Anda di halaman 1dari 11

JAKARTA, KOMPAS.

com - Otoritas Jasa Keuangan ( OJK) menilai ada beberapa tantangan


yang dihadapi perbankan dalam membuat sebuah layanan digital. Tantangan tersebut pun saat ini
coba ditangani oleh OJK. Kepala Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK
Antonius Hari menyatakan ada empat tantangan bagi perbankan ketika meluncurkan layanan
digital. "Yang pertama itu ada disruptive strategies by fintech yang lebih maju. Kemudian kedua
ancaman cyber crime, ketiga regulasi, dan terakhir ada variasi karakteristik nasabah," sebut
Antonius dalam jumpa pers di Gedung OJK, Jakarta, Kamis (27/9/2018). Terkait ancaman cyber
crime, Antonius menjelaskan bahwa isu tersebut sudah menjadi kejahatan nomor satu bagi dunia
perbankan, terlebih di era digital seperti sekarang. Baca juga: OJK Rilis Aturan Penyelenggaraan
Layanan Digital Perbankan "Kalau dulu kejahatan nomor satu itu pencucian uang, sekarang
cyber crime sangat berbahaya untuk perbankan. Layanan digital itu rentan risiko cyber crime,"
imbuh dia. Sementara itu, terkait tantangan soal regulasi, perbankan dapat dikatakan mengalami
kebimbangan dalam membuat layanan digital. Contohnya terlihat dari pembukaan rekening baru
yang menjadi salah satu fitur layanan perbankan digital. "Misalnya kalau dulu untuk pembukaan
rekening harus face to face sekarang regulasi yang ada memperbolehkan bisa pakai teknologi,
cukup dengan HP saja bisa dan enggak perlu datang ke kantor cabang, cukup dari rumah," tutur
Antonius. Tantangan terakhir, yakni variasi karakteristik nasabah, Antonius menyatakan bahwa
perbankan mesti mampu membedakan antara nasabah muda hingga pensiunan. "Mulai dari muda
sampai pensiunan punya katakter berbeda, itu yang coba difasilitasi. Usia kelihatan dari volume
transaksi. Dari pola pembayaran bisa tahu kesukaan sehingga dari bank jadi bisa dikembangkan
dan ada peluangnya," ungkapnya. Berdasarkan tantangan-tantangan tersebut, OJK pun kemudian
menerbitkan peraturan nomor 12/POJK.03/2018 tentang Penyelenggaraan Layanan Perbankan
Digital oleh Bank Umum atau POJK Layanan Perbankan Digital. Dalam POJK tersebut,
Antonius menjelaskan bahwa terdapat beberapa hal yang dicantumkan sebagai acuan bagi bank
penyelenggara untuk membuat layanan digital. Hal-hal tersebut di antaranya adalah persyaratan
bank penyelenggara, permohonan persetujuan, implementasi penyelenggaraan layanan
perbankan, manajemen risiko, penyampaian laporan, dan perlindungan nasabah. Di sisi lain,
Antonius meminta kepada perbankan untuk tidak hanya menyediakan layanan perbankan digital
yang optimal, melainkan juga mengedepankan keandalan teknologi informasi. "Tentunya
manajemen bank juga perlu memikirkan strategi-strategi pendukung seperti peningkatan
manajemen risiko, pemanfaatan kerja sama dengan pihak ketiga, peningkatan manajemen
internal bank, dan program edukasi kepada nasabah serta masyarakat yang berkelanjutan,"
sambung dia. Adapun sampai saat ini, Antonius menyatakan baru ada dua bank dari 114 bank
yang memiliki layanan perbankan digital. Keduanya adalah PT Bank Tabungan Pensiunan
Nasional Tbk (BTPN) dengan produk Jenius dan BTPN WOW serta DBS dengan Digibank.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "4 Tantangan Perbankan Digital",
https://ekonomi.kompas.com/read/2018/09/27/192500126/4-tantangan-perbankan-
digital?page=all.
Penulis : Ridwan Aji Pitoko
Editor : Erlangga Djumena

