e-mail: otnielyk018@gmail.com
Abstrak
Di dalam penulisan hukum ini akan dijelaskan mengenai perlindungan hukum terhadap pengguna layanan
Fintech P2P Lending dari tindak pidana ekonomi serta terhadap penyedia layanan Fintech P2P Lending Ilegal.
Penelitian hukum ini bersifat normatif dengan pendekatan undang-undang serta konseptual. Berdasarkan
penelitian ini dapat diketahui bahwa terdapat adanya potensi penyalahgunaan layanan Fintech P2P Lending
sebagai sarana tindak pidana ekonomi. Beberapa hal yang menjadikan layanan P2P Lending rentan untuk
disalahgunakan sebagai sarana tindak pidana ekonomi adalah dikarenakan masih terdapatnya layanan
Fintech P2P Lending yang bersifat ilegal yang tidak mengajukan pendaftaran serta perizinan kepada OJK,
terdapatnya prosedur dan verifikasi secara elektronik bagi Pengguna, serta adanya akses penyedia layanan
Fintech P2P Lending terhadap data pribadi sehingga dapat dimungkinkan adanya penyalahgunaan data
pribadi untuk tujuan ekonomi. Terdapat adanya Perlindungan Hukum bagi Pengguna Layanan Fintech
P2P Lending dari tindak pidana ekonomi. Perlindungan tersebut terdiri atas perlindungan hukum pidana,
perlindungan hukum perdata, serta perlindungan hukum preventif dengan pembentukan peraturan atau
regulasi yang mencegah digunakannya layanan Fintech P2P Lending sebagai sarana tindak pidana ekonomi.
Kata kunci: perlindungan hukum, fintech P2P lending, tindak pidana ekonomi, penyedia layanan fintech
P2P lending ilegal.
Abstract
In this paper, it will be explained about the legal protection for consumers of Fintech P2P Lending services.
This legal research is a normative or doctrinal study with a statute approach and conceptual approach.
Based on this research, it can be seen that there is a potential abuse of Fintech P2P Lending service to be
committed for economic crimes. The thing that makes fintech peer to peer lending service vulnerable to
being misused for economic crimes because there are still illegal Fintech that do not apply registration and
licensing to Financial Services Authority (OJK), there are electronic procedures and verification for users, and
Fintech can access personal data so that it is possible to misuse personal data for economic purpose. There is
legal protection for users of fintech peer to peer lending services from economic crimes. The legal protection
consists of criminal law protection, civil law protection, and preventive legal protection by establishing
regulations that prevent the users of fintech peer to peer lending services from economic crimes.
Keywords: legal protection, fintech P2P lending, economic crimes, illegal fintech P2P lending service
provider.
PERLINDUNGAN HUKUM PENGGUNA LAYANAN FINTECH P2P LENDING DARI TINDAK PIDANA EKONOMI
DAN TERHADAP PENYEDIA LAYANAN FINTECH P2P LENDING ILEGAL
1 Pasal 1 angka 1 Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial.
2 Pasal 1 angka 3 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam
Uang Berbasis Teknologi Informasi.
3 Serlika Aprita, “Peranan Peer to Peer Lending dalam Menyalurkan Pendanaan pada Usaha Kecil dan Menengah,”
Jurnal Hukum Samudera Keadilan, Volume 16 Nomor 1, Januari – Juni 2021, hlm. 39.
baik untuk UMKM maupun individu, serta Undang-Undang yang mengatur mengenai
mengundang lebih banyak investor.4 Dengan Korupsi, Persaingan Usaha, Perbankan serta
adanya model bisnis yang inovatif dan peraturan lainnya6. Mengingat perkembangan
kemudahan akses bagi masyarakat tersebut Fintech P2P Lending yang meningkat cukup
tentunya akan memperluas jangkauan pesat serta regulasi yang masih baru
target pasar 5
sehingga akan mendorong mengatur Fintech tersebut, maka potensi
meningkatnya inklusi keuangan. untuk dimanfaatkannya Fintech P2P Lending
Walaupun terdapat berbagai oleh Pelaku Kejahatan untuk memperoleh
kemudahan yang diperoleh masyarakat keuntungan atau manfaat atas hasil
dengan adanya layanan peminjaman uang kejahatannya adalah cukup besar. Fintech
berbasis teknologi informasi (fintech peer to P2P Lending sendiri dapat dimanfaatkan
peer lending), akan tetapi perlu diantisipasi pelaku kejahatan sebagai sarana untuk
potensi untuk digunakannya fintech peer to melakukan berbagai kejahatan ekonomi
peer lending tersebut sebagai sarana tindak seperti kejahatan penipuan, penggelapan,
pidana ekonomi. Mengenai tindak pidana tindak pidana pencucian uang, tindak pidana
ekonomi sendiri merupakan tindak pidana ITE, serta tindak pidana lain yang bercorak
yang memiliki motif ekonomi atau mencari atau memiliki motif/tujuan ekonomi.
