Anda di halaman 1dari 26

TEORI DAN KEBIJAKAN EKONOMI KEPENDUDUKAN

“Penduduk dan Pembangunan (3) & Ekonomi Fertilitas”


Dosen Pengampu :
Dr. I Gusti Wayan Murjana Yasa, S.E., M.Si.

Kode Mata Kuliah : EKI412


Oleh
KELOMPOK 4

Ni Made Fridariani 1907521157


Ni Kadek Desi Anggarawati 1907521159
Ni Made Ayunda Sukma Putri 1907521161
I Putu Diva Khrisna Aditya 1907521162

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2021

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI …………………………………………………………………………… 2

KATA PENGANTAR …………………………………………………………………. 3

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………………… 4


1.1 Latar Belakang …………………………………………………………………….. 4
1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………………………… 5
1.3 Tujuan ……………………………………………………………………………… 5
BAB II PEMBAHASAN ………………………………………………………………. 6

2.1 Teori Transisi Demografi dan Polanya di Indonesia ……………………………. 6

2.2 Teori Transisi Mobilitas dan Polanya di Indonesia ……………………………... 9

2.3 Transisi Rumah Tangga dan Keluarga di Indonesia ……………………………. 12

2.4 Teori Jebakan Populasi Malthus …………………………………………………. 14

2.5 Teori Mikroekonomi Fertilitas Rumah Tangga …………………………………. 16

2.6 Permintaan Akan Anak di Negara Berkembang ………………………………… 17

2.7 Teori Aliran Kekayaan dan Kaitannya dengan Penurunan Fertilitas …………. 18

2.8 Kondisi Fertilitas di Indonesia …………………………………………………….. 19

2.9 Kebijakan Pengendalian Fertilitas di Indonesia …………………………………. 22

BAB III PENUTUP …………………………………………………………………….. 25

3.1 Kesimpulan …………………………………………………………………………. 25

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………... 26

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas Rahmat-Nya, Tugas mata kuliah Teori
dan Kebijakan Ekonomi Kependudukan dengan judul Penduduk dan Pembangunan (3) & Ekonomi
Fertilitas ini dapat diselesaikan dengan tepat pada waktunya. Penulis juga mengucapkan
terimakasih kepada pihak yang telah membantu sehingga tugas makalah ini dapat terselesaikan
dengan baik, terutama kepada:
1. Dr. I Gusti Wayan Murjana Yasa, S.E., M.Si. selaku Dosen Pengampu mata kuliah
Teori dan Kebijakan Ekonomi Kependudukan, karena telah membantu penulis dalam
menyelesaikan tugas paper ini sehingga dapat selesai dengan baik dan tepat waktu.
Penulis juga mengetahui bahwa tugas makalah ini sangatlah jauh dari kesempurnaan karena
masih terdapat kekurangan, sehingga kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan untuk
dijadikan pembelajaran pada pembuatan tugas yang akan datang. Terimakasih juga penulis
ucapkan kepada para pembaca, semoga semua isi yang ada pada makalah ini dapat bermanfaat
bagi pembaca.

Denpasar, 8 Oktober 2021

Penulis

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Aspek kependudukan merupakan hal paling mendasar dalam pembangunan. Dalam nilai
universal penduduk merupakan pelaku dan sasaran pembangunan sekaligus yang menikmati
hasil pembangunan. Dalam kaitan peran penduduk tersebut, kualitas mereka perlu ditingkatkan
melalui berbagai sumber daya yang melekat, dan perwujudan keluarga kecil yang berkualitas,
serta upaya untuk menskenario kuantitas penduduk dan persebaran kependudukan. Pada
negara yang sudah maju, jumlah penduduk yang besar akan disertai dengan peningkatan
kualitas sumber daya manusia yang tinggi. Sedangkan di negara yang sedang berkembang,
jumlah penduduk yang besar secara kuantitatif tidak disertai dengan kualitas yang memadai.
Ini mengakibatkan penduduk menjadi beban pembangunan di segala aspek baik pembangunan
secara ekonomi dan pembangunan secara sosial.
Dewasa ini perkembangan dan pertumbuhan penduduk sangat pesat. Seiring dengan hal
tersebut mengakibatkan peningkatan mobilitas penduduk. Oleh karena itu perlu adanya
pembangunan ekonomi keberlanjutan yang sesuai dengan pesatnya pertumbuhan penduduk,
terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia. Faktor-faktor yang mempengaruhi
pembangunan ekonomi itu sendiri adalah : Sumber Daya Manusia (SDM), Sumber Daya
Aalam (SDA), Ilmu Pengetahuan dan Teknlogi (IPTEK), sosial budaya, keadaan politik, dan
sistem pemerintah.
Perkembangan jumlah penduduk dipengaruhi oleh tiga sebab yaitu fertilitas (kelahiran),
mortalitas (kematian) dan migrasi. Dari ketiga faktor tersebut, selama ini faktor fertilitas
menjadi permasalahan yang utama dalam hal kependudukan. Faktor fertilitas diukur dengan
cara menghitung jumlah anak lahir hidup dari seorang ibu. Fertilitas dipengaruhi oleh dua
faktor yaitu faktor demografi dan non demografi. Faktor demografi meliputi umur, umur
perkawinan pertama, lama perkawinan, paritas atau jumlah persalinan yang pernah dialami dan
proporsi perkawinan, Sedangkan faktor non demografi meliputi keadaan ekonomi penduduk,
tingkat pendidikan, perbaikan status wanita, urbanisasi dan industrialisasi (Rusli, 1996:97).
Pertambahan penduduk tidak hanya masalah jumlah tetapi merambah juga kepada masalah
pembangunan, kualitas hidup dan kesejahteraan manusia. Ledakan penduduk tersebut

4
menimbulkan pertanyaan seperti bagaimana kaitan penduduk dan pembangunan dari faktor
demografi,mobilitas, dan keluarga di Indonesia? Serta, bagaimana kondisi ekonmi fertilitas di
Indonesia? Hal tersebut akan kami bahas dalam makalah ini.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana teori transisi demografi dan polanya di Indonesia?
2. Bagaimana teori transisi mobilitas dan polanya di Indonesia?
3. Bagaimana transisi rumah tangga dan keluarga di Indonesia?
4. Apa itu teori jebakan populasi Malthus?
5. Apa itu teori mikroekonomi fertilitas rumah tangga?
6. Bagaimana permintaan akan anak di negara berkembang?
7. Apa itu teori aliran kekayaan dan bagaimana kaitannya dengan penurunan fertilitas?
8. Bagaimana kondisi fertilitas di Indonesia?
9. Apa saja kebijakan pengendalian fertilitas di Indonesia?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui teori transisi demografi dan polanya di Indonesia
2. Untuk mengetahui teori transisi mobilitas dan polanya di Indonesia
3. Untuk mengetahui transisi rumah tangga dan keluarga di Indonesia
4. Untuk mengetahui pengertian dari teori jebakan populasi Malthus
5. Untuk mengetahui teori mikroekonomi fertilitas rumah tangga
6. Untuk mengetahui permintaan akan anak di negara berkembang
7. Untuk mengetahui teori aliran kekayaan dan kaitannya dengan penurunan fertilitas
8. Untuk mengetahii kondisi atau keadaan fertilitas di Indonesia
9. Untuk mengetahui apa saja kebijakan pengendalian fertilitas di Indonesia

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Teori Transisi Demografi dan Polanya di Indonesia


A. Transisi Demografi
Transisi demografi merupakan suatu kondisi yang menggambarkan perubahan
parameter demografi yaitu fertilitas, mortalitas dan migrasi. PBB (1989) membagi transisi
demografi ke dalam 4 tahap, yaitu :
1. Pada tahap pertama angka fertilitas (kelahiran) masih sangat tinggi dan angka
mortalitas (kematian) juga tinggi. Sedangkan usia harapan hidup waktu lahir
rendah. Pada tahap ini laju pertumbuhan penduduk sangat rendah. Jumlah kelahiran
dan kematian cenderung sangat tinggi dan tidak terkendali setiap tahunnya.
Berbagai faktor penyebab kematian ikut mempengaruhi di antaranya adanya
peperangan, gagal panen dan kelaparan sebagai akibat tingginya harga-harga
pangan serta meluasnya wabah penyakit menular.
2. Tahap kedua ditandai dengan mulai menurunnya angka mortalitas dengan cepat
karena penemuan obat-obatan antibiotik, revolusi industri dan kemajuan teknologi.
Angka kelahiran sudah menunjukkan penurunan tetapi sangat lambat.
3. Tahap ketiga, ditandai dengan kematian yang terus menurun tetapi penurunannya
mulai melambat. Angka fertilitas (kelahiran) mengalami penurunan dengan cepat
sebagai akibat adanya program keluarga berencana dan tersedianya alat kontrasepsi
secara luas. Pada tahap ini tingkat pendidikan mulai meningkat.
4. Tahap keempat ditandai dengan angka kelahiran dan kematian yang sudah rendah
dan tingkat pertumbuhan penduduk yang juga rendah. Pada tahap ini usia atau
angka harapan hidup mencapai lebih dari 65 tahun. Proses transisi demografi
dianggap berakhir ketika fertilitas mencapai NRR (net reproduction rate) = 1.
Tahap ini biasanya dialami oleh negara yang sudah maju.

6
Gambar Tahapan Transisi Demografi

B. Transisi Demografi di Indonesia


Ananta (1996) mengatakan bahwa revolusi mortalitas di Indonesia yang merupakan
revolusi demografi pertama di Indonesia terjadi sekitar tahun 1950-an. Dimulai dari adanya
penurunan angka kematian akibat berbagai penemuan obat-obatan antibiotika dan
intervensi kesehatan di negara maju. Indonesia tidak perlu lagi menciptakan obat-obatan
modern, tetapi langsung mengadopsi teknologi kedokteran modern seperti imunisasi dan
antibiotika, tanpa menunggu kemajuan perekonomian. Namun demikian, kondisi tersebut
belum diikuti oleh penurunan fertilitas, sehingga terjadi ledakan bayi di Indonesia pada
sekitar tahun 1950-1970-an.
Transisi demografi di Indonesia ditandai dengan penurunan angka kematian bayi dari
140 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1971 menjadi 35 pada tahun 2000. Sedangkan
angka fertilitas menurun dari 5,6 pada tahun 1961 menjadi hanya 2,6 pada tahun 2007.
Artinya, jumlah anak yang dimiliki oleh setiap perempuan Indonesia hingga akhir usia
reproduksinya turun dari sekitar 5 hingga 6 anak, menjadi hanya 2 hingga 3 anak.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, transisi demografi di Indonesia terjadi karena adanya
program nasional keluarga berencana dengan penanaman paradigma dua anak cukup untuk
mencapai keluarga kecil bahagia dan sejahtera. Pada masa itu penyediaan kontrasepsi
murah diperluas, pelayanan kontrasepsi mencapai hingga ke pelosok perdesaan.
Di sektor kesehatan, program kesehatan makin ditingkatkan dengan pembangunan
fasilitas Puskesmas untuk mendekatkan masyarakat pada fasilitas kesehatan murah,
program perbaikan gizi untuk ibu, bayi dan balita serta imunisasi bagi bayi dan ibunya
dalam upaya menurunkan angka kematian bayi. Berbeda dengan negara-negara maju,
transisi demografi yang terjadi di Indonesia, tidak diawali dengan pembangunan ekonomi,
industrialisasi dan modernisasi. Indonesia berhasil mengalami transisi lebih cepat karena

7
intervensi di bidang kesehatan dan pengaturan jumlah anggota keluarga melalui program
keluarga berencana yang berjalan paralel dengan pembangunan di bidang ekonomi.
C. Dampak Transisi Demografi pada Karakteristik Penduduk
Karakteristik penduduk yang akan terjadi di masa depan antara lain :
1. Penduduk Muda Berkurang
Angka kelahiran yang menurun tidak saja memberi dampak pada penurunan angka
pertumbuhan penduduk maupun angka pertumbuhan penduduk muda tetapi juga pada
penurunan jumlah absolut penduduk muda.
2. Makin Mengkota
Penduduk Indonesia yang tinggal di perkotaan makin banyak. Hal ini terjadi karena
3 hal yaitu pertambahan alamiah penduduk kota, terjadi migrasi menuju perkotaan baik
migrasi dari pedesaan ke perkotaan atau dari perkotaan ke perkotaan, serta terjadi
pemekaran atau reklasifikasi wiIayah.
3. Makin Berpendidikan
Tingkat pendidikan yang dicapai penduduk Indonesia akan makin tinggi. Apalagi
dengan adanya program wajib belajar selama 9 tahun, paling tidak penduduk Indonesia
di masa depan berpendidikan tamat SMP. Kecenderungan terjadinya peningkatan
pendidikan telah mulai terlihat saat ini.
4. Tidak Mudah Mati
Keberhasilan Indonesia dalam mengatasi penyakit-penyakit infeksi melalui
teknologi kedokteran dan kesehatan telah berhasil menurunkan angka kematian bayi.
Angka kematian bayi yang menurun akan berdampak pada angka harapan hidup saat
lahir penduduk Indonesia yang rnakin lama makin tinggi.
5. Partisipasi Kerja Perempuan Meningkat
Peningkatan partisipasi perempuan di pasar kerja juga meningkat. Peningkatan ini
bisa terjadi karena jumlah anak yang makin sedikit Sehingga memberikan kesempatan
pada para ibu untuk melakukan kegiatan selain mengurus anak dan rumahtangga.
Ditunjang dengan tingkat pendidikan yang semakin tinggi dan umur kawin pertama
yang juga semakin tinggi.
6. Mobilitas Meningkat

8
Kemajuan pembangunan dalam bidang transportasi telah memungkinkan
penurunan jarak dan waktu tempuh suatu perjalanan. Kondisi yang demikian akan
mendorong terjadinya arus migrasi antar satu lokasi dengan lokasi Iainnya. Demikian
juga dengan perbedaan kecepatan antar propinsi di Indonesia dalam transisi demografi
akan mendorong terjadinya suatu migrasi tenaga kerja muda.

2.2 Teori Transisi Mobilitas dan Polanya di Indonesia


Transisi mobilitas pada dasarnya memperlihatkan bagaimana pola, volume dan arah
mobilitas penduduk yang dikaitkan dengan tahapan-tahapan pembangunan. Hipotesis
mengenai transisi mobilitas ini pada awalnya dikemukakan oleh Zelinsky (1971).
Menurut Zelinsky, terdapat lima tingkatan atau fase transisi mobilitas. Kelima tahapan
transisi mobilitas tersebut berjalan sejajar dengan fase transisi demografi atau transisi vital.
Kecuali itu, fase-fase tersebut saling berkaitan satu sama lain. Fase-fase tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut :

9
Hipotesis transisi mobilitas ini kemudian dimodifikasi oleh Skeldon (1990), untuk
menganalisis transisi mobilitas di negara-negara sedang berkembang. Dalam modifikasinya,
Skeldon membagi atas tujuh tahapan dalam transisi mobilitas sebagai berikut:
1. Tahap Pertama disebut sebagai tahap “masyarakat pra transisi’ (pretransitional society)
Pada tahap ini sebagian besar mobilitas yang terjadi merupakan mobilitas non-permanen,
yang tidak bertujuan untuk menetap. Meskipun demikian, mobilitas ini tidak harus
merupakan mobilitas jangka pendek. Selain mobilitas non-permanen, pada tahap ini juga
terjadi mobilitas permanen dalam bentuk kolonisasi ataupun pembukaan daerah pertanian
baru.
2. Tahap kedua, yaitu tahap “masyarakat transisi awal” (early transitional society). Pada tahap
ini terjadi percepatan dalam mobilitas nonpermanen ke daerah perkotaan, daerah
perkebunan, atau daerah pertambangan. Mobilitas semacam ini sangat diperlukan untuk
mendukung pembangunan pedesaan. Penghasilan penduduk yang melakukan mobilitas ini
membantu peningkatan pendapatan di pedesaan. Secara umum, jaringan transportasi yang
luas, murah, efisien, dan cepat merupakan syarat utama terjadinya peningkatan mobilitas
nonpermanen, baik sirkulasi maupun ulang alik. Pada tahap ini juga terlihat adanya
mobilitas penduduk dari satu daerah perkotaan ke daerah perkotaan yang lain, dengan kota
besar sebagai tujuan utama migrasi dari kota kecil dan menengah. Terjadi peningkatan
pesat dalam mobilitas ke daerah-daerah baru. Pada tahap ini migrasi masih didominasi oleh
penduduk laki-laki. Ekonomi Kependudukan 106
3. Tahap ketiga, yaitu tahap “masyarakat transisi menengah” (intermediate transitional). Pada
tahap ini terjadi peningkatan partisipasi penduduk perempuan dalam migrasi penduduk ke
ktoa besar. Selain itu terlihat juga adanya migrasi dari daerah yang berdekatan dengan kota
besar ke kota besar itu sendiri. Migrasi dari daerah sekitar kota besar ini menyebabkan
stagnasi pada daerah sekitar kota besar tersebut. Mobilitas dari pedesaan ke pedesaan
menurun; dan mobilitas dari perkotaan ke perkotaan terus meningkat. Berbeda dengan
tahap kedua, mobilitas dari pedesaan ke perkotaan berubah menjadi migrasi dari pedesaan
ke perkotaan. Para migran mulai menetap di perkotaan. Penghasilan yang diterima di
perkotaan dibelanjakan di perkotaan itu sendiri. Sementara itu, akibat migrasi ini, daerah
pedesaan kehilangan angkatan kerja yang relatif bermutu. Gejala ini dapat mulai

10
mengganggu pembangunan ekonomi pedesaan. Peningkatan migrasi dari pedesaan ke arah
perkotaan ini juga mendorong cepatnya pertumbuhan kota kecil dan menengah.
4. Tahap keempat, yaitu tahap “masyarakat transisi akhir” (late transitional society). Pada
tahap ini muncul megacity, dan jumlah penduduk pedesaan mulai menurun. Mobilitas dari
pedesaan ke perkotaan meningkat, dengan kota-kota besar sebagai tujuan utama. Migrasi
tidak lagi dari pedesaan ke kota kecil, kota menengah, baru ke kota besar, tetapi langsung
dari pedesaan ke kota besar. Migrasi ini didominasi oleh perempuan. Migrasi tenaga kerja
ke luar negeri mulai terlihat pada tahap ini. Menurut Skeldon, migrasi jenis ini didominasi
oleh laki-laki.
5. Tahap kelima, yaitu tahap “masyarakat mulai maju” (early advanced society). Pada tahap
ini angka urbanisasi telah melampaui 50 persen dan mobilitas dari pedesaan ke perkotaan
menurun. Mulai terjadi suburbanisasi dan dekonsentrasi penduduk perkotaan (peningkatan
mobilitas dari kota besar ke daerah sekelilingnya dan penyebaran pertumbuhan penduduk
perkotaan). Mobilitas ini tidak berbeda mencolok antara laki-laki dan perempuan.
Bersamaan dengan gejala tersebut, mobilitas nonpermanen, terutama ulang-alik,
meningkat lagi. Ulang alik ini didominasi oleh laki-laki.
6. Tahap keenam, yaitu tahap “masyarakat maju lanjut” (late advanced society”. Tahap ini
ditandai dengan terus terjadinya dekonsentrasi penduduk perkotaan. Penduduk perkotaan
makin menyebar ke daerah perkotaan yang lebih kecil. Pada saat ini juga dapat terjadi
peningkatan arus masuk pekerja asing, terutama migran dari negara yang masih berada
pada tahap keempat. Ulang alik terjadi dengan pesat. Semua arus mobilitas ini dilakukan
baik oleh laki-laki maupun perempuan, tanpa perbedaan yang mencolok.
7. Tahap ketujuh, yaitu tahap “masyarakat maju super” (super advanced society). Pada tahap
ini banyak diwarnai oleh adanya teknologi tinggi, termasuk teknologi informasi. Pada saat
ini amat mungkin bahwa mobilitas permanen semakin berkurang dan mobilitas
nonpermanen, terutama berujud mobilitas ulang-alik, meningkat. Sistim transportasi
diganti dengan sistim komunikasi. Orang tidak perlu lagi berpindah tempat untuk dapat
saling berkomunikasi.

11
2.3 Transisi Rumah Tangga dan Keluarga di Indonesia
A. Transisi Rumah Tangga dan Keluarga
Transisi demografi dan perubahan karakteristik penduduk seperti yang telah
dikemukakakn juga mempunyai implikasi tersendiri pada struktur, jumlah, dan peran/fungsi
keluarga di masa lalu ataupun di masa depan. Ketika kesenjangan antara kelahiran dan
kematian menimbulkan suatu peledakan penduduk dari sisi keluarga sebagai suatu unit terkecil
di masyarakat juga mengalami peledakan jumlah anggota. Untuk mengatasi hal ini pemerintah
lalu membuat program dalam bidang kependudukan untuk menurukan fertilisasi. Dimana
program pemerintah ini berhasil dan berdampak pada perubahan struktur keluarga. Struktur
keluarga akan berubah dari keluarga berukuran besar (dengan jumlah anak banyak) ke keluarga
berukuran kecil (dengan sedikit anak).
a) Struktur Keluarga Makin Kecil dan Makin Tua
Struktur keluarga yang dalam hal ini didekati dari rata-rata jumlah anggota rumah
tangga selama PJP I di Indonesia telah mulai berubah. Pada tahun 1971 rata-rata jumlah
anggota rumah tangga di Indonesia sebesar 5,3 orang. Penurunan hampir tidak terlihat
selama dasawarsa pertama PJP I, yaitu 5,3 orang ke 5,2 orang. Namun penurunan yang
cukup tajam baru terjadi pada periode 1980-1990, yaitu dari 5,2 menjadi 4,6 orang.
Penurunan rata-rata anggota rumah tangga tersebut disamping menunjukkan
diterimanya norma keluarga kecil, juga bisa menunjukkan kecenderungan pembentukkan
keluarga inti (nuclear family) yaitu keluarga yang terdiri dari suami-istri, atau suami-istri
dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya.
Kecenderungan penurunan anggota rumah tangga juga terjadi di pulau-pulau utama
Indonesia seperti di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Namun penurunan rata-
rata anggota rumah tangga tidak persis sama dengan penurunan tingkat fertilitas walaupun
keduanya ini berhubungan erat. Di masa yang akan datang terjadinya penurunan jumlah
penduduk muda, peningkatan pendidikan yang membawa peningkatan usia kawin pertama
serta peningkatan angka harapan hidup akan membawa dampak pada struktur umur
keluarga. Secara rata-rata di masa yang akan datang akan makin banyak keluarga yang
dikepalai oleh orang yang berumur lebih tua.
b) Jumlah Rumah Tangga dan Keluarga Makin Banyak

12
Pada tahun 1980 di Indonesia terdapat kira-kira 30,4 juta rumah tangga dan pada tahun
1990 telah terjadi peningkatan lebih dari 10 juta rumah tangga sehingga menjadi 40,7 juta
rumah tangga. Dengan kata lain selama 1980-1990 laju pertumbuhan rumah tangga
mencapai 2,91 persen, yang lebih besar daripada pertumbuhan penduduk sebesar 1,99
persen. Peningkatan jumlah rumah tangga bisa terjadi karena peningkatan yang cepat dari
jumlah penduduk dewasa tepatnya usia memasukin perkawinan. Besarnya jumlah mereka
ini sebagai hasil dari baby boom yang terjadi di masa lampau.
Kecenderungan semakin menurunnya rata-rata jumlah anggota rumah tangga yang
terjadi karena penurunan jumlah anak dan/atau berkurangnya anggota keluarga selain anak
memungkinkan terjadinya pergeseran bentuk keluarga dari exten-ded family (termasuk
keluarga besar dengan jumlah anak banyak) menjadi keluarga inti. Pergeseran keluarga
dari keluarga besar menjadi keluarga kecil umumnya merupakan gejala yang dapat ditemui
di beberapa daerah khususnya di daerah perkotaan.
B. Implikasi Keluarga Kecil
a. Dari Segi Kesehatan: jumlah anak yang semakin sedikit dan disertai dengan
penjarangan jarak kelahiran akan berdampak pada peningkatan kesehatan ibu dan anak.
Penjarangan kelahiran dan berkurangnya frekuensi melahirkan akan menurunkan risiko
mengalami sakit dan kematian yang berkaitan dengan kehamilan dan melahirkan
ataupun pasca melahirkan.
b. Dari Segi Ekonomi : beban ekonomi keluarga berkurang karena tanggungan keluarga
menjadi kecil. Dengan demikian selama dua dasawarsa yang lalu beban tanggungan
keluarga di Indonesia telah mulai menurun bahkan pada dasawarsa terakhir
menunjukkan kecepatan penurunan yang semakin tajam. Di sisi lain jumlah anak yang
makin sedikit akan meningkatkan partisipasi perempuan di pasar kerja sehingga
keadaan ekonomi keluarga juga akan meningkat khususnya peningkatan pendapatan
keluarga.
c. Dari Segi Pendidikan: jumlah anak yang semakin kecil juga akan dapat mengubah
preferensi orang tua. Dengan beban tanggungan ekonomi keluarga yang semakin
berkurang ditunjang dengan peningkatan pendapatan keluarga akan sangat
memungkinkan tingkat pendidikan anak yang semakin tinggi. Selain itu jumlah anak

13
yang semakin sedikit juga memungkinkan adanya kesempatan bagi orang tua untuk
dapat meneruskan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi.
d. Dari Segi Mobilitas : jumlah anak dan saudara yang cukup besar seringkali menjadi
penghalang bagi para calon migran, dimana dengan ukuran keluarga yang makin kecil
dapat menyebabkan mereka menjadi semakin lincah. Mereka dengan mudah dapat
menjadi migran ataupun mengalami mobilitas sosial yang makin mudah apalagi
mereka melakukan migrasi ini dalam rangka perbaikan taraf hidup atau kesejahteraan.
C. Keluarga dan Produktivitas Ekonomi
Keluarga berperan dalam mempersiapkan para anggotanya memasuki tempat kerja,
keluarga akan membekali anggota keluarganya untuk memasuki dunia kerja dan keluarga
juga memudahkan proses masuknya seseorang atau anggota keluarga ke lingkungan kerja
untuk melaksanakan tata nilai untuk meningkatkan produktivitas. Untuk membangun
manusia dan masyarakat Indonesia yang memiliki dasar kemampuan untuk melanjutkan
pembangunan pada umumnya, perhatian tidak cukup hanya dipusatkan pada manusia dan
masyarakat melaikan diperlukan perhatian yang sungguh-sungguh atas peran keluarga
dalam pembangunan dimana keluarga merupakan tempat awal lahir dan besarnya anggota
keluarga untuk kemudian memasuki kehidupan di luar lingkungan keluarganya, yaitu
kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan lainnya.

2.4 Teori Jebakan Populasi Malthus


Robert Thomas Malthus (1766-1834) merupakan pendeta Inggris yang membuat teori
tentang hubungan antara petumbuhan penduduk dengan pertumbuhan ekonomi yang banyak
dipercaya oleh banyak ahli sampai saat ini. Dalam sebuah buku yang berjudul Eassay on the
Principle of Population yang terbit pada tahun 1798. Thomas Malthus Merumuskan sebuah
konsep tentang pertambahan hasil yang semakin berkurang (diminishing returns).
Malthus menggambarkan sebuah kecenderungan universal bahwa jumlah populasi disuatu
Negara akan meningkat sangat cepat menurut deret ukur atau tingkat geometric setiap 30 atau
40 tahun, kecuali terjadi bencana kelaparan. Sementara itu, karena adanya proses pertambahan
hasil yang semakin berkurang dari suatu faktor produksi yang jumlahnya tetap, yaitu tanah,
maka persediaan pangan hanya akan meningkat menurut deret hitung atau tingkat aritmetik.
Bahkan, karena lahan yang dimiliki setiap anggota masyarakat semakin lama semakin sempit,

14
maka kontribusi marjinalnya terhadap total produksi pangan akan semakin menurun. Karena
pertumbuhan pengadaan pangan tidak dapat berpacu secara memadai atau mengimbangi
kecepatan pertambahan penduduk, maka pendapatan perkapita (dalam masyarakat agraris,
pendapatan perkapita diartikan sebagai produksi pangan perkapita) cenderung terus
mengalami penurunan sampai sedemikian rendahnya sehingga segenap populasi harus
bertahan pada kondisi sedikit di atas tingkat subsisten (semua penghasilan hanya cukup untuk
mengganjal perut), itu pun hanya untuk jumlah populasi tertentu. Lebih dari jumlah itu maka
ada sebagian penduduk yang tidak mendapat bahan pangan sama sekali.
Malthus menyatakan bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi masalah rendahnya taraf
hidup yang sangat kronis atau kemiskinan absolut tersebut adalah “penanaman kesadaran
moral” (moral restraint) di kalangan segenap penduduk dan kesediaan untuk membatasi
jumlah kelahiran. Dengan perumusan konsep 17 akan pentingnya pembatasan kelahiran dan
jumlah penduduk tersebut, Malthus dapat kita sebut sebagai “bapak” atau pelopor gerakan
modern pengendalian kelahiran.
Para ahli ekonomi modern telah memberi nama khusus bagi gagasan Malthus yang
menyatakan bahwa ledakan penduduk akan menimbulkan pola hidup yang serba pas-pasan
(subsisten). Mereka menyebutnya model jebakan populasi ekuilibrium tingkat rendah (low
level equilibrium population trap, atau biasa disingkat dengan model jebakan populasi Malthus
(Malthusian population trap). Dalam bentuk diagram model dasar yang merangkum gagasan
Malthus dapat diperoleh dengan membandingkan bentuk dan posisi kurva-kurva yang masing-
masing mewakili laju pertumbuhan penduduk dan tingkat pertumbuhan pendapatan agregat
dan keduanya dihubungkan dengan tingkat pendapatan perkapita (Todaro dan Smith 2006:
247-348).

15
Sumbu vertikal mewakili pertumbuhan (dalam persen) untuk variable peduduk (P) dan
pendapatan (Y), sedangkan sumbu horizontal mewakili pendapatan perkapita (Y/P). Kurva P
dapat menggambarkan hubungan antara pertumbuhan penduduk dengan pendapatan perkapita.
Pada pendapatan perkapita yang sangat rendah (𝑌0 ), tingkat pertumbuhan penduduk adalah nol,
yang berarti tingkat pertumbuhan penduduk dalam keadan stabil. (𝑌0 ), dapat mewakili konsep
mengenai “kemiskinan absolut” dimana Angka kelahiran dan kematian berimbang. Ketika
pendapatan perkapita meningkat atau lebih tinggi dari (bergerak ke arah kanan (𝑌0 ), junlah
penduduk akan meningkat yang disebabkan karena menurunnya angka kematian.
Meningkatnya pendapatan akan mengurangi bahaya kelaparan dan penyakit sehingga
menurunkan angka kematian. Pada saaat bersamaan, angka kelahiran tetap tinggi yang
menyebabkan pertumbuhan penduduk juga tinggi.
Pada tingkat pendapatan perkapita sebesar(𝑌2 ), laju pertumbuhan penduduk mencapai
titik pertumbuhan maksimumnya yang diperkirakan sebesar 3,3%. Diasumsikan pertumbuhan
penduduk tersebut akan tetap bertahan sampai terjadi perubahan pendapatan perkapita yang
lebih tinggi. Selanjutnya, meningkatnya pendapatan perkapita ke tingkat yang lebih tinggi (di
sebelah kanan dari Y5), sejalan dengan Tahap III dari teori transisi demografi, angka kelahiran
akan mulai menurun dan kurva pertumbuhan penduduk kemiringannya menjadi negatif dan
kembali mendekati sumbu horisontal.

2.5 Teori Mikroekonomi Fertilitas Rumah Tangga


Teori ini merupkan teori yang menjelaskan bahwa setiap keluarga memiliki biaya dan
manfaat yang menentukan ukuran keluarga yang diinginkan. Teori ini Mengadopsi teori
perilaku konsumen konvensional. Anak dianggap sebagai barang konsumsi (tidak memberi
keuntungan). Artinya, jika anak dianggap sebagai barang konsimsi dan memasukkan factor
pendapatan, sedangkan factor lain dianggap konstan, maka jumlah anak secara langsung akan
dipengaruhi oleh pendapatan keluarga. Sebaliknya, jumlah anak yang diinginkan berhubungan
negative dengan harga relative (biaya-biaya pemeliharaan) anak. Permintaan anak merupakan
pilihan ekonomi yang rasional bagi konsumen. Pilihan tersebut mengorbankan pilihan (barang)
lain. Keinginan punya anak dipengaruhi oleh income, harga anak (biaya hidup) dan keinginan
mengkonsumsi barang lain (efek substitusi dan pendapatan). Permintaan terhadap anak

16
berhubungan positif dengan pendapatan. Permintaan terhadap anak berhubungan negative
terhadap harga relative (biaya pemeliharaan) anak serta preferensi untuk barang-barang lain.

2.6 Permintaan Akan Anak di Negara Berkembang


Faktor makro ekonomi yang berkaitan dengan tingkat fertilitas keluarga berpijak pada teori
neo klasik tentang perilaku konsumen sebagai dasar analisis, dimana anak dapat dianggap
sebagai sebagai komoditi, seperti halnya barang-barang rumah tangga yang lain, semisal TV,
kulkas, dan sebagainya. Menurut Todaro (2000) di banyak negara berkembang anak dipandang
sebagai investasi, yaitu sebagai tambahan tenaga untuk menggarap lahan, atau sebagai
gantungan hidup, atau sebagai tabungan di hari tua. Dengan demikian penentuan fertilitas
keluarga atau `tingkat permintaan akan anak' merupakan bentuk pilihan ekonomi yang rasional
bagi konsumen (dalam hal ini keluarga). Pilihan menambah jumlah anak diperoleh dengan cara
mengorbankan pilihan terhadap barang lain, dimana keputusan itu pada akhirnya efek
substitusi dan efek pendapatan. Jumlah anak yang diinginkan dipengaruhi secara positif oleh
pendapatan keluarga, ceteris paribus. Di sisi lain, jumlah anak yang diinginkan akan
berhubungan secara negatif terhadap biaya pemeliharaan anak serta kuatnya keinginan untuk
memiliki barang lain.
Menurut Kuznets “Penduduk di negara berkembang mudah sekali untuk beranak pinak
karena kondisi kondisi sosial dan ekonomi yang ada di sekitar mereka membuat sebagian besar
dari mereka memandang setiap tambahan tenaga kerja bagi keluarga sebagai suatu perjudian
genetik, maupun sebagai jaminan sosial ekonomi di hari tua, guna bertahan hidup di tengah
tengah masyarakat yang minim perlindungan sosial dan cenderung di atur oleh hanya oleh
mereka yang kuat dan kaya.” Tingkat permintaan terhadap anak dipengaruhi harga atau biaya
oportunitas kepemilikan anak pada suatu tingkat pedapatan keluarga.
Efek kemajuan sosial dan ekonomi dari menurunkan tingkat fertilitas di negara-negara
berkembang akan sangat besar ketika mayoritas penduduk dan khususnya orang-orang yang
sangat miskin sama-sama memperleh manfaatnya. Secara khusus, angka kelahiran di kalangan
kaum sangat miskin kemungkinan besar akan menurun apabila perubahan sosial-ekonomi yang
berikut dapat diwujudkan :
1. Peningkatan pendidikan serta perubahan peran dan status perempuan.
2. Peningkatan kesempatan kerja di luar sektor pertanian bagi perempuan.

17
3. Kenaikan tingkat pendapatan keluarga.
4. Pengurangan tingkat kematian anak.
5. Pengembangan sistem tunjangan bagi para lansia dan sistem jaminan sosial lainnya.
6. Perluasan kesempatan memperoleh pendidikan.
Sementara itu, banyak pengamat dari negara kaya dan miskin menyatakan bahwa
masalah lain di balik sebuah realitas akan meningkatnya permintaan akan anak adalah :
1. Keterbelakangan wanita
2. Penyusutan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan
3. Penyebaran penduduk yang timpang
4. Rendahnya posisi dan status kaum wanita
Pertumbuhan penduduk perlu dikendalikan karena konsekuensi negatif dari permintaan
anak yang tinggi pada akhirnya dapat berakibat kepada :
1. Konsumsi perkapita yang rendah
2. Kemiskinan dan ketimpangan pendapatan
3. Pendidikan yang rendah
4. Kesehatan yang menurun
5. Ketersediaan bahan pangan yang semakin sulit
6. Lingkungan hidup yang memburuk
7. Migrasi domestik dan internasional

2.7 Teori Aliran Kekayaan dan Kaitannya dengan Penurunan Fertilitas


Teori aliran kekayaan oleh John Caldwell menyebutkan terdapat hubungan langsung antara
struktur keluarga dengan fertilitas. Teori aliran kekayaan (wealth flows theory) tersebut
menyatakan bahwa keputusan akan fertilitas dalam masyarakat merupakan respon rasional
secara ekonomi pada arus kekayaan suatu keluarga.
Masyarakat kaya akan memutuskan untuk memiliki anak sebanyak mungkin karena setiap
tambahan anak dipercaya akan menambah kekayaan dari orang tua, keamanan di masa tua, dan
kesejahteraan secara sosial maupun politik. Masyarakat miskin, secara rasional ekonomi akan
memutuskan untuk tidak mempunyai anak atau memiliki anak dengan jumlah yang minimum
sesuai dengan keinginan dari orang tua

18
2.8 Kondisi Fertilitas di Indonesia
Fertilitas diartikan sebagai kemampuan seorang wanita untuk menghasilkan kelahiran
hidup merupakan salah satu faktor penambah jumlah penduduk disamping migrasi masuk,
tingkat kelahiran dimasa lalu mempengaruhi tingginya tingkat fertilitas masa kini. Fertilitas
merupakan hasil reproduksi nyata dari seorang atau sekelompok wanita, sedangkan dalam
pengertian demografi menyatakan banyaknya bayi yang lahir hidup. Fertilitas merupakan salah
satu faktor demografi yang paling menentukan di dalam penurunan tingkat pertumbuhan
penduduk di Indonesia yang selama 20 tahun terakhir laju pertumbuhan penduduk di Indonesia
stagnan pada angka 1,49 persen. Salah satu ukuran fertilitas adalah total fertility rate (TFR)
dan salah satu sumber data TFR adalah survei demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI).
Angka fertilitas total atau Total Fertility Rate (TFR) di Indonesia mengalami penurunan yang
cukup cepat dari 5,6 menjadi 2,6 anak per perempuan antara tahun 1971 dan 2012 (Gambar
8.1).
Meskipun angka TFR berbeda dari hasil estimasi beberapa sumber data, tren menunjukkan
bahwa TFR menurun selama 10 tahun terakhir. Estimasi TFR dari Sensus Penduduk (SP) tahun
2010 serta Survei Penduduk Antara Sensus (SUPAS) tahun 2015 menunjukkan angka TFR
yang menurun dari 2,41 ke 2,28 anak per perempuan. Sementara itu estimasi dari data Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) menunjukkan bahwa akhirnya TFR Indonesia
mengalami penurunan menjadi 2,4 anak perempuan pada tahun 2017 setelah bertahan pada
angka 2,6 dari tahun 2002 hingga 2012.

Gambar 8.1 : Total Fertility Rate (TFR), Indonesia 1971-2017


19
Pada tahun 1971-1980 pertumbuhan penduduk Indonesia masih cukup tinggi sekitar 2,31
persen. Pertumbuhan penduduk ini kemudian mengalami penurunan yang cukup tajam hingga
mencapai 1,49 persen pada kurun waktu 1990-2000. Penurunan ini antara lain disebabkan
berkurangnya tingkat kelahiran sebagai dampak peran serta masyarakat dalam program KB.
Data terakhir (2000-2017) laju pertumbuhan penduduk Indonesia kembali turun menjadi 1,36
persen. Program Keluarga Berencana yang dijalankan Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional (BKKBN) selama ini memberikan hasil yang cukup baik dalam mengendalikan
angka kelahiran.
Hal ini terlihat dengan menurunnya angka kelahiran total atau Total Fertility Rate (TFR)
sesuai hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017. Angka fertilitas total
merupakan jumlah anak rata-rata yang akan dilahirkan seorang wanita pada akhir masa
reproduksinya. Tahun 2017 Total Fertility Rate di Indonesia menurun menjadi sekitar 2,4 anak
per wanita, dari sebelumnya 2,6 anak per wanita pada Tahun 2013. Angka 2,4 anak per wanita,
artinya seorang wanita di Indonesia rata-rata melahirkan 2,4 anak selama hidupnya. Dengan
angka kelahiran pada wanita rentang usia 15-19 tahun mencapai 36/1000 kelahiran dari
sebelumnya 46/1000 kelahiran.
Meskipun TFR nasional sudah cukup rendah, namun TFR menurut provinsi masih
bervariasi dengan kisaran 2,1 (Jawa Timur dan Bali) sampai 3,4 anak per wanita (Nusa
Tenggara Timur). Hal ini tentunya merupakan tantangan tersendiri bagi pemerintah, untuk
melihat permasalahan sesuai kearifan lokal. Provinsi yang masih mempunyai TFR di atas 3
anak per wanita sebagian besar di daerah Indonesia bagian timur (dapat dilihat pada Tabel 5.2).

20
Gambar 8.2 : Angka Fertilitas Total Menurut Provinsi, Indonesia, 2017

Dilihat dari angka fertilitas berdasarkan kelompok umur atau Age-specific Fertility Rate
(ASFR), terdapat sedikit pergeseran. Namun puncaknya masih sama, yaitu umur 25-29 tahun.
Dari tren ASFR pada Gambar 5.3, tampak bahwa tingkat fertilitas wanita usia 15-24 tahun
(hasil SDKI Tahun 2017) lebih rendah dibanding hasil SDKI 2012. Kondisi tersebut
menunjukkan sudah adanya penurunan jumlah kelahiran, yang dapat disebabkan
meningkatnya kesadaran untuk mempunyai keluarga kecil berkualitas. Selain itu, terjadinya

21
penurunan tingkat kelahiran dapat terkait dengan adanya peningkatan wanita dalam pemakaian
kontrasepsi.

Gambar 8.3 : Tren Angka Kelahiran Menurut Kelompok


Umur, Indonesia 2012-2017

2.9 Kebijakan Pengendalian Fertilitas di Indonesia


Pemerintah Indonesia berkenaan dengan Tahun Pendidikan Internasional 1970, telah
memasukkan pendidikan kependudukan sebagai komponen pendidikan di Indonesia, karena
masalah pertumbuhan penduduk yang tinggi harus ditanggulangi agar tidak menjadi beban
pembangunan. Negara-negara lain pun telah memasuki pendidikan kependudukan ke dalam
prbgram pendidikan (Saidi Harjo, 1979). Adapun kebijakan kependudukan yang dilakukan
pemerintah Indonesia untuk mengendalikan jumlah penduduk di Indonesia adalah sebagai
berikut :
1. Keluarga Berencana (KB)
Keluarga Berencana merupakan salah satu upaya membangun kebahagian dan
kesejahteraan keluarga. Melalui keluarga berencana masyarakat diharuskan untuk
membatasi jumlah kelahiran anak yaitu setiap keluarga memiliki anak maksimal dua. Tidak
tanggung-tanggung keluarga berencana diberlakukan kepada seluruh lapisan masyarakat
dari lapisan bawah hingga lapisan atas dalam masyarakat. Di dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2009 tentang landasan hukum Perlembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga memuat berbagai definisi. Keluarga
Berencana (KB) bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, pengendalian
kelahiran, meningkatkan adaptasi keluarga dan meningkatkan kesejahteraan keluarga guna
mewujudkan keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera. Dengan adanya kebijakan

22
Keluarga Berencana (KB) ini maka pemerintah meminta masyarakat untuk membantu
pemerintah dalam mengurangi jumlah kelahiran dengan mengeluarkan kebijakan 2 anak
cukup. Selain untuk mengendalikan jumlah penduduk adanya program KB ini juga dapat
meningkatkan kualitas penduduk kedepannya karena dengan jumlah anak yang sedikit
maka setiap keluarga akan menjadi lebih berkualitas dan maksimal dalam pengasuhan anak
mereka.
2. Usia Kawin Pertama
Menurut Davis dalam Notoatmojo (2003) usia kawin pertama adalah usia ketika
seseorang memulai atau melangsungkan pernikahan (perkawinan pertama), wanita yang
menikah pada usia muda mempunyai waktu yang lebih panjang berisiko untuk hamil dan
angka kelahiran juga lebih tinggi. Masalah pernikahan merupakan salah satu bagian dari
masalah kependudukan yang perlu diberi perhatian khusus, karena nantinya pernikahan
dapat menimbulkan masalah baru dibidang kependudukan yang nantinya dapat
menghambat pembangunan. Usia kawin pertama merupakan salah satu yang dapat
mempengaruhi tingkat produktifitas pada Pasangan Usia Subur (PUS). pengaruhi tingkat
produktifitas pada Pasangan Usia Subur (PUS). Usia kawin pertama nantinya akan
memberikan sumbangan terhadap angka kelahiran. Rata-rata umur penduduk saat menikah
pertama kali serta lamanya seseorang dalam status perkawinan akan mempengaruhi tinggi
rendahnya fertilitas.
3. Peningkatan Tingkat Pendidikan Perempuan
Pendidikan merupakan aspek utama penentu kehidupan manusia yang lebih baik.
Tingkat pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat fertilitas, dimana
tingkat pendidikan merupakan salah satu pendorong tingkat kesejahteraan masyarakat dan
berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Jika waktu yang di tempuh wanita
panjang untuk menyelesaikan pendidikannya akan menyebabkan perkawinan tertunda dan
membuka pilihan antara bekerja dan membesarkan anak. Selain itu jika perempuan
memiliki tingkat pendidikan yang tinggi maka akan terhindar dari adanya pernikahan dini
atau dibawah umur yang membuat jumlah kelahiran dan penduduk bertambah banyak..
Pendidikan yang lebih tinggi berarti kehidupan ekonomi yang lebih terjamin, dan ini
biasanya tingkat fertilitas dalam suatu keluarga juga tergolong rendah.

23
Pendidikan sebagai variabel sosial dan ekonomi akan berpengaruh secara tidak
langsung terhadap fertilitas. Bagi seorang wanita semakin tinggi pendidikan yang
ditempuhnya akan semakin mengurangi masa reproduksi yang akan dilaluinya dan
semakin tinggi umur dalam menempuh usia kawin pertamanya. Hal ini menyebabkan akan
semakin kecil kemampuan fekunditas dari seorang wanita untuk melahirkan. Sebaliknya
apabila tingkat pendidikan rendah akan mendorong seorang wanita untuk memulai usia
kawin pertamanya dalam usia yang masih sangat muda, hal ini pada gilirannya akan
menyebabkan masa reproduksi yang dilaluinya semakin panjang dan akan semakin tinggi
masa fekunditas dan fertilitas yang dapat dilaluinya.
4. Partisipasi Perempuan dalam Dunia Kerja
Partisipasi perempuan untuk turun ke dunia kerja masih sedikit dimana masih
banyak perempuan yang tidak bekerja sehingga dapat berakibat pada produktivitas
perempuan itu sendiri. Dimana jika perempuan turun ke dunia kerja akan membantu
perekonomian keluarganya sehingga akan meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup
keluarganya. Selain itu jika perempuan juga terjun ke dunia kerja akan membuat
perempuan tidak memilih untuk memiliki anak yang banyak karena dia harus membagi
waktunya antara mengurus rumah tangga dan kesibukan kerja. Oleh karenanya partisipasi
perempuan dalam dunia kerja akan berpengaruh dalam pengendalian jumlah kelahiran
yang ada.

24
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Transisi demografi merupakan suatu kondisi yang menggambarkan perubahan
parameter demografi yaitu fertilitas, mortalitas dan migrasi. Ananta (1996) mengatakan
bahwa revolusi mortalitas di Indonesia yang merupakan revolusi demografi pertama di
Indonesia terjadi sekitar tahun 1950-an.Transisi mobilitas pada dasarnya memperlihatkan
bagaimana pola, volume dan arah mobilitas penduduk yang dikaitkan dengan tahapan-
tahapan pembangunan.Untuk mengatasi hal ini pemerintah lalu membuat program dalam
bidang kependudukan untuk menurukan fertilisasi. Dimana program pemerintah ini
berhasil dan berdampak pada perubahan struktur keluarga.
Robert Thomas Malthus (1766-1834) merupakan pendeta Inggris yang membuat
teori tentang hubungan antara petumbuhan penduduk dengan pertumbuhan ekonomi yang
banyak dipercaya oleh banyak ahli sampai saat ini. Dalam sebuah buku yang berjudul
Eassay on the Principle of Population yang terbit pada tahun 1798. Thomas Malthus
Merumuskan sebuah konsep tentang pertambahan hasil yang semakin berkurang
(diminishing returns). Menurut Todaro (2000) di banyak negara berkembang anak
dipandang sebagai investasi, yaitu sebagai tambahan tenaga untuk menggarap lahan, atau
sebagai gantungan hidup, atau sebagai tabungan di hari tua. Dengan demikian penentuan
fertilitas keluarga atau tingkat permintaan akan anak' merupakan bentuk pilihan ekonomi
yang rasional bagi konsumen (dalam hal ini keluarga). Teori aliran kekayaan oleh John
Caldwell menyebutkan terdapat hubungan langsung antara struktur keluarga dengan
fertilitas. Pada tahun 1971-1980 pertumbuhan penduduk Indonesia masih cukup tinggi
sekitar 2,31 persen. Pertumbuhan penduduk ini kemudian mengalami penurunan yang
cukup tajam hingga mencapai 1,49 persen pada kurun waktu 1990-2000.

25
DAFTAR PUSTAKA

Hatmadji, Sri Harjati dan Rini Palupi Radikun. 1993. Formasi Keluarga. Laporan Akhir
Analisis Determinan Data SPI 1990. Lembaga Demografi FEUI, Mei 1993.

Sonny Harry B. Harmadi., Ph.D. Pengantar Demografi-MODUL 1.


(https://www.pustaka.ut.ac.id/lib/wp-content/uploads/pdfmk/ESPA4535-M1.pdf)
diakses pada 4 Oktober 2021.

Arsyad, Syahmida Syahbuddin & Nuhayati, Septi. 2016. Determinan Fertilitas di


Indonesia. Jurnal Kependudukan Indonesia. Vo. 11, No. 1. Halaman 1-14

Cicih, Lilis Heri Mis. 2019. Info Demografi. LD-FEB Universitas Indonesia No.2
(https://www.bkkbn.go.id/po-content/uploads/INFO_DEMO_2019_02.pdf)
Diakses pada 9 Oktober 2021

Sinaga, Lennaria dkk. 2017. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Fertilitas di


Perdesaan. Jurnal Paradigma Ekonomika. Vol. 12, No. 1

Saskara, I.A G.D., & Mahaeni, A.A.I.N. (2015). Pengaruh Faktor Sosial, Ekonomi, dan

Demografi Terhadap Penggunaan Kontrasepsi di Denpasar.

Woyanti, N. (2005). Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan Kontrasepsi


Di Kota Semarang.

26

Anda mungkin juga menyukai