Anda di halaman 1dari 17

Financial Fragility, Financial Resilience dan keterkaitan Financial Optimism

selama COVID-19: Apakah Financial Literacy itu penting?

ROPOSAL THESIS

OLEH
NADIA PRIMA INDRATIRTA
NIM. 190421862404
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS EKONOMI
MAGISTER AKUNTANSI
2022

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pandemi Covid-19 telah mengguncang perekonomian dunia. Salah satu
dampak dari pandemic tersebut adalah meningkatnya pengangguran (Baker et al.,
2020) dan krisis substansial dimana tidak ada kepastian kapan pandemic ini akan
berakhir meskipun telah ditemukan vaksin (Jorda et al., 2020). Dengan adanya
penyebaran Covid-19 ditengah masyarakat turut memukul perekonomian negara
Indonesia. Hampir semua sektor perekonomian nasional mengalami perlambatan.
Bahkan ada kekhawatiran Covid-19 menyebabkan krisis ekonomi yang berujung
pada Pemberhentian Hubungan Kerja (PHK), ditengah pandemi yang belum dapat
di prediksi kapan berakhir, work from home (WFH) menjadi satu-satunya opsi
untuk mencegah keadaan lebih buruk bagi karyawan maupun parusahaan
(Mustakim & Syafrida, 2020).
Biaya transportasi sedikit menurun karena aktivitas banyak dirumah,
konsumsi BBM berkurang dan secara nasional juga dapat berkurang, diasumsikan
mengurangi beban anggaran pemerintah disatu sisi, tapi disisi lain juga diiringi oleh
menurunnya pendapatan keluarga. Pelaku-pelaku ekonomi (terutama menengah dan
kecil UMKM) yang pendapatan mulai berkurang bahkan berhenti, imbasnya
pembayaran upah/gaji dapat berkurang, ditunda, tidak dibayar (Herispon, 2020).
Menurut Otoritas Jasa Keuangan (2017), literasi keuangan masyarakat yang
baik dapat mendukung pembangunan ekonomi karena hal tersebut menandakan
sumber daya manusia dalam negeri berkualitas. Oleh sebab itu, membentuk
masyarakat yang well literate menjadi PR besar bagi pemerintah. Krisis keuangan
merupakan salah satu bentuk nyata dari akibat kurangnya literasi keuangan (Geradi
et al, 2010) dan memberikan pelajaran berharga bagi dunia. Masyarakat di Amerika
memperoleh pelajaran berharga melalui kejadian krisis keuangan, yaitu pentingnya
mengelola uang (Remund, 2010). Agar dapat tertanam pemikiran tersebut, literasi
keuangan harus dibangun dengan melalui pengedukasian keuangan. Jika
masyarakat memahami akan pentingnya literasi keuangan maka dengan adanya
virus corona ini maka tidak akan dapat mempengaruhi proyeksi pasar. Investor juga
bisa menunda investasi karena ketidakjelasan supply chain atau akibat asumsi
pasarnya berubah.
Di Indonesia banyak orang mengalami masalah keuangan yang ditandai
dengan beberapa fakta, antara lain pada hutang rumah tangga atau individu yang
semakin meningkat, semakin berkembangnya kegiatan menabung dan
penganggaran dana untuk masa depan, semakin berkembangnya bisnis konsultasi
kredit konsumen, dan ketergantungan akan kartu kredit meningkat. Selain itu, 46%
kenakalan remaja adalah tingkat pencurian dengan alasan faktor ekonomi dan
keadaan karena tidak bekerja akibat COVID atau di PHK.
(www.youthfinanceindonesia.org). Individu yang memiliki kemampuan untuk
membuat keputusan yang benar tentang keuangan tidak akan memiliki masalah
keuangan di masa depan dan dapat menujukkan perilaku keuangan yang sehat.
Perencanaan keuangan menjadi salah satu perilaku keuangan yang dapat
mengantisipasi menculnya masalah keuangan di masa yang akan datang. Literasi
keuangan di Indonesia masih tergolong rendah jika dibandingkan Malaysia dan
Thailand pada tahun 2018 hanya 21,84% masyarakat Indonesia yang memiliki
pemahaman yang baik tentang finasial (Otoritas Jasa Keuangan, 2016).
Banyaknya masyarakat yang tidak mengerti tentang finansial menyebabkan
banyak masyarakat yang mengalami kerugian, baik akibat penurunan kondisi
ekonomi dan inflansi atau karena berkembangnya sistem ekonomi yang cenderung
boros karena masyarakat konsumtif dan juga dengan adanya pandemi COVID ini
dalam hal ini biasanya wanita cenderung mengalami optimis dalam kondisi
ekonomi dan keuangan pribadi (Jacobsen dkk, 2014).

