Anda di halaman 1dari 8

Transformasi Jasa Keuangan Di Era Globalisasi

(Dark Side Fintech Peer to Peer Lending di Indonesia)

Latar Belakang
Internet saat ini telah bertransformasi menjadi salah satu kebutuhan dasar
manusia di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Asosiasi Penyelenggara Jasa
Internet Indonesia (APJII) telah melakukan survey penetrasi dan perilaku pengguna
internet Indonesia pada tahun 2018. Hasilnya adalah jumlah pengguna internet di
Indonesia sebanyak 171,17 juta jiwa atau 64,8% dari total penduduk Indonesia.
Jumlah ini meningkat 89 kali lipat jika dibandingkan dari tahun 2000 (APJII, 2018).
Penetrasi teknologi internet juga terjadi pada berbagai sektor industri, termasuk jasa
keuangan. Jasa keuangan adalah suatu istilah yang digunakan untuk merujuk jasa
yang disediakan oleh industri keuangan (Yoga Adiyanto, Yuda Supriatna, Deni
Sunaryo, 2019). Industri jasa keuangan meliputi perbankan, perasuransian,
pegadaian, perusahaan pembiayaan, pasar modal, dan dana pensiun (OJK,
Mengenal Otoritas Jasa Keuangan dan Industri jasa Keuangan, 2017).
Sentuhan teknologi pada sektor industri jasa keuangan kemudian
bertransformasi menjadi industri baru yaitu financial technology (fintech). Deskripsi
fintech sendiri sangat beragam. Finansial Stability Board menyebut fintech sebagai
suatu bentuk inovasi finansial berbasis teknologi yang dapat menghasilkan model
bisnis, aplikasi, proses atau produk baru dengan efek material terkait pada pasar
keuangan, institusi, dan penyedia layanan keuangan (Board, 2019). Bank Indonesia
mengidentifikasi fintech sebagai gabungan antara jasa keuangan dengan teknologi
yang akhirnya mengubah model bisnis dari konvensional menjadi moderat, yang
awalnya dalam membayar harus bertatap muka dan membawa sejumlah uang kas,
kini dapat melakukan transaksi jarak jauh dengan melakukan pembayaran yang dapat
dilakukan dalam hitungan detik saja (Indonesia, Bank, 2018).
Industri fintech di Indonesia mulai berkembang pada tahun 2006 dengan jumlah
perusahaan pada awalnya hanya empat dan kemudian berkembang menjadi 16
perusahaan pada 2017 (Rusydiana, 2018). Fakta tersebut sejalan dengan hasil
temuan APJII dimana pada tahun 2018, bahwa 62.8% pengguna internet di Indonesia
merasa aman saat bertransaksi lewat internet (APJII, 2018). Bank Indonesia membagi
empat kategori fintech yaitu: 1) peer-to-peer lending dan crowdfunding, 2) market
aggregator, 3) manajemen risiko dan investasi, 4)payment, clearing dan settlement.
Sementara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membagi industri fintech menjadi 6 sektor
yaitu: 1) financial planning, 2) crowdfunding, 3) lending, 4) aggregator, 5) payment dan
6) fintech lainnya (Rusydiana, 2018).

