likuiditas, ROA, dummy 1 jika perusahaan memiliki pinjaman
30

No. Penulis (Tahun) Variabel Metode Analisis Data


bermasalah, log usia perusahaan ditambah 1, aset berwujud), dan
karakteristik kredit bank dan perusahaan (persentase kredit bank di bawah
1 tahun dan 1-5 tahun, persentase kredit yang dijaminkan, log jumlah
kredit).
3. Claessens et al. (2013) Dependen: Generalized method of moments
Pertumbuhan leverage, pertumbuhan aset, dan pertumbuhan rasio NCC. (GMM)

Independen: Kelambanan dependen, kebijakan makroprudensial (LTV, DTI,


CG, FC, RR, CCB, restriction on profit distribution (PRD), dll.), kelambanan
PDB riil, kelambanan suku bunga, rezim kurs, kelambanan hutang terhadap
PDB, kelambanan cadangan mata uang asing, krisis keuangan sistemik,
kelambanan keterbukaan neraca pembayaran, kelambanan arus neracan
pembayaran, kelambanan aset bank terhadap kapitalisasi pasar, dan kelambanan
saham bank yang dimiliki asing.
4. Aiyar et al. (2014) Dependen: Regresi panel
Pinjaman.

Independen:
RR, rasio terhadap tingkat (tier) 1 modal untuk risiko aset tertimbang (ATMR),
total aset, dummy ukuran, rasio ATMR terhadap total aset, dummy dari bank
asing, perbedaan antara modal aktual dengan rasio RR dibagi dengan ATMR,
rasio modal terhadap aset, rasio kewajiban repo terhadap total kewajiban,
pertumbuhan PDB riil, dan inflasi.

5. Purnawan dan Nasir (2015) Volatilitas nilai tukar,nilai tukar nominal, ekses likuiditas melalui posisi operasi Event analysis dan vector
pasar terbuka, kredit yang disalurkan bank, PDB, inflasi, suku bunga dasar autoregressive exogeneous
kredit, BI rate, dummy kebijakan OMHP 1 dan 6, dummy kebijakan GWM, (VARX)
dummy kebijakan GWM LFR, dan dummy krisis 2008.
31

No. Penulis (Tahun) Variabel Metode Analisis Data


6. Vandenbussche et al. (2015) Dependen: Model koreksi kesalahan (panel).
Harga perumahan.

Independen:
PDB per kapita, tingkat bunga riil mata uang lokal, tingkat bunga riil mata uang
asing efektif, populasi usia kerja, ukuran modal, ukuran provisi, ukuran
likuiditas, ukuran kriteria kelayakan, dan pembatasan kuantitatif pada pinjaman
valas.
7. Arderly dan Syofyan (2016) Dependen: Regresi panel
Kredit properti.

Independen:
Dummy LTV, suku bunga kredit konsumsi, dan PDB.
8. Greenwood-Nimmo dan Federal fund rate, log pinjaman bisnis korporasi non finansial (dideflasi Model extended monetary VAR.
Tarassow (2016) menggunakan deflator PDB), pinjaman utama bank, nilai buku log dana internal Guncangan moneter kontraksioner
sektor korporasi non finansial (dideflasi menggunakan deflator PDB), log dan guncangan makroprudensial
cadangan simpanan lembaga simpanan, log PDB riil, log deflator harga implisit, yang membatasi diidentifikasi
dan log indeks harga saham komposit SdanP 500 nominal. menggunakan pendekatan pure
sign restrictioons yang
dikembangkan oleh Uhlig (2005)
9. Yoel (2016) Kredit yang diberikan bank, rasio kredit terhadap PDB, CAR, ATMR kredit, Analisis jalur
ATMR risiko pasar, GWM, dan rekeing giro.
10. Cerutti et al. (2017) Dependen: GMM dan OLS
Pertumbuhan kredit secara umum, pertumbuhan kredit rumah tangga,
pertumbuhan kredit perusahaan, pertumbuhan harga rumah, dan rasio lintas
batas.

Independen:
LTV, DTI, DP, CCB, LEV, SIFI, INTER, CONC, FC, RR, CG, TAX, indeks
kebijakan makroprudensial, pertumbuhan PDB, rezim nilai tukar, dummy krisis,
32

No. Penulis (Tahun) Variabel Metode Analisis Data


kebijakan moneter, log PDB per kapita, rasio kredit terhadap PDB, , indeks
International Country Risk Guide (ICRG), dan indeks keterbukaan.
11. Nuryana (2017) Dependen: Regresi linier berganda
NPL.