Untuk itu peneliti merasa tertarik untuk mempelajari “Financial Fragility,


Financial Resilience dan keterkaitan Financial Optimism selama COVID-19”
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana peran pengaruh Financial Fragility terhadap Financial Optimism?
2. Bagaimana peran pengaruh Financial Resilience terhadap Financial
Optimism?
3. Apakah Literacy Financial berperan sebagai moderasi pada pengaruh
Financial Fragility dan Financial Resilience terhadap Financial Optimism?

C. Tujuan Penelitian
1. Mengobservasi, menyelidiki serta menginterpretasikan financial fragility
dalam menurunkan financial optimism dan financial literacy.
2. Mengobservasi, menyelidiki serta menginterpretasikan financial resilience
dalam meningkatkan financial optimism.
3. Mengobservasi, menyelidiki serta menginterpretasikan peran moderasi
financial literacy dan financial resilience terhadap financial optimism.
4. Memberikan informasi serta literature berupa financial fragility, financial
resilience, financial optimism dan financial literacy khususnya kepada
perusahaan agar dapat segera mendapatkan kepulihan finansial selama
pandemi.
5. Bagi masyarakat khususnya calon mahasiswa akuntansi dan lulusan prodi
akuntansi supaya lebih meningkatkan kesadaran isu financial optimism dan
financial fragility yang akan menjadi suatu motivasi bagi dirinya dalam
meningkatkan survive individu dalam menghadapi pandemi.

D. Metode penelitian
Rencana obyek penelitian ini adalah ibu rumah tangga yang ada di karesidenan
Madiun, provinsi Jawa Timur. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data primer yang dikumpulkan melalui observasi, wawancara dan kuisioner pada
ibu rumah tangga yang ada di karesidenan Madiun, provinsi Jawa Timur. Hasil
rekapitulasi data tersebut kemudian akan di olah menggunakan metode Moderated
Regression Analysis (MRA).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Financial Behaviour Theory