Fintech disebut sebagai inovasi yang bersifat mengacaukan lantaran inovasinya mentransformasi suatu
sistem atau pasar yang sudah ada dengan memperkenalkan kepraktisan, kemudahan akses,
kenyamanan, dan biaya yang ekonomis.
Fintech ini esensinya lebih banyak terkait dengan disruption jadi kalau tidak direspons
perbankan akan ada dampak bagi kegiatan usaha perbankan," ujar Muliaman dalam kuliah umum
di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia Banking School (STIE IBS), di Jakarta, Jumat (2/7).

Muliaman menuturkan, saat ini telah banyak muncul model Fintech yang tidak hanya
menyederhanakan, namun juga mempermurah dan mempermudah. Hal-hal tersebut yang
menggolongkan Fintech sebagai suatu inovasi yang bersifat disrupsi sehingga perbankan dan
lembaga jasa keuangan lainnya harus dapat mensiasatinya.

Berdasarkan data OJK, saat ini terdapat sebanyak 165 Fintech di Indonesia. Dari jumlah tersebut,
sebanyak 43 persennya bergerak di sistem pembayaran, dalam hal ini di bawah wewenang
otoritas sistem pembayaran yaitu Bank Indonesia. Sebanyak 17 persennya berharap dalam
bidang peer to peer lending, sedangkan sisanya berbentuk agregator, crowdfunding dan lainnya.

"Kalau semuanya lending, mereka akan dapat menyaingi bank. Suatu saat nanti kalau semua di
daerah literasi sudah baik, akan jadi kompetitor perbankan nasional," kata Muliaman.

Dengan demikian, Muliaman menegaskan agar industri perbankan juga terus berinovasi dalam
mengembangkan teknologinya. Bagi bank yang kecil dan tidak memiliki infrastruktur teknologi
yang memadai, ia menyarankan untuk melakukan sinergi dengan perusahaan Fintech.

Untuk mendukung pengembangan Fintech, OJK telah menerbitkan POJK No. 77/POJK.01/2016
tentang Layanan Pinjam Meminjam Langsung Berbasis Teknologi Informasi (LMPUBTI) atau
Peer-to-Peer Lending.

Sementara ketentuan lainnya antara lain tentang crowdfunding dan digital banking sedang dalam
proses pembahasan.

Selain itu, OJK juga telah membentuk FinTech Innovation Hub, dengan tugas antara lain,
pertama, koordinasi Lintas Kementerian dan Lembaga. Kedua, Pengembangan Industri FinTech
yang sesuai Kebutuhan masyarakat. Ketiga, pengembangan Sandbox untuk model bisnis FinTech
yang baru dan potensial. Keempat, penyediaan sarana komunikasi (antara lain website FinTech)
antara regulator dan industri FinTech.