Independen:
GWM LFR.
12. Qudraty dan Suriani (2017) Variabel: Statistik deskriptif
LDR, LTV, PDRB, total kredit, dan NPL
13. Altunbas et al. (2018) Dependen: GMM
EDF dan Z-score.

Independen:
Indeks kebijakan makroprudensial, EDF perusahaan non keuangan, karakter
spesifik perbankan (rasio simpanan terhadap liabilitas, log jumlah aset, rasio
kapital, rasio likuiditas), kebijakan moneter, dan pertumbuhan PDB.
33

Selain penelitian terdahulu di atas, terdapat pula penelitian yang berkaitan

dengan kebijakan makroprudensial yang melihat dari perspektif sistem perbankan

ganda di Indonesia. Hal tersebut berangkat dari fakta bahwa eksistensi perbankan

syariah di sistem keuangan tidak bisa dikesampingkan. Ascarya et al. (2016a)

menganalisis risiko yang dihadapi oleh perbankan syariah dan mencoba

memberikan kriteria untuk merancang dan mengimplementasikan kebijakan

makroprudensial di bawah sistem perbankan ganda yang dianut oleh Indonesia.

Temuannya menunjukkan bahwa risiko yang dihadapi oleh perbankan syariah

menjadi salah satu perhatian utama, karena bank syariah menghadapi risiko umum

dan risiko khusus. Risiko umum yaitu berupa risiko kredit, risiko pasar, risiko

likuiditas, dan risiko operasi, sedangkan untuk risiko khusus yaitu risiko rate of

return dan risiko ketidakpatuhan syariah. Penelitian ini juga mengusulkan bahwa

ada dua aspek utama yang harus didefinisikan ulang untuk meningkatkan

efektivitas kebijakan, yaitu: (1) aspek tujuan dan peran dari bank sentral; dan (2)

aspek tujuan, ruang lingkup, instrumen, dan otoritas kebijakan makroprudensial.

Ascarya et al. (2016b) menguji prosiklisitas di perbankan syariah dan

perbankan konvensional di Indonesia dengan menggunakan beberapa metode

kuantitaif untuk mengembangkan kebijakan makroprudensial syariah. Temuan

penelitian ini menunjukkan bahwa saat terjadi pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan

kredit di perbankan syariah tumbuh melebihi pertumbuhan kredit di perbankan

konvensional. Hal ini menunjukkan bahwa perbankan syariah lebih prosiklikal

dibandingkan perbankan konvensional. Namun, prosiklisitas di perbankan syariah

tidak menyebabkan penggelembungan kredit seperti prosiklisitas di perbankan


34

konvensional. Hal ini karena prinsip dasar yang dianut oleh perbankan syariah

seperti pelarangan bunga (riba), pelarangan spekulasi (maisir), pelarangan

penipuan (gharar), pelarangan menganggap uang sebagai kapital potensial,

pemberlakuan bagi hasil, penekanan kesucian kontrak, pelarangan transaksi untuk

aktivitas yang tidak disetujui syariah, dan penekanan pada transaksi yang

berkeadilan sosial. Prinsip dasar tersebut menjadikan perbankan syariah sangat

berkaitan erat dengan sektor riil, sehingga seharusnya kebijakan makroprudensial

untuk perbankan syariah, magnitudnya harus lebih kecil dan lebih fleksibel

dibandingkan kebijakan makroprudensial untuk perbankan konvensional.

2.3 Model Penelitian

Model yang akan dianalisis pada penelitian ini merupakan model yang diadaptasi

dari penelitiannya Altunbas et al. (2018) dengan bentuk sebagai berikut.