Regulasi dasar hukum mengenai penyelenggaraan fintech di Indonesia berdasarkan


data dari Bank Indonesia yaitu (Indonesia, Bank, 2018):
· Peraturan Bank Indonesia No. 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan
Pemrosesan Transaksi Pembayaran.
· Surat Edaran Bank Indonesia No. 18/22/DKSP tentang Penyelenggaraan
Layanan Keuangan Digital.
· Peraturan Bank Indonesia No. 18/17/PBI/2016 tentang Uang Elektronik.
· PBI No. 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial.
· PADG No. 19/14/PADG/2017 tentang Ruang Uji Coba Terbatas (Regulatory
Sandbox) Teknologi Finansial.
· PADG No. 19/15/PADG/2017 tentang Tata Cara Pendaftaran, Penyampaian
Informasi dan Pemantauan Penyelenggaraan Teknologi FInansial.
· Peraturan OJK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang
Berbasis Teknologi Informasi.
Penyelenggaraan industri fintech juga diawasi oleh OJK sesuai dengan salah
satu tugas pokok dan fungsinya yaitu penyelenggaraan sistem pengaturan dan
pengawasan sektor Industri Keuangan Non Bank (IKNB) yang terintegrasi terhadap
keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan. Perkembangan industri fintech yang
sangat pesat belakangan ini tentu membawa dampak. Bank Indonesia sendiri melihat
bahwa selain membawa manfaat bagi konsumen, pelaku usaha, maupun
perekonomian nasional, namun juga mempunyai dampak negatif apabila potensi
risiko yang ada tidak dimitigasi secara baik. Salah satu lembaga moneter dunia yaitu
International Monetary Fund (IMF) juga menyampaikan hal yang senada, bahwa
fintech mempunyai risiko baik untuk konsumen dan para investor dan dalam hal yang
lebih luas, terhadap kestabilan finansial dan integritas (IMF, 2018). Tulisan ini ingin
mencermati sisi gelap atau risiko yang muncul dari industri fintech ini, yaitu banyaknya
peer-to-peer lending tanpa ijin resmi. Peer-to-peer lending adalah fintech yang
mempertemukan pencari pinjaman dengan pemberi pinjaman. Berdasarkan data OJK
per tanggal 13 Agustus 2019, jumlah perusahaan fintech terdaftar/berizin sejumlah
127 perusahaan dengan total akumulasi penyaluran pinjaman sebesar Rp. 49.794,
019 milyar (OJK, Perkembangan Fintech Lending (Pendanaan Gotong Rotong on-
line), 2019). Sementara jumlah fintech peer-to-peer ilegal hampir 10 kali lipat dari yang
resmi yaitu sejumlah 1.230 perusahaan (Putra, 2019).

Kerangka Teori
1. Globalisasi dan Pengaruhnya terhadap Transformasi Kapitalisme
Perkembangan globalisasi dan majunya teknologi informasi serta inovasi
keuangan telah membuat industri keuangan menjadi kompleks, dinamis dan saling
terkait (OJK, Mengenal Otoritas Jasa Keuangan dan Industri jasa Keuangan, 2017).
Giddens melihat risiko juga tumbuh dari terciptanya lingkungan institusional seperti
pasar investasi global dan pada akhirnya menyadari bahwa sistem memiliki
kemampuan yang terbatas untuk mengatasi risiko-risiko tersebut (George Ritzer,
Douglas j. Goodman, 2014). Akibat dari globalisasi adalah lahirnya konsekuensi yang
berbahaya dan mematikan bagi masyarakat. Meskipun dalam hal ini konteksnya
adalah pencemaran lingkungan akibat berdirinya pabrik-pabrik, akan tetapi hal ini
dapat dimaknai juga sebagai munculnya sisi gelap dari industri jasa keuangan. Ulrich
Beck sendiri melihat distribusi risiko seperti kekayaan, hanya saja yang terjadi adalah
kebalikannya. Kekayaan terakumulasi di puncak sementara risiko terakumulasi di
bawah. Para orang kaya dalam beberapa aspek (pendapatan, kekuasaan,
pendidikan) dapat membeli keamanan dan kebebasan dari risiko (Beck, 1992). Hal ini
juga terjadi dalam kasus jeratan pinjaman online ini dimana biasanya masyarakat
yang memanfaatkan pinjaman online ini datang dari kelas bawah dan miskin.
Bruno Latour dalam tulisannya yang berusaha membuktikan terjadinya
remodernisasi (dan memberikan kritik terhadap Beck), menjelaskan bahwa risiko
bukan berarti bahwa kita menghadapi lebih banyak bahaya dari sebelumnya, akan
tetapi bahwa sekarang kita terjerat dalam kekacauan, sementara impian para
modernis adalah melepaskan kita dari kekacauan di masa lalu (Latour, 2003). Para
ilmuwan social menyebutkan bahwa bahaya yang diasosiasikan dengan
perkembangan teknologi akan sulit disebut sebagai risiko tanpa adanya bukti
material/visual. (Barbara Adam, Ulrich Beck, Joost Van Loon, 2000). Dengan kata lain,
industri fintech di Indonesia tidak dapat disebut memiliki risiko apabila tidak ada kasus
pengancaman, pemecatan dari pekerjaan dan bunuh diri sebagai bukti material/visual
berkaitan dengan bahaya yang menyertainya.