BOGOR, KOMPAS.com - Berkembangnya teknologi membuat industri perbankan harus


bertransformasi. Kepala Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan Otoritas Jasa
Keuangan ( OJK) Antonius Hari mengatakan, ada beberapa hal yang menjadi tantangan
perbankan menuju digital banking. Pertama, perubahan pola konsumsi dan keinginan masyarakat
yang menginginkan sesuatu yang mudah cepat. “Ada perubahan pola perilaku masyarakat dalam
memanfaatkan layanan dari lembaga jasa keuangan (LJK),” ujar Antonius di Bogor, Sabtu
(20/10/208). Kedua, menjamurnya teknologi finansial ( fintech) baik untuk pembayaran maupun
pendanaan atau peer-to-peer (P2P) lending. Yang mana nilai transaksinya dari tahun 2016 ke
tahun 2017 saja sudah meningkat 24,6 persen atau dari Rp 15,6 miliar menjadi Rp 18,6 miliar.
Baca juga: OJK Segera Keluarkan Aturan Crowd Funding “Pertumbuhan-pertumbuhan fintech
berkembang juga. Segmen consumer banking, fund transfer, payment, investment, dan wealth
management menjadi target perbankan digital hingga 2020,” jelasnya. Ketiga, faktor
kepercayaan akan keamanan yang diselenggarakan oleh flatform digital banking. “Semakin
tingginya perkembangan teknik-teknik penyalahgunaan data oleh pihak yang tidak bertanggung
jawab,” tutur Antonius. Keempat, adalah masalah pengaturan atau regulasi yang berlaku. Hal ini
akan menjadi landasan bagi para pemain digital banking sejauh mana ranah kerjanya.
“Kebutuhan pemenuhan aspek compliance terhadap peraturan dari instansi yang berbeda,” papar
Antonius. Kelima, bagaimana mengembangkan karakteristik nasabah. Artinya, meluaskan pasar
perihal layanan yang diberikan agar bisa dijangkau oleh berbagai kalangan. “Variasi model
bisnis nasabah korporasi dan UMKM,” ujar Antonius. Oleh karenanya, Antonius
mengungkapkan untuk dapat memberikan layanan yang lebih baik dan berkompetisi, bank perlu
untuk memiliki kerangka kerja yang sederhana namun komprehensif terhadap Teknologi
Informasi (TI). “Fokus pada IT security dan availability yang dapat mendorong efisiensi
operasional dalam jangka panjang. Membangun IT strategic yang berkaitan dengan kapabilitas
bisnis dan keunggulan kompetitif baik dalam jangka menengah maupun jangka panjang,”
tuturnya. Sehingga, pada akhirnya layanan perbankan dapat bertranformasi dan berkolaborasi
dengan digital untuk mencapai tujuan pelayanan bank tersebut. “Melakukan transformasi pada
sistem IT, sehingga dapat meningkatkan kapabilitasnya untuk mendukung tujuan bank,” ucap
Antonius.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Tantangan Industri Perbankan di Era
Digital Banking", https://ekonomi.kompas.com/read/2018/10/21/151222826/tantangan-industri-
perbankan-di-era-digital-banking?page=all.
Penulis : Putri Syifa Nurfadilah
Editor : Erlangga Djumena
akarta - Sektor perbankan baik nasional maupun dunia kini sudah memasuki era digitalisasi.
Mulai dari layanan bank tanpa kantor hingga transaksi menggunakan e-channel yang sudah biasa
dilakukan.

Wakil ketua dewan komisioner OJK Nurhaida menjelaskan dalam beberapa waktu ke depan ada
sejumlah tantangan yang akan dihadapi oleh perbankan di dunia. Karena itu, kata Nurhaida, bank
harus menyesuaikan diri dan bertransformasi agar tetap bisa menarik pelanggan atau nasabahnya.

"Bank harus bertransformasi di era digitalisasi ini. Jika tidak, maka bank akan ketinggalan dan
muncul bank-bank lain dengan proses digital," ujar Nurhaida dalam seminar Disruption and
Banking for the future, di Hotel Kempinski, Jakarta, Kamis (5/2/2019).

Nurhaida menjelaskan, bank konvensional juga harus melakukan inovasi dalam sektor keuangan.
Hal ini agar bank konvensional bisa tetap menjaga bisnis yang bersifat umum seperti menabung
hingga transaksi pembayaran.

Baca juga: Solusi Bisnis Unggul BCA Dukung Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat

Selanjutnya, Nurhaida mengatakan ada layanan bank yang akan terdegradasi. Nah, layanan ini
tentunya akan digantikan oleh lembaga keuangan baru.
Kemudian peran intermediasi bank akan hilang sama sekali jika hal-hal tersebut tak dilakukan.
Karena itu, bank akan berhadapan dengan layanan financial technology (fintech).

"Bank dan fintech harus berkolaborasi karena kebutuhan untuk meningkatkan inklusi keuangan
di Indonesia sangat besar. Masyarakat Indonesia itu banyak di 17 ribu pulau, untuk menjangkau
mereka dibutuhkan teknologi, karena itu dibutuhkan kolaborasi," imbuh dia.