𝑃𝐾 = 𝑓(𝐼𝐾𝑀𝑃, 𝐷𝐸𝑃, 𝐿𝑆𝐼𝑍𝐸, 𝐶𝐴𝑃, 𝐿𝐼𝑄, 𝐿𝑃𝐷𝐵, 𝑆𝑈𝐾𝑈𝐵𝑈𝑁𝐺𝐴) ………… (2.1)

Keterangan:
𝐼𝐾𝑀𝑃 = indeks kebijakan makroprudensial.
𝐷𝐸𝑃 = rasio simpanan terhadap liabilitas.
𝐿𝑆𝐼𝑍𝐸 = ukuran bank yang diproksikan oleh 𝑙𝑛(𝑎𝑠𝑒𝑡).
𝐶𝐴𝑃 = rasio kapital terhadap aset.
𝐿𝐼𝑄 = rasio likuiditas.
𝐿𝑃𝐷𝐵 = produk domestik bruto yang diproksikan oleh 𝑙𝑛(𝑃𝐷𝐵).
𝑆𝑈𝐾𝑈𝐵𝑈𝑁𝐺𝐴 = suku bunga BI rate.
35

2.4 Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian disusun agar dapat dijadikan acuan dalam memprediksi

arah hubungan masing-masing variabel pada Persamaan 2.1 yang akan dijelaskan

lebih lengkap melalui uraian di bawah ini.

2.4.1 Hubungan Indeks Kebijakan Makroprudensial dan Probabilitas

Kegagalan Bank

Teori-teori yang menjustifikasi kebijakan makroprudensial, secara umum

menyatakan bahwa kebijakan makroprudensial diperlukan untuk menjaga stabilitas

sistem keuangan dengan cara memitigasi risiko yang bersumber dari eksternalitas

asset price swings, eksternalitas fire sale, eksternalitas keterkaitan, eksternalitas

perilaku moral hazard kolektif, eksternalitas permintaan agregat, dan eksternalitas

pecuniary. Indeks kebijakan makroprudensial pada penelitian ini merupakan

variabel yang dihitung dengan cara menjumlahkan dummy 12 jenis kategori

instrumen yang diberlakukan oleh pihak otoritas pada waktu tertentu. Semakin

tinggi nilai indeks, semakin banyak pula jenis instrumen kebijakan

makroprudensial yang diterapkan. Di sisi lain, probabilitas kegagalan bank

merupakan variabel yang mengukur tingkat stabilitas keuangan suatu bank. Jika

nilai probabilitas kegagalannya tinggi, maka stabilitasnya buruk, begitu pula

sebaliknya. Penelitian-penelitian sebelumnya secara umum menemukan bahwa

kebijakan makroprudensial mampu mendukung stabilitas keuangan (Aiyar et al.,

2014; Altunbas et al., 2018; Arderly dan Syofyan, 2016; Cerutti et al., 2017;

Claessens et al., 2013; Greenwood-Nimmo dan Tarassow, 2016; Jiménez et al.,

2012; Lim et al., 2011; Nuryana, 2017; Purnawan dan Nasir, 2015; Qudraty dan
36

Suriani, 2017; Yoel, 2016). Oleh karena itu, indeks kebijakan makroprudensial

diduga berpengaruh negatif terhadap probabilitas kegagalan bank.

H1: Indeks kebijakan makroprudensial berpengaruh negatif terhadap probabilitas

kegagalan bank.

2.4.2 Hubungan Karakter Spesifik Perbankan dan Probabilitas Kegagalan

Bank

Variabel karakter spesifik perbankan dipilih sebagai determinan probabilitas

kegagalan bank karena merupakan cerminan dari kebijakan mikroprudensial

(Vallascas dan Keasey, 2012). Adapun variabel yang dipilih merujuk pada

penelitian Altunbas et al., (2018) yaitu rasio simpanan terhadap liabilitas (DEP),

ukuran bank yang diproksikan dengan log natural jumlah aset (LSIZE), rasio kapital

terhadap aset (CAP), dan rasio likuiditas (LIQ).

Bank yang pendanaannya didominasi oleh simpanan nasabah, lebih cepat

meyesuaikan diri terhadap perubahan suku bunga dibandingkan dengan bank yang

pendanaannya didominasi oleh obligasi. Selain itu, pendanaan yang bersumber dari

simpanan nasabah juga cenderung berbunga rendah, sehingga memberikan margin

keuntungan yang besar bagi bank, oleh karen itu menurunkan probabilitas

kegagalan bank. Penelitian Altunbas et al. (2018) menemukan bahwa rasio

simpanan terhadap liabilitas berpengaruh positif terhadap stabilitas keuangan. Oleh

karena itu, rasio simpanan terhadap liabililitas diduga berpengaruh negatif terhadap

probabilitas kegagalan bank.

