Anda di halaman 1dari 12

FINANCIAL TECHNOLOGY

Ujian Akhir Semester


Dosen Pengampu : Prof. Dr. Umi Widyastuti, SE, M.E

Disusun Oleh :

Miftah Fariz Ramdani (1705621136)

FAKULTAS EKONOMI
PROGRAM STUDI S1 MANAJEMEN
ANGKATAN 2021
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
Tantangan dan Daya Tarik P2P Lending Ilegal: Mengapa Masyarakat Masih
Memilih Jalur Ini?

Selama periode 2019-2021, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat sebanyak


19.711 aduan terkait pelaksanaan layanan fintech peer-to-peer (P2P) lending yang
resmi, serta pinjaman online (pinjol) ilegal. Dari jumlah tersebut, 47,03 persen
atau sekitar 9.270 kasus tergolong sebagai pengaduan serius, sementara sisanya
sekitar 10.441 kasus dianggap sebagai pelanggaran yang lebih ringan atau sedang.
OJK juga mengidentifikasi empat isu utama dalam pengaduan serius yang
mayoritas dilaporkan, khususnya terkait dengan praktik pinjol ilegal. Pertama,
terdapat keluhan terkait pencairan dana atau pemberian pinjaman tanpa
persetujuan dari pihak pemohon. Kedua, ancaman akan penyebaran data pribadi
oleh penyedia layanan. Ketiga, praktik penagihan yang dilakukan kepada semua
kontak yang terdaftar dalam HP korban dengan menggunakan tindakan teror atau
intimidasi. Dan yang terakhir, penggunaan kata-kata kasar dan pelecehan seksual
dalam proses penagihan yang dilakukan oleh penyelenggara pinjol ilegal.Fintech
adalah singkatan dari istilah "financial technology" yang merujuk pada industri
yang menggabungkan teknologi dengan layanan keuangan untuk menciptakan
inovasi baru, memperbaiki efisiensi, serta meningkatkan aksesibilitas dalam
sistem keuangan. Fintech menggunakan teknologi informasi untuk menyediakan
layanan keuangan yang lebih cepat, efisien, murah, dan mudah diakses bagi
individu, bisnis, maupun lembaga keuangan.