Nurhaida mencontohkan kolaborasi yang bisa dilakukan adalah seperti penyaluran kredit dalam
hal ini peer to peer lending. Fintech peer to peer lending ini dalam kegiatannya tak bisa
menghimpun dana, karena itu fintech peer to peer harus tetap menggandeng bank untuk
melakukan operasional.

Disrupsi Fintech di Era Digital Perbankan,


Tantangan Tingkatkan "Customer Value"
Oleh: Firdaus Baderi Jumat, 26/04/2019

Oleh: Antonius Adi, Mahasiswa Program Doktoral FEB Universitas Trisakti

Perkembangan teknologi informasi di era masa kini tumbuh dengan sangat pesat. Teknologi
memiliki peranan yang sangat penting dalam perkembangan ekonomi sebuah negara. Salah satu
sektor yang memegang peranan penting dalam perkembangan ekonomi yang sustainable pada
era digital adalah sektor keuangan dimana salah satunya adalah industri perbankan. Peranan
perbankan dianggap penting karena perannya dalam mengembangkan ekonomi melalui
aktivitasnya dalam menghimpun serta menyalurkan dana di masyarakat agar iklim usaha dan
iklim investasi dapat meningkat.

Sektor keuangan juga merupakan salah satu sektor yang terpengaruh oleh berkembangnya
teknologi. Terlihat jelas bahwa strategi yang diambil oleh kebanyakan pelaku industri perbankan
sudah mulai beralih ke strategi digital sebagai strategi yang diimplementasikan pada tingkat
strategi korporasi di Indonesia. Menurut data dari Bank Indonesia, tercatat pertumbuhan jumlah
nominal transaksi uang elektronik meningkat sebesar kurang lebih 290% atau 29 kali lipat sejak
2012 hingga akhir 2018 yang lalu. Hal ini terjadi tidak lepas dari kecenderungan nasabah yang
sudah mulai menikmati layanan perbankan berbasis elektronik yang dapat dilihat dari
meningkatnya jumlah transaksi elektronik yang dilakukan oleh para nasabah perbankan di
Indonesia Menurut Survey Price Water Cooper, sebanyak 44% responden dari industri
perbankan mengatakan bahwa digital strategy memiliki tujuan utama untuk dapat memperkaya
pengalaman nasabah dan karyawan dalam melaksanakan proses perbankan yang lebih baik.
Diharapkan nasabah serta karyawan dapat melaksanakan kegiatan perbankan dengan lebih
mudah karena dibantu dengan teknologi yang sudah berkembang pesat.
Digitalisasi Perbankan

Selain merevolusi pendekatan yang diambil oleh para industri perbankan, berkembang pesatnya
teknologi juga merubah gaya hidup masyarakat terutama dalam memenuhi kebutuhan
keuangannya. Hal ini berdampak pada munculnya usaha-usaha baru di bidang pelayanan
keuangan yang berbasis teknologi. Perusahaan-perusahaan pelayanan keuangan ini kerap kita
kenal dengan sebutan perusahaan fintech. Bank Indonesia mendefinisikan financial technology
sebagai hasil gabungan antara layanan keuangan dan teknologi yang pada akhirnya mengubah
model bisnis yang konvensional menjadi moderat, yang dari awalnya apabila nasabah ingin
melakukan transaksi harus bertatap muka kini dapat dilakukan secara jarak jauh dengan
melakukan pembayaran.