H2: Rasio simpanan terhadap liabilitas berpengaruh negatif terhadap probabilitas

kegagalan bank.
37

Ukuran bank memiliki pengaruh yang ambigu terhadap risiko bank

(Distinguin et al., 2013). Bank yang berukuran besar memiliki kemampuan yang

lebih baik dalam mendiversifikasikan risiko dan pendapatannya serta lebih stabil

dibandingkan dengan bank yang berukuran kecil. Namun, bank berukuran besar

juga memiliki eksposur yang besar di pasar uang antar bank (termasuk

derivatifnya), sehingga risiko eksternalitas keterkaitan yang dimilikinya juga besar.

Selain itu, bank yang berukuran besar juga memiliki risiko eksternalitas perilaku

moral hazard yang besar karena adanya jaminan dari pihak otoritas berupa

kebijakan too big to fail. Oleh karena itu, diduga ukuran bank bisa jadi berpengaruh

negatif dan atau positif terhadap probabilitas kegagalan bank.

H3: Ukuran bank berpengaruh terhadap probabilitas kegagalan bank.

Bank dengan rasio kapital terhadap aset yang lebih tinggi, memiliki

ketersediaan modal yang lebih banyak yang kemudian dapat digunakan untuk

keperluan menahan risiko. Kapital atau modal yang lebih tinggi juga merupakan

indikasi bahwa bank tidak berlebihan dalam menyalurkan kredit dan secara tidak

langsung, bank telah berkontribusi dalam mengurangi pertumbuhan kredit.

Penelitian Altunbas et al. (2018) menemukan bahwa rasio kapital terhadap aset

berpengaruh positif terhadap stabilitas perbankan. Oleh karena itu, rasio kapital

terhadap aset diduga berpengaruh negatif terhadap probabilitas kegagalan bank.

H4: Rasio kapital terhadap aset berpengaruh negatif terhadap probabilitas

kegagalan bank.
38

Rasio likuiditas merupakan rasio yang menunjukkan kemampuan bank

dalam memenuhi kewajiban atau liabilitas jangka pendeknya. Semakin besar rasio

likuiditas, maka bank dapat mengurangi biaya yang muncul karena keharusan

menjual aset pada saat terjadi gunjangan sistemik sebagai respon kemerosotan

seluruh likuiditas di pasar (Vallascas dan Keasey, 2012). Selain itu, bank juga lebih

kuat dalam mengatasi penarikan dana besar secara tiba-tiba yang dilakukan oleh

para nasabah. Penelitian Altunbas et al. (2018) menemukan bahwa rasio likuiditas

mampu mendukung stabilitas perbankan. Oleh karena itu, rasio likuiditas diduga

berpengaruh negatif terhadap probabilitas kegagalan bank.

H5: Rasio likuiditas berpengaruh negatif terhadap probabilitas kegagalan bank.

2.4.3 Hubungan Makroekonomi dan Probabilitas Kegagalan Bank

Faktor-faktor makroekonomi yang dijadikan variabel independen dalam penelitian

ini adalah LPDB yang merupakan log natural PDB dan suku bunga bank sentral

yang diproksikan dengan BI rate. PDB digunakan sebagai determinan probabilitas

kegagalan bank dengan tujuan untuk dijadikan variabel kontrol dari fluktuasi siklus

bisnis dan kondisi perekonomian. Seperti yang dikemukakan oleh Bhattacharya et

al. (2015), agen-agen ekonomi termasuk bank, berekspektasi optimis ketika melihat

prospek ekonomi pada saat perekonomian sedang baik dengan menambah hutang

dan menggeser portofolionya ke proyek yang sebelumnya dianggap terlalu berisiko,

sehinga ketika perekonomian lesu, terjadilah krisis keuangan dan tingkat kegagalan

bank menjadi lebih parah. Penelitian Cerutti et al. (2017) menemukan bahwa

LPDB mendukung instabilitas keuangan. Oleh karena itu, LPDB diduga

berpengaruh positif terhadap probabilitas kegagalan bank.


39

H6: LPDB berpengaruh positif terhadap probabilitas kegagalan bank.