Pembahasan teori perilaku leuangan ini sedikit agak lebih hati-hati karena
sudah memasukkan analisis faktor psikologi dalam membahas keputusan dalam
bidang keuangan. Kahneman sebagai salah satu promotor teori ini mendapatkan
hadiah Nobel pada tahun 2002 yang memberikan alternatif analisis dalam bidang
ekonomi dan keuangan.
Shefrin (2000) menyatakan ada tiga tema yang dibahas dalam perilaku
keuangan dimana tema tersebut dibuat dalam bentuk pertanyaan yaitu :
 Apakah praktisi keuangan mengakui adanya kesalahan karena selalu
berpatokan kepada yang telah ditentukan (rules of thumb). Bagi
penganut perialku keuangan mengakuinya sementara keuangan
tradisional tidak mengakuinya. Penggunaan rules of thumb ini disebut
dengan Heuristics to Process data. Penganut keuangan tradisional selalu
menggunakan alat statistik secara tepat dan benar untuk mengolah data.
Sementara penganut perilaku keuangan melaksanakan rules of thumb
seperti “back-of-the-envelope calculations” dimana ini secara umum
tidak sempurna. Akibatnya, praktisi memegang “biased beliefs” yang
mempengaruhi memenuhi janji terhadap kesalahan tersebut. Tema ini
dikenal dengan Heuristic driven bias.
 Apakah bentuk termasuk inti persoalan (substance) mempengaruhi
oraktisi? Penganut perilaku keuangan menyatakan bahwa persepsi
praktisi terhadap risiko dan tingkat pengembalian sangat dipengaruhi
oleh bagaimana “decision problem” dikerangkannya (framed).
Sementara penganut keuangan tradisional memandang semua
keputusan berdasarkan transparan dan objektif. Tema ini dikenal
dengan frame dependence.
 Apakah kesalahan dan kerangka mengambil keputusan mempengaruhi
harga yang dibangun pada pasar? Penganut perilaku keuangan
menyatakan “heuristic-driven bias” dan pengaruh framing
menyebabkan harga jauh dari nilai fundamentalnya sehingga pasar
tidak efisien. Sementara penganut keuangan tradisional mengasumsikan
pasar efisien seperti yang diuraikan Fama (1970). Tema ini kemudian
dikenal dengan pasar tidak efisien inefficient masrket.
Statman (1950) menyatakan bahwa manusianya rational untuk keuangan
tradisional dan berfikir normal untuk perilaku keuangan. Sementara Sherin (2005)
menyatakan perbedaan perilaku keuangan dan keuangan tradisional ditunjukkan
olehdua persoalan untuk harga aset yaitu : sentiment dimana sentiment ini
merupakan faktor yang dominan dalam terjadinya harga di pasar untuk perilaku
konsumen. Sementara keuangan tradisional menyatakan harga aset selalu dikaitkan
dengan resiko fundamental atau time varying risk aversion. Espektasi utilitas,
melakukan maksimunisasi ekspetasi utilitas untuk keuangan tradisional. Sementara,
perilaku keuangan menyatakan bahwa investor tidak sesuai dengan teori ekspektasi
utilitas.
Salah satu penggagas teori ini Kahneman dan Tversky (1979) yang
memperkenalnya teori prospek. Teori ini dimulai dengan mengkritik teori utilitas
yang paling banyak dipergunakan dalam menganalisis investasi terutama dalam
kondisi berisiko. Manusia dalam mengambil keputusan berperilaku menurut ilmu
psikologi. Pengambilan keputusan kondisi berisiko dapat dipandang sebagai sebuah
pilihan antara prospek atau gambles. Sebuah prospek ( y 1, p1; ...; x n, pn) merupakan
sebuah kontrak yang menghasilkan hasil x i dengan probabilitas pi dimana p1+ p2
+ ..... + pn = 1. Bisan digunakan (x, p) untuk menyatakan prospek (x,p; 0,1-p) yang
menghasilkan x dengan probabilitas p dan 0 dengan probabilitas 1-p. Diskusi yang
dibicarakan ada tiga prinsip yang harus di pegang untuk mengaplikasikan teori
ekspektasi utilitas kepada pilihan antara prospek yaitu :
a) Ekspektasi: U( x 1, p1; …; x n, pn) = p1u( x 1) + … + pnu( x n) Seluruh utilitas prospek
ditunjukkan oleh U, merupakan ekspektasi utilitas dari hasinya.
b) Asset Integration: ( x 1, p1; ….; x n, pn) diterima pada posisi aset w jika hanya jika
U(w + x 1, p1; …; w + x n, pn) > u(w)
Sebuah prospek dapat diterima jika utilitas yang dihasilkan dari penggabungan
(integrating) the prospek dengan satu aset yang melebihi utilitas aset tersebut