Masyarakat dan pelaku usaha kini memiliki akses ke layanan keuangan lebih mudah dari
sebelumnya. Fintech memungkinkan penggunanya mendapatkan pelayanan keuangan yang lebih
mudah karena menggunakan basis teknologi sehingga pelayanan keuangan dapat diakses 24 jam.
Perbankan sendiri dapat mengajak Fintech untuk berkolaborasi dalam menyajikan pelayanan
keuangan. Proses yang lebih mudah,cepat, dan nyaman menjadikan hal-hal tersebut keunggulan
dari perusahaan Fintech dibandingkan dengan perbankan sebagai perusahaan penyedia layanan
keuangan. Oleh karena itu, Fintech berpotensi menjadi ancaman bagi kelangsungan industri
perbankan apabila industri perbankan tidak beradaptasi untuk dapat mengungguli fintech dan
perlu adanya upaya dari industri perbankan untuk berkolaborasi dengan perusahaan Fintech.
Perbankan sendiri sudah mulai beradaptasi dan memanfaatkan kemajuan teknologi dan mulai
mencoba berkolaborasi dengan perusahaan fintech, sebagai contoh bentuk kerja sama salah satu
bank swasta yang masuk dalam kategori bank besar dalam perihal penyediaan virtual account
untuk perusahaan-perusahaan yang memiliki layanan keuangan dompet elektronik sebagai solusi
konsumen dalam mengisi ulang saldo dompet elektronik mereka.

Menurut Survey Price Water Cooper (2018), disrupsi dari fintech menduduki peringkat kedua
setelah resiko teknologi dan keamanan yang menantang para pelaku industri perbankan untuk
mengkaji ulang strategi serta reaksi pelaku perbankan dalam menghadapi resiko tersebut. Oleh
karena itu perbankan harus memiliki suatu langkah strategi yang membuat perusahaan dapat
bertahan di tengah munculnya banyak perusahaan fintech dan resiko keamanan teknologi
tersebut..

Loyalitas dan Customer Experience

Salah satu dari cara memenangkan persaingan dan memperoleh keunggulan kompetitif pada
kondisi era digital adalah adalah dengan cara mempertahankan nasabah yaitu melalui membuat
nasabah setia terhadap perusahaan. Digital Banking sudah menjadi salah satu strategi yang
penting dari para pelaku industri perbankan dalam melaksanakan usahanya. Berbeda dengan
traditional banking dimana bank-bank masih berfokus pada keunggulan produk yang dijual,
digital banking lebih mengedepankan pada mindset berbasis nasabah dalam menciptakan nilai
tambah bagi nasabah. Penyediaan layanan yang berkualitas dengan praktik digital banking akan
membuat nasabah mendapatkan layanan yang dikustomisasi sesuai kebutuhannya masing-
masing. Proses ini dinamakan dengan Co-Creation dimana pelanggan juga ikut berkontribusi
dalam pelayanan yang dinikmatinya.
Manfaat dari proses ini adalah value yang diciptakan oleh penyedia jasa bisa sesuai dengan apa
yang ingin didapatkan dari konsumen karena konsumen juga memiliki ambil bagian dalam
proses penyediaan jasa. Apabila konsumen mendapatkan apa yang diinginkannya maka ia akan
merasa puas dan memiliki pengalaman yang baik terhadap bank yang melayaninya. Pengalaman-
pengalaman baik atau customer experience tersebut yang seharusnya menjadi fokus utama dari
para pelaku perbankan untuk dapat meningkatkan pelayanannya sehingga nasabah menjadi loyal
dan terikat/engaged pada bank sehingga bank dapat mempertahankan posisinya menjadi yang
terbaik dalam menyediakan pelayanan di era digital saat ini.

Disrupsi digital telah menjadi faktor penggerak bagi bank-bank Indonesia untuk
mempertimbangkan jalur digital sebagai bagian dari strategi mereka, sehingga perbankan digital
kini telah menjadi strategi umum di industri perbankan. Dengan demikian, sangatlah penting
bagi para bankir, penggemar teknologi digital, dan usaha-usaha fintech, yang hanya sebagian dari
banyak contoh, untuk mengetahui kondisi terkini dari perbankan digital dan risiko-risiko serta
tantangan-tantangan yang dihadapi oleh industri ini.

akarta, CNBC Indonesia - Lanskap perbankan Indonesia berpeluang untuk berubah jauh lebih
drastis lagi, setelah transaksi keuangan secara digital untuk pertama kalinya melampaui transaksi
konvensional melalui teller bank.

