Anda di halaman 1dari 8

PELUANG DAN

MANEJEMEN RESIKO
FINTECH
PELUANG DAN PROSPEK FINTECH
DI INDONESIA

 Indonesia Fintech Society (IFSoc) menyebutkan industri financial technology (fintech) akan
terus bertumbuh pada 2023. Hal tersebut seiring dengan menurunnya isu dan pengguna fintech
Peer-to-Peer Lending (P2P Lending) ilegal atau pinjol ilegal.
 Menurut Ketua IFSoc, Rudiantara, Perkembangan fintech sangat luar biasa sudah Rp500 triliun
lebih yang digelontorkan fintech ini serta masih ada sekitar Rp50 triliun yang di masyarakat
yang berupa pinjaman. Penyaluran pinjol meningkat berkat edukasi dari Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) dan pelaku usaha fintech.
 Perkembangan uang elektronik atau e-wallet juga semakin meningkat dengan rata-rata
pertumbuhan 100 persen. Peningkatan transaksi mencapai Rp399 triliun pada 2022. Peningkatan
uang elektronik menurutnya juga dipengaruhi pandemi Covid-19, di mana belanja online lebih
digemari. Di sisi lain, Rudiantara juga mengatakan bahwa jumlah merchant Quick Response
Code Indonesian Standard (QRIS) juga meningkat dengan 24,9 juta di awal 2023.
 Per Oktober 2023 sebanyak 22 fintech resmi terdaftar dan mengantongi izin Otoritas
Jasa Keuangan (OJK). Dari jumlah itu, baru delapan fintech melaporkan transaksinya
mencapai satu triliun rupiah kepada OJK, sedangkan jumlah nasabah yang menerima
pinjaman dari fintech menembus 200 ribu nasabah dengan konsentrasi terbesar di
Pulau Jawa. Peran fintech yang semakin besar dalam sistem keuangan berpotensi
meningkatkan efisiensi dan keuangan inklusif sehingga dapat mendorong pertumbuhan
ekonomi dan mengubah lanskap sistem keuangan
 Di sisi lain, tingkat pentrasi layanan jasa keuangan, terutama perbankan, di masyarakat
masih sangat rendah. Mengutip pernyataan Pendiri Gojek, Nadiem Makarim,
masyarakat usia 15 tahun yang mempunyai rekening di bank baru 36 persen. Angka
tersebut jauh di bawah Tiongkok (79 persen) dan India (53 persen). Nadiem
menambahkan bahwa Selain itu, masyarakat usia 15 tahun ke atas pemilik kartu debit
hanya 26 persen dan kartu kredit empat persen. Sementara pengguna layanan
perbankan dalam jaringan (daring) atau internet banking hanya enam persen. “Situasi
itu memungkinkan kesempatan perkembangan ekonomi digital lebih baik lagi ke depan
 Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) memperkirakan pasar teknologi finansial (financial
technology/fintech) akan meningkat dua kali lipat dalam beberapa tahun ke depan. Sebuah catatan
juga menunjukkan bahwa Indonesia telah mengalami peningkatan 6 kali lipat lebih jumlah pemain
fintech, dari 51 menjadi 334 dalam kurun waktu 2011 hingga2022.
 Pada awalnya, pertumbuhan sektor fintech didorong oleh segmen pembayaran. Namun, saat ini
lanskap fintech di Indonesia sudah semakin beragam dan dinamis, di mana sektor pinjaman,
pembayaran, dan wealthtech menjadi industri masa depan yang menjanjikan.
 Selain itu, segmen baru di sektor fintech, seperti software as a service (SaaS) dan insurtech yang
kian bermunculan menunjukkan bahwa fintech di Indonesia semakin matang dan bergerak menuju
produk dan layanan yang lebih canggih.
 Penawaran Fintech juga mengalami lonjakan keterlibatan pelanggan (customer engagement) di
Indonesia. Segmen pembayaran, yang memiliki lebih dari 60 juta pengguna aktif pada 2020
diperkirakan akan memiliki tingkat CAGR sebesar 26 persen hingga 2025. Compounded annual
growth rate (CAGR) adalah tingkat pertumbuhan per tahun selama rentang periode waktu tertentu.
Di lingkup pemberian pinjaman, terdapat lebih dari 30 juta akun peminjam peer-to-peer yang aktif
pada 2021.
 Sementara itu, segmen wealthtech memiliki lebih dari 9 juta investor ritel pada 2022. Adopsi
platform SaaS juga semakin meningkat, dengan 6 juta Usaha Mikro Kecil dan Menengah
(UMKM) saat ini menggunakannya, yang mewakili ekspansi 26 kali lipat selama tiga tahun
sebelumnya.
 Tren investasi juga mencerminkan diversifikasi pasar fintech di Indonesia, di mana segmen
pemberian pinjaman dan pembayaran tidak lagi menjadi area utama yang diminati. Meskipun
kedua segmen tersebut tetap penting, namun terdapat peningkatan investasi pada wealthtech,
insurtech, dan fintech SaaS.
Manajemen Resiko Pada Fintech
 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serius membenahi manajemen risiko industri financial technology
(fintech). Dalam beleid baru pada industri fintech peer-to-peer (P2P) lending, diatur tentang
manajemen risiko penyelenggara/platform P2P lending.
 Dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama
Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI), ada pasal tentang manajemen risiko. Dalam Pasal 35
(Manajemen Risiko oleh Penyelenggara), diatur singkat tentang manajemen risiko platform
P2P lending.
 Disebutkan dalam di Pasal 35 bahwa platform P2P lending wajib menerapkan manajemen risiko
secara efektif. Penerapan manajemen risiko tersebut paling sedikit mencakup: (1) pengawasan
aktif direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas syariah; (2) kecukupan kebijakan dan
prosedur manajemen risiko serta penetapan limit risiko; (3) kecukupan proses identifikasi,
pengukuran, pengendalian, dan pemantauan risiko, serta sistem informasi manajemen risiko; dan
(4) sistem pengendalian internal yang menyeluruh.
 Manajemen risiko dalam ketentuan di atas adalah manajemen risiko pada platform P2P lending itu
sendiri. Ada risiko-risiko yang dihadapi platform seperti risiko operasional, risiko strategis, risiko
kepatuhan, risiko fraud, dan lainnya.
 Platform P2P lending tidak menanggung risiko kredit atas dana yang disalurkan. Hal ini
dikarenakan fungsi perusahaan P2P lending hanya sebagai platform, yakni penghubung antara
pemberi dana (lender) dengan peneriman dana (borrower). Yang melakukan transaksi utang-
piutang adalah antara lender dengan borrower.
 Transaksi dalam P2P lending berbeda dengan bank atau lembaga pembiayaan. Pada bank, kredit
yang disalurkan kepada debitur adalah dana yang diakui sebagai aset bank. Jika debitur macet,
maka yang rugi adalah bank. Pemiliki risiko kredit adalah bank. Sementara itu, dalam transaksi
P2P lending, jika borrower macet, maka yang menanggung risiko adalah lender.
 Meskipun risiko pinjaman macet ada pada lender, platform P2P lending diwajibkan OJK untuk
membantu memfasilitasi mitigasi risiko, khususnya risiko lender yang uangnya dipinjamkan.
Disebutkan dalam ayat (4) Pasal 35 bahwa kegiatan memfasilitasi mitigasi risiko bagi paling
sedikit berupa: (1) analisis risiko pendanaan yang diajukan oleh borrower; (2) melakukan
verifikasi identitas pengguna dan keaslian dokumen; (3) melakukan penagihan; (4) memfasilitasi
pengalihan risiko (misalnya melalui asuransi); dan (5) memfasilitasi pengalihan risiko atas objek
jaminan, jika ada objek jaminan.
 Beberapa ketentuan yang menguatkan manajemen risiko dapat dijumpai dalam
beberapa pasal di POJK 10/2022. Misalnya di Pasal 46 disebutkan bahwa platform
P2P lending wajib memiliki sertifikat sistem manajemen keamanan informasi dengan
cakupan menyeluruh (terkait risiko operasional). Hal yang sama juga terkait dengan
akses dan pengamanan data pribadi (Pasal 47) yang harus dipatuhi (terkait risiko
kepatuhan), terlebih sejak ditetapkannya UU No. 27/2022 tentang Pelindungan Data
Pribadi.
 Ketentuan manajemen risiko untuk industri P2P lending dalam POJK 10/2022 memang
tidak dalam, namun sudah memadai. Hal ini memang disesuaikan dengan industri yang
masih baru hadir di Indonesia. Secara bertahap, kualitas manajemen risiko industri
harus terus ditingkatkan, seiring dengan maturitas yang (diharapkan) semakin baik.

Anda mungkin juga menyukai