tersendiri. Domain fungsi utilitas adalah situasi akhir (final states) daripada gain
atau rugi.
c) Risk Aversion: u adalah cekung (concave) (u” < 0) Seseorang dinyatakan sebagai
penghindar risiko (risk averse) jika orang tersebut akan lebih menyukai prospek
tertentu (x) untuk setiap prospek dengan nilai ekspektasinya x. Pada teori
ekspektasi utilitas, penghindar risikonya sama kepada kecekungan fungsi
utilitasnya. Kelaziman penghindar risiko kemungkinan dikenal dengan
generalisasi kecuali pemilihan risiko.
Sesuai dengan uraian sebelumnya, pembahasan teori prospek dimulai dengan
hasil moneter dan probalitas situasi (states probabilitas), tetapi akan bisa diperluas
dengan banyak pilihan. Dalam teori prospek memisahkan dua tahap pada proses
pilihan yaitu pertama, tahap perbaikan (editing phase), merupakan tahapan analisis
awal atas prospek yang ditawarkan. Hasil tahapan ini representasi prospek yang
sederhana. Fungsi dari tahapan ini mengorganisasikan dan memformulasiokan opsi
yang ada sehingga memudahkan melakukan evaluasi dan pilihan. Kedua, tahap
evaluasi (evaluating phase) dan pemilihan prospek yang berilai tinggi.
Bila sekuruh nilai dari prospek yang sedang diperhatikan dutunjukkan oleh V
dimana dinyatakan dalam dua skala π dan υ. Skala π dihubungkan dengan setiap
[probabilitas p yang penimbang keputusannya π(p), merefleksikan pengaruh p pada
seluruh nilai prospek. Tetapi π bukan ukuran probabilitas dan akan ditunjukkan
bahwa π(p) + π (1-p) secara khusus lebih kecil dari satu. Skala υ dinyatakan kepada
setiap hasil x yang jumlahnya υ(x), merefleksikan nilai subjektif dari hasilnya. Hasil
didefinisikan relatif terhadap poin yang di tuju (reference poin), yang dianggap
sebagai poin nol dari nilai skala. Υ mengukur nilai gain atau rugi, jarak dari poin
yang di tuju.
Adapun formulasi prospek sederhananya (x, p; y,q) yang memiliki dua hasil
bukan nol, sehingga x dengan probabilitas p dan y dengan probabilitas q dan tidak
ada probabilitas 1-p-q dimana p + q ≤1. Sebuah prospek yang ditawarkan secara
tepat positif jika hasilnya seluruhnya positif y > 0 dan p+q= 1; hasilnya secara tepat
negatif jika hasil seluruh negatif. Sebuah prospek regular jika hasilnya secara tepat
tidak negatif atau positif. Persamaan dasar dari teori yang diuraikan dimana υ dan π
dikombinasikan untuk menentukan seluruh nilai dari prospek negatif regular.
Jika (x, p; y, q) merupakan prospek regular (misalnya, salah satu p+q,1 atau
x≥0≥y, dan x ≤0≤y) kemudian sebagai berikut : V(x, p; y, q)=π(p) υ(x) +π(q)υ(y)
Dimana υ(0) = 0, π(0)=0 dan π(1)=1. Sesuai dengan teori utilitas. V dinyatakan
prospek dan υ dinyatakan hasil. Dua skala secara kebetulan prospek yang sama
dimana V(x,0.1)=V(x)=υ(x).
Dalam tahap evaluasi, prospek yang secara tepat dinyatakan positif dan
negative harus mengikuti aturan yang berbeda. Pada tahapan perbaikan (editing),
prospek tersebut dipisahkan ke dalam dua komponen (a) komponen berisiko rendah
misalnya, untung atau rugi minimum yang secara tertentu dapat diperoleh atau
dibayar; (b) komponen yang berisiko; adalah tambahan gain atau rugi yang secara
aktual pada “stake”. Evaluasi prospek akan diuraikan sebagai berikut:
Jika p+q=1 dan salah satu x>y>0 atau x<y<0 maka
V(x, p; y, q)= υ(p)+π(p) )[υ(x) – υ(y)]
Nilai tersebut merupakan nilai prospek yang secara tepat positif atau negative
sama dengan nilai komponen tidak berisiko ditambah nilai perbedaan (value-
difference) hasil yang dikalikan dengan penimbang bersamaan dengan hasil yang
ekstrim. Nilai sebelah kanan persamaan (16.2) sama dengan π(p) υ(x) + [1 –
π(p)]υ(y). Persamaan (16.2) menjadi persamaan (16.1) jika π(p) + π(1 – p) = 1
Berdasarkan uraian sebelumnya maka teori prospek berisikan tiga fungsi yaitu
spesifikasi mental accounting untuk mendapatkan pengaruh framing (framing effect);
fungsi nilai (value function) menyatakan fungsi utilitas yang mendefinisikan untung
(again) dan rugi (losses); sebuah fungsi penimbang probabilitas (probability wighting
function)