keuntungan. Terkait dengan tindak pidana Adanya kerentanan Fintech P2P Lending
ekonomi pada dasarnya dapat diartikan dalam untuk disalahgunakan sebagai sarana tindak
pengertian sempit dan luas. Tindak pidana pidana ekonomi sendiri didukung dengan
ekonomi dalam pengertian sempit dapat adanya keadaan yang terjadi saat ini dimana
diartikan sebagai seluruh delik yang diatur masih maraknya Fintech P2P Lending yang
atau tercantum dalam ketentuan UU Darurat beroperasi secara ilegal. Berdasarkan data
No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Satgas Waspada Investasi (SWI) bahwa sampai
Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana dengan bulan September 2022 telah tercatat
Ekonomi (lebih lanjut disebut dengan ‘UU 4.160 Fintech P2P Lending ilegal yang telah
TPE’). Sedangkan tindak pidana ekonomi diblokir oleh SWI. Adapun rata-rata kerugian
dalam pengertian luas dapat diartikan materi dari para korbannya dapat mencapai
tindak pidana yang memiliki corak atau nilai Rp. 20 juta sampai dengan 50 juta. 7Hal
tujuan ekonomi yang diatur dalam berbagai tersebut sangat meresahkan masyarakat
Peraturan Perundang-undangan seperti sehingga diperlukan adanya suatu kebijakan
4 R. Njatrijani, “Perkembangan Regulasi dan Pengawasan Financial Technology di Indonesia,” Jurnal Diponegoro
Private Law Review, Volume 4 Nomor 1, Juni 2019, hlm. 466.
5 Indah Kusuma Wardhani, “Perlindungan Hukum bagi Pemberi Pinjaman atas Risiko Kredit dalam Pelaksanaan
Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi,” Jurnal Hukum Mimbar Justitia, Volume 6 Nomor 2,
Desember 2020, hlm. 135.
6 Patricia Rinwigati, Parliamentary Brief : Series #6, Tindak Pidana Ekonomi dalam RKUHP: Quo Vadis? (Jakarta:
Aliansi Nasional Reformasi KUHP, 2016), hlm. 3-4.
7 Novita Intan, “SWI Blokir 4.160 Pinjaman Online Illegal per September 2022”, https://www.republika.co.id/,
diakses 25 Mei 2022.
hukum dalam mengatasi maraknya Fintech dalam penelitian ini adalah pendekatan
P2P Lending yang ilegal tersebut. undang-undang (statue approach) dan
Berdasarkan hal-hal yang telah pendekatan konseptual (conceptual
diuraikan diatas maka Penulis tertarik untuk approach).9 Bahwa penelitian ini mengacu
mengangkat sebuah judul dalam tulisan pada telaahan Peraturan Perundang-
yaitu, “PERLINDUNGAN HUKUM PENGGUNA undangan serta telaahan konseptual
LAYANAN Fintech P2P LENDING DARI TINDAK terhadap isu yang dibahas. Hal tersebut
PIDANA EKONOMI DAN TERHADAP PENYEDIA digambarkan dengan adanya pengujian
LAYANAN Fintech P2P LENDING ILEGAL”. terhadap teori-teori yang memproyeksikan
Bahwa berdasarkan hal-hal yang Penulis kerentanan layanan Fintech P2P Lending
telah diuraikan di dalam latar belakang, maka untuk disalahgunakan sebagai sarana Tindak
penulis mengidentifikasi masalah-masalah Pidana Ekonomi, kemudian diuji berdasarkan
yang perlu untuk diuraikan melalui tulisan Peraturan Perundang-undangan yang ada
ini yaitu bagaimana potensi penyalahgunaan di Indonesia saat ini terkait dengan apakah
layanan Fintech P2P Lending sebagai telah ada perlindungan hukum bagi pengguna
sarana tindak pidana ekonomi, bagaimana layanan Fintech P2P Lending atas terjadinya
perlindungan hukum bagi Pengguna Fintech suatu tindak pidana ekonomi dan terhadap
P2P Lending atas terjadinya suatu tindak penyedia layanan Fintech P2P Lending ilegal.
pidana ekonomi, serta arah kebijakan hukum Penelitian ini bersifat preskriptif10, yaitu
yang diperlukan dalam menindak Fintech P2P terlebih dahulu mengidentifikasi potensi
Lending ilegal. Fintech P2P Lending untuk digunakan sebagai
sarana tindak pidana ekonomi seperti tindak
B. Metode Penelitian
pidana penipuan, penggelapan, pencucian
Adapun jenis dari penelitian hukum
uang serta tindak pidana di bidang ITE, untuk
ini adalah penelitian hukum yang bersifat
selanjutnya dilakukan analisis terhadap
normatif. Tujuan dari penelitian normatif
bagaimana perlindungan hukum terhadap
tersebut adalah untuk menemukan kebenaran
Pengguna (Lender and Borrower) layanan
koherensi, yaitu adakah aturan hukum sesuai
Fintech P2P Lending dari tindak pidana
dengan norma hukum dan adakah norma
ekonomi dan terhadap penyedia layanan
yang berupa perintah atau larangan itu sesuai
Fintech P2P Lending Ilegal. Adapun cara
dengan prinsip hukum, serta apakah tindakan
analisis data yang penulis gunakan adalah
seseorang telah sesuai dengan norma hukum
analisis data dengan pendekatan kualitatif
atau prinsip hukum yang ada.8
deskriptif yaitu pada dasarnya berusaha
Untuk pendekatan yang penulis gunakan
untuk melakukan penyorotan terhadap
8 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Prenada Media Group, 2014), hlm. 47.