Hal itu terungkap dalam laporan PricewaterhouseCoopers (PwC) Indonesia berjudul "2018
Indonesia Banking Survey" yang mengungkapkan 30% nasabah kini lebih memilih bertransaksi
lewat digital, melebihi jumlah transaksi konvensional. Laporan tersebut menegaskan bahwa
teknologi akan menjadi faktor utama yang mengubah wajah bisnis perbankan.

Namun, hasil survei PwC menyebutkan hanya bank besar dan bank asing yang cukup yakin akan
strategi digitalnya ke depan, dengan berinvestasi membangun sistem automatisasi.

"Mengikuti tren serupa pada 2017, bank yang masuk kategori BUKU 3 dan BUKU 4
berinvestasi lebih besar di automatisasi untuk mengurangi risiko operasional," tulis PwC
Indonesia Financial Service Leader David Wake, dalam laporan tersebut.
Sumber: PwC 2018

Di sisi lain, lanjutnya, bank lebih kecil lebih memilih berinvestasi di wilayah mendasar seperti
pengembangan sumber daya manusia, kajian prosedur standard dan operasi (SOP), kajian risiko
secara mandiri, dan audit internal.

Secara umum, responden dari bank asing tidak menunjukkan tingkat optimisme yang sama
seperti responden bank lokal. Lebih dari 50% responden bankir lokal cenderung mengharapkan
kondisi yang lebih baik. Sebaliknya, separuh responden dari bank asing menyatakan akan
mengurangi jumlah kantor cabangnya.

Hanya 12% dari mereka yang akan melakukan ekspansi. "Kebanyakan bank asing lebih memilih
untuk melakukan spesialisasi atau membidik niche market. Dibanding masuk ke retail banking,
mereka akan menyasar corporate banking," tutur David.

Hal ini bertolak belakang dengan perbankan BUMN. Hasil survei PwC mengungkap 67 persen
dari bank BUMN akan memperbanyak kantor cabang maupun karyawannya.
Survei PwC Indonesia diikuti 65 responden dari 49 bank yang beroperasi di Indonesia. Para
responden merupakan pejabat di tingkat manajemen senior pada masing-masing bank tersebut.

tirto.id - Bank Indonesia (BI) meminta perusahaan penyedia jasa transaksi keuangan digital tidak
ragu menerapkan teknologi application programming interface (API). Gubernur BI Perry
Warjiyo menilai perkembangan ekonomi dan keuangan digital membuat data nasabah menjadi
komoditas yang dapat dimanfaatkan jika dikelola dengan tepat. Meskipun ancaman keamanan
siber selalu ada, dia berpendapat risiko itu bisa diatasi dengan pengelolaan data yang baik.
"Google, Apple, Alibaba, mereka mengumpulkan data dari masyarakat, data and coding. Siapa
yang punya data, coding, owning the world, owning the economy," ujar Perry di kompleks
Gedung BI, Jakarta Pusat, Senin (27/5/2019). Baca juga: Phishing, Penipuan yang Mengancam
Semua Akun Digital Agar data dapat dikelola dengan baik, kata Perry, BI mendorong penerapan
digital open banking dan interlink dengan fintech melalui standardisasi Open API. Open API
memungkinkan keterbukaan informasi keuangan bank dan Fintech kepada pihak ketiga secara
aman guna memberikan variasi dan kemudahan masyarakat dalam bertransaksi. "Contohnya
data. Kita tidak bisa memberikan seluruh data ke private, ini demi costumer security, [mencegah]
money laundring, dan lain-lain. Ini kenapa harus diimbangi dengan policy," kata Perry. Lagi
pula, menurut Perry, sejak lama perbankan telah memiliki big data. Sayangnya hal tersebut tak
dimanfaatkan dengan optimal dan sesuai dengan kebutuhan di era digital saat ini. Lantaran itu
lah, risiko seperti persaingan monopolistik dan shadow banking, yang dapat mengurangi
efektivitas pengendalian moneter, stabilitas sistem keuangan dan kelancaran sistem pembayaran,
selalu mengintai. "The banking itu salah satu yang punya data, tetapi selama ini tidak dijadikan
komoditas, digital banking adalah satu upaya menjadikannya komoditas, to gather the need of
people, isunya bagaimana gunakan data ini," ujar Perry.