2. Sejarah Perkembangan Financial Technology (Fintech)


Fintech merupakan singkatan dari kata Financial Technology, yang dapat
diartikan dalam bahasa Indonesia menjadi teknologi keuangan. Secara sederhana,
Fintech dapat diartikan sebagai pemanfaatan perkembangan teknologi informasi
untuk meningkatkan layanan di industri keuangan. Definisi lainnya adalah variasi
model bisnis dan perkembangan teknologi yang memiliki potensi untuk meningkatkan
industri layanan keuangan (OICU-IOSCO, 2017).
Fintech telah berevolusi dalam 3 (tiga) periode, seperti yang dapat
diilustrasikan melalui tabel berikut:

(Sumber: Otoritas Jasa Keuangan, 2017)


Seiring dengan berkembangnya teknologi, jenis-jenis Fintech pun semakin
beragam, diantaranya seperti inovasi teknologi finansial terkait pembayaran dan
transfer, lembaga jasa keuangan, dan perusahaan start-up Fintech yang
menggunakan teknologi baru untuk memberikan layanan yang lebih cepat, murah,
dan nyaman.
Perusahaan di sektor pembiayaan dan investasi pun berkompetisi dengan
menggunakan inovasi teknologi dalam menjual produk dan jasa keuangannya. Jenis-
jenis Fintech di sektor ini diantaranya seperti Peer-to-Peer (P2P) Lending,
Crowdfunding, Supply Chain Finance, dan lain-lain.
Fintech jenis lainnya yang berkembang di dunia diantaranya, Robo advisor,
Blockchain, Information and Feeder Site, dan lain-lain. Seluruh Fintech tersebut
memberikan kemudahan bagi konsumen keuangan untuk membeli dan menggunakan
produk dan jasa keuangan pada saat ini.

(Sumber: Otoritas Jasa Keuangan, 2017)

3. Financial Technology (Fintech) di Indonesia

Metodologi dan Diskusi


Tulisan ini menggunakan metodologi fenomenologi, sebuah metodologi yang
dikembangkan oleh Edmund Husserl dalam kajian filsafat dan sosiologi.
Fenomenologi mengajarkan manusia untuk berinteraksi dan belajar lebih banyak dari
fenomena sehingga makna dan esensi dari realitas dapat ditangkap oleh orang yang
melakukan observasi (Hasbiansyah, 2008). Fenomena yang dimaksud dalam tulisan
ini adalah orang-orang yang menghadapi risiko-risiko dalam sistem pinjaman online
ilegal. Situs berita online Tirto.id menyajikan beberapa contoh kasus terkait fenomena
sisi gelap dari pinjaman online seperti yang dialami oleh Retno Aryanti misalnya
(Prabowo, 2018). Perempuan berusia 27 tahun tersebut meminjam uang ke sebuah
perusahaan peer-to-peer lending bernama Go Cash sebesar Rp. 1 juta, setelah
dipotong biaya administrasi dan bunga, Retno hanya mendapatkan Rp. 750 ribu dan
diwajibkan mengembalikan sebesar Rp. 1 juta. Pada saat jatuh tempo, Retno
dihubungi oleh penagih yang mengaku bernama Joni untuk segera membayar
tagihan, sementara Retno harus bekerja sehingga pembayaran bisa dilakukan setelah
selesai bekerja. Joni ternyata menghubungi teman-teman Retno untuk menagih
hutang disertai dengan ancaman. Seusai kerja, Retno akhirnya membayar tagihan
lewat mesin ATM, hanya saja mesin tersebut tidak dapat mencetak kertas bukti
transfer. Retno dan Joni sempat berdebat panjang sampai pada akhirnya Retno
memperoleh bukti transfer dan mengaku kapok untuk meminjam uang lagi di Go Cash.
Berbeda dengan yang dialami oleh Donna yang tergoda memanfaatkan
fasilitas pinjaman online bernama Rupiah Plus, sebesar Rp. 1,2 juta untuk keperluan
membayar sekolah anaknya (Jannah, 2019). Sebelum tenggat waktu pembayaran,
Rupiah Plus mengirimkan pesan pendek melalui SMS kepada teman-teman Donna,
yang ternyata salah satunya adalah atasan Donna di tempat kerja. Atasan Donna
yang merasa terganggu kemudian memberhentikan Donna dari pekerjaannya di salah
satu perusahaan retail. Donna yang merasa dirugikan melaporkan Rupiah Plus ke
pihak OJK dan mendapatkan jawaban bahwa perusahaan tersebut tidak terdaftar.
Usahanya untuk mencari kantor Rupiah Plus juga tidak membuahkan hasil karena
tidak dapat ditemukan.
Fenomena lebih ekstrim terjadi pada salah seorang pengemudi taksi yang
memutuskan mengakhiri hidup dengan gantung diri akibat pinjaman online (Fauzia,
2019). Korban tersebut meninggalkan surat yang bertuliskan “kepada OJK dan pihak
berwajib tolong berantas pinjaman online yang telah membuat jebakan setan”.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dalam siaran persnya mencatat ada 283
kasus serupa dengan yang dialami Retno, Donna dan sopir taksi di atas. Perbedaan
antara peer-to-peer lending illegal dan yang resmi dapat dilihat dalam matriks di
bawah ini (Franedya, 2019):