9 Ibid., hlm. 93.
10 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tujuan Singkat (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2001), hlm. 5-6.
Fintech P2P Lending untuk digunakan pengawasan sektor jasa keuangan menurut
sebagai sarana tindak pidana ekonomi, Group Thirty yang meliputi 4 (empat) aspek
adanya layanan Fintech P2P Lending sendiri yaitu: keamanan dan ketahanan (safety and
pada dasarnya memiliki tujuan untuk soundness) lembaga keuangan; pencegahan
mengembangkan industri keuangan yang risiko sistemik; keadilan dan efisiensi pasar
dapat mendorong tumbuhnya alternatif yang ditunjukkan oleh transparansi; serta
pembiayaan bagi masyarakat.18 Dalam perlindungan terhadap konsumen dan
rangka mendukung pertumbuhan lembaga investor. 21
18 Jadzil Baihaqi, “Financial Technology Peer to Peer Lending Berbasis Syariah di Indonesia,” Tawazun: Journal of
Sharia Economic Law, Volume 1 Nomor 2, September 2018, hlm. 120.
19 Menimbang huruf b Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
20 Pasal 7 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi.
21 Adler Haymans Manurung, Otoritas Jasa Keuangan: Perlindungan Investor (Jakarta: Adler Manurung Pers, 2013),
hlm. 14.
22 Lampiran Siaran Pers Satgas Waspada Investasi Nomor SP 04/SWI/IV/2021.
P2P Lending yang telah ditutup sebanyak terdapat adanya pengawasan dari OJK selaku
3.989 Perusahaan.23 Adanya penutupan lembaga pengawas dan pengatur Fintech,
Fintech P2P Lending ilegal tersebut yang dapat memitigasi kemungkinan untuk
mengindikasikan bahwa Fintech P2P Lending Fintech tersebut disalahgunakan sebagai
ilegal merupakan ancaman dalam industri sarana untuk melakukan tindak pidana.
layanan jasa keuangan berbasis teknologi Dalam hal penyedia layanan Fintech
informasi yang harus untuk segera dilakukan P2P Lending tersebut tidak terdaftar/berizin
penindakan. OJK maka Fintech tersebut juga otomatis
Fintech P2P Lending Ilegal sendiri tidak tunduk pada rezim anti pencucian uang.
merupakan Fintech P2P Lending yang tidak Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) huruf e Peraturan
terdaftar atau berizin di OJK sehingga tidak
24
Pemerintah Nomor 61 Tahun 2021 tentang
ada regulator khusus yang bertugas mengawasi Perubahan atas Peraturan Pemerintah
kegiatan Penyedia atau Penyelenggara Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor
Fintech tersebut. Hal tersebut berbeda dalam Pencegahan dan Pemberantasan
dengan Fintech P2P Lending yang telah Tindak Pidana Pencucian Uang (lebih lanjut
terdaftar/berizin di OJK, yang berada dalam disebut dengan ‘PP Pihak Pelapor’) bahwa
pengawasan OJK sehingga memperhatikan penyedia atau penyelenggara layanan
aspek perlindungan konsumen. Bahwa sesuai pinjam meminjam uang berbasis teknologi
ketentuan Pasal 9 ayat (1) POJK Fintech P2P informasi (Fintech P2P Lending) merupakan
Lending, terdapat adanya kewajiban bagi bagian dari pihak pelapor dalam rezim anti
Penyedia layanan Fintech P2P Lending yang pencucian uang)26 yang dapat dikategorikan
telah terdaftar untuk wajib menyampaikan sebagai pihak penyedia jasa keuangan dalam
laporan secara berkala setiap 3 (tiga) bulan rezim anti pencucian uang. Dalam ketentuan
kepada OJK dengan informasi yang paling Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor
sedikit memuat:25Jumlah Pemberi Pinjaman 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
dan Penerima Pinjaman; Kualitas Pinjaman Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
yang diterima oleh Penerima Pinjaman Uang (lebih lanjut disebut sebagai ‘UU
berikut dasar penilaian kualitas pinjaman; dan TPPU’), dinyatakan bahwa terdapat adanya
kegiatan yang telah dilakukan setelah terdaftar kewajiban dari Penyedia Jasa Keuangan
di OJK. Bahwa dengan adanya penyampaian untuk menyampaikan Laporan kepada PPATK
laporan secara berkelanjutan tersebut maka yang meliputi Laporan Transaksi Keuangan
23 Otoritas Jasa Keuangan, “ Siaran Pers SWI: Satgas Waspada Investasi Kembali Temukan 7 Entitas Tanpa Izin dan
100 Pinjaman Online Ilegal”, https://www.ojk.go.id/, diakses 21 Mei 2022.
24 Rayyan Sugangga dan Erwin Hari Sentoso, “Perlindungan Hukum terhadap Pengguna Pinjaman Online,” Pakuan
Justice Journal of Law, Volume 1 No. 1, 2020, hlm. 47.