B. Data Penelitian
Data penelitian dalam penelitian ini meliputi dan sumber data beserta metode
pengumpulan data yaitu sebagai berikut:
1. Jenis dan sumber data
Dalam sebuah penelitian, diperlukan jenis data dan sumber data yang
lengkap dan akurat jenis data dalam penelitian ini adalah Rencana obyek
penelitian ini adalah ibu rumah tangga yang ada di karesidenan Madiun,
provinsi Jawa Timur. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data primer yang dikumpulkan melalui observasi, wawancara dan kuisioner
pada ibu rumah tangga yang ada di karesidenan Madiun, provinsi Jawa
Timur. Hasil rekapitulasi data tersebut kemudian akan di olah
menggunakan metode analisis regresi linear.

2. Metode pengumpulan data


Metode pengumpulan data dalam penelitian ini data primer yang
dikumpulkan melalui observasi wawancara dan kuisioner pada ibu rumah
tangga yang ada di karesidenan Madiun.
Setelah memperoleh responden yang sesuai dengan kriteria dan
menyetujui untuk memberikan waktunya dalam mengisi kuisioner,
oenelitian menerangkan bagaimana sistem penelitian ini. Berikut
merupakan langkah dalam menerangkan responden untuk mengisi
kuisioner:
a. Pembagian kuisioner, responden mengisi identitas responden
serta beberapa pertanyaan awal yang telah disediakan oelhe
peneliti.
b. Selanjutnya dilekukan pretest, perlakuan dan postest. Hal ini
mengacu pada dasar desain penelitian yang telah dipaparkan
bahwa rancangan penelitian ini terdiri dari satu kelompok (tidak
terdapat kelompok kontrol) dan proses penelitiannya terdiri dari
3 tahap, yaitu (Yusuf, 2017):
 Melakukan pretest
Hal ini digunakan untuk mengukur kondisi awal responden
sebelum diberikan perlakuan yaitu dengan cara mengisi
kuisioner pretest yang telah disediakan dimana untuk
mengetahui pendapat responden tentang adanya masalah
kesenjangan gender dalam profesi akuntansi dikarenakan
adanya perkembangan teknologi saat ini.
 Memberikan perlakuan
Perlakuan yang diberikan berupa mengikuti pelatihan
akuntansi tentang penggunaan aplikasi zahira atau myob
kepada peserta.
 Melakukan postest
Setelah responden menjawab beberapa pertanyaan yang
ditujukan untuk sekedar mengetahui pemahaman responden
akan perlakuan yang telah diberikan. Kemudian setelah itu
responden mengisi kuisioner kedua (postest) yang berisi
tentang pernyataan yang sama persis seperti pernyataan pada
pretest, namun pada postest ini hasilnya digunakan untuk
mengetahui bagaimana tanggapan responden ketika sesudah
diberikan perlakuan.
C. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
1. Variabel independen
a. Smart Machine Age
Smart machine age merupakan suatu keadaaan atau zaman yang
dimana seiring berkembangnya perkembangan teknolgi saat ini
banyak perubahan yang menjadikan setiap perusahaan untuk mampu
beradaptasi dengan mesin pintar. Adanya mesin pintar ini mempunyai
dampak yang positif dan negatif dimana dilihat dari sisi positifnya
mampu membantu manusia untuk menyelesaikan pekerjaan yang
dilakukan oleh manusia. Sedangkan, dilihat dari sisi negatifnya
dengan adanya perubahan ini memicu suatu masalah adanya
kesenjangan gender antara laki-laki dan perempuan karena
menganggap bahwa laki-laki lebih “ahli” daripada perempuan dalam
pengoperasian teknologi.
Instrumen yang digunakan untuk mengukur smart machine age
terdiri dari sebelas (11) item pertanyaan. Skala likert tujuh enam
dimulai dari sangat tidak setuju (STS), tidak setuju (TS), ragu-ragu
(RR), netral (N), setuju (S) dan sangat setuju (SS).
2. Variabel dependen
Dalam penelitian ini yang termasuk ke dalam variabel dependen adalah
kesenjangan gender dalam profesi akuntansi. Kesenjangan gender dalam profesi
akuntansi merupakan suatu isu atau masalah yang sangat penting untuk
diperhatikan karena adanya perkembangan teknologi yang sangat pesat. Peran
seorang wanita dalam profesi akuntansi mungkin tidak bisa dipertahankan
karena kemungkinan besar peran pekerjaan yang biasanya dipegang perempuan
akan digantikan oleh kecerdasan buatan.
Instrumen yang digunakan untuk mengukur kesenjangan gender dalam
profesi akuntansi terdiri dari sembilan (9) item pertanyaan. Skala likert tujuh
enam dimulai dari sangat tidak setuju (STS), tidak setuju (TS), ragu-ragu (RR),
netral (N), setuju (S) dan sangat setuju (SS).
3. Intervensi
Coaching merupakan intervensi yang digunakan di dalam penelitian ini.
Definisi dari intervensi ini adalah suatu rangkaian program yang meliputi
pelatihan mengenai pelatihan kemampuan dan ketrampilan peserta sebelum
masuk ke dunia kerja khususnya bagi peserta perempuan agar tidak terjadi
kesenjangan gender dalam dunia kerja.