Suku bunga bank sentral menjadi indikator sektor perbankan dalam

menentukan suku bunga pendanaan dan suku bunga penyaluran kredit. Proksi ini

dipilih sesuai dengan penelitian sebelumnya (Altunbas et al., 2018; Arderly dan

Syofyan, 2016; Cerutti et al., 2017; Claessens et al., 2013; Greenwood-Nimmo dan

Tarassow, 2016; Igan dan Kang, 2011; Purnawan dan Nasir, 2015; Vandenbussche

et al., 2015). Kenaikan suku bunga dapat menurunkan pertumbuhan kredit baru dan

oleh karena itu, suku bunga diduga berpengaruh negatif terhadap probabilitas

kegagalan bank.

H7: Suku bunga berpengaruh negatif terhadap probabilitas kegagalan bank.

2.5 Kerangka Pemikiran Penelitian

Kerangka pemikiran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

Kebijakan Indeks Kebijakan Makroprudensial


Makroprudensial (𝐻𝑎1 < 0)

Rasio Simpanan terhadap Liabilitas


(𝐻𝑎2 < 0)
(Probabilitas Kegagalan Bank)
Stabilitas Keuangan

Ukuran Bank
(𝐻𝑎3 ≠ 0)
Variabel Karakter
Spesifik Perbankan
Rasio kapital terhadap Aset
(𝐻𝑎4 < 0)

Rasio Likuiditas
(𝐻𝑎5 < 0)

LPDB
(𝐻𝑎6 > 0)
Variabel
Makroekonomi
Suku Bunga
(𝐻𝑎7 < 0)
Gambar 2.5 Kerangka Pemikiran Penelitian
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Definisi Operasional Variabel

Dalam penelitian ini terdapat dua jenis variabel, yaitu variabel dependen dan

variabel independen. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah stabilitas

perbankan yang diproksikan dengan probabilitas kegagalan bank, sedangkan

variabel independen utamanya adalah kebijakan makroprudensial yang diproksikan

dengan indeks kebijakan makroprudensial yang disusun berdasarkan pendekatan

Cerutti et al. (2017). Kemudian, variabel independen kontrolnya adalah variabel

karakter spesifik perbankan yang meliputi rasio simpanan terhadap liabilitas,

ukuran bank yang diproksikan dengan nilai log natural jumlah aset, rasio kapital

terhadap aset, dan rasio likuiditas. Variabel makroekonomi juga digunakan sebagai

variabel independen kontrol yang meliputi variabel log natural PDB atau LPDB dan

suku bunga yang diproksikan dengan BI rate. Definisi operasional variabel yang

digunakan pada penelitian ini disajikan secara detil pada Tabel 3.1.

40
41

Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel

No. Variabel (Singkatan) Keterangan Pengukuran Satuan Sumber Data


1. Probabilitas Variabel yang mencerminkan risiko Diukur menggunakan estimasi Rasio Data nilai pasar ekuitas diambil dari
kegagalan bank kegagalan bank. Nilainya 0 sampai 1, model Merton (1974) Database Refinitiv EIKON, sedangkan
(PK) semakin mendekati 1 maka semakin besar data liabilitas diambil dari Laporan
risiko kegagalannya. Keuangan Bank di laman situs Otoritas
Jasa Keuangan
2. Indeks kebijakan Mengukur kebijakan makroprudensial Disusun berdasarkan pendekatan Indeks Berdasarkan penelusuran dokumen
makroprudensial dengan cara menjumlahkan 12 variabel Cerutti et al. (2017) dengan rumus: peraturan di laman situs Bank
(IKMP) dummy jenis instrumen kebijakan IKMP = LTV + DTI + DP + CCB Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan
makroprudensial . Dummy bernilai 1 jika + LEV + SIFI + INTER + CONC +
bank sentral mengeluarkan kebijakan FC + RR + CG + TAX
makroprudensial pada periode t dan
bernilai nol jika sebaliknya.
3. Rasio simpanan Mengukur komposisi pendanaan yang 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑆𝑖𝑚𝑝𝑎𝑛𝑎𝑛 Rasio Laporan Keuangan Bank di laman
terhadap liabilitas bersumber dari simpanan nasabah 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑙𝑖𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑎𝑠 situs Otoritas Jasa Keuangan
(DEP) terhadap total liabilitas.
4. Ukuran bank Merupakan nilai log natural dari aktiva 𝑙𝑛(𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑒𝑡) Log natural Laporan Keuangan Bank di laman
(LSIZE) yang merupakan sumber daya atau jutaan Rp. situs Otoritas Jasa Keuangan
kekayaan yang dimiliki oleh bank
5. Rasio kapital Mengukur rasio modal terhadap aset yang 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐾𝑎𝑝𝑖𝑡𝑎𝑙 Rasio Laporan Keuangan Bank di laman
terhadap aset (CAP) dimiliki oleh bank. 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑎𝑠𝑒𝑡 situs Otoritas Jasa Keuangan
6. Rasio likuiditas Mengukur kemampuan bank dalam 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐾𝑎𝑠 𝑑𝑎𝑛 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑠𝑒𝑘𝑢𝑟𝑖𝑡𝑎𝑠 Rasio Laporan Keuangan Bank di laman
(LIQ) memenuhi kewajiban jangka pendek. 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑎𝑠𝑒𝑡 situs Otoritas Jasa Keuangan
7. Log natural PDB Mengukur siklus bisnis dan kondisi 𝑙𝑛(𝑃𝐷𝐵) Log natural Badan Pusat Statistik
(LPDB) perekonomian. miliar Rp.
8. Suku bunga Suku bunga BI rate sebagai proksi dari Ditetapkan oleh Bank Indonesia Rasio Bank Indonesia
(SUKUBUNGA) kebijakan moneter bank sentral.
42