25 Pasal 9 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam
Uang Berbasis Teknologi Informasi.
26 Pasal 2 ayat (2) huruf e Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang.
27 Ahmad Ghozi, “The Urgency of Electronic Know Your Customer (E-KYC): How Electronic Customer Identification
Works to Prevent Money Laundering in The Fintech Industry,” Jurnal Diponegoro Law Review, Volume 7 No. 1,
2022, hlm. 34.
28 Ahmadi Candra dan Dadang Hermawan, E-Business dan E-Commerce (Yogyakarta: Andi, 2013).
29 Pasal 17 ayat (3) Peraturan OJK Nomor 12 Tahun 2017 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan
Pencegahan Pendanaan Terorisme di Sektor Jasa Keuangan.
30 Pasal 1 angka 11 POJK Fintech P2P Lending.
Lanjut adalah tindakan CDD lebih mendalam mewujudkan kemanfaatan dan kebahagiaan
yang dilakukan PJK terhadap Calon Nasabah, tersebut. Dikarenakan tujuan dari hukum
WIC, atau Nasabah yang berisiko tinggi menurut Jeremy Bentham adalah demi
termasuk PEP dan/atau dalam area beresiko tercapainya kebahagian serta kemanfaatan32
tinggi.31 maka seyogyanya regulasi hukum yang
Dengan adanya kewajiban dari Fintech disusun pun harus dapat memberikan
P2P Lending untuk menerapkan program perlindungan hukum serta melindungi hak-
KYC, CDD, dan EDD maka terdapat adanya hak yang dimiliki oleh warga negara.
penyampaian data pribadi oleh Pengguna Sedangkan apabila merujuk pada
Fintech terhadap Penyelenggara Fintech pendapat Philipus M. Hadjon33 dan Satjipto
tersebut. Oleh karena itu, diperlukan adanya Rahardjo34, menyatakan bahwa perlindungan
perlindungan data pribadi terhadap Pengguna hukum adalah perlindungan terhadap harkat
Fintech P2P Lending. Bahwa dikarenakan dan martabat manusia, yang ditujukan dalam
terdapat adanya penyampaian data pribadi rangka memberikan pengayoman bagi hak
Pengguna Fintech kepada Penyelenggara asasi manusia. Dari pendapat ahli di atas
Fintech maka perlu untuk diwaspadai adanya dapat diketahui bahwa untuk terciptanya
potensi penyalahgunaan data pribadi oleh perlindungan hukum bagi pengguna/
Penyelenggara Fintech untuk motif atau customer layanan Fintech P2P Lending
tujuan ekonomi. diperlukan adanya peranan dari aparat
2. Perlindungan Hukum Bagi Pengguna penegak hukum serta lembaga pengawas
Layanan Fintech P2P Lending atas dan pengatur untuk memberikan rasa aman
Terjadinya Suatu Tindak Pidana bagi masyarakat selain itu diperlukan adanya
Ekonomi regulasi hukum yang dapat menjamin
Mengenai perlindungan hukum, bahwa perlindungan masyarakat.
berdasarkan teori The Principle of Utility yang Mengenai perlindungan hukum, bahwa
disampaikan Jeremy Bentham, dinyatakan terdapat 2 (dua) jenis perlindungan hukum
bahwa yang menjadi hakikat dibentuknya yang diperlukan untuk melindungi pengguna
hukum adalah untuk memberi kemanfaatan layanan Fintech P2P Lending. Perlindungan
serta kebahagiaan bagi warga negara, hal hukum tersebut terdiri atas perlindungan
tersebut adalah atas dasar falsafah sosial hukum yang bersifat preventif dan represif.
yang menyatakan bahwa setiap warga negara Perlindungan hukum preventif sendiri bersifat
Indonesia dan hukum adalah alat dalam untuk mencegah terjadinya kejahatan atau
35 Muchsin. Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia (Universitas Sebelas Maret, Surakarta,
2003). hlm. 20
36 Ibid., hlm. 20
37 Andi Hamzah, op.cit, hlm. 23.
38 Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
39 R. Soenarto Soerodibroto, KUHP & KUHAP (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), hlm. 241.
Pasal 3 dan Pasal 4 UU TPPU, dan tindak digunakan sebagai media pencucian
pidana pencucian uang (TPPU) pasif uang.
sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU Di dalam TPPU sendiri terdapat adanya
TPPU. Dikatakan TPPU aktif apabila pelaku modus atau tipologi yang dapat digunakan
bersikap aktif dalam menyembunyikan pelaku untuk menyembunyikan atau
atau menyamarkan harta kekayaan hasil menyamarkan asal usul harta hasil
tindak pidana, sedangkan termasuk jenis kejahatan. Salah satu tipologi dalam
TPPU pasif apabila pelaku bersikap pasif/ tindak pidana pencucian menurut APG
tidak aktif dalam menyembunyikan atau adalah new payment technologies,
menyamarkan harta kekayaan hasil yaitu tipologi atau modus pencucian
tindak pidana. 42
uang dengan cara memanfaatkan
Dalam kaitannya dengan perlindungan berbagai kecanggihan teknologi
hukum pidana bagi Pengguna Fintech yang telah ada. Seperti pembayaran
P2P Lending dari TPPU, dengan masih dengan menggunakan telepon seluler
terdapatnya Fintech P2P Lending yang atau dengan pemanfaatan Financial
bersifat ilegal maka masih terdapat Technology.44 Dapat dimungkinkan
adanya potensi atau kerentanan untuk pelaku kejahatan memanfaatkan Fintech
digunakannya Fintech P2P Lending yang ilegal untuk menempatkan harta
sebagai media tindak pidana pencucian hasil kejahatan dengan tujuan untuk
uang. Dengan adanya Fintech P2P menghindari pelaporan kepada PPATK
Lending yang beroperasi secara ilegal dikarenakan terhadap Fintech yang
tersebut maka tidak terdapat adanya bersifat ilegal tidak menyampaikan
pengawasan dari OJK terhadap Fintech laporan transaksi kepada PPATK.
tersebut. Selain itu dalam hal Fintech Pelaku dapat bertindak sebagai Lender
tersebut ilegal, maka Fintech tersebut yang memberikan pinjaman dengan
tidak tunduk pada rezim anti pencucian tujuan untuk menempatkan harta hasil
uang sebagaimana diatur dalam POJK kejahatan tersebut ke dalam sistem
APU PPT. Dikarenakan tidak patuh pada Fintech P2P Lending ilegal. Ketika Pelaku
rezim anti pencucian uang maka Fintech memperoleh pelunasan atas piutangnya
tersebut tidak tunduk pada kewajiban maka pelaku akan memperoleh harta
untuk menyampaikan Laporan Transaksi yang seolah-olah berasal dari hasil
kepada PPATK , sehingga rentan untuk
43
yang legal yaitu harta dari perjanjian
42 R. Wiyono, Pembahasan Undang-undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Jakarta:
Sinar Grafika, 2014), hlm. 71.
43 Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang TPPU.
44 Asian/Pacific Group on Money Laundering, Methods and Trends of Money Laundering and Terrorism Financing
(Sydney: APG Secretariat, 2010) hlm.86.
45 Bank Indonesia, Kajian Tipologi Tindak Pidana Pencucian Uang, Tindak Pidana Pendanaan Terorisme dan
Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Masal (Jakarta: Bank Indonesia, 2021) hlm.39.
46 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar (Yogyakarta: Liberty, 1986) hlm. 108., dalam F.X.
Suhardana, Hukum Perdata I: Buku Panduan Mahasiswa (Jakarta: Prenhallindo, 1992) hlm. 7
47 R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga (Bandung: Alumni, 1986) hlm. 96,
dalam F.X. Suhardana, Hukum Perdata I: Buku Panduan Mahasiswa (Jakarta: Prenhallindo, 1992) hlm. 7
48 Titik Triwulan dan Shinta Febrian, Perlindungan Hukum Bagi Pasien (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2010), hlm. 48.
49 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014), hlm. 90-91.
50 Komariah, Edisi Revisi Hukum Perdata (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2001), hlm. 12
51 Pasal 37 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi.
penyelenggara yang menyebabkan Pengguna ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata yang pada
mengalami kerugian termasuk terjadi karena intinya menyatakan bahwa dalam hal terjadi
tindak pidana ekonomi baik itu yang dilakukan perbuatan yang melanggar atau melawan
pengguna lainnya (lender atau borrower) hukum yang berdampak terhadap adanya
atau penyelenggara maka penyelenggara kerugian maka pihak yang menimbulkan
wajib untuk bertanggung jawab atas kerugian kerugian tersebut memiliki kewajiban untuk
yang dialami oleh konsumen atau pengguna mengganti kerugian tersebut52. Bahwa
layanan fintech peer to peer lending tersebut. berdasarkan ketentuan tersebut dalam
Bahwa dengan adanya regulasi yang hal terdapat kelalaian dan kesalahan dari
memberikan pertanggungjawaban perdata Penyedia Layanan Fintech P2P Lending yang
bagi Penyelenggara dalam hal terjadi kerugian menyebabkan Pengguna rugi maka dapat
yang dialami Pengguna karena kesalahan untuk dimintai pertanggungjawaban kepada
atau kelalaian Penyelenggara maka dapat Penyelenggara berdasarkan ketentuan Pasal
menjamin rasa aman bagi Pengguna dalam 1365 KUHPerdata tersebut.
menggunakan layanan Fintech P2P Lending. Selain Penyedia/Penyelenggara dapat
Kemudian yang menjadi pertanyaannya dikenai pertanggungjawaban perdata ber
adalah bagaimana apabila Fintech P2P dasarkan Pasal 37 POJK Fintech P2P dan Pasal
Lending tersebut Ilegal apakah diwajibkan 1365 KUHPerdata, penyelenggara juga dapat
untuk memberikan pertanggungjawaban dikenakan pertanggungjawaban perdata
perdata sesuai ketentuan Pasal 37 POJK berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (1) dan
Fintech P2P Lending. Apabila mengacu pada (2) UU ITE dalam hal terjadi penyalahgunaan
ketentuan Pasal 1 angka 6 POJK Fintech P2P data pribadi pengguna oleh penyelenggara.