Baca selengkapnya di artikel "Ekonomi Digital Tumbuh, BI Minta Bank & Fintech Tak Ragu
Buka Data", https://tirto.id/d7af

Tantangan Era Ekonomi Disruptif


Beberapa tahun terakhir ini kita dihadapkan dengan era disrupsi. Era disrupsi ditandai dengan era
dimana berbagai lini berubah dan bergerak dengan cepat. Tak hanya di sektor transportasi saja,
komunikasi, dan perbankan pun mengalami disrupsi. Di satu sisi, disrupsi akan menguntungkan
dan di sisi lain dapat menjadi bom waktu jika perubahan ini tidak mendapat respons yang baik.
Pelaku dan konsumen di era disrupsi mau tak mau harus menunggu kepekaan pemerintah dalam
perannya sebagai regulator dan fasilitator terhadap perubahan ini. Era disrupsi ini menjadi
tantangan bagi pembangunan perekonomian Indonesia ke depan.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya disrupsi tidak hanya terjadi dalam bidang ekonomi. Hukum, pendidikan, pelayanan
kesehatan, dan pemerintahan adalah beberapa contoh bidang yang juga terdisrupsi. Berbicara
mengenai disrupsi bukan hanya tentang berbagai lini yang menjadi berbasis digital. Lebih dari
itu, ketika kita berbicara disrupsi maka kita akan dihadapkan pada efisiensi, kecepatan,
kenyamanan, dan kualitas.
Ekonomi disruptif adalah salah satu bentuk revolusi dalam cara kita berpikir dan menggunakan
barang atau jasa. Hal yang sering disorot dalam ekonomi disruptif di Indonesia salah satunya
adalah munculnya transportasi online. Tentu kita masih ingat konflik antara transportasi online
dan konvensional di beberapa daerah di Indonesia. Hal ini terjadi akibat persaingan usaha dan
ketidaksiapan individu dalam menghadapi perubahan. Selain itu, tentu yang menjadi
permasalahan adalah regulasi yang sudah ada atau pun yang baru dikeluarkan oleh pemerintah.
Pemerintah pun merespons dengan lamban terhadap perubahan ini terkait dengan revisi
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 26 Tahun 2017 tentang Transportasi Berbasis Aplikasi
yang terbit pada 31 Mei dan berlaku mulai 1 Juni. Hal ini kemudian mendapat penolakan dari
pengemudi transportasi online hingga menunggu keputusan baru pada 1 November lalu.
Seharusnya jika pemerintah dapat dengan teliti merespons perubahan ini, disrupsi menjadi suatu
hal yang dapat dikelola dengan baik dan dapat menguntungkan banyak pihak.
ADVERTISEMENT
Jika kita dapat melihat secara positif, adanya transportasi online ini dapat mengurangi jumlah
pengangguran di Indonesia. Hal ini diperkuat dari rilis Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa bidang
transportasi online menyumbangkan perluasan kesempatan kerja. Selain itu, transportasi online
ini menciptakan pasar baru bagi siapa saja yang ingin melakukan usaha karena disruptif dalam
bisnis sendiri berarti merusak pasar yang sudah ada dan menggantikan pasar yang lama. Selain
itu, transportasi online mendorong adanya produktivitas masyarakat serta efisensi yang
signifikan.
Tak hanya dari bidang transportasi, industri keuangan dan perbankan pun mengalami hal serupa.
Tentu dewasa ini kita mengenal adanya financial technology (fintech) dari industri keuangan.
Hal ini salah satunya ditandai dengan munculnya bank nirkantor (branchless banking) dimana
kegiatan jasa keuangan dan perbankan tidak dilakukan di kantor lembaga keuangan melainkan