3.2 Objek Penelitian

Estimasi model Merton (1974) mensyaratkan penerbitan ekuitas bank di pasar

saham, sehingga bank yang menjadi sampel hanyalah bank yang terdaftar di Bursa

Efek Indonesia (BEI). Periode pengamatan dibatasi dari kuartal 1 tahun 2010

sampai kuartal 4 tahun 2018. Metode purposive sampling digunakan untuk memilih

sampel sesuai dengan kebutuhan penelitian. Adapun kriteria purposive sampling

yang digunakan adalah sebagai berikut.

1. Bank yang konsisten terdaftar di BEI selama periode kuartal 1 tahun 2010

sampai kuartal 4 tahun 2018.

2. Bank yang laporan keuangannya konsisten tersedia dari kuartal 1 tahun 2010

sampai kuartal 4 tahun 2018.

Berdasarkan kriteria pemilihan sampel yang telah ditentukan, terpilih 25

bank dengan rincian sebagai mana dirangkum pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2 Sampel Bank Terpilih

No. Kode Nama Bank


1 BBTN Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk.
2 BTPN PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk.
3 BACA PT Bank Capital Indonesia Tbk.
4 MCOR PT Bank China Construction Bank Indonesia Tbk.
5 SDRA PT Bank Woori Saudara Indonesia 1906 Tbk.
6 BBKP Bank Bukopin Tbk.
7 BNBA Bank Bumi Arta Tbk.
8 BBRI PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk.
9 AGRO Bank Rakyat Indonesia Agroniaga Tbk.
10 BMRI PT Bank Mandiri (Persero) Tbk.
11 BKSW PT Bank QNB Indonesia Tbk.
12 BABP PT Bank MNC Internasional Tbk.
13 BSWD Bank of India Indonesia Tbk.
43

No. Kode Nama Bank


14 BBNP Bank Nusantara Parahyangan Tbk.
15 BBCA PT Bank Central Asia Tbk.
16 MEGA Bank Mega Tbk.
17 BVIC Bank Victoria International Tbk.
18 MAYA PT Bank Mayapada Internasional Tbk.
19 BBNI Bank Negara Indonesia Tbk.
20 NISP PT Bank OCBC NISP Tbk.
21 INPC Bank Artha Graha Internasional Tbk.
22 BNLI Bank Permata Tbk.
23 BDMN Bank Danamon Indonesia Tbk.
24 BNGA PT Bank CIMB Niaga Tbk.
25 BNII PT Bank Maybank Indonesia Tbk.

3.3 Metode Analisis

3.3.1 Model Merton (1974)

Probabilitas kegagalan bank diperoleh dengan cara mengestimasi Model Merton

(1974) dengan menggunakan indikator nilai pasar ekuitas, nilai buku liabilitas, dan

nilai risk free rate. Probabilitas kegagalan bank didefinisikan sebagai nilai

probabilitas bank tidak akan mampu memenuhi sebagian atau seluruh

kewajibannya (hutangnya) kepada nasabah.