maka selama Perusahaan tersebut berbadan Berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (1) dan
hukum dan menjalankan, menyediakan (2) UU ITE maka dalam hal terjadi kesalahan
ataupun mengelola layanan terkait dengan atau kelalaian penyedia/penyelenggara yang
kegiatan Peminjaman Uang Berbasis mengakibatkan dapat diaksesnya data pribadi
Teknologi Informasi, maka termasuk dalam pengguna oleh pihak lain yang tidak berhak
definisi Penyelenggara Fintech P2P Lending maka pengguna layanan Fintech P2P Lending
sesuai ketentuan Pasal 1 angka 6 POJK Fintech dapat untuk mengajukan gugatan perdata.
P2P Lending sehingga dapat dikenakan Sehingga dapat disimpulkan bahwa
pertanggungjawaban perdata dalam hal dalam rangka perlindungan hukum bagi
konsumen atau penggunanya dirugikan atas pengguna layanan Fintech P2P Lending,
kelalaian atau kesalahan penyelenggara regulasi hukum yang ada saat ini telah
tersebut. Akan tetapi apabila Penyedia Layanan memberikan hak bagi Pengguna yang
Fintech P2P Lending tersebut Ilegal dan tidak dirugikan apabila terjadi tindak pidana
berbadan hukum maka dalam hal ini berlaku ekonomi untuk dapat mengajukan gugatan
dapat diketahui bahwa Penyedia Layanan/ dalam hal terdapat pihak yang menjalankan
Penyelenggara diwajibkan untuk mengajukan bisnis peminjaman kredit tanpa izin maka
pendaftaran dan perizinan kepada OJK. terhadapnya dapat dikenakan Pidana Penjara
Adapun untuk pelanggaran terhadap selama dua hingga sepuluh tahun dan pidana
ketentuan mengenai kewajiban tersebut denda dua ratus ribu baht hingga satu juta
maka Penyedia Layanan dapat dikenakan baht.56 Sedangkan di Jepang, berdasarkan
sanksi administratif sesuai ketentuan Pasal 47 ketentuan dalam Article 47 Money Lending
ayat (1) POJK Fintech P2P Lending yaitu berupa Act Japan, dinyatakan bahwa seseorang
peringatan tertulis, denda, pembatasan yang menjalankan bisnis peminjaman
kegiatan usaha, serta pencabutan izin.55 akan tetapi dengan cara pendaftaran yang
Walaupun begitu ketentuan tersebut masih salah maka terhadapnya dapat dijatuhkan
belum efektif apabila dikenakan terhadap hukuman pidana berupa hukuman penjara
Fintech P2P Lending yang beroperasi secara dengan pekerjaan maksimal 10 tahun dan/
ilegal. Dimana sanksi seperti pencabutan atau denda maksimal 30 juta yen.57 Dengan
izin hanya dapat memberikan efek jera bagi adanya penerapan sanksi pidana bagi
Fintech P2P Lending yang sudah terdaftar Penyedia Layanan Peminjaman Uang ilegal
dan berizin di OJK, dan kurang tepat apabila termasuk layanan peminjaman uang berbasis
dikenakan terhadap Fintech P2P Lending teknologi informasi (Fintech P2P Lending)
ilegal. seperti di Negara Thailand dan Jepang
Oleh karena itu maka diperlukan adanya tersebut diharapkan dapat menjadi solusi
sanksi yang dapat memberikan perlindungan dari maraknya Fintech P2P Lending yang
bagi pengguna Layanan Fintech P2P Lending beroperasi secara ilegal.
serta mencegah penyelenggaraan layanan Mengenai penerapan sanksi pidana,
Fintech P2P Lending secara ilegal. Sebagai bahwa berdasarkan teori relatif atau
solusi maka dapat dijatuhkannya sanksi teori tujuan (utilitarian theory), tujuan
pidana bagi Penyedia Layanan Fintech P2P sanksi pidana bukan sebagai alat untuk
Lending yang beroperasi secara ilegal baik itu melaksanakan pembalasan kepada pelaku
dalam bentuk sanksi pidana penjara maupun kejahatan akan tetapi ditujukan untuk
sanksi pidana denda. tujuan yang bermanfaat. Berdasarkan teori
Penerapan sanksi pidana bagi penyedia relatif/tujuan dinyatakan bahwa tujuan
layanan peminjaman uang yang beroperasi penjatuhan pidana adalah untuk memberikan
secara ilegal sendiri telah diterapkan di ketentraman bagi masyarakat serta untuk
beberapa negara seperti di Thailand dan mencegah terjadinya suatu kejahatan. Dalam
Jepang. Di Thailand, berdasarkan The Financial mencapai tujuan pemidanaan tersebut dapat
Institution Business Act B.E. 2551 (2008), dilakukan dengan beberapa cara seperti