D. Definisi dan Tujuan Literasi Keuangan


Dalam mendefinisikan literasi keuangan para penliti tidak memiliki standar
yang pasti karena mereka memiliki pendapat dan mengacu pada literatur yang
berbeda-beda. Organisation for Economic Coperation and Development (2013), atau
yang biasa disingkat OECD, mendefinisikan lietrasi keuangan sebagai kombinasi
antara kesadaran, pengetahuan, keterampilan, sikap dan perilaku yang dibutuhkan
untuk mengambil keputusan keuangan dan pada akhirnya mencapai kesejahteraan
finansial individu. Smentara OJK mendefinisikan literasi keuangan sebagai
pengetahuan, keterampilan, dan keyakinan, yang mempengaruhi sikap dan perilaku
untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan pengelolaan keuangan
dalam rangka mencapai kesejahteraan (Otoritas Jasa Keuangan, 2017). The of
Chartered Certified Accountants (2014) merumuskan bahwa konsep literasi
keuangan mencakup pengetahuan mengani konsep keuangan, kemampuan mencakup
pengathuan mengenai konsep keuangan, kecakapan mengelola keuangan pribadi/
perusahaan dan kemampuan melakukan keputusan keuangan dalam situasi tertentu
(Aribawa, 2016).
Schwella dan Nieuwenhuyzen (2014) juga mendifiniskan literasi keuangan
sebagai pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dibutuhkan untuk menangani
masalah keuangan ini. Menurut Potrich er al (2017) literasi keuangan sering
disinonimkan dengan pendidikan keuangan atau pengetahuan keuangan. Dalam
literatur lain, literasi keuangan didefinisikan sebagai proses memperoleh
pengetahuan dan keterampialn yang memungkinkan pengambilan keputusan yang
lebih aman, sehingga memperbaiki pengelolaan keuangan pribadi. Dengan kata lain,
literasi keuangan mebantu individu dengan proses pengambilan keputusan keuangan,
karena menjadikan mereka mampu menganalisis peluang yang ditawarkan dan
lemungkinan risiko yang dapat ditimbulkan dengan memberikan bimbingan kepada
mereka terhadap pilihan yang akan menjadi pilihan yang paling sesuai untuk
kebutuhan mereka, sehingga meringankan masalah keuangan di masa yang akan
datang seperti hutang (Potrich et al, 2017). Oleh sebab itu, literasi keuangan sangat
terkait dengan perilaku, kebiasaan dan pengaruh dari faktor eksternal (Aribawa,
2016).
1. Aspek Literasi Keuangan
Dalam penelitian, Chen dan Volpe (1998) mengukur literasi keuangan
4 aspek yang dijadikan alat pengukur, yaitu :
a) General Knowledge (pengetahuan umum), yaitu meliputi
pengetahuan dasar tentang literasi keuangan yang dapat ditemu
dalam kehidupan sehari.
b) Savings and borrowing (simpanan dan pinjaman), yaitu mengenai
kredit, seperti penggunaan kartu kredit dan kelayakan kredit, serta
mengenai tabungan.
c) Insurance (asuransi), mengenai segala pengetahuan terkait
asuransi