memanfaatkan teknologi yang sudah berkembang pesat. Memudahkan lembaga dan masyarakat
dalam pelayanan serta investasi. Bank Rakyat Indonesia (BRI) adalah salah satu contoh
perbankan yang mendisrupsi dirinya sendiri dengan meluncurkan satelitnya. Beberapa waktu
kemudian hal ini bisa jadi diikuti oleh banyak industri keuangan dan perbankan lainnya yang tak
ingin ketinggalan dalam merespons perubahan.
ADVERTISEMENT
Disrupsi di media sosial pun juga terjadi. Hal ini menimbulkan digital mindset di sisi pemerintah.
Beberapa tahun terakhir ini, tentu kita tahu bahwa penyebaran konten-konten positif serta
transparansi kegiatan pemerintah di media sosial telah banyak dilakukan. Selain itu, pemerintah
juga mengambil tindakan dalam pemblokiran dan pembatasan akun-akun media sosial yang
terindikasi menyebarkan konten-konten negatif dan hoax. Pemerintahan pun sedikit demi sedikit
mengalami disrupsi dengan penerapan e-governance meskipun hanya terbatas pada beberapa
pemimpin daerah saja. Membuat segala proses birokrasi menjadi lebih mudah, cepat, dan efisien
dibandingkan sebelumnya. Selain bidang-bidang yang sudah disebutkan penulis di atas, masih
banyak contoh disrupsi dari berbagai bidang yang memberikan dampak yang luas bagi
masyarakat.
Era ekonomi disruptif menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah selaku regulator dan
fasilitator. Di satu sisi disrupsi membawa dampak yang begitu menguntungkan, namun di sisi
lain kita juga perlu waspada. Mengapa kita justru waspada ? Hal ini tekait dengan tenaga kerja,
teknologi, dan regulasi pemerintah. Dari sejumlah data dan kebijakan, pemerintah dinilai lambat
dalam merespons era ekonomi disruptif ini. Dalam pembangunan, seharusnya pemerintah bisa
merangkul dan tidak meninggalkan salah satu pihak. Dalam bidang transportasi online misalnya,
pemerintah justru mengeluarkan aturan terkait kuota armada transportasi online, pengaturan tarif
atas-bawah atau fare cap, dan pengalihan kepemilikan kendaraan yang dinilai merugikan
masyarakat.
Terlepas dari kebijakan pemerintah, dari sejumlah data-transportasi online mampu menciptakan
lapangan pekerjaan secara signifikan, namun hal ini terdestruksi dengan adanya fakta bahwa
disrupsi teknologi juga berpengaruh terhadap pengurangan tenaga kerja.
Salah satu contoh yang bisa diambil yaitu pengurangan tenaga kerja dalam bidang perbankan
karena industri perbankan lebih memaksimalkan pelayanan berbasis teknologi. Hal ini diperkuat
oleh data dari KataData News and Research bahwa Bank Mandiri kini mengerem pembukaan
kantor cabang. Bank milik negara (BUMN) ini biasanya membuka 400-600 kantor cabang tiap
tahun, belakangan hanya membuka 100-200 kantor.
Hal ini tentu patut untuk diperhatikan mengingat Indonesia akan mengalami bonus demografi
dimana jumlah penduduk usia produktif mencapai 70 persen. Angkatan kerja yang begitu banyak
jika tidak dimbangi dengan lapangan pekerjaan yang tersedia akan menjadi beban ekonomi. Jika
era ekonomi dan teknologi disruptif tidak diperhatikan dan disiapkan dengan baik tentu akan
berdampak negatif bagi pembangunan Indonesia. Kini kita menunggu kepekaan pemerintah
dalam menyikapi hal ini sembari terus berupaya melakukan persiapan dalam menghadapi era
ekonomi disruptif.

Anda mungkin juga menyukai