55 Pasal 47 ayat (1) POJK Fintech P2P Lending.
56 The Financial Institution Business Act B.E. 2551, Year 2008, section 121.
57 Japan Money Lending Business Act, Article 47.
dengan membuat ketentuan mengenai sanksi Pidana Ekonomi. Terdapat beberapa hal yang
yang memuat ancaman pidana yang cukup menjadikan layanan Fintech P2P Lending
berat yang memiliki tujuan untuk menakut- rentan disalahgunakan sebagai sarana tindak
nakuti orang agar tidak melakukan tindak ekonomi yaitu dikarenakan maraknya Fintech
pidana/kejahatan.58 P2P Lending yang bersifat ilegal yang tidak
Oleh karena itu sebagai solusi untuk berada di bawah pengawasan OJK, mekanisme
mengatasi maraknya Fintech P2P Lending pendaftaran dan verifikasi pengguna
Ilegal, diperlukan adanya penyusunan Fintech P2P Lending secara elektronik, serta
Peraturan Perundang-undangan yang terdapatnya akses Penyelenggara Fintech P2P
mengatur mengenai aktivitas peminjaman Lending terhadap data pribadi.
uang termasuk aktivitas peminjaman uang Walaupun peraturan yang ada sendiri
berbasis teknologi informasi (Fintech P2P telah mengatur mengenai perlindungan
Lending) yang dijalankan oleh Lembaga hukum yang dapat diberikan bagi Pengguna
Keuangan non bank yang di dalamnya Fintech P2P Lending dalam hal terjadi tindak
mengatur sanksi pidana. Adapun pengaturan pidana ekonomi, baik itu perlindungan hukum
sanksi pidana tersebut adalah terhadap yang bersifat represif maupun preventif, akan
penyedia layanan peminjaman uang tetapi masih maraknya Fintech P2P Lending
(termasuk Fintech P2P Lending) yang yang bersifat ilegal tersebut masih menjadi
beroperasi secara ilegal. Adapun bentuk hal yang meresahkan masyarakat sehingga
sanksi pidana yang dapat diterapkan dapat diperlukan arah kebijakan untuk mengatasi
berupa sanksi pidana penjara maupun denda. hal tersebut.
Pengaturan sanksi pidana bagi Penyedia
D. Penutup
atau Penyelenggara Layanan Fintech P2P
Layanan Fintech P2P Lending merupakan
Lending ilegal sendiri dapat menjadi solusi
penyelenggaraan layanan jasa keuangan
untuk mengatasi permasalahan terkait masih
dalam rangka mempertemukan Lender dan
menjamurnya Fintech P2P yang bersifat ilegal.
Borrower untuk melakukan perjanjian pinjam
Sejauh ini sanksi bagi Penyedia/Penyelenggara
meminjam uang dengan menggunakan sistem
Layanan Fintech P2P Ilegal masih terbatas
elektronik. Walaupun dengan adanya layanan
pada sanksi administratif berdasarkan POJK
Fintech P2P Lending telah memberikan
Fintech P2P Lending, yang kurang efektif
manfaat positif untuk menggerakan roda
apabila diterapkan bagi Fintech P2P Lending
perekonomian dengan mengundang lebih
yang beroperasi secara ilegal. Sanksi pidana
banyak investor serta memberikan alternatif
dapat menjadi solusi efektif, utamanya untuk
kredit dan kemudahan akses bagi masyarakat
memaksa Penyedia Layanan Fintech P2P
akan tetapi terdapat adanya kerentanan
Lending untuk mendaftarkan dirinya ke OJK
untuk disalahgunakan sebagai sarana Tindak
58 Sofjan Sastrawidjaja, Hukum Pidana I (Bandung: Armico, 1995), hlm. 27., dalam Bilher Hutahaean, “Penerapan
Sanksi Bagi Pelaku Tindak Pidana Anak,” Jurnal Komisi Yudisial, Volume 6 No. 1, April 2013, hlm. 69.
sehingga dapat terpantau segala macam informasi yang diselenggarakan oleh Penyedia
aktivitas peminjaman uang berbasis teknologi Layanan Fintech P2P Lending.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Amrullah, Arief. Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering), Malang: Bayumedia
Publishing, 2004.
Asian/Pacific Group on Money Laundering. Methods and Trends of Money Laundering and
Terrorism Financing, Sydney: APG Secretariat, 2010.
Bank Indonesia, Kajian Tipologi Tindak Pidana Pencucian Uang, Tindak Pidana Pendanaan
Terorisme dan Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Masal, Jakarta: Bank Indonesia,
2021.
Candra, Ahmadi dan Dadang Hermawan. E-Business dan E-Commerce, Yogyakarta: Andi, 2013.
Friedman, Lawrence M. Hukum Amerika: Sebuah Pengantar, Terjemahan dari American Law
An Introduction 2nd Edition, Alih Bahasa: Wisnu Basuki, Jakarta: Tatanusa, 2001.
Friedman, Wolfgang. Legal Theory, London: Stevens, 1967.