Matriks. 1. Perbedaan Fintech peer-to-peer Resmi dan Ilegal

Berizin Ilegal

Terdaftar dan diawasi OJK Tidak memiliki izin resmi

Identitas dan alamat terlampir Tidak ada identitas pengurus


jelas. dan alamat kantor yang jelas.

Pemberian pinjaman diseleksi Pemberian pinjaman sangat


ketat. mudah.

Informasi pinjaman dan denda Informasi bunga/biaya


transparan. pinjaman dan denda tidak
jelas.

Total biaya pinjaman 0.05% Bunga/biaya pinjaman tidak


s.d 0.8% per hari. terbatas.

Maksimum pengembalian Total pengembalian (termasuk


(termasuk pembatalan) 100% denda) tidak terbatas.
dan pinjaman pokok.
Penagihan maksimum 90 hari. Penagihan tidak ada batas
waktu.

Akses hanya kamera, Akses ke seluruh data yang


microphone dan lokasi. ada di ponsel, termasuk terror
kekerasan, penghinaan,
pencemaran nama baik,
menyebarkan foto/video
pribadi.

Memilik layanan pengaduan Tidak ada layanan pengaduan


konsumen.

Kesimpulan
Risiko-risiko akibat dari modernitas adalah munculnya sesuatu di luar prediksi
sebelumnya, sehingga yang dapat dilakukan adalah berselancar dengan risiko-risiko
tersebut. Kaitannya dengan sisi gelap dari industri fintech, langkah yang dapat
dilakukan adalah dengan mencari informasi legalitas perusahaan peminjaman uang
tersebut di OJK atau BI. Apabila perusahaan tersebut tidak terdaftar di OJK, lebih baik
membatalkan rencana peminjaman. Tahapan selanjutnya adalah membaca dengan
seksama syarat dan ketentuan yang dicantumkan ketika akan menginstal aplikasi
pinjaman uang di gawai. Jika ada permintaan akses yang mencurigakan, misalnya
meminta akses kontak yang tersimpan di gawai, sebaiknya tidak dilanjutkan. Yang
tidak kalah penting adalah literasi finansial. Literasi finansial adalah pengetahuan dan
kecakapan untuk mengaplikasikan pemahaman tentang konsep dan risiko,
keterampilan agar dapat membuat keputusan yang efektif dalam konteks finansial
untuk meningkatkan kesejahteraan finansial, baik individu maupun sosial, dan dapat
berpartisipasi dalam lingkungan masyarakat (Kemdikbud, 2017). Dengan tingkat
literasi finansial yang baik, diharapkan tidak ada lagi masyarakat yang terjerat dalam
sisi gelap dunia industri fintech ilegal.
Daftar Pustaka