Pengertian Fintech P2P Lending


Fintech adalah penerapan teknologi dalam industri keuangan dan perbankan yang
umumnya dilakukan oleh perusahaan rintisan (startup). Mereka menggunakan
teknologi perangkat lunak, internet, komunikasi, dan komputasi terkini untuk
meningkatkan layanan keuangan. Konsep ini menggabungkan perkembangan
teknologi dengan bidang keuangan untuk menyediakan proses transaksi keuangan
yang lebih mudah digunakan, aman, dan modern.
Fintech memiliki berbagai bentuk, di antaranya adalah pembayaran digital seperti
dompet elektronik dan pembayaran antar individu (P2P payments), investasi
seperti pendanaan bersama (equity crowdfunding) dan pinjaman antar individu
(Peer To Peer Lending), pembiayaan melalui pendanaan bersama (crowdfunding),
pinjaman mikro, dan fasilitas kredit, serta asuransi untuk pengelolaan risiko.
Fintech juga melibatkan penggunaan data besar (big data) untuk analisis dan
pemodelan prediktif, serta infrastruktur keamanan.
Kehadiran fintech memberikan solusi bagi masyarakat yang belum memiliki akses
ke layanan perbankan, sehingga memberikan kemudahan bagi berbagai kalangan
masyarakat untuk mengakses layanan keuangan yang praktis, aman, dan cepat. Ini
memungkinkan mereka untuk melakukan transaksi keuangan tanpa harus terbatas
oleh batasan-batasan tradisional yang mungkin ada dalam sistem perbankan
konvensional.
P2P lending (Peer-to-Peer lending) adalah suatu model pinjaman yang
mempertemukan peminjam dengan pemberi pinjaman melalui platform online
yang disediakan oleh perusahaan fintech. Dalam P2P lending, individu atau bisnis
yang membutuhkan pinjaman dapat mengajukan permohonan pinjaman melalui
platform tersebut. Pada sisi lain, investor atau pemberi pinjaman yang tertarik
untuk memberikan pinjaman dapat memilih untuk mendanai pinjaman-
peminjaman tertentu berdasarkan risiko dan tingkat pengembalian yang
diinginkan.
Proses P2P lending biasanya dilakukan secara online melalui platform yang
menyediakan informasi tentang profil peminjam, jumlah pinjaman yang diminta,
jangka waktu pinjaman, tingkat bunga yang ditawarkan, dan informasi lainnya
yang relevan. Ini memungkinkan peminjam dan pemberi pinjaman untuk
terhubung secara langsung tanpa melibatkan lembaga keuangan tradisional seperti
bank.
Keunggulan P2P lending adalah memberikan akses pinjaman yang lebih mudah,
cepat, dan prosesnya lebih sederhana daripada pinjaman dari lembaga keuangan
konvensional. Peminjam yang sulit mendapatkan pinjaman dari bank
konvensional karena beberapa alasan, seperti kurangnya riwayat kredit atau
ukuran pinjaman yang kecil, dapat menemukan akses lebih luas dalam P2P
lending. Di sisi lain, investor atau pemberi pinjaman bisa mendapat keuntungan
dari tingkat bunga yang lebih tinggi dibandingkan dengan menabung di bank.
Namun, P2P lending juga memiliki risiko tersendiri. Risiko ini dapat melibatkan
kemungkinan gagal bayar dari peminjam yang dapat mengakibatkan kerugian
bagi pemberi pinjaman. Risiko lainnya termasuk risiko platform yang mengalami
kebangkrutan, risiko keamanan data pribadi, dan risiko regulasi. Oleh karena itu,
baik peminjam maupun pemberi pinjaman perlu memahami risiko-risiko ini
sebelum terlibat dalam transaksi P2P lending.
Berkembangnya perusahaan Fintech P2P Lending sebagai penyedia layanan
keuangan berbasis teknologi informasi telah mendorong badan regulator seperti
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia untuk mengeluarkan
peraturan-peraturan tertentu yang mengatur operasional dan tata kelola Fintech
P2P Lending di Indonesia. Misalnya, OJK mengeluarkan Peraturan OJK No.
77/POJK.01/2016 yang mengatur Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi, sementara Bank Indonesia menerbitkan Peraturan Bank
Indonesia (PBI) No. 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi
Finansial.
Meskipun OJK telah menetapkan prosedur pengajuan agar Fintech P2P Lending
menjadi legal dengan mematuhi regulasi yang ada, namun fakta menunjukkan
masih adanya banyak perusahaan Fintech P2P Lending yang beroperasi secara
ilegal atau tanpa izin dari OJK. Data dari OJK bersama Bareskrim Polri dalam
Satgas Waspada Investasi (SWI) menunjukkan bahwa hingga tahun 2020, masih
ditemukan 126 Fintech P2P Lending ilegal yang tidak terdaftar atau tidak
memiliki izin usaha sesuai dengan regulasi POJK No. 77/POJK.01/2016. Total
entitas fintech ilegal yang telah ditangani oleh Satgas Waspada Investasi untuk
ditutup sejak tahun 2018 hingga September 2020 mencapai 2840 entitas.
Selain itu, penggunaan teknologi dalam praktik Fintech P2P Lending juga
memiliki potensi risiko, seperti risiko keamanan data konsumen dan risiko
kesalahan transaksi. Risiko keamanan data konsumen timbul karena adanya
potensi ancaman terhadap privasi dan keamanan data yang disimpan dalam sistem
fintech. Sementara risiko kesalahan transaksi dapat terjadi karena kelalaian