d) Investments (invetstasi), mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
resiko, tingkat suku bunga, serta manfaat berinvestasi di masa
yang akan datang.
Sementara menurut Huston (2010) terdapat empat aspek penting
dalam menilai literasi keuangan, yaitu :
a) Money basic (keuangan dasar), yang meliputi nilai waktu uang,
daya beli, dan konsep akuntasi keuangan pribadi.
b) Borrowing (pinjaman), yaitu membawa sumber daya masa depan
ke masa sekarang melalui penggunaan kartu kredit, pinjaman
konsumen atau hipotek
c) Investing (investasi), yaitu menyimpan sumber daya saat ini untuk
penggunaan masa depan melalyi penggunaan tabungan, saham,
obligasi atau reksadana.
d) Protecting resources, dapat berupa pokok asuransu atau teknik
menajemen resiko lainnya.
Shen et al. (2016) berpendapat ada empat aspek yang mendasari
literasi keuangan, yaitu manajemen uang dan tabungan, manajemen kredit
dan pinjaman, perencanaan keuangan dan investasi, dan perencanaan
asuransi dan pensiun. Sementara itu, Thomson (2012) berpendapat dalam
Programme for Internastional Student Assessment bahwa ada empat aspek
dalam literasi keuangan :
a) Uang dan transaksi, mencakup aspek inti dari literasi keuangan,
seperti kesadaran atas perbedaan bentuk dan tujuan dari uang dan
penanganan transaksi moneter sederhana seperti pembayaran
sehari-hari, pengeluaran, nilai uang, kartu bank, cek, rekening
bank dan mata uang
b) Perencanaan dan pengelolaan keuangan, mencakup keterampilan
literasi keuangan yang penting, seperti perencanaan dan
pengelolaan pendapatan dan kekayaan baik jangka pendek
maupun jangka panjang, khususnya pengetahuan dan kemampuan
untuk memantau pendapatan dan biaya serta memanfaatkan
pendapatan dan sumber daya lain yang tersedia untuk
meningkatkan kesejahteraan finansial
c) Resiko dan keuntungan, mencakup kemampuan untuk
mengindentifikasi cara mengelola, menyeimbangkan dan
melindungi resiko (melalui produk asuransi dan tabungan) serta
pemahaman tentang potensi keuntungan atau kerugian finansial di
berbagai konteks dan produk keuangan, seprti perjanjian kredit
dengan suku bunga variabel dan produk investasi.
d) Financial Landscape, mencakup mengetahui hak dan tanggung
jawab konsumen di pasar keuangan dan lingkungan keuangan
umum, serta implikasi utana dari kontrak keuangan. Aspek ini
juga menggabungkan pemahaman tentang konsekuandi perubahan
kondisi ekonomi dan kebijakan publik, seperti perubahan tingkat
suku bunga, inflasi, perpajakan.
2. Kategorisasi Financial Literacy
Dalam penelitian Chen (2008), tingkat financial literacy dapat
dikategorikan menjadi tiga kelompok. Berikut ini daftar kategorisasi untuk
mengukur tingkat financial literacy :
Tabel Kategorisasi Financial Literacy
Kategorisasi Tinggi Sedang Rendah
Ukuran ≥ 80 % 60 % ≥ 80 % < 60 %