APJII. (2018). Penetrasi & Profil Perilaku Pengguna Internet Indonesia. Jakarta: Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia.
Barbara Adam, Ulrich Beck, Joost Van Loon. (2000). Theory, The Risk Society and Beyond:
Critical Issues for Social. (B. Adam, Ed.) London, California, New Delhi: Sage Publications.
Beck, U. (1992). Risk Society: Towards a New Modernity. London, California, New Delhi:
Sage Publications.
Board, F. S. (2019, Februari 14). FinTech and Market Structure in Finansial Services: Market
Developments and Potential Finansial Stability Implications. Retrieved September 30, 2019,
from fsb.org: https://www.fsb.org/wp-content/uploads/P140219.pdf
Fauzia, M. (2019, Februari 13). Sopir Taksi Bunuh Diri Karena Pinjaman Online, Ini Kata
OJK. Retrieved September 30, 2019, from Kompas.com:
https://ekonomi.kompas.com/read/2019/02/13/180153926/sopir-taksi-bunuh-diri-karena-
pinjaman-online-ini-kata-ojk
Franedya, R. (2019, Agustus 13). Orang Ini Ngutang ke 141 Fintech Karena Tak Ada 'BI
Checking'. Retrieved September 30, 2019, from cnbcindonesia.com:
https://www.cnbcindonesia.com/tech/20190813095441-37-91549/orang-ini-ngutang-ke-141-
fintech-karena-tak-ada-bi-checking
George Ritzer, Douglas j. Goodman. (2014). Teori Sosiologi. Bantul: Kreasi Wacana.
Hasbiansyah, O. (2008). Pendekatan Fenomenologi: Pengantar Praktik Penelitian dalam
Ilmu Sosial dan Komunikasi. Mediator: Jurnal Komunikasi , 9 (1), 163-180.
IMF. (2018). The Bali Fintech Agenda-Chapeu Paper. Bali: World Bank Group.
Indonesia, Bank. (2018, February 9). Finansial Technology. Retrieved September 30, 2019,
from bi.go.id: https://www.bi.go.id/id/edukasi-perlindungan-konsumen/edukasi/produk-dan-
jasa-sp/fintech/Pages/default.aspx
Jannah, S. M. (2019, Februari 5). Kisah Debitur P2P Lending: Kena PHK Karena Utang
Rp1,2 Juta. Retrieved September 30, 2019, from tirto,id: https://tirto.id/kisah-debitur-p2p-
lending-kena-phk-karena-utang-rp12-juta-dfTl
Kemdikbud. (2017, September). Literasi finansial. Retrieved September 30, 2019, from
kemdikbud.go.id: http://gln.kemdikbud.go.id/glnsite/wp-content/uploads/2017/10/cover-
materi-pendukung-literasi-finansial-gabung.pdf
Latour, B. (2003). Is Re-modernization Occurring? And If So, How to Prove It? A
Commentary on Ulrich Beck. Theory, Culture, and Society , 20 (2), 35-48.
OJK. (2017, Februari). Mengenal Otoritas Jasa Keuangan dan Industri jasa Keuangan.
Retrieved September 30, 2019, from sikapiuangmu.ojk.go.id:
https://sikapiuangmu.ojk.go.id/FrontEnd/images/FileDownload/338_Buku%20Materi%20Liter
asi%20Keuangan%20OJK%20Tingkat%20SMA%202017.pdf
OJK. (2019). Perkembangan Fintech Lending (Pendanaan Gotong Rotong on-line). Jakarta:
OJK.
Prabowo, H. (2018, November 5). Cerita Orang Pinjam Uang yang Diteror Perusahaan
Fintech. Retrieved September 30, 2019, from tirto.id: https://tirto.id/cerita-orang-pinjam-
uang-yang-diteror-perusahaan-fintech-c9cU
Putra, D. A. (2019, Agustus 2). OJK: Ada 1.230 Fintech Ilegal. Retrieved September 30,
2019, from liputan6.com: https://www.liputan6.com/bisnis/read/4028001/ojk-ada-1230-
fintech-ilegal
Rusydiana, A. S. (2018). Bagaimana Mengembangkan Industri Fintech Syariah di
Indonesia? Pendekatan Interpretive Structural Model (ISM). Jurnal Al-Muzara'ah , 6 (2), 117-
128.
Yoga Adiyanto, Yuda Supriatna, Deni Sunaryo. (2019). Bank dan Lembaga Keuangan
Lainnya. Pasuruan: Qiara Media.

Anda mungkin juga menyukai