Model Merton (1974) dianggap cukup baik ketika digunakan untuk

mengestimasi risiko kegagalan sebuah perusahaan (Hadad et al., 2004; Tudela dan

Young, 2005). Selain itu, model Merton juga diaplikasikan secara komersilkan oleh

Moody’s KMV untuk menilai risiko kredit perusahaan dengan menggunakan

metode kalkulasi yang didokumentasikan oleh Crosbie dan Bohn (2003). Estimasi

model Merton pada penelitian ini menggunakan Risk Management Toolbox Matlab

yang formulanya dikembangkan berdasarkan pendekatan Zielinski (n.d.), Loffler

dan Posch (2011), serta Kim et al. (2013). Asumsinya, struktur modal bank terdiri
44

dari nilai ekuitas dan nilai liabilitas. Kemudian nilai pasar dari aset dasar bank

mengikuti Geometric Brownian Motion (GBM) dalam bentuk Persamaan 3.1.

𝑑𝑉𝐴 = 𝜇𝐴 𝑉𝐴 𝑑𝑡 + 𝜎𝐴 𝑉𝐴 𝑑𝑊 ………………………………………………… (3.1)

𝑑𝑉𝐴 adalah perubahan nilai aset bank, 𝜇𝐴 adalah expected return dari aset (atau

disebut drift rate), 𝜎𝐴 adalah volatilitas aset, dan 𝑊 adalah Wiener process.

Nilai pasar dari ekuitas digambarkan melalui formula Black dan Scholes

(1973) sebagaimana diuraikan pada Persamaan 3.2.

𝑉𝐸 = 𝑉𝐴 𝑁(𝑑1 ) − 𝐿−𝑟𝑇 𝑁(𝑑2 ) ……………………………………………... (3.2)

𝑉𝐸 adalah nilai pasar ekuitas, 𝑉𝐴 adalah nilai aset, 𝐿 adalah nilai buku liabilitas, T

adalah waktu jatuh tempo yakni diasumsikan 1 tahun, r adalah nilai risk free rate

yang diproksikan oleh suku bunga pasar uang antar bank, dan N adalah fungsi

untuk distribusi normal kumulatif.

Kemudian nilai d1 dan d2 didapatkan dari Persamaan 3.3 dan 3.4.


𝑉 1 2
ln( 𝐴 )+(𝑟+ 𝜎𝐴 )𝑇
𝐿 2
𝑑1 = 𝜎𝐴 √𝑇
…………………………………………...................... (3.3)

d 2 = d1 −  A T
…………………………………………………………… (3.4)

Risk Management Toolbox Matlab menggunakan fungsi

“mertonByTimeSeries” yang membutuhkan data deret waktu nilai pasar ekuitas dan

semua parameter yang ada di dalam model. Jika nilai pasar ekuitas deret waktu

mempunyai sejumlah n titik data, fungsi tersebut akan mengkalibrasi sejumlah n

nilai aset VA,1, ….,VA,n yang merupakan solusi dari sistem Persamaan 3.5.
45

−𝑟1 𝑇1
𝑉𝐸,1 = 𝑉𝐴,1 𝑁(𝑑1 ) − 𝐿1 𝑁(𝑑2 )
−𝑟2 𝑇2
𝑉𝐸,2 = 𝑉𝐴,2 𝑁(𝑑1 ) − 𝐿2 𝑁(𝑑2 )

−𝑟𝑛 𝑇𝑛
𝑉𝐸,𝑛 = 𝑉𝐴,𝑛 𝑁(𝑑1 ) − 𝐿𝑛 𝑁(𝑑2 )…………………………………………. (3.5)

Fungsi “mertonByTimeSeries” secara langsung menghitung volatilitas aset

(𝜎𝐴 ) yang merupakan nilai standar deviasi log return dari data deret waktu nilai

aset VA,1, ….,VA,n. Nilai 𝜎𝐴 merupakan nilai volatilitas tunggal yang menangkap

volatilitas aset selama periode waktu yang ditentukan berdasarkan data deret waktu.

Setelah menghitung nilai VA dan nilai 𝜎𝐴 , fungsi “mertonByTimeSeries”

menghitung distance to default (DD) yang merupakan jumlah standar deviasi antara

nilai aset yang diekspektasikan pada saat jatuh tempo T dan ambang batas liabilitas

seperti yang diuraikan pada Persamaan 3.6.

2 1
ln 𝑉𝐴 +(𝜇𝐴 − 𝜎𝐴 )𝑇−ln 𝐿
𝐷𝐷 = 2
………………………………………………… (3.6)
𝜎𝐴 √𝑇

Parameter 𝜇𝐴 merupakan drift rate yang dapat disetarakan dengan risk free

rate atau r, atau bisa juga nilai lain yang didasarkan pada ekspektasi terhadap bank.