Berdasarkan Tabel diatas dijelaskan bahwa jika financial literacy berada di


ukuran rata-rata ≥80% berarti tingkat financial literacy tergolong dalam kategori tinggi,
selanjutnya jika financial literacy berada di ukuran 60%<80% berarti tingkat financial
literacy tergolong dalam ketagori sedang, sedangkan financial literacy berada di ukuran
rata-rata <60% berarti tingkat financial literacy tergolong dalam kategori rendah.
Pengkategorian ini didasarkan pada presentase jawaban responden yang benar dari
sejumlah pernyataan yang digunakan untuk mengukur literasi keuangan.
Indikator Financial Literacy

X1

X2

X3
Financial Literacy

X4
X5

Indikator Financial Literacy


X1: Dasar-dasar keungan
X2: Manajemen Uang
X3: Kredit dan Utang
X4: Tabungan dan Investasi
X5: Resiko dan Asuransi
Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskna bahwa dimenasi financial literacy
di ukur dengan menggunakan lima indikator yaitu, dasar-dasar, keuangan, menajemen
uang, kredit dan utang, tabungan dan investasi serta resiko dan dasar-dasar keuangan
dan suransi.
E. Keputusan Investasi
Investasi adalah proses atau tindakan penanaman modal terhadap pihak
yang membutuhkan dana dengan harapan akan mendapatakan keuntungan di masa
yang akan datang. Orang yang menanamkan modalnya disebut dengan investor.
Setiap investor dalam kegiatan investasinya memiliki tujuan yang berbeda, tetapi
secara umum memiliki tujuan yang sama yaitu mendapatkan keuntungan yang
diinginkan oleh investor tersebut. Namun, kondisi yang terjadi didalam dunia
investasi cenderung dibawah kondisi ketidak pastian. Jika ingin mendapatkan
keuntungan yang diinginkan, maka investor harus tepat dalam pengambilan
keputusan investasi.
Menurut (Subash, 2012) keputusan investasi dapat didefinisikan sebagai
proses memilih alternatif. Mengambil keputusan investasi adalah tantangan penting
yang dihadapi ileh investor. Sebuah keputusan investasi menurut (Arifin, 2005)
dikatakan optimal jika pnegaturan waktu investasi tersebut dapat memaksimumkan
ekspetasi utilitas. Untuk memaksimumkan utilitas seseorang hanya akan melakukan
investasi jika harapan manfaat dari penanaman model lebih besar dibandingkan
dengan jika uang tersebut dibelanjakan sekarang.
Menurut (Muhadir, 2009) seorang investor membeli suatu saham dengan
harapan memperoleh hasil pengembalian yang tinggi selama masa investasinya.
Tetapi investor cenderung dihadapi pada suatu kenyataan diaman actual return
ternyata berbeda dengan expected return, perbedaan tersebut merupakan sumber
dari resiko. Resiko juga dapat didefinisikan sebagai penyimpangan yang terjadi
didalam keputusan investasi. Resiko diukur menggunakan standar deviasi, bila
semakin tinggi standar deviasi maka semakin tinggi pula resiko dari aset tersebut.
Keputusan invastasi yang baik, investor harus mengerti peluang dan resiko
yang mungkin terjadi dan keputusan tidak boleh diambil secara terburu-buru.
Kedua pendekatan pengambilan keputusan tersebut dapat digunakan secara
bersamaan untuk saling melengkapi. Pada proses pengambilan keputusan investasi
secara rasional pengambilan keputusan diasumsikan memiliki informasi yang
lengkap, tetapi pada kenyataan didalam dunia investasi cenderung dibawah kondisi
ketidak pastian yang tidak selalu sama dengan kondisi yang ideal. Dalam kondisi
ketidak pastian, intuisi atau perasaan investor dapat melengkapi proses
pengambilan keputusan secara rasional dengan pengalaman atas kondisi yang
pernah terjadi sebelumnya.
F. Perilaku Bias Optimisme Dalam Pengambilan Keputusan Investasi
Investor sangat rentan terhadap bias optimisme. Bias optimisme dapat
menyebabkan investor melakukan pengambilan keputusan secara berlebihan.
Dalam literatur psikologi menjelaskan setiap orang rentan terhadap bias optimisme
dan beberapa tahun terakhir bias optimisme mendapat banyak perhatian dari
penelitian di bidang fanancial behavior.
(Hoffmann, Post & Pennings, 2013) mendefinisikan optimisme investor
sebagai ekspektasi return yang tinggi dari kinerja investasi. (Agrawal, 2012)
menjelaskan optimisme adalah tentang harapan yang positif terlepas dari usaha dan
keterampilan yang di khususkan oleh investor untuk mendapatkan hasil tersebut.
Jika investor mendapatkan keuntungan dari sebuah perusahaan yang sesuai dengan
ekspentasinya maka akan berinvestasi pada perusahaan yang sama di tahun depan,
sedangkan jika ekspektasi investor tidak terpenuhi maka investor tidak lagi
berinvestasi pada perusahaan tersebut (Magnuson, 2011). (Lerner, Keltner &
Dacher, 2000) menyatakan investor terkena bias optimisme karena faktor emosi
yang mempengaruhi investor untuk mengambil keputusan. Investor yang terkena
bias optimisme dalam mengambil keputusan percaya bahwa situasi pasar akan
menguntungkannya dan investor akan mengambil resiko dalam mengambil
keputusan (Pulford, 2009).
Investor yang terkena bias optimisme cenderung menunjukkan prospek
yang cerah dari investasinya dan percaya akan mendapatkan return positif pada
masa depan. Karena harapan yang positif akan membuat investor cenderung untuk
meningkatkan jumlah investasi, frekuensi perdagangan dan niat investasi (Khan, et
al, 2016). Kesalahan yang terjadi akibat investor terkena bias optimisme
diantaranya investor akan berinvestasi secara berlebihan pada perusahaan yang
sudah diketahui prospek kedepannya karena bias optimisme akan membuat investor
berpikir bahwa peruhaan tersebut akan berkinerka baik dan akan memberikan
keuntungan yang lebih dibandingkan investor lain.

Anda mungkin juga menyukai