Friedman, Wolfgang. Teori dan Filsafat Hukum, Idealisme Filosofis dan Problema
Keadilan,Jakarta: Rajawali, 1990.
Fuady, Munir. Hukum Perbankan Modern, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004.
Hadjon, Philipus M. Perlindungan Bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: Bina Ilmu, 1987.
Hamzah, Andi. Hukum Pidana Ekonomi, Jakarta: Erlangga, 1991.
Husein, Yunus dan Roberts K., Tipologi dan Perkembangan Tindak Pidana Pencucian Uang,
Depok: Raja Grafindo Persada, 2021.
Komariah. Edisi Revisi Hukum Perdata, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2001.
Kristiana, Yudi. Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Perspektif Hukum Progresif,
Yogyakarta: Thafa Media.
Manurung, Adler Haymans Otoritas Jasa Keuangan: Perlindungan Investor, Jakarta: Adler
Manurung Pers, 2013.
Marzuki, Peter Mahmud. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Prenada Media Group, 2014.
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 1986.
Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2002.
Muchsin. Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, Universitas Sebelas
Maret, Surakarta, 2003.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1992.
B. Makalah/Artikel/Prosiding/Hasil Penelitian
Aprita, Serlika, “Peranan Peer to Peer Lending dalam Menyalurkan Pendanaan pada Usaha
Kecil dan Menengah,” Jurnal Hukum Samudera Keadilan, Volume 16 Nomor 1, Januari –
Juni 2021.
Baihaqi, Jadzil, “Financial Technology Peer to Peer Lending Berbasis Syariah di Indonesia,”
Tawazun: Journal of Sharia Economic Law, Volume 1 Nomor 2, September 2018.
Ghozi, Ahmad, “The Urgency of Electronic Know Your Customer (E-KYC): How Electronic
Customer Identification Works to Prevent Money Laundering in The Fintech Industry,”
Jurnal Diponegoro Law Review, Volume 7 No. 1, 2022.
Hutahean, Bilher, “Penerapan Sanksi Bagi Pelaku Tindak Pidana Anak,” Jurnal Komisi Yudisial,
Volume 6 No. 1, April 2013.
Lutfi, Anas dan Rusmin Nuryadin, “Tindak Pidana Ekonomi sebagai Upaya Pembangunan di
bidang Ekonomi,” Jurnal Magister Ilmu Hukum (Hukum dan Kesejahteraan), Volume 1
Nomor 1, 2016.
C. Internet
Novita Intan, “SWI Blokir 4.160 Pinjaman Online Ilegal per September 2022”, https://www.
republika.co.id/, diakses 25 Mei 2022.
Otoritas Jasa Keuangan, “Infografik OJK bersama Kementerian atau Lembaga Terkait
Berkomitmen Berantas Pinjol Ilegal”, https://www.ojk.go.id/, diakses 11 Mei 2022.
Otoritas Jasa Keuangan, “ Siaran Pers SWI: Satgas Waspada Investasi Kembali Temukan 7
Entitas Tanpa Izin dan 100 Pinjaman Online Ilegal”, https://www.ojk.go.id/, diakses 21 Mei
2022.
D. Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi
Finansial.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 12 Tahun 2017 tentang Penerapan Program Anti
Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di Sektor Jasa Keuangan.
BIODATA PENULIS
Otniel Yustisia Kristian, S.H., M.H., menyelesaikan pendidikan program Sarjana Hukum di Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) pada tahun 2016. Kemudian menyelesaikan program
studi Magister Hukum di Universitas Indonesia (UI) pada tahun 2019. Saat ini penulis bertugas
sebagai PNS di Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Disana penulis aktif dalam
kegiatan penyusunan kajian hukum dan pengajar pada beberapa instansi untuk materi terkait rezim
anti pencucian uang. Beberapa kegiatan mengajar yang pernah dilakukan penulis yaitu Pengajar
dalam Pelatihan Jarak Jauh Penyidikan TPPU Tindak Pidana Asal di bidang Perpajakan untuk PPNS
Dirjen Pajak Tahun 2021, Pengajar/Narasumber kegiatan Peningkatan Kapasitas PPNS KLHK Tahun
2021, Pengajar dalam Pelatihan Penyidik TPPU di bidang Perikanan untuk PPNS TNI AL dan PPNS
PSDKP Tahun 2021, serta Pengajar dalam Pelatihan Penyidikan Teknis TPPU di bidang Pengawasan
Obat dan Makanan untuk PPNS BPOM Tahun 2021 dan 2022. Selain itu penulis juga aktif menulis
beberapa karya tulis terkait dengan rezim anti pencucian uang antara lain berjudul: Analisis Hukum
atas Persepsi Penegak Hukum dalam Penanganan Perkara TPPU, Jakarta: PPATK, 2020; Tinjauan
Hukum atas Kepemilikan Saham oleh Koperasi sebagai Sarana TPPU, Jakarta: PPATK, 2020; dan
Tinjauan Hukum mengenai Ketentuan Anti Tipping Off dalam Pencegahan dan Pemberantasan
TPPU, Jakarta: PPATK, 2022.