Probabilitas kegagalan bank didefinisikan sebagai probabilas jatuhnya nilai aset

bank di bawah ambang batas liabilitas pada saat jatuh tempo T yang diuraikan pada

Persamaan 3.7.

𝑃𝐾 = 1 − 𝑁(𝐷𝐷) …………………………………………………………. (3.7)

Nilai dari probabilitas kegagalan bank yang terendah adalah 0 dan yang

tertinggi yaitu 1. Semakin mendekati 0 maka stabilitas bank semakin baik. Begitu

juga sebaliknya, semakin mendekati 1 maka stabilitas bank semakin buruk.


46

3.3.2 Pendekatan Panel Autoregressive Distributed Lag (ARDL)

Data panel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 25 bank dan 36 kuartal,

atau dengan kata lain, memiliki jumlah periode (t) yang lebih besar daripada jumlah

grup (N). Variabel yang digunakan mungkin stasioner pada bentuk level, I(0),

namun ada juga yang stasioner pada bentuk first difference, I(1), serta bentuk

modelnya kemungkinan dinamis. Oleh karena itu, kerangka yang cocok dengan

tipikal data tersebut adalah kerangka panel-ARDL (Pesaran et al., 1999; Pesaran

dan Smith, 1995).

Model yang diestimasi pada penelitian ini merupakan bentuk panel-ARDL

(p,q,q, … , q) sebagai berikut.

𝑃𝐾𝑖𝑡 = ∑𝑝𝑗=1 𝛼𝑖𝑗 𝑃𝐾𝑖,𝑡−𝑗 + ∑𝑞𝑗=0 𝛿𝑖𝑗 ′𝑋𝑖,𝑡−𝑗 + 𝜇𝑖 + 𝜀𝑖𝑡 …………………….. (3.8)

PK adalah probabilitas kegagalan bank, sedangkan X adalah vektor dari independen

variabel yang terdiri dari indeks kebijakan makroprudensial (IKMP), rasio

simpanan terhadap liabilitas (DEP), ukuran bank (LSIZE), rasio kapital terhadap

aset (CAP), rasio likuiditas (LIQ), log natural PDB (LPDB), dan suku bunga

(SUKUBUNGA). Parameter model Persamaan 3.8 kemudian disusun ulang

menjadi persamaan 3.9.

∆𝑃𝐾𝑖𝑡 = 𝜑𝑖 (𝑃𝐾𝑖,𝑡−1 − 𝛽𝑖 ′𝑋𝑖𝑡 ) + ∑𝑝−1 ∗ 𝑞−1 ∗


𝑗=1 𝛼𝑖𝑗 ∆𝑃𝐾𝑖,𝑡−𝑗 + ∑𝑗=0 𝛿𝑖𝑗 ′∆𝑋𝑖,𝑡−𝑗 + 𝜇𝑖 +

𝜀𝑖𝑡 …………………………………………………………………………... (3.9)

𝛽𝑖 adalah vektor koefisien yang mengukur pengaruh jangka panjang

variabel independen terhadap probabilitas kegagalan bank, dan 𝜑𝑖 adalah pengaruh



mekanisme koreksi kesalahan. Paramater 𝛼𝑖𝑗 dan 𝛿𝑖𝑗∗ adalah koefisien yang
47

mengukur pengaruh jangka pendek. 𝜇𝑖 merupakan individual fixed effect atau error

yang bersifat tetap antar waktu namun bervariasi antar individu. 𝜀𝑖𝑡 merupakan

disturbance yang terdistribusi secara independen antarwaktu dan antar grup,

memiliki zero mean dan bervarians konstan di dalam setiap unitnya.

Model Persamaan 3.9 diestimasi menggunakan estimator pooled mean

group (PMG) yang membatasi koefisien jangka panjang agar bernilai sama, tetapi

membolehkan koefisien jangka pendek dan error variance bernilai beda antar grup

(Pesaran et al., 1999). Pada penelitian Pesaran et al., (1999) menggunakan data

panel dengan periode sebesar 32 dan jumlah grup sebesar 24 yang mana mirip sekali

dengan bentuk data panel yang digunakan pada penelitian ini.

Anda mungkin juga menyukai