manusia, kerentanan teknologi, atau masalah sistem yang bisa mengakibatkan
kesalahan dalam proses transaksi keuangan.
Hal ini menunjukkan pentingnya penegakan regulasi yang ketat dan pengawasan
yang lebih baik dalam industri Fintech P2P Lending untuk melindungi konsumen
serta menjaga stabilitas pasar keuangan dari risiko yang mungkin timbul dari
operasional perusahaan-perusahaan fintech ilegal atau tidak berizin.
Praktik penagihan utang yang agresif dan melanggar privasi oleh perusahaan
Fintech P2P Lending telah menjadi perhatian yang serius. Saat utang jatuh tempo,
beberapa perusahaan menggunakan metode penagihan yang terlalu intimidatif,
termasuk ancaman untuk menyebarkan data pribadi konsumen di media sosial,
melakukan ancaman dan intimidasi terhadap keselamatan konsumen, serta
menghubungi teman atau keluarga konsumen sebagai upaya untuk menekan atau
memaksa mereka untuk membayar utang.
Tidak hanya itu, ada juga kasus di mana satu debitur menggunakan lebih dari satu
aplikasi Fintech P2P Lending. Situasi ini terjadi ketika seseorang tidak mampu
melunasi pinjaman beserta bunga dalam jangka waktu yang singkat. Akibatnya,
debitur melakukan pinjaman pada beberapa aplikasi Fintech P2P Lending untuk
menutupi utang sebelumnya. Hal ini menyebabkan debitur terjerat oleh beberapa
hutang pada berbagai Fintech P2P Lending, mengakibatkan tekanan keuangan
yang besar.
Kasus-kasus seperti ini menunjukkan risiko dari kreditur yang tidak bertanggung
jawab serta praktik penagihan utang yang agresif yang dilakukan oleh beberapa
perusahaan Fintech P2P Lending. Selain merugikan konsumen secara finansial,
hal ini juga dapat berdampak pada kesehatan mental dan emosional mereka,
bahkan dalam kasus yang ekstrim, seperti yang terjadi pada sopir taksi yang
bunuh diri karena tekanan finansial yang disebabkan oleh utang pada pinjaman
online.
Pentingnya perlindungan konsumen dan regulasi yang lebih ketat menjadi fokus
dalam menangani masalah ini. Regulator dan otoritas terkait harus mengambil
langkah-langkah yang tegas untuk mengawasi dan mengatur praktik-praktik
perusahaan Fintech P2P Lending agar tidak melanggar hak privasi konsumen dan
tidak melakukan penagihan utang yang tidak pantas. Selain itu, penting juga bagi
konsumen untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang kewajiban dan hak
mereka saat menggunakan layanan Fintech P2P Lending serta cara melaporkan
praktek-praktek yang tidak etis atau melanggar hukum kepada otoritas yang
berwenang.
Berikut adalah rincian identifikasi problematika Fintech P2P Lending di
Indonesia.97 1. Fintech ilegal, dari sisi struktur terdapat problematika kekosongan
hukum terhadap fintech ilegal pemangku kepentingan tidak cekatan dalam
menemukan langkah strategis dan saling lempar wewenang, tidak adanya Satuan
Tugas (Satgas) yang secara khusus menangani fintech, hanya ada Satgas Waspada
Investasi (SWI), sehingga perlu pengoptimalan dalam menangani fintech.
Kemudian dari sisi substansi, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) hanya
mengatur fintech yang berizin, dan tidak adanya sanksi pidana terhadap fintech
ilegal (tidak adanya peraturan yang setingkat Undangundang). Selain itu dari
kultur, kurang waspadanya masyarakat terhadap fintech ilegal, dan selau ada
penyelenggaraan fintech yang tidak patuh terhadap ketentuan peraturan otoritas
jasa keuangan. 2. Suku bunga, dilihat dari sisi struktur terdapat problematika
pengawasan dan pengaturan terhadap suku bunga yang belum dibahas, dan saling
lempar wewenang. Kemudian dari sisi substansi peraturan otoritas jasa keuangan
tidak mengatur besarnya suku bunga, namun Asosiasi Fintech Pendananaan
Bersama Indonesia (AFPI) yang mengatur suku bunga, akan tetapi hanya yang
ikut AFPI/berizin. Selain itu dari sisi kultur, terlalu mudahnya masyarakat dalam
mengikat persetujuan terkait besaran bunga karena kurangnya sosialisasi dan
edukasi, adanya penagihan intimidatif terhadap konsumen, bahkan disertai
penyebaran data pribadi dan kekerasan verbal, dan penyelenggaraan fintech ilegal
menaikkan suku bunga tanpa batasan. 3. Penagihan intimidatif, dilihat dari sisi
struktur terdapat permasalahan adanya kelalaian pengawasan terhadap
penyelesaian sengketa berkaitan tindakan intimidatif dari pihak fintech, dan belum
adanya infrastruktur yang memadai. Kemudian dari sisi substansi, terdapat
problematika regulasi penyelesaian sengketa masih terpisah-pisah dan belum
terpadu, semisal, pencampuran ranah pidana dan perdata. Sesuai dengan kasus
yang terjadi wanprestasi, penipuan, pemerasan dan pengancaman juga bisa
dimasukkan, dan belum adanya satgas khusus dalam penyelenggaraan fintech.
Selain itu dari sisi kultur terdapat problematika, wanprestasinya konsumen
penyebab penagihan intimidatif oleh pihak fintech, dan penyebaran data
konsumen ialah akibat ketidakmampuan untuk membayar (konsumen mengalami
kredit macet).

Jenis-Jenis P2P Lending


Berikut adalah penjelasan singkat tentang jenis-jenis P2P lending yang umumnya
dikenal:
1. Crowdfunding P2P Lending:
Ini adalah jenis P2P lending di mana individu atau bisnis meminjamkan atau
meminjamkan uang kepada satu sama lain melalui platform online. Pengguna
platform ini dapat meminjam dana untuk berbagai keperluan, seperti pendanaan
proyek, kebutuhan pribadi, pendanaan usaha, atau tujuan lainnya. Investor
individual atau pemberi pinjaman dapat menyumbangkan sejumlah dana yang
mereka miliki untuk mendukung proyek atau peminjam yang mereka pilih.

2. Risk and Investment Management P2P Lending:


Jenis P2P lending ini fokus pada manajemen risiko dan investasi. Platform P2P
lending menawarkan layanan yang membantu dalam manajemen risiko dan
investasi bagi para investor. Mereka memberikan informasi dan alat yang
diperlukan bagi investor untuk memilih dan mengelola portofolio investasi
mereka, termasuk analisis risiko dan pengelolaan investasi secara lebih efektif.
3. Market Aggregator P2P Lending:
Ini adalah jenis platform P2P lending yang bertindak sebagai agregator atau
penyedia layanan informasi yang mengumpulkan data dari berbagai platform P2P
lending lainnya. Mereka menyediakan informasi terkait pinjaman yang tersedia
dari berbagai platform, memungkinkan pengguna untuk membandingkan dan
memilih opsi pinjaman yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
4. Payment P2P Lending:
Jenis P2P lending ini fokus pada layanan pembayaran atau transfer uang antar
individu atau bisnis melalui platform online. Ini memungkinkan pengguna untuk
melakukan transaksi keuangan, pembayaran, atau transfer dana secara langsung
antar rekening bank atau melalui aplikasi yang disediakan oleh platform tersebut.
Setiap jenis P2P lending memiliki tujuan dan fokus yang berbeda dalam
memberikan layanan keuangan kepada penggunanya. Meskipun memiliki
perbedaan dalam cara mereka beroperasi, semua jenis P2P lending berusaha
memberikan akses keuangan yang lebih mudah, cepat, dan terjangkau bagi
individu dan bisnis.
Kelebihan dan Kekurangan P2P Lending
Berikut adalah beberapa kelebihan dan kekurangan dari layanan P2P lending:
Kelebihan P2P Lending:
1. Akses Pinjaman yang Cepat: P2P lending memberikan akses cepat terhadap
pinjaman, memungkinkan peminjam untuk mendapatkan dana dengan proses
yang lebih singkat dibandingkan lembaga keuangan tradisional.
2. Kemudahan Proses: Proses aplikasi pinjaman dalam P2P lending dilakukan
secara online, memungkinkan pengguna untuk mengajukan pinjaman dari mana
saja tanpa harus berkunjung ke kantor fisik.
3. Ketersediaan untuk Segmen yang Sulit Mendapatkan Pinjaman: P2P lending
memberikan akses pinjaman kepada segmen masyarakat yang sulit mendapatkan
pinjaman dari lembaga keuangan tradisional, seperti individu dengan riwayat
kredit yang terbatas.
4. Pilihan Bunga yang Lebih Kompetitif: Untuk investor, P2P lending
menawarkan kesempatan untuk mendapatkan imbal hasil yang lebih tinggi
dibandingkan dengan tabungan bank tradisional.

Kekurangan P2P Lending:


1. Risiko Tinggi bagi Pemberi Pinjaman: P2P lending melibatkan risiko gagal
bayar oleh peminjam, yang bisa mengakibatkan kerugian bagi pemberi pinjaman
jika peminjam tidak dapat membayar kembali pinjaman.
2. Potensi Penyalahgunaan: Beberapa platform P2P lending ilegal atau tidak
terdaftar mungkin menawarkan bunga yang tinggi atau memiliki praktik
penagihan yang agresif, mempengaruhi konsumen dengan utang yang tidak
terkendali.
3. Keterbatasan Pengaturan dan Perlindungan Konsumen: Di beberapa negara,
regulasi terkait P2P lending mungkin belum terlalu kuat, sehingga perlindungan
konsumen terhadap praktik ilegal atau tidak etis mungkin kurang optimal.
4. Ketergantungan pada Teknologi: Kerentanan terhadap masalah teknis,
keamanan data, atau gangguan layanan karena ketergantungan pada teknologi
dapat menjadi risiko dalam P2P lending.
5. Tingkat Pengembalian yang Tidak Konsisten: Investasi dalam P2P lending tidak
selalu menjamin tingkat pengembalian yang stabil karena kinerja peminjam atau
proyek yang mendapatkan pendanaan bisa bervariasi.
Cara Kerja P2P Lending
Menurut OJK (2020), Proses operasional dalam platform P2P lending dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Registrasi keanggotaan: Pengguna, baik pemberi pinjaman (lender)
maupun peminjam (borrower), melakukan pendaftaran atau registrasi
secara online melalui perangkat komputer atau smartphone. Mereka
mengisi informasi pribadi dan melengkapi persyaratan yang diperlukan
untuk menjadi anggota platform P2P lending.
2. Pengajuan pinjaman oleh Borrower: Peminjam (borrower) mengajukan
permohonan pinjaman melalui platform P2P lending. Mereka
menginformasikan jumlah yang ingin dipinjam, tujuan pinjaman, serta
memberikan detail terkait kebutuhan pinjaman tersebut.
3. Analisis dan Seleksi Borrower oleh Platform: Platform P2P lending
melakukan proses evaluasi terhadap permohonan pinjaman yang diajukan.
Mereka menganalisis profil keuangan dan kredit peminjam, menilai risiko
yang terkait, serta menentukan kelayakan peminjam untuk meminjam
dana. Berdasarkan analisis ini, platform menetapkan tingkat risiko
peminjam.
4. Penyajian Profil Borrower di Marketplace: Peminjam yang lolos
seleksi akan dihadirkan dalam marketplace P2P lending secara online oleh
platform. Informasi komprehensif tentang profil peminjam serta tingkat
risiko yang telah ditetapkan disediakan kepada investor P2P lending.
5. Analisis dan Seleksi Investor P2P Lending: Investor (lender) P2P
lending melakukan analisis dan seleksi terhadap peminjam yang tercantum
dalam marketplace P2P lending. Mereka menilai tingkat risiko yang sesuai
dengan toleransi risiko dan keputusan investasi pribadi mereka.
6. Pendanaan ke Borrower oleh Investor: Investor yang telah melakukan
seleksi memberikan pendanaan atau memberi pinjaman kepada peminjam
melalui platform P2P lending. Sejumlah dana yang telah diinvestasikan
oleh investor akan disalurkan kepada peminjam yang terpilih.
7. Pengembalian Pinjaman oleh Borrower: Peminjam membayar kembali
pinjamannya sesuai dengan jadwal pengembalian yang telah ditetapkan
kepada platform P2P lending. Mereka melakukan pembayaran pinjaman
sesuai perjanjian yang telah disepakati.
8. Penerimaan Dana Pengembalian oleh Investor: Investor P2P lending
menerima dana pengembalian pinjaman dari peminjam melalui platform
P2P lending. Dana ini merupakan pengembalian pokok pinjaman beserta
bunga yang telah ditetapkan sebelumnya sesuai perjanjian pinjaman antara
peminjam dan investor.

Alasan Masyarakat Masih Menggunakan P2P Lending Ilegal


Ada beberapa alasan mengapa masyarakat masih menggunakan layanan P2P
lending ilegal meskipun ada risiko dan masalah terkait:
1. Kemudahan Akses dan Persyaratan yang Mudah: Platform P2P
lending ilegal seringkali menawarkan proses pinjaman yang lebih cepat
dan persyaratan yang lebih rendah daripada lembaga keuangan tradisional.
Hal ini membuatnya menarik bagi individu yang membutuhkan dana
dengan cepat tanpa harus melewati proses yang rumit.
2. Ketersediaan Pinjaman untuk Segmen yang Sulit Mendapatkan
Pembiayaan: Bagi sebagian orang, terutama mereka yang tidak memiliki
riwayat kredit yang kuat atau tidak memiliki akses ke lembaga keuangan
formal, platform P2P lending ilegal bisa menjadi satu-satunya opsi untuk
mendapatkan pinjaman.
3. Kurangnya Pengetahuan tentang Risiko dan Alternatif: Beberapa
individu mungkin tidak sepenuhnya menyadari risiko yang terkait dengan
menggunakan layanan P2P lending ilegal. Mereka mungkin kurang
memiliki pemahaman tentang alternatif lain yang lebih aman atau resmi
yang tersedia.
4. Keputusan yang Didorong oleh Kebutuhan Mendesak: Dalam
beberapa situasi, kebutuhan mendesak untuk mendapatkan dana bisa
mendorong seseorang untuk menggunakan layanan P2P lending ilegal
tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjangnya.
5. Tidak Adanya Pengetahuan tentang Legalitas Platform: Ada juga
kemungkinan bahwa sebagian orang menggunakan platform P2P lending
tanpa menyadari bahwa platform tersebut sebenarnya ilegal atau tidak
memiliki izin resmi dari otoritas keuangan yang berwenang.

Problematika Fintech di Indonesia


Menurut Aprilia (2021), Problematika P2P Lending di Indonesia, antara lain:
1. Secara substansi, layanan keuangan, termasuk fintech P2P lending, harus
memiliki izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun, kasus-kasus
fintech ilegal cenderung lebih dominan daripada yang berizin, di mana
jumlah fintech ilegal lebih besar dibandingkan yang memiliki izin resmi.
Masalahnya adalah peraturan OJK tidak secara tegas mengatur
pengawasan dan pengaturan fintech ilegal. Sanksi yang diterapkan oleh
OJK dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) hanya
bersifat administratif, seperti pencabutan izin operasi, tanpa adanya sanksi
pidana yang memperkarakan pelaku fintech ilegal. Keterbatasan
pengetahuan masyarakat tentang fintech menyebabkan sulitnya
membedakan antara yang berizin dan ilegal karena keduanya tampak
serupa. Selain itu, terjadi dilema dalam penanganan kasus fintech ilegal
karena otoritas jasa keuangan dan lembaga terkait saling melempar
tanggung jawab. Infrastruktur untuk menganalisis fintech ilegal juga
belum memadai karena keterbatasan dari tugas satuan tugas waspada
investasi yang belum optimal.
2. Isu lainnya adalah suku bunga yang tinggi sebagai dampak dari fintech
ilegal. Secara substansi, suku bunga tinggi ini tidak diatur dalam peraturan
OJK, hanya ada dalam peraturan asosiasi fintech (AFPI). Namun,
peraturan asosiasi tersebut hanya berlaku bagi anggotanya saja, sehingga
fintech ilegal masih memiliki celah untuk menentukan suku bunga yang
mereka inginkan. Hal ini menyebabkan rentannya masyarakat yang
kesulitan membayar kredit. OJK juga tidak memiliki kedudukan hukum
yang kuat dalam menegakkan aturan terkait hal ini.
3. Isu terakhir adalah praktik penagihan yang intimidatif yang dilakukan oleh
penyelenggara fintech ilegal, meliputi ancaman verbal, teror, dan tindakan
lainnya. Hal ini terjadi karena banyaknya konsumen yang tidak dapat
memenuhi kewajiban pembayaran. Namun, belum ada regulasi yang
sistematis untuk menyelesaikan sengketa dalam fintech ilegal.
Penyelesaian sengketa hanya diatur oleh fintech yang berizin, sementara
otoritas jasa keuangan menyerahkan penyelesaian sengketa kepada POLRI
dan Bareskrim, yang pada akhirnya saling lempar tanggung jawab.
Solusi Problematika Fintech di Indonesia
Beberapa solusi yang bisa dipertimbangkan untuk mengatasi masalah terkait
fintech ilegal di Indonesia antara lain:
1. Penguatan Regulasi dan Pengawasan: Perlu adanya peninjauan ulang
terhadap regulasi yang ada untuk memastikan bahwa aturan terkait fintech
lebih tegas dan menyeluruh. OJK dan lembaga terkait perlu meningkatkan
pengawasan serta memberikan sanksi yang lebih tegas terhadap pelaku
fintech ilegal, termasuk sanksi pidana yang memberatkan.
2. Edukasi dan Kesadaran Masyarakat: Penting untuk meningkatkan
pemahaman masyarakat tentang fintech agar mereka dapat membedakan
antara platform yang berizin dan ilegal. Kampanye edukasi tentang risiko
menggunakan fintech ilegal serta keuntungan dari menggunakan layanan
keuangan yang terdaftar perlu diperkuat.
3. Kolaborasi antara Institusi Terkait: OJK, Kementerian Komunikasi dan
Informatika (Kominfo), POLRI, dan Bareskrim perlu melakukan
kerjasama yang lebih erat dalam menangani kasus-kasus fintech ilegal.
Kolaborasi ini bisa meliputi pertukaran informasi, koordinasi penegakan
hukum, dan penciptaan infrastruktur untuk analisis fintech ilegal.
4. Peningkatan Infrastruktur Teknologi: Satuan tugas waspada investasi
perlu diberikan sumber daya yang memadai, baik dari segi teknologi
maupun personel, untuk melakukan analisis yang lebih mendalam terkait
fintech ilegal. Infrastruktur teknologi yang memadai akan membantu
dalam mengidentifikasi, memantau, dan menindaklanjuti kasus-kasus
fintech ilegal.
5. Perlindungan Konsumen: Diperlukan langkah-langkah untuk melindungi
konsumen dari praktik ilegal dan tidak etis yang dilakukan oleh
penyelenggara fintech ilegal, termasuk pembentukan mekanisme
penyelesaian sengketa yang adil dan efektif untuk konsumen yang
terdampak.
6. Keterlibatan Asosiasi Fintech: Asosiasi fintech perlu lebih aktif dalam
mengedukasi anggotanya tentang kewajiban, standar, dan praktik yang
etis. Mereka dapat berperan dalam mengawasi anggotanya untuk
memastikan bahwa praktik bisnis yang dilakukan sesuai dengan peraturan
yang berlaku.
Referensi

APRILIA, S. PERMASALAHAN FINANCIAL TECHNOLOGY ILEGAL DI


INDONESIA (Bachelor's thesis, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta).
Disemadi, H. S. (2022). Titik Lemah Industri Keuangan Fintech di Indonesia:
Kajian Perbandingan Hukum. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, 4(3), 471-
493.
Habibunnajar, R., & Rahmatullah, I. (2020). Problematika regulasi pinjam
meminjam secara online berbasis syariah di Indonesia. Jurnal Legal
Reasoning, 2(2), 120-134.
Habibunnajar, R. (2020). Problematika Regulasi Pinjam Meminjam Secara Online
Berbasis Syariah Di Indonesia (Fintech P2P Lending Syariah) (Bachelor's thesis,
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta).
Suryono, R. R., Purwandari, B., & Budi, I. (2019). Peer to peer (P2P) lending
problems and potential solutions: A systematic literature review. Procedia
Computer Science, 161, 204-214.
Zhao, H., Ge, Y., Liu, Q., Wang, G., Chen, E., & Zhang, H. (2017). P2P lending
survey: Platforms, recent advances and prospects. ACM Transactions on
Intelligent Systems and Technology (TIST), 8(6), 1-28.
https://sikapiuangmu.ojk.go.id/FrontEnd/CMS/Article/20566
https://koran.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/484994/mengenal-fintech-
pengertian-jenis-manfaat-dan-aturan-terbarunya
https://finansial.bisnis.com/read/20211015/563/1454784/aduan-pinjol-capai-
19711-kasus-hampir-separuhnya-pelanggaran-berat
https://amartha.com/blog/pendana/money-plus/ketahui-apa-itu-p2p-lending-
manfaat-dan-cara-kerja/

Anda mungkin juga menyukai