Anda di halaman 1dari 18

1

EFISIENSI PENAGIHAN OLEH DEBTCOLLECTOR TERHADAP KEPASTIAN

PEMBAYARAN DALAM PERJANJIAN PINJAMAN ONLINE (STUDI

PUTUSAN NOMOR 267/PDT.G/2020/PN BDG)

PROPOSAL SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat

Untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum


2

Oleh:

NAMA

NIM

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA

FAKULTAS HUKUM

2022

A. Latar Belakang Penelitian


3

Hadirnya globalisasi di era milennium ini telah membawa dampak

yang besar di seluruh sektor kehidupan manusia termasuk salah satunya

adalah teknologi dan internet. Teknologi dan internet memiliki peran yang

begitu besar dalam menunjang segala aktivitas kehidupan manusia.

Pemanfaatan teknologi digital di Indonesia yang sangat besar tentu saja

memberikan dampak bagi beberapa sektor, salah satunya adalah sektor bisnis

atau industri bisnis yang kemudian melahirkan perdagangan online atau e-

commerce. Namun, dampak dari semakin pesatnya perkembangan teknologi

dan internet tidak hanya merambah industri perdagangan, tetapi juga pada

industri keuangan Indonesia. Hal tersebut ditandai dengan hadirnya financial

technology (fintech).1

Fintech merupakan singkatan dari kata financial technology, yang

dapat diartikan dalam bahasa Indonesia menjadi teknologi keuangan. Secara

sederhana, fintech dapat diartikan sebagai pemanfaatan perkembangan

teknologi informasi untuk meningkatkan layanan di industri keuangan.

Definisi lainnya adalah variasi model bisnis dan perkembangan teknologi

yang memiliki potensi untuk meningkatkan industri layanan keuangan.2

Dalam hal layanan keuangan kini telah berkembang pesat sehingga

banyak sekali aplikasi pinjaman online atau sejenisnya, namun tidak sedikit

pengguna aplikasi yang dalam proses pinjam meminjam mengalami hambatan

saat pembayaran kredit atau pinjaman. Dari contoh putusan yang digunakan
1
Ernama, Budiharto, Hendro S, “Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Financial
Technology (Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016)”, Diponegoro Law
Journal, Vol, 6, No, 3, (2017), hlm., 1-2
2
Sarwin Kiko Napitupulu, Aldi Firmansyah Rubini, Kurniatul Khasanah dan Aryanti
Dwi Rachmawati, “Kajian Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan: Perlindungan
Konsumen Pada Fintech”, Jakarta: Departemen Perlindungan Konsumen-OJK,2017, hlm. 18
4

terjadi kasus dimana terdapat kreditur atau peminjam yang macet atau

mengalami hambatan saat proses pembayaran. Dalam kasus itu, tidak

digunakan jasa debt-collector. Berbeda dengan kebanyakan kasus dimana

banyak sekali pengguna debt-collector untuk menagih pinjaman terkait dan

kebanyakan berhasil mendapatkan kembali uang yang dipinjamkan. Namun

tidak jarang juga proses penagihan dilakukan dengan kasar, intimidasi dan

tidak berdasar etika hukum yang ada.

Tindak pidana intimidasi adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh

suatu aturan hukum yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana

tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Kata intimidasi

terkandung makna secara memaksa, menggertak atau mengancam, hal ini

dijelaskan pada Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) pada buku II

Pasal 368 Ayat 1 dan 369 Ayat 1 KUHP.

Namun bagi pelaku tindak pidana intimidasi di bidang Financial

Technology (fintech) masih belum maksimal. Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan (POJK) mengeluarkan kebijakan peraturan pada Tahun 2016

mengenai fintech tentang peminjaman off balance sheet oleh pasar dan oleh

proses transaksi pembayaran oleh Bank Indonesia. POJK atau Peraturan

Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan satu peraturan, yaitu POJK NO.

77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis

Teknologi Informasi.

POJK ini juga menjadikan fintech suatu hal yang menjadi sorotan dan

memperlukan payung hukum yang jelas dalam pengaturannya. POJK ini


5

merupakan panduan pelaksanaan bisnis fintech P2P. Pemerintah mengatur

kegiatan usaha, pendaftaran perizinan, pelaporan dan tata kelola sistem

teknologi informasi terkait dengan P2P. Peraturan ini berlaku untuk menjaga

konsumen dan institusi keuangan. Dengan adanya POJK ini diharapkan

pemegang saham, termasuk pemerintah dan pihak yang terkait lainnya dapat

menciptakan lingkungan fintech yang kondusif.

Munculnya bisnis Financial Technology (fintech) telah mengubah

wajah bisnis global sehingga menjadi kegiatan bisnis milenial yang mudah

diakses siapa saja dengan hanya berbekal ponsel pintar. Bisnis tekfin

menyajikan jasa sistem pembayaran (payment system), jasa pinjam-meminjam

uang antar para pihak di masyarakat dan jasa permodalan publik. Bisnis

fintech pembayaran diatur dan diawasi Bank Indonesia (BI), sedangkan bisnis

tekfin-pinjaman dan tekfin-permodalan diawasi Otoritas Jasa Keuangan

(OJK).3

Pihak penyelenggara fintech tidak mengikuti standar operasional

prosedur (SOP) dan lemahnya pengendalian internal untuk melihat secara

benar apakah para pegawai atau pihak ketiga sudah mematuhi SOP. Apabila

nasabah tidak membayar saat jatuh tempo maka pihak fintech menggunakan

daftar kontak debitor, lalu menghubungi mereka untuk menagih utang.

Dalam beberapa aduan, para debt collector bahkan menggunakan kata

kasar bernada ancaman. Salah satu yang menjadi sorotan pelanggaran ini tidak

hanya dilakukan perusahaan fintech ilegal tapi juga fintech terdaftar atau
3
Citi Rahmati Serfiyati dkk, “Regulasi dan Perjanjian Bisnis Tekfin-pinjaman (AILRC)”,
https://kliklegal.com/regulasi-dan-perjanjian-bisnis-tekfin-pinjaman-ailrc/, diakses pada tanggal 23
April 2022
6

memiliki izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Tercatat, sebanyak 25

perusahaan fintech terdaftar dari 89 penyelenggara terhadap konsumen atau

nasabah.4

Dari uraian diatas penulis ingin membandingkan antara putusan

dengan wawancara kepada beberapa narasumber untuk melihatr mengenai

efisiensi penagihan melalui debtcollector terhadap minat bayar yang kemudian

akan diangkat sebagai penelitian berjudul “EFISIENSI PENAGIHAN

OLEH DEBTCOLLECTOR TERHADAP KEPASTIAN

PEMBAYARAN DALAM PERJANJIAN PINJAMAN ONLINE (STUDI

PUTUSAN NOMOR 267/PDT.G/2020/PN BDG)

B. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan

identifikasi masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana ketentuan pelaksanaan pinjam meminjam berbasis online di

Indonesia serta hak dan kewajiban para pihak?

2. Bagaimana efisiensi penagihan oleh debcollector terhadap ketepatan

pembayaran dalam perjanjian pinjaman online?

4
Mochamad Januar Rizki, Miris 25 Perusahaan Fintech Terdaftar Diduga Lakukan
Pelanggran Hukum, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c0e3ecd9ca38/miris--25-
perusahaan-fintech-terdaftar-diduga-lakukan-pelanggaran-hukum, diakses pada tanggal 23 April
2022
7

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan mendapatkan kepastian mengenai ketentuan

pelaksanaan pinjam meminjam berbasis online di Indonesia serta hak dan

kewajiban para pihak.

2. Untuk mengetahui mengenai efisiensi penagihan oleh debcollector

terhadap ketepatan pembayaran dalam perjanjian pinjaman online.

D. Kegunaan Penelitian

1. Sebagai wadah dalam melakukan pengembangan nalar dan pola piker yang

diterapkan dari ilmu-ilmu yang telah diperoleh selama masa perkuliahan di

Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura.

2. Untuk memberikan ilmu dan kepastian bagi praktisi dan instansi yang

membutuhkan, lebih khusus penelitian ini ditujukan untuk bahan bacaan

dan sumber informasi untuk masyarakat yang mencari informasi mengenai

pengaturan hukum serta praktek pembatalan hibah yang sudah diberikan.

E. Keaslian Penelitian

Penulisan hukum dengan judul “Efisiensi Penagihan Oleh

Debtcollector Terhadap Kepastian Pembayaran Dalam Perjanjian Pinjaman

Online (Studi Putusan Nomor 267/Pdt.G/2020/Pn Bdg)” adalah asli dan

dilakukan oleh peneliti sendiri berdasarkan buku-buku, majalah ilmiah, jurnal,

peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta fakta-fakta sosial yang


8

terjadi. Sebagai perbandingan dapat dikemukakan beberapa hasil penelitian

oleh beberapa peneliti terdahulu sebagai berikut :

1. Gika Asdina Firanda Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Tahun

2019

a. Judul :

Nagih Utang (Debt Collector) Pinjaman Online Berbasis Financial

Technology

b. Rumusan Masalah :

1) Bagaimana Kewenangan dan Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan

(OJK) Terhadap Penagih Utang (Debt Collector) Financial

Technology di Indonesia ?

2) Bagaimana Tindak Lanjut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Terhadap

Permasalahan Penagihan Utang yang Dilakukan Oleh Debt

Collector?

c. Kesimpulan :

Berdasarkan hasil penelitian, analisis dan pembahasan dengan

merujuk pada permasalahan yang ada dalam penulisan hukum ini

maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1) Kewenangan dan Pengawasan OJK terhadap P2P Lending secara

umum ada 3 (tiga) yaitu pengawasan pengawasan off-site(tidak

langsung), on-site(langsung) dan market conduct. Selain

melakukan ketiga pengawasan tersebut, OJK sebagai regulator juga

membuat peraturan otoritas jasa keuangan. Tetapi OJK tidak


9

mengatur secara langsung mengenai tata cara penagihan utang di

P2P Lending maupun debt collector, hal ini berdasarkan prinsip

principle based regulation bahwa OJK hanya mengatur hal-hal

yang bersifat prinsip saja selanjutnya mengenai standar operasional

prosedur dan aturan main dirumuskan oleh pelaku industri jasa

keuangan. Berdasarkan pengawasan market conduct, OJK

mengajak para pelaku industri jasa keuangan untuk ikut mengawasi

P2P Lending. Maka OJK menunjuk dan membentuk asosiasi yang

berwenang membuat peraturan tentang standar operasional

prosedur dan kode etik pada P2P Lending. Salah satu peraturan

yang sudah dibuat oleh asosiasi adalah Pedoman Perilaku

Pemberian Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi

Informasi.

2) Pengawasan dan Penindakan OJK terhadap Penyelenggara P2P

Lending maupun debt collector yang terbukti melakukan

pelanggaran terhadap penagihan utang yang tidak sesuai hukum

dan etika yaitu memberikan sanksi berupa peringatan tertulis,

denda, hingga pembatalan pendaftaran kepada Penyelenggara P2P

Lending jika terbukti melakukan. Dalam hal ini jika ada

permasalahan pada penagihan utang yang dapat dikenakan sanksi

oleh OJK ialah Penyelenggara P2P Lending. Sedangkan untuk

individu debt collector yang melakukan pelanggaran tersebut, OJK

akan mencantumkan nama debt collector tersebut dalam daftar


10

hitam otoritas yang nantinya Penyelenggara P2P Lending dilarang

untuk menggunakan jasa debt collector tersebut kembali dalam

penagihan utang.

2. Evi Tamala Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau Pekanbaru

Tahun 2012

a. Judul :

Strategi Kolektor Dalam Menghadapi Nasabah Yang Bermasalah Pada

Pt. Bank Perkreditan Rakyat Pekanbaru

b. Rumusan Masalah :

1) Bagaimana Strategi Debitur Kolektor Dalam Menghadapi Nasabah

Yang Bermasalah Pada PT. BPR Pekanbaru.

2) Apa saja Tugas dan Wewenang Debitur Kolektor Pada PT. BPR

Pekanbaru

c. Kesimpulan :

Berdasarkan hasil penelitian, analisis dan pembahasan dengan

merujuk pada permasalahan yang ada dalam penulisan hukum ini

maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1) Bahwa cara debt kolektor menghadapi nasabah yang bermasalah

pada PT. BPR Pekanbaru telah ditetukan sesuai dengan tata cara

yang diberikan oleh pihak Bank, dan sesuai dengan teori yang

didapatkan seperti mencerminkan sikap yang baik, dan pelayanan

yang baik kepada kreditur. Karena untuk menjaga nama baik PT.

BPR Pekanbaru.
11

2) Kesulitan sering kali dihadapi oleh debt kolektor dalam menagih

ke setiap nasabah, Jumlah nasabah yang ditagih oleh debt kolektor

(kreditur) setiap bulannya mencapai 100 orang nasabah. Apabila

kreditur tidak bisa juga melunasi hutangnya kepada debt kolektor

dengan kesapakatan yang telah ditetapkan, maka pihak bank

mengeluarkan surat panggilan I, II, dan III dan jaminan yang telah

kreditur berikan seperti Sertifikat Tanah, BPKB, dan lain

sebagainya akan menjadi hak bank sepenuhnya, selagi debitur

tidak bisa melunasi hutangnya.

3. Shinta Dwiningthyas Fakultas syariah Dan Hukum Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Tahun 2015

a. Judul :

Penggunaan Debt Collector Dalam Penyelesaian Kredit Macet

Pada Bank Standard Chartered (Analisis Putusan Ma Nomor 3192

K/Pdt/2012)

d. Rumusan Masalah :

1) Bagaimana pengaturan terhadap penggunaan jasa pihak ketiga

(debt collector) dalam penyelesaian kredit macet?

2) Faktor apa saja yang mempengaruhi terhadap penggunaan jasa

pihak ketiga (debt collector) dalam penagihan kredit macet?

e. Kesimpulan :
12

Berdasarkan hasil penelitian, analisis dan pembahasan dengan

merujuk pada permasalahan yang ada dalam penulisan hukum ini

maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1) Penggunaan jasa pihak ketiga (debt collector) dalam penyelesaian

kredit macet secara normatif telah diatur pada Surat Edaran Bank

Indonesia No. 14/17/DASP/2012 ketentuan VII.D angka 4,

Peraturan Bank Indonesia No. 14/2/PBI/2012 tentang

Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan

Menggunakan Kartu (APMK) pada Pasal 17B dan Pasal 21 ayat 1,

dan Booklet Perbankan Indonesia (BPI) Tahun 2014 mengenai

Prinsip Kehati-hatian Bagi Bank Umum Yang Melakukan

Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Pihak Lain

pada bagian Prinsip Kehati- hatian Dalam Penyerahan Pekerjaan

Penagihan Kredit. Dalam hal penagihan kredit macet yang

dilakukan oleh jasa pihak ketiga (debt collector) terdapat pokok-

pokok etika penagihan yang harus dipatuhi baik bagi pihak

penerbit kartu kredit maupun pihak jasa penagih, karena pada

pelaksanaannya seringkali terdapat unsur-unsur perbuatan

melawan hukum yang sangat merugikan nasabah (konsumen

perbankan) seperti melakukan ancaman, intimidasi, penekanan,

sampai kepada pencemaran nama baik nasabah.

2) Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 3192 K/Pdt/2012,

Majelis Hakim menyatakan menolak permohonan kasasi yang


13

diajukan oleh Pemohon Kasasi yaitu Standard Chartered Bank dan

memperbaiki amar Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor

529/PDT/2011/PT.DKI tanggal 3 Januari 2012 yang menguatkan

dan memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

Nomor 151/PDT.G/2010/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Juli 2010,

menghukum Para Tergugat untuk membayar ganti rugi secara

tanggung renteng kepada Penggugat sebesar Rp. 1.000.000.000,-

(satu milyar rupiah), serta mengabulkan gugatan Penggugat

(Victoria) untuk sebagian. Dimana dalam hal ini Standard

Chartered Bank telah melakukan perbuatan melawan hukum yang

mengakibatkan kerugian terhadap nasabahnya, karena jasa pihak

ketiga (debt collector) yang dikuasakan oleh pihak bank dalam

melakukan penagihan hutang kredit nasabahnya memakai

pendekatan intimidasi dan premanisme.

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat teori, tesis

mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan

perbandingan pegangan teoretis.5 Dalam penelitian ini penulis menggunakan

teori perlindungan hukum dan teori kepastian hukum.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan spesifikasi berupa


5
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung, Mandar Maju, 2003, hal. 80
14

deskriptif analitis dimana dalam penelitiannya digambarkan dari

suatu peraturan yang ada yang sedang berlaku kemudian dalam

analisisnya digunakan teori hukum yang serupa dengan topik yang

sedang diangkat.6 Dalam jenis spesifikasi ini, hasil diuraikan sesuai

dengan permasalahan yang ada yang sedang dibahas dalam

penelitian sehingga dapat mendapatkan hasil atau jawaban sesuai

dengan hipotesa awal yang diharapkan dengan lebih sistematis dan

tegas dalam rinciannya. Dari gambaran yang dibuat penulis,

penelitian ini diharapkan menemui hasil yang tegas mengenai suatu

bentuk hukum atau peraturan yang berlaku. Selanjutnya dilakukan

analisis terhadap hasil penelitian dengan menggunakan wawancara

dan dari studi pustaka lain yang relevan.

2. Metode Pendekatan

Dalam penelitian ini, penulis menentukan untuk menggunakan

system metode penelitian Penelitian yuridis empiris yang dengan

dimaksudkan kata lain yang merupakan jenis penelitian hulum sosiologis

dan dapat disebutkan dengan penelitian secara lapangan, yang mengkaji

ketentun hukum yang berlaku serta yang telah terjadi didalam kehidupan

masyarakat.7 Atau dengan kata lain yaitu suatu penelitian yang dilakukang

terhadap keadaan sebenarnya atau keadaan nyata yang telah terjadi di

6
Roni Hanitijo Sumitro, Metodelogi Penelitian Hukum (Jakarta: Ghalia, 2010), halaman
105
7
Bambang Waluyo, “Penelitian Hukum Dalam Praktek” (2002; Sinar Grafika; Jakarta),
hlm 15
15

masyarakt dengan maksud dengan mengetahui dan menemukan fakta-fakta

dan data yang dibutuhkan.8

Data yang akan digunakan dalam penelitian hukum ini bersumber

dari 2 (dua) sumber yaitu :

a. Data Primer merupakan suatu data yang telah diperoleh secara

langsung yang dari sumber pertama atau sumber asal dari lapangan

atau data yang diperoleh secara langsung yang melalui wawancara

terhadap narasumber yang berkompeten. Dalam hal ini adalah orang

atau kelompok masyarakat yang terikat dengan kasus di teliti.

b. Data Sekunder merupakan data yang diperoleh dari buku-buku sebagai

data pelengkap sumber data primer. Sumber data sekunder

didalampenelitian ini adalah data-data yang telah diperoleh dengan

melakukan kajian pustaka.9 Adapun data sekunder adalah buku-buku

tentang perjanjian, pinjaman online dan topic yang berkaitan lainnya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Penyusunan yang dilakukan dalam skripsi ini diperoleh

dengan metode pengumpulan bahan hukum yaitu melalui studi

observasi berupa Wawancara dan kepustakaan. Semua hal diatas

diolah menjadi bahan hukum yang lebih kompleks dan khusus

dalam bahasannya mengenai topik yang sedang diangkat.


8
ibid
9
Amiruddin, “Pengantar Metode Penelitian Hukum”, (2006; PT. Raja Grafindo Persada),
Hlm. 30
16

4. Metode Analisa Data

Analisis bahan hukum dilakukan secara kualitatif, dimana

pembahasan serta hasil penelitian diuraikan dengan kata-kata

berdasarkan bahan hukum yang diperoleh. Bahan hukum yang

terkumpul akan di analisis dengan cara mencari dan menentukan

hubungan antara bahan hukum yang diperoleh dari penelitian dengan

permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

5. Sistematika Penulisan

Penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab. Dimana setiap bab

terbagi lagi menjadi beberapa sub bab. Adapun perinciannya adalah

sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan

Pada bab ini mengemukakan secara singkat menegnai pengantar

dari keseluruhan pokok isi tulisan yang di dalamnya akan

memuat latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan

penelitian, kegunaan penelitian, keaslian penelitian, metode

penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II Tinjauan Pustaka Tentang Pinjaman Online dan Debt-

Collector

Pada bab ini dibahas mengenai pinjaman online yang terdiri dari

pengertian, dasar hukum, tujuan, syarat dan prosedur pinjaman

online ditinjau dari hukum positif Indonesia. Dan juga mengenai

debt-collector.
17

BAB III Hasil Penelitian Dan Pembahasan

Pada bab ini memuat hasil dan pembahasan mengenai ketentuan

pelaksanaan pinjam meminjam berbasis online di Indonesia

serta hak dan kewajiban para pihak serta efisiensi penagihan

oleh debcollector terhadap ketepatan pembayaran dalam

perjanjian pinjaman online.

BAB IV Penutup

Merupakan bab terakhir berupa kesimpulan yang

merupakan jawaban dari pokok masalah yang telah dianalisis

pada bab-bab sebelumnya. Pada bab ini juga berisi saran-saran

yang berguna untuk kemajuan dalam penyusunan skripsi.

DAFTAR PUSTAKA

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2003.

Citi Rahmati Serfiyati dkk, “Regulasi dan Perjanjian Bisnis Tekfin-

pinjaman (AILRC)”
18

Ernama, Budiharto, Hendro S, “Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan

Terhadap Financial Technology (Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

77/POJK.01/2016)”, Diponegoro Law Journal, Vol, 6, No, 3, 2017.

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung, Mandar Maju,

2003.

Mochamad Januar Rizki, Miris 25 Perusahaan Fintech Terdaftar Diduga

Lakukan Pelanggran Hukum

Roni Hanitijo Sumitro, Metodelogi Penelitian Hukum Jakarta: Ghalia,

2010.

Sarwin Kiko Napitupulu, Aldi Firmansyah Rubini, Kurniatul Khasanah

dan Aryanti Dwi Rachmawati, “Kajian Perlindungan Konsumen Sektor Jasa

Keuangan: Perlindungan Konsumen Pada Fintech”, Jakarta: Departemen

Perlindungan Konsumen-OJK,2017

Anda mungkin